BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1
Kajian Pustaka
Tarif dasar listrik yang berlaku saat ini di Indonesia adalah sama untuk setiap daerah. Tarif dasar listrik di Kabupaten Kutai Timur yang kaya akan potensi energi seperti batubara misalnya, adalah sama dengan tarif dasar listrik yang berlaku di kota Bandung yang minim akan potensi energi. Begitu pula tarif yang berlaku untuk kota Bekasi yang memiliki infrastruktur kelistrikan yang memadai, adalah sama dibandingkan dengan kota Banjar yang ketersediaan infrastruktur kelistrikannya masih terbatas. Karena adanya kesenjangan (gap) antar daerah di Indonesia baik dari segi kekayaan alam, kemampuan masyarakat dan infrastruktur yang dimiliki, maka tarif listrik sewajarnya tidak diberlakukan sama di setiap daerah. Hal ini mendorong diberlakukannya UU No. 30 tahun 2009 dimana dalam pasal 34 bagian kedua UU tersebut mengatur pembagian kewenangan
yang
tegas
antara
pemerintah
(pusat)
dan
daerah
serta
dimungkinkannya adanya perbedaan tarif di setiap daerah (regional). Wilayah Jawa Barat dan Banten sendiri telah direkomendasikan untuk melaksanakan kebijakan Tarif Listrik Regional. Namun dikarenakan beberapa kendala terkait kesiapan PLN serta belum adanya kajian yang lebih mendalam
akan model strategi penerapannya di setiap wilayah, maka sampai dengan saat ini kebijakan tarif listrik regional belum dilaksanakan. 2.2
Penelitian Terdahulu
Penelitian dengan tema model strategi penerapan tarif listrik regional telah dilaksanakan oleh Konsorsium 6 (enam) Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia yaitu Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gajah Mada, Universitas Dipenogoro, Institut Teknologi Sepuluh November, dan Universitas Udayana pada bulan Maret 2010 lalu, dengan judul penelitian “Studi Tarif Dasar Listrik Untuk Menuju Tata Kelola Ketenagalistrikan Nasional Yang Sehat”. Salahsatu sub penelitian dari penelitian tersebut adalah mengenai regionalisasi tarif dimana dengan menggunakan pendekatan teori Development Gap dan Infrastructure Electricity Gap dihasilkan suatu model penerapan tarif listrik regional secara umum di Indonesia. Jawa Barat dan Banten sendiri dipandang oleh pendekatan teori tersebut termasuk wilayah yang direkomendasikan untuk melaksanakan kebijakan tarif listrik regional. Hasil studi tersebut kemudian dituangkan oleh Nanang Hariyanto dan Sudarmono Sasmono dalam makalah berjudul “Model Ukuran Kesiapan Kandidat Daerah Pelaksana Tarif Listrik Regional Di Indonesia”, dan disajikan dalam Seminar IV Teknologi dan Bisnis Kelistrikan Institut Teknologi Bandung bulan November tahun 2011.
Perbedaan mendasar dengan penelitian ini adalah pada locus penelitian serta teknik pengumpulan informasi dari para narasumber. Locus penelitian dari studi tarif listrik regional yang dilakukan 6 (enam) konsorsium perguruan tinggi tersebut adalah di seluruh Indonesia secara umum, sedangkan penulis tertarik untuk membuat analisis kesenjangan (gap) antar daerah di Jawa Barat dan Banten sehingga dapat dibuat suatu model strategi penerapan tarif listrik regional khusus di wilayah Jawa Barat dan Banten. Untuk pengambilan informasi dari para narasumber, pada studi tarif listrik regional dilakukan secara focus group discussion (FGD), sedangkan penulis mengambil informasi dari para narasumber melalui wawancara langsung secara mendalam.
2.3
Teori Diskriminasi Harga
Ilmu Administrasi Niaga atau Bisnis menurut Poerwanto (2006:75) didefinisikan sebagai : keseluruhan proses kerja sama dalam memproduksi barang dan atau jasa yang dibutuhkan dan diinginkan pelanggan hingga pada penyampaian barang atau jasa tersebut kepada pelanggan dengan memperoleh dan memberikan keuntungan secara seimbang, bertanggungjawab dan berkelanjutan. Definisi tersebut menyiratkan bahwa Administrasi Bisnis sebagai proses penyelenggaraan untuk memenuhi kepentingan-kepentingan dari berbagai pihak – produsen, pelanggan, serta masyarakat umum – perlu menciptakan keuntungan bagi semua pihak secara imbang. Maksudnya keuntungan yang diciptakan tidak
hanya untuk kepentingan pengusaha saja, tetapi juga untuk pelanggan, masyarakat umum, serta lingkungan yang dapat berupa uang, kepuasan, kontinyuitas usaha, peningkatan kualitas, dan pemeliharaan sumber-sumber yang digunakan bersama. Administrasi Bisnis merupakan bagian integral dari administrasi pembangunan suatu bangsa yang mengatur kepentingan masyarakat dalam usaha untuk memperoleh barang dan jasa yang dibutuhkan atau diinginkan secara teratur dan berlanjut. Adapun Sondang (1989:35) mendefinisikan Administrasi Bisnis adalah proses penyelenggaraan kegiatan untuk memproduksi barang atau jasa, dengan memperoleh dan memberikan berbagai aspek kehidupan masyarakat melalui organisasi sebagai wadah. PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau yang sering kita singkat menjadi PLN merupakan salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berbentuk perusahaan perseroan yang mana menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara pasal 1 disebutkan bahwa BUMN yang bentuknya Perseroan Terbatas (PT) modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia dan tujuan utamanya adalah mengejar keuntungan. Mengenai BUMN dijelaskan lebih lanjut oleh Akadun (2009:3) : “Dalam perkembangannya setiap BUMN dicanangkan untuk menghasilkan laba sehingga definisi menguasai hajat hidup orang banyak pun menjadi sesuatu yang
diperdebatkan. Menjadi persero secara implisit mensyaratkan perusahaan harus mendapatkan laba. Prinsip ekonomi mulai berlaku. Konsekuensinya, para manajemen BUMN berlomba-lomba menjadi penerima amanah yang dapat diandalkan, profesional serta berjiwa entrepreneur. Sebagai indikator keberhasilan manajemen tersebut adalah laba yang semakin meningkat secara signifikan. Maraknya isu privatisasi semakin mempertegas pandangan ini”. Rafick (2010:xii) menjelaskan bahwa “....BUMN dapat melaksanakan tata kelola perusahaan atau good corporate governance (GCG) dan berhasil mencapai tujuannya yakni mendapat keuntungan serta melayani publik secara efektif dan efisien.” Dari isi UU RI No. 19 Tahun 2003 pasal 66 serta uraian dari Akadun dan Rafick diatas, semakin memperjelas posisi PT. PLN yang mempunyai “2 kaki”, dimana selain kewajibannya sebagai organisasi publik yaitu menyelenggarakan misi Public Service Obligation (PSO) di bidang pengadaan dan pengelolaan infrastruktur kelistrikan yang merupakan barang publik (public goods), PLN juga diharuskan untuk mengejar keuntungan, dimana biasanya hal ini merupakan tujuan utama dari pendirian suatu organisasi bisnis (perusahaan swasta). Namun demikian, menurut Akadun (2009:56) :”...kendati secara operasional perusahaan negara harus dijalankan secara efisien menganut berbagai perhitungan ekonomis yang sama dengan perusahaan swasta, tujuan jangka panjangnya berbeda. Jadi sebagaimana pendapat tersebut, perbedaannya adalah pada tujuan akhir atau visi-misi organisasi itu sendiri. Organisasi publik biasanya memiliki
tujuan akhir yang lebih daripada organisasi bisnis. Sebuah perusahaan negara harus melakukan kalkulasi-kalkulasi ekonomis sebagaimana perusahaan swasta; tetapi dibebankan pula oleh pemerintah untuk mencapai suatu sasaran lebih luas, yang biasanya meliputi kombinasi antara aspek-aspek ekonomi dan sosial”. Pada tahun 1972, sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 17 PLN ditetapkan sebagai Perusahaan Umum Listrik Negara dan sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK) dengan tugas menyediakan tenaga listrik bagi kepentingan umum. Seiring dengan kebijakan Pemerintah yang memberikan kesempatan kepada sektor swasta untuk bergerak dalam bisnis penyediaan listrik, maka sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1994 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Listrik Negara Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero), status PLN beralih dari Perusahaan Umum menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) dan juga sebagai PKUK dalam menyediakan listrik bagi kepentingan umum hingga sekarang. PLN sebagai perusahaan penyedia listrik disebut pula sebagai public utility . Hal ini dijelaskan oleh McNabb (2005:11) bahwa : “The term ‘public utility’ describes the collection of specific services provided by public and private organizations and identifies the institutions that make up the industry. The products or services provided by the public utility industry include electrical energy, natural gas, water, sanitation, waste disposal, communications, public rail and bus transportation, and certain types of storage facilities, including public warehouse , and grain elevators, among others.” Lebih lanjut McNabb (2005:12) menambahkan : ”Public utilities provide essential services needed by every individual and every other institution in a society. The organizations operating within the
industry have the responsibility for seeing that their services are available when and where the public desires them”. Yang membedakan antara public utility dengan organisasi lainnya adalah berlakunya monopoli alamiah. Hal ini ditegaskan oleh Case dan Fair (2003:342): ”contoh klasik monopoli alamiah selama bertahun-tahun adalah perusahaan utilitas umum seperti: perusahaan telepon, perusahaan listrik, dan perusahaan gas. Ide dasarnya ialah bahwa biaya tetap yang besar untuk mengembangkan jalur transmisi dan pipa distribusi berarti skala ekonomi yang besar. Tidak masuk akal pula memiliki lima perusahaan listrik yang semuanya memasang kabel sendirisendiri di setiap jalanan.” Adapun menurut McNabb (2005:14) : “Natural monopolies occur when a single firm is able to supply a market at a cost and price far lower than would be possible if several firms served the market.” McNabb juga menambahkan bahwa yang membedakan public utility dengan organisasi lainnya adalah sebagai perusahaan yang diberikan kewenangan penuh untuk mengelola salah satu hajat hidup orang banyak, yaitu listrik dan kewajibannya untuk menyediakan listrik untuk seluruh masyarakat tanpa kecuali. Dalam pelaksanaan pengelolaan listrik, PLN atas persetujuan badan legislatif dan eksekutif menerapkan diskriminasi harga atau tarif diskriminasi dimana harga listrik yang ditetapkan berbeda-beda untuk setiap konsumen yang berbeda pula. Namun, harga/tarif yang berlaku ini seringkali bersifat politis dan tidak sesuai dengan biaya produksi, transmisi dan distribusinya yang pada
akhirnya memberatkan anggaran negara kita sendiri karena harus terus menerus memberikan subsidi untuk PLN. Oleh karenanya seiring dengan berubahnya status PLN menjadi persero serta dibukanya kesempatan kepada sektor swasta oleh pemerintah untuk ikut serta dalam bisnis penyediaan listrik sehingga PLN hanya melakukan monopoli dalam distribusi dan penjualannya, diharapkan kondisi PLN akan lebih sehat dimana PLN sebagai suatu perusahaan persero dapat menerapkan tarif yang sesuai dan rasional sehingga dapat menghasilkan laba sekaligus tetap memberikan pelayanan terbaiknya untuk masyarakat dalam hal penyediaan listrik. Mengenai diskriminasi harga, Case dan Fair (2003:332) menyatakan : ”Pembedaan pembebanan harga kepada pembeli yang berbeda disebut dengan diskriminasi harga. Motivasi dibalik diskriminasi harga sangatlah jelas, jika suatu perusahaan dapat mengidentifikasikan mereka yang rela membayar suatu barang dengan harga yang lebih tinggi, perusahaan akan bisa mendapatkan lebih banyak laba dari mereka dengan membebankan yang lebih tinggi. Gagasan ini sangat tepat diilustrasikan menggunakan kasus ekstrim di mana sebuah perusahaan mengetahui berapa yang rela dibayarkan oleh setiap pembeli. Sebuah perusahaan yang rela membayarnya untuk setiap unit disebut dengan praktik diskriminasi harga sempurna. Gagasan ini sangat tepat diilustrasikan menggunakan kasus ekstrim di mana sebuah perusahaan mengetahui berapa yang rela dibayarkan oleh setiap pembeli. Sebuah perusahaan yang rela membebankan jumlah maksimum kepada pembeli yang rela membayarnya untuk setiap unit disebut dengan praktik diskriminasi harga sempurna.”
Lebih lanjut Case dan Fair (2003:333) menjelaskan sebagai berikut : “Adalah menarik untuk memperhatikan bahwa monopolis yang memberlakukan diskriminasi harga sempurna sebenarnya akan menghasilkan kuantitas output yang efisien yang sama dengan jumlah yang akan diproduksi oleh perusahaan kompetitif sempurna. Perusahaan akan terus berproduksi selama manfaat untuk konsumen melebihi biaya marjinalnya, produksi tidak akan berhenti. Namun bila monopolis
memberlakukan diskriminasi harga, perusahaan akan meraup manfaat bersih dari produksi yang lebih tinggi. Tidak ada kerugian deadweight, tapi tidak ada surplus konsumen juga.”
Menurut Conkling (2011:151) : “More often the monopolist will attempt to increase his profits by setting a different price for different income groups. This can be done in several ways; mainly, however, by minor modification of the product, into higher priced “luxury” and lower priced “utility” models, or by selling the identical product at different prices in different grades of stores or in different localities. The principle underlying this practice, of course, is to exploit the market to the fullest extent by establishing class prices, whatever the basis of the classes may be. Whenever essentially the same product is sold at different prices, price discrimination is involved”
Dari uraian diatas, Conkling mencoba menjelaskan bahwa perusahaan yang memberlakukan sistem monopoli akan berusaha mencoba meraup laba dengan menetapkan harga yang berbeda untuk kelompok konsumen yang berbeda. Hal ini dapat dilakukan melalui sedikit modifikasi terhadap produk yang dijualnya, misalnya membuat produk tersebut menjadi terkesan mewah dan sempurna jika ingin menjualnya dengan harga lebih tinggi. Atau dapat juga dengan cara menjual produk yang sama dengan harga berbeda di beberapa tempat penjualan yang berbeda atau di beberapa lokasi yang berbeda. Pada prinsipnya adalah untuk memanfaatkan pasar seluas-luasnya dengan cara memberlakukan harga yang berbeda untuk kelompok konsumen yang berbeda, dimana dalam hal ini praktik diskriminasi harga pasti akan berlaku. Stole (2006:5) menjelaskan mengenai syarat dapat diberlakukannya diskriminasi harga sebagai berikut :
“It is well known that price discrimination is only feasible under certain conditions: (i) firms have short-run market power, (ii) consumers can be segmented either directly or indirectly, and (iii) arbitrage across differently priced goods is infeasible. Given that these conditions are satisfied, an individual firm will typically have an incentive to price discriminate, holding the behavior of other firms constant. The form of price discrimination will depend importantly on the nature of market power, the form of consumer heterogeneity, and the availability of various segmenting mechanisms. When a firm is a monopolist, it is simple to catalog the various forms of price discrimination according to the form of consumer segmentation ”
Dari uraian Stole diatas dapat diketahui bahwa ada beberapa syarat diberlakukannya suatu diskriminasi harga, diantaranya adalah : 1.
Perusahaan yang akan memberlakukan diskriminasi harga mempunyai kekuatan pasar jangka pendek atau dengan kata lain konsumen tidak memiliki banyak pilihan/substitusi produk lain.
2.
Konsumen dapat disegmentasi atau dibagi dalam kelompok-kelompok secara langsung ataupun tidak langsung, berdasarkan elastisitas permintaan yang berbeda-beda.
3.
Tidak diperkenankan untuk menjual produk dibawah harga pada pangsa pasar yang dibebankan harga lebih tinggi.
4.
Memungkinkan untuk memberlakukan harga produk yang berbedabeda sesuai dengan karakteristik/heterogenitas dari konsumen
Lebih lanjut Stole menjelaskan bahwa : “The form of price discrimination will depend importantly on the nature of market power, the form of consumer heterogeneity, and the availability of various segmenting mechanism”.
Dari uraian tersebut Stole menjelaskan bahwa bentuk diskriminasi harga sendiri tergantung dari kekuatan pasar sendiri, heterogenitas konsumen dan ketersediaan mekanisme segmentasi. Jika suatu perusahaan adalah perusahaan monopoli, maka akan sangat mudah untuk memilih beberapa bentuk diskriminasi harga berdasarkan segmentasi konsumen. Diskriminasi harga baru bisa ditetapkan setelah dilakukan segmentasi terhadap konsumen. Saat ini PLN telah menerapkan diskriminasi harga dengan membedakan tarif sesuai dengan kelompok pelanggan (Rumah Tangga, Sosial, Bisnis, Industri) dan membaginya dengan beberapa golongan tarif yang disesuaikan dengan daya yang diajukan oleh pelanggan listrik pada saat permohonan pemasangan. Daya yang diajukan oleh pelanggan biasanya disesuaikan dengan kemampuan dan atau kebutuhan dari pelanggan tersebut. Kottler dan Keller (2006:301) menyatakan : “Lepas dari jenis skema segmentasi mana yang digunakan, yang penting adalah program pemasaran bisa disesuaikan secara menguntungkan untuk mengenali perbedaan pelanggan. Variabel segmentasi utama – segmentasi geografis, demografis, psikografis, dan perilaku.” Adapun menurut Dawyer dan Tanner (2008:139) : “Definition of segmentation : a strategy that enables the firm to maximize the results of a given marketing effort by exploiting clearly identified strengths in relation to a submarket which is either inadequately satisfied by other (suppliers) or where the firm is particularly well placed to do an effective job”.
Selanjutnya Dawyer dan Tanner (2008:139) menambahkan :
“..market segmentation involves partitioning the general need for a solution to a class of problems into smaller clusters involving distinct markets. These clusters are composed of buyers or potential buyers that share similar traits, buying patterns, information needs, benefits sought, psychographic profiles, product experiences, industry participation, and the like. But the purpose is not to simply slice and dice, nor to produce snappy bubble charts or tables. The segments are meaningful to the extent they are differentially responsive to different marketing programs. And a business opportunity rests in segments where our firm has an ability to serve customers better than the rest at a profit”.
Uraian dari Kottler dan Keller serta Dawyer dan Tanner diatas menjelaskan bahwa segmentasi dilakukan untuk memaksimalkan proses marketing yang dilakukan oleh suatu perusahaan dengan mengeksploitasi kekuatan pasar (konsumen). Praktek segmentasi akan membagi atau memisahmisahkan solusi untuk berbagai jenis permasalahan ke dalam berbagai kelompok (cluster) dengan pasar yang berbeda. Kelompok (cluster) ini terdiri dari konsumen (buyer) potensial yang memiliki kesamaan sifat/karakter, pola beli, kebutuhan informasi, profil psychographic, pengalaman memakai suatu produk, partisipasi, dan sejenisnya. Pada intinya segmentasi sangat penting untuk mengetahui respon yang berbeda-beda dari konsumen terhadap suatu produk. Dari praktek segmentasi inilah akan terbuka suatu peluang bisnis dimana perusahaan mempunyai kemampuan untuk dapat lebih melayani konsumennya dibandingkan hanya untuk mencari keuntungan semata.
2.4
Analisis Kesenjangan (gap) Pembangunan Antar Daerah
Seperti telah penulis utarakan diatas bahwa PLN telah melakukan praktik diskriminasi harga pada kelompok pelanggan yang telah disegmentasi berdasarkan keperluan dan jenis usahanya, seperti Rumah Tangga, Bisnis, Industri, Publik dan Sosial, dimana tarif yang dikenakan untuk setiap kelompok pelanggan tersebut berbeda-beda. Pada dasarnya perbedaan tarif tidak hanya bisa diterapkan berdasarkan keperluan dan jenis usahanya saja, karena setiap daerah mempunyai karakteristik yang berbeda-beda pula terkait dengan permintaan (demand) dan pasokan (supply) akan ketersediaan listrik di daerah tersebut. Hal ini dapat terlihat dari adanya kesenjangan pembangunan antar daerah/wilayah di Indonesia dimana kesenjangan pembangunan ini dapat terlihat dari perbedaan aktivitas ekonomi yang tercermin dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), konsumsi rumah tangga, tingkat kemiskinan dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang berbeda-beda di setiap wilayah. Kesenjangan pembangunan ini akan berpengaruh terhadap tingkat permintaan (demand) listrik di daerah yang bersangkutan. Adapun terkait dengan pasokan (supply) listrik, setiap daerah mempunyai perbedaan akan ketersediaan sumber energi listrik, ketersediaan infrastruktur kelistrikan serta keandalan (kualitas) listrik yang diterima untuk setiap daerah. Hal ini mendasari terbitnya kebijakan tarif listrik regional di Indonesia yang tertuang dalam Pasal 34 ayat (5) UU No 30 Tahun 2009 yang berbunyi : “Tarif tenaga listrik untuk konsumen dapat ditetapkan secara berbeda di setiap daerah dalam suatu wilayah usaha ”. Dengan demikian, dapat dikatakan pula bahwa penerapan
tarif berdasarkan UU ini adalah melakukan diskriminasi harga dengan melakukan segmentasi tarif terlebih dahulu berdasarkan kemampuan daerah dalam suatu wilayah usaha PLN. Pada bulan Maret tahun 2010 atas permintaan dari PLN, dilakukan Studi Tarif Dasar Listrik Untuk Menuju Tata Kelola Ketenagalistrikan Nasional Yang Sehat yang dilaksanakan oleh Konsorsium 6 Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia, yaitu Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, Universitas Dipenogoro, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya dan Universitas Udayana. Salahsatu pokok kajian yang diteliti saat itu adalah tentang rencana penerapan kebijakan pemberlakuan tarif listrik yang tidak seragam atau berbeda untuk tiap wilayah dalam satu negara. Menurut Hariyanto dalam hasil Studi Tarif Dasar Listrik Untuk Menuju Tata Kelola Ketenagalistrikan Nasional Yang Sehat (6-2:2010) dan juga disajikan dalam makalah untuk Seminar IV Teknologi dan Bisnis Ketenagalistrikan Nasional Institut Teknologi Bandung yang diselenggarakan di Bandung pada bulan November tahun 2011, berpendapat bahwa secara alamiah ada beberapa hal yang menjadi dasar pemberlakuan tarif yang tidak seragam dalam sebuah negara. Hal-hal tersebut adalah : 1. Kondisi beban yang terkonsentrasi dan pusat pembangkit yang terkonsentrasi, menyebabkan adanya cluster-cluster sistem kelistrikan. Dengan demikian pada aspek vertikal sistem ketenagalistrikan, secara natural akan terjadi tarif diferensiasi antara beban terkonsentrasi di
pusat pembangkit dan beban yang lokasinya jauh dari pusat pembangkit. 2. Adanya spektrum pendapatan per kapita atau PDRB per kapita masyarakat yang cukup lebar. Hal ini menyebabkan pada aspek horizontal di sisi beban perlu adanya tarif diferensiasi berbasis pada mekanisme subsidi langsung pada areal/kondisi masyarakat tertentu. 3. Adanya spektrum kemampuan Pemerintah yang berbeda dalam memberikan subsidi. 4. Komposisi horisontal sisi beban di setiap regional yang berbeda. Terdapat area dengan “industri intensif” dan area dengan “pemukiman intensif”, dengan keperluan terhadap ketersediaan mutu, dan keandalan listrik yang berbeda. 5. Perlu ada dorongan untuk mengatasi adanya “shortage” energi listrik dengan investasi pembangkit baru dan ekspansi jaringan transmisi & distribusi baru. Kondisi ini memerlukan investasi baru dengan konsiderasi pada kewajaran tarif listrik. “
Dengan demikian dari berbagai alasan diatas dapat disimpulkan bahwa secara teknis perlu implementasi tarif regional non-uniform yang diharapkan mampu mendorong peningkatan PDRB yang berimplikasikan pada kesejahteraan masyarakat. Lebih lanjut, Konsorsium 6 PTN (6-2:2010) menjelaskan :
“Mengacu pada faktor-faktor alamiah yang menjadi dasar penetapan kebijakan tarif listrik regional yang menitik beratkan pada kondisi konsumen, dapat disimpulkan bahwa terdapat faktor-faktor alamiah yang terkait dengan kondisi ekonomi dan terdapat faktor-faktor alamiah yang terkait dengan ketersediaan sumber energi primer dan infrastruktur kelistrikan. Dengan demikian regionalisasi dibangun berdasarkan faktor kondisi ekonomi dan faktor ketersediaan sumber energi primer dan infrastuktur kelistrikan. Secara umum perbedaan antar daerah dan wilayah yang menjadi faktor alamiah pembentuk kebijakan tarif listrik regional dikenal dengan istilah diskrepansi atau disparitas. Diskrepansi yang dimaksud adalah diskrepansi ekonomi antar wilayah dan diskrepansi ketersediaan sumber energi primer dan infrastruktur kelistrikan.”
Dalam teori pembangunan ekonomi daerah di Indonesia perbedaan kondisi ekonomi antar wilayah dapat dijelaskan dengan pendekatan teoretik yang dikenal sebagai teori development gap. Teori ini menyatakan meskipun pembangunan ekonomi Indonesia telah memberikan hasil positif bila dilihat pada tingkat makro, namun dilihat dari tingkat meso dan mikro, pembangunan telah menciptakan suatu kesenjangan yang besar, baik dalam bentuk personal income distribution maupun dalam bentuk kesenjangan ekonomi/pendapatan antar daerah/propinsi (Tambunan, 2001). Dikaitkan dengan kajian yang terkait dengan regionalisasi, pernyataan dari Tambunan diatas dapat memberikan suatu kesimpulan bahwa wilayah-wilayah yang telah mencapai suatu kondisi ekonomi tertentu didorong untuk menjadi region yang menerapkan tarif listrik pada tingkat keekonomiannya atau yang dikenal sebagai tarif listrik regional.
2.5
Teori Development Gap
Tambunan (2001:179) mengatakan bahwa : “Ada sejumlah indikator yang dapat digunakan dalam menganalisis development gap antar propinsi, diantaranya adalah PDRB, konsumsi rumah tangga per kapita, kontribusi sektoral terhadap PDRB, tingkat kemiskinan dan struktur fiskal”. Berdasarkan pernyataan ini maka dapat dikatakan bahwa pengukuran diskrepansi antar wilayah menurut teori development gap dapat dilakukan secara kuantitatif. Indikator-indikator diskrepansi wilayah disusun berdasarkan analisis distribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) antar wilayah. Diskrepansi besaran PDRB antar wilayah secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada berbagai ukuran kesejahteraan masyarakat antar wilayah. Ukuran-ukuran kesejahteraan tersebut meliputi tingkat kemiskinan dan pencapaian pembangunan. Ukuran-ukuran kesejahteraan tersebut jika digabung dengan indikator-indikator yang digunakan dalam menganalisis distribusi PDRB menghasilkan gabungan indikator diskrepansi ekonomi antar wilayah. 1)
Produk Domestik Bruto (PDB)
Dalam situs Badan Pusat Statistik (www.bps.go.id) disebutkan : “salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu negara dalam suatu periode tertentu adalah data Produk Domestik Bruto (PDB), baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan. PDB pada dasarnya merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu negara
tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. PDB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada setiap tahun, sedangkan PDB atas dasar harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa tersebut yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun tertentu sebagai dasar. PDB atas dasar harga berlaku dapat digunakan untuk melihat pergeseran dan struktur ekonomi, sedang harga konstan digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun”. Masih dalam situs yang sama, Badan Pusat Statistik menjelaskan bahwa Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah : “jumlah nilai tambah bruto (gross value added) yang timbul dari seluruh sektor perekonomian di suatu wilayah”. Wilayah disini adalah wilayah propinsi atau kabupaten/kota. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa PDB dan PDRB merupakan indikator untuk mengatur sampai sejauh mana keberhasilan pemerintah pusat (untuk PDB) atau pemerintah daerah (untuk PDRB) dalam memanfaatkan sumber daya yang ada, dan dapat digunakan sebagai perencanaan dan pengambilan keputusan. Tambunan (2001:183) mengemukakan bahwa : “sejak tahun 1970-an hingga saat ini sudah banyak studi empiris yang dilakukan untuk menganalisis ketimpangan ekonomi antar propinsi. Diantaranya dari Sjafrizal tahun 1997 dan tahun 2000 dengan memakai indeks Williamson. Indeks ini dapat dihitung dengan formula sebagai berikut :
�∑𝑖(𝑌𝑖 − 𝑌�)2 𝑓𝑖 , 0 < 𝑉𝑤 < 1 𝑉𝑤 = 𝑌� Dimana 𝑌𝑖 = pendapatan perkapita propinsi i, 𝑌� = pendapatan per kapita nasional,
𝑓𝑖 = jumlah penduduk di propinsi i, dan n = jumlah populasi nasional. Nilai indeks ini antara 0 dan 1. Bila nilainya mendekati 0 berarti distribusi PDB menurut
propinsi sangat merata, dan sebaliknya bila nilainya mendekati 1 berarti tingkat disparitas sangat tinggi. 2)
Konsumsi Rumah Tangga Perkapita
Selain PDRB, pengeluaran konsumsi rumah tangga perkapita juga merupakan salah satu alat ukur untuk melihat perbedaan tingkat pembangunan ekonomi atau kesejahteraan masyarakat antar propinsi. Konsumsi rumah tangga per kapita dijelaskan dalam situs Badan Pusat Statistik (www.bps.go.id) sebagai berikut : “Rumah tangga merupakan konsumen atau pemakai barang dan jasa sekaligus juga pemilik faktor-faktor produksi tenaga kerja, lahan, modal dan kewirausahaan. Rumah tangga menjual atau mengelola faktor-faktor produksi tersebut untuk memperoleh balas jasa. Balas jasa atau imbalan tersebut adalah upah, sewa, bunga dividen, dan laba yang merupakan komponen penerimaan atau pendapatan rumah tangga. Ada dua cara penggunaan pendapatan. Pertama, membelanjakannya untuk barang-barang konsumsi. Kedua,
tidak membelanjakannya seperti ditabung. Pengeluaran konsumsi dilakukan untuk mempertahankan taraf hidup. Pada tingkat pendapatan yang rendah, pengeluaran konsumsi umumnya dibelanjakan untuk kebutuhan-kebutuhan pokok guna memenuhi kebutuhan jasmani. Konsumsi makanan merupakan faktor terpenting karena makanan merupakan jenis barang utama untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Akan tetapi terdapat berbagai macam barang konsumsi (termasuk sandang, perumahan, bahan bakar, dan sebagainya) yang dapat dianggap sebagai kebutuhan untuk menyelenggarakan rumah tangga. Keanekaragamannya tergantung pada tingkat pendapatan rumah tangga. Tingkat pendapatan yang berbeda-beda mengakibatkan perbedaan taraf konsumsi.” Menurut Tambunan (2001:185) : “Secara hipotesis dapat dikatakan bahwa semakin tinggi pendapatan per kapita di suatu daerah semakin tinggi pengeluaran konsumsi per kapita di daerah tersebut. Tentu dengan dua asumsi, yaitu pertama, saving behavior dan masyarakat tidak berubah (rasio tabungan terhadap PDRB tetap tidak berubah), dan, kedua, pangsa kredit di dalam pengeluaran konsumsi rumah tangga juga konstan. Tanpa kedua asumsi ini, tinggi-rendahnya pengeluaran konsumsi rumah tangga tidak mencerminkan tinggi rendahnya tingkat pendapatan per kapita di daerah tersebut.” 3)
Kontribusi Sektoral Terhadap PDRB
Perbedaan tingkat pembangunan dapat juga dilihat dari perbedaan peranan sektoral dalam pembentukan PDRB. Menurut Tambunan (2001:188): “Secara
hipotesis dapat dirumuskan bahwa semakin besar peranan sektor ekonomi yang memiliki nilai tambah tinggi seperti industri manufaktur terhadap pembentukan atau pertumbuhan PDRB di suatu wilayah, semakin tinggi pertumbuhan PDRB di wilayah tersebut.” Selain sektor industri manufaktur, sektor bisnis seperti perdagangan, hotel dan restoran merupakan sektor yang menentukan tingginya pertumbuhan PDRB di suatu wilayah. 4) Struktur Fiskal Ketimpangan ekonomi regional dapat juga dilihat dari ketimpangan dalam struktur fiskal pusat dan daerah antar propinsi. Latar belakang teorinya adalah sebagai berikut (Tambunan, 2001:190) : “Daerah yang tingkat pembangunannya tinggi, dilihat dari tingkat pendapatan riil per kapita yang tinggi, penerimaan pemerintah daerah tersebut (pendapatan asli daerah, PAD) juga tinggi.” 5) Tingkat Kemiskinan Persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan (poverty line) dapat digunakan sebagai indikator mengenai ketimpangan ekonomi regional. Kalau dilihat dari jumlah penduduk miskin di Indonesia, lebih dari 55% terdapat di Pulau Jawa. Tambunan (2001:190) mengatakan bahwa : “Jawa sebagai pusat kemiskinan di Indonesia erat kaitannya dengan angka kepadatan penduduk di Jawa, yang memang paling tinggi dibandingkan di propinsi-propinsi lain di tanah air. Fakta ini cenderung mengatakan bahwa ada suatu korelasi positif antar population density dan tingkat kemiskinan. Semakin tinggi jumlah penduduk per km2, atau per hektar, semakin sempit ladang untuk bertani atau untuk membangun
pabrik, yang berarti semakin kecil kesempatan kerja dan sumber pendapatan, maka berarti semakin besar persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan.” Dari penjelasan Tambunan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa jika tingkat kemiskinan rendah, maka tingkat kesejahteraan semakin tinggi. Dengan tingkat kesejahteraan yang baik maka tingkat konsumsi rumah tangga masyarakat akan tinggi sehingga konsumsi terhadap listrik pun cenderung tinggi. Dengan tingkat kesejahteraan yang tinggi, diasumsikan konsumen listrik dapat membayar listrik pada harga keekonomiannya. Harga
keekonomian
atau
economic
price
menurut
http://www.businessdictionary.com/definition mempunyai pengertian : “Selling price that includes direct, indirect, and hidden costs like downtime and opportunity cost.”
Dari pengertian ini, harga keekonomian dapat diartikan
sebagai harga atas dasar perhitungan seluruh biaya langsung dan tidak langsung, dan biaya tersembunyi seperti biaya kesempatan (opportunity cost) dan juga downtime cost. Harga ini berarti pula harga pasar yang didalamnya telah memperhitungkan biaya produksi dan juga biaya overhead.
2.6
Teori Infrastructure Electricity Gap
Diskrepansi ketersediaan sumber energi primer dan infrastruktur kelistrikan dapat dijelaskan dan dianalisis menggunakan teori infrastructure electricity gap. Menurut Hariyanto dalam hasil Studi Tarif Dasar Listrik Untuk Menuju Tata Kelola Ketenagalistrikan Nasional Yang Sehat (6-8:2010) yang kemudian disajikan pula dalam makalah untuk Seminar IV Teknologi dan Bisnis Ketenagalistrikan Nasional Institut Teknologi Bandung yang diselenggarakan di Bandung pada bulan November tahun 2011, berpendapat bahwa : “Dalam kajian yang terkait dengan regionalisasi, terdapat dua pendekatan yang digunakan dalam analisis diskrepansi infrastruktur kelistrikan. Kedua pendekatan tersebut adalah : 1. Pendekatan mempertahankan keberlanjutan pasokan listrik. Pendekatan ini dibangun dengan asumsi daerah atau wilayah dimana infrastruktur kelistrikannya telah mencapai tingkat kehandalan yang baik didorong untuk memberlakukan kebijakan tarif listrik regional. Kebijakan tersebut akan minimal mempertahankan keberlanjutan pasokan listrik dengan tingkat kehandalan yang baik. 2. Pendekatan mendorong pembangunan infrastruktur kelistrikan Pendekatan ini dibangun dengan asumsi daerah atau wilayah dimana pemerintah daerahnya memiliki kemampuan keuangan yang baik dengan keinginan meningkatkan kehandalan pasokan listrik tapi memiliki
keterbatasan
infrastruktur
kelistrikan
memberlakukan kebijakan tarif listrik regional.
dapat
didorong
Pendekatan pertama pada teori infrastructure electricity gap akan menempatkan daerah atau wilayah dengan infrastruktur kelistrikan yang lebih baik sebagai daerah yang didorong menerapkan kebijakan tarif listrik regional. Daerah atau wilayah tersebut adalah daerah atau wilayah yang secara agregat menunjukkan density (kerapatan) infrastruktur distribusi listrik yang tinggi. Pendekatan kedua pada teori infrastructure electricity gap akan menempatkan daerah atau wilayah dengan infrastruktur kelistrikan yang kurang baik sebagai daerah yang didorong menerapkan kebijakan tarif listrik regional. Daerah atau wilayah tersebut adalah daerah atau wilayah yang secara agregat menunjukkan density infrastruktur distribusi listrik yang rendah, namun memiliki kemampuan keuangan yang baik. Selain itu, ketersediaan energi primer adalah indikator lain selain density infrastruktur kelistrikan. Daerah dengan ketersediaan energi primer yang melimpah semestinya menanggung tarif listrik yang lebih rendah dari daerah yang jauh dari sumber-sumber energi primer untuk pembangkitan. Lebih lanjut Hariyanto mengemukakan, bahwa dari kedua pendekatan diskrepansi infrastruktur kelistrikan ditambah ketersediaan energi primer dapat ditetapkan 2 indikator yang digunakan dalam menetapkan region bagi daerah pelaksana kebijakan tarif listrik regional. Kedua indikator tersebut adalah : 1. Ketersediaan energi primer 2. Density (kerapatan) infrastruktur distribusi listrik
Ketersediaan energi primer diukur dengan jumlah agregat energi primer yang terdapat dalam suatu daerah atau wilayah. Density infrastruktur sistem distribusi listrik dibagi kedalam 2 indikator yaitu density saluran distribusi dan density kapasitas gardu distribusi. Density saluran distribusi didefenisikan sebagai panjang saluran distribusi per luas area di wilayah atau daerah i. Dalam bentuk persamaan matematika dapat dituliskan seperti pada persamaan 3.1 berikut :
σ TDi =
∑ ∑A
TDi i
(3.1) σ TDi = kepadatan saluran distribusi di wilayah i l
TDi
Ai
= panjang saluran distribusi di wilayah i = luas area wilayah i
Sedangkan density kapasitas gardu distribusi didefenisikan sebagai kapasitas gardu distribusi per luas area di wilayah atau daerah i. Dalam bentuk persamaan matematika dapat dituliskan seperti pada persamaan 3.2 :
σ kgd =
∑m ∑A
kgd i
σ kgd
= kepadatan kapasitas gardu distribusi di wilayah i
m kgd = kapasitas gardu distribusi di wilayah i Ai
= luas area wilayah i
2.7
Gabungan Pendekatan Development Gap dan Infrastructure Electricity Gap
Dengan menggabungkan kedua pendekatan ini dapat dikatakan daerah atau wilayah yang didorong melaksanakan kebijakan tarif listrik regional adalah daerah yang memiliki kombinasi karakteristik berikut : 1.
tingkat kesejahteraan yang baik, yang dapat dilihat dari Produk Domestik Bruto perkapita, peranan/kontribusi sektoral dalam pembentukan PDRB yaitu sektor industri dan bisnis, konsumsi rumah tangga perkapita, dan tingkat kemiskinan dari daerah tersebut.
2.
kemampuan keuangan pemerintah daerah yang kuat, yang dapat dilihat dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) tersebut
3.
keandalan listrik yang tinggi
4.
ketersediaan energi primer
5.
memiliki infrastruktur kelistrikan yang terbatas atau memiliki infrastruktur kelistrikan yang handal yang dapat dilihat dari density saluran distribusi dan density kapasitas gardu distribusi.
Karakteristik poin 1 sampai dengan 2 merupakan karakteristik berdasarkan pendekatan teori Development Gap, sedangkan poin 3 sampai dengan 5 adalah karakteristik yang dibentuk berdasarkan pendekatan Infratructure Electricity Gap.
Daerah atau wilayah yang secara agregat berada dalam kelompok dengan karakteristik yang sama dapat dikelompokkan membentuk region-region. Region yang telah mencapai karakteristik daerah pelaksana kebijakan tarif listrik regional disebut sebagai region tarif listrik regional. Region berikutnya secara berurutan adalah region-region yang memiliki jarak terdekat dari region yang diinginkan sampai pada region yang terjauh dari yang diinginkan.
2.8
Kerangka Pemikiran
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1994, tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Listrik Negara Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero)
• •
Kewajiban PLN sebagai Persero, menerapkan tarif listrik yang : Sesuai dengan misi Public Service Obligation (PSO) Menghasilkan Keuntungan
Strategi Penerapan Tarif Listrik berdasarkan Kesenjangan (gap) Antar Kota/kabupaten, Dilihat Dari :
Tingkat Permintaan (Demand) yang berbeda, dilihat dari : • Aktivitas Ekonomi è PDRB • Konsumsi Rumah Tangga • Kontribusi Sektor Industri&Bisnis terhadap PDRB • Tingkat Kemiskinan • Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Tingkat Pasokan (Supply) yang berbeda, dilihat dari :
• • •
Infrastuktur Kelistrikan Keandalan listrik yang diterima Ketersediaan sumber energi primer
Infrastructure Electricity Gap
Development Gap
Teori Diskriminasi Harga (Tarif listrik yang berbeda sesuai dengan Supply & Demand dari setiap daerah)
TARIF LISTRIK REGIONAL (Tarif listrik yang berbeda sesuai dengan karakteristik dari setiap daerah
2.9
Proposisi
Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dipaparkan pada bagian 2.8 diatas, Penulis menetapkan proposisi sebagai berikut :
Analisis kesenjangan pembangunan (development gap) serta kesenjangan ketersediaan infrastruktur kelistrikan (infrastructure electricity gap) antar wilayah akan menghasilkan suatu strategi penerapan tarif listrik regional yang sesuai dengan karakteristrik setiap wilayah/region.