BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Fiscal Federalism dan Otonomi Daerah Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah menyebutkan bahwa Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, penyerahan, pelimpahan dan penugasan urusan pemerintah kepada daerah secara nyata dan bertanggung jawab harus diikuti pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional secara adil, termasuk perimbangan keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah. Secara teoritis ada beberapa tipe desentralisasi, yaitu desentralisasi politik, desentralisasi administratif, dan desentralisasi fiskal (Osoro, 2003 dalam Khusaini, 2006). Desentralisasi fiskal dapat dimaknai sebagai pelimpahan kewenangan di bidang penerimaan anggaran atau keuangan yang sebelumnya tersentralisasi, baik secara administrasi maupun pemanfaatannya diatur atau dilakukan oleh Pemerintah Pusat (Khusaini, 2006). Pengertian di atas mengisyaratkan bahwa desentralisasi memberikan ruang gerak yang lebih bagi pemerintah daerah untuk berimprovisasi dalam hal pemanfaatan sumber daya dan potensi daerah serta kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada kebutuhan daerah, seperti pelaksanaan tugas-tugas rutin,
13
pelayanan publik, dan peningkatan investasi yang produktif (capital investment) di daerahnya. Vo (2009) dalam penelitiannya menyatakan desentralisasi memiliki tidak hanya nilai administratif tetapi juga dimensi sipil karena meningkatkan kesempatan bagi warga untuk mengambil minat dalam urusan publik itu membuat mereka terbiasa dengan menggunakan kebebasan. Sementara itu, Malik et al. (2006) menyatakan desentralisasi struktur fiskal suatu negara adalah strategi yang efektif untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Secara teori, desentralisasi akan mendekatkan pemerintah kepada masyarakat sehingga dalam sistem pemerintahan yang desentralistik akan tercipta efisiensi dalam perekonomian, sehingga pada gilirannya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Teori federalisme fiskal merupakan teori yang menjelaskan tentang bagaimana hubungan desentralisasi dengan perekonomian, pelayanan publik, dan kesejahteraan masyarakat. Dalam berbagai kajian tentang federalisme fiskal (fiscal federalism), terdapat dua perspektif teori yang menjelaskan dampak ekonomi dari desentralisasi, yaitu traditional theories (fisrt generation theories) dan new perspective theories (second generation theories). Teori perspektif baru dikemukakan oleh Oates (1993), menekankan pada bagaimana desentralisasi fiskal memengaruhi perilaku pemerintah daerah. Bodman et al. (2009) menyatakan secara teoritis desentralisasi fiskal adalah devolusi tanggung jawab fiskal dan kekuasaan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah yang dapat meningkatkan atau mengurangi pertumbuhan ekonomi.
14
Teori Federalisme fiskal menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi dicapai dengan desentralisasi fiskal melalui pelaksanaan otonomi daerah. Desentralisasi fiskal diartikan sebagai pelimpahan kewenangan terkait dengan pengambilan keputusan kepada pemerintah tingkat rendah (Akai & Sakata, 2002). Maggi dan Ladurner (2009) menyatakan bahwa New Perspective Theory of Fiscal Federalism lebih menekankan untuk melihat ke dalam setiap keputusan politik yang diambil oleh pemerintah, bagaimana pemerintah (eksekutif dan legislatif) berperilaku, berperan dan berpikir beserta lembaga-lembaga mereka. Federalisme fiskal menampilkan model normatif yang menggambarkan pemerintah pusat sebagai penafsir arif aspirasi masyarakat, yang memberikan arahan dalam aturan-aturan kelembagaan antar pemerintahan untuk menjamin lembaga lembaga pemerintah daerah bertindak sesuai keinginan pusat (dengan asumsi sesuai keinginan seluruh rakyat). Bahkan kalaupun tak semua pemerintah pusat tidak sedemikian arif, aturan-aturan ini mungkin masih dapat memberikan rujukan yang bermanfaat dalam hubungan fiskal antar pemerintahan. Sidik (2002) menyatakan bahwa konsep desentralisasi tidak mudah untuk didefinisikan, karena menyangkut berbagai aspek dan dimensi, terutama menyakut aspek politik, fiskal, perubahan administrasi dan sistem pemerintahan serta pembangunan sosial dan ekonomi.
2.1.2 Teori Keagenan (Agency Theory) Teori keagenan merupakan suatu hubungan yang terjalin berdasarkan kontrak perjanjian antara 2 pihak atau lebih dimana pihak pertama disebut
15
prinsipal dan pihak yang lainnya disebut dengan agen. Prinsipal merupakan pihak yang bertindak sebagai pemberi perintah dan bertugas untuk mengawasi, memberikan penilaian dan masukan atas tugas yang telah dijalankan oleh agen. Sedangkan agen adalah pihak yang menerima dan menjalankan tugas sesuai dengan kehendak prinsipal. Menurut Halim dan Abdullah (2006) Teori Keagenan yakni teori yang mengaitkan hubungan prinsipal dengan agen yang berasal dari teori ekonomi, keputusan, sosiologi, organisasi. Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan di dalam teori keagenan terdapat hubungan yang diibaratkan sebagai sebuah kontrak yang mana satu atau lebih prinsipal menyewa orang lain, dalam hal ini disebut agen, untuk melakukan beberapa jasa demi kepentingan mereka dengan mendelegasikan beberapa wewenang pembuatan keputusan kepada agen untuk membuat keputusan yang terbaik bagi prinsipal. Lane dalam Halim dan Abdullah (2006) mengemukakan bahwa teori keagenan dapat diterapkan dalam organisasi sektor publik. Lane menyatakan bahwa negara demokrasi modern didasarkan pada serangkaian hubungan prinsipal-agen. Antara prinsipal dan agen sering terjadi masalah keagenan karena adanya konflik kepentingan yang dimiliki oleh principal dan agen. Oleh karena itu, persoalan yang sering timbul di antara eksekutif dan legislatif juga merupakan persoalan keagenan. Adiwiyana (2011) menyatakan pemerintah daerah baik provinsi, kabupaten/kota sering mempraktikkan agency theory dalam penyusunan rancangan APBD. Pada sektor publik, masyarakat yang diproksikan oleh DPRD adalah principal dan pemerintah daerah adalah agennya. Pada pemerintahan
16
daerah (agen) (masyarakat).
seharusnya bertindak sesuai dengan kehendak prinsipalnya Namun
terkadang
pada
kenyataannya
pemerintah
daerah
berperilaku opportunis dalam membuat keputusan yang berkaitan dengan publik (Gunantara, 2013). Hal ini sesuai dengan teori keagenan yaitu antara prinsipal dan agennya tidak selalu memiliki kepetingan yang sama (konflik kepentingan) dan agen cenderung melakukan suatu tindakan yang memaksimalkan utilitasnya. Delegasi dalam hal ini merupakan situasi dimana pemerintah daerah bertindak sebagai agen dalam mengeksekusi fungsi-fungsi pemerintah pusat yang telah didelegasikan kepada pemerintah daerah. Ini berarti pemerintah daerah lebih leluasa dalam mengatur proporsi pelayanan publik, tapi juga harus mengukuti aturan dan permintaan pemerintah pusat. Namun pada kenyataannya pemerintah daerah terkadang berperilaku tidak sesuai dengan yang diinginkan pemerintah pusat sehingga menimbulkan konflik kepentingan.
2.1.3 Pendekatan Kontinjensi Teori kontinjensi merupakan teori yang membahas berbagai aspek kepemimpinan diterapkan pada situasi tertentu saja tidak untuk situasi lain. Teori kontinjensi ada deskriptif atau preskriptif. Teori kontinjensi yang deskriptif membahas tentang mengapa suatu pemimpin, antara satu situasi dengan situasi lain berperilaku berbeda. Sementara teori kontinjensi yang preskriptif membahas prilaku yang paling efektif pada setiap jenis situasi. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan menunjukkan hasil yang saling bertentangan mengenai hubungan Pajak Daerah, Retribusi Daerah, DAU dan
17
DBH pada Belanja Modal. Eka (2014) melakukan penelitian dengan judul Pengaruh PAD, DAU dan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) terhadap Belanja Modal dengan Pertumbuhan Ekonomi sebagai Variabel Pemoderasi, dimana hasil dari penelitiannya menunjukkan PAD, DAU dan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) terbukti berpengaruh positif terhadap Belanja Modal, Pertumbuhan Ekonomi mampu memoderasi PAD, DAU, namun tidak mampu memoderasi Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) terhadap Belanja Modal. Karina (2013) dalam penelitiannya yang berjudul Pengaruh Pajak Daerah, Retribusi Deerah, DAU dan DAK terhadap Belanja Modal menunjukkan bahwa Pajak Daerah dan Retribusi Daerah berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal, sedangkan DAU dan DAK tidak berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal. Yossi Mamonto, dkk (2013) dalam penelitiannya yang berjudul pengaruh Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap Belanja Modal menemukan hasil yang berbeda yaitu, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tidak berpengaruh terhadap Belanja Modal. Hasil penelitian yang tidak konsisten antara satu peneliti dengan peneliti lainnya dapat terjadi karena beberapa faktor lain yang diduga juga memiliki pengaruh antara Pajak Daerah, Retribusi Daerah, DAU dan DBH pada Belanja Modal. Terjadinya kontradiksi atau perbedaan pada hasil penelitian sebelumnya memungkinkan adanya pengaruh variabel moderating dalam mengidentifikasi pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Pengaruh dari variabel moderating tersebut dapat bersifat positif maupun negatif. Variabel moderating ini
18
digunakan untuk menyelesaikan perbedaan dari penelitian tersebut, yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan kontinjensi. Teori kontinjensi dalam hal ini dapat digunakan untuk menganalisis variabel moderating yang dapat memperkuat ataupun memperlemah hubungan antara Pajak Daerah, Retribusi Daerah, DAU dan DBH pada Belanja Modal.
2.1.4 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) APBD dalam Permendagri No. 21 Tahun 2011 adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan perwakilan rakyat daerah, dan ditetapkan dengan peraturan daerah. APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa 1 (satu) tahun anggaran terhitung mulai 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember. Menurut Halim (2004), APBD memiliki unsur- unsur sebagi berikut: 1) Rencana kegiatan suatu daerah beserta uraiannya secara rinci 2) Adanya sumber penerimaan yang merupakan target minimal untuk menutupi biaya-biaya sehubungan dengan aktivitas-aktivitas tersebut, dan adanya biayabiaya yang merupakan batas maksimal pengeluaran-pengeluaran yang akan dilaksanakan. 3) Jenis kegiatan dan proyek dituangkan dalam bentuk angka 4) Periode anggaran biasanya satu tahun. Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, dalam bagian kedua pasal 20 disebutkan bahwa APBD
19
merupakan satu kesatuan yang terdiri dari Pendapatan daerah, Belanja daerah dan Pembiayaan daerah. Prinsip penyusunan APBD didasarkan pada: 1) Sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan daerah 2) Tepat waktu sesuai dengan tahapan dan jadwal yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. 3) Transparan, sehingga memudahkan masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan akses informasi seluas-luasnya tentang APBD. 4) Melibatkan partisipasi masyarakat 5) Memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan 6) Substansi APBD tidak bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan yang lebih tinggi dan peraturan daerah lainnya. Dalam UU No. 32 Tahun 2004 pasal 183 disebutkan bahwa perubahan APBD dapat dilakukan apabila terjadi: 1) Perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi kebijakan umum APBD. 2) Keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antar unit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja. 3) Keadaan yang menyebabkan sisa lebih perhitungan anggaran tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan dalam tahun anggaran berjalan.
2.1.5 Proses Penyusunan APBD Proses penyusunan APBD diawali dengan penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang kemudian dijabarkan
20
dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) untuk periode satu tahun. Penyusunan APBD yang perlu menjadi acuan (BPKP, 2005 dalam Warsito Kawedar, dkk 2008) sebagai berikut: 1) Transparansi dan Akuntabilitas Anggaran Untuk mewujudkan pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa, transparansi anggaran merupakan hal yang penting, APBD merupakan salah satu sarana evaluasi kinerja pemerintah yang memberikan informasi mengenai tujuan, sasaran, hasil dan manfaat yang diperoleh masyarakat dari suatu kegiatan atau proyek. 2) Disiplin Anggaran Anggaran yang disusun perlu diklarifikasikan dengan jelas agar tidak terjadi tumpang tindih yang dapat menimbulkan pemborosan dan kebocoran dana. Oleh karena itu penyusunan anggaran harus bersifat efisien, tepat guna, tepat waktu dan dapat dipertanggungjawabkan. 1) Keadilan Anggaran Pembiayaan pemerintah daerah dilakukan melalui mekanisme pajak dan retribusi yang dikenakan kepada masyarakat.Oleh karena itu, penggunaannya harus dialokasikan secara adil dan proposional agar dapat dinikmati oleh seluruh kelompok masyarakat. 2) Efisiensi dan Efektifitas Anggaran Dana yang dihimpun dan digunakan untuk pembangunan harus dapat dirasakan manfaatnya oleh sebagian besar masyarakat.Oleh karena itu,
21
perencanaan perlu ditetapkan secara jelas tujuan, sasaran, hasil dan manfaat yang diperoleh masyarakat dengan melakukan efisiensi dan efektifitas. 5) Disusun dengan Pendekatan Kinerja APBD disusun dengan pendekatan kinerja, yaitu mengutamakan upaya pencapaian hasil kinerja dari perencanaan alokasi biaya atau input yang telah ditetapkan. Hasil kerjanya harus sepadan atau lebih besar dari biaya atau input yang telah ditetapkan. Selain itu harus mampu menumbuhkan profesionalisme kerja setiap organisasi kerja yang terkait. Berdasarkan RKPD tersebut, Pemerintah Daerah (pemda) menyusun Kebijakan Umum Anggaran (KUA) yang akan dijadikan dasar dalam menyusun APBD. Kemudian pemerintah daerah menyusun Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) untuk melanjutkannya diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Setelah PPAS sudah disetujui DPRD, maka disusunlah Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (ATPBD) yang kemudian disahkan menjadi APBD.
2.1.6 Pajak Daerah Dalam UU No. 28 Tahun 2009 tentang pajak dan retribusi daerah, disebutkan bahwa pajak daerah yang selanjutnya disebut sebagai pajak, adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan
22
Pemerintahan Daerah dan pembangunan daerah. Pajak daerah untuk masingmasing Kab/Kota dapat dilihat dari pos PAD dalam Laporan Realisasi APBD. Berdasarkan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 Pajak Daerah dibagi menjadi dua, yang meliputi : 1) Pajak Provinsi a. Pajak Kendaraan Bermotor Pajak Kendaraan Bermotor adalah pajak atas kepemilikan dan penguasaan kendaraan bermotor. b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibatperjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaanyang terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah,warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha. c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor Pajak Bahan Bakar Kendaraan bermotor adalah pajak atas penggunaan bahan bakar kendaraan bermotor. d. Pajak Air Permukaan Pajak Air Permukaan adalah pajak atas pengambilan dan pemanfaatan air permukaan. e. Pajak Rokok Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh Pemerintah.
23
2) Pajak Kabupaten/Kota a. Pajak Hotel Pajak Hotel adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh hotel. b. Pajak Restoran Pajak Restoran adalah atas pelayanan yang disediakan oleh restoran. c. Pajak Hiburan Pajak Hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan. d. Pajak Reklame Pajak reklame adalah pajak atas penyelengaraan reklame. e. Pajak Penerangan Jalan Pajak Penerangan Jalan adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain. f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah adalah pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan, baik dari sumber alam di dalam dan/atau permukaan bumi untuk dimanfaatkan. g. Pajak Parkir Pajak Parkir adalah pajak atas penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor.
24
h. Pajak Air Tanah Pajak Air dan Tanah adalah Pajak Air Tanah adalah pajak atas pengambilan dan pemanfaatan air tanah. i. Pajak Bumi dan Bangunan Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak atas bumi dan bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. j. Pajak Sarang Burung Walet Pajak Sarang Burung Walet adalah pajak atas kegiatan pengambilan dan pengusahaan sarang burung walet. k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan bangunan.
2.1.7 Retribusi Daerah Retribusi daerah merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah. Dalam UU No. 28 Tahun 2009 disebutkan bahwa retribusi daerah yang selanjutnya disebut retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Retribusi daerah
25
untuk masing-masing Kab/Kota dapat dilihat dari pos PAD dalam Laporan Realisasi APBD. Berdasarkan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 disebutkan bahwa retribusi daerah dibagi menjadi 3, yaitu: 1) Retribusi jasa umum Jasa yang bersangkutan merupakan kewenangan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dan jasa tersebut memberi manfaat khusus bagi orang pribadi atau badan yang diharuskan membayar retribusi, disamping untuk melayani kepentingan dan kemanfaatan umum. 2) Retribusi jasa usaha Jasa yang bersangkutan adalah jasa yang bersifat komersial yang umumnya disediakan oleh sektor swasta tetapi belum memadai atau terdapatnya harta yang dimiliki/dikuasai daerah yang belum dimanfaatkan secara penuh oleh Pemerintah Daerah. 3) Retribusi perijinan tertentu Perizinan yang termasuk kewenangan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah dalam rangka asas desentralisasi serta benar-benar diperlukan guna melindungi kepentingan umum.
2.1.8 Dana Alokasi Umum (DAU) Dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintahan Daerah, Dana Alokasi Umum (DAU) didefinisikan sebagai dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
26
dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. DAU dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar daerah melalui penerapan formula dengan mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah. DAU suatu daerah ditentukan atas dasar besar kecilnya celah fiskal (fiscal gap) suatu daerah, yang merupakan selisih antara kebutuhan daerah (fiscal need) dan potensi daerah (fiscal capacity). Alokasi DAU bagi daerah yang potensi fiskalnya besar tetapi kebutuhan fiskalnya kecil akan memperoleh alokasi DAU relatif kecil. Sebaliknya, daerah yang potensi fiskalnya kecil, namun kebutuhan fiskalnya besar akan memperoleh alokasi DAU relatif besar. Secara implisit, prinsip tersebut menegaskan fungsi DAU sebagai faktor pemerataan kapasitas fiskal. Dalam UU Nomor 33 tahun 2004 menetapkan jumlah kebutuhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari Pendapatan Dalam Negeri Neto. Proporsi DAU antara daerah provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan imbangan kewenangan antara provinsi dan kabupaten/kota. Dalam UU No. 32 tahun 2004, DAU dialokasikan berdasarkan persentase tertentu dari pendapatan dalam negeri neto yang ditetapkan dalam APBN. DAU suatu daerah ditetapkan berdasarkan kriteria tertentu yang menekankan pada aspek pemerataan dan keadilan yang selaras dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan yang formula dan penghitungan DAU nya ditetapkan sesuai Undang-undang. Adanya dana transfer DAU dari pemerintah pusat maka daerah bisa fokus untuk menggunakan PAD untuk membiyai belanja modal yang digunakan untuk meningkatkan pelayanan publik
27
DAU untuk suatu daerah otonom baru dialokasikan setelah undangundang pembentukan disahkan. Alokasi DAU perdaerah ditetapkan dengan Peraturan Presiden. DAU disalurkan dengan cara pemindah bukuan dari Rekening Kas Umum Negara ke Rekening Kas Umum Daerah. DAU untuk masing-masing Kab/Kota dapat dilihat dari pos dana perimbangan dalam Laporan Realisasi APBD.
2.1.9 Dana Bagi Hasil (DBH) Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (UU No.33 Tahun 2004). DBH yang ditransfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah terdiri dari dua (2) jenis, yaitu Dana Bagi Hasil (DBH) Pajak dan Dana Bagi Hasil (DBH) Sumber Daya Alam (SDA). Pola bagi hasil penerimaan tersebut dilakukan dengan prosentase tertentu yang didasarkan atas daerah penghasil. Penerimaan Dana Bagi Hasil (DBH) Pajak bersumber dari: 1) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). 2) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). 3) Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (PPh WPOPDN) dan Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21). Penerimaan Dana Bagi Hasil (DBH) Sumber Daya Alam (SDA) bersumber dari: 1) Kehutanan 2) Pertambangan Umum
28
3) Perikanan 4) Pertambangan Minyak Bumi 5) Pertambangan Gas Bumi 6) Pertambangan Panas Bumi Prinsip otonomi daerah sendiri adalah prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberi kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang. Berdasarkan Undang - Undang No.32 Tahun 2004, sebagai konsekuensi dari kewenangan otonomi yang luas, pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat secara demokratis, adil, merata, dan berkesinambungan. Kewajiban itu bisa dipenuhi apabila pemerintah daerah mampu mengelola potensi daerahnya yaitu potensi SDA, sumber daya manusia (SDM), dan potensi sumber daya keuangan secara optimal. Setiap daerah dituntut untuk lebih meningkatkan kemampuan sumber daya manusia untuk dapat menggali potensi yang ada dan mengelolanya sehingga pendapatan daerah dapat terus meningkat dan ketergantungan pemerintah daerah terhadap bantuan pemerintah pusat dapat berkurang. Melalui bagi hasil penerimaan negara tersebut, diharapkan potensi penerimaan daerah menjadi semakin meningkat dan daerah merasakan bahwa haknya atas pemanfaatan SDA yang dimiliki masing-masing daerah diperhatikan oleh pemerintah pusat.
29
2.1.10 Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output perkapita diproduksi dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) perkapita (Boediono,1999). Satu satunya ukuran yang paling penting dalam konsep ekonomi adalah produk domestik bruto (PDB) yang mengukur total nilai barang dan jasa yang dihasilkan pada suatu negara atau nasional. PDRB untuk mengukur total nilai barang dan jasa yang dihasilkan pada suatu daerah atau lokal. Berdasarkan pengertian tersebut, peneliti menggunakan PDRB sebagai alat ukur untuk menilai pertumbuhan ekonomi. Terdapat faktor faktor yang mempengaruhi pembangunan sarana dan prasarana, antara lain sumber daya alam, tenaga kerja, investasi modal, kewirausahaan, transportasi, komunikasi, komposisi sektor industri, teknologi, pasar ekspor, situasi perekonomian internasional, kapasitas pemerintah daerah, pengeluaran pemerintah dan dukungan pembangunan. Pertumbuhan ekonomi sangat tergantung pada ukuran, kapasitas belanja, dan efektif menggunakan belanja modal dalam proses pembangunan (Sharma, 2012). Dalam pemerintah daerah, pembangunan sarana dan prasarana berpengaruh positif pada pertumbuhan ekonomi (Darwanto dan Yustikasari 2007). Syarat fundamental untuk pembangunan ekonomi adalah tingkat pengadaan modal pembangunan yang seimbang dengan pertumbuhan penduduk. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa peningkatan dan perbaikan infrastruktur untuk pelayanan kepada publik dapat memacu pertumbuhan ekonomi daerah.
30
Secara umum, pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai peningkatan kemampuan dari suatu perekonomian dalam memproduksi barang-barang dan jasa-jasa. Pertumbuhan ekonomi adalah salah satu indikator yang amat penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara. Pertumbuhan ekonomi menunjukkan sejauh mana aktivitas perekonomian akan menghasilkan tambahan pendapatan masyarakat pada suatu periode tertentu. Karena pada dasarnya aktivitas perekonomian adalah suatu proses penggunaan faktor-faktor produksi untuk menghasilkan output,maka proses ini pada gilirannya akan menghasilkan suatu aliran balas jasa terhadap faktor produksi yang dimiliki oIeh masyarakat, dengan adanya pertumbuhan ekonomi maka diharapkan pendapatan masyarakat sebagai pemilik faktor produksi juga akan meningkat. Perekonomian dianggap mengalami pertumbuhan jika seluruh balas jasa riil terhadap penggunaan faktor produksi pada tahun tertentu lebih besar dari pada tahun sebelumnya. Dengan kata lain perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan jika pendapatan riil masyarakat pada tahun tertentu lebih besar dari pada pendapatan riil masyarakat pada tahun sebelumnya. Kuznets dalam Haryanto (2007) mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu negara dalam menyediakan semakin banyak jenis barang-barang ekonomi kepada penduduknya; kemampuan ini tumbuh sesuai dengan kemajuan teknologi, dan penyesuaian kelembagaan dan ideologis yang diperlukannya.
31
2.1.11 Belanja Modal Belanja modal merupakan salah satu komponen belanja langsung yang digunakan untuk membiayai kebutuhan investasi. Belanja modal yaitu pengeluaran yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan dapat menambah aset
pemerintah
yang
selanjutnya
meningkatkan
biaya
pemeliharaan
(Mardiasmo,2009:67). Belanja modal untuk masing-masing Kab/Kota dapat dilihat dalam Laporan Realisasi APBD. Jenis belanja Modal berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan adalah sebagai berikut: 1) Belanja Modal Tanah Semua biaya yang diperlukan untuk pengadaan/pembelian/ pembebasan/ penyelesaian, balik nama dan sewa tanah, pengosongan, perataan, pematangan tanah, pembuatan sertifikat tanah dan pengeluaran-pengeluaran lain yang bersifat administratif sehubungan dengan perolehan hak dan kewajiban atas tanah pada saat pembebasan/pembayaran ganti rugi tanah. 2) Belanja Modal Peralatan dan Mesin Jumlah biaya yang digunakan untuk pengadaan alat-alat dan mesin yang dipergunakan dalam pelaksanaan kegiatan sampai siap untuk digunakan. Dalam jumlah belanja ini termasuk biaya untuk penambahan, penggantian, dan peningkatan kapasitas peralatan dan mesin dan diharapkan dapat meningkatkan nilai aktiva, serta seluruh biaya pendukung yang diperlukan.
32
3) Belanja Modal Gedung dan Bangunan Belanja Modal Gedung dan Bangunan adalah jumlah biaya yang digunakan untuk perencanaan, pengawasan dan pengelolaan dalam rangka kegiatan pembangunan gedung yang persentasenya mengikuti Keputusan Direktur Jenderal Cipta Karya untuk pembangunan gedung dan bangunan. 4) Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan adalah biaya untuk pengembalian penggantian, peningkatan pembangunan, pembuatan prasejarah dan sarana yang berfungsi atau merupakan bagian dari jaringan pengairan (termasuk jaringan air bersih), jaringan instalasi distribusi listrik dan jaringan telekomunikasi serta jaringan lain yang berfungsi sebagai prasarana dan sarana fisik distribusi instalasi. 5) Belanja Modal fisik lainnya Belanja Modal fisik lainnya adalah jumlah biaya yang digunakan untuk perolehan melalui pengadaan/pembangunan belanja fisik lainnya yang tidak dapat diklasifikasikan dalam perkiraan belanja modal tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jaringan (jalan, dan irigasi) dan belanja modal non fisik, yang termasuk dalam belanja modal ini antara lain: kontrak sewa beli (leasehold), pengadaan/pembelian barang-barang kesenian (art pieces), barang-barang purbakala dan barang-barang museum, serta hewan ternak, buku-buku dan jurnal ilmiah.
33
2.2. Rumusan Hipotesis 2.2.1 Pengaruh Pajak Daerah Pada Belanja Modal Salah satu sumber pendapatan daerah adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pendapatan Asli Daerah terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah. Dari beberapa komponen PAD tersebut, pajak dan retribusi daerah mempunyai kontribusi terbesar dalam memberikan pendapatan bagi daerah. Pajak daerah merupakan PAD yang tarifnya ditetapkan melalui Peraturan Daerah (Perda). Pajak daerah dapat berupa pajak hotel, pajak restoran, pajak tempat hiburan, pajak reklame, pajak parkir, dan pajak penerangan jalan. Sianturi (2010), dalam penelitiannya menyatakan terdapat keterkaitan antara pajak daerah dengan alokasi belanja modal. Semakin besar pajak yang diterima oleh Pemerintah Daerah, maka semakin besar pula PAD. Pemerintah Daerah mempunyai wewenang untuk mengalokasikan pendapatannya dalam sektor belanja langsung ataupun untuk belanja modal. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Arifin (2014) dan Karina (2013) yang mengatakan pajak daerah berpengaruh positif terhadap belanja modal. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat ditarik hipotesis sebagai berikut: H1 : Pajak Daerah berpengaruh positif pada belanja modal
2.2.2 Pengaruh Retribusi Daerah Pada Belanja Modal Peningkatan pelayanan kepada masyarakat dapat ditingkatkan apabila pendapatan yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah juga memadai. Meskipun
34
Pemerintah Daerah mendapatkan bantuan dana dari Pemerintah Pusat, namun Pemerintah Daerah juga tetap harus dapat mengoptimalkan potensi daerahnya untuk dapat meningkatkan PAD. Dengan meningkatnya PAD maka daerah tersebut akan menjadi daerah yang mandiri sesuai dengan tujuan otonomi daerah. Kemandirian daerah dapat diwujudkan dengan salah satu cara yaitu dengan meningkatkan PAD dari sektor retribusi daerah. Jika retribusi daerah meningkat, maka PAD juga akan meningkat sehingga dapat meningkatkan pengalokasian belanja modal untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Dalam Harianto (2007) disebutkan bahwa pendapatan asli daerah yang semakin tinggi akan merangsang pemerintah daerah untuk lebih meningkatkan mutu pelayanannya kepada publik. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Sulistyowati (2011) dan Karina (2013), yang mengatakan retribusi daerah berpengaruh positif terhadap belanja modal. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat ditarik hipotesis sebagai berikut: H2 : Retribusi Daerah berpengaruh positif pada belanja modal.
2.2.3 Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) Pada Belanja Modal Dana Alokasi Umum (DAU) yang diterima Pemerintah Daerah dapat dialokasikan untuk belanja modal. Penelitian Holtz-Eakin et. al. (1985) dalam Darwanto dan Yustikasari (2007) menyatakan bahwa terdapat keterkaitan sangat erat antara transfer dari Pemerintah Pusat dengan belanja Pemerintah Daerah. Meskipun otonomi daerah telah diberlakukan sejak lama, namun kenyataannya masih terdapat beberapa Kab/Kota yang masih menggantungkan
35
sumber pendanaan pemerintahan daerahnya pada dana perimbangan (dana transfer dari Pemerintah Pusat). Besarnya nilai DAU dipastikan akan menambah jumlah pendapatan Pemerintah Daerah. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Harianto (2007), Andriana (2008) dan Mayasari (2014) yang mengatakan DAU berpengaruh positif terhadap belanja modal. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat ditarik hipotesis sebagai berikut: H3 : Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh positif pada belanja modal.
2.2.4 Pengaruh Dana Bagi Hasil (DBH) Pada Belanja Modal Sumber dana perimbangan yang kedua adalah Dana Bagi Hasil (DBH). Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (UU No.33 Tahun 2004). DBH yang ditransfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah terdiri dari dua (2) jenis, yaitu Dana Bagi Hasil (DBH) Pajak dan Dana Bagi Hasil (DBH) Sumber Daya Alam (SDA). Secara teoritis Pemerintah daerah akan mampu menetapkan belanja modal yang semakin besar jika anggaran DBH semakin besar pula, begitupun Sebaliknya semakin kecil belanja modal yang akan ditetapkan jika anggaran DBH semakin kecil. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Darmayasa (2014), Wandira (2013), dan Maryadi (2014) yang mengatakan DBH berpengaruh positif terhadap belanja modal. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat ditarik hipotesis sebagai berikut: H4 : Dana Alokasi Khusus (DBH) berpengaruh positif pada belanja modal
36
2.2.5 Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi Pada Belanja Modal Pertumbuhan ekonomi merupakan parameter dari suatu kegiatan pembangunan, hal ini dikarenakan pertumbuhan ekonomi dapat mengukur tingkat perkembangan aktivitas pada sektor-sektor ekonomi dalam suatu perekonomian Pertumbuhan ekonomi suatu daerah dapat diukur dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Pertumbuhan ekonomi bertujuan untuk peningkatan ekonomi yang berkelanjutan. Oates (1993) dalam Lin dan Liu (2000) membuktikan bahwa antara desentralisasi dengan pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan yang positif dan signifikan. Tausikal (2008) menyatakan pertumbuhan ekonomi, berpengaruh terhadap belanja modal di seluruh daerah Kabupaten/Kota di Indonesia. Karena peningkatan dari penerimaan daerah akan meningkatkan PDRB. Bila PDRB mengalami peningkatan maka belanja modal juga akan mengalami peningkatan. Pertumbuhan Ekonomi (PDRB) berpengaruh positif pada Belanja Modal. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Wertianti (2013), yang mengatakan pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif terhadap pengalokasian anggaran belanja modal. Darwanto dan Yustikasari (2007) menyatakan bahwa peningkatan PDRB akan berdampak pada peningkatan kegiatan ekonomi, utamanya di sektor riil dan dunia usaha pada umumnya. Peningkatan kegiatan ekonomi akan membawa pengaruh meningkatkan penerimaan pemerintah melalui perpajakan. Jika penerimaan
pemerintah
meningkat,
maka
akan
membawa
konsekuensi
peningkatan pengeluaran pemerintah. Secara teori, semakin besar Produk
37
Domestik Regional Bruto (PDRB), maka akan semakin besar pula pendapatan yang diterima oleh kabupaten/kota. Semakin besar pendapatan yang diperoleh daerah, maka pengalokasian belanja oleh pemerintah daerah akan lebih besar untuk meningkatkan berbagai potensi lokal di daerah tersebut untuk kepentingan pelayanan publik (Darwanto dan Yustikasari, 2007). Sehingga seharusnya Pemerintah Daerah dapat mengalokasikan belanja modal yang lebih tinggi dibandingkan belanja operasi yang relatif kurang produktif (Felix, 2012). Salih (2012) dalam penelitiannya, berpendapat bahwa Pertumbuhan Ekonomi riil per kapita memiliki hubungan yang searah dengan pangsa belanja modal pemerintah daerah. Taiwo dan Abayomi (2011) menunjukkan bahwa adanya hubungan yang positif antara pertumbuhan ekonomi dan belanja modal. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat ditarik hipotesis sebagai berikut: H5 : Pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif pada alokasi belanja modal.
2.2.6 Kemampuan Pertumbuhan Ekonomi Memoderasi Pengaruh Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Bagi Hasil (DBH) pada Belanja Modal Pertumbuhan ekonomi dalam penelitian ini digunakan sebagai variabel pemoderasi. Tingkat pertumbuhan ekonomi diduga dapat memperkuat pengaruh pajak daerah, retribusi daerah, dana alokasi umum, dana bagi hasil pada belanja modal. Semakin tinggi tingkat pertumbuhan ekonomi suatu daerah seharusnya dapat meningkatkan pajak daerah, retribusi daerah, dana alokasi umum, dana bagi
38
hasil dan belanja modal. Pertumbuhan ekonomi suatu daerah yang meningkat berdampak pada peningkatan pendapatan per kapita penduduk, sehingga tingkat konsumsi dan produktivitas penduduk semakin meningkat. Selain itu, semakin tinggi pendapatan yang diperoleh masyarakat, maka semakin tinggi pula kemampuan masyarakat untuk membayar pungutan yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah. Hal ini akan meningkatkan sumber penerimaan daerah dan tentu saja akan membuat penerimaan PAD semakin tinggi. Peningkatan pertumbuhan ekonomi suatu daerah juga mampu menarik minat investor untuk berinvestasi di daerah sehingga sumber-sumber PAD terutama yang berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah akan semakin meningkat. Secara normatif semakin tinggi tingkat investasi modal diharapkan dapat meningkatkan cakupan dan kualitas layanan publik dan pada gilirannya mampu meningkatkan partisipasi publik pada pembangunan (Mardiasmo, 2009:93). Hadirannya para pelaku usaha di daerah tersebut dapat meningkatkan lapangan pekerjaan yang akhirnya akan berimbas pada kesejahteraan masyarakat daerah (Gunantara, 2013). Peningkatan pertumbuhan ekonomi suatu daerah juga akan meningkatkan tingkat kemandirian pemerintah daerah untuk tidak lagi menggantungkan sumber pendanaan pemerintahan daerahnya pada dana perimbangan, terutama pada dana bagi hasil dan dana alokasi umum sehingga lebih meningkatkan pendapatan daerah melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD). PAD yang tinggi selanjutnya akan digunakan oleh pemerintah daerah untuk memberikan pelayanan publik yang memadai sehingga hal ini akan meningkatkan belanja modal. Penelitiaan oleh Taiwo dan Abayomi (2011) memperoleh hasil
39
bahwa terdapat hubungan yang positif antara pertumbuhan ekonomi dan belanja modal. Apabila pertumbuhan ekonomi meningkat dan disertai dengan pendapatan daerah yang semakin tinggi, maka semestinya mampu meningkatkan belanja modal suatu daerah. Berdasarkan landasan teori dan hasil-hasil penelitian terdahulu yang telah dipaparkan, maka hipotesis yang dirumuskan sebagai berikut. H6: Pertumbuhan ekonomi memoderasi pengaruh pajak daerah pada belanja modal. H7: Pertumbuhan ekonomi memoderasi pengaruh retribusi daerah pada belanja modal. H8: Pertumbuhan ekonomi memoderasi pengaruh dana alokasi umum pada belanja modal. H9: Pertumbuhan ekonomi memoderasi pengaruh dana bagi hasil pada belanja modal.
40