BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
Bahasa
merupakan
instrumen
terpenting
dalam
proses
komunikasi di kehidupan manusia. Manusia tidak dapat hidup tanpa menggunakan bahasa, baik lisan maupun tulisan. Bahasa adalah simbol-simbol yang digunakan untuk menyatakan gagasan, ide, dan perasaan orang kepada orang lain. Mulai dari bangun tidur, makan, mandi, sampai tidur lagi, dan melakukan interaksi dengan manusia lainnya, tidak luput dari adanya penggunaan bahasa.
Penelitian ini menelaah ihwal penggunaan bahasa remaja di masa sekarang ini. Tidak hanya mengenai penggunaannya saja, namun juga alasan mengapa mereka (kaum remaja) menggunakan bahasa tersebut dalam proses penyampaian pesan (proses komunikasi) dikalangan mereka (para remaja). Bab ini juga membahas peran bahasa dalam masyarakat dan ragam bahasa, khususnya bahasa gaul.
1.1 Kajian Pustaka Beberapa studi mengenai penggunaan bahasa gaul dalam proses komunikasi di kalangan remaja sudah banyak dilakukan. Seperti penelitian Runtun Rima Ultima, Ragam Bahasa Remaja, 12
13
penelitian ini membahas mengenai bahasa yang dipakai oleh remaja dalam situs jejaring soaial Facebook. Penelitian ini juga membahasa mengenai remaja dan bahasa gaul yang mereka gunakan. Penelitian lainnya yaitu Ni Made Dhianari yang membahasa mengenai penggunaan bahasa gaul pada kalangan komunitas pengguna Kaskus. Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu Peneliti No
Judul
Teori
Metode
Hasil Penelitian
Kritik
sebelumnya 1.
Donny Handoko ,
Relasi
Semiotika
Facebook
Ada
Tanda pada
(Pierce)
ternyata tidak
baiknya
Aplikasi
atau
hanya memenuhi
jika teori
Permainan
syntagm
kebutuhan
interaksi
Pasif Pada
dalam
komunikasi antar
simbolik
Jejaring
semiologi
personal, ada
digunakan
Sosial
(Saussure)
beragam aplikasi
lebih
yang membawa
maksimal
pola baru dalam
dalam
interaksi manusia
menganalis
di facebook,
a makna-
keunikan ini
makna
memberi peluang
simbolik
yang lebih besar
pada pola
komunikasi
interaksi
Kualitatif
Pengajar Fakultas Manajemen Desain dan Komunikasi Institut Manajemen Telkom
Facebook
14
visual untuk
manusia di
berkreasi
facebook.
melibatkan makna-makna simbolik. 2
Dr.Maria Josephine
Pengama-
Komunika-
Berbahasa yang
Dari segi
tan
si Antar
baik mencakup
pendekatan
Penggunaa
Personal
komunikasi yang
yang
n Bahasa
memperhatikan
dilakukan,
Indonesia
pendidikan
penelitian
di Dunia
lingkungan
ini akan
Digital
sosial, pekerjaan,
lebih
(Bahasa
hubungan antar
maksimal
alay
personal, nilai
jika
merusak
yang dianut serta
dilakukan
Bahasa
sikap
dengan
Kualitatif
menggunak
Indonesia)
an metode kuantitatif juga. 3
Runtun Rima
Ragam
Teori
Ultima
Bahasa
Morfologi
Remaja
Kualitatif
Hasil temuan dan
Akan
pembahasan
sangat
menunjukan
menarik
bahwa perubahan
jika,
15
afiksasi bahasa
peneliti
gaul ini
juga
tergantung pada
menjabarka
kelompok bunyi
n secara
yang dihadapi
rinci ,
afiks tersebut.
akibat dari
Selain itu
penggunaa
terungkap pula
n ragam
bahwa semakin
bahasa
tinggi jenjang
tersebut
pendidikan
terhadap
seseorang maka
kehidupan
akan semakin
para remaja
kaya dan kreatif
tersebut.
kata-kata yang mereka gunakan, sebaliknya semakin rendah pendidikan seseorang maka semakin sedikit dan sederhana kata-kata yang mereka gunakan.
16
4
Kristina
Konstruksi
Teori
Penelitian
Sebaiknya
Sosial
Konstruksi
menunjukan
teori
Update
atas realitas
bahwa
interaksi
“status”
pengungkapan
simbolik
pengguna
identitas dalam
digunakan
Sosial
menyampaikan
lebih
Media
emosi pada
maksimal
(Analisis
kalangan remaja
dalam
Wacana
saat
menganalis
Bahasa
menggunakan
a makna-
Gaul Pada
media elektronik
makna
Facebook)
bervariasi.
simbolik
Bahasa yang
pada pola
digunakan tidak
interaksi
lagi menunjukan
manusia di
kecintaannya
facebook.
Kualitatif
terhadap bahasa nasional.
Yang menjadi perbedaan penelitian ini dengan penelitian - penelitian terdahulu adalah bahwa dalam penelitian ini, peneliti memilih untuk meneliti bahasa gaul dilihat dari percakapan-percakapan secara langsung, dalam keseharian mereka, dan dalam komunitas remaja yang sesungguhnya.
17
1.2 Kerangka Pemikiran 1.2.1
Proses Komunikasi Menurut Wiryanto dalam bukunya Teori Komunikasi Massa, ia
mendefinisikan komunikasi sebagai suatu proses, dimana komunikator menyampaikan pesan berupa lambang-lambang yang mengandung arti, lewat saluran tertentu kepada komunikan1 Dalam pengertian itu tampak proses komunikasi diawali dengan komunikator yang menyampaikan pesan dan diakhiri dengan komunikan yan menerima pesan. Proses komunikasi berlangsung dalam keadaan dinamis, berkelanjutan, berubah-ubah. Agar peristiwa komunikasi
mudah
dipelajari,
maka
sengaja
diciptakan
penyederhanaan. Kebanyakan pada studi komunikasi, penyederhanaan tersebut diawali dari komunikator (source) yang menyampaikan pesan (message) melalui media (channel) kepada komunikan (receiver) sampai
proses
tersebut
menimbulkan
dampak
(effect)
pada
komunikannya.
1.2.2
Pelaku Komunikasi 1.2.2.1 Remaja Wajah dicermin ini menatapku dan bertanya “siapa kamu? Akan jadi apa kamu? Dan mengejek “kamu tidak akan pernah
1
Wiryanto, Teori Komunikasi Massa, Jakarta, Grasindo, 2000 hal.19
18
tau”.
Dituduh
demikian,
membuat
saya
ngeri
dan
menyetujuinya. Dan kemudian, karena saya masih muda, saya menjulurkan lidah saya. Eve Merriam, Conversation with myself, 1964 2 Masa Remaja merupakan masa peluang sekaligus resiko. Para remaja berada dipertigaan antara kehidupan cinta, pekerjaan dan partisipasi dalam masyarakat dewasa. Belum lagi, masa remaja adalah masa di mana para remaja terlibat dalam prilaku yang menyempitkan pandangan dan membatasi pilihan mereka. Mereka merasa penasaran terhadap banyak hal, mereka mencari identitas dan jati diri dengan pengalaman yang masih sangat sedikit. Mereka ragu dan akan banyak hal yang mereka alami, tetapi sekaligus tertantang untuk melakukan hal-hal yang berbeda. Definisi masa remaja bagi Romaine (1984) adalah sebagai berikut: adolescence is the time between being a child and full adult, that is the period of time during which a person is biologically (physically) adult but emotionally (feelings) not at full maturity Jadi, masa remaja adalah masa transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa yang ditandai dengan secara biologis (fisik) 2
Papalia, Diane E. , Human Development, Psikologi Perkembangan, Bagian V s/d IX, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008, hal.532
.
19
sudah matang namun secara emosional (emosi) mereka itu belum matang sepenuhnya. Sementara itu menurut Salzman (dalam Pikunas, 1976) mengemukakan bahwa remaja merupakan masa perkembangan sikap
tergantung
(dependence)
terhadap
orang
tua
kearah
kemandirian ( independence), minat-minat seksual, perenungan diri, dan perhatian terhadap nilai-nilai estetika dan isu-isu moral. Romaine (1984) mengatakan bahwa masa remaja merupakan kebudayaan dan tidak mengacu pada periode waktu yang tetap. Batasan masa remaja pada setiap budaya berbeda-beda. Contohnya, di Amerika Serikat, seseorang dianggap remaja biasanya mulai sekitar usia 13 tahun, dan berakhir sekitar usia 18 tahun. Dalam bahasa Inggris, remaja (adolescents) sering disebut teenagers atau teen, yang berasal dari akhiran kata bahasa Inggris thirteen sampai dengan nineteen. Sedangkan Aristoteles (dalam Sarwono, 2010) membagi jiwa manusia yang dikaitkan dengan perkembangan fisiknya, ke dalam tiga tahap yang masing-masing berlangsung dalam kurun usia
7
tahunan.
Tahap-tahap
perkembangan
jiwa
menurut
Aristoteles adalah sebagai berikut: (1)
0-7 tahun: masa kanak-kanak (infancy)
(2)
7-14 tahun: masa kanak-kanak (boyhood)
(3)
14-21 tahun: masa dewasa muda (young manhood)
20
Pandangan Aristoteles ini sampai sekarang masih berpengaruh pada dunia modern kita, antara lain dengan tetap dipakainya batas usia 21 tahun dalam kitab-kitab hukum di berbagai Negara, sebagai batas usia
dewasa.
Berdasarkan
pendapat
di
atas,
maka
penulis
berkesimpulan batasan masa remaja untuk penelitian ini dimulai dari usia 13 tahun sampai 20 tahun. Masa remaja, ditinjau dari segi perkembangan, merupakan masa
kehidupan manusia yang paling menarik dan mengesankan.
Masa remaja mempunyai ciri antara lain petualangan, pengelompokan, dan “kenakalan”. Ciri ini tercermin pula dalam bahasa mereka. Keinginan
untuk
membuat
kelompok
eksklusif
menyebabkan
mereka menciptakan bahasa “rahasia” yang hanya berlaku bagi kelompok mereka, atau kalau semua pemuda sudah tahu, bahasa ini tetap rahasia bagi kelompok anak-anak dan orang tua (Sumarsono, 2009:150). Pada umumnya para remaja menggunakan pertuturan ini untuk berkomunikasi dengan sesamanya dalam keadaan santai dan berfungsi untuk menjalin keakraban atau sebagai identitas keakraban.Terkadang bagi mereka yang sudah tidak remaja lagi, bahasa remaja ini menimbulkan kebingungan karena tidak dapat mengerti apa yang diucapkan
atau
berkomunikasi.
yang
ditulis
para
remaja
itu
saat
mereka
21
1.2.2.2 Teori Perkembangan Bahasa Anak (Generatif-Transformasi), Chomsky Menurut Chomsky kemampuan berbahasa pada manusia bukanlah produk (setting) alam, melainkan merupakan potensi bawaan manusia sejak lahir. Teori ini, ia kemukakan sebagai hasil dari penelitian yang ia lakukan pada perkembangan berbahasa seorang anak dalam hal pemerolehan bahasa berdasarkan teori hipoteseis atau teori kodrati. Melalui pendekatan nativis Chomsky mengemukakan bahwa adanya ciri-ciri bawaan bahasa untuk menjelaskan pemerolehan bahasa asli pada anak dalam tempo begitu singkat sekalipun ada sifat amat abstrak dalam kaidah-kaidah bahasa tersebut. Seorang anak dapat menguasai bahasa ibunya dengan mudah dan cepat, bahkan pengetahuan itu juga diikuti oleh sense of language dari bahasa itu, yang lebih mengarah pada keterampilan dalam tata bahasa. Mereka dapat mengenal bahasa itu sehingga mampu merangkai kalimat dengan tepat, meski mereka tak mungkin bisa menjelaskannya. Hal itu, ia yakini sebagai kemampuan naluriah yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia. Suatu hal yang mustahil bila kemampuan itu dianggap sebagai hasil pembelajaran, dari alam atau kedua orang tuanya. Penguasaan terhadap tata bahasa sebuah bahasa bukanlah hal yang mudah, terlebih untuk tingkat kanak-kanak.
22
Menurut Chomsky, focus teori bahasa adalah upaya menandai kemampuan
abstrak yang dimiliki pembicara, memungkinkan
pembicara menggunakan kalimat-kalimat yang secara gramatikal benar dalam suatu bahasa. Teori Generatif-Transformasi yang diletakan oleh Chomsky adalah teori modern paling menonjol yang mencerminkan kemampuan akal, membicarakan masalah kebahasaan dan pemerolehannya, serta hubungannya dengan akal dan pengetahuan manusia. Bahwa manusia lahir dengan kapasitas genetik juga mempengaruhi kemampuan kita memahami bahasa di sekitar kita, yang hasilnya adalah sebuah kontruksi sistem bahasa yang tertanam dalam diri kita. Menurut Chomsky, pengetahuan bawaan ini diumpakan dengan “kotak hitam kecil” di otak, sebagai sebuah perangkat pemerolehan bahasa atau language acquisition device (LAD). McNeill (1966) memaparkan LAD meliputi empat perlengkapan linguistic bawaan . 1. Kemampuan membedakan bunyi wicara dari bunyi-bunyi lain di lingkungan sekitar 2. Kemampuan menata data linguistic ke dalam berbagai kelas yang bisa disempurnakan kemudian 3. Pegetahuan
bahwa
hanya
jenis
system
memungkinkan, sedang yang lainnya tidak.
linguistic
yang
23
4. Kemampuan untuk terus mengevaluasi mengevaluasi system linguistic yang berkembang untuk membangun kemungkinan system paling sederhana berdasarkan masukan linguistic yang ada. Perlengkapan linguistik bawaan ini mempengaruhi kemampuan kita memahami bahasa di sekitar kita, yang hasilnya adalah sebuah kontruksi system bahasa yang tertanam dalam diri kita.
1.2.3
Bahasa Gaul Sebagai Pesan Komunikasi 1.2.3.1 Peran Bahasa Bahasa mempunyai peranan yang sangat penting dalam hidup
manusia. Manusia sudah menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi antarsesamanya sejak berabad-abad silam. Bahasa hadir sejalan dengan sejarah
sosial
komunitas-komunitas
Pemahaman bahasa sebagai
fungsi
masyarakat sosial menjadi
atau hal
bangsa. pokok
manusia untuk mengadakan interaksi sosial dengan sesamanya. Bahasa bersifat manasuka (arbitrer). Oleh karena itu, bahasa sangat terkait dengan budaya dan sosial ekonomi suatu masyarakat penggunanya. Hal ini memungkinkan adanya diferensiasi kosakata antara satu daerah dengan daerah lain. Bahasa tidak terlepas dari perkembangan budaya manusia. Bahasa berkembang sejalan dengan perkembangan budaya manusia. Bahasa dalam suatu masa tertentu mewadahi apa yang terjadi di
24
dalam masyarakat. Sehingga, bahasa dapat disebut sebagai cermin zamannya. Sumarsono dan Partana dalam Sosiolinguistik (2006) menyatakan bahwa bahasa sebagai budaya.
Bahasa
tidak
dapat
produk
sosial
dipisahkan
atau
produk
dengan kebudayaan
manusia. Sebagai produk sosial atau budaya, bahasa berfungsi sebagai wadah aspirasi sosial, kegiatan dan perilaku masyarakat, dan sebagai wadah penyingkapan budaya termasuk teknologi yang diciptakan oleh masyarakat pemakai bahasa itu. Keraf (1991) yang menyatakan bahwa bahasa apabila ditinjau dari dasar dan motif pertumbuhannya, bahasa berfungsi sebagai (1) alat untuk menyatakan ekspresi diri, (2) alat komunikasi, (3) alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial, dan (4) alat untuk mengadakan kontrol sosial. Bahasa
sebagai
alat
untuk
menyatakan
ekspresi
diri
dipergunakan untuk mengkespresikan segala sesuatu yang tersirat di dalam pikiran dan perasaan penuturnya. Ungkapan pikiran dan perasaan manusia dipengaruhi oleh dua hal yaitu oleh keadaan pikiran dan perasaan itu sendiri. Ekspresi bahasa lisan dapat dilihat dari mimik, lagu/intonasi, tekanan, dan lain-lain. Ekspresi bahasa tulis dapat dilihat dengan diksi, pemakaian tanda baca, dan gaya bahasa. Ekspresi diri dari pembicaraan seseorang memperlihatkan segala keinginannya,
latar
belakang
pendidikannya,
sosial,
ekonomi.
Selain itu, pemilihan kata dan ekspresi khusus dapat menandai
25
indentitas kelompok dalam suatu masyarakat. Sebagai alat komunikasi, bahasa mempunyai fungsi sosial dan fungsi kultural. Bahasa sebagai fungsi sosial adalah sebagai alat perhubungan antaranggota masyarakat. Sedangkan sebagai aspek kultural, bahasa sebagai sarana pelestarian budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hal ini meliputi segala aspek kehidupan manusia yang tidak terlepas dari peranan kehidupan manusia yang tidak terlepas dari peranan bahasa sebagai alat untuk memperlancar proses sosial manusia. Bahasa dapat pula berperan sebagai alat integrasi sosial sekaligus alat adaptasi sosial, hal ini mengingat bahwa bangsa Indonesia
memiliki
bahasa
yang
majemuk. Kemajemukan ini
membutuhkan satu alat sebagai pemersatu keberseragaman tersebut. Di sinilah fungsi bahasa sangat diperlukan sebagai alat integrasi sosial. Bahasa disebut sebagai alat adaptasi sosial apabila seseorang berada di suatu tempat yang memiliki perbedaan adat, tata krama, dan aturan-aturan dari tempatnya berasal. Proses adaptasi ini akan berjalan baik apabila terdapat sebuah alat yang membuat satu sama lainnya mengerti, alat tersebut disebut bahasa. Dari uraian ini dapat kita tarik kesimpulan bahwa bahasa merupakan sesuatu yang sangat penting bagi manusia
26
Manusia merupakan mahluk sosial. Manusia melakukan interaksi, bekerja sama, dan menjalin kontak sosial di dalam masyarakat. Dalam melakukan hal tersebut, manusia membutuhkan sebuah
alat
komunikasi
yang
berupa
bahasa.
Bahasa
memungkinkan manusia membentuk kelompok sosial, sebagai pemenuhan kebutuhannya untuk hidup bersama. Bahasa dalam lingkungan sosial masyarakat satu dengan yang lainnya berbeda. Dari adanya kelompok-kelompok sosial tersebut menyebabkan
bahasa
yang dipergunakan beragam. Keberagaman
bahasa ini timbul sebagai akibat dari kebutuhan penutur
yang
memilih bahasa yang digunakan agar sesuai dengan situasi konteks sosialnya. Oleh karena itu, ragam bahasa timbul bukan karena kaidah-kaidah kebahasaan, melainkan disebabkan oleh kaidah-kaidah sosial yang beraneka ragam. Lebih
sederhana,
Sumarsono
dan
Partana (2006) mencoba mengelompokkan apakah dua bahasa merupakan dialek atau subdialek atau hanya sekedar dua ragam saja, dapat ditentukan dengan mencari kesamaan kosakatanya. Jika persamaannya hanya 20% atau kurang, maka keduanya adalah dua bahasa. Tetapi kalau bisa mencapai 40% - 60%, maka keduanya dua dialek; dan kalau mencapai 90% misalnya, jelas keduanya hanyalah dua ragam dari sebuah bahasa.
27
Pateda (1987)3 mengemukakan bahwa ragam bahasa dapat dilihat dari enam segi, yaitu tempat, waktu, pemakai, situasi, dialek yang dihubungkan dengan sapaan, status, dan pemakaiannya/ragam. Tempat dapat menjadikan sebuah bahasa beragam. Yang dimaksud dengan tempat di sini adalah keadaan tempat lingkungan yang secara fisik
dibatasi
oleh
sungai,
lautan,
gunung,
maupun
hutan.
Kebervariasian ini mengahasilkan adanya dialek, yaitu bentuk ujaran setempat yang berbeda-beda namun masih dipahami oleh pengguna dalam suatau masyarakat bahasa walaupun terpisah secara geografis. Ragam bahasa dilihat dari segi waktu secara diakronis (historis) disebut juga sebagai dialek temporal. Dialek tersebut adalah dialek yang berlaku pada kurun waktu tertentu. Perbedaan waktu itu pulalah yang menyebabkan perbedaan makna untuk kata- kata tertentu. Hal ini
disebabkan oleh karena bahasa mengikuti
perkembangan
masyarakat pemakai bahasanya. Itulah mengapa bahasa bersifat dinamis, tidak statis. Dari segi pemakai, bahasa dapat menimbulkan keberagaman juga. Istilah pemakai di sini adalah orang atau penutur bahasa yang bersangkutan. Ragam bahasa dilihat dari segi penutur oleh Pateda (1987:52) dibagi menjadi tujuh, yaitu glosolalia (ujaran yang dituturkan ketika orang kesurupan), idiolek (berkaitan dengan aksen, intonasi, dsb), kelamin, monolingual (penutur bahasa yang memakai satu bahasa saja), role (peranan yang dimainkan oleh seorang
3
Pateda, Mansoer ;Semantik Leksikal
28
pembicara dalam interaksi sosial), status sosial, dan umur. Ragam bahasa dilihat dari segi situasi akan memunculkan bahasa dalam situasi resmi dan bahasa yang dipakai dalam tidak resmi. Dalam bahasa resmi, bahasa yang digunakan adalah bahasa standar. Kesetandaran ini disebabkan oleh situasi keresmiannya. Sedangkan dalam situasi tidak resmi ditandai oleh keintiman. Bahasa menurut statusnya meliputi status bahasa itu sendiri. Hal ini berarti bahwa bagaimanakah fungsi bahasa itu serta peraanan apa yang disandang oleh bahasa. Sebuah bahasa, bahasa Indonesia, dapat memiliki berbagai macam status apakah ia sebagai bahasa ibu, bahasa nasional, bahasa resmi, bahasa pemersatu, atau bahasa negara. Sebuah komunikasi dikatakan efektif apabila setiap penutur menguasi perbedaan ragam bahasa. Dengan penguasaan ragam bahasa, penutur bahasa dapat dengan mudah mengungkapkan gagasannya melalui pemilihan ragam bahasa yang ada sesuai dengan kebutuhannya. Oleh karena itu, penguasaan ragam bahasa termasuk bahasa gaul remaja menjadi tuntutan bagi setiap penutur, mengingat kompleksnya situasi dan kepentingan yang masing-masing menghendaki kesesuaian bahasa yang digunakan. Penciptaan bahasa khusus, atau yang kita sebut juga dengan bahasa gaul ini memiliki fungsi tertentu bagi kelompok penggunanya. Pertama sebagai kontrabudaya dan sarana pertahanan diri, terutama di
29
dalam kelompok yang memusuhi/kurang memahami mereka. Mereka berkomunikasi dengan bahasa gaul mereka yang tidak dapat dipahami kelompok luar. Kedua sebagai sarana kebencian/ketidaksukaan kelompok tersebut terhadap budaya dominan. Ketiga sebagai sarana memelihara identitas dan solidaritas kelompok. Bahasa khusus ini juga memungkinkan mereka dalam membedakan antara “orang dalam” dan “orang luar”4.
1.2.3.2 Perkembangan Bahasa Walaupun usia anak sekolah cukup cakap menggunakan bahasa, masa remaja memunculkan penghalusan bahasa lebih lanjut. Kosakata terus tumbuh seiring dengan bahasa bacaan yang semakin dewasa. Walaupun ada perbedaan individual yang besar, pada usia 16-18 tahun, seorang anak muda rata-rata mengetahui 80.000 kata (Owens, 1996) Dengan kemunculan pemikiran formal, para remaja dapat menentukan dan membahas abstraksi seperti cinta, keadilan, dan kebebasan. Mereka lebih sering menggunakan istilah however (walaupun), otherwise (sebaliknya), anyway (bagaimanapun juga), therefor (oleh karena itu), really dan probably (mungkin) untuk menunjukan realisasi logis antara klausa dan kalimat. Mereka makin sadar akan kata sebagai
4
Mulyana, Deddy Prof., Ilmu Komunikasi, suatu pengantar. Bandung, 2007, hal.312
30
sebuah simbol dengan berbagai macam makna: mereka menikmati penggunaan ironi, permainan kata, dan metafora (Owens,1996). Para remaja juga menjadi lebih trampil dalam penyerapan perspektif sosial (social perspective-taking), kemampuan memahami sudut pandang orang lain dan level pengetahuannya serta kemampuan berbicara menjadi sepadan dengan kedua hal tersebut. Kemampuan ini sangat esensial
untuk
membujuk
atau hanya
sekedar dapat
mengikuti
pembicaraan. Dengan kesadaran akan audiens mereka, para remaja berbicara dengan cara yang berbeda kepada orang dewasa dan kepada teman sebayanya (Owens, 1996). Bahasa gaul para remaja merupakan bagian dari proses perkembangan identitas independen yang terpisah dari orang tua dan dunia orang dewasa. Dalam menciptakan ekspresi seperti “awesome” (keren) dan “geek” (kuper), anak muda menggunakan kemampuan yang baru ditemukannya untuk bermain dengan kata, untuk mendefinisikan penyerapan unik generasi mereka terhadap nilai, rasa dan pilihan (Elkind, 1998, hlm 29)
1.2.3.3 Bahasa Gaul
Bahasa memiliki berbagai variasi atau ragam bahasa. Hartman dan Stork (1972) membedakan variasi berdasarkan kriteria (a) latar belakang geografi dan sosial penutur, (b) medium yang digunakan, dan (c) pokok pembicaraan. Variasi atau ragam bahasa menyangkut semua
31
masalah pribadi para penuturnya, seperti usia, pendidikan, seks, pekerjaan, tingkat kebangsawanan, keadaan sosial ekonomi, dan sebagainya. Berdasarkan usia, kita dapat melihat perbedaan variasi bahasa yang digunakan oleh anak-anak, para remaja, orang dewasa, dan orang yang tergolong lanjut usia.
Variasi
atau
ragam
bahasa
berdasarkan
penutur
dan
penggunaannya berkenaan dengan status, golongan, dan kelas penuturnya, biasanya disebut akrolek, basilek, vulgar, slang, kolokial, jargon, argot, dan ken. Ada juga yang menambah dengan istilah prokem. Bahasa gaul atau bahasa prokem adalah ragam bahasa Indonesia nonstandar yang lazim digunakan di Jakarta pada tahun 1970-an yang kemudian digantikan oleh ragam yang disebut sebagai bahasa gaul.
Pada masa sekarang, bahasa gaul banyak digunakan oleh kaula muda, meski kaula tua pun ada juga yang menggunakannya. Bahasa ini bersifat temporal dan rahasia, maka timbul kesan bahwa bahasa ini adalah bahasa rahasianya para pencoleng atau penjahat, padahal sebenarnya tidak demikian. Faktor kerahasiaan ini menyebabkan kosakata yang digunakan dalam bahasa gaul sering kali berubah. Para remaja menggunakan bahasa gaul ini dalam ragam lisan dan ragam tulis, atau juga dalam ragam berbahasa dengan menggunakan media tertentu, misalnya, berkomunikasi dalam jejaring sosial.
32
Para remaja menganggap bahasa gaul dialek Jakarta lebih bergengsi dibandingkan dengan bahasa daerah. Kota Jakarta adalah kota metropolitan. Sehingga, para remaja di daerah dan yang pernah ke Jakarta merasa bangga bisa berbicara dalam dialek Jakarta itu. Selain itu,
para
remaja
juga
memerlukan
bahasa
tersendiri
dalam
mengungkapkan ekspresi diri. Sarana komunikasi diperlukan oleh kalangan remaja untuk menyampaikan hal-hal yang dianggap tertutup bagi kelompok usia lain atau agar pihak lain tidak dapat mengetahui apa yang sedang dibicarakannya. Masa remaja memiliki karakteristik antara lain petualangan, pengelompokan, dan kenakalan. Ciri ini tercermin juga dalam bahasa mereka. Keinginan untuk membuat kelompok eksklusif menyebabkan mereka menciptakan bahasa rahasia (Sumarsana dan Partana, 2002:150).
Walaupun istilah alay ini sudah dikenal di masyarakat luas dengan arti “orang norak”, tetapi hingga saat ini bahasa alay tersebut masih banyak digunakan oleh para remaja dalam berdialog. Beberapa kata yang sering dijumpai dalam “status” para pengguna jejaring sosial, misalnya, kata gue. Kini, untuk menyatakan kata saya para penutur bahasa gaul juga menggunakan kata saiia, aq, q, ak, gw, gua, w, akoh, aqoh, aqu, dan ane. Kemudian, kata Lo atau Lu sama seperti kata gue. Kini, untuk menyatakan kamu penutur bahasa gaul juga menggunakan lw, elu, elo, dan ente.
33
Adapun, pengunaan kosakata bahasa gaul (atau oleh sebagian orng disebut bahasa “alay”) yang mengubah bahasa Indonesia menjadi bahasa yang seolah dikatakan oleh orang cadel, misalnya, kata sabar menjadi cabal, kata kasihan menjadi ciyan, kata terima kasih menjadi maacih, kata serius menjadi ciyus, kata enak menjadi enyak, kata sungguh menjadi cungguh, kata bisa menjadi bica, dan sebagainya.
Bahasa gaul akan tumbuh bersamaan dengan perkembangan usia remaja. Hal tersebut dianggap wajar karena sesuai dengan tuntgutan perkembangan pribadi usia remaja, yang sering memiliki keinginan untuk hidup dengan kelompoknya dengan menciptakan bahasa rahasia dalam kelompoknya tersebut. Sehingga bahasa gaul yang digunakan dalam suatu kelompok remaja sering kali hanya dapat dimengerti oleh anggota kelompok mereka sendiri. Tetapi, ketika mereka
berada
di
luar
kelompoknya
mereka
akan
kembali
menggunakan bahasa lain yang berlaku secara umum di lingkungan tempat di mana mereka berada. Namun diharapkan haruslah ada kesadaran pada diri kita selaku pengguna bahasa Indonesia, untuk dapat menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan kaidah-kaidah yang sudah ditetapkan dalam EYD demikian juga dengan para remaja.
34
1.2.3.4 Pubilect ; Dialek Sosial Pubertas Sebagian besar percakapan remaja berkenaan tentang orang dan peristiwa
dalam
kehidupan
sehari-hari
(Labov,1992).
Mereka
menggunakan bahasa slang (tidak resmi) untuk me-label-kan orang (“si bangsat” atau “si geblek”), untuk mengucapkan penilaian positif atau negatif (“mantaf” atau “gila”) untuk mendeskripsikan aktifitas yang berkaitan dengan obat terlarang atau akohol (“dia teler” atau “lagi fly”). Pakar bahasa Kanada, Marcel Danesi (1994) berpendapat bahwa kata-kata remaja lebih dari sekedar bahasa slang (yang juga digunakan oleh orang dewasa). Percakapan tersebut justru menyusun dialeknya sendiri: Pubilect : dialek sosial pubertas. Pubilect lebih dari sekedar ekspresi penuh warna. Dialek tersebut merupakan mode utama komunikasi verbal para remaja, dengan dialek tersebut, mereka membedakan diri mereka dari orang dewasa. Ketika mereka mendekati pubertas, anak yang lebih muda menyerap dialek ini melalui teman yang usianya diatasnya atau lebih tua. Seperti kode bahasa lain, pubilect berfungsi menguatkan identitas kelompok dan menutup diri dari orang luar (Orang dewasa). Kosakata remaja ditandai dengan perubahan yang cepat. Walaupun beberapa itemnya sudah menjadi wacana umum, para remaja terus menemukan kata yang baru sepanjang waktu. Analisa sample rekaman percakapan remaja mengungkapkan beberapa fitur pubilect, pertama dialek tersebut merupakan kode emotive
35
(berkaitan
dengan
emosi).
Melalu
nada
yang
dilebih-lebihkan,
penyampaian yang santai dan tenang, penekanan yang diperpanjang, bahasa tubuh yang menyertai, dan kata seru yang vulgar, dialek tersebut menarik perhatian kepada perasaan dan sikap. Ucapan emotive seperti itu tampaknya menyususn sekitar 65 persen bahasa remaja. Fitur kedua pubilect adalah connotative (berhubungan dengan konotasi). Remaja menciptakan kata deskriptif (atau meluaskan makna kata yang telah ada) untuk menyampaikan pandangan mereka tentang dunia mereka dan orang yang ada didalamnya-dan seringkali dengan cara yang metaforis. Seseorang tidak perlu kamus untuk memahami makna ekspresi seperti “pikun” atau “linglung” . istilah seperti ini memberikan leksem (arti yang paling mendasar) untuk penilaian yang cepat dan otomatis tentang orang lain.5
1.2.3.5 Proses Morfologi 1. Morfologi Kata merupakan unsur penting dalam memahami suatu bahasa sebagai alat komunikasi. Oleh karena itu, kajian terhadap bahasa dapat difokuskan pada kata dan proses pembentukannya. Cabang linguistik yang mempelajari kata dan pembentukannya disebut morfologi.
5
Papalia, Diane E. , Human Development, Psikologi Perkembangan, Bagian V s/d IX, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008, hal.559
36
Morfologi dalam definisi O’Grady (1996) dinyatakan sebagai sebuah sistem kategori dan aturan yang berkaitan dengan pembentukan kata dan interpretasinya. Sedangkan Ramlan (1985) mengatakan bahwa morfologi merupakan salah satu cabang linguistik yang mempelajari atau mengkaji atau menelaah seluk beluk bentuk kata serta pengaruh perubahan-perubahan bentuk kata terhadap kelas kata dan makna kata. Atau dengan kata lain, bahwa morfologi mempelajari seluk beluk bentuk kata serta fungsi perubahan-perubahan bentuk kata itu, baik fungsi gramatikal, maupun fungsi semantik. Morfologi
berkaitan
dengan
kajian
pembentukan kata melalui proses penggabungan morfem yang satu dengan morfem yang lain. Senada dengan dua pendapat di atas, Kridalaksana (1996) mengatakan bahwa morfologi dipandang sebagai subsistem yang berupa proses yang mengolah leksem menjadi kata. Dalam pengertian ini leksem sebagai satuan leksikal, sedangkan kata sebagai satuan gramatikal. Berdasarkan pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa kajian terkecil dari morfologi adalah morfem dan kajian terbesar adalah kata.
2. Proses Morfologis Proses morfologis ialah proses pembentukan kata-kata dari
37
satuan lain
yang merupakan bentuk dasarnya (Ramlan, 1985).
Lebih lanjut Ramlan mengatakan bahwa dalam bahasa Indonesia terdapat tiga proses morfologis, yaitu (1) afiksasi (proses pembubuhan afiks), (2) proses pengulangan, dan (3) proses pemajemukan. Sedangkan Kridalaksana (1996), mengatakan bahwa proses morfologis meliputi (1) afiksasi, (2) reduplikasi, (3) komposisi, (4) abreviasi, (5) derivasi zero, (6) derevasi balik, dan (7) metanalisis. Menurut Chaer (2008:25) proses morfologi pada dasarnya adalah proses pembentukan kata dari sebuah bentuk dasar melalui pembubuhan afiks (dalam proses afiksasi), pengulangan (dalam proses reduplikasi), penggabungan (dalam proses komposisi), pemendekkan (dalam proses akronimisasi), dan pengubahan status (dalam proses konversi). Proses morfologi melibatkan komponen (1) bentuk dasar, (2) alat pembentuk (afiksasi, reduplikasi, komposisi, akronimisasi, dan konversi), (3) makna gramatikal, dan (4) hasil proses pembentukan. Berikut ini akan di bicarakan proses-proses morfologis yang berkenaan dengan afiksasi dan abreviasi.
a. Afiksasi (Proses Pembubuhan Afiks) Pembahasan mengenai afiks dapat ditemukan dalam setiap buku
38
linguistik umum dan morfologi. Menurut Chaer (2003:8) proses afiksasi adalah proses pembubuhan afiks pada bentuk dasar, baik dalam membentuk verba turunan, nomina turunan, maupun kategori turunan lainnya. Sedangkan afiks adalah morfem terikat yang dilekatkan pada morfem dasar atau akar (Fromkin dan Rodman, 1998:519). Ramlan (1985) menyatakan afiksasi adalah proses mengubah leksem menjadi kata kompleks. Dari semua pendapat diatas penulis berkesimpulan bahwa afiksasi merupakan proses pembubuhan afiks pada suatu satuan, baik satuan berupa bentuk tunggal maupun bentuk kompleks. Dalam proses ini, leksem (1) berubah bentuknya, (2) menjadi kategori kelas kata tertentu, (3) berubah maknanya. Kata yang dibentuk dari satuan lain (kata lain) pada umumnya mengalami tambahan bentuk pada kata dasarnya. Kata seperti berjalan, bersepeda,bertiga, ancaman, gerigi, berdatangan terdiri atas enam bentuk dasar jalan, sepeda, tiga, ancam, gigi, dan datang, yang masing-masing dilekati bentuk yang berwujud ber-, ber-, ber-, -an, -er-, ber-an. Bentuk (morfem) terikat yang dipakai untuk menurunkan
kata dinamakan afiks atau imbuhan. Atau dengan
menggunakan konsep Ramlan (1985), afiks adalah suatu satuan gramatik terikat yang di dalam suatu kata merupakan unsur yang bukan kata dan bukan pokok kata, yang memiliki kesanggupan
39
melekat pada satuan- satuan lain untuk membentuk kata baru. Afiks bahasa Indonesia menurut posisi melekatnya pada bentuk dasar biasanya dibedakan menjadi prefiks, infiks, sufiks, konfiks, dan simulfiks. Berikut pengertiannya menurut Alwi dll., (1998): (1) Prefiks disebut juga awalan. Prefiks adalah afiks yang ditempatkan di bagian muka suatu kata dasar. Istilah ini berasal dari bahasa Latin praefixus yang berarti melekat
(fixus, figere)
sebelum sesuatu (prae). Contoh: ajar + meN- = mengajar (2) Sufiks atau akhiran adalah afiks yang digunakan di bagian belakang kata. Istilah ini juga berasal dari bahasa Latin suffixus yang berarti melekat (fixus, figere) dibawah (sub). Contoh: ambil + -kan = ambilkan (3) Infiks atau sisipan adalah afiks yang diselipkan di tengah kata dasar. Dalam bahasa Latinnya adalah infixus yang berarti melekat (fixus, figere) di dalam (in). Contoh: getar + -em- = gemetar (4) Konfiks disebut juga ambifiks atau sirkumfiks. Menurut Alwi dll. (1998:32) konfiks adalah gabungan prefiks dan sufiks yang membentuk suatu kesatuan dan secara serentak diimbuhkan.
40
Contoh: ke-an + sibuk = kesibukan (5) Simulfiks, definisinya dapat dilihat dari asal katanya dalam bahasa
Latin
simulatus
(bersamaan,membentuk)
dan
fixus
(melekat). Menurut Kridalaksana dll. (1985: 20), simulfiks adalah afiks yang dimanifestasikan dengan ciri-ciri segmental yang dileburkan pada bentuk dasar. Dalam bahasa Indonesia, simulfiks dimanifestasikan dengan nasalisasi dari fonem pertama suatu bentuk dasar. Simulfiks masih dianggap hanya terdapat dalam bahasa Indonesia tidak baku, Contoh: kopi = ngopi
b. Abreviasi (Pemendekan) Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:3) abreviasi adalah pemendekan bentuk
sebagai
pengganti
bentuk
yang
lengkap; bentuk singkatan tertulis sebagai pengganti kata atau frasa. Hal yang senada dikemukakan oleh Arifin & Junaiyah (2009), abreviasi merupakan proses morfologis yang berupa penanggalan satu atau beberapa satuan kata atau kombinasi kata, sehingga membentuk
kata
baru.
Istilah
lain
untuk abreviasi adalah
pemendekan, sedang hasil prosesnya disebut kependekan. Sejalan dengan pendapat Arifin dan Junaiyah, Kridalaksana (1993:1) menyatakan bahwa abreviasi merupakan proses morfologis
41
berupa penanggalan satu atau beberapa bagian dari kombinasi leksem sehingga terjadi bentuk baru yang berstatus kata. Abreviasi ini menyangkut penyingkatan, pemenggalan, akronimi, kontraksi, lambang huruf. Berdasarkan pendapat para linguis di atas penulis berkesimpulan abreviasi adalah proses penanggalan bagian-bagian leksem atau gabungan leksem sehingga menjadi sebuah bentuk singkat, tetapi maknanya tetap sama dengan makna bentuk utuhnya. Pemendekan merupakan proses yang cukup produktif dan terdapat
hampir
pada
semua
bahasa.
Produktifnya
proses
pemendekan ini karena keinginan untuk menghemat tempat (tulisan) dan tentu juga ucapan. Dalam bahasa Indonesia pemendekan ini menjadi sangat produktif adalah karena bahasa Indonesia seringkali tidak mempunyai kata untuk menyatakan suatu konsep yang agak pelik. Sebagaimana diuraikan di atas, abreviasi terdiri dari berbagai jenis, yaitu: (1)
Pemenggalan, yaitu proses pemendekan yang mengekalkan
salah satu bagian kata atau leksem, seperti prof. (profesor), bu (Ibu), pak (Bapak), dan sebagainya. (2) Kontraksi, yaitu proses pemendekan yang meringkaskan kata atau leksem dasar atau gabungan kata atau leksem dasar, seperti tak (dari tidak), takkan (dari tidak akan), berdikari (dari berdiri di atas
42
kaki sendiri), dan sebagainya; (3) Akronim, yaitu pembentukan kata melalui penggabungan hurufhuruf awal urutan kata atau bagian tertentu dari kata-kata yang berurutan, misalnya kata rakor (rapat koordinasi), mabes (markas besar), polwan (polisi wanita), dan sebagainya; (4) Penyingkatan, yaitu salah satu proses pemendekan berupa huruf atau gabungan huruf, yang dieja huruf demi huruf, seperti DKI (daerah Khusus Ibukota), MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) dsb. (dan sebagainya).). (5) Lambang huruf, yaitu proses pemendekan yang menghasilkan satu huruf atau lebih yang
menggambarkan
konsep
dasar
kuantitas, satuan, atau unsur, seperti kg (kilogram), l (liter), dan sebagainya.
1.2.3.6 Bahasa Remaja Saat ini penggunaan bahasa Indonesia di kalangan anak remaja agak berbeda dengan bahasa Indonesia yang 'baik dan benar'. Salah satu syarat bahasa yang baik dan benar adalah pemakaian bahasa yang mengikuti kaidah yang dibakukan atau dianggap baku" atau "pemanfaatan ragam yang tepat dan serasi menurut golongan penutur dan jenis pemakaian bahasa (Badudu, 1985). Ragam yang digunakan
43
dalam bahasa remaja termasuk ragam santai sehingga bahasanya tidak terlalu baku. Ketidakbakuan tersebut tercermin dalam kosa kata, struktur kalimat dan intonasi. Misalnya, dalam pilihan kata gimana digunakan untuk mengganti kata bagaimana, napa untuk kenapa Untuk menghindari pembentukan kata dengan afiksasi, bahasa remaja menggunakan proses nasalisasi dan ada pula yang diiringi dengan penambahan akhiran -in seperti ngerusakin untuk merusak atau juga kata menguntungkan menjadi nguntungin. Kosakata yang dimiliki bahasa remaja sangatlah kaya. Kosakata bahasa remaja dapat berupa pemendekan kata, penggunaan kata alami diberi arti baru atau kosakata yang serba baru dan berubahubah. Disamping itu bahasa remaja juga dapat berupa pembalikan tata bunyi, kosakata yang lazim dipakai di masyarakat menjadi aneh, lucu, bahkan ada yang berbeda makna sebenarnya. Bahasa remaja dapat dikenal secara luas melalui peran media massa, seperti media cetak dan media elektronik. Pada media cetak, bahasa remaja banyak digunakan dalam majalah, novel, cerpen, dan tabloid. Sedangkan dalam media elektronik, bahasa remaja kerap kita temukan dalam bahasa di sms, radio, televisi dan internet. Kalau kita perhatikan bahasa yang digunakan kaum remaja dan
mencoba memahaminya, tidak jarang kaum yang tidak dapat
dikatakan remaja lagi akan bingung, heran bahkan pusing karena tidak dapat mengerti apa yang diucapkan atau pun yang ditulis pada waktu
44
mereka berbicara dalam keadaan santai diantara mereka sendiri. Tampaknya bahasa yang digunakan itu merupakan bahasa yang biasa kita pakai sehari- hari atau campuran antara bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing. Dari bahasa yang digunakan ini ada sejumlah kosa kata yang dapat dipahami, tetapi ada yang tidak dapat dipahami. Hal inilah yang sangat merisaukan masyarakat yang sama sekali tidak paham akan bahasa remaja ini sehingga menganggap bahwa mereka ini merusak bahasa Indonesia baku. Bahasa remaja memang tidak pernah tetap, atau dengan kata lain selalu berganti-ganti, sesuai dengan sifat remaja itu sendiri yang memang belum mapan. Perubahannya itu tidak dapat diramalkan, juga tidak oleh para remaja itu sendiri. Secara lingual perbedaan bahasa remaja dengan anggota kelompok masyarakat yang lain, dapat dilihat dalam berbagai tataran kebahasaannya, seperti tataran fonologi, tataran morfologi, tataran sintaksis, dan tataran leksikon, bahkan mungkin tataran yang lebih tinggi, seperti paragraf dan wacana. Masyarakat
sebagai
lingkungan
tersier
(ketiga)
adalah
lingkungan terluas bagi remaja sekaligus paling banyak menawarkan piulihan. Terutama dengan maju pesatnya teknologi komunikasi massa, maka hampir-hampir tidak ada batas-batas geografis, etnis,
45
politis maupun sosial antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain (Sarwono,2010, 159). Masih menurut Sarwono (2010) bahasa remaja (kata-katanya diubah-ubah sedemikian rupa sehingga hanya bisa dimengerti di antara mereka) bisa dipahami oleh hampir seluruh remaja di tanah air yang terjangkau oleh media massa, padahal istilah– istilah tersebut berkembang, berubah, dan bertambah hampir setiap hari. Teknologi komunikasi massa yang mempunyai andil paling besar dalam memperkenalkan bahsa remaja adalah media elektronik, salah satunya melalui internet. Penulis melihat ada gaya bahasa tertentu yang digunakan para remaja itu dalam berkomunikasi. Ragam bahasa remaja merupakan kreativitas dalam bahasa yang dilatarbelakangi oleh faktor sosial yang terdapat dalam kehidupan masyarakat pembacanya. Faktor sosial itu berdasarkan pada usia, tingkat pendidikan, jenis kelamin, profesi,
dan
sebagainya.
Penerapan bahasa remaja belum banyak diketahui oleh orang lain di luar pemakainya sebab bahasa remaja memiliki karakteristik tertentu yang hanya berlaku pada bahasa tersebut dan diketahui oleh penggunanya. Ada berbagai pemakaian kata dalam bahasa remaja pada, misalnya pemakaian kata hbd, brownis, japri, curcol, lola, lagdim, maksi, tpaksa, ngedengerin, lupain, harkos dan sebagainya. Bahasa unik ini sudah terlanjur membudaya khususnya di kalangan anak-anak
46
remaja. Mereka gemar menyingkat kata, sesuka hatinya mereka membuat perbendaharaan kata sendiri dan tak ada yang mampu menerjemahkan bahasa aneh ini selain mereka. Kekhawatiran banyak orang bahwa bahasa remaja akan “merusak” bahasa Indonesia memang beralasan, tetapi menurut Chaer (1993) tidak perlu dibesar-besarkan, sebab tampaknya para remaja juga tahu kapan harus menggunakan ragam santai dan kapan pula harus menggunakan ragam baku. Kalau di dalam berbahasa formal mereka banyak melakukan kesalahan yang mereka buat sama saja dengan kesalahan remaja lain yang kuper, alias tidak mengenal bahasa prokem, atau kesalahan yang dibuat masyarakat lain. Menurut Bloomfield (1933) faktor pendukung terjadinya perubahan bahasa itu antara lain: letak geografis, stratifikasi sosial/kelas sosial, level pendidikan, gender, usia, dan solidaritas sosial. Fenomena perubahan bahasa banyak terdapat dalam kehidupan sosial. Bahasa dapat linguistik
seperti
(Malmkjaer, 1991).
berubah fonologi,
jika
dilihat
dari
aspek-aspek
morfologi, sintaksis, dan semantik
47
1.2.4 Percakapan 1.2.4.1 Komunikasi Kelompok Kelompok adalah sekumpulan orang yang mempunyai tujuan bersama yang berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama, mengenal satu sama lainnya, dan memandang mereka sebagai bagian dari kelompok tersebut (Deddy Mulyana, 2005). Kelompok ini misalnya adalah keluarga, kelompok diskusi, kelompok pemecahan masalah, atau suatu komite yang tengah berapat untuk mengambil suatu keputusan. Dalam komunikasi kelompok, juga melibatkan komunikasi antarpribadi. Karena itu kebanyakan teori komunikasi antarpribadi berlaku juga bagi komunikasi kelompok. Dalam penelitian ini teknik-teknik komunikasi yang digunakan oleh sekelompok siswa dalam proses komunikasi menggunakan komunikasi antar manusia atau komunikasi insani atau yang biasa juga disebut “human communication”. Human communication dalam beberapa buku komunikasi sering juga disebut dengan Komunikasi Insani.
Human communication terdiri
dari
beberapa konteks
komunikasi antara lain seperti : komunikasi dua orang atau komunikasi antar pribadi, wawancara, komunikasi kelompok, komunikasi publik, komunikasi organisasional, komunikasi massa dan komunikasi antar budaya.
Dalam
communication,
penelitian
ini
digunakan
konteks
human
yang akan digunakan hanya dua saja yaitu
komunikasi kelompok dan komunikasi antar pribadi.
48
Seperti yang disebutkan oleh Prof. Onong dalam bukunya Ilmu teori dan filsafat komunikasi. Komunikasi kelompok (Group Communication) berarti komunikasi yang berlaku antara seorang komunikator dengan sekelompok orang yang jumlahnya lebih dari empat orang6.
Apabila jumlah orang yang ada dikelompok itu sedikit yang berarti kelompok itu kecil, komunikasi yang berlangsung disebut komunikasi kelompok kecil (small group communication) contohnya seperti arisan ; jika jumlahnya banyak, yang berarti kelompoknya besar digunakan komunikasi kelompok besar (large group communication) contohnya : seperti kelompok penggemar music rock. Didalam kelompok memungkinkan individu dapat berbagi informasi, pengalaman dan pengetahuan kita dengan anggota kelompok lainnya. Selain itu komunikasi kelompok juga dapat berfungsi secara efektif jika antar komunikannya saling menyukai. Dalam penelitian ini , penulis meneliti proses komunikasi yang terjadi di dalam kelompok siswa-siswi SMA 57. Namun bukan hanya dalam komunikasi kelompok saja yang diteliti, tapi juga komunikasi antar pribadi. Karna dalam kedua jenis komunikasi tersebut, remaja (siswa-siswi SMA 57) memilih untuk menggunakan bahasa gaul, dalam proses komunikasi mereka.
6
Prof. Onong Uchjana Effendy.,M.A. Ilmu Komunikasi Dan Filsafat Komunikasi, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal 75
49
1.2.4.2 Interaksi Simbolik Sejarah Teori Interaksionisme Simbolik merupakan pemikiran dari George Herbert Mead (1863-1931). Mead membuat pemikiran orisinal yaitu "The theoretical Perspective" yang merupakan cikal bakal "Teori Interaksi Simbolik". Karakteristik dasar ide ini adalah suatu hubungan yang terjadi secara alami antara manusia dalam masyarakat dengan individu. Interaksi yang terjadi antar individu berkembang melalui simbol-simbol yang mereka ciptakan. Realitas sosial merupakan rangkaian peristiwa yang terjadi pada beberapa individu dalam masyarakat. Interaksi yang dilakukan antar individu itu berlangsung secara sadar. Interaksi simbolik juga berkaitan dengan gerak tubuh, antara lain suara atau vokal, gerakan fisik, dan ekspresi tubuh, yang kesemuanya itu mempunyai maksud dan disebut dengan simbol. Proporsi paling mendasar dari interaksi simbolik adalah perilaku dan interaksi manusia, itu dapat diperbedakan karena ditampilkan lewat simbol dan maknanya. Mencari makna tersembunyi menjadi penting didalam interaksi simbolik. Secara umum ada enam proporsi yang dipakai dalam konsep interaksi simbolik, yaitu: 1. Perilaku manusia mempunyai makna dibalik yang menggejala.
50
2. Pemaknaan kemanusiaan perlu dicari sumbernya pada interaksi sosial manusia. 3. Masyarakat manusia itu merupakan proses yang berkembang holistok, tak terpisah, tak linier dan tak terduga. 4. Perilaku
manusia
itu
berlaku
berdasarkan
penafsiran
fenomenologi, yaitu berlangsung atas maksud, pemaknaan, dan tujuan, bukan didasarkan atas proses mekanik dan otomatik. 5.
Konsep mental manusia itu berkembang, dialektik.
6. Prilaku manusia itu wajar dan konstruktif reaktif. Menurut Blumer, pokok pemikiran interaksi simbolik ada 3 : 1. Bahwa manusia bertindak (act) terhadap sesuatu (thing) atas dasar makna (meaning) 2. Makna itu berasal dari interaksi sosial seseorang terhadap sesamanya 3. Makna itu diberlakukan
atau diubah melalui suatu proses
penafsiran (interpretative process), yang digunakan orang dalam menghadapai sesuatu yang dijumpainya. Blumer hendak menyampaikan bahwa makna yang muncul dari interaksi , tidak begitu saja diterima oleh seseorang, namun ditafsirkan terlebih dahulu. Prinsip dalam metodologi interaksi simbolik ini meliputi beberapa hal penting berkaitan dengan penelitian terhadap manusia dan
51
masyarakat, dan perihal simbol-simbol dan pencarian makna-makna yang terkandung didalamnya yaitu : 1. Simbol dan interaksi itu menyatu. Tak cukup hanya merekam fakta, tapi terpenting menccari konteks sehingga dapat ditangkap simbol dan maknanya. 2. Karena simbol dan makna tak lepas dari sikap pribadi, maka jati diri subjek perlu ditangkap. Pemahaman mengenai jati diri subjek yang demikian adalah penting. 3. Peneliti harus sekaligus mengaitkan antara simbol dengan jati diri subjek dengan lingkungan yang menjadi hubungan sosialnya. 4. Hendaknya direkam situasi yang menggambarkan simbol dan maknanya, bukan hanya merekam fakta sensual saja. 5. Metode-metode
yang
digunakan
hendaknya
mampu
merefleksikan bentuk prilaku dan prosesnya. 6. Metode yang hendak dipakai, mampu menagkap makna dibalik interaksi. 7. Sensitizing, yaitu sekedar mengarahkan pemikiran yang cocok dengan interaksi simbolik dan ketika memasuki lapangan perlu dirumuskan menjadi hal yang lebih operasional, yakni scientific concept.7
7
Sudikin, Basrowi, Metode Penelitian Kualitatif Perspektif Mikro, Insan Cendekia, Surabaya, hal 110
52
Penulis melihat penggunaan teori interaksi simbolik didalam penelitian ini tepat adanya. Melihat dari prinsip metodologi interaksi simbolik diatas, penulis mengharapkan tidak hanya melihat fenomena penggunaan
bahasa
gaul
saja,
tetapi
juga
melihat
fungsi
penggunaannya dengan kelompok sosial para remaja. Dan bagaimana pergerakan makna yang terkandung dibalik simbol-simbol bahasa gaul tersebut.
53
1.2.5 Bagan Kerangka Pemikiran
BAHASA INDONESIA TEORI PERKEMBANGAN BAHASA
BAHASA GAUL
INTERAKSI SIMBOLIK
REMAJA
PERCAKAPAN
MAKNA BAHASA
MENGGUNAKAN
GAUL BAGI
BAHASA GAUL
REMAJA DALAM PERGAULAN
PROSES MORFOLOGI
PERGESERAN MAKNA