BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Pengambilan Keputusan 2.1.1.1. Pengertian Terry (dalam Hasan, 2002) mengungkapkan bahwa pengambilan keputusan adalah pemilihan alternatif perilaku (kelakuan) tertentu dari dua atau lebih alternatif yang ada.
Pengambilan keputusan didefinisikan secara universal
sebagai pemilihan alternatif (Luthans, 2006). Pengambilan keputusan menurut Baron dan Byre (Dewi, 2011), merupakan suatu kegiatan yang berkaitan dengan pemecahan masalah, dalam proses pemecahan masalah itu seseorang dihadapkan pada alternatif pilihan dan diharuskan mengambil keputusan. Menurut Salusu (dalam Purba, 2007) bahwa pengambilan keputusan adalah suatu proses memilih alternatif cara bertindak dengan metode efisien sesuai situasi. Ketika keputusan sudah dibuat, sesuatu yang baru mulai terjadi. Sedangkan menurut Desmita (2005), bahwa pengambilan keputusan (decisions making) merupakan salah satu bentuk perbuatan berpikir dan hasil dari perbuatan berpikir. Keputusan adalah pengakhiran daripada proses pemikiran dan sebagai
sesuatu yang merupakan penyimpangan daripada yang dikehendaki, direncanakan, atau dituju, dengan menjatuhkan pilihan pada salah satu alternatif pemecahannya. Dari kelima definisi yang telah diungkapkan pleh para ahli di atas, maka peneliti mengambil kesimpulan bahwa pengambilan keputusan adalah suatu proses pemilihan alternatif terbaik dari beberapa alternatif yang ada sebagai cara pemecahan suatu masalah.
2.1.1.2. Fungsi Pengambilan Keputusan Masalah inti dari pengambilan keputusan ada dua yakni (Atmosudirjo, 1982) : a.
Keputusan itu merupakan pangkal atau permulaan dari semua macam aktivitas manusia yang sadar dan terarah, baik secara individual maupun secara berkelompok, secara institionil atu organisasionil. Jadi, barang siapa menghendaki adanya aktivitas-aktivitas tertentu, maka ia harus mampu dan berani mengambil keputusan-keputusan yang bersangkutan dengan jitu , dan setepat-tepatnya.
b.
Keputusan itu bersifat futuristic, artinya : mengenai hari kemudian, efeknya akan berlangsung atau bergema sehari-hari yang akan datang.
2.1.1.3. Proses Pengambilan Keputusan Proses pengambilan keputusan dari Row dan Mason (dalam Murti, 2006) di uraikan pada gambar 2.1. External Stimuly
Decision Maker Perception
Cognition / understanding
Choice of the Decision
Response and Result Achieved
Internal Stimuly Gambar 2.1. Proses Pengambilan Keputusan dari Row dan Mason Proses pengambilan Keputusan pada gambar tersebut secara rinci dapat diuraikan sebagai berikut: a. Stimulus (External/Internal Stimuly) Stimulus di sini dapat berasal dari lingkungan eksternal (organisasi, tuntutan tugas, dan sebagainya) maupun internal (kebutuhan pribadi, perasaan terancam, dan sebagainya) yang merupakan informasi sebagai dasar penyebab munculnya suatu masalah. Hal ini dapat terjadi karena adanya kesempatan atau peluang (opportunities) b. Persepsi Pengambilan Keputusan (Decision Maker Perception) Seperti telah diulas sebelumnya, bahwa perlu diperhatikan konteks dan kapasitas individu dalam mengambil keputusan. Dalam konteks organisasi, maka
seorang pengambil keputusan yang berposisi sebagai manajeratau pemimpin dapat dipengaruhi oleh empat kekuatan, yaitu: lingkungan eksternal, situasi organisasi itu sendiri, tuntutan tugas dan kebutuhan-kebutuhan pribadi. Faktor ini tidak dapat dielakan. Dan berpengaruh pada aktivitas individu sebagai manajer, dimana salah satu aktivitasnya adalah mengambil keputusan. Faktor lain yang cukup penting adalah nilai-nilai (values), yang merupakan bagian-bagian tak terpisahkan dalam kehidupan individu dan corak berpikirnya. Nilai-nilai ini berkembang sejak awal kehidupan seoseorang, yang menentukan pandangannya terhadap sesuatu yang baik dan buruk, dan merefleksikan dorongan individu terhadap suatu situasi serta mengarahkannya sebagai kriteria atau standar normatif yang berpengaruh pada pilihan seseorang terhadap sejumlah alternatif dalam mengambil keputusan. Dalam rangkaian proses pengambilan keputusan, faktor-faktor yang telah disebutkan di atas akan mewarnai persepsi individu terhadap stimulus. Melalui persepsi, individu akan menyaring informasi-informasi dari stimulus dan akan mengikatnya dengan tujuan-tujuannya. Di sini keempat faktor tadi ikut mewarnainya. Di samping itu, frame of reference individu juga berpengaruh pada persepsi individu. Dengan frame of reference atau kerangka rujukan yang berasal dari pengalaman-pengalamannya, pada diri individu akan terbentuk struktur psikologis yang mewarnai bagaimana individu tersebut merespon stimulus yang datang.
c. Berpikir/Pemahaman (Cognition/Understanding) Tahap ini merupakan bagian dimana kegiatan penalaran (reasoning) berlangsung secara intens. Menurut DuBrin (dalam Murti, 2006) pada tahap proses pengambilan keputusan, kegiatan ini mencakup tiga tahap pertama dari proses, yaitu klarifikasi permasalahan, menemukan alternatif, dan pembobotan alternatif. Stimulus yang masuk dalam bentuk informasi mengalami pemprosesan. Frame
of
reference
mengklarifikasikan
berperan
permasalahan
aktif atau
dalam
memformulasikan
mengidentifikasikan
atau
permasalahan
sehingga diperoleh batasan permasalahan (problem definition). Rowe & Boulgarides (dalam Murti, 2006) mengemukakan bahwa kegiatan mengidentifikasikan masalah merupakan aspek kritis dari pengambilan keputusan, karena akan menentukan proses pengambilan keputusan selanjutnya. Di sini individu berpikir mengenai bagaimana/cara menghadapi permasalahan tersebut. Melalui analisianya yang berkaitan dengan motivasi, risiko, biaya, dan asumsiasumsi, individu mengembangkan masalah dalam bentuk keputusan-keputusan. Dalam proses ini mungkin saja terjadi perubahan atau pengembangan pada batasan masalah. d. Memilih Keputusan (Choice of the Decision) Tahap selanjutnya
adalah memilih
dari sejumlah alternatif
yang
dikembangkan sebelum menjadi suatu keputusan. Menurut Rowe & Bulgarides (dalam Murti, 2006) dalam memilih suatu keputusan dari sejumlah alternatif, daya timbang (judgement), intuisi, dan pengalaman, memegang peran penting, terutama
pada situasi yang majemuk dimana individu tidak mungkin menguji seluruh alternatif yang dikembangkan. e. Respon dan Pencapaian Hasil (Response and Result Achieved) Setelah alternatif dipilih dan menjadi keputusan, selanjutnya adalah mengimpementasikannya sebagai respon terhadap masalah yang menjadi stimulus dan mengusahakan tercapainya hasil sesuai tujuan. Menurut Rowe & Mason (dalam Murti, 2006) dalam proses pengambilan keputusan melibatkan perhatian pada bagaimana otak individu digunakan untuk memproses informasi, memecahkan masalah, membuat keputusan, dan mengambil tindakan untuk mencapai hasil. Hal ini mencakup tekanan-tekanan dari faktor eksternal termasuk tuntutan tugas dan lingkungan organisasi, serta kebutuhan-kebutuhan pribadi (personal needs). Hal yang paling penting adalah bagaimana cara individu menangkap informasi dan bagaimana bereaksi terhadap stimulus yang di persepsikan oleh individu tersebut. Dalam mengamati stimulus, individu mengalami apa yang diistilahkan dengan perceptual bias yang disebabkan oleh pengalamanpengalaman sebelumnya. nilai-nilai (values), atau rasa aman (sense of security), yang kesemuanya ini berpengaruh pada apa yang ingin dilihat individu dan memberikan respon terhadapnya. Dalam proses pengambilan keputusan terdapat dua aspek yang berkaitan. Pertama, berhubungan dengan hakekat dari otak (berpikir) individu dalam
memproses informasi dan memecahkan masalah. Aspek kedua adalah bagaimana individu mengimplementasikan keputusan yang telah diambilnya.
2.1.1.4. Faktor-faktor
yang
Mempengaruhi
Proses
Pengambilan
Keputusan Kendal dan Montgomery (dalam Dewi, 2011) mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan yaitu: a.
Preference
: keinginan, minat, impian, harapan, tujuan.
b.
Beliefs
: pembuktian dari apa yang diyakini atau dijadikan acuan.
c.
Emotion
: reaksi positif atau negatif terhadap situasi yang berbeda.
d.
Circumstances : peristiwa eksternal, pengaruh dari orang lain.
e.
Action
: interaksi aktif dengan lingkungan dalam mencari informasi, membuat rencana, dan mengambil komitmen.
Dari faktor-faktor di atas dapat dilihat bahwa dalam mengambil suatu keputusan seseorang didorong oleh beberapa faktor, yaitu keinginan, nilai dari keputusan itu, bukti hal yang diyakini, reaksi terhadap situasi, pengaruh dari orang lain dan interaksi aktif dengan lingkungan.
2.1.1.5. Pengambilan Keputusan dalam Berbagai Kondisi Menurut Fahmi (2010) ada tiga kondisi dalam mengambil keputusan, yaitu : a. Kondisi Pasti Dalam kondisi ini proses pengambilan keputusan yang dilakukan adalah berlangsung tanpa ada banyak alternatif atau pilihan, keputusan yang diambil sudah jelas pada fokus yang dituju. b. Kondisi Tidak Pasti Pada kondisi seperti ini proses lahirnya keputusan sulit atau lebih kompleks. Artinya keputusan yang dibuat belum diketahui nilai probabilitas atau hasil yang mungkin diperoleh. c. Kondisi Konflik Pada kondisi ini, pengambilan keputusan yang dilakukan akan menimbulkan dampak yang mungkin saja dapat merugikan salah satu pihak. Dalam keadaan seperti ini lahirnya keputusan bertentangan antara satu pihak dengan pihak lain. 2.1.2. Karir 2.1.2.1. Definisi Karir “Career is the course of events which constitues a life, the sequence of occupations, and other life roles which combine to express one’s commitment to work in his or her life total pattern of self development”
“Karir adalah perkembangan atau kemajuan dalam kehidupan, pekerjaan, jabatan dan sebagainya” (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2012) Berdasarkan beberapa definisi diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa karir adalah sebuah jalan yang menentukan arah kehidupan untuk mencapai perkembangan diri yang maksimal. Jalan tersebut haruslah ditempuh dengan bekerja dan melakukan perkembangan-perkembangan sesuai dengan peran yang dibutuhkan dimana seringkali diperlukan campuran dari berbagai macam peran untuk menjalani pekerjaan tersebut. Untuk mencapai tujuan akhir dari jalan itu tentunya dibutuhkan waktu yang tidak pendek, karena itu karir akan banyak mendominasi pola hidup seseorang.
2.1.2.2. Faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Karir Menurut teori belajar sosial, dengan tokohnya, Krumboltz (1976), faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan untuk memilih karir adalah : 1. Bawaan genetis dan kemampuan khusus Karakteristik bawaan dapat menjadi pengaruh yang restriktif, misalnya seperti ras, gender, serta penampilan fisik. Untuk pengaruh gender, Astin (1984) dan huston (1983), menjelaskan bahwa sosialisasi pada masa early childhood mengarahkan individu pada perbedaan gender. Seperti misalnya permainan yang kompetitif untuk anak lakilaki dan boneka untuk anak perempuan.
2. Kondisi lingkungan serta kejadian-kejadian yang terjadi di lingkungan Yang dimaksud kondisi lingkungan disini adalah hal-hal yang ada disekitar individu, yang secara langsung akan mempengaruhi pemilihan karir. Seperti pengalaman
organisasi
sosial,
pendidikan,
pengaruh
komunikasi
cukup
berpengaruh dalam pemilihan karir. Selain itu kondisi-kondisi yang ada di luar kontrol
individu,
seperti
gempa,
krisis
moneter
nasional,
juga
dapat
mempengaruhi pemilihan karir. 3. Pengalaman belajar Pengalaman belajar mempengaruhi perasaan individu terhadap diri sendiri, terhadap dunia, dan perasaan terhadap diri sendiri yang berada di tengah-tengah dunia, yang tentunya akan mempengaruhi arah karir yang akan di ambil. Individu belajar melalui persepsi dan interpretasi akan apa yang terjadi ketika ia dan sesamanya berinteraksi dengan dunia. Ada dua macam cara belajar yang dapat berpengaruh pada pemilihan karir di kemudian hari: Instrumental learning experiences Yaitu, situasi-situasi yang saling berhubungan dimana individu beraksi atas lingkungan untuk menghasilkan konsekuensi tertentu. Hal ini akan mempengaruhi pilihan karir dan tingkah laku seseorang dalam bekerja. Assosiative learning experiences
Yaitu, situasi-situasi dimana individu belajar untuk beraksi terhadap stimulus eksternal dengan mengamati model yang nyata maupun yang tidak nyata, atau dengan membandingkan kejadian-kejadian. 4. Task Approach Skill Adalah keahlian individu yang diberikan pada setiap tugas yang berpengaruh pada hasil kerja termasuk standar performance dan values, kebiasaan kerja, serta kemampuan persepsi dan proses kognitif dalam memilih, symbolic rehearsing, coding dan kemampuan lainnya yang berhubungan juga dengan cara individu berhadapan dengan kehiduannya sehari-hari. 2.1.3. Tari dan Penari Tradisional 2.1.3.1. Definisi Tari Tradisional Menurut Edy Sedyawati, tari adalah ekspresi jiwa manusia melalui gerak yang dilakukan dengan gerak yang ritmis dan indah. Dan menurut R.M. Sudarsono, tari tradisional adalah tari rakyat yang mengalami proses lama, walaupun kadar artistiknya tidak terlalu tinggi. Tari tradisional adalah suatu tarian yang menggabungkan semua gerakan yang mengandung makna tertentu. Pada tari tradisional mengandalkan ketepatan musik, keluwesan gerak, kekompakan gerakan, dan pengaturan komposisi. Pada gerak tari tradisional, biasanya pada setiap tarian mempunyai gerakan yang sama dan gerak tradisional tidak bisa diubah seperti tari modern. Walaupun tari tradisional mempunyai ferak yang sama, tetapi pada tiap-tiap tarian berubah susunan gerakannya.
Pada tari tradisional mempunyai gerakan-gerakan dasar, antara lain :
Gerak Mendhak, yaitu kaki yang membentuk huruf O dengan cara lutut membukia lebar.
Gerak Nyekithing, yaitu pertemuan antara jari telunjuk yang ditekuk dengan bertemu ibu jari.
Gerak Ngrayuh, yaitu ibu jari yang di tekuk dan 4 jari lainnya di tegakan, dsb
2.1.3.2. Tari Tradisional di Indonesia Indonesia adalah negara yang kaya dengan adat istiadat dan budaya. Lebih dari 700 suku bangsa dengan keunikan budayanya masing-masing mendiami wilayah nusantara ini. Setiap suku bangsa memiliki tradisi, pakaian adat, makanan tradisional hingga tarian tradisional sendiri. Diketahui, Indonesia memiliki lebih dari 300 jenis tarian tradisional dari berbagai suku bangsa. Setiap tarian tradisional ini memiliki ciri khas dan filosofi tersendiri. Tarian tradisional Indonesia digolongkan dalam dua kategori. Yaitu kategori
berdasarkan
sejarah
dan
kategori
berdasarkan
pelindung
dan
pendukungnya. Berdasarkan kategori sejarah, tarian tradisional Indonesia terbagi dalam tiga era, yaitu : era pra sejarah, era kerajaan Hindu dan Budha dan era kebudayaan Islam. Sementara berdasarkan kategori pelindung dan pendukungnya, tarian
tradisional ini dibagi dalam dua yaitu kelompoknkeraton dan kelompok rakyat. Tarian keraton didukung dan dilindungi oleh kaum keraon atau kaum bangsawan, Sementara tarian rakyat didukung, dilindungi dan dikembangkan oleh rakyat. Salah atu contoh tarian tradisional Indonesia yang sangat berkembang ialah tari Saman yang berasal dari Aceh. Aceh adalah salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di ujung pulau Sumatra. Provinsi ini terkenal dengan nuansa islamnya yang sangat kental. Sehingga mendapat julukan sebagai ”Serambi Mekah”. Karena itu tarian tradisional Indonesia yang berasal dari daerah ini pun sangat dipengaruhi oleh budaya Islam. Tarian tradisional Indonesia dari Aceh yang paling terkenal adalah Tari Saman. Tarian ini merupakan tarian asli dari dataran tinggi Gayo. Konon nama “Saman” yang digunakan untuk menyebut nama tarian ini, diambil dari nama salah satu Ulama di Aceh yaitu Syech Saman. Tarian ini biasanya ditampilkan pada acara peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. Pada zaman dahulu, tarian ini biasanya ditampilkan pada acara-acara penting adat yang diselenggarakan oleh masyarakat Aceh. Tarian ini sangat unik, karena ditampilkan tanpa diiringi alat musik melainkan hanya dengan nyanyian yang di nyanyikan oleh seorang Syech dan diikuti oleh para penari.
2.1.3.3. Penari Tradisional Di Indonesia, tugas untuk menjadi penari tradisional menjadi lebih kompleks karena kekayaan fungsi dan bentuk tari kita yang beragam. Banyak tarian-tarian daerah yang masih dipertunjukan dalam berbagai fungsi upacara, perayaan, dan festival tradisional yang berkaitan erat dengan nilai-nilai hidup dan kepercayaan masyarakat setempat. Banyak pertunjukan tari tradisional yang memiliki ideal estetik yang khas yang tercermin dari bentuk koreografi serta tuntutan latiha ragawi dan kematangan jiwa seorang penari. Dalam tari Jawa dan Bali misalnya, seorang penari dituntut menguasai tiga aspek gerak : wiraga, wirasa, dan wirama. Yang dimaksud dengan wiraga ialah keterampilan menggerakkan tubuh sesuai dengan tuntutan repertoar tari. Wirasa ialah penghayatan gerak sesuai dalam bergerak karakter tari. Sedangan Wirama adalah rasa musikal di dalam tubuh serta dalam bergerak mengikuti musik iringan tari. Gaya tari berbeda menurut waktu dan tempat, tetapi dari setiap stilisasi menuntut kejelasan bentuk dan kaitan/dukungannya terhadap citra yang hendak diwujudkan. Stilisasi gerak yang jelas dan konsisten akan menghasilkan style atau gaya tari yang terkait dengan daerah budaya, kurun waktu, atau pribadi penata tari. Mengutio Lincoln Kirstein, tarian yang disajikan di atas panggung profesional haruslah memenuhi teatrikal (theatrically legibe) dan tuntutan ini dipenuhi dengan stilisasi. Seperti dalam penyataan Lincoln Kirsten dalam buku a Prolegomenon to an Aesthetics of Dance, yaitu “Gerakan-gerakan isyarat yang
sanga alami memiliki cukup makna bagi para pelaku di atas pentas, tetapi gagal membangun imaji-teatrikal yang dituntut bagi penghayatan penonton”. Gerakan penari di atas pentas nampak indah karena dirancang dengan cermat dari tiga aspeknya: ruang, waktu, dan dinamika Dengan perkataan lain, gerak tari memiliki disain keruangan dan disain temporal. Keduanya dicapai melalui
stilisasi gerak yang menuntut kejelasan dan menantang (clarity and
challenge). Derajat kerumitan gerak sebuah tarian ditentukan oleh jenis atau pendekatan koreografisnya. Pada umumnya, gerak-gerak tarian abstrak dapat dirancang lebih rumit daripada gerak-gerak tarian dramatik. Sekalipun demikian, tetap saja tarian dramatik juga memerlukan stilisasi jika tidak mau jatuh menjadi self-ekspresi. 2.1.4. Masa Dewasa Awal 2.1.4.1. Fase dan Tugas Perkembangan Dewasa Awal (20-40 tahun) Erikson (Sobur, 2003) mengatakan bahwa pada masa ini, seseorang mulai berdikari (berdiri di atas kaki sendiri). Seseorang mungkin kuliah di tempat lain, menikah, hidup sendiri dalam suatu apartemen atau bekerja di tempat lain. Tema awal masa dewasa awal adalah kemandirian. Menurut Piaget (Papalia et al, 2009) perkembangan kognitif berhubungan dengan penalaran abstrak tingkat tinggi atau berpikir reflektif yaitu jenis berpikir yang muncul pada masa dewasa, melibatkan evaluasi terhadap informasi dan keyakinan secara berkesinambungan dan aktif dengan mempertimbangkan bukti dan implikasi. Kemampuan untuk berpikir reflektif diperkirakan muncul antara
usia 20 dan 25 tahun. Poin lain di tahap yang lebih tinggi pada kognisi orang dewasa disebut pemikiran pascaformal yaitu jenis berpikir matang yang bergantung pada pengalaman subjektif dan intuisi serta logika, berguna dalam menghadap
ambiguitas,
ketidakpastian,
inkonsistensi,
kontradiksi,
ketidaksempurnaan, dan kompromi. Salah satu peneliti handal Jan Sinontt (Papilia et al, 2009) mengusulkan beberapa kriteria pemikiran pascaformal : a.
Shifting gears. Kemampuan berpikir paling tidak dua sistem logika yang berbeda serta saling bergantian antara penalaran abstrak dan pertimbangan yang praktis dan realistis. (“Ini mungkin berhasil di atas kertas, tetapi tidak dalam kehidupan nyata.”)
b.
Problem definition. Kemampuan mendefinisikan suatu masalah dengan memasukkannya ke dalam satu kelas atau kategori pandangan logis, dan mendefinisikan cakupannya. (“ini merupakan masalah etis, bukan legal, sehingga presiden secara hukum tidak akan membantu memecahkan masalah.”)
c.
Process-product shift. Kemampuan melihat bahwa sebuah masalah dapat diselesaikan baik melalui proses dengan penerapan umum dari masalah serupa. (“Dalam hal ini, solusi terbaik yang tersedia adalah .....”)
d.
Pragmatism. Kemampuan memilih yang terbaik dari solusi logis yang mungkin dan mengenali kriteria pemilihan. (“Bila kamu mau solusi termurah, lakukan ini; bila kamu mau solusi tercepat, lakukan itu.”)
e.
Multiple solutions. Kesadaran bahwa kebanyakan masalah memiliki lebih dari satu penyebab, bahwa orang memiliki tujuan yang berbeda-beda, dan bahwa berbagai metode dapat digunakan unutk mendapatkan lebih dari satu solusi. (“mari kita coba cara kamu; bila itu tidak berhasil, kita bisa coba caara saya.”)
f.
Awareness of paradox. Pengenalan bahwa suatu masalah satu solusi berkaitan dengan konflik bawaan. (“Melakukan ini akan memberikan yang ia mau, tetapi akan membuat ia malah tidak bahagia akhirnya.”)
g.
Self-referential thought. Kesadaran seseorang bahwa ia harus menjadi hakim dari logika mana yang harus ia gunakan; dengan kata lain, ia menggunakan pemikiran pascaformal.
2.1.4.2. Perkembangan Kognitif Salah satu dari sedikit peneliti yang mengajukan model rentang kehidupan perkembangan kognitif adalah K. Warner Schaie (1977-1978; Schaie & Wilis, 2000). Model Schaie melihat perkembangan penggunaan intelek dalam konteks sosial. Tujuh tahapnya berkaitan dengan tujuan yang muncul ke permukaan dalam berbagai tahap usia. Tujuan ini bergeser dari penguasaan informasi dan keterampilan (apa yang harus saya ketahui) kepada integrasi praktis pengetahuan dan keterampilan (bagaimana menggunakan apa yang saya ketahui) untuk mencari makna dan tujuan (mengapa saya harus tahu). Berikut ini adalah ketujuh tahapan tersebut : 1. Tahap pencarian (acquisitive stage) [masa kanak-kanak dan remaja]
Anak-anak dan remaja menguasai informasi untuk kepentingan mereka sendiri atau sebagai persiapan berpartisipasi di masyarakat. 2. Tahap pencapaian (achieving stage) [masa remaja akhir atau awal dua puluhan sampai awal tiga puluhan] Para pemuda tersebut tidak lagi mendapatkan informasi bagi kepentingan mereka sendiri; mereka menggunakan apa yang mereka ketahui untuk mengejar target, seperti karier dan keluarga.
3. Tahap pertanggung jawaban (rsponsible stage) [akhir tiga puluhan sampai awal enam puluhan] Orang-orang setengah baya menggunakan pikiran mereka untuk memecahkan masalah praktis yang berkaitan dengan tanggung jawab terhadap orang lain, seperti anggota keluarga atau pekerja. 4. Tahap eksekutif (executive stage) [tiga puluhan atau empat puluhan sampai usia pertengahan] Orang-orang yang berada dalam tahap eksekutif, yang mungkin tumpang tindih dengan tahap pencapaian dan pertanggung jawaban, bertanggung jawab terhadap sistem sosial (seperti pemerintahan atau organisasi bisnis) atau gerakan sosial. Mereka berhadapan dengan relasi kompleks di berbagai level.
5. Tahap reorganisasi (reorganizational stage) [akhir usia pertengahan, mulai di akhir masa dewasa] Orang-orang yang memasuki masa pensiun mereorganisir hidup dan energi intelektual mereka seputar aktivitas bermakna yang menggantikan pekerjaan mereka. 6. Tahap reintegratif (reintegrative stage) [ akhir masa dewasa] Orang dewasa lebih tua, mungkin telah mundur dari beberapa keterlibatan sosial dan yang fungsi kognitifnya mungkin sudah terbatasi oleh perubahan biologis, adalah mereka yang lebh selektif terhadap tugas yang ingin mereka kerjakan. Mereka fokus terhadap tujuan apa yang mereka lakukan dan konsentrasi pada tugas yang paling bermakna bagi mereka. 7. Tahap penciptaan warisan (legacy-creating stage) [usia tua] Mendekati akhir hidup, ketika reintegrasi telah selesai (atau ketika sedang berlangsung), orang yang lebih tua mungkin menciptakan instruksi pewarisan kepemilikan berharga, menbuat pengaturan pemakaman, memberikan cerita lisan, atau menulis cerita hidup mereka sebagai warisan kepada orang yang mereka cintai. Semua tugas ini melibatkan latihan kompetensi kognitif di dalam konteks sosial dan emosional. Dari ketujuh tahapan tersebut, yang dapat dikaitkan pada masa dewasa awal ada pada tahap pencapaian (achieving stage) dimana pada tahap ini mereka mulai untuk mengejar target contohnya pada bidang karier mereka.
2.1.4.3. Kecerdasan Emosional Peter Salovey dan John Mayer (Papalia et al, 2009) menetapkan istilah kecerdasan emosional (EI) yang mengacu pada kemampuan untuk mengenali dan menghadapi perasaan sendiri dan orang lain, sedangkan Daniel Goleman (Papalia, 2009) memperluasnya hingga mencakup beberapa kualitas seperti, optimisme, kecermatan, motivasi, empati, dan kompetensi sosial. Semua emosi, pada dasarnya, adalah dorongan untuk bertindak, rencana seketika untuk mengatasi masalah yang telah ditanamkan secara berangsur-angsur oleh evolusi. Bahwasanya emosi memancing tindakan. Manusia memiliki dua pemikiran yaitu pikiran emosional dan pikiran rasional. Pikiran rasional, adalah model pemahaman yang lazimnya kita sadari: lebih menonjol kesadarannya, bijaksana, mampu bertindak hati-hati dan refleksi. Dikotomi emosional kurang lebih sama dengan istilah awam antara “hati”
dengan “kepala”; mengetahi
sesuatu itu benar “di dalam hati anda” merupakan tingkat keyakinan yang berbeda dan merupakan suatu kepastian yang mendalam. Kedua pemikiran tersebut, emosional dan rasional, pada umumnya bekerja dalam keselarasan yang erat, saling melengkapi cara-cara mereka yang amat berbeda dalam mencapai pemahaman guna mengarahkan kita menjalani kehidupan duniawi (Goleman, 2007)
2.2.
Kerangka Pemikiran Dari uraian pemikiran teoritis di atas, dapat disusun kerangka pemikiran
seperti yang terlihat pada gambar 2.2. Masa Dewasa Awal
Tahap Pencapaian (achieving stage): Mengejar target seperti dalam bidang karir
Pengambilan Keputusan
Penari Tradisional Gambar 2.2. Kerangka Pemikiran