BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Penelitian Terdahulu Penelitian-penelitian terdahulu yang juga membahas mengenai simbol ideologi pada dunia musikal dan pertunjukan dengan kajian semiotika, antara lain melalui jurnal mengenai Konstruksi Identitas Khalayak Melalui Simbol Signifikan Gerakan Sosial Baru (Studi Kasus Musik Rock Underground Tengkorak Band), oleh Haryo Radianto dari Institusi Pertanian Bogor (2007), membahas mengenai musik rock underground, sebagai musik subkultur oposisi, merupakan manisfestasi dari gerakan sosial baru ketika simbol-simbol signifikan di dalamnya mampu memobilisasi hati dan pikiran audiensnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami sejauh mana kekuatan musik rock underground dalam membentuk identitas audiensnya serta memahami kondisi seperti apa yang mendukung lahirnya gerakan sosial baru ini. Metode yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah Penelitian studi kasus dengan pendekatan kualitatif digunakan untuk mengetahui fenomena sosial tertentu, namun tidak hanya terbatas pada pengumpulan dan penyusunan data, tetapi meliputi analisis dan interpretasi terhadap data. Hasil penelitian (1) pada tingkatan Tengkorak band menunjukkan bahwa perubahan identitas Tengkorak band tidak terjadi begitu saja. Pada awalnya Tengkorak band mencoba untuk meniru secara detail musik rock underground yang berasal dari luar negeri. Setelah melalui perjalanan waktu yang cukup lama, terlihat kecenderungan 12 http://digilib.mercubuana.ac.id/
13
Tengkorak band berusaha menyesuaikan musik rock underground dengan budaya lokal. (2) Analisis pada tingkatan signifikan simbol Tengkorak band menunjukkan bahwa lirik, ilustrasi, orasi, dan salam satu jari merefleksikan sebuah “perang gerilya semiotik” (semiotic guerilla warfare). (3) Pada tingkatan audiens, hasil analisis penetrasi simbol-simbol signifikan Tengkorak Band, dari informan pertama menghasilkan audiens identitas ”abu-abu”, sedangkan dari informan kedua dan ketiga menghasilkan audiens dengan kesadaran kritis. Sementara itu, dari informan keempat,
penetrasi simbol-simbol signifikan Tengkorak band
menghasilkan audiens yang apolitis. Sementara melalui tesis ini akan lebih membahas mengenai atribut fashion para musisi yang menggunakan topeng. Sehingga topeng menjadi sebuah tanda dan citra yang dibentuk musisi Slipknot khususnya, yang telah menjelma sebagai mitos yang mengandung ideologi-ideologi mistisme dari kerahasiaan di balik topeng tersebut. Kajian penelitian lainnya melalui jurnal The Bondres Mask Expression Phonomenon In Physiognomy Review (Prosiding The 4th International Conference on Indonesian Studies: “Unity, Diversity and Future”) oleh Diah Asmarandani membahas mengenai topeng Bondres yang merupakan bagian dari pementasan dramatari Topeng Panca, Topeng Pajegab atau Topeng Prembom. Penampilan topeng Bondres sangat beragam dan berbeda dengan topeng-topeng yang ada. Tokoh Bondres selalu mengundang kelucuan, komedi dan humor. Karakter topeng Bondres pada kenyataannya sangat berbeda dengan tugas Bondres dalam dramatari topeng yaitu melucu, ekspresi topeng Bondres dapat dikategorikan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
14
sebagai raut topeng yang ekstrim, cacat, dan abnormal yang dapat menimbulkan rasa atau kesan jijik atau kasihan atau perasaan aneh. Dengan ekspresi raut topeng yang
demikian
Bondres
mempunyai
peran
menyampaikan
pendidikan,
propaganda pemerintahan, dan pesan moral dengan gaya/gesture yang lucu penuh kenakalan. Metode yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah Physiognomy yang merupakan ilmu untuk mempelajari ekspresi eksternal raut wajah/topeng yang ditimbulkan oleh suasana hati, perasaan, dan pikiran; ekspresi eksternal raut wajah dapat juga terbentuk karena konfigurasi bagian-bagian yang terdapat pada raut wajah (mata-alis-hidung dan mulut, juga dahi); ekspresi raut wajah dapat dilihat karena usia, kesehatan, rasa atau suku bangsa, serta jenis pekerjaan. Menurut Wells ekspresi eksternal raut wajah terbentuk oleh pengaruh suasana hati dan pikiran terhadap otot-otot yang banyak terdapat di bagian wajah. Penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa topeng Bondres sebagai objek memang menampilkan eksternal visual yang sangat ekstrim dan menyedot rasa yang sangat beragam, jijik, seram dan tidak lumrah, namun ketika topeng Bondres masuk dalam sebuah narasi cerita dan gerak, seketika rasa anti keindahan yang ada berganti menjadi proses keterpesonaan. Fenomena ekspresi eksternal topeng Bondres sedikit banyak dipengaruhi oleh gaya atau gesture yang muncul sesuai dengan eksternal yang ditampilkan. Namun kedudukan penelitian ini belum mengkaji mengenai semiotika bentuk raut muka topeng Bondres dan semiotika estetika topeng Bondres.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
15
Sehingga dalam tesis ini akan mengkaji mengenai semiotika topeng Slipknot yang mengarah kepada pembentukan mitologi mistisme Penelitian selanjutnya mengenai Wayang Orang Sebagai Pertunjukan Sebuah aksi panggung Tradisional Dalam Tinjauan Semiotika (Sebuah Kajian Awal), oleh Eko Supendi (Jurnal Ilmu dan Seni ISI Surakarta Gelar-Vol.5 No.1 Juli 2007). Jurnal tersebut membahas mengenai wayang wong atau wayang orang adalah sebuah genre yang digolongkan ke dalam bentuk drama tari tradisional. Genre adalah jenis penyajian yang memiliki karakteristik struktur, sehingga secara audiovisual dapat dibedakan dengan bentuk penyajian yang lain, misalnya genre Serimpi dengan wayang wong. Dengan kedudukan sebagai seni pertunjukan, wayang wong merupakan personifikasi dari wayang kulit purwa, sehingga secara artistik konsep-konsep estetetis senantiasa dikembalikan pada norma-norma atau kaidah-kaidah wayang kulit purwa, baik menyangkut struktur pathet gending maupun ikonografi bentuk wayang. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kajian dari beragam teori semiotika teater dari berbagai tokoh. Dari ketiga aliran semiotika teater yang diperbandingkan, yakni dari Elaine Aston dan George Savona, Keir Elam, dan Erika Fischer Lichte ternyata tidak ada satu pun diantara ketiga aliran semiotika yang bisa dianggap lengkap. Maksudnya, masing-masing teori yang ada cenderung hanya kuat atau menonjol dalam unsur tertentu. Misalnya, (1)semiotika teater versi Keir Elam lebih menekankan pada aspek komunikasi, sehingga aspek makna tidak dibahas secara mendalam. (2)Semiotika teater versi Aston dan Savona lebih mengedepankan pemisahan antara semiotika teks dan dengan semiotika pertunjukan. Sekalipun demikian
http://digilib.mercubuana.ac.id/
16
Aston dan Savona tetap tidak mengkaji secara tuntas kedua semiotika yang dikembangkannya itu. Dalam hal ini, baik dari segi analisis struktur maupun hierarki makna teks pertunjukan tidak dibahas Aston dan Savona secara menyeluruh dengan disertai penjelasan yang komprehensif. (3)Sementara semiotika sebuah aksi panggung yang dikembangkan Fischer Lichte tampak memberi posisi yang berlebih pada metode pemaknaan teks pertunjukan, sehingga eksistensinya bisa menutupi kelemahan kedua teori semiotika terdahulu. (1)Dengan hasil perbandingan ini diharapkan bisa menjawab masalah tentang perlunya teori semiotika secara lengkap dan komprehensif. Selama ini semiotika teater, dan kecenderungan semiotika seni pada umumnya, cenderung parsial, bukan dalam hierarki semiotika yang sebenarnya. Kalau ada seorang pakar yang telah bisa menghubungkan antara “penanda” dengan “petanda” atau “konsep” dengan “makna” dari sebuah objek sudah dikatakan semiotika. Padahal, pemahaman seperti itu barulah tahap awal dari semiotika. (2)Dalam konteks ini, teori semiotika teater versi Keir Elam, Aston dan Savona, dan Martin Esslin barulah tahap awal dari semiotika teater. Mereka belum mengemukakan model pemaknaan teks teater secara menyeluruh sebab teori-teori yang mereka kemukakan baru terkonstruksi pada tataran pemaknaan parsial pada setiap elemen tanda. Paham strukturalisme yang menjadi dasar semiotika sama sekali tidak tercermin secara utuh dalam teori Elam dan kawan-kawan. Kelemahan teori Elam dan kawan-kawan bisa diantisipasi dengan metode pemaknaan dari Lichte. Melalui beragam kajian semiotika seni pertunjukan tersebut memberikan pandangan bagi tesis ini untuk mengambil fokus pada sebuah bagian dari sebuah
http://digilib.mercubuana.ac.id/
17
seni pertunjukan yaitu topeng. Topeng yang menjelma menjadi sebuah fashion untuk menggangkat penampilan sebuah musisi band Slipknot, namun cenderung menghadirkan citra-citra lain yang penuh kerahasiaan. Sehingga menimbulkan kesan mistis dalam keberadaan topeng itu sendiri. Selanjutnya dalam kajian mengenai Semiotika Analisis Tanda Pada Karya Desain Komunikasi Visual (Nirmana Vol. 5, No. 1, Januari 2003: 31 – 47) oleh Sumbo Tinarbuko (Dosen Program Studi Desain Komunikasi Visual FSR-ISI Yogyakarta). Jurnal tersebut membahas tentang karya desain komunikasi visual yang mempunyai tanda berbentuk verbal (bahasa) dan visual, serta merujuk bahwa teks desain komunikasi visual dan penyajian visualnya juga mengandung ikon terutama berfungsi dalam sistem non kebahasaan untuk mendukung pesan kebahasaan, maka pendekatan semiotika sebagai sebuah metode analisis tanda guna mengupas karya desain komunikasi visual layak diterapkan dan disikapi secara proaktif sesuai dengan konteksnya. Metode
yang digunakan dalam
pembahasan karya-karya
Desain
Komunikasi Visual dengan kajian semiotika akan menggunakan teori Pierce untuk melihat tanda pada karya desain komunikasi visual (ikon, indeks, simbol), teori Barthes untuk melihat kode: kode hermeneutik, kode semantik, kode simbolik, kode narasi dan kode kebudayaan, serta teori Saussure untuk melihat makna denotatif dan makna konotatif. Kemudian Judith Williamson dengan teori semiotika iklan terkait dengan peminjaman tanda dan kode sosial juga dimanfaatkan untuk memahami karya desain komunikasi visual yang menjadi contoh kasus dalam tulisan ini.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
18
Pesan yang terdapat pada berbagai karya desain komunikasi visual adalah pesan yang disampaikan kepada khalayak sasaran dalam bentuk tanda. Secara garis besar, tanda dapat dilihat dari dua aspek, yaitu tanda verbal dan tanda visual. Tanda verbal didekati dari ragam bahasa, gaya penulisan, tema dan pengertian yang didapatkan. Tanda visual dilihat dari cara menggambarkannya, apakah secara ikonis, indeksikal, atau simbolis. (1)Penjelajahan semiotika sebagai metode kajian ke dalam berbagai cabang keilmuan dalam hal ini desain komunikasi visual dimungkinkan, karena ada kecenderungan untuk memandang berbagai wacana sosial sebagai fenomena bahasa. Artinya, bahasa dijadikan model dalam berbagai wacana sosial. Bertolak dari pandangan semiotika tersebut, jika sebuah praktik sosial dapat dianggap sebagai fenomena bahasa, maka semuanya, termasuk karya desain komunikasi visual, dapat juga dilihat sebagai tanda-tanda. Hal itu menurut Yasraf Amir Piliang dimungkinkan karena luasnya pengertian tanda itu sendiri. (2) Mengingat karya desain komunikasi visual mempunyai tanda berbentuk verbal (bahasa) dan visual, serta merujuk bahwa teks desain komunikasi visual serta penyajian visualnya juga mengandung ikon terutama berfungsi dalam sistem-sistem non kebahasaan untuk mendukung pesan kebahasaan, maka pendekatan semiotika sebagai sebuah metode analisis tanda guna mengupas karya desain komunikasi visual layak diterapkan dan disikapi secara proaktif sesuai dengan konteksnya. Penelitian terdahulu yang terakhir mengenai Makna Tanda Pada Fesyen Pengantin Jawa Bergaya Modern, oleh Hendro Aryanto (Jurnal Nirmana, Vol.10 No.1, Januari 2008: 26-31) Jurnal ini membahas mengenai fesyen pengantin
http://digilib.mercubuana.ac.id/
19
tradisional yang mengalami perkembangan dan modifikasi. Perubahan bisa terlihat dari tata rias wajah, bahan gaun yang dipergunakan, dan sanggul. Fokus tulisan ini mengangkat tentang masalah pergeseran makna pada fesyen pengantin Jawa bergaya modern dikerenakan perkembangan dan modifikasi. Metode analisis yang digunakan adalah analisis tanda dari Roland Barthes. Dan menghasilkan hasil analisis yang menunjukkan bahwa fesyen pada pengantin tradisional bergaya Jawa modern, adalah representasi pergeseran budaya dan perpaduan dari nilainilai yang sudah pakem dengan efek modernisasi. Tujuannya adalah membangun citra diri yang lebih tinggi dengan mereproduksi kondisi dan situasi yang ada. Kesamaan dengan tesis ini adalah penggunaan sarana fesyen, namun dalam tesis ini menggunakan topeng sebagai fesyen, untuk menunjukan pembentukan mitologi mistisme yang dihadirkan melalui penggunaan topeng oleh musisi Slipknot. Dan juga kesamaan yang kedua adalah penggunaan metode semiotika Roland Barthes, yang nantinya dapat membantu juga sebagai pisau analisis dalam tesis ini. Penelitian-penelitian terdahulu di atas, yang membahas mengenai ideologi identitas dari musik rock underground, fenomena ekspresi topeng Bondres, fesyen kebaya modern dan tinjauan semiotika dalam teater serta seni pertunjukan. Melalui penelitian terdahulu tersebut, tesis ini memposisikan diri untuk membongkar proses mitologi mistisme melalui topeng Slipknot, sehingga dalam tesis ini mengambil subjek penelitian band metal Slipknot. Dari penelitian terdahulu yang coba ditelusuri, ternyata belum ditemukan kajian ilmiah yang membahas mengenai mitologi mistisme sebuah topeng, apa
http://digilib.mercubuana.ac.id/
20
lagi topeng yang dikreasikan oleh musisi dalam sebuah konser musik. Sedangkan kajian semiotika yang digunakan sudah cukup dikenal luas yaitu semiotika Roland Barthes, karena keberadaan topeng yang tidak terlepas dari mitos-mitos kebudayaan di seluruh dunia. Walaupun mitos tersebut sering menjadi objek kenyataan yang dipandang natural, padahal menyembunyikan suatu ideologi tertentu yang secara sadar tidak diketahui oleh penggunanya. Sehingga tesis ini mencoba untuk mengaplikasikan kajian terdahulu mengenai topeng Bondres dan metode semiotika Roland Barthes, untuk membongkar mitologi mistisme dari topeng Slipknot. 2.2 Tinjauan Teoritis 2.2.1 Komunikasi Simbolik Melalui Topeng Salah satu kebutuhan pokok manusia, seperti dikatakan Susanne K. Langer, adalah kebutuhan simbolisasi atau penggunaan lambang. Ernst Cassirer mengatakan
bahwa keunggulan manusia
atas makhluk lainnya
adalah
keistimewaan mereka sebagai animal symbolicum. Manusia memang satu-satunya hewan yang menggunakan lambang, dan itulah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya.9 Seperti pada keberadaan topeng di seluruh dunia yang dikenal untuk mengiringi musik kesenian daerah. Topeng di kesenian daerah tersebut merupakan simbol yang umumnya untuk menghormati sesembahan atau memperjelas watak dalam mengiringi kesenian. Bentuk topeng pun bermacam-
9
Deddy Mulyana. 2008. Ilmu Komunikasi, Suatu Pengantar. Bandung: Rosda. Hlm.92-93
http://digilib.mercubuana.ac.id/
21
macam ada yang menggambarkan watak marah, ada yang menggambarkan kelembutan, dan ada pula yang menggambarkan kebijaksanaan.10 Topeng telah menjadi salah satu sarana komunikasi simbolik yang merupakan ekspresi paling tua dari hasil ciptaan peradaban manusia. Pada sebagian besar masyarakat dunia, topeng sebagai bentuk komunikasi simbolik tadi memegang peranan penting dalam berbagai sisi kehidupan yang menyimpan nilainilai magis dan suci. Ini karena peranan topeng yang besar sebagai simbol-simbol interaksi antar manusia, khusus dalam berbagai upacara dan kegiatan adat yang luhur. Sehingga menempatkan topeng sebagai sarana dari komunikasi simbolik. Kehidupan masyarakat modern saat ini menempatkan topeng sebagai salah satu bentuk karya seni tinggi. Tidak hanya karena keindahan estetis yang dimilikinya, tetapi sisi misteri yang tersimpan pada raut wajah topeng tetap mampu memancarkan kekuatan magis yang sulit dijelaskan.11 Unsur magis dan sisi-sisi misterius yang tersimpan pada raut wajah topeng itulah yang digunakan oleh band Slipknot untuk menarik penggemarnya. Padahal dalam penggunaan topeng itu sendiri menyimpan sesuatu yang tersembunyi, menyimpan kerahasiaan di balik mitos-mitos keberadaan topeng itu sendiri. Sehingga selain sebagai daya tarik pemikat penggemar, topeng juga menjadi objek pembentuk mitos yang mengarah kepada mistisme. Di mana kita ketahui bahwa sesuatu yang tersembunyi dan penuh kerahasiaan akan lebih memunculkan rasa ingin tahu yang besar dari masyarakat.
10
Baharudin Mohd Arus. 2002. Jurnal: Seni Topeng Sebagai Manifestasi Seni yang Unggul: Mewarnai Tamadun Serta Budaya Manusia Secara Global. Wacana Seni Journal of Arts Discourse 11 Loc.Cit
http://digilib.mercubuana.ac.id/
22
Topeng Berdasarkan terminologi dari kata topeng, dapat diambil arti yang sangat beragam, namun dengan makna yang hampir sama. Kata topeng secara semiotik
mengungkap
makna
untuk
menyembunyikan
perasaan,
menyembunyikan identitas, untuk menjaga citra-sikap terhadap situasi yang dihadapi, atau untuk menunjukan sikap, berlindung-bersembunyi. Topeng mengajarkan manusia agar pandai-pandai menangkap makna di balik simbol topeng itu sendiri, bukan hanya menandai bentuk luar saja, dan topeng merupakan artefak (benda) yang pada umumnya dipakai di muka, atau merupakan kegiatan menutup raut muka dengan lumpur, tanah berwarna, memberi rajah atau membuat gambar pada raut muka sesuai dengan kegiatan, kebutuhan ritual atau upacara adat yang akan dilaksanakan. Pada dasarnya topeng merupakan sebuah benda yang mewakili bentuk atau rupa dari manusia atau makhluk, yang pada umumnya merupakan potret atau gambaran muka atau kepala, khususnya kepala manusia atau makhluk.12 Bahwa topeng merupakan perwakilan dari muka atau kepala manusia, hal ini dapat dilihat di beberapa suku yang memiliki kepercayaan bahwa kepala atau muka adalah bagian paling penting dari tubuh manusia, dengan dasar pengertian bahwa kepala merupakan tempat dari kekuatan pikiran, kehendak, ide gagasan, serta pusat dari semangat hidup. Konsep tentang kepala atau muka manusia banyak dimiliki oleh masyarakat yang mempunyai adat menyimpan tengkorak atau kepala dari pemimpin yang telah meninggal dengan harapan kepala/muka tersebut dipercaya tetap dapat memberikan semangat atau pemikiran, memberikan
12
John Mack. 1996. Mask:The Art of Expression. British: British Museum Press.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
23
kekuatan hidup, kemakmuran, serta menjaga keamanan anggota masyarakat yang ditinggalkan dari kekuatan musuh atau kekuatan jahat atau gaib. 13 Ekspresi raut muka topeng merupakan upaya manusia untuk mempersonifikasikan arwah nenek moyang, makhluk-makhluk supernatural atau makhluk gaib yang dipercaya.14 Dalam sejarah teater Yunani (sebelum 534 SM) penonton hanya melihat simbolik topeng dan kepribadian seniman/aktor, pengguna topeng tidak menjadi apresiasi penonton. Bagi aktor/seniman sebuah topeng adalah alat untuk menirukan karakter, yang sangat populer pada teater Yunani adalah topeng yang berbentuk helm yang dipakai aktor prajurit. Selain topeng terdapat pula perisai bergambar yang berfungsi sebagai alat berlindung/bersembunyi. Cerita dalam teater Yunani dapat terwujud dalam narasi tema balada, lirik, atau epic yang lebih banyak menampilkan kisah heroik, tragedi dan komedi. Selain topeng dalam teater, tema dan bentuk topeng seperti pada masa Yunani juga dimiliki oleh bangsa lain, dengan bentuk, ekspresi dan kegunaan yang berbeda sesuai kepentingan ritual-ritual tertentu pada masyarakat pendukungnya. Pada bangsa lain, ekspresi raut muka topeng menjadi simbol bagi manusia untuk mempersonifikasikan arwah nenek moyang, makhluk-makhluk supernatural atau makhluk gaib yang dipercaya mempunyai pengaruh pada masyarakat tertentu, sehingga topeng banyak dimanfaatkan sebagai benda upacara, sebagai benda suci dari tarian sakral atau sebagai media/alat pemujaan untuk berkomunikasi dengan dunia gaib, roh nenek moyang maupun dewa-dewa.15 Untuk itu jelaslah bahwa 13
Eric Hamlyn Herold. 1992. The World of Masks. Prague: Anventinum Ibid. Eric Hamlyn Herold. Hlm.151 15 Diah Asmarandani. The Bondres Mask Expression Phenomenon In Physiognomy Review. Jurnal International Conference of Indonesian Studies: “Unity, Diversity and Future 14
http://digilib.mercubuana.ac.id/
24
sesuai sejarahnya topeng lebih menjadi sebuah simbol dalam mengkomunikasikan ekspresi maupun mengekspresikan ritualisasi dari sebuah bentuk kebudayaan di mana topeng itu berasal. 2.2.2 Mistisme dalam Budaya Topeng Menurut asal katanya, kata mistis berasal dari bahasa Yunani mystikos yang artinya rahasia (geheim), serba rahasia (geheimzinnig), tersembunyi (verbogen), gelap (donker) atau terselubung dalam kekelaman (in het duister gehuld). Berdasarkan arti tersebut mistis sebagai sebuah paham yaitu paham mistis atau mistisisme merupakan paham yang memberikan ajaran yang serba mistis (misalnya ajarannya berbentuk rahasia, tersembunyi, gelap, atau terselubung dalam kekelaman) sehingga hanya dikenal, diketahui atau dipahami oleh orang-orang tertentu saja, terutama sekali penganutnya. Menurut buku De Kleine W.P.Encylopaedie (1950, Mr. G.B.J. Hiltermann dan Prof. Dr.P. Van De Woestijne halaman 971 dibawah kata mystiek) kata mistik berasal dari bahasa Yunani, myein yang artinya menutup mata (de ogen sluiten) dan musterion yang artinya suatu rahasia (geheimnis). Hubungannya dengan topeng yang telah dikenal sebagai suatu bentuk kesenian tentunya sangat erat, di mana topeng dapat menjadi penutup muka seseorang, menjadikan seseorang tidak dikenali siapa aslinya. Sehingga ada banyak rahasia yang tersembunyi di balik topeng sebagai hasil kesenian budaya, yang menjadikan topeng itu sendiri memiliki nilai-nilai magis dan mistis.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
25
A. Hakikat Topeng Dalam Kamus Bahasa Indonesia, topeng adalah 1) penutup muka (dari kayu, kertas, dsb) yang menyerupai muka orang, binatang, dsb; 2) kepura-puraan untuk menutupi maksud sebenarnya. Topeng pada umumnya diidentikkan dengan penutup muka. Lebih lanjut, Suanda menggungkapkan bahwa topeng berfungsi menutupi atau mengganti perwujudan muka pemakainya.16 Seperti yang diungkapkan Nurani,17 bahwa topeng berfungsi sebagai penutup wajah untuk keperluan religi, sosiologis, hingga kesenian dan tontonan. Didukung pendapat pakar budaya Dr Zsigmond Ritok dalam artikel “Tari Topeng Indonesia awali Pameran Asia”18 yang mengemukakan penggunaan topeng pada dasarnya menyembunyikan banyak hal dari diri pemakai dan yang nampak dari wajah topeng adalah jati diri yang sebenarnya. Sedangkan menurut Miroto seorang seniman topeng Yogyakarta, topeng adalah bagian dari tubuh itu sendiri.19 Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas, dapat ditarik sebuah pengertian bahwa topeng merupakan media yang dipakai untuk menampilkan ekspresi yang berbeda dari kenyataan dan mempertegas watak yang diinginkan.
16
Endo Suanda. 2005. Topeng. Jakarta:Lembaga Pendidikan Seni Nusantara. Hlm.6 Nurani. 2011. Topeng. http://arkeologijawa.com 18 Zsigmond Ritok. 2010. Tari Topeng Indonesia awali Pameran Asia. Diakses pada tanggal 6 Februari 2013 http://www.solocybercity.wordpress.com 19 Miroto. Topeng dan Manusia. http://www.berita .liputan6.com/progsus/201010/302375/ topeng_dan_manusia 17
http://digilib.mercubuana.ac.id/
26
B. Jenis-jenis Topeng 1) Topeng Berdasarkan Bahan Utama yang digunakan Suanda menyebutkan bahwa bahan yang digunakan untuk membuat topeng sebagian dibangun oleh tradisi, sebagian didasari oleh gagasan pembuat, dan sebagian lagi didasari oleh ketersediaan bahan yang ada. 20 Berdasarkan bahan yang digunakan dalam membuat topeng, topeng dapat dibagi ke dalam tujuh jenis, antara lain:21 a) Kayu dan Bambu Kayu merupakan bahan yang paling umum digunakan. Hal ini disebabkan karena kayu merupakan bahan yang relatif murah dan mudah didapatkan. Selain itu, kayu termasuk bahan yang mudah diukir. Bambu umumnya dibuat untuk kerangka topeng, seperti kerangka ondel-ondel, liong, ogoh-ogoh, dan sebagainya. b) Logam Logam merupakan bahan yang mahal dan sulit pengerjaannya. Topeng logam umumnya tidak diwarnai dengan cat seperti halnya topeng kayu. c) Gerabah dan Batu Topeng yang terbuat dari gerabah maupun batu umumnya tidak digunakan dalam seni pertunjukan. Lebih kepada bentuk pameran kesenian atau pajangan saja. d) Kulit binatang dan Kulit kerang Kulit dan kerang digunakan pada bagian tertentu pada topeng. Di Bali, penggunaan kulit pada topeng cukup dominan, baik untuk kumis, janggut, alis, 20 21
Endo Suanda. 2005. Topeng. Jakarta:Lembaga Pendidikan Seni Nusantara. Hlm.105 Ibid. Endo Suanda. Hlm.130
http://digilib.mercubuana.ac.id/
27
dan rambut maupun hiasan lainnya. Di Bali, kulit kerang digunakan untuk gigi pada karakter tertentu. e) Kain, benang, dan tambang Di Sulawesi, topeng burung kondobuleng dibuat dari kain yang langsung diikatkan ke kepala. Topeng-topeng di Papua banyak terbuat dari benang dan rajutan tambang-tambang kecil. f) Kertas, karet, plastik dan fiberglas Kertas, karet, plastik, dan fiberglas adalah bahan yang banyak digunakan untuk membuat topeng. Topeng kertas bukan hanya dipakai untuk topeng-topeng modern dan topeng mainan, melainkan juga untuk topeng tradisional, seperti ondel-ondel, liong, wayang wong, dan barongsay. g) Ijuk, daun, dan kulit buah Di Nias, topeng dibuat dari ijuk yang dijahitkan pada sehelai kain. Di Flores, terdapat topeng yang terbuat dari selaput ijuk dengan hiasan daun kelapa. Ijuk juga sering digunakan untuk rambut. Daun-daun kering juga dapat digunakan sebagai topeng. Di Swiss, daun jagung digunakan sebagai topeng sekaligus kostum. Tempurung kelapa jarang dipakai sebagai bahan topeng, karena tempurung sangat keras, sulit diukur, dan mudah pecah. 2) Topeng Berdasarkan Bentuknya Bentuk topeng bermacam-macam.Menurut Suanda, topeng ada yang berbentuk muka manusia, binatang, dan makhluk ajaib. 22 Muka adalah pusat
22
Endo Suanda. Ibid. Hlm.22
http://digilib.mercubuana.ac.id/
28
perhatian dalam seni pertunjukan dan muka merupakan bagian pokok dari topeng. Berikut ini adalah topeng berdasarkan bentuknya: a) Topeng Binatang Menurut Suanda, topeng berbentuk muka binatang, seperti bentuk topeng burung, binatang bertanduk, binatang buas, binatang tidak buas, binatang khayal, dan binatang campuran.23 b) Topeng Manusia (1) Muka: Topeng muka menutup seluruh bagian muka. Suanda menyatakan bahwa mata, hidung, dan mulut, merupakan bagian muka yang utama.24 Selanjutnya, menambahkan bahwa bentuk topeng yang paling banyak digunakan adalah yang mirip dengan struktur ukuran muka manusia.25 (2) Setengah Muka: Banyak topeng hanya menutupi sebagian dari muka pemakainya. Dalam topeng setengah muka, muka pemain dan topeng tampak separuh-separuh. Suanda menyebutkan bahwa budaya Lombok, Bali, Melayu, Cina, Italia, dan lain-lain memiliki berbagai jenis topeng setengah muka.26 (3) Muka Ganda: Dalam topeng muka ganda keduannya terlihat secara utuh, muka pemain dan topeng. Di Nias, seorang pendeta memakai topeng jenis muka ganda. Topeng muka ganda terdapat pula pada tradisi IndianAmerika. Dalam topeng muka ganda, muka pemain dan topeng sama-sama
23 24 25 26
Endo Suanda. Ibid. Hlm.67-92 Endo Suanda. Ibid. Hlm.23 Endo Suanda. Ibid. Hlm.26 Endo Suanda. Ibid. Hlm.14
http://digilib.mercubuana.ac.id/
29
penting. Menurut Suanda, topeng muka ganda digunakan dalam upacara keagamaan ataupun ritual kebudayaan.27 C. Fungsi Topeng Nugraha membedakan topeng berdasarkan sifatnya menjadi dua jenis yaitu topeng bersifat religiomagis dan topeng yang bersifat profan. 28 (1) Topeng yang bersifat Religiomagis Topeng jenis ini umumnya berfungsi sebagai topeng upacara atau seremonial, kematian, dan hiasan magis. Bentuk topeng ini menggambarkan citra nenek moyang, dewa-dewa, dan binatang siluman. Pemakai topeng sakral ini hanya ketua adat, dukun, atau ahli mantra yang umumnya laki-laki, karena jenis topeng ini dianggap memiliki kekuatan magis. Jika tidak dipakai topeng ini harus terbungkus rapi atau dikeramatkan. Menurut Nurani, pemakaian topeng dalam berbagai upacara-ritual, seperti upacara pemujaan, upacara kesuburan, dan upacara kematian atau penguburan, mula-mula dimaksudkan untuk menyembunyikan identitas pemakainya, agar tidak dikenal oleh peserta upacara.29 Pemakai topeng tersebut adalah sebagai perantara antara manusia dengan roh. Fungsi topeng tersebut memiliki rupa yang seram, karena topeng ini digunakan untuk keperluan upacara yang berkenaan dengan roh atau menggambarkan makhluk-makhluk dunia luar atau gaib. (2) Topeng yang Bersifat Profan Topeng jenis ini umumnya berfungsi sebagai alat perlengkapan drama tari, pesta atau festival, hiasan dinding, dan sebagai benda pajangan. Bentuk topeng ini 27 28 29
Endo Suanda. Ibid. Hlm.26 Loc.cit Nurani. 2011. Topeng. http://arkeologijawa.com. Diakses pada 5 Januari 2013
http://digilib.mercubuana.ac.id/
30
mengekspresikan wajah tokoh yang bersumber dari suatu cerita. Penggunaannya pada suatu pertunjukan untuk memperkuat adegan tari dan dialog. D. Psikologi Warna Pada Karya Seni Warna-warni memiliki efek psikologis. Kemampuan warna menciptakan impresi, mampu menimbulkan efek-efek tertentu. Efeknya berpengaruh terhadap pikiran, emosi, tubuh, dan keseimbangan. Secara psikologis, warna dapat mempengaruhi kelakuan.Sebagaimana diuraikan oleh J. Linschoten dan Drs. Mansyur tentang warna, warna memegang peranan penting dalam penilaian estetis dan turut menentukan suka tidak-nya kita akan bermacam-macam benda.30 Dari pemahaman di atas dapat dijelaskan bahwa warna, selain dapat dilihat dengan mata ternyata mampu mempengaruhi perilaku seseorang, memberikan kesan tertentu, dan turut menentukan suka tidak-nya seseorang pada suatu benda. Ahli fisiologi dan psikologi menjelaskan ada empat warna primer : merah, hijau, kuning dan biru. Walaupun tidak diketahui secara pasti mengapa orang-orang menyukai warna dan kombinasi warna tertentu. Tetapi yang jelas, setiap warna mempunyai karakter atau sifat yang berbeda-beda. Penggunaan warna telah dimanfaatkan secara luas dalam bidang industri dan desain, serta seni. Warna terkadang diartikan berbeda dalam berbagai masyarakat dan kebudayaan. Sebagai contoh, bagi masyarakat barat, putih memiliki makna suci. Itu sebabnya pengantinmemakai busana berwarna putih. Sementara bagi masyarakat China, putihmelambangkan duka dan kematian.Masyarakat China justru sebaliknya,menggunakanbaju pengantin berwarna merah dan emas, yang
30
Eko Nugroho. 2008. Pengenalan Teori Warna. Jakarta: Andi Publisher. Hlm.36
http://digilib.mercubuana.ac.id/
31
bermakna keberuntungan. Di dalam sejarah China, warna hijau adalah warna perempuan. Lain dengan budaya Muslim, yang menganggap warna hijau adalah warna yang suci. Walau dalam berbagai masyarakat, berbagai warna dimaknai berbeda-beda dan dapatberubah selama bertahun-tahun, namun para peneliti umumnya menemukan kesamaan karakter pada tiap warna.31 Berikut ini adalah persepsi warna-warna yang ada untuk beragam karya seni:32 1. Kuning Respon Psikologi: Optimis, harapan, filosofi, ketidak jujuran, pengecut (untuk budaya Barat), pengkhianatan, pencerahan dan intelektualitas. Kuning adalah warna keramat dalam agama Hindu. Kuning adalah warna yang hangat. Cukup menarik perhatian dan sangat baik jika dijadikan background untuk teks hitam karena akan lebih mencolok terlihat. 2. Orange Respon Psikologi: Energi, keseimbangan, kehangantan. Menekankan sebuah produk yang tidak mahal. 3. Merah Respon Psikologi: Power, energi, kehangatan, cinta, nafsu, agresi, bahaya, berpendirian, dinamis, dan percaya diri. Warna Merah kadang berubah arti jika dikombinasikan dengan warna lain. Merah dikombinakan dengan Hijau, maka akan menjadi simbol Natal. Merah jika dikombinasikan denga Putih, akan mempunyai arti ‘bahagia’ di budaya Oriental. Bisa berarti berani dan semangat 31 32
Eko Nugroho. 2008. Pengenalan Teori Warna. Jakarta: Andi Publisher. Hlm.38 Eko Nugroho. Ibid. Hlm.38-42
http://digilib.mercubuana.ac.id/
32
yang berkobar-kobar. Singkatnya secara umum berhubungan dengan perasaan yang meledak-ledak. Warna merah mudah menarik perhatian dan meningkatkan nafsu. Coba anda makan cabe merah apa yang akan anda rasakan . Atau kalau untuk teks, warna merah pasti akan lebih menarik perhatian dibanding warna lain. Namun jika untuk background dengan teks hitam, akan membuat mata cepat lelah. 4. Biru Respon Psikologi: Kepercayaan, konservatif, keamanan, tehnologi, kebersihan, keteraturan, damai, menyejukkan, spiritualitas, kontemplasi, misteri, dan kesabaran. Banyak digunakan sebagai warna pada logo Bank di Amerika Serikat untuk memberikan kesan tenang, terpercaya, ilmu dan wawasan. Warna ini sangat baik untuk menumbuhkan loyalitas konsumen. Bank-bank banyak menggunakan warna biru sebagai warna dominannya, demikian juga pendidikan. 5. Hijau Respon
Psikologi:
Alami,
sehat,
keberuntungan,
pembaharuan,
pertumbuhan, kesuburan, harmoni, optimisme, kebebasan, dan keseimbangan. Warna Hijau tidak terlalu ’sukses’ untuk ukuran Global. Di Cina dan Perancis, kemasan dengan warna hijau tidak begitu mendapat sambutan. Tetapi di Timur Tengah, warna hijau sangat disukai. Banyak produk yang menekankan kealamian produk menggunakan warna ini sebagai pilihan. Untuk perusahaan-perusahaan yang berhubungan dengan eksplorasi alam, warna hijau banyak dipakai untuk menegaskan bahwa perusahannya berwawasan lingkungan. Warna ini termasuk yang sedang ngetren dan akan banyak dipakai khususnya dengan kampanye yang
http://digilib.mercubuana.ac.id/
33
berhubungan dengan lingkungan. Kemasan deterjen juga tidak sedikit yang menggunakan warna hijau. 6. Ungu Respon Psikologi: Spiritual, misteri, kebangsawanan, transformasi, kekasaran, keangkuhan, ramah, romantis, dan mandiri. Warna Ungu sangat jarang ditemui di alam. Ungu adalah capuran warna merah dan biru. Menggambarkan sikap ‘gempuran’ keras yang dilambangkan dengan warna biru. Perpaduan antara keintiman dan erotis atau menjurus ke pengertian yang dalam dan peka. Bersifat kurang teliti namun penuh harapan. 7. Coklat Respon Psikologi: Tanah/bumi, reliability, comfort, daya tahan, stabilitas, bobot,
kestabilan dan
keanggunan.
Warna
coklat
juga
melambangkan
persahabatan, kedamaian, praktis, kerja keras, kepercayaan. Namun coklat juga menunjukan ciri-ciri suka merebut, tidak suka memberi hati, kurang toleran, pesimis terhadap kebahagiaan masa depan. 8. Hitam Respon Psikologi: Ketakutan, power, kecanggihan, kematian, misteri, seksualitas, kesedihan, keanggunan, dan independen, berwibawa, penyendiri, disiplin, dan berkemauan keras. Warna hitam juga memiliki kekuatan, kreativitas, idealis, dan fokus. Sedangkan dalam arti negatifnya warna hitam merupakan kehampaan, kesedihan, ancaman, penindasan, putus asa, dosa, kematian atau bisa juga penyakit.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
34
9. Putih Warna suci dan bersih, natural, kosong, tak berwarna, netral, awal baru, kemurnian dan kesucian. Warna yang sangat bisa dipadukan dengan warna apapun.Putih juga dianggap sebagai sesuatu yang menenangkan, dingin, dan abadi karena berasosiasi dengan salju. 10. Abu-abu Respon Psikologi: Intelek, masa depan, kesederhanaan, kesedihan. Warna Abu abu adalah warna yang paling gampang/mudah dilihat oleh mata. 2.2.3 Mitos Topeng dari Berbagai Budaya Seni topeng melihat bahan budaya yang sejagat bentuknya. Topeng adalah sebuah fenomena yang diwujudkan dikalangan manusia di seluruh dunia. Setiap bangsa mempunyai budaya topeng mereka sendiri; dari Timur hingga ke Barat dan dari kaum primitif hingga masyarakat modern. Peranan topeng bermula sejak zaman batu. Ini dapat dibuktikan melalui peninggalan lukisan dinding gua yang menggambarkan pemakaian topeng yang berbentuk binatang di dalam gua batu seperti di Altamira, Spanyol, dan di Lascaux dan Dodogone, Perancis. Topeng tetap ada hingga hari ini walaupun telah melalui lika-liku sejarah manusia yang beragam sejak 30.000 tahun yang lalu. Ketahanan budaya topeng hingga ke hari ini membuktikan kepada kita bahwa perlu adanya perhatian yang lebih istimewa.33 Menurut Kamus Dewan, topeng ialah sesuatu yang menutup muka atau berlindung. Diana Devlin dalam bukunya, Mask and Scene, menekankan bahwa 33
Baharudin Mohd Arus. 2002. Jurnal: Seni Topeng Sebagai Manifestasi Seni yang Unggul: Mewarnai Tamadun Serta Budaya Manusia Secara Global. Wacana Seni Journal of Arts Discourse,
http://digilib.mercubuana.ac.id/
35
topeng dipakai bukan untuk melakonkan watak apa yang digambarkan oleh topeng tetapi mempertanyakan kualiti topeng itu sendiri yang diciptakan sebagai representasi simbolik yang dekoratif.34 Menurut Carl Jung, ahli psikologis abad kedua puluh pula mentafsirkan topeng sebagai pesona. Menurutnya juga, manusia mempunyai pesona atau personality. Kadang kala, watak yang dipinjam itu lebih mendominasi watak yang sebenarnya seperti ahli politik dan pelakon. Menurut Dr. I Wayan Dibia dari Bali, topeng berasal dari perkataan Jawa yang berbunyi ‘tup’ atau ‘tutup’.35 Topeng itu ibarat melihat wajah diri di dalam cermin, tetapi apa yang dilihat adalah alam semesta yang punya berbagai maksud. Misalnya, kaum asli Irian Jaya, Afrika, dan kepulauan Micronesia, topeng dianggap sebagian dari agama dan kepercayaan. Topeng senantiasa digunakan bukan saja mewujudkan pelakon dan panglima, bahkan juga rakyat biasa.36 Di Asia Tenggara pula, kepulauan Bali menjadikan topeng sebagai acara keagamaan yang berpengaruh sekali. Ia digunakan hampir dalam setiap pementasan serta teater tradisional. Teater tradisional Bali yang berteraskan agama Hindu seperti Barongan, Babat Calonarang, dan Wayang Wong tidak akan tampil tanpa menggunakan topeng. Topeng Bali yang terkenal dilihat melalui ragam hiasnya yang unik. Topeng yang dianggap tinggi mutunya adalah yang mempunyai gaya naturalistik serta berbentuk bundar. Setiap topeng yang berkualiti mendapat sapuan galatin berlapis-lapis sebelum dihiasi warna putih, merah, dan hijau. Topeng yang 34 35 36
Diana Devlin. 1989. Mask and Scene. New York:Macmillan Press. Hlm.54 I Wayan Dibia. 1989. Mudra (No2, Tahun2. Indonesia: Penerbitan UPT. Hlm.2 Diana Devlin. Ibid. Hlm.56
http://digilib.mercubuana.ac.id/
36
bermutu baik juga mempunyai bagian mulut yang sederhana dengan bibir yang tebal, gigi diukir ataupun dipadankan dengan gigi khinzir, dan rambut yang sebenarnya ataupun dari bulu kuda. Negara China yang mempunyai peradaban tertua di dunia, dipandang sebagai pemula budaya topeng tertua. Penggunaan topeng digunakan dalam opera China sejak 3000 tahun yang lalu. Pada mulanya, topeng yang dipakai dalam bentuk lukisan muka untuk menakuti lawan dalam medan perang seperti yang dipakai Maharaja Lan Lin dari negeri Paichi. Kemudian, topeng telah pula digunakan di pentas-pentas untuk memerankan watak-watak terkenal dalam peperangan di seluruh Negara China. Dalam teater China, topeng bukan sekedar untuk kecantikan muka, namun topeng dapat membawa perwatakan serta simbol tertentu.
Warna
dikaitkan
dengan
watak
tertentu,
umpamanya
merah
menunjukkan kejujuran, putih kejahatan, penggarapan warna merah, kuning, dan hijau menunjukkan kegagahan.37 Negara Jepang juga tidak kalah hebatnya dalam membudayakan topeng. Teater rakyat serta drama tradisional Jepang seperti Noh, Bunraku, dan Kabuki menggunakan topeng yang beragam jenis. Topeng ini dibuat dari kayu ringan dan kertas serta dihias dengan rambut manusia untuk mewujudkan suatu pesona mistik. Seni topeng dipakai untuk memberi lambang serta identitas suatu masyarakat.38 Sejak kedatangan Islam ke rantau Asia Tenggara, penggunaan topeng sebagai suatu budaya agak berkurang karena larangan agama Islam yang tidak 37 38
Steve Lu. 1998. Face Painting in China. Singapore: MPH Publications. Baharudin Mohd Arus. Loc.Cit
http://digilib.mercubuana.ac.id/
37
membenarkan penganutnya membuat bentuk figura atau gambaran muka manusia yang dianggap tahayul dan haram.39 Namun demikian, terdapat juga topengtopeng yang digunakan dalam teater tradisional seperti Mak Yong, Menora, dan Bangsawan yang terdapat di negeri-negeri utara Malaysia seperti Kelantan, Kedah, Perlis bersempadan dengan Negara Thailand yang beragama Budha. Ini berlaku karena pengaruh Hindu dan Budha begitu kuat terhadap budaya hiburan di negeri-negeri sebelah utara. Peranan topeng dalam teater tradisional adalah untuk menenteramkan para pelakon dan juga menaikkan semangat terhadap perwatakan dari topeng yang dipakai. Di kalangan masyarakat asli seperti kaum Mah Meri di Pulau Carey dan Jah Hut di Pahang, topeng adalah tunggak budaya mereka. Berbagai jenis topeng yang terdapat dalam masyarakat asli serta diberi nama tertentu seperti roh dan hantu. Kaum asli ini membuat topeng untuk tujuan penyembahan dan perubahan. Selanjutnya topeng ini dipakai sebagai perantara ke alam metafisik dan reality. Terdapat topeng yang diciptakan untuk menampilkan citra yang menakutkan ataupun yang lucu. Terutamanya topeng untuk tujuan penyembuhan penyakit. Kebanyakan orang di kalangan masyarakat asli berperan sebagai tabib dan hakim, maka topeng menjadi mekanisme penjelmaan mereka dari manusia kepada makhluk magis.40 Oleh karena terdapatnya unsur dekorasi pada setiap topeng yang diciptakan, maka topeng telah masuk ke ruang tamu rumah modern, rumah pejabat, dan lobi hotel bintang lima. Pada tahun 1970-an, bersama kebangkitan 39
Muhahhad Abd, Jabbar Beg. 1977. Fine Arts in Islamic Civilisation. Bangi: Penerbit Universitas Kebangsaan Malaysia. 40 Baharudin Mohd Arus. Loc.Cit
http://digilib.mercubuana.ac.id/
38
aliran post-modernisme, satu kegilaan masyarakat mencari topeng sebagai sarana untuk menunjukkan status sosialnya. Menyimpan dan memperagakan topeng di dalam dan diluar ruangan adalah kaedah yang diilhamkan oleh budaya primitif. Topeng dan totem pole yang diletakkan dibeberapa bagian ruangan untuk mendapatkan sosok pelindung, menjadi contoh di kesenian modern zaman pertengahan di Eropa yang meletakkan topeng Gargoyle di setiap sudut bangunan.41 Mesir tua adalah Negara yang dikesan sebagai awal topeng mendapat penghargaan yang tinggi. Ini berlaku apabila budaya ‘memumikan’ mayat yang harus memakai topeng agar rupa mayat tidak akan luntur. Maharaja cilik, Raja Tuttankhamen, misalnya terkenal dengan topeng emas sebagai Death Masknya. Death Mask menjadi budaya Eropa saat seseorang yang disayangi meninggal dunia, maka topeng mayat akan dibuat baginya untuk tujuan mengabadikan tokohtokoh tersebut. Topeng mayat yang terkenal hingga hari ini ialah tokoh pemusik terkenal Beethoven, penyair Jean Marat, dan pemimpin pemberontak Oliver Cromwell, yang masih dapat disaksikan di museum-museum di Barat. Di Eropa, pada zaman Victoria, pemakaian topeng menjadi fesyen oleh kaum borjuis dan bangsawan. Majelis topeng atau masquerade sering diadakan sebagai agenda sosial ketika itu.42 Oleh karena topeng selalu dikaitkan dengan pemakainya, maka sudah tentu unsur topeng dipakai untuk melindungi identitas pemakainya, disamping pemakai
41 42
Loc.Cit Baharudin Mohd Arus. Loc.Cit
http://digilib.mercubuana.ac.id/
39
topeng akan dapat menjiwai watak topeng yang dipakainya. 43 Kaedah inilah yang digunakan dalam pertunjukan teater di mana topeng berupaya membantu pemain dalam menonjolkan emosi, kedudukan badan, pergerakan ekspresif sesuai dengan perwatakan yang dibawa. Topeng yang dibuat dari kayu, besi, kain, dan berbagai jenis bahan yang dipakai pada hari perayaan agama Kristiani di New Orleans, Amerika Serikat. Pada hari itu pelakon dan khalayak berpesta memakai topeng dari waktu malam hingga ke waktu pagi.44 Seni topeng begitu memberi kesan di kalangan masyarakat dunia. Pergolakan dunia yang sering terumbang-ambing adalah disebabkan keangkuhan manusia yang membelakangi asas budaya yang membentuk peradaban manusia. Walter Sorrell dalam bukunya The Other Face, The Mask in the Arts, berpendapat: “Primitif man puts on a mask to pacify nature, the mysterious and frightening of the unknown. His inner experience is a surrealistic nighmare. His subliminal experience belongs to his struggle with evil spirit. Modern technological man puts on a mask to challenge nature, to demystify the mysterious and to penerate the frightening face of the unknown. His mask has a demonic power of a different kind from that of early man. The spirit of the primitif man is an imaginary creation and yet real to him, the spirit of modern man is a creation of his imagination, tested in high laboratories.”45 Pandangan di atas menunjukkan kepada kita betapa pemakaian topeng dalam zaman mana sekali pun masih menunjukkan pengaruhnya yang signifikan dalam masyarakat purba maupun di zaman yang serba maju sekarang ini.
43 44 45
Diana Devlin. 1989. Mask and Scene. New York:Macmillan Press. Hlm.56 Baharudin Mohd Arus. Loc.Cit Walter Sorrell. 1973. The Other Face, the Mask in the Arts. Indianapolis: Bobbs&Merrill
http://digilib.mercubuana.ac.id/
40
2.2.4 Musik Sebagai Sarana Komunikasi yang Mengideologi Karya seni yang melibatkan aksi individu atau kelompok di tempat dan waktu tertentu biasanya melibatkan 4 (empat) unsur, yaitu; (1) waktu, (2) ruang, (3) tubuh si seniman, dan (4) hubungan seniman dan penonton.46 Musik sendiri merupakan sebuah karya seni yang biasanya mempunyai performer dengan gaya tersendiri di atas panggung. Aksi panggung atau sebuah performer berasal dari kata perform yang artinya, melakukan suatu aksi, melakukan sesuatu atau prosedur tertentu, yang sering membutuhkan keahlian atau kemampuan tertentu. Atau dengan kata lain memainkan atau melakukan (orang yang memainkan/melakukan) dalam seni baik itu berbentuk tari, musik, drama, dll. Contohnya dance performer, adalah seorang penari yang menunjukan keahliannya menari, atau musik performer, seorang pemusik yang menunjukan kemampuannya bermusik dengan alat tertentu. Performer
biasanya
melakukan
sesuatu
dengan
memperagakan
sesuai
kemampuannya dan sesuai desain dari yang akan dipertunjukan.47 Performer menurut suatu definisi lain adalah seseorang atau beberapa orang yang melakukan atau berpartisipasi aksi panggung baik itu untuk pertunjukan tari, musik, opera, teater, dan sirkus dengan menggunakan gerakan tubuh, suara dan mimik wajah. Dalam hal ini termasuk di dalamnya aktor,
46
Jurnal Perempuan. 2011. Perempuan dan Seni Pertunjukan. Diakses pada 13 November 2012, melalui http://jurnalperempuan.com/2011/05/seni-pertunjukan/. 47 Loc.Cit
http://digilib.mercubuana.ac.id/
41
komedian, penari, musisi dan penyanyi. Seringkali mereka menggunakan kostum dan riasan dan peralatan lainnya untuk melengkapi tampilan pertunjukannya.48 Hingga saat ini pemanfaatan aksi panggung musik sebagai suatu sarana komunikasi pertunjukan atau hiburan adalah yang paling sering dijumpai dan diselenggarakan, sehingga tidak mengherankan bila bisnis pertunjukan dan hiburan musik sangatlah mendominasi kegiatan musik di berbagai negara. Pertunjukan musik yang disajikan antara lain dalam beberapa bentuk, yaitu:49 a. Musik yang ditampilkan sebagai subjek dari kegiatan yang digelar, meliputi: 1) Orkestra atau konser. Adalah musik yang khusus digubah dan dipergelarkan
untuk
dinilai
komposisinya
serta
harmoninya.
Komposisi lagu ditata sangat rapi dengan warna nada yang sesuai dengan keinginan komposernya. Instrumen yang digunakan adalah instrument akustik artinya instrument tersebut menghasilkan nada-nada alamiah, tanpa bantuan listrik. Minimal diperlukan 60 orang musisi untuk mempertunjukan orkestra. b. Musik yang ditampilkan sebagai unsur penunjang atau pendukung dari kegiatan pertunjukan, dapat berupa: 1) Musik sebagai pengiring opera 2) Musik sebagai pengiring tari atau gerak, seperti balet, pantomim 3) Musik sebagai pengiring lagu atau nyanyian disajikan dalam bentuk konser musik populer, jazz, metal, rock, dll. 48
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:Balai Pustaka 49 Op.Cit, Jurnal Perempuan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
42
Melalui penjelasan tersebut maka terdapat aspek-aspek yang menjadi pendukung dalam suatu pertunjukan musik. Sebuah pertunjukan musik adalah aksi panggung, penguasaan teknik permainan mutlak diperlukan dalam penampilan tersebut. Kekompakan dalam mengorganisasi penampilan secara profesional akan memberikan sugesti kekuasaan yang besar dalam penampilan, tanggung jawab masing-masing personil dan kerapihan serta kerjasama juga akan memberikan dorongan psikologis yang kuat pada emosi kelompok sehingga diharapkan akan terjadi transfer of feeling (pemindahan perasaan) seperti yang diinginkan.50 Di saat inilah dilakukan sebuah pertaruhan kepribadian mengenai corak dan jenis musik yang dipertunjukan, berhasil atau tidaknya dalam komunikasi, ini sangat tergantung pada kelompok tersebut dalam menghadapi penontonnya.51 Pertunjukan musik sendiri sering disebut dengan istilah konser. Konser berasal dari bahasa Italia concerto dan Latin concertare yang artinya berjuang, berlomba dengan orang lain.52 Konser adalah sesuatu pertunjukan langsung, biasanya musik, di depan penonton. Musik dapat dimainkan oleh musikus tunggal, kadang disebut recital, atau suatu ensemble musik, seperti orkestra, paduan suara atau grup musik. Konser dapat diadakan diberbagai jenis lokasi, termasuk Pup, Club malam, rumah, aula konser khusus, gedung serbaguna, dan bahkan stadion olahraga. Konser yang diadakan di suatu tempat yang sangat besar, kadang disebut konser arena. Di manapun dilangsungkan, musisi biasanya 50
Jurnal Perempuan. 2011. Perempuan dan Seni Pertunjukan. Diakses pada 13 November 2012, melalui http://jurnalperempuan.com/2011/05/seni-pertunjukan/. 51 Ibid. Jurnal Perempuan. 52 Richard Miller. 2004. Solusi Untuk Penyanyi. Oxford: Oxford University Press. Hlm.42
http://digilib.mercubuana.ac.id/
43
tampil di atas suatu panggung. Sebelum meluasnya musik rekaman, konser merupakan satu-satunya kesempatan bagi seseorang untuk mendengarkan penampilan seorang musisi.53 Untuk menonton suatu konser biasanya dikenakan biaya, walaupun banyak juga yang gratis. Acara konser memberikan keuntungan bagi musisi, pemilik tempat, dan pihak lain yang terlibat dalam suatu konser, atau pada beberapa kasus untuk konser amal. Musik sendiri memiliki narasi yang terbalut dalam bahasa melalui aksi panggungnya. Narasi didefinisikan sebagai inti pengetahuan dan ketika musik turut secara signifikan mengkonstruksi narasi tersebut, ketika itu kita sedang berbicara mengenai ideologi dalam musik. Ideologi itu sendiri, secara sederhana bisa didefinisikan sebagai the science of idea, pengetahuan tentang ide-ide (yang ideal) yang di dalamnya tidak lain merupakan seperangkat keyakinan akan sesuatu. Merujuk pada Althusser, keyakinan tersebut ditanamkan melalui dua perangkat, yakni Repressive State Apparatuses (RSA) dan Ideological State Apparatuses (ISA). Perangkat pertama (RSA) bersifat represif dan bekerja melalui kekuasaan atau dominasi, sedangkan (ISA) bersifat persuasif dan karena itu bekerja dengan cara mempengaruhi. Musik sendiri menempatkan diri pada perangkat yang bekerja di wilayah ISA (Ideological State Apparatuses).54 Namun pada ranah ISA (Ideological State Apparatuses), perangkat itu sekaligus bisa menjadi substansi. Musik dalam balutan aksi panggung sebuah 53
Loc. Cit Louis Althusser. 2004. Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies (Terjemahan Essays on Ideology). Yogyakarta: Jala Sutra. Hal. 25 54
http://digilib.mercubuana.ac.id/
44
grup band, bukan lagi sekedar perangkat (penanda), melainkan juga sebagai substansi (petanda). Sebab musik, melalui aksi panggung grup band telah menjadi ideologi sedemikian, sehingga musik akan dianggap mengganggu jika kehadirannya menggoyang ideologi yang lain. Sebagai contoh kasus yang terjadi di Indonesia, yakni ketika melalui pidatonya pada 17 Agustus 1959 yang berjudul “Menemukan Kembali Revolusi Kita”, Soekarno melarang musik yang berasal dari Barat. Mulai Oktober 1959, seluruh RRI menarik lagu berirama rock ‘n Roll, cha cha cha, dan mambo.55 Ideologi dalam meraih penganutnya, sebagaimana dibahas Althusser, bersifat memanggil dengan menggoda, yakni dengan cara memberikan individu sebuah posisi, mentransfer subjek pada individu sampai batas terdalam, yakni posisi itu diyakini sebagai sebuah kebenaran oleh penganutnya. Pada titik inilah kemudian ideologi melahirkan subjektivitas dan kebenaran palsu: sesuatu diyakini benar padahal belum tentu.56 Ideologi juga bekerja dengan awas, artinya selalu bersiaga dari kemungkinan datangnya kebenaran lain. Situasi ini menyebabkan ideologi bekerja dalam kerangka pertentangan dengan menempatkan diri yang paling benar. Dengan demikian, ideologi bekerja dalam gelanggang pertempuran secara terus-menerus, saling menghegemoni dan saling mendominasi. Lantas, dalam situasi itu, posisi musik populer mengarah kepada pasar. Bila dipertentangkan dengan musik modern, musik populer jelas tidak bernilai, massal, dan berselera rendah. Namun kini, ketika nilai-nilai tengah diruntuhkan, 55
Acep Iwan Saidi. 2011. Narasi dan Ideologi. Disampaikan dalam diskusi di Common Room, pada 27 Oktober 2011 56 Louis Althusser. 2004. Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies (Terjemahan Essays on Ideology). Yogyakarta: Jala Sutra. Hal. 25
http://digilib.mercubuana.ac.id/
45
musik populer ikut bergerak ke tengah dan mulai membangun konspirasi dengan berbagai pihak termasuk dengan musik modern yang dianggap bernilai, kemudian bersama-sama meruntuhkan nilai itu sendiri. Pertanyaannya, ketika nilai telah diruntuhkan, konstruksi apa sebenarnya yang termunculkan. Kita melihat semuanya memang bergerak pada permainan tanda yang meminggirkan nilai, menghancurkan logos. Jika sudah begitu, ideologi yang dianut saat ini, kiranya adalah ketiadaan ideologi itu sendiri. Ini mungkin hanya sebuah permainan dari bahasa, seperti juga permainan musik.57 2.2.5 Semiologi Roland Barthes Semiotika dan semiologi sesungguhnya mempunyai arti yang sama. Namun pemakaian salah satu istilah ini didasarkan pada pemikiran pemakainya: mereka yang bergabung dengan Peirce menggunakan kata semiotika, dan mereka yang bergabung dengan Saussure menggunakan kata semiologi.58 Karena
Barthes
adalah
tokoh
semiotika
yang
meneruskan
dan
mengembangkan pemikiran de Saussure maka metode pemaknaan tanda-tanda Barthes disebut semiologi Barthes. Namun istilah semiologi makin lama makin ditinggalkan. Ada kecenderungan orang-orang lebih memilih kata semiotika daripada semiologi. Sehingga kata semiotika lebih populer daripada semiologi. Barthes menekankan bahwa semiologi hendaknya mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal dalam kehidupan sosial manusia. Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampur-adukkan dengan 57
Acep Iwan Saidi. 2011. Narasi dan Ideologi. Disampaikan dalam diskusi di Common Room, pada 27 Oktober 2011 58 Alex Sobur. 2001. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotika, dan Analisis Framing. Bandung: Remaja Rosdakarya
http://digilib.mercubuana.ac.id/
46
mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti behwa objek-objek tidak hanya membawa informasi dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi bagaimana sistem-sistem signifikasi yang bukan langue berfungsi, dengan mengikuti proyek aktivitas strukturalis, yaitu membangun suatu simulacrum objek-objek yang diamati.59 Barthes dengan demikian melihat signifikasi sebagai sebuah proses total dengan suatu susunan yang sudah terstruktur. Signifikasi itu tidak terbatas pada bahasa, tetapi terdapat juga pada hal-hal yang bukan bahasa. Barthes menganggap kehidupan sosial sendiri merupakan suatu bentuk signifikasi. Dengan kata lain, kehidupan sosial apapun bentuknya, merupakan suatu sistem tanda tersendiri pula.60 Sebagai salah satu ahli semiologi, Barthes memang terkenal dengan pendekatan semiologinya terhadap budaya-budaya massa dan populer. Dalam esai-esainya yang terkumpul di buku Mythologies. Barthes membahas maknamakna dan mitos budaya massa, mulai dari dunia gulat, anggur, otak Einstein, sampai dengan tarian telanjang. “Yang mempesona saya sepanjang hidup,” demikian Roland Barthes dalam suatu wawancara, “adalah cara masyarakat menjadikan dunia mereka bisa dipahami.”61 Semiologi Barthes mengacu pada de Saussure dengan menyelidiki hubungan penanda dan petanda pada sebuah tanda. Barthes mengembangkan pembedaan penanda dan petanda ke arah yang lebih dinamis. 59
Roland Barthes. 2007. Membedah Mitos-mitos Budaya Massa: Semiotika atau Sosiologi Tanda, Simbol dan Representasi, Cetakan Pertama, Terjemahan oleh Ikramullah Mahyuddin. Yogyakarta: Jalasutra 60 Roland Barthes. Loc.Cit 61 Roland Barthes. Loc.Cit
http://digilib.mercubuana.ac.id/
47
A. Denotasi dan Konotasi Barthes mengatakan bahwa dalam kehidupan sosial budaya penanda adalah “ekspresi” (E) tanda, sedangkan petanda adalah “isi” (dalam bahasa Perancis countenu (C). Jadi sesuai dengan teori de Saussure tanda adalah relasi (R) antara E dan C. Ia mengemukakan konsep tersebut dengan model E-R-C.62 Dalam perkembangannya, Barthes berpendapat bahwa pemakai tanda tidak hanya memaknainya sebagai makna denotasi, makna yang yang umum. Namun pemakai tanda diyakini mengembangkan pemakaian tanda ke dua arah, yang disebut Barthes sebagai signifikasi tahap kedua. Pengembangan kepada segi E, terjadi bila pemakai tanda memberikan bentuk yang berbeda untuk makna yang sama. Ini disebutnya sebagai proses ke arah metabahasa. Sedangkan pengembangan ke arah C, adalah pengembangan makna yang disebut konotasi.63 Gambar 2.1 Model Pemaknaan Dua Tahap Barthes.64 Tatanan Pertama Realitas
Tatanan Kedua Tanda
Kultur Konotasi
Denotasi
Penanda Petanda
62 63 64
Mitos
Benny H. Hoed. 2011. Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas Bambu Benny H. Hoed. Loc.Cit Benny H. Hoed. Loc.Cit
http://digilib.mercubuana.ac.id/
48
Konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung tatkala tanda bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya. Penjelasan singkat mengenai perbedaan konotasi dan denotasi dapat diterangkan singkat di dalam sebuah topeng. Denotasi adalah bentuk topeng tersebut, bahan pembuat topeng tersebut, warna topeng tersebut. Sedangkan konotasi adalah digunakan oleh siapa topeng tersebut, dan digunakan untuk apa topeng tersebut. Jadi denotasi adalah topeng itu sendiri, sedangkan konotasinya adalah apa maksud dibalik penggunaan topeng tersebut. Konotasi adalah makna baru yang diberikan oleh pemakai tanda sesuai dengan keinginan, latar belakang pengetahuannya atau konvensi baru yang ada dalam masyarakat, Konotasi merupakan segi “ideologi” tanda.65 Namun entah apa pun cara yang dipakai konotasi untuk “mendandani” message yang berdenotasi, konotasi tidak pernah menghabiskan message yang berdenotasi itu. Message yang berdenotasi itu tetaplah selalu “berdenotasi” (sebab tanpanya diskursus menjadi tidak mungkin ada) dan konotator-konotator akhirnya selalu merupakan signesigne yang diskontinu.66 Ketika kita menonton sebuah pertunjukan musik, dengan musisi yang membalut wajahnya dengan topeng dan aksi-aksi energiknya, sebenarnya kita menerima suatu pesan ganda, yaitu message yang sekaligus berdenotasi dan berkonotasi. Kita tidak boleh percaya bahwa message kedua (yaitu message konotasi) “tersembunyi” di bawah message pertama (message denotasi). Message
65 66
Benny H. Hoed. Loc.Cit Roland Barthes. Loc.Cit
http://digilib.mercubuana.ac.id/
49
kedua tidaklah tersembunyi diam-diam. Dalam petunjukan musik juga terdapat peran-peran yang dimainkan oleh message denotasi. B. Mitos Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai ‘mitos’, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu.67 Konotasi yang mantap akan menjadi sebuah mitos yang menurut Barthes, adalah sebuah tipe pembicaraan atau wicara (a type of speech). Tetapi yang harus ditegaskan bahwa mitos adalah suatu pesan, mitos tidak mungkin merupakan suatu objek, konsep, atau gagasan; mitos merupakan mode pertandaan (a mode of signification), suatu bentuk (a form).68 Barthes menjelaskan mitos sebagai suatu sistem yang janggal, karena ia dibentuk dari rantai semiologis yang telah eksis sebelumnya; mitos merupakan sistem semiologis tatanan kedua (second-order semiological system).
67
Alex Sobur. 2001. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotika, dan Analisis Framing. Bandung: Remaja Rosdakarya 68 Roland Barthes. Loc.Cit
http://digilib.mercubuana.ac.id/
50
Gambar 2.2 Second-order Semiological System.69 1. Signifier
2. Signified
(Penanda)
(Petanda)
Bahasa
3. Denotative Sign (Tanda Denotatif)
MITOS
4. Connotative Signifier (Penanda Konotatif)
5. Connotative Signified (Petanda Konotatif)
6. Connotative Sign (Tanda Konotatif) Dari peta Barthes diatas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material. Contohnya hanya jika kita mengenal tanda ular, baru konotasi seperti kelicikan, bahaya, ancaman menjadi muncul. Mitos dalam hal ini merupakan isi pesan pada proses pemaknaan kedua (konotasi). Sehingga secara detail dapat dikatakan bahwa mitos adalah isi (content) pada sistem pemaknaan kedua, sedangkan konotasi adalah bentuk dari sistem pemaknaan kedua itu sendiri. Perspektif Barthes mengenai mitos ini menjadi salah satu ciri khas semiologinya yang membuka ranah baru mengenai semiologi, yaitu penggalian lebih jauh dari proses pemaknaan (signification) untuk mencapai mitos yang bekerja dalam realitas keseharian masyarakat. Di setiap esainya, Barthes, seperti dipaparkan Cobley & Jansz membahas fenomena keseharian yang luput dari perhatian. Dia menghabiskan waktu untuk menguraikan dan menunjukan bahwa konotasi yang terkandung dalam mitologi69
Roland Barthes. Loc.Cit
http://digilib.mercubuana.ac.id/
51
mitologi tersebut biasanya merupakan hasil konstruksi yang cermat.70 Fenomena keseharian bisa menjadi mitos, karena menurut Barthes, mitos adalah semacam wicara, segalanya dapat menjadi mitos asal hal itu disampaikan lewat wacana (discourse). Dan semua hal bisa menjadi mitos. Karena tidak ada hukum, baik yang bersifat alam maupun bukan, yang melarang pembicaraan tentang pelbagai hal.71 Semua hal yang menjadi mitos itu menyelimuti kita, bekerja sedemikian halus, justru karena mereka terkesan benar-benar alami. Dibutuhkan sebuah analisa mendalam, seperti yang sanggup dilakukan semiotika. Cara pembuktian bahwa mitos adalah hasil dari konotasi, seperti yang telah diuraikan di dua gambar di atas disebut dengan cara “demontage semiologique” ‘pembongkaran semiologis’ terhadap sejumlah gejala. 2.2.7 Tinjauan Mengenai Mitos Roland Barthes mengkaji masyarakat kapitalis akhir abad ke-20 dan secara langsung menaruh perhatian pada politik gender dan perbedaan rasial. Beliau memandang mitos sebagai salah satu bentuk bahasa, salah satu cara mengedarkan makna di masyarakat. Di mana bahasa sebagai dominan kelas, bagi Barthes sumber daya linguistik sama saja dengan sumber daya ekonomi, dan dia memfokuskan baik pada percakapan (parole) dan bahasa (langue), karena dia hanya menaruh perhatian pada bagaimana bahasa digunakan bersamaan dengan potensi abstrak sistemnya. Barthes cenderung untuk mengambil begitu saja hal 70
Alex Sobur. 2001. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotika, dan Analisis Framing. Bandung: Remaja Rosdakarya 71 Roland Barthes. Loc.Cit
http://digilib.mercubuana.ac.id/
52
ini, dan memberikan penekanan pada penggunaan secara sosial dan historis yang menjadi tempat untuk meletakkan sistem tersebut.72 Menurut Barthes Mitos adalah sebuah (a story) yang melaluinya sebuah budaya menjelaskan dan memahami beberapa aspek dari realitas. Mitos membantu kita untuk memaknai pengalaman-pengalaman kita dalam satu konteks kebudayaan tertentu. Sejauh ini kelihatannya mitos adalah penandaan yang ‘netral-netral saja’. Padahal mitos tidak sebatas sarana untuk memahami suatu pengalaman atau fenomena yang bebas nilai. Mitos dalam pengertian Barthes, telah membuat budaya dominan, nilai-nilai sejarah, kebiasaan dan keyakinan yang dominan terlihat natural, normal, abadi, masuk akal, objektif dan benar secara apa adanya.73 Menurut Barthes, mitos dan ideologi bekerja dengan cara mengalamiah penafsiran-penafsiran yang sebenarnya bersifat kontigen (sementara, tidak tetap) dan secara historis bersifat spesifik. Artinya, mitos membuat pandangan dunia tertentu seolah-olah menjadi tidak mungkin ditentang karena memang itulah yang alami atau memang itulah takdir Tuhan. “Mitos bertugas memberikan pembenaran alamiah pada suatu intensi historis, dan membuat kesementaraan seolah abadi”. 74 Bagi Barthes, mitos berasosiasi dengan mata rantai konsep; orang mungkin dengan baik menyadari makna mata rantai ini, namun bukan dalam karakter mistisnya. Mitos menyamarkan cara kerja dan kehadiran maknanya yang seolah-olah alami. Mitos bagi Barthes berbasis kelas; maknanya dikonstruksi oleh dan untuk kelas yang dominan secara sosial, namun mitos diterima oleh kelas 72 73 74
Chris Barker. 2000. Cultural Studies. Yogyakarta: PT. Bentang Pustaka. Hlm.95 Roland Barthes. 2006. Mitologi. Kreasi Wacana, hlm.155 Chris Barker. Loc.Cit
http://digilib.mercubuana.ac.id/
53
subordinat, bahkan meskipun mereka menentang kepentingan kelas dominan itu lantaran kelas subordinat “dinaturalisasikan”.75 Mitos mengacu pada pikiran bahwa mitos itu keliru. “Itulah mitos tentang…” atau “mitosnya inggris masih menjadi salah satu kekuatan dunia”. Pemakaian yang biasa itu adalah penggunaan kata-kata oleh orang yang tidak percaya. Barthes menggunakan mitos sebagai seseorang yang percaya, dalam artiannya yang orisinil. Mitos adalah cerita yang digunakan suatu kebudayaan untuk menjelaskan atau memahami beberapa aspek dan realitas alam. Mitos primitif berkenaan dengan hidup dan mati, manusia dan dewa, baik dan buruk. Pengertian mitos menurut Barthes adalah “mitos merupakan cara berpikir dari suatu kebudayaan mengenai sesuatu”.76 Barthes memikirkan mitos sebagai mata rantai konsep-konsep terkait. Bila konotasi merupakan pemaknaan tatanan kedua dari penanda, mitos merupakan pemaknaan kedua dari petanda. Barthes menegaskan bahwa cara kerja pokok mitos adalah untuk menaturalisasikan sejarah. Ini menunjukan kenyataan bahwa mitos sebenarnya merupakan pokok kelas sosial yang mencapai dominasi melalui sejarah. Namun operasinya sebagai mitos membuatnya mencoba menyangkal hal tersebut, dan menunjukan maknanya sebagai alami, dan bukan bersifat histori atau sosial. Mitos memistifikasi makna atau mengaburkan asal-usulnya sehingga memiliki dimensi sosial dan politik. Para ahli mitologi mengungkapkan sejarah tersembunyi
75 76
Roland Barthes. Loc.Cit John Fiske. 1990. Cultural and Communication Studies. Yogyakarta: Jalasutra. Hlm.121
http://digilib.mercubuana.ac.id/
54
sehingga cara kerja sosial dan politik mitos adalah dengan melakukan “demistifikasi” mitos.77 Tentu saja mitos bisa sangat efektif menaturalisasikan makna dengan mengaitkannya dengan beberapa aspek dari alam itu sendiri. Tidak ada mitos yang universal pada suatu kebudayaan. Yang ada adalah mitos dominan namun disitu ada juga kontramitos. Ilmu adalah contoh yang bagus untuk kontramitos yang begitu kuat menentang mitos dominan. Kita adalah kebudayaan berbasis ilmu, mitos dominan tentang ilmu menunjukan ilmu sebagai kemampuan umat manusia untuk menyesuaikan alam dengan kebutuhan kita. Untuk memperbaiki keamanan dan standar hidup kita, dan untuk merayakan keberhasilan kita. Ilmu dipandang sebagai objektif, benar, dan baik. Namun kontramitosnya juga kukuh. Kontramitos melihat ilmu sebagai kejahatan, seperti terbukti dari jarak yang kita bangun terhadap alam dan kurangnya pemahaman terhadap alam.78 Aspek lain dari mitos yang ditentukan Barthes adalah dinamismenya. Seperti yang dinyatakan tadi, mitos berubah dan beberapa diantaranya dapat berubah dengan cepat guna memenuhi kebutuhan perubahan dan nilai-nilai kultural di mana mitos itu sendiri menjadi bagian dari kebudayaan tersebut. Konotasi dan mitos merupakan cara pokok tanda-tanda berfungsi dalam tatanan kedua pertandaan, yakni tatanan tempat berlangsungnya interaksi antara tanda dan pengguna/budayanya yang sangat aktif. Denotasi merupakan tingkat makna yang deskriptif dan literal yang dipahami oleh hampir semua anggota suatu kebudayaan. Dari suatu tanda tertentu makna baru terus tercipta sampai tanda itu 77 78
Roland Barthes. Loc.Cit Roland Barthes. Loc.Cit
http://digilib.mercubuana.ac.id/
55
menjadi penuh dengan beragam makna. Konotasi mengandung nilai ekspresif yang muncul dari kekuatan kumulatif dari sebuah urutan (nilai ekspresif yang muncul secara sintagmatis), atau yang lebih umum dari perbandingan dengan alternatif-alternatif yang tidak muncul atau absen (secara paradigmatis). Ketika konotasi-konotasi mengalami pengalamiahan menjadi hegemonis, atau dengan kata lain, telah diterima sebagai hal yang “Normal” dan “Alamiah” mereka akan berfungsi sebagai peta-peta makna yang menunjukan bagaimana memahami dunia. Konotasi-konotasi hegemoni inilah yang disebut mitos. Meski mitos merupakan konstruksi sosial, mereka tampak seperti kebenaran-kebenaran universal yang terberi (pre-given) yang tertanam dalam nalar sehari-hari dengan demikian, mitos mirip dengan konsep ideologi yang konon, bekerja pada tingkat konotasi. Bahkan Volosinov berpendapat bahwa wilayah ideologi berhubungan dengan medan tanda. Di mana ada tanda, disana ada ideologi. Bagi Barthes, mitos adalah semiologi tingkat kedua atau metabahasa. Mitos merupakan bahasa kedua yang berbicara mengenai sebuah bahasa tingkat pertama. Tanda pada sistem yang pertama (penanda dan petanda) yang memunculkan makna-makna denotatif menjadi sebuah penanda bagi suatu makna mitologis konotatif tingkat kedua. Menurut Barthes ada dua kekeliruan besar dalam kehidupan sosial modern. Pertama, masyarakat berpikir bahwa institusi dan intelektual merupakan suatu hal yang bagus karena mereka tercakup dalam sesuatu yang alami. Kedua, adalah melihat bahasa sebagai suatu fenomena yang lebih dari satu set bentuk konvensional. Seperti dalam bukunya yang berjudul Mythologies, Barthes
http://digilib.mercubuana.ac.id/
56
melakukan analisis dan mengkritik masyarakat. Di mana imaji dan iklan, hiburan, dan budaya populer, serta barang-barang yang dikonsumsi sehari-hari ditelaah secara subjektif dalam hasil penerapannya. Dalam Mythologies, Barthes memaparkan suatu konsep baru tentang mitos. Mitos adalah suatu pesan yang ingin disampaikan oleh pembuat mitos dan bukanlah konsep, gagasan, atau objek.79 Mitos adalah suatu cara untuk mengutarakan pesan, ia adalah penting dan memberikan penyamaran bila dimasukkan ke dalam ideologi. Mitos mementingkan apa yang harus dikatakan, ia bukan suatu kebohongan ataupun pengakuan melainkan pembelokan. Mitos tidak menyembunyikan apapun, sehingga efektivitasnya menjadi pasti, hanya saja untuk mengungkapkan mitos perlu dilakukan distorsi. Pesan dalam mitos tidak perlu ditafsirkan, diuraikan, ataupun dihilangkan. Membaca gambar simbol misalnya, adalah melepaskan realitas suatu gambaran. Jika ideologi dalam gambar tersebut jelas, maka ia tidak berlaku sebagai mitos. Akan tetapi sebaliknya, agar mitos berhasil maka, ia harus sepenuhnya alami.80 Di dalam Mythologies, bahasa merupakan suatu sistem yang bersifat otonom. Menurut Barthes, pada zaman borjuis suatu penolakan yang ia lakukan terhadap kekaburan bahasa dan penempatan ideologi terpusat kepada pengertian tentang seni sejati sebagai sesuatu yang terkait dengan peniruan saja. Namun, menurut Barthes jika mitos adalah suatu cara menaturalisasi, maka mitos pada akhirnya menyembunyikan sesuatu yaitu landasan dasarnya.81
79 80 81
Roland Barthes. Loc.Cit Roland Barthes. Loc.Cit Roland Barthes. Loc.Cit
http://digilib.mercubuana.ac.id/
57
A. Mitos Sebagai Tipe Wicara (Type of Speech) Mitos adalah suatu alat komunikasi untuk menyampaikan suatu pesan. Mitos mempunyai cara tersendiri dalam menyampaikan pesan sehingga tidak tergantung oleh objek. Caranya adalah dengan menghadirkan mitos yang terlihat alamiah atau terjadi secara alami sesuai dengan realitas yang ada. Segala sesuatu dapat menjadi objek mitos karena segala sesuatu memiliki keterbukaan untuk dibicarakan dalam masyarakat. Hanya saja semua objek tidak dapat diungkap secara bersamaan melainkan silih berganti. Mitos memiliki landasan historis karena telah dipilih oleh sejarah sebagai tipe wicara. Dan pada dasarnya mitos termasuk ke dalam ilmu umum, yaitu semiologi. Untuk memperjelas hubungan mitos dengan semiologi maka di bawah ini akan dipaparkan mengenai mitos sebagai suatu sistem semiologi.82 B. Mitos Sebagai Sistem Semiologi (Semiological System). Semiologi adalah ilmu yang mempelajari tanda dan penanda. Pertama kali istilah ini diungkapkan oleh Ferdinand de Saussure. Mitos termasuk dalam wilayah semiologi, sebab mitos merupakan tipe wicara yang membahas mengenai tanda. Dalam semiologi yang dianut oleh Ferdinand de Saussure ada dua istilah di dalamnya yaitu signifier dan signified atau yang disebut dengan penanda dan yang ditandakan (petanda). Hubungan keduanya bersifat ekuivalen karena objek yang menjadi bagian dari kategori berlainan.83 Namun menurut Barthes dalam semiologi terdapat tiga istilah yaitu signifier, signified, dan sign atau penanda, petanda, dan tanda. Ketiganya memiliki 82 83
Roland Barthes. 2001. Mythologies. New York: Hill&Wang. Hlm.109 Roland Barthes. 2001. Op.Cit. Hlm.111
http://digilib.mercubuana.ac.id/
58
implikasi fungsional yang erat serta berperan penting dalam menganalisa mitos sebagai bentuk semiologi. Ketiga hal ini sebenarnya hanyalah formalitas sebab intinya akan berbeda seperti pada Saussure petanda adalah konsep, sedangkan penanda adalah gambaran akustik dan tanda adalah hubungan konsep dan citra. Dalam mitos ditemukan tiga istilah tersebut, namun mitos adalah suatu sistem khusus yang terbangun dari serangkaian rantai semiologis yang ada sebelumnya. Mitos adalah sistem semiologis tingkat kedua. Tanda pada sistem pertama, menjadi penanda pada sistem kedua. Dalam mitos terdapat dua sistem semiologis yaitu linguistik yang disebut sebagai bahasa objek dan mitos disebut dengan metabahasa.84 Dalam mitos, penanda dapat dilihat dari dua sudut pandang; sebagai istilah akhir sistem linguistis atau sebagai istilah pertama dari sistem mitos. Dalam taraf bahasa disebut penanda makna dan pada tingkat mitos disebut dengan bentuk. Adapun dalam petanda, tidak mungkin ada ambiguitas sehingga digunakan nama konsep. Kemudian dalam tingkat ketiga yang merupakan korelasi dari keduanya dalam sistem linguistik disebut dengan tanda namun kata ini tidak dapat dipakai tanpa ambiguitas, karena dalam mitos penanda telah dibentuk oleh beberapa tanda bahasa. Istilah ketiga ini disebut dengan pemaknaan. Kata ini digunakan, sebab mitos dalam kenyataannya mempunyai fungsi ganda. Mitos dapat menunjukkan dan memberitahu, membuat kita dapat memahami suatu hal dan membebani kita dengan suatu hal yang lain.85
84 85
Roland Barthes. 2001. Mythologies. New York: Hill&Wang. Hlm.111 Roland Barthes. Loc.Cit
http://digilib.mercubuana.ac.id/
59
1. Bentuk (The Form) Dalam mitos penanda (signifier) bersifat ambigu karena penanda itu adalah makna sekaligus bentuk. Penanda ini memiliki realitas sensorik, di mana di dalamnya terdapat nilai tersendiri yang bersifat historis. Ketika penanda menjadi makna, terbentuk suatu pemaknaan yang memenuhi dirinya asalkan mitos tidak tergantung dan menjadikannya sebagai bentuk yang kosong dan parasitis. Kemudian saat menjadi bentuk, mitos meninggalkan kemungkinan makna yang mengitarinya sehingga menghasilkan kekosongan, kemiskinan, penguapan sejarah, dan yang disisakan hanya huruf-huruf. Pada dasarnya bentuk tidaklah menyembunyikan makna, hanya saja ia memiskinkan makna yang menempatkan pada jarak tertentu, dan bentuk juga memiliki makna yang telah siap untuk digunakan. Intinya, makna tidak akan sirna, hanya saja ia menjaga dirinya dengan menggunakan bentuk dalam mitos, karena makna selalu ada untuk bentuk. Contoh sederhana dari bentuk adalah bunga mawar merah sebagai ungkapan cinta. 2. Konsep (The Concept) Konsep adalah petanda (signified) dari mitos yang bersifat historis sekaligus intensional. Konsep adalah suatu motivasi yang mengakibatkan terungkapnya mitos, ia tidak abstrak, digunakan sebagai alat menempatkan sejarah dalam mitos. Konsep memiliki suatu kecenderungan karena terkait dengan suatu fungsi. Ia juga masih menampung penanda, akan tetapi lebih miskin dari penanda karena petanda kerap menghadirkan dirinya kembali. Bentuk dan konsep memiliki perbandingan terbalik dalam hal kekayaan dan kemiskinan makna.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
60
Dalam konsep tidak ada rasio antara isi dari petanda dan penanda. Pada bahasa rasio berbanding lurus sehingga memiliki kesatuan yang nyata. Sedangkan pada mitos, konsep dapat tersebar ke seluruh penanda. Konsep mitos tidak memiliki kepastian, ia bisa berwujud, tercerai berai lalu menghilang. Hal ini dikarenakan konsep bersifat historis sehingga dapat dikubur dengan mudah oleh sejarah begitu saja. Ketidakstabilan ini memaksa mitologi untuk menggunakan terminologi yang telah disesuaikan dengannya. Konsep adalah unsur yang membentuk mitos, di mana sebelum kita ingin menguraikan mitos kita juga harus bisa memberi nama sejumlah konsep. Contoh: Mawar sebagai ungkapan cinta kemudian diberikan dari seorang pria kepada seorang gadis. Mawar adalah bentuk dan konsepnya adalah diberikan dari seseorang pria kepada seorang gadis. 3. Pemaknaan (The Signification) Pemaknaan adalah tanda (sign) dalam semiologi Roland Barthes merupakan gabungan dari penanda dan petanda (bentuk dan konsep) yang disajikan secara utuh sesuai dengan fakta aktual. Untuk melangkah menuju pemaknaan diperlukan refleksi antara bentuk dan konsep. Pertama yaitu memeriksa bahwa bentuk dan konsep benar-benar nyata dalam mitos. Keduanya tidak ada yang tersembunyi sehingga mitos tidak menyembunyikan apapun, tujuannya adalah untuk mendistorsi bukan untuk menghilangkan makna. Dalam linguistik pemaknaan atau meaning bersifat arbiter, namun terbatas. Dalam mitos pemaknaan (signification) tidak bersifat arbiter, sebab sebagian dari pemaknaan didorong oleh suatu motivasi yang mengakibatkan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
61
mitos mengandung analogi. Analogi yang dimaksud adalah antara makna dan bentuk yang termotivasi.86 Mitos merupakan sistem ideologis murni, di mana beberapa bentuknya masih termotivasi oleh konsep yang mereka hadirkan meskipun dalam jangka panjang belum mencakup kehadiran kemungkinan-kemungkinan lain. Dan saat historis ideografi meninggalkan konsep secara perlahan-lahan dan terasosiasikan dengan bunyi, maka perkembangannya semakin lama semakain kurang motivasi. Ini mengakibatkan mitos menjadi usang yang ditengarai dengan kesewenangwenangan pemaknaannya. Sebagai contohnya, meneruskan contoh dari bentuk dan konsep, yaitu mawar merah sebagai cinta diberikan dari seorang pria kepada seorang gadis. Yang dimaksud dengan pemaknaan adalah bunga mawar yang diberikan kepada gadis itu adalah tanda jika pria tersebut cinta terhadap sang gadis. C. Pembacaan dan Penguraian Mitos Dalam Mythologies, Barthes mengemukakan cara pembacaan dan penguraian mitos yang dibagi ke dalam tiga bagian:87 1. Fokus pada Penanda Kosong Tipe pembacaan ini adalah dengan membiarkan konsep mengisi bentuk mitos tanpa ambiguitas atau menyampaikan dengan gamblang maksud dari suatu mitos. Dari contoh bunga mawar merah maka pembaca mitos memusatkan pembacaannya pada bunga mawar merah sebagai tanda cinta.
86 87
Roland Barthes. 2001. Mythologies. New York: Hill&Wang. Hlm.120 Roland Barthes. 2001. Loc.Cit
http://digilib.mercubuana.ac.id/
62
2. Fokus Pada Penanda Penuh Pembacaan ini membedakan antara makna dari bentuk, dengan kata lain membuka mitos sesuai dengan maksud yang sebenarnya. Pembacaan seperti ini mengakibatkan adanya distorsi terhadap pihak lain sehingga pembaca melepaskan pemaknaan mitos dan menerima penipuan. Mengikuti contoh bunga mawar maka pembaca mitos memfokuskan pembacaannya pada pemberian bunga mawar merah dari seorang pria kepada seorang gadis. 3. Fokus pada Penanda Mitos Pembacaan tipe ini adalah pembacaan yang menerima makna ambigu dari penggabungan antara makna dan bentuk. Tipe yang ketiga memungkinkan untuk pembaca memaknai mitos sesuai kemampuan dirinya. Melanjutkan contoh bunga mawar maka penanda ditingkat ini adalah penanda mitos, sehingga pembaca memaknai jika bunga mawar diberikan dari seorang pria kepada seorang gadis maka pembaca dapat memaknai bahwa sang pria cinta terhadap sang gadis ataupun yang lain sesuai dengan penafsiran si pembaca. Untuk mempelajari mitos dalam sejarah secara umum yang memiliki hubungan dengan masyarakat maka pembaca harus menempatkan dirinya dalam pembacaan tingkat ketiga. Hal ini dilakukan agar pembaca menggunakan kemampuan dalam dirinya untuk menelaah mitos. Bagaimana ia dapat menerima mitos tersebut, bila dia menerimanya secara naïf, lalu apa tujuannya ditawarkannya mitos tersebut kepadanya, dan seandainya ia membaca mitos menggunakan kekuatan refleksinya, seperti seorang mitologi, alibi mana yang akan dihadirkan menjadi sesuatu yang penting.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
63
Menurut Barthes ini hanyalah dilema palsu, menurutnya mitos tidak menyembunyikan apapun dan tidak memamerkan apapun; ia hanya mendistorsi; mitos bukanlah suatu dosa atau pengakuan ia hanyalah sebuah infeksi. Ketika ditempatkan dalam dilema tersebut mitos menentukan jalan ketiga dan akhirnya akan menuju pada prinsip dasar mitos yang mengubah sejarah menjadi sesuatu yang alamiah (mengubah sesuatu yang sengaja dibuat dalam sejarah menjadi sesuatu yang diyakini terjadi secara alamiah). Tipe ketiga ini adalah tipe yang digunakan untuk membaca dan menguraikan mitos tentang topeng Slipknot. D. Wicara yang Didepolitisasi (Depoliticizes Speech). Dalam semiologi mitos kalangan masyarakat borjuis menganggap mitos adalah wicara yang didepolitisasi. Maksud dari depolitisasi adalah dalam mitos dihilangkan hal-hal yang bersifat politis. Oleh karena itu mitos membicarakan berbagai hal kemudian membuat hal-hal itu menjadi sesuatu yang alamiah dan bersifat abadi. Akan tetapi, mitos tidak selalu menjadi wicara yang didepolitisasi karena seperti dalam teori Marx:88 “Objek yang sangat natural sekalipun memuat jejak politik, walaupun lemah dan cair, kurang atau lebih menghadirkan tindakan manusia yang telah menghasilkan, memperbaiki, menggunakan, menundukkan atau menolaknya”.89 Depolitisasi yang dibentuk oleh mitos sering menyinggung sesuatu yang telah dinaturalisasi. Ada dua tipe mitos: mitos yang kuat dan mitos yang lemah. Pada tipe yang pertama, kuantum politik ada di titik antara, depolitisasinya bersifat kasar atau mendadak.
88 89
Roland Barthes. 2001. Mythologies. New York: Hill&Wang. Hlm.142-143 Roland Barthes. Loc.Cit
http://digilib.mercubuana.ac.id/
64
Tipe kedua, kualitas politisnya telah luntur seperti halnya warna, namun sesuatu yang amat halus bisa mengembalikan kekuatannya secara brutal. Hal ini memperlihatkan bahwa metabahasa membentuk suatu perlindungan terhadap mitos. Sebab dengan mitos, manusia memiliki hubungan berdasarkan manfaat bukan atas kebenaran. 1. Mitos Aliran Kiri (Myth of the Left). Karena mitos ada yang didepolitisasi maka ada dua tipe mitos yang bersifat politis. Mitos ini biasanya digunakan oleh kaum proletar (kelas bawah bisa disebut juga kaum buruh) berbentuk bahasa politis yang digunakan untuk menciptakan dunia. Sayap mitos ini tercipta ketika makna menggunakan kedok dengan menyembunyikan namanya yang menghasilkan metabahasa yang naïf sehingga mendistorsi dirinya sebagai sesuatu yang alamiah. 90 Mitos ini sangat miskin karena tidak mengetahui bagaimana cara agar bisa berkembang. Ia merupakan mitos kaum tertindas yang berusaha menciptakan dunia dengan tujuan untuk melakukan transformasi. Ini adalah suatu bentuk bahasa yang bersifat politis, akan tetapi mitos ini tidak dapat berkembang secara luas seperti yang dilakukan mitos sebelumnya. Hal tersebut dikarenakan mitos yang dimunculkan tidak cukup kuat untuk melawan mitos yang ada.91 2. Mitos Aliran Kanan (Myth on the Right) Mitos ini sering digunakan oleh kaum borjuis untuk mengabadikan kekuasaan. Mitos ini pada dasarnya berisi tentang hal-hal yang bersifat esensial dan memanfaatkan segala sesuatu untuk menjaga kekuasaan borjuis. Kaum 90 91
Roland Barthes. Ibid. Hlm.145 Roland Barthes. Loc.Cit
http://digilib.mercubuana.ac.id/
65
borjuis ingin menjaga realitasnya dengan menciptakan mitos. Borjuis disini disebut oleh Barthes sebagai penindas yang memiliki segala-galanya dan memiliki hak istimewa atas meta-bahasa. Adapun ciri-cirinya adalah imunisasi, privatisasi sejarah, identifikasi, tautology, neither-norisme, kuantitatif kualitas, pernyataan tentang fakta. Ciri-ciri yang digunakan antara lain:92 a) Imunisasi (The Inaculation) Penerimaan atas kejahatan dari suatu institusi yang terikat kelas yang lebih baik dalam menyembunyikan kejahatan utamanya. Seseorang mengimunisasi kandungan imajinasi kolektif dengan alat suntik kecil kejahatan yang diakui, sehingga orang tersebut melindunginya agar tidak menghadapi resiko berupa subversi yang digeneralisasikan. Lantas kebaikan borjuis tidak berkompromi dengan apapun, ia menjadi luwes kembali karena aliran imunisasi ini dapat dicontohkan dengan tindakan. b) Privatisasi Sejarah (The Privatization of History) Di mana mitos menghilangkan sejumlah objek yang membicarakan keseluruhan sejarah agar pembaca mitos memaknainya sesuai dengan keinginan pencipta mitos. Mitos membuang arti sejarah yang sebenarnya, sejarah hanya diperuntukkan sajian tamu/pejabat misalnya objek seni untuk turis, atau sebagai pertunjukan. c) Pernyataan Tentang Fakta (The Statement of Fact) Mitos
cenderung
mengarah
kepada
peribahasa.
Ideologi
borjuis
menanamkan modal ke dalam cirinya yang sangat terikat kepada esensi. Di sini
92
Roland Barthes. Ibid. Hlm.145
http://digilib.mercubuana.ac.id/
66
mitos menaturalisasikan pesan sehingga kita dapat menerimanya sebagai kebenaran yang tidak perlu untuk diperdebatkan lagi. d) Tautologi Suatu pendefinisian dari suatu pernyataan yang tidak dapat diperdebatkan lagi, misalnya : “karena dari sananya sudah begitu” isi dari pernyataan tersebut telah direduksi menjadi penampilan. Sebagai contoh lain adanya suatu pernyataan-pernyataan hampa seperti “ Midnight’s Summer Dream adalah karya Shakespere“ tidak mengatakan apa-apa tetapi mengandung implikasi lainnya seperti prestise karena dalam pernyataan itu terdapat nama Shakespere. e) Identifikasi Perbedaan, keunikan direduksi menjadi satu identitas fundamental. Misalnya: “semua agama adalah sama” atau sama sekali diasingkan dibuat agar tidak dimengerti. f) Neither-norisme (Bukan ini bukan itu) Orang yang menganut opini dalam posisi di tengah tidak berani memihak/memilih. g) Mengkuantitaskan yang kualitas Kualitas direduksi ke kuantitas, semua tingkah laku manusia, realitas sosial dan politik direduksikan kepada pertukaran nilai kuantitas. Sebagai contoh misalnya kesuksesan sebuah karya seni jika menghasilkan banyak uang, demikian pula untuk mengukur kesuksesan seorang aktor atau aktris. Masalah besar seperti kemiskinan direduksi menjadi angka-angka belaka.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
67
Secara kasat mata mitos sulit untuk dideteksi, karena mitos cenderung mentransformasikan sejarah kepada sesuatu yang natural (alamiah) dan mengacaukan pembaca bahwa apa yang dibaca konsumen adalah “natural atau seharusnya begitu”. Mitos mempunyai tujuan tidak ingin menyembunyikan sesuatu, dengan cara mengacaukan pembaca. Mitos tumbuh dari konotasi (dari perkembangan konotasi yang semakin mantap). Barthes mengatakan bahwa “kita hidup bukan di antara benda-benda melainkan dari opini-opini yang sudah diyakini”. Kekuatiran Barthes dalam hal ini adalah jika opini-opini yang diyakini tersebut dianggap wajar dan alamiah, sebab yang dianggap wajar adalah kekuatan yang dominan. 2.3 Kerangka Pemikiran Kerangka berpikir yang dibangun dalam penelitian ini berawal dari keberadaan topeng yang secara harafiah diartikan sebagai penutup muka. Menampakan topeng sebagai sebuah benda untuk menutupi atau menggantikan perwujudan muka pemakainya. Sehingga dalam ranah awal ini, topeng ditempatkan sebagai penanda dalam arti denotasinya (sebenarnya). Namun keberadaan topeng sendiri telah dikenal sebagai sebuah kesenian, menjadi bentuk ekspresi paling tua yang pernah diciptakan peradaban manusia. Dengan unsur animisme dan dinamisme yang kental dalam sebuah topeng, membuat keberadaannya sering dijadikan sarana komunikasi simbolik bagi masyarakat hingga saat ini. Entah itu digunakan sebagai simbol khusus upacara/kegiatan adat sampai kepada ritual-ritual berbau magis dan misterius.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
68
Sehingga muncul makna lain dari sebuah topeng, menempatkan komunikasi simbolik dari topeng sebagai petanda dalam arti konotasinya. Unsur magis dan sisi-sisi misterius yang tersimpan pada raut wajah topeng itulah yang dimanfaatkan oleh para musisi band, untuk menarik perhatian masyarakat pencinta musik. Maka dikreasikanlah bentuk-bentuk topeng yang seram, sangar, dan tampak tidak lazim sebagai bentuk citra atau realitas yang secara wajar terjadi melalui tanda simbolik topeng-topeng mereka. Simbolik topeng para musisi musik tersebut ditempatkan sebagai tanda atau penanda konotatif. Maka dengan apa adanya (wajar) musisi band Slipknot menciptakan citra panggung mereka melalui topeng. Untuk lebih memperkenalkan musik mereka daripada sekedar mempertontonkan wajah asli, mereka mengkreasikan bentuk topeng-topeng yang seram, sangar, penuh kesan kengerian untuk menjadi sebuah tontonan musik yang dipandang penuh kreativitas tinggi dari pengidolanya. Lalu membuat topeng menjelma menjadi sesuatu yang diidolakan, sesuatu yang dinyawai oleh ketenaran gemerlap panggung musikal. Kemudian membuai setiap pengidolanya untuk mempercayai bahwa topeng itu hidup, dielukan saat beraksi dipanggung, dan dapat menghibur dengan energik. Musisi Slipknot menciptakan topeng mereka dengan imajinasi, khayalan, lalu dijadikan nyata ke dalam kenyataan realitas panggung pertunjukan musik mereka. Sekedar untuk menyembunyikan identitas, ekspresi lain yang sebenarnya ada di balik tampilan si topeng yang abstrak dan tidak berubah. Terlebih keberadaan topeng tersebut menyisipkan kegiatan ritual dari sang musisi, yang mengharapkan keberuntungan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
69
melalui keberadaan topeng tersebut, serta menjadi objek yang memancarkan kenikmatan dunia melalui penampilan sang topeng di atas panggung konser. Seakan-akan topeng memiliki daya magis tersembunyi yang mampu menjadikan para penggunanya sebagai dewa yang dipuja di panggung. Menempatkan penggunaan topeng Slipknot di panggung sebagai petanda konotatif. Topeng yang menjadi daya tarik bagi para pengidola musik Slipknot pada khususnya, setidaknya membenarkan mitos mengenai daya magis dan mistisme yang telah ada dalam sejarah keberadaan topeng itu sendiri. Karena sesuatu yang tersembunyi, dan rahasia, gelap, seram, lebih membuat penasaran dan rasa ingin tahu yang lebih besar dari masyarakat. Hingga sisi-sisi mistis di balik penggunaan topeng Slipknot merupakan mitos yang terus bergerak dari keberadaan topeng yang notabene adalah sebuah benda seni tidak bernyawa (denotasi), yang dimaknai melalu simbolik penampakan topeng yang beragam bentuk dan rupa (konotasi). Sampai membentuk mistisme dalam arti kerahasiaan di balik penggunaan topeng itu, seperti yang dicurigai di awal bahwa topeng Slipknot menyampaikan pesan mengenai kenikmatan dan hingar-bingar duniawi semata, yang melalui mitos terbentuk secara apa adanya hingga saat ini. Kajian ini akan ditelaah mendalam melalui studi semiologi dan mitologi Roland Barthes. Untuk menemukan mitologi mistisme yang tersembunyi secara wajar, apa adanya melalui topeng Slipknot. Uraian kerangka pemikiran tersebut dapat dijelaskan melalui bagan yang digambarkan sebagai berikut:
http://digilib.mercubuana.ac.id/
70
Gambar 2.3 Bagan Kerangka Pemikiran Topeng (SIGNIFIER)
Mitos Dan Ideologi
Topeng (SIGNIFIED)
Simbolik Topeng Slipknot (SIGN)
Topeng Slipknot Di Panggung Konser (CONNOTATIVE SIGNIFIED)
Mistisme/Kerahasiaan yang dipesankan melalui Topeng Slipknot, seperti kenikmatan duniawi (CONNOTATIVE SIGN)
SEMIOLOGI ROLAND BARTHES
http://digilib.mercubuana.ac.id/