BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Paradigma Kritis Penelitian dengan judul Wacana Persaingan Dalam Tayangan Reality Show (Analisis Wacana Kritis Tentang Wacana Persaingan Dalam Tayangan Reality Show Master Chef Indonesia Session 3 RCTI ) menggunakan paradigma kritis. Pada dasarnya paradigma kritis bersumber dari pemikiran mashab Frankfurt. Paradigma atau aliran ini dikembangkan oleh tokoh-tokoh yang berangkat dari pemikiran marxisme tokoh- tokohnya adalah Max Horkheimer, Theodore Adorno, Herbert Marcuse, dan tokoh pemikir teori kritis kontemporer sampai sekarang yaitu, Jurgen Habermas. Paradigma ini muncul ketika Jerman tengah berlangsung proses propaganda besar-besaran Hitler. Media dan saluran komunikasi sosial dipenuhi oleh prasangka, retorika, dan propaganda. Media menjadi alat pemerintah untuk mengontrol publik, menjadi sarana mengobarkan semangat perang. Terkait dengan ini, media bukan merupakan entitas yang netral, tetapi bisa dikuasai oleh kelompok dominan. Oleh karena itu, paradigma ini selalu memper- tanyakan adanya kekuatan-kekuatan yang berada dalam masyarakat yang mengontrol komunikasi (Yasir, 2005:55). Bagi paradigma kritis tugas ilmu sosial adalah justru melakukan penyadaran kritis masyarakat terhadap sistem dan struktur sosial yang cenderung “mendehumanisasi” atau membunuh nilai-nilai kemanusiaan (Yasir, 2005: 71). Gramsci menyebut proses penyadaran ini sebagai counter hegemony. Dominasi
14
15
suatu paradigma harus dikonter dengan paradigma alternatif lainnya yang bisa memecahkan permasalahan dalam realitas sosial kemasyarakatan yang tidak terselesaikan oleh paradigam yang mendominasi. Proses dehumanisasi sering melalui mekanisme kekerasan, baik fisik dan dipaksakan, maupun melalui cara yang halus, di mana keduanya bersifat struktural dan sistemik. Artinya kekerasan dalam bentuk dehumanisasi tidak selalu jelas dan mudah dikenali karena ia cendrung sulit dilihat secara kasat mata dan dirasakan bahkan umumnya yang mendapatkan perlakuan kekerasan cendrung tidak menyadarinya. Kemiskinan struktural misalnya, pada dasarnya adalah bentuk kekerasan yang memerlukan suatu analisis yang lebih kritis untuk menyadarinya. Tegasnya, sebagian besar kekerasan terselenggara melalui proses hegemoni, yakni yaitu dalam bentuk mendoktrin dan memanipulasi cara pandang, cara berpikir, ideologi, kebudayaan seseorang atau sekelompok orang, dimana semuanya sangat ditentukan oleh orang yang mendominasi. Kekuatan dominasi ini biasa dilanggengkan dengan kekuatan ekonomi maupun kekuatan politik, bahkan dengan ilmu pengetahuan. Seperti diungkapkan oleh Micheal Faucoult
knowledge is power, siapa yang menguasai ilmu
pengetahuan ialah yang menguasai dunia ini. Bagi paradigma atau aliran kritis, dunia positivisme dan empirisme dalam ilmu sosial, struktural memang tidak adil. Karena ilmu sosial yang bertindak tidak memihak, netral, objektif serta harus mempunyai jarak, merupakan suatu sikap ketidakadilan tersendiri, atau bisa dikatakan melanggengkan ketidakadilan (status quo) (Yasir, 2005: 83). Oleh karena itu, paradigma ini menolak bentuk objektivitas dan netralitas dari ilmu sosial. Jadi paradigma mengharuskan adanya bentuk subjektivitas,
16
keberpihakan pada nilai-nilai kepentingan politik dan ekonomi golongan tertentu –terutama kaum lemah, penonton tak berdaya, golongan yang tertindas dan kelompok minoritas dimana keberpihakan ini merupakan naluri yang dimiliki oleh setiap manusia. Beberapa teoritikus kritis, seperti Stuart Hall (1981) memiliki pandangan bahwa ketidakadilan dan ketidakseimbangan kekuasaan tidak selalu merupakan hasil yang disengaja oleh pihak yang berkuasa. Sebaliknya ideologi melakukan representasi, menginterpretasi, memahami dan mencari makna dari beberapa aspek keberadaan sosial, yang kesemua ini diproduksi dan direproduksi secara tidak sengaja.
2.2. Penelitian Terdahulu Penelitian Analisis Wacana Kritis dengan menggunakan model Teun A Van Dijk dengan judul “Analisis Wacana Kritis dalam Sinopsis Novel “Negara Kelima”
Karya
Es
Ito
yang
ditulis
oleh
Nurul
Hikmah
(http://flawless.e.journal.com) memberikan hasil kesimpulan bahwa analisis wacana kritis tidak hanya memfokuskan pada struktur wacana secara kebahasaan saja tetapi juga menyambungkannya dengan konteks dan melihat secara historis, yang akan membantu untuk menemukan ideologi pada suatu wacana. Selain itu, hasil analisis menjelaskan, bagaimana satu pihak, kelompok, orang, gagasan,dan peristiwa ditampilkan dengan cara tertentu dalam wacana yang berbentuk teks dan dapat mempengaruhi interpretasi pembaca. Penelitian dengan judul “Representasi SBY Dalam Delapan Artikel The Jakarta Post Terkait Isu Keharmonisan Umat Beragama : Analisis Wacana Kritis” yang dilakukan oleh Grace Natalia (http://e.journal-fakultas ilmu budaya-
17
unpad.com) dengan menggunakan model Teun A Van Dijk Dari hasil penelitian ini terdapat beberapa kesimpulan yakni pada tataran makro, bentuk kuasa The Jakarta Post dalam merepresentasikan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terkait isu keharmonisan umat beragama dapat terlihat melalui pola akses salah satunya pada akses controlling communicative events. Kuasa The Jakarta Post terlihat dari pemilihan topik pemberitaan yakni kekerasan dan diskriminasi umat beragama di mana SBY terlihat powerless dalam isu ini, pemakaian kalimat pada headlines dan penjabaran main events yang memunculkan representasi negatif terhadap SBY, pemilihan narasumber yakni pendapat tokoh agama dan Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) yang lebih dominan dibandingkan aparat pemerintah serta penilaian negatif dari mereka terhadap kinerja Susilo Bambang Yudhoyono dan pemberian detil-detil yang mendeskripsikan SBY secara negatif dalam pemberitaannya. Pada tataran mikro, cara The Jakarta Post merepresentasikan SBY terlihat pada
struktur
mikro
dan
superstruktur.
Pada
bagian
superstruktur,
SBY
direpresentasikan negatif oleh The Jakarta Post melalui headlines dan main events pada delapan artikel. Representasi negatif muncul karena SBY dianggap sebagai pemimpin yang belum berhasil menjaga keamanan dan kebebasan umat beragama di Indonesia. Pada struktur mikro, representasi negatif SBY muncul pada analisis level 14 Detil-detil yang diberikan terhadap SBY dalam delapan artikel The Jakarta Post
membentuk representasi negatif terhadap SBY terkait isu keharmonisan umat beragama dalam bentuk negative other presentation.
Penelitian yang dilakukan oleh Rinasari Kusuma dan Dewi Kartika Sari (dalam Jurnal Komunikator, Vol.3, No. 1, halaman 61-94, Yogyakarta, Mei 2011) dengan judul “Wacana Asimilasi Dalam Film Televisi “Jangan Panggil Aku Cina”” yang menggunakan model analisis Teun A Van Dijk menghasilkan
18
kesimpulan dengan kategorisasi pertama, analisis mikro level yaitu tema, dalam konteks wacana asimilasi, tema film ini adalah kebingungan seornag keturunan Cina akan kepastian identitas budayanya. Kebingungan antara dualitas budaya yang diabutnya, Cina dan Padang. Hal ini menjadi gambaran besar, bagaimana etnis Cina selama ini merasa terkungkung dalam dua identitas yang saling bertolak belakang. Identitas darah mereka yang Cina mengharuskan mereka untuk mengikuti ajaran dan peraturan nenek moyangnya. Sedangkan identitas keseharian tempat mereka tinggal memliki streotipenya sendiri yang cenderung negatif mengenai hal tersebut. Kemudian setting, setting film Jangan Panggil Aku Cina mengambil setting tahun 1990 an. Walaupun tidak ditunjukkan secara eksplisit, tapi hal ini terlihat dari model pakaian dan gaya rambut tokoh-tokohnya. Kemudian karakter, pengkarakteran individu dalam film ini merepresentasikan beberapa golongan yang berada dalam lingkaran asimilasi. Lalu dialog, dialog yang digunakan dalam film Jangan Panggil Aku Cina adalah dialog bahasa Minang dan bahasa Indonesia. Kemudian dalam kostum, Olivia yang diceritakan beretnis Cina mengenakan pakaian khas Padang dalam hidupnya sehari-hari. Kedua, Analisis Makro Level yaitu pertama, Birasial Cultural Identity merujuk pada dimilikinya dua identitas budaya oleh seseorang. Seperti yang telah disebutkan dalam analisis mengenai tema film, terdapat kebingungan Pia akan identitas budayanya. Kedua, Resistensi dan Diskriminasi yang tinggi akan keCina-an Pia ditunjukkan secara eksplisit oleh Mama Yuzril dan keluarga Ninik Mamak. Hanya dengan meihat fisik Pia yang cenderung berkulit putih dan bermata sipit, mereka serta merta langsung tidak menyukainya. Resistensi ini berasal dari rasialisme yang secara tidak sadar masih dianut oleh mama Yuzril dan
19
keluarga Ninik Mamak. Ketiga, Identitas Budaya dalam film ini Pia dan keluarganya sebagai warga keturunan Cina berada pada level bicultural, memiliki dua identitas kebudayaan, identitas budaya Cina sebagai identitas ras/darah dan agama mereka, Pia dan keluarganya masih menganut agama nenek moyang mereka, dan identitas budaya Padang sebagai pemandu kehidupan keseharian mereka. Dengan memakai paradigma kritis, Ibnu Hamad, dalam penelitian berjudul “Media Massa dan Konstruksi Realitas Politik (Studi CDA tentang Berita-berita Politik di Surat Kabar)” , (dalam Jurnal Kajian Komunikasi, Vol 1, No.1, Halaman 1-92, Jatinangor Des 2012) mengungkapkan faktor kesejarahan dan kekuatan-kekuatan sosial budaya dan ekonomi politik dibalik pengkonstruksian (pewacanaan/pemberitaan) sembilan partai politik oleh 10 surat kabar dalam kampanye Pemilu 1999. Alih-alih mewacanakan partai sebagai perantara dalam bursa ide-ide, Koran-koran yang diteliti umumnya menggambarkan Sembilan partai itu dalam wajah yang berbeda-beda. Selanjutnya Hamad menemukan, bahwa sebagian digambarkan sebagai partai yang pro status quo, ada pula yang diberitakan sebagai partai yang reformis, ada juga yang diwacanakan dari sudut popularitas figur tokoh partai. Perbedaan pewacanaan ini, disebabkan perbedaan orientasi masing-masing media; sebagian dipengaruhi ideologis, idealis, politis, dan ada juga yang berorientasi ekonomi (pasar). Penelitian Eka Wenats Wurianta, yang berjudul “Ideologi Militerisme dan Media Massa: Representasi Legitimasi dan Delegitimiasi Ideologi (Studi CDA pada Harian Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha Periode 1965-1968)” , menemukan bahwa pada proses komunikasi krisis, terutama ketika kepentingan
20
ideologi masuk dan menjadi penentu signifikan, media massa merepresentasikan kekuasaan militer yang represif dan koersif dalam proses konsolidasi ekonomi politiknya. Selain itu, Wurianta berupaya mencari pemahaman utuh mengenai hubungan antara media massa, proses ideologisasi, dan dinamika militerisme dalam konteks perpolitikan di Indonesia. Suratkabar Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha telah memberikan beberapa pokok produksi teks yang sarat ideologis dan kepentingan kebenaran, serta peminggiran sosial kelompok tertentu. Kedua harian itu menciptakan dunia realitas dalam konteks situasi krisis, di mana sistem kebenaran simbolis yang menindas penuh dengan manipulasi dan sarat kepentingan politik militer di Indonesia. Kajian analisis wacana juga dilakukan oleh Idfie Widya Pratama dengan judul “‘Tubuh Dalam Komedi’ Analisis Wacana Tubuh Dalam Program Acara Bukan Empat Mata Dan Untung Ada Budi” (dalam Jurnal Komunikator, Vol.3, No. 1, halaman 113 - 138, Yogyakarta, Mei 2011) menghasilkan kesimpulan pertama, tubuh yang sengaja dicetak sehingga menyerupai binatang, tubuh disini difungsikan untuk menyampaikan suatu maksud dan tujuan. Sehingga ketika komedian berusaha meniru karakter seekor binatang, disinilah terjadi salah satu bentuk pemanfaatan tubuh. Binatang sebagai makhluk yang derajatnya rendah, juga menjadi alasan para komedian memanfaatkan binatang sebagai bahan lelucon. Tujuannya tak lain supaya dirinya (komedian) juga terkesan rendah di mata orang lain, sehingga akan muncul kelucuan dari pemaknaan tersebut. Kedua, tubuh yang dijadikan bahan lelucon karena bentuk fisiknya yang tidak menarik. Lelucon yang tercipta lantaran dipicu adanya bentuk tubuh tidak menarik merupakan suatu bentuk eksploitasi
21
atas tubuh, pemaknaan lucu sebenarnya juga muncul berdasarkan atas bentuk eksploitasi tubuh tersebut. Ketidakmenarikan fisik sebenarnya merupakan hasil perbandingan antara bentuk fisik menarik dan tidak menarik. perbandingan tersebut menjadikan jenis lelucon yang satu ini cenderung memposisikan orang bertubuh tidak menarik ditempatkan dan diperlakukan berbeda, daripada orang bertubuh menarik. kemudian kategori terakhir, adalah tubuh yang dimanfaatkan sebagai media untuk mengekspresikan penampilan unik. Kelucuan dapat tercpita karena ada obyek lain yang coba dilekatkan pada tubuh, “obyek” yang dimaksud adalah suatu yang dapat dimanfaatkan oleh tubuh dalam mendukung sebuah aktivitas lucu. Obyek tersebutlah yang sebenarnya menjadi sumber datangnya kelucuan, dimana untuk berfungsi dengan baik obyek tersebut tidak ditampilkan secara wajar, tetapi ditampilkan dan dikemas ke dalam bentuk-bentuk yang tidak sewajarnya. Tujuannnya tidak lain supaya tubuh terkesan semakin jelek, sehinggan akan muncul asumsi lucu dari perpaduan bentuk tubuh dan obyek tersebut. Kajian analisis wacana lainnya juga dilakukan oleh Diandra Shafira Ramadhaniar Sofiah seorang mahasiswi Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan judul “‘Identitas Perempuan Dalam Social Media’ Studi Analisis Wacana Konstruksi Identitas Online Peranan Perempuan Dewasa Awal dalam Situs Jejaring Sosial Facebook”, (http://e.journal.paper.diandra.com) memberikan kesimpulan bahwa permainan identitas dalam Facebook merupakan fenomena dari kemunculan media sosial yang menggempur kehidupan generasi muda saat ini. Identitas yang ditampilkan perempuan dewasa awal dalam profil Facebook merupakan bagian
22
dari sisi kehidupan di dunia nyata dari renovated hierarchies menjadi online hierarchies. Yang paling utama adalah perempuan usia dewasa awal menyadari betul perilaku mereka ketika mengakses Facebook dan konsekuensi apa yang akan dihadapi. Perilaku yang ditunjukkan perempuan dewasa awal di media sedikit banyak menggambarkan sifat dan kepribadian mereka sebenarnya. Namun, dampak dari kehadiran jejaring sosial ini juga tidak dapat diabaikan begitu saja. Kemudahan pengekspresian diri yang dilakukan pengguna Facebook dapat memancing permasalahan akibat tutur kata yang mereka tuliskan di saat mereka masih dalam keadaan emosi. Pemahaman akan perilaku pengguna media sosial terbesar di dunia ini menjadi menarik agar dapat dikelola dengan baik, dan dapat memberikan wawasan
kepada
perempuan
dewasa
awal
untuk
tidak
serta-merta
mengungkapkan apa saja yang ada di pikiran mereka dan menjaga tingkah polah layaknya di dunia nyata. Jurnal penelitian dengan studi analisis wacana juga dilakukan oleh Drs. Sumarto, MSI seorang dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Diponogoro tahun 2002 dengan judul “Analisis Wacana: Kekerasan Terhadap Wanita Dalam Cerita Dongeng Di Indonesia” yang merupakan sebuah laporan penelitian memberikan kesimpulan secara pragmatis bagi pengarang (yang tidak tampak itu) hampir keseluruhan tokoh utama dalam dongeng ini digunakan sebagai simbol untuk memperjuangkan suatu nilai-nilai moral tertentu. Akan tetapi dari semua nilai oral yang secara eksplisit disebutkan, tidak ada satu nilai pun yang mecoba melihat dari perspektif gender yaitu pandangan yang
23
mempersoalkan relasi antara wanita dan pria dimasyarakat. Semua nilai-nilai moral yang ditegaskan oleh pengarang merupakan nilai-nilai moral yang bersifat umum. Harapannya dengan nilai tersebut, bisa dilakukan kegiatan edukatif terhadap nilai-nilai normatif tertentu yang hidup dan dijadikan dasar perilaku anggota masyarakat. Tiadanya nilai-nilai moral yang memfokuskan pada relasi gender antara pria dan wanita menjadikan semua bentuk kekerasan terhadap wanita dalam semua cerita rakyat tiu menjadi tidak tampak (laten) dan seolah-olah semua bentuk kekerasan yang ada itu merupakan suatu kewajaran belaka. Tentu hal ini sangat berbahaya bagi pembaca yang nilai kepekaan kulturalnya masih rendah seperti anak-anak yang berusia di bawah 10 tahun.
2.3. Uraian Teori 2.3.1. Analisis Wacana Kritis Jorgensen dan Phillips (2007; 114) menyebut, analisis wacana kritis (AWK) menyediakan teori dan metode yang bisa digunakan untuk melakukan kajian empiris tentang hubungan-hubungan antara wacana dan perkembangan sosial dan kultural dalam domain-domain sosial yang berbeda. Analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai dalam beberapa disiplin ilmu dan dengan berbagai pengertian. Awal perkembangan analisis wacana kritis dikemukakan oleh Van Dijk pada tahun 1970-an. Analisis ini mendapat pengaruh teori linguistik kritis, teori sosial kritis Frankfurt, dan teori pascastrukturalisme yang berkembang di Perancis. Titik singgung dari setiap pengertian tersebut adalah analisis wacana berhubungan dengan studi mengenai bahasa atau pemakaian bahasa. Kalau
24
analisis isi kuantitatif lebih menekankan pada pertanyaan ‘apa’ (what), analisis wacana lebih melihat pada ‘bagaimana’ (how) dari pesan atau teks komunikasi. Lewat analisis wacana kita bukan hanya mengetahui isi teks berita, tetapi juga bagaimana pesan itu disampaikan. Lewat kata, frasa, kalimat, metafora seperti apa suatu berita disampaikan. Analisis wacana kritis (AWK) adalah sebuah upaya atau proses (penguraian) untuk memberi penjelasan dari sebuah teks (realitas sosial) yang mau atau sedang dikaji oleh seseorang atau kelompok dominan yang kecenderungannya mempunyai tujuan tertentu untuk memperoleh apa yang diinginkan. Artinya, dalam sebuah konteks harus disadari akan adanya kepentingan. Oleh karena itu, analisis yang terbentuk nantinya disadari telah dipengaruhi oleh si penulis dari berbagai faktor. Selain itu harus disadari pula bahwa di balik wacana itu terdapat makna dan citra yang diinginkan serta kepentingan yang sedang diperjuangkan (Badara, 2012: 21). Analisis wacana yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah sebagai upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari subjek (penulis) yang mengemukakan suatu pernyataan. Pemahaman mendasar analisis wacana adalah wacana tidak dipahami semata-mata sebagai objek studi bahasa. Pada akhirnya, memang analisis wacana kritis menggunakan bahasa bahasa dalam teks yang dianalisis, tetapi bahasa yang dianalisis dalam analisis wacana kritis berbeda dengan studi bahasa dalam pengertian linguistik tradisional. Bahasa yang dianalisis oleh analisis wacana kritis bukan menggambarkan aspek bahasa saja, tetapi juga menghubungkannya dengan konteks. Konteks dalam hal ini berarti bahasa yang dipakai untuk tujuan tertentu termasuk di dalamnya praktik kekuasaan. Analisis wacana kritis melihat
25
bahasa sebagai fakta penting, yaitu bagaimana bahasa digunakan untuk melihat ketimpangan-ketimpangan kekuasaan dalam masyarakat (Darma, 2009: 32). Konsep Critical Discourse Analysis (CDA) menurut Eriyanto (2001: 31) adalah “lebih mementingkan aspek kualitatif dari daripada kuantitatif”. CDA menekankan perhatiannya pada pemaknaan teks ketimbang penjumlahan unit kategori seperti dalam analisis isi. Dasar dari CDA adalah interpretatif yang mengandalkan interpretasi dan penafsiran peneliti. Sementara analisis isi kuantitatif, pada umumnya hanya dapat digunakan untuk membedah muatan teks komunikasi yang bersifat manifest (nyata), sedangkan CDA justru berpretensi memfokuskan pada pesan laten (tersembunyi). Menurut Fairclough dan Wodak (1997:44)
melihat CDA sebagai
pemakaian bahasa baik tuturan maupun tulisan yang merupakan praktik dari bentuk sosial. Hal ini menyebabkan adanya hubungan dialektis antara peristiwa diskursif
tertentu
dengan
situasi,
institusi,
dan
struktur
sosial
yang
membentuknya. Norman Fairclough juga mengatakan, konsep yang dia bentuk menitik beratkan pada tiga level, pertama, setiap teks secara bersamaan memiliki tiga fungsi, yaitu representasi, relasi dan identitas. Kedua, praktik wacana meliputi cara-cara para pekerja media memproduksi teks. Hal ini berkaitan dengan sifat dan culture wartawan itu sendiri. Ketiga, praktik sosial-budaya menganalisis tiga hal yaitu ekonomi, politik (khususnya berkaitan dengan isu-isu kekuasaan dan ideologi) dan budaya (khususnya berkaitan dengan nilai dan identitas) yang juga mempengaruhi stitusi media dan wacananya. Dalam analisis wacana kritis, analisis wacana dipakai untuk meneliti ideologi yang tersembunyi di dalam teks, bagaimana di dalam teks terdapat
26
sebuah dominasi kekuasaan dan ketidakadilan dari pihak-pihak tertentu. Pihakpihak yang berkuasa tersebut menggunakan media wacana yang ada dalam masyarakat, khususnya teks berita untuk menghegemoni dan mempengaruhi kesadaran mental masyarakat. Istilah wacana kritis sendiri digunakan untuk membedakan pengertian dua pendekatan terhadap wacana yang lain, dimana menurut Eriyanto, wacana tidak hanya menganalisis kebenaran suatu teks dari segi struktur kalimatnya saja menurut kaidah sintaksis dan semantik, tidak saja meletakkan subjek atau penutur sebagai pihak yang paling menentukan makna secara netral tanpa ada pengaruh kuasa sosial di sekitarnya, tetapi juga menganalisis suatu pernyataan dalam teks lewat konteks sosialnya (Eriyanto 2001:224). Aspek bahasa dalam media massa, teks dan segala bentuk wacana di masyarakat merupakan tempat bersemayamnya kuasa-kuasa yang dipakai oleh pihak-pihak tertentu untuk melegitimasi dan melanggengkan posisi mereka. Oleh karena itu, sama seperti hermeneutika, untuk meneliti sebuah teks perlulah penempatan sebuah teks pada konteks interaksi, sejarah, kekuasaan dan ideologi tertentu. Analisis wacana lebih bisa melihat makna yang tersembunyi dari suatu teks (Eriyanto, 2001: 24). Ahmad Zaini Akbar (Bungin, 2003: 154), menyebutkan ciri-ciri analisis kritis: Pertama, aliran kritis lebih menekankan pada unsur-unsur filosofis komunikasi. Pertanyaan yang sering dikemukakan oleh kaum kritis adalah, siapa yang mengontrol arus informasi? Siapa yang diuntungkan oleh arus dan struktur komunikasi yang ada? Ideologi apa di balik media? Kedua, aliran kritis melihat struktur sosial sebagai konteks yang sangat menentukan realitas, proses, dan dinamika komunikasi manusia, khususnya (termasuk komunikasi massa). Ketiga, aliran kritis lebih memusatkan perhatiannya pada siapa yang mengendalikan komunikasi. Aliran ini beranggapan bahwa komunikasi hanya
27
dimanfaatkan oleh kelas yang berkuasa, baik untuk mempertahankan kekuasaanya maupun untuk merepresi pihak-pihak yang menentangnya. Keempat, aliran kritis sangat yakin dengan anggapan bahwa teori komunikasi manusia, khususnya teori komunikasi massa, tidak mungkin dapat menjelaskan realitas secara utuh dan kritis apabila ia mengabaikan teori-teori masyarakat. Oleh karena itu, teori komunikasi massa harus selalu berdampingan dengan teori-teori sosial. Kridalaksana (dalam Darma 2009: 69) membahas bahwa wacana adalah satuan bahasa terlengkap dalam hirarki gramatikal tertinggi dan merupakan satuan gramatikal yang tertinggi atau terbesar. Jadi, wacana adalah unit linguistik yang lebih besar dari kalimat atau klausa. Terdapat tiga pandangan mengenai bahasa dalam analisis wacana menurut Eriyanto (2001: 4-6). Pandangan pertama disebut positivisme-empiris yang melihat bahasa sebagai jembatan antara manusia dengan objek di luar dirinya. Pengalaman-pengalaman manusia dianggap dapat secara langsung diekspresikan melalui penggunaan bahasa tanpa ada
kendali atau
distorsi, sejauh ia dinyatakan dengan memakai pernyataan-pernyataan yang logis, sintaksis dan memiliki hubungan dengan pengalaman empiris. Salah satu ciri dari pemikiran ini adalah pemisahan antara pemikiran dan realitas. Dalam kaitannya dengan analisis wacana, konsekuensi logis dari pemahaman ini adalah orang tidak perlu
mengetahui
makna-makna
subjektif
atau
nilai
yang
mendasari
pernyataannya, sebab yang penting adalah apakah pernyataan itu dilontarkan secara benar menurut kaidah sintaksis dan semantik. Pandangan kedua, disebut sebagai konstruktivisme. Aliran ini menolak pandangan positivisme-empiris yang memisahkan subjek dan objek bahasa. Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan yang
dipisahkan
dari subjek
sebagai penyampai pernyataan. Konstruktivisme justru menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan wacana
serta hubungan-hubungan
28
sosialnya. Dalam hal ini, seperti dikatakan A.S Hikam (dalam Eriyanto, 2001: 6), subjek memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana. Bahasa dipahami dalam paradigma ini diatur dan dihidupkan oleh pernyataan-pernyataan yang bertujuan. Analisis
wacana
kritis,
tidak
dipusatkan
pada
kebenaran
atau
ketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses penafsiran. Paradigma ini menekankan, padan konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek netral yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai dengan pikirannya, karena sangat berhubungan dan dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat. Bahasa dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema dan wacana tertentu maupun strategi-strategi di dalamnya (Stubs, 1983: 32). Eriyanto dalam bukunya Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, menyebutkan; “Dengan demikian dapat dipahami analisis wacana kritis dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa: batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif, yang mesti dipakai dan topik apa yang dibicarakan”. Oleh sebab itu, bahasa dilihat selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan, terutama dalam pembentukan subjek, dan berbagai tindakan representasi yang terdapat dalam masyarakat. Pada akhirnya, analisis wacana kritis menganalisis bahasa bukan dengan menggambarkan dari aspek kebahasaan saja tetapi juga menghubungkan dengan konteks, yang diartikan sebagai bahasa itu dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu, termasuk praktik kekuasaan. Analisis wacana kritis melihat bahasa digunakan untuk melihat ketimpangan kekuasaan dalam masyarakat. Kemudian diselidiki, bagaimana
29
melalui bahasa kelompok sosial yang ada saling bertarung dan mengajukan versinya masing-masing (Eriyanto, 2001: 7). Adapun karakteristik analisis wacana kritis menurut Teun Van Dijk, Norman Fairclough dan Ruth Wodak (dalam Eriyanto, 2001 : 9) adalah: 1) Tindakan Wacana dipahami sebagai sebuah tindakan yang diasosiakan bentuk interaksi. Wacana dipandang sebagai sesuatu yang untuk mempengaruhi, mendebat, membujuk,
sebagai
bertujuan, apakah
menyanggah, beraksi dan
sebagainya. Seseorang berbicara atau menulis mempunyai maksud tertentu, baik besar maupun kecil. Kedua, wacana dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan secara sadar, terkontrol, bukan sesuatu yang di luar kendali atau diekspresikan di luar kesadaran. 2) Konteks Analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks dari wacana, seperti latar, situasi, peristiwa dan kondisi. Wacana disini dipandang diproduksi, dimengerti, dan dianalisis pada suatu konteks tertentu. Mengikuti Guy Cook, analisis wacana juga memeriksa konteks dari komunikasi: siapa yang mengkomunikasikan dengan siapa dan mengapa; dalam jenis khalayak dan situasi apa; melalui medium apa; bagaimana perbedaan tipe dari perkembangan komunikasi; dan
hubungan untuk setiap masing-masing pihak. Guy Cook
menyebutkan ada tiga hal yang sentral dalam pengertian wacana; teks, konteks, dan wacana. Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra dan sebagainya.
30
Konteks memasukkan semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam bahasa, situasi di mana teks tersebut diproduksi, fungsi yang dimaksudkan, dan sebagainya. Titik perhatian dari analisis wacana adalah menggambarkan teks dan konteks secara bersama-sama dalam suatu proses komunikasi. Wacana kritis mendefinisikan teks dan percakapan pada situasi tertentu; wacana berada dalam situasi sosial tertentu. Meskipun demikian, tidak semua konteks dimasukkan dalam analisis, hanya yang relevan dan dalam banyak hal berpengaruh atas produksi wacana. Pertama, partisipan wacana, latar siapa yang memproduksi wacana. Kedua, setting sosial tertentu, seperti tempat, waktu, posisi pembicara dan pendengar atau lingkungan fisik adalah konteks yang berguna untuk mengerti suatu wacana. Oleh karena itu, wacana harus dipahami dan ditafsirkan dari kondisi dan lingkungan sosial yang mendasarinya. 3) Historis Pemahaman mengenai wacana teks ini hanya akan diperoleh kalau kita bisa memberikan konteks historis di mana teks itu diciptakan. Bagaimana situasi sosial politik, suasana pada saat itu. Oleh karena itu, pada waktu melakukan analisis perlu tinjauan untuk mengerti mengapa wacana yang berkembang atau dikembangkan seperti itu, mengapa bahasa yang dipakai seperti itu, dan seterusnya. 4) Kekuasaan Di sini, setiap wacana yang muncul, dalam bentuk teks, percakapan atau apa pun, tidak dipandang sebagai seusatu yang alamiah, wajar dan netral tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Analisis
wacana kritis tidak
31
membatasi dirinya pada detil teks atau struktur wacana saja tetapi juga menghubungkan dengan kekuatan dan kondisi
sosial, politik, ekonomi dan
budaya tertentu. Kekuasaan itu dalam hubungannya dengan wacana, penting untuk melihat apa yang disebut sebagai kontrol. Kontrol di sini tidaklah harus selalu dalam bentuk fisik dan langsung tetapi juga kontrol secara mental atau psikis. Bentuk kontrol terhadap wacana tersebut dapat berupa kontrol atas konteks, atau dapat juga diwujudkan dalam bentuk mengontrol struktur wacana. 5) Ideologi Wacana
dipandang
sebagai
medium
kelompok
yang
dominan
mempersuasi dan mengkomunikasikan kepada khalayak produksi kekuasaan dan dominasi yang mereka miliki, sehingga tampak absah dan benar. Ideologi dari kelompok dominan hanya efektif jika didasarkan pada kenyataan bahwa anggota komunitas termasuk yang didominasi menganggap hal tersebut sebagai kebenaran dan kewajaran. Analisis wacana tidak bisa menempatkan bahasa secara tertutup, tetapi harus melihat konteks terutama bagaimana ideologi dari kelompokkelompok yang ada tersebut berperan dalam
membentuk wacana. Seperti
dikatakan Teun A Van Dijk, ideologi utamanya dimaksudkan untuk mengatur masalah tindakan dan praktik individu atau anggota suatu kelompok. Dalam perspektif ini, ideologi memiliki beberapa implikasi penting. Pertama, ideologi secara inheren bersifat sosial tidak personal dalam arti dia membutuhkan saling berbagi antara anggota kelompok, organisasi atau kolektivitas dengan orang lainnya. Hal yang dibagi itu digunakan untuk membentuk sikap solidaritas, dan kesatuan dalam bertindak dan bersikap. Kedua, meskipun bersifat sosial, ideologi digunakan secara internal di antara anggota
32
kelompok. Karena itu ideologi, tidak hanya menyediakan fungsi koordinasi dan kohesi tetapi juga membentuk identitas diri kelompok dan membedakannya dengan kelompok lain. Oleh karenanya, analisis wacana kritis tidak bisa menempatkan bahasa secara tertutup, tapi harus melihat konteks terutama bagaimana ideologi dari kelompok yang ada itu berperan dalam bentuk wacana. Dalam teks berita misalnya, dapat dianalisis apakah teks yang muncul merupakan cerminan dari ideologi seseorang. Dalam analisis Laclau dan Mouffe, disebutkan praktik kewacanaan memberikan kontribusi bagi penciptaan dan reproduksi hubungan kekuasaan yang tidak setara antar kelompok sosial (Jorgensen & Phillips, 2007:119). Analisis wacana kritis, juga mengambil teori –teori mengenai wacana yang dikemukakan Michel Focault dan Louis Althusser. Sumbangan terbesar Focault terutama mengenalkan wacana sebagai praktik sosial. Wacana berperan dalam mengontrol, menormalkan dan mendisiplinkan individu. Sementara Althusser, menyebut wacana berperan dalam mendefenisikan individu dan memosisikan seseorang dalam posisi tertentu. Analisis wacana kritis juga dipengaruhi oleh pemikiran Antonio Gramsci tentang hegemoni (Eriyanto, 2001: 14). Gramsci berperan besar terutama dengan teorinya mengenai hegemoni. Ada beberapa pendekatan dalam analisis wacana kritis ini. Di antaranya adalah, pendekatan perubahan sosial. Analisis wacana ini terutama memusatkan perhatian pada bagaimana wacana dan perubahan sosial. Fairclough banyak dipengaruhi oleh Foaucault dan pemikiran intertekstualitas Julia Kristeva dan Bakhtin. Wacana di sini dipandang sebagai praktik sosial, ada hubungan dialektis antara praktik kewacanaan tersebut dengan identitas dan relasi sosial. Memaknai wacana
33
demikian, bisa menjelaskan bagaimana wacana dapat memproduksi dan mereproduksi status quo dan mentransformasikannya (Eriyanto, 2001: 17).
2.3.2. Analisis Wacana Kritis Teun A Van Dijk Dari begitu banyak model analisis wacana yang diperkenalkan dan dikembangkan oleh beberapa ahli, model Van Dijk adalah model yang paling banyak dipakai. Hal ini mungkin disebabkan karena Van Dijk menformulasikan elemen-elemen wacana, sehingga bisa dipakai secara praktis. Model yang dipakai oleh Van Dijk ini sering disebut sebagai “kognisi sosial” (Eriyanto 2001:221). Menurut Van Dijk, penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi yang harus juga diamati. Di sini harus dilihat juga bagaimana suatu teks diproduksi. Proses produksi itu melibatkan suatu proses yang disebut sebagai kognisi sosial. Teks dibentuk dalam suatu praktik diskursus, suatu praktik wacana dimana terdapat dua bagian, yaitu teks yang mikro yang merepresentasikan suatu topik permasalahan dalam berita, dan elemen besar berupa struktur sosial. Van Dijk membuat suatu jembatan yang menghubungkan elemen besar berupa struktur sosial tersebut dengan elemen wacana yang mikro dengan sebuah dimensi yang dinamakan kognisi sosial. Kognisi sosial tersebut mempunyai dua arti. Di satu sisi ia menunjukkan bagaimana proses teks tersebut diproduksi oleh wartawan/ media, di sisi lain ia menggambarkan nilai-nilai masyarakat itu menyebar dan diserap oleh kognisi wartawan dan akhirnya digunakan untuk membuat teks berita (Eriyanto 2001:222).
34
Van Dijk melihat suatu teks terdiri atas beberapa struktur/tingkatan yang masing-masing bagian saling mendukung. Ia membaginya kedalam 3 tingkatan pertama, struktur makro merupakan makna global/umum dari suatu teks yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema yang dikedepankan dalam suatu berita. Kedua, superstruktur merupakan struktur wacana yang berhubungan dengan kerangka sutau teks, bagaimana bagian-bagian teks tersusun kedalam berita secar utuh. Ketiga, struktur mikro adalah makna wacana yang dapat diamati dari bagian kecil dari suatu teks yakni kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, paraphrase, dan gambar.
Menurut Van Dijk (dalam Eriyanto, 2001) meskipun terdiri dari atas berbagai elemen, semua elemen tersebut merupakan suatu kesatuan, saling berhubungan dan mendukung satu sama lainnya. Makna global dari suatu teks (tema) didukung oleh kerangka teks, pada akhirnya pilihan kata dan kalimat yang dipakai. Menurut Little john, antar bagian teks dan model Van Dijk dilihat saling mendukung, mengandung arti yang koheren satu sama lain. Hal ini karena semua teks dipandang Van Dijk memiliki suatu aturan yang dapat dilihat sebagai suatu piramida. Makna global dari suatu teks didukung oleh kata, kalimat dan proposisi yang dipakai. Pertanyaan/tema pada level umum didukung oleh pilihan kata, kalimat atau retorika tertentu. Proses ini membantu peneliti untuk mengamati bagaimana suatu teks terbangun oleh elemen-elemen yang lebih kecil. Skema ini juga memberikan peta untuk mempelajari suatu teks.
35
Tabel 2.3.2.1. Analisis Wacana Kritis Teun A. Van Dijk Struktur Makro Makna global dari suatu teks yang dapat diamati dari topik/tema yang diangkat oleh suatu teks Superstruktur Kerangka suatu teks, seperti bagian pendahuluan, isi, penutup dan kesimpulan Struktur Mikro Makna lokal dari suatu teks yang dapat diamati dari pilihan kata, kalimat dan gaya Sumber: Teun A. Van Dijk, Critical Discourse Analysis.1998 Van Dijk (dalam Eriyanto, 2001) melihat bagaimana struktur sosial, dominasi, dan kelompok kekuasaan yang ada dalam masyarakat dan bagaimana kognisi/ pikiran dan kesadaran membentuk dan berpengaruh terhadap teks tertentu. Wacana oleh van Dijk digambarkan mempunyai tiga dimensi/ bangunan : teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Inti analisis Van Dijk adalah menggabungkan ketiga dimensi wacana tersebut ke dalam satu kesatuan analisis. Dalam dimensi teks yang pertama, yang diteliti adalah bagaimana struktur teks dan strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu. Pada level kognisi sosial dipelajari proses produksi teks berita yang melibatkan kognisi individu dari wartawan. Sedangkan aspek ketiga mempelajari bangunan wacana yang berkembang dalam masyarakat akan suatu masalah. Ketiga dimensi ini merupakan bagian yang integral dan dilakukan secara bersama-sama dalam analisis Van Dijk (Eriyanto, 2001:225). 1)
Teks Van Dijk (dalam Eriyanto, 2001: 226) membagi struktur teks ke dalam
tiga tingkatan. Pertama, struktur makro. Ini merupakan makna global/ umum dari suatu teks yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema yang dikedepankan dalam suatu berita. Kedua, superstruktur. Ini merupakan struktur wacana yang
36
berhubungan dengan kerangka atau skema suatu teks, bagaimana bagian-bagian teks tersusun ke dalam berita secara utuh. Ketiga, struktur mikro adalah makna wacana yang dapat diamati dari bagian kecil dari suatu teks yakni kata, kalimat, parafrase dan lain-lain. Meskipun terdiri atas berbagai elemen, semua elemen tersebut merupakan satu kesatuan, saling berhubungan dan mendukung satu sama lainnya. Makna global dari suatu teks (tema) didukung oleh kerangka teks dan baru kemudian pilihan kata dan kalimat yang dipakai. Pemakaian kata, kalimat, proposisi, retorika tertentu oleh media dipahami Van Dijk sebagai bagian dari strategi wartawan. Pemakaian kata-kata tertentu, kalimat, gaya tertentu bukan semata dipandang sebagai cara berkomunikasi melainkan sebagai politik berkomunikasi, suatu cara untuk mempengaruhi pendapat
umum,
menciptakan
dukungan,
memperkuat
legitimasi,
dan
menyingkirkan lawan atau penentang. Struktur wacana adalah cara yang efektif untuk melihat proses retorika dan persuasi yang dijalankan ketika seseorang menyampaikan pesan. Berikut ini akan dijelaskan satu per satu elemen dalam teks
Struktur Wacana Struktur Makro
Tabel 2.3.2.2. Unsur Analisis Teks Hal Yang Diamati Tematik Tema/Topik yang dikedepankan dalam suatu berita.
Superstruktur
Skematik Bagaimana bagian dan urutan berita diskemakan dalam teks utuh
Struktur Mikro
Semantik Makna yang ingin ditekankan dalam teks berita, misal dengan member detil pada satu sisi atau membuat eksplisit satu sisi dan mengurangi detil sisi lain.
Elemen Topik
Skema
Latar, detil, maksud, praanggapan, Bentuk kalimat,
37
Sintaksis Bagaimana kalimat (bentuk, susunan) yang dipilih. Stilistik Bagaimana pilihan kata yang dipakai dalam teks berita. Retoris Bagaimana dan dengan cara penekanan dilakukan.
Koherensi, Kata ganti. Leksikon Grafis, Metafora,
Sumber: Eriyanto, Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media.2001. 2) Tematik Elemen tematik mempostulatkan pada gambaran umum dari suatu teks. Bisa juga disebut sebagai gagasan inti, ringkasan, atau yang utama dari suatu teks. Topik menggambarkan konsep dominan, sentral, dan paling penting dari isi suatu berita yang ingin diungkapkan oleh wartawan dalam pemberitaannya. Topik menggambarkan tema umum dari suatu teks berita, topik ini akan didukung oleh subtopik satu dan subtopik yang lain yang saling mendukung terbentuknya topik umum. Subtopik ini juga didukung oleh serangkaian fakta yang ditampilkan yang menunjuk dan menggambarkan subtopik, sehingga saling mendukung antara satu bagian dengan bagian yang lain, teks secara keseluruhan membentuk teks yang koheren dan utuh. Misalnya suatu teks berita mengenai Soeharto. Tema umum dari berita tersebut adalah hal-hal positif yang dimiliki oleh Soeharto dan hal-hal positif yang didapat oleh masyarakat Indonesia pada masa pemerintahannya. Kalau kita menggunakan kerangka Van Dijk, dalam teks akan didukung oleh beberapa subtopik, misalnya : harga barang-barang atau sembako yang murah, pembangunan dimana-mana, perekonomian maju. Selain itu masing-masing subtopik ini kalau diperhatikan mendukung, memperkuat bahkan membentuk
38
topik utama berupa kemajuan pemerintahan Soeharto. Masing-masing subtema ini juga akan didukung oleh bagian yang lebih kecil. Misalnya dalam subtema akan diuraikan bahwa keluarga Cendana juga mendirikan yayasan amal. Dengan kata lain, semua fakta saling dukung membentuk satu pengertian umum yang koheren. Namun, peristiwa yang sama bisa jadi dipahami secara berbeda oleh wartawan yang berbeda, dan ini dapat diamati dari topik suatu pemberitaan. 3) Skematik Teks atau wacana umumnya mempunyai skema atau alur dari pendahuluan sampai akhir. Alur tersebut menunjukkan bagaimana bagian-bagian dalam teks disusun dan diurutkan sehingga membentuk kesatuan arti. Meskipun mempunyai bentuk dan skema yang beragam, berita umumnya mempunyai dua kategori skema besar. Pertama, summary yang biasanya ditandai dengan dua elemen yakni judul dan lead. Elemen skema ini merupakan elemen yang dipandang paling penting. Judul umumnya menunjukkan tema yang ingin ditampilkan oleh wartawan dalam pemberitaannya. Lead umumnya sebagai pengantar ringkasan apa yang ingin dikatakan sebelum masuk dalam isi berita secara lengkap. Kedua, story yakni isi berita secara keseluruhan. Isi berita ini juga mempunyai dua subkategori yang pertama berupa situasi yakni proses atau jalannya peristiwa, sedang yang kedua komentar yang ditampilkan dalam teks. Subkategori situasi yang menggambarkan kisah suatu peristiwa umumnya terdiri atas dua bagian. Yang pertama mengenai episode atau kisah utama dari peristiwa tersebut, dan yang kedua latar untuk mendukung episode yang disajikan kepada khalayak misalnya berita tentang konser Dewi Persik yang batal diselenggarakan karena mendapat protes dan kecaman keras dari masyarakat.
39
Episode ini umumnya juga akan didukung oleh latar, misalnya, dengan mengatakan ini pembatalan konser Dewi Persik yang kesekian kali. Dengan demikian, latar umumnya dipakai untuk memberi konteks agar suatu peristiwa lebih jelas ketika disampaikan kepada khalayak . Sedangkan subkategori komentar yang menggambarkan bagaimana pihakpihak yang terlibat memberikan komentar atas suatu peristiwa terdiri atas dua bagian. Pertama, reaksi atau komentar verbal dari tokoh yang dikutip wartawan. Kedua, kesimpulan yang diambil oleh wartawan dari komentar beberapa tokoh. Menurut Van Dijk, arti penting dari skematik adalah strategi wartawan untuk mendukung topik tertentu yang ingin disampaikan dengan menyusun bagianbagian dengan urutan-urutan tertentu. Skematik memberikan tekanan mana yang didahulukan, dan bagian mana yang disembunyikan. Upaya penyembunyian itu dilakukan dengan menempatkan di bagian akhir agar terkesan kurang menonjol. 4) Latar Latar merupakan bagian berita yang dapat mempengaruhi arti yang ingin ditampilkan. Seorang wartawan ketika menulis berita biasanya mengemukakan latar belakang atas peristiwa yang ditulis. Latar yang dipilih menentukan ke arah mana pandangan masyarakat hendak dibawa misalnya ada berita mengenai Bibit Waluyo, seorang kandidat atau calon Gubernur untuk propinsi Jawa Tengah. Bagi yang pro atau mendukung Bibit Waluyo, latar yang dipakai adalah prestasiprestasi dan keberhasilan Bibit Waluyo sedangkan yang kontra atau tidak mendukung tentu akan sebaliknya. Latar dipakai untuk menyediakan dasar hendak ke mana teks itu dibawa.
40
5) Detil Elemen detil merupakan strategi bagaimana wartawan mengekspresikan sikapnya dengan cara yang implisit, selain itu elemen wacana detil berhubungan dengan kontrol informasi yang ditampilkan seseorang. Detil yang lengkap dan panjang merupakan penonjolan yang dilakukan secara sengaja untuk menciptakn citra tertentu kepada khalayak. Detil yang lengkap ini akan dihilangkan kalau berhubungan dengan sesuatu yang menyangkut kelemahan atau kegagalan komunikator. Hal yang menguntungkan komunikator/pembuat teks akan diuraikan secara detil, sebaliknya fakta yang tidak menguntungkan, detil informasi akan dikurangi. Dalam mempelajari detil, yang harus dipelajari atau diteliti adalah keseluruhan dimensi peristiwa, bagaian mana yang diuraikan secara panjang lebar oleh wartawan misalnya kekalahan tim Thomas Indonesia yang diekspos terlalu berlebihan tetapi dengan cara menyajikan berbagai informasi yang tidak perlu. 6) Maksud Elemen wacana maksud, hampir sama dengan elemen detil, hanya saja elemen maksud melihat informasi yang menguntungkan komunikator akan diuraikan secara eksplisit dan jelas. Sebaliknya, informasi yang merugikan akan diuraikan secara tersamar, implicit, dan tersembunyi misalnya pendeskripsian secara jelas dan gamblang cara-cara kekerasan dan koersif yang dilakukan oleh polisi dalam upaya menertibkan pedagang kaki lima. 7) Koherensi Koherensi adalah pertautan atau jalinan antarkata, atau kalimat dalam teks. Dua kalimat yang menggambarkan fakta yang berbeda dapat dihubungkan sehingga tampak koheren. Koherensi merupakan elemen yang menggambarkan
41
bagaimana peristiwa dihubungkan atau dipandang saling terpisah oleh wartawan misalnya proposisi “demonsterasi mahasiswa” dan “nilai tukar rupiah melemah” adalah dua buah fakta yang berlainan. Dua buah proposisi itu menjadi berhubungan sebab-akibat ketika ia dihubungkan dengan kata hubung “mengakibatkan” sehingga kalimatnya menjadi “Demonsterasi mahasiswa mengakibatkan nilai tukar rupiah melemah” dua buah kalimat itu menjadi tidak berhubungan ketika dipakai kata hubung “dan” kalimatnya kemudian menjadi “Demonsterasi mahasiswa dan nilai tukar rupiah melemah”. Dalam kalimat ini, antara fakta banyaknya demonsterasi dan nilai tukar rupiah dipandang tidak saling berhubungan, kalimat satu tidak menjelaskan kalimat lain. Koherensi merupakan elemen wacana untuk melihat bagaimana seseorang secara strategis menggunakan wacana untuk menjelaskan suatu fakta atau peristiwa. Apakah peristiwa itu dipandaang terpisah, berhubungan, atau merupakan hubunagn sebab-akibat. Pilihan yang diambil ditentukan oleh sejauh mana kepentingan komunikator terhadap peristiwa tersebut. 8) Koherensi Kondisional Koherensi kondisional diantaranya ditandai dengan pemakaian anak kalimat sebagai penjelas yang dihubungkan dengan konjungsi. Disini ada dua kalimat, dimana kalimat kedua adalah penjelas atau keterangan dari proposisi pertama, yang dihubungkan dengan kata hubung, seperti “yang” atau “di mana”. Kalimat kedua hanya berfungsi sebagai penjelas (anak kalimat), sehingga ada atau tidak anak kalimat itu, tidak akan mengurangi arti kalimat. Anak kalimat itu menjadi cermin kepentingan komunikator karena ia dapat memberikan keterangan yang baik/buruk terhadap suatu pernyataan seperti dalam sebuah kalimat “PSSI,
42
yang selalu kalah dalam pertandingan internasional, tidak jadi dikirim ke Asian Games”. Arti kalimat tersebut tidak akan berubah jika seandainya diubah menjadi “PSSI tidak jadi dikirim ke Asian Games “, Anak kalimat “yang selalu kalah dalam pertandingan” selain menjadi penjelas juga juga bermakna ejekan terhadap PSSI. Selain itu juga member informasi kepada public bahwa PSSI tidak dikirim karena prestasinya selama ini buruk. 9) Bentuk Kalimat Bentuk kalimat adalah segi sintaksis yang berhubungan dengan cara berpikir yang logis, yaitu prinsip kausalitas. Di mana ia menanyakan apakah A yang menjekaskan B, atau B yang menjelaskan A. Logika kausalitas ini jika diterjemahkan ke dalam bahasa menjadi susunan objek (diterangkan) dan predikat (menerangkan). Bentuk kalimat ini bukan hanya persoalan teknis kebenaran tata bahasa, tetapi menentukan makna yang dibentuk oleh susunan kalimat. Dalam kalimat yang berstruktur aktif, seseorang menjadi subjek dari pernyataannya, sedangkan dalam kalimat pasif seseorang menjadi objek dari pernyataannya. Kasus pemukulan mahasiswa oleh polisi dapat disusun ke dalam bentuk kalimat aktif, dapat juga pasif. Kalimat “Polisi memukul Mahasiswa” menempatkan polisi sebagai subjek dan memberi glorifikasi kepada kesalahan polisi. Sebaliknya, kalimat “Mahasiswa dipukul Polisi”, polisi ditempatkan secara tersembunyi. Pada umumnya, pokok yang dipandang penting selalu ditempatkan di awal kalimat. Bentuk lain adalah dengan pemakaian urutan kata-kata yang mempunyai dua fungsi sekaligus. Pertama, menekankan atau menghilangkan dengan penempatan dan pemakaian kata atau frase yang mencolok dengan menggunakan permainan semantik. Yang juga penting dalam sintaksis selain
43
bentuk kalimat adalah posisi proposisi dalam kalimat. Bagaimana proposisiproposisi diatur dalam satu rangkaian kalimat. Proposisi mana yang ditempatkan di awal kalimat dan mana yang di tempat diakhir kalimat. Penempatan ini memengaruhi makna yang timbul karena menunjukkan bagian mana yang ditonjolkan dan bagian mana yang disembunyikan. 10) Kata Ganti Elemen kata ganti merupakan elemen untuk memanipulasi bahasa dengan menciptakan suatu komunitas imajinatif. Kata ganti merupakan alat yang dipakai oleh komunikator untuk menunjukkan di mana posisi seseorang dalam wacana. Dalam mengungkapkan sikapnya, seseorang dapat menggunakan kata ganti “saya” atau “kami” yang menggambarkan bahwa sikap tersebut merupakan sikap resmi komunikator semata-mata. Akan tetapi, ketika memakai kata ganti “kita” menjadikan sikap tersebut sebagai representasi dari sikap bersama dalam suatu komunitas tertentu. Batas antara komunikator dengan khalayak sengaja dihilangkan untuk menunjukkan apa yang menjadi sikap komunikator juga menjadi sikap komunitas secara keseluruhan. Pemakaian kata ganti yang jamak seperti “kita” atau “kami” mempunyai implikasi menumbuhkan solidaritas, aliansi serta mengurangi kritik dan oposisi. 11) Leksikon Elemen ini menandakan bagaimana seseorang melakukan pemilihan kata/ diksi atas berbagai kemungkinan kata yang tersedia. Suatu fakta umumnya terdiri atas beberapa kata yang merujuk pada fakta. Kata “ditangkap”, misalnya mempunyai kata lain : diamankan, disekap, ditahan dan lain-lain. Di antara beberapa kata itu seseorang dapat memilih pilihan yang tersedia. Secara ideologis,
44
pilihan kata yang dipakai menunjukkan bagaimana pemaknaan seseorang terhadap fakta atau realitas. 12) Praanggapan Elemen wacana praanggapan merupakan pernyataan yang digunakan untuk mendukung makna suatu teks. Praanggapan adalah upaya mendukung pendapat dengan memberikan premis yang dipercaya kebenarannya. Praanggapan hadir dengan pernyataan yang dipandang terpecaya sehingga tidak perlu dipertanyakan. Misalnya dalam suatu aksi pengrusakan sebuah diskotik oleh FPI. Seseorang yang setuju dengan hal itu akan memakai pranggapan berupa pernyataan “Perjuangan FPI ini membela Islam” 13) Metafora Dalam suatu wacana, seorang wartawan tidak hanya menyampaikan pesan pokok lewat teks, tetapi juga kiasan, ungkapan, metafora yang dimaksudkan sebagai ornament atau bumbu dari suatu berita . akan tetapi penggunaan metafora tertentu bisa jadi dipakai oleh wartawan secara sterategi sebagai landasan berpikir, alasan pembenar atas pendapat tertentu kepada publik. Penggunaan ungkapan sehari-hari, peribahasa, pepatah, leluhur, kata-kata kuno, bahkan ungkapan ayat suci dipakai untuk memperkuat pesan utama. 14) Grafis Elemen ini merupakan bagian untuk memeriksa apa yang ditekankan atau ditonjolakan (yang berat dianggap penting) oleh seseorang yang dapat diamati dari teks. Dalam berita elemen grafis ini biasanya muncul lewat bagian tulisanyang dibuat berbeda dibandingkan dengan tulisan lain, seperti pemakain huruf tebal, huruf miring, garis bawah, huruf dengan ukurun lebih besar, termasuk
45
pemakaian caption, raster,grafik, gambar, foto dan atau table untuk mendukung pesan. Elemen grafis member efek kognitif, dalam arti, ia mengontrol perhatian dan ketertarikan secara intensif dan menunjukka apakah suatu informasi itu dianggap penting sehingga harus difokuskan. Pemakaian jumlah, ukuran statistik menurut Van Dijk bukan semata bagian dari standar jurnalistik, melainkan juga menyugestikan presisi dari apa yang hendak dikatakan dalam teks. Pencantuman jumlah mahasiswa dalam bentrokan misalnya, selain sebagai standar jurnalistik, juga upaya dan strategi wartawan untuk meyakinkan publik, hal itu dikarenakan angka masih dianggap paling benar (Eriyanto, 2001: 56).
2.3.3. Ideologi Sukarna (dalam Sobur, 2006: 64) secara etimologis, ideologi berasal dari bahasa Greek yang terdiri dari idea dan logia. Idea berasal dari kata idein yang berarti melihat. Sedangkan logis berasal dari kata logos yang berarti word. Kata ini berasal dari kata legein berarti science atau pengetahuan atau teori. Jadi ideologi menurut kata adalah pencakupan dari yang terlihat atau mengutarakan apa yang terumus dalam pikiran sebagai hasil dari pemikiran. Asal mula ideologi sebagai sebuah konsep kritis dalam teori sosial dapat ditelusuri ke Perancis pada akhir abad ke – 18. Sejak saat itu ideologi menurut definisi manapun menjadi perhatian utama para sejarahwan, filsuf, kritikus, sastra ahli semiotika, ahli retorika yang dapat mewakili semua bidang ilmu humaniora dan sosial (Lull, 1998:2). Sejumlah perangkat ideologi yang diangkat atau dibentuk dan diperkuat oleh media massa diberikan suatu legitimasi oleh mereka dan didistribusikan
46
secara persuasif, sering menyolok kepada sejumlah khalayak yang besar dalam kategori jumlahnya (Lull, 1998:4). Dalam pengertian yang paling umum, ideologi adalah pikiran yang terorganisir yakni nilai, orientasi dan kecenderungan yang saling
melengkapi
sehingga
membentuk
perspektif-perspektif
ide
yang
diungkapkan melalui komunikasi dengan media teknologi dan komunikasi antar pribadi. Ideologi dipengaruhi asal-usulnya, asosiasi kelembagaan dan tujuannya, meskipun sejarah dan hubungan-hubungannya tidak pernah jelas seluruhnya (Lull, 1998: 1). Konsep ideologi yang penting diantaranya adalah pemikiran Althusser. Ideologi atau suprastruktur dalam konsep Althusser adalah dialektika yang dikarakteristikkan dengan kekuasaan yang tidak seimbang atau dominasi. Salah satu hal yang paling penting dalam teori Althusser adalah konsepnya mengenai subjek dan ideologi. Pada intinya, seperti yang ditulis Hari Cahyadi (Eriyanto, 2001: 99), ideologi dalam pengertian Althusser selalu memerlukan subjek, dan subjek memerlukan ideologi. Ideologi menempatkan seseorang bukan hanya dalam posisi tertentu dalam relasi sosial tetapi juga hubungan individu dengan relasi sosial tersebut. Menurut Aart Van Zoest, dalam sebuah teks tidak akan pernah luput dari sebuah ideologi dan memiliki kemampuan untuk memanipulasi pembaca ke arah suatu ideologi
(Sobur, 2006: 60). Setiap makna yang
dikonstruksikan selayaknya memiliki suatu kecenderungan ideologi
tertentu.
Ideologi sebagai kerangka berpikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana (Sudibyo, 2001: 12).
mereka menghadapinya
47
Dalam konsep Marx, ideologi adalah bentuk kesadaran palsu. Kesadaran seseorang, siapa mereka dan bagaimana mereka menghubungkan dirinya dengan masyrakat dibentuk dan diproduksi oleh masyarakat. Menurut Hall (Eriyanto, 2001: 94) ada tiga bentuk hubungan pembaca dan penulisan dan bagaimana pesan itu dibaca oleh keduanya. Pertama posisi pembaca dominan terjadi ketika penulis menggunakan kode-kode yang diterima oleh umum, sehingga akan menafsirkan dan membaca pesan/tanda itu dengan pesan yang sudah diterima umum tersebut. Tidak terjadi perbedaan penafsiran antara penulis dan pembaca disebabkan keduanya mempunyai ideologi yang sama. Kedua, pembaca dinegoisasikan karena tidak ada pembaca dominan, yang terjadi adalah kode apa yang disampaikan penulis ditafsirkan secara terus-menerus diantara kedua belah pihak. Ketiga pembacaan oposisi dimana pembaca akan menandakan secara berkala atau membaca secara berseberangan dengan apa yang disampaikan oleh khalayak tersebut, karena keduanya memiliki ideologi yang berbeda. Raymond William mengklasifikasikan penggunaan ideologi dalam tiga ranah. Pertama, suatu sistem kepercayaan yang dimiliki oleh masyarakat atau kelompok atas stratifikasi kelas tertentu. Sebuah ideologi dipahami sebagai sesuatu yang berlaku di masyarakat dan tidak berasal dari dalam diri individu itu sendiri. Ideologi bukan sistem unik yang dibentuk oleh pengalaman seseorang, tetapi ditentukan oleh masyarakat di mana ia hidup, posisi sosial dia, pembagian kerja dan sebagainya. Kedua adalah suatu sistem kepercayaan yang dibuat, dalam ranah ini ideologi merupakan ide palsu atau kesadaran palsu yang akan hancur ketika dihadapkan dengan pengetahuan ilmiah. Jika diartikan, ideologi adalah seperangkat kategori yang dibuat dan kesadaran palsu dimana kelompok yang
48
berkuasa atau yang menempatkan diri sebagai posisi yang dominan menggunakan kekuasaannya untuk mendominasi kelompok yang tidak dominan. Ideologi digambarkan bekerja dengan membuat hubungan-hubungan sosial yang tampak nyata, wajar dan alamiah. Dengan sadar ataupun tidak kita dibuat untuk menerima ideologi tersebut sebagai suatu kebenaran. Di sini, ideologi disebarkan melalui berbagai instrumen dari pendidikan, politik sampai media massa. Ranah yang ketiga, merupakan suatu proses umum produksi
makna dan ide. Ideologi
diartikan sebagai istilah yang digunakan untuk menggambarkan produksi makna yang melayani kekuasaan (Jorgensen & Phillips, 2007: 139). Berita yang disajikan secara tidak
sengaja merupakan gambaran dari
ideologi tertentu. Sejumlah perangkat ideologi yang diangkat atau dibentuk dan diperkuat oleh media massa diberikan suatu legitimasi oleh mereka dan didistribusikan secara persuasif, sering menyolok kepada sejumlah khalayak yang besar dalam kategori jumlahnya. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa batasan ideologi ini adalah sebuah sistem nilai atau gagasan yang dimiliki oleh kelompok atau lapisan masyarakat tertentu, termasuk proses-proses yang bersifat umum dalam produksi makna dan gagasan. Ideologi memiliki beberapa implikasi penting. Pertama, ideologi secara inheren bersifat sosial, tidak personal atau individual: ia membutuhkan share di antara anggota kelompok, organisasi atau kolektivitas dengan orang lainnya. Kedua, ideologi meskipun bersifat sosial, ia digunakan secara internal di antara anggota kelompok atau komunitas. Oleh karena itu, ideologi tidak hanya menyediakan fungsi koordinatif dan kohesi tetapi juga membentuk identitas diri kelompok, membedakan dengan kelompok lain.
49
Ideologi di sini bersifat umum, abstrak, dan nilai-nilai yang terbagi antar anggota kelompok menyediakan dasar bagaimana masalah harus dilihat. Dengan pandangan semacam ini, wacana lalu tidak dipahami sebagai sesuatu yang netral dan berlangsung secara alamiah, karena dalam setiap wacana selalu terkandung ideologi untuk mendominasi dan berebut pengaruh. Oleh karena itu, analisis wacana bisa tidak bisa menempatkan bahasa secara tertutup, tetapi harus melihat konteks terutama bagaimana ideologi dari kelompok-kelompok yang ada tersebut berperan dalam membentuk wacana. Ada beberapa pendekatan dalam mengkaji ideologi: 1)
Orang dapat melihat ideologi sebagai manifestasi popular filsafat atau tradisi politik tertentu suatu kumpulan, pandangan, ide-ide atau dogma yang cukup koheren yang dianut oleh suatu kelompok.
2)
Menelaah ideologi yang menyatakan “Apakah faktor-faktor pentingnya?”, apakah kelas, kedudukan sosial atau afiliasi etnis atau agama.
3)
Pengujian ideologi dengan melihat kebutuhan-kebutuhan individu maupun kebutuhan masyarakat yang terpenuhi. Ideologi tidak hanya menghubungkan masyarakat secara prinsipil, tapi
juga penguasa dengan rakyat. Ideologi merupakan bisnis legitimasi kekuasaan yang sah (Ritzer, 1992: 34).
2.3.4. Hegemoni Sementara itu, teori Antonio Gramsci tentang hegemoni suatu teori yang menekankan bagaimana penerimaan suatu
membangun
kelompok yang
50
didominasi terhadap kehadiran kelompok dominan berlangsung dalam suatu proses yang damai, tanpa tindakan kekerasan. Media menjadi sasaran dimana suatu kelompok mengukuhkan posisinya dan merendahkan kelompok lain. Seperti yang dikatakan Raymond melalui dua saluran:
William (Eriyanto, 2001:104) hegemoni bekerja
ideologi dan budaya melalui bagaimana nilai-nilai itu
bekerja. Melalui hegemoni, ideologi kelompok dominan dapat disebarkan, nilai dan kepercayaan dapat ditukarkan. Hegemoni tidak hanya merupakan dominasi namun juga proses negosiasi yang melahirkan konsensus tentang makna. Salah satu kekuatan hegemoni adalah bagaimana dia menciptakan cara berpikir atau wacana tertentu yang didominan, dianggap benar, sementara wacana lain dianggap salah. Di sini media secara tidak sengaja dapat menjadi alat bagaimana nilai atau wacana yang dipandang dominan itu disebarkan dan meresap dalam benak khalayak sehingga menjadi konsensus. Dalam produksi berita proses itu terjadi melalui cara yang halus. Sehingga apa yang terjadi dan diberitakan oleh media tampak sebagai suatu kebenaran. Pada kerja jurnalistik, apa yang disebut sebagai nilai berita kadang secara tidak sadar menggiring pada upaya untuk memarjinalkan kelompok bawah. Common sense lain yang berhubungan dengan praktik kerja jurnalistik adalah kecenderungan untuk menempatkan unsur dramatisasi dalam pemberitaan. Teori hegemoni Gramsci menekankan bahwa dalam lapangan sosial, ada pertarungan untuk memperebutkan penerimaan publik (Rosenberg, 1990: 22).
51
2.3.5. Wacana Persaingan Versi Reality Show Berdasarkan pada sumber data dari Komisi Penyiaran Indonesia pada tahun 2012 (Kurnia, 2012: 15) menyebutkan bahwa konten dari tayangan televisi indonesia didominasi oleh 35% tayangan reality show, 25%, 20% iklan, kartun berjumlah 10% dan sisanya berupa konten tayangan yang bersifat news. Reality show adalah genre acara televisi yang menggambarkan adegan yang seakan-akan benar-benar berlangsung tanpa skenario, dengan pemain yang umumnya khayalak biasa, acara realitas umumnya menampilkan kenyataan yang dimodifikasi, seperti menaruh partisipan di lokasi-lokasi eksotis atau situasi-situasi yang tidak lazim, memancing reaksi tertentu dari partisipan dan melalui penyuntingan dan teknikteknik pasca produksi lainnya. Reality show pertunjukkan yang asli (real), tidak di rekayasa dan tidak dibuat-buat, kejadian diambil dari keseharian kehidupan masyarakat apa adanya. Reality show merupakan salah satu gaya atau aturan dalam pertelevisian yang menampilkan “real life” seseorang, reality show juga tidak mengekpos kehidupan orang , tetapi juga menjadi ajang kompetisi atau bukan program yang menjahili orang (Bancin, 2009: 13). Reality show di Indonesia muncul sejak Spontan pertama kali hadir pada tahun 1995 di layar kaca, sejak itu pemirsa televisi swasta Indonesia mulai mengenal konsep acara reality show. Kesuksesan acara reality show tersebut segera diikuti oleh program sejenis di stasiun televisi swasta lain. Rating yang tinggi dengan biaya produksi murah mendorong terus diproduksinya acara-acara reality show yang hingga saat ini tidak terhitung jumlahnya. Beberapa acara yang fenomenal dengan variasi konsep di antaranya Paranoid, Katakan Cinta, Tolong, Bedah Rumah, Kena Deh, Ketok Pintu, Termehek-Mehek, Dunia Lain, Pemburu Hantu, Playboy Kabel, Curhat
52
Anjasmara, Kacau, Uang Kaget, Tukar Nasib, Jika Aku Menjadi, Super Trap, Realigi, dan lainnya.Tayangan reality show di Indonesia banyak menggunakan tema kehidupan sehari-hari seorang selebritas, pencarian pasangan hidup, rekayasa jebakan, perbaikan rumah, pencarian bakat dan persaingan. Persaingan adalah suatu kegiatan antar individu dengan individu lainnya ataupun berkelompok yang bersaing atau berlomba untuk memperebutkan hasil/tujuan yang sama. Persaingan juga diartikan sebagai proses sosial yang ditandai dengan adanya saling berlomba atau bersaing antar individu atau antar kelompok tanpa menggunakan ancaman atau kekerasan untuk mengejar suatu nilai tertentu supaya lebih maju, lebih baik, atau lebih kuat (Sumadji, 2000:24). Program tayangan reality show yang menggunakan tema persaingan misalnya ajang pencarian bakat dalam bidang memasak, menari, dan menyanyi. Program dalam bidang menyanyi misalnya Indonesian Idol, The Voice Indonesia, X-Factor Indonesia, dan lain sebagainya. Tema persaingan antar kontestan ini dapat dibuktikan dari antusiasme para peserta untuk rela mengantri dengan nomor antrian peserta yang mencapai angka ribuan dalam proses audisinya. Setelah para kontestan melewati audisi pertama, kontestan harus kembali bertarung untuk dapat mengalahkan puluhan kontestan lainnya untuk dapat masuk ke gala show X-Factor Indonesia yaitu dengan melewati Judges Home Visit X-Factors Indonesia dimana peserta yang bertahan dibagi dalam 4 kategori dan harus menampilkan yang terbaik di hadapan juri yang berbeda. Juri di X Factor Indonesia ini tidak sekedar menjadi juri biasa. Empat orang juri yaitu Ahmad Dhani, Rossa, Anggun C Sasmi dan Bebi Romeo akan sekaligus menjadi mentor untuk peserta yang lolos.
53
Ketatnya persaingan ajang pencarian bakat X Factor Indonesia semakin terasa. Peserta dengan karakter suara serta gaya unik, mampu membuat lagu yang mereka bawakan terasa begitu khas dan berbeda. Para peserta dibagi ke 4 lokasi spesial dengan konsep home judge visit. Dari Ubud Bali, Bagus mencoba menarik perhatian Anggun dan Lilo dengan membawakan lagu I Feel Good dari James Brown. Suara khasnya terdengar merdu ketika tampil di tepi kolam renang yang tampak
indah.
Sementara
perhatian Maia dan Rossa di
itu
Jakarta
Nur dengan
Fadhila
mencoba
membawakan
menarik
lagu Without
You dari Mariah Carey yang terdengar begitu mempesona. Nur Fadhila mengaku ingin membuat bangga orang tuanya yang telah mengorbankan motor agar ia bisa bersaing di X Factor (http://x-factor-RCTI Official.com).
2.4. Kerangka Pemikiran Gambar 2.4 Kerangka Pemikiran Penelitian
Faktor Internal
Wacana Persaingan Dalam Tayangan Reality Show Episode Top Three Segmen ke-
Faktor Eksternal
AWK Model Teun A. Van Dijk 1.Struktur Makro 2.Superstruktur 3.Struktur Mikro
Metode 1.Pengamatan terhadap tema dan topik 2.Pengamatan kerangka suatu teks dan Wawancara 3.Pengamatan bagian terkecil dari suatu teks.
Hasil: Something Behind Text
54
Menurut Van Dijk, penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi yang harus juga diamati. Di sini harus dilihat juga bagaimana suatu teks diproduksi. Proses produksi itu melibatkan suatu proses yang disebut sebagai kognisi sosial dari seorang pekerja media. Teks dibentuk dalam suatu praktik diskursus, suatu praktik wacana dimana terdapat dua bagian, yaitu teks yang mikro yang merepresentasikan suatu topik permasalahan dalam berita, dan elemen besar berupa struktur sosial. Van Dijk membuat suatu jembatan yang menghubungkan elemen besar berupa struktur sosial tersebut dengan elemen wacana yang mikro dengan sebuah dimensi yang dinamakan kognisi sosial. Kognisi sosial tersebut mempunyai dua arti. Di satu sisi ia menunjukkan bagaimana proses teks tersebut diproduksi oleh pekerja media, di sisi lain ia menggambarkan nilai-nilai masyarakat itu menyebar dan diserap oleh kognisi pekerja media dan akhirnya digunakan untuk membuat suatu teks pewacanaan (Eriyanto 2001:222). Van Dijk melihat suatu teks terdiri atas beberapa struktur/tingkatan yang masing-masing bagian saling mendukung. Ia membaginya kedalam 3 tingkatan pertama, struktur makro merupakan makna global/umum dari suatu teks yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema yang dikedepankan dalam suatu berita. Kedua, superstruktur merupakan struktur wacana yang berhubungan dengan kerangka sutau teks, bagaimana bagian-bagian teks tersusun kedalam berita secar utuh. Ketiga, struktur mikro adalah makna wacana yang dapat diamati dari bagian kecil dari suatu teks yakni kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, paraphrase, dan gambar.
55
Melalui pisau analisis wacana kritis Teun A Van Dijk dengan bangunan struktur makro, superstruktur dan struktur mikro peneliti dapat membongkar ideologi yang tersembunyi di dalam teks, bagaimana di dalam teks terdapat sebuah dominasi kekuasaan dan ketidakadilan dari pihak-pihak tertentu. Pihakpihak yang berkuasa tersebut menggunakan media wacana yang ada dalam masyarakat, khususnya teks berita untuk menghegemoni dan mempengaruhi kesadaran mental masyarakat. Aspek bahasa dalam media massa, teks dan segala bentuk wacana di masyarakat merupakan tempat bersemayamnya kuasa-kuasa yang dipakai oleh pihak-pihak tertentu untuk melegitimasi dan melanggengkan posisi mereka (Eriyanto, 2001: 224).