BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Teori Pembangunan Pembangunan adalah upaya untuk membuat kehidupan yang lebih baik untuk setiap orang (Peet and Hartwick, 2009). Hal ini berarti pembangunan merupakan sebuah upaya yang dapat membawa masyarakat mengikuti sebuah proses untuk mencapai kehidupan yang sebelumnya dianggap tidak baik, ataupun kureang baik, menjadi sebuah kondisi yang lebih baik. Meskipun demikian kondisi masyarakat yang lebih baik adalah sebuah kondisi yang tidak dapat ditunggalkan. Kondisi ini mempunyai banyak ukuran dan kriteria yang berbeda. Akibatnya, ukuran kondisi yang lebih baik bagi seseorang belum tentu baik menurut orang lain, bahkan dapat saja menjadi kondisi yang lebih buruk. Contohnya: pemerintah beranggapan kondisi yang lebih baik bagi bangsanya adalah tercapainya pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya menurut Todaro dan Smith (2006), ada tiga nilai inti dari pembangunan yaitu: 1) Kecukupan yaitu kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar (basic needs) yang meliputi pangan, sandang, papan, kesehatan dan keamanan; 2) Jati diri, menjadi manusia seutuhnya, yaitu diartikan sebagai adanya dorongan-dorongan dari diri sendiri untuk maju, untuk menghargai diri sendiri, untuk merasa diri pantas dan layak melakukan atau mengejar sesuatu; 3) Kebebasan dari sikap menghamba, kemerdekaan atau kebebasan disini hendaknya diartikan secara luas sebagai kemampuan untuk
12
berdiri tegak sehingga tidak diperbudak oleh pengejaran aspek-aspek materiil dalam kehidupan. Lebih lanjut Todaro menyatakan bahwa pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar
atas
struktur
institusinasional,
sosial,
disamping
sikap-sikap
mengejar
masyarakat,
akselerasi
dan
institusi-
pertumbuhan
ekonomi,
penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. 2.1.2 Kemiskinan 2.1.2.1 Definisi Kemiskinan Menurut Sianturi (2011) menyatakan bahwa pengertian mengenai kemiskinan
telah
mengalami
perkembangan,
seiring
dengan
semakin
kompleksnya faktor yang menjadi penyebab kemiskinan tersebut, maka indikator maupun permasalahan lain yang melingkupinya juga terus bertambah. Kemiskinan tidak lagi hanya dilihat dari aspek ekonomi masyarakat melainkan telah meluas hingga kedimensi sosial, kesehatan, pendidikan dan politik. Menurut Sen (1999), lebih kepada ketidakmampuan untuk mencapai standar hidup. Menurut Badan Pusat Statistik, kemiskinan diartikan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi standar minimum kebutuhan dasar dalam hidup yang meliputi kebutuhan makan maupun non makan. Rumah tangga tidak miskin adalah mereka yang pendapatannya berada di atas garis kemiskinan (Krishna et al. 2007). Pada dasarnya definisi dari kemiskinan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu:
13
a) Kemiskinan absolut Merupakan kemiskinan yang dikaitkan dengan perkiraan tingkat pendapatan dan kebutuhan yang hanya dibatasi pada kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar minimum yang memungkinkan seseorang untuk hidup secara layak. Dengan demikian kemiskinan diukur dengan membandingkan tingkat pendapatan orang dengan tingkat pendapatan yang dibutuhkan untuk memperoleh kebutuhan dasarnya yakni makanan, pakaian dan perumahan agar dapat menjamin kelangsungan hidupnya. Metode yang digunakan adalah menghitung Garis Kemiskinan (GK), yang terdiri dari dua komponen, yaitu: (1) Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kalori per kapita per hari. Paket komoditas kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditas (padi-padian, umbiumbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll). (2) Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Paket komoditas kebutuhan dasar non-makanan diwakili oleh 51 jenis komoditas di perkotaan dan 47 jenis komoditas di perdesaan (BPS Provinsi Bali, 2014). b) Kemiskinan relatif Kemiskinan dilihat dari aspek ketimpangan sosial, karena ada orang yang sudah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya tetapi masih jauh lebih rendah dibanding masyarakat sekitarnya (lingkungannya). Semakin besar ketimpangan antara tingkat penghidupan golongan atas dan golongan bawah maka akan semakin besar pula jumlah penduduk yang dapat dikategorikan miskin,
14
sehingga kemiskinan relatif erat hubungannya dengan masalah distribusi pendapatan. Menurut Todaro (1997) menyatakan bahwa variasi kemiskinan dinegara berkembang disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: (1) perbedaan geografis, jumlah penduduk dan tingkat pendapatan, (2) perbedaan sejarah, sebagian dijajah oleh Negara yang berlainan, (3) perbedaan kekayaan sumber daya alam dan kualitas sumber daya manusianya, (4) perbedaan peranan sektor swasta dan negara, (5) perbedaan struktur industri, (6) perbedaan derajat ketergantungan pada kekuatan ekonomi dan politik negara lain dan (7) perbedaan pembagian kekuasaan, struktur politik dan kelembagaan dalam negeri. Persoalan kemiskinan bukan hanya sekadar berapa jumlah dan persentase penduduk miskin. Dimensi lain yang perlu diperhatikan adalah tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan. Selain upaya memperkecil jumlah penduduk miskin, kebijakan
penanggulangan
kemiskinan
juga
terkait
dengan
bagaimana
mengurangi tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan. Indeks kedalaman kemiskinan merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks, semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk dari garis kemiskinan. Indeks keparahan kemiskinan memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin. Jhingan (2000) mengemukakan, mengemukaan tiga ciri utama negara berkembang yang menjadi penyebab dan sekaligus akibat yang saling terkait pada kemiskinan. Pertama, prasarana dan sarana pendidikan yang tidak memadai
15
sehingga menyebabkan tingginya jumlah penduduk buta huruf dan tidak memiliki ketrampilan ataupun keahlian. Ciri kedua, sarana kesehatan dan pola konsumsi buruk sehingga hanya sebahagian kecil penduduk yang bisa menjadi tenaga kerja produktif dan yang ketiga adalah penduduk terkonsentrasi di sektor pertanian dan pertambangan dengan metode produksi yang telah usang dan ketinggalam zaman. Pengukuran kemiskinan, dilakukan dengan menggunakan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs) yang dapat diukur dengan angka atau hitungan Indeks Perkepala (Head Count Index), yakni jumlah dan persentase penduduk miskin yang berada di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan ditetapkan pada tingkat yang selalu konstan secara riil sehingga dapat mengurangi angka kemiskinan dengan menelusuri kemajuan yang diperoleh dalam mengentaskan kemiskinan di sepanjang waktu. Salah satu cara mengukur kemiskinan yang diterapkan di Indonesia yakni mengukur derajat ketimpangan pendapatan diantara masyarakat miskin, seperti koefisien Gini antar masyarakat miskin (GP) atau koefisien variasi pendapatan (CV) antar masyarakat miskin (CVP). Koefisien Gini atau CV antar masyarakat miskin tersebut penting diketahui karena dampak guncangan perekonomian pada kemiskinan dapat sangat berbeda tergantung pada tingkat dan distribusi sumber daya diantara masyarkat miskin (Sianturi, 2011). Sianturi (2011) menyebutkan bahwa, prinsip-prinsip untuk mengukur kemiskinan, yakni: anonimitas, independensi, maksudnya ukuran cakupan kemiskinan tidak boleh tergantung pada siapa yang miskin atau pada apakah negara tersebut mempunyai jumlah penduduk yang banyak atau sedikit. Prinsip monotenisitas, yakni bahwa jika memberi sejumlah uang kepada seseorang yang
16
berada dibawah garis kemiskinan, jika diasumsikan semua pendapatan yang lain tetap maka kemiskinan yang terjadi tidak mungkin lebih tinggi dari pada sebelumnya. Prinsip sensitivitas distribusional menyatakan bahwa dengan semua hal lain konstan, jika mentransfer pendapatan dari orang miskin ke orang kaya, maka akibatnya perekonomian akan menjadi lebih miskin. 2.1.2.2 Penyebab Kemiskinan Kemiskinan tidak hanya menyangkut tentang pendapatan tetapi juga menyangkut tentang aspek kehidupan lainnya. Kemiskinan di berbagai hal ini disebut dengan kemiskinan plural. Brata (2005) memaparkan beberapa pendapat dari para ahli dan lembaga yang mengkaji tentang faktor-faktor penyebab kemiskinan, yaitu: 1) Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar. 2) Gambaran
tentang
kebutuhan
sosial,
termasuk
keterkucilan
sosial,
ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi. 3) Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna "memadai" di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia.
17
Nursoleh (dalam Suyana, 2010) menyatakan bahwa terdapat tiga penyebab kemiskinan yaitu sebagai berikut: 1) Kemiskinan alamiah atau natural merupakan kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor alamiah dari kehidupan masyarakat itu sendiri yang meliputi factor usia, kesehatan, geografis tempat tinggal, dimana kondisi ini ditunjang oleh tidak adanya sumberdaya yang memadai, baik itu sumberdaya manusia, sumberdaya alam, ataupun sumberdaya pembangunan lain yang terdapat di suatu wilayah. 2) Kemiskinan kultural merupakan kemiskinan yang disebabkan oleh adat istiadat, etos kerja, dan lainnya. Selain itu kemiskinan ini terjadi karena pola hidup atau kebiasaan hidup, serta budaya hidup. Kelompok masyarakat yang tergolong kedalam kemiskinan kultural sulit untuk diajak berpatisipasi dalam rangka meningkatkan taraf hidupnya serta sulit untuk melakukan perubahan dan menolak mengikuti perkembangan, yang dimana hal ini terjadi karena pola hidup dan budaya hidup dari masyarakat. 3) Kemiskinan struktural merupakan kemiskinan yang disebabkan oleh factorfaktor buatan manusia yang meliputi distribusi aset yang tidak merata, kebijakan ekonomi
yang diskriminatif, korupsi-kolusi, serta tatanan
perekonomian yang hanya menguntungkan kelompok masyarakat atau golongan tertentu. Kemiskinan sesungguhnya merupakan suatu fenomena yang saling berkaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Oleh karena itu mengkaji masalah kemiskinan harus diperhatikan jalinan antara faktor-faktor penyebab
18
kemiskinan dan faktor-faktor yang berada dibalik kemiskinan tersebut. Faktor sosial budaya, penyebab ketidakberdayaan dan keterdiaman orang miskin yang utama ada tiga, yaitu pola pikir berupa sikap mental dan motivasi untuk keluar dari kemiskinan; tidak mampu berinteraksi sosial; motivasi rendah dan cenderung malas dan belum optimalnya partisipasi pihak perempuan dalam keluarga; kurangnya penguatan peran serta masyarakat (Nasir, 2013). 2.1.3 Pendidikan Modal manusia adalah pengetahuan dan kemampuan yang diperoleh melalui pendidikan, mulai dari program untuk anak-anak sampai dengan pelatihan dalam pekerjaan (on the job training) untuk para pekerja dewasa (Mankiw, 2003). Meningkatkan level modal manusia dibutuhkan investasi dalam bentuk guru, perpustakaan dan waktu belajar. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sisitem Pendidikan, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujutkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan sepiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Tujuan pendidikan adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
19
Menurut Prastyo (2010) jalur pendidikan terdiri atas 3 (tiga) yaitu : 1) Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Jenjang pendidikan formal: (1) Pendidikan dasar, merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah. Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat. (2) Pendidikan menengah, merupakan lanjutan pendidikan dasar. Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan. Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat. (3) Pendidikan tinggi, merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh pendidikan tinggi. Perguruan tinggi dapat berbentuk akademik, politeknik, sekolah tinggi, institut, atau universitas. 2) Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan
20
yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan ini meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, dan lain-lain. 3) Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan yang berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Hasil pendidikan informal diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan. 2.1.4 Konsep Pembentukan Modal Manusia (Human Capital) Pengertian pembentukan modal manusia adalah proses memperoleh dan meningkatkan jumlah orang yang mempunyai keahlian, pendidikan, dan pengalamanyang menentukan bagi pembangunan ekonomi dan politik suatu negara (Jhingan, 2000:414). Peningkatan akumulasi modal manusia (Human capital) diharapkan dapat meningkatkan produktivitas dan pendapatan tenaga kerja, sehingga dapat membantu keluarga miskin keluar dari lingkaran kemiskinan (Sulistyowati,2010:159). 2.1.5 Konsep Tenaga Kerja Tenaga kerja secara umum adalah penduduk yang siap bekerja. Definisi tenaga kerja memang berbeda-beda tapi sebenarnya memiliki inti yang sama yaitu penduduk yang dirinya sudah siap untuk bekerja. Definisi tenaga kerja menurut Badan Pusat Statistik (BPS) adalah seluruh penduduk yang berusia 15 tahun atau lebih yang potensial memproduksi barang dan jasa. Undang-undang No. 25
21
tahun 1997 menyebutkan definisi tenaga kerja yaitu setiap orang baik laki-laki maupun wanita yang sedang dalam dan atau melakukan pekerjaan baik didalam maupun diluar hubungan kerja guna menghasilkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Sedangkan angkatan kerja adalah penduduk usia kerja berumur 15 tahun atau lebih yang selama seminggu sebelum pencacahan bekerja atau punya pekerjaan yang sementara
tidak bekerja tetapi sedang mencari pekerjaan
(Disnaker, 2006). Sedangkan bukan angkatan kerja adalah mereka yang selama seminggu yang lalu tidak bekerja hanya sekolah, mengurus rumah tangga, dan mereka yang tidak melakukan kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai pekerja, sementara tidak bekerja atau mencari kerja. Untuk menentukan angkatan kerja maka dibutuhkan informasi mengenai jumlah penduduk yang berusia antara 15-64 tahun, dan data jumlah penduduk yang berusia antara 15-64 tahun yang tidak ingin bekerja. Berdasarkan kedua jenis tersebut maka penduduk berusia 15-64 tahun merupakan angkatan kerja, sedangkan kelompok kedua yaitu penduduk usia 15-64 tahun yang tidak ingin bekerja dikatakan bukan angkatan kerja (Sukirno, 2004). Menurut Suprihanto (2002) perbandingan antara jumlah angkatan kerja dengan penduduk usia kerja dikatakan sebagai TPAK atau kependekan dari tingkat partisipasi angkatan kerja, apabila makin banyak penduduk usia kerja dan makin besar TPAK maka jumlah angkatan kerja juga makin besar. Indikator lain dalam ketenagakerjaan yang juga dipandang penting adalah mengenai status
22
pekerjaan utama penduduk yang bekerja (BPS Provinsi Bali, 2014). Indikator ini berguna untuk melihat komposisi angkatan kerja berdasarkan status pekerjaannya. Pengertian tenaga kerja menurut UU No. 13 tahun 2003 adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Angkatan kerja mencakup penduduk yang sudah atau sedang bekerja (tenaga kerja), yang sedang mencari pekerjaan, sekolah dan mengurus rumah tangga. Tiga golongan yang disebut terakhir (pencari kerja, bersekolah dan mengurus rumah tangga) meskipun sedang tidak bekerja mereka dianggap secara fisik mampu dan sewaktu-waktu dapat ikut bekerja (Prasetyo, 2010). 2.1.6 Upah Upah pada dasarnya merupakan sumber utama penghasilan seseorang, oleh karenanya upah harus cukup untuk memenuhi kebutuhan pekerja dan keluarganya dengan wajar. Sebagai imbalan terhadap tenaga dan pikiran yang diberikan pekerja kepada pengusaha, maka pengusaha akan memberikan kepada pekerja dalam bentuk upah. Upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada karyawan untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah atau dilakukan dan dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan atas dasar suatu persetujuan atau peraturan perundang-undangan serta dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pengusaha dengan karyawan termasuk tunjangan, baik untuk karyawan itu sendiri maupun untuk keluarganya. Jadi upah berfungsi sebagai imbalan atas usaha kerja yang diberikan seseorang tersebut
23
kepada pengusaha. Upah dibayar oleh pengusaha sesuai atau sama dengan usaha kerja (produktivitas) yang diberikan kepada pengusaha (Sumarsono, 2003). Upah merupakan salah satu unsur untuk menentukan harga pokok dalam perusahaan, karena ketidaktepatan dalam menentukan besarnya upah akan sangat merugikan perusahaan (Prastyo, 2010). Oleh karenanya ada beberapa faktor penting yang mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat upah yaitu sebagai berikut: 1) Penawaran dan Permintaan Tenaga Kerja Untuk pekerjaan yang membutuhkan keterampilan tinggi dan jumlah tenaga kerjanya langka, maka upah cenderung tinggi, sedangkan untuk jabatanjabatan yang mempunyai penawaran yang melimpah, upahnya cenderung turun. 2) Organisasi Buruh Ada tidaknya organisasi buruh serta kuat lemahnya organisasi buruh akan mempengaruhi tingkat upah. Adanya serikat buruh yang kuat akan meningkatkan tingkat upah demikian pula sebaliknya. 3) Kemampuan untuk Membayar Pemberian upah tergantung pada kemampuan membayar dari perusahaan. Bagi perusahaan, upah merupakan salah satu komponen biaya produksi, tingginya upah akan mengakibatkan tingginya biaya produksi, yang pada akhirnya akan mengurangi keuntungan. 4) Produktivitas Kerja Upah sebenarnya merupakan imbalan atas prestasi kerja karyawan. Semakin tinggi prestasi kerja karyawan, maka semakin besar upah yang mereka terima. Prestasi kerja ini dinyatakan sebagai produktivitas kerja.
24
5) Biaya Hidup Dikota besar dimana biaya hidup tinggi, upah kerja cenderung tinggi. Biaya hidup juga merupakan batas penerimaan upah dari karyawan. 6) Pemerintah Pemerintah dengan peraturan-peraturannya mempengaruhi tinggi rendahnya upah. Peraturan tentang upah umumnya merupakan batas bawah dari tingkat upah yang harus dibayarkan. 2.1.6.1 Teori Upah Minimum Dalam pasar tenaga kerja sangat penting untuk menetapkan besarnya upah yang harus dibayarkan perusahaan pada pekerjanya. Undang-undang upah minimum menetapkan harga terendah tenaga kerja yang harus dibayarkan (Mankiw, 2003). Menurut Kaufman (2000), tujuan utama ditetapkannya upah minimum adalah memenuhi standar hidup minimum seperti untuk kesehatan, efisiensi, dan kesejahteraan pekerja. Upah minimum adalah usaha untuk mengangkat derajat penduduk berpendapatan rendah, terutama pekerja miskin. Kebijakan upah minimum di Indonesia tertuang dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor : Per-01/Men/1999 dan UU Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003. Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor : Per-01/Men/1999 tentang Upah Minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri dari upah pokok termasuk tunjangan tetap. Yang dimaksud dengan tunjangan tetap adalah suatu jumlah imbalan yang diterima pekerja secara tetap dan teratur pembayarannya, yang tidak dikaitkan dengan kehadiran ataupun pencapaian prestasi tertentu. Tujuan dari penetapan upah minimum adalah untuk
25
mewujudkan penghasilan yang layak bagi pekerja. Beberapa hal yang menjadi bahan pertimbangan termasuk meningkatkan kesejahteraan para pekerja tanpa menafikkan
produktifitas
perusahaan
dan
kemajuannya,
termasuk
juga
pertimbangan mengenai kondisi ekonomi secara umum. Menurut Rachman (2005), Tujuan penetapan upah minimum dapat dibedakan secara mikro dan makro. Secara mikro tujuan penetapan upah minimum yaitu (a) sebagai jaring pengaman agar upah tidak merosot, (b) mengurangi kesenjangan antara upah terendah dan tertinggi di perusahaan, dan (c) meningkatkan penghasilan pekerja pada tingkat paling bawah. Sedangkan secara makro, penetapan upah minimum bertujuan untuk (a) pemerataan pendapatan, (b) peningkatan daya beli pekerja dan perluasan kesempatan kerja, (c) perubahan struktur biaya industri sektoral, (d) peningkatan produktivitas kerja nasional, (d) peningkatan etos dan disiplin kerja, dan (e) memperlancar komunikasi pekerja dan pengusaha. Pada awalnya upah minimum ditentukan secara terpusat oleh Departemen Tenaga Kerja untuk region atau wilayah-wilayah di seluruh Indonesia. Dalam perkembangan otonomi daerah, kemudian mulai tahun 2001 upah minimum ditetapkan oleh masing-masing provinsi. Upah Minimum ini dapat dibedakan menjadi upah minimum regional dan upah minimum sektoral. 1) Upah Minimum Regional Upah Minimum Regional adalah upah bulanan terendah yang terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap bagi seorang pekerja tingkat paling bawah dan bermasa kerja kurang dari satu tahun yang berlaku di suatu daerah tertentu.
26
Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja : PER-01/MEN/1999 tentang upah minimum, upah minimum regional (UMR) dibedakan menjadi dua, yaitu Upah Minimum Regional Tingkat I (UMR Tk. I) dan Upah Minimum Regional Tingkat II (UMR Tk. II). Namun sesuai dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (KEP-226/MEN/2000) tentang perubahan pada pasal 1, 3, 4, 8, 11, 20 dan 21 PER-01/MEN/1999 tentang upah minimum, maka istilah Upah Minimum Regional Tingkat I (UMR Tk. I) diubah menjadi Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Regional Tingkat I I (UMR Tk. II) diubah menjadi Upah Minimum Kabupaten/Kota (UM kabupaten/kota). 2) Upah Minimum Sektoral Upah minimum sektoral adalah upah yang berlaku dalam suatu provinsi berdasarkan kemampuan sektor. Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja: Per-01/MEN/1999 tentang upah minimum, upah minimum sektoral dibedakan menjadi Upah Minimum Sektoral Regional Tingkat I (UMSR Tk.I) dan Upah Minimum Sektoral Regional Tingkat I I (UMSR Tk. II). Dalam perkembangan selanjutnya sesuai dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (KEP-226/MEN/2000) tentang perubahan pada pasal 1, 3, 4, 8, 11, 20 dan 21 PER-01/MEN/1999 tentang upah minimum, maka terjadi perubahan istilah Upah Minimum Sektoral Regional Tingkat I (UMSR Tk. I) menjadi Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) dan Upah Minimum Sektoral Regional Tingkat II (UMSR Tk. II) diubah menjadi Upah Minimum Sektoral Kabupaten /Kota (UMS kabupaten/kota).
27
Variabel-variabel yang mempengaruhi upah minimum regional (UMR) : Tingkat I dan II sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor : Per01/Men/1999, adalah sebagai berikut : kebutuhan hidup minimum (KHM), indeks harga
konsumen
(IHK),
kemampuan,
perkembangan
dan
kelangsungan
perusahaan, tingkat upah pada umumnya yang berlaku di daerah tertentu dan antar daerah, kondisi pasar kerja, dan tingkat perkembangan perekonomian dan pendapatan per kapita. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor : Per-17/Men/VIII/2005 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak serta sesuai UU Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 88 (4) tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa besaran upah minimum antara lain didasarkan pada tahap pencapaian KHL, pertumbuhan PDRB, produktivitas, dan mempertimbangkan keberadaan
sektor
marjinal
(usaha
yang
paling
tidak
mampu).
Pada
pelaksanaannya, pertimbangan pada usaha tidak mampu ternyata belum dapat dioperasionalkan. 2.1.7 Pengangguran Pengangguran adalah seseorang yang sudah digolongkan dalam angkatan kerja, yang secara aktif sedang mencari pekerjaan pada suatu tingkat upah tertentu, tetapi tidak dapat memperoleh pekerjaan yang diinginkan (Sadono Sukirno, 1999). Jenis-jenis pengangguran sebagai berikut.
28
1) Jenis-Jenis Pengangguran Berdasarkan Penyebabnya: (1) Pengangguran Alamiah Pengangguran yang berlaku pada tingkat kesempatan kerja penuh. Kesempatan kerja penuh adalah keadaan dimana sekitar 95 persen dari angkatan kerja dalam suatu waktu sepenuhnya bekerja. Pengangguran sebanyak lima persen inilah yang dinamakan sebagai pengangguran alamiah. (2) Pengangguran Friksional Suatu jenis pengangguran yang disebabkan oleh tindakan seorang pekerja untuk meninggalkan pekerjaannya dan mencari kerja yang lebih baik atau lebih sesuai dengan keinginannya. (3) Pengangguran Struktural Pengangguran yang diakibatkan oleh pertumbuhan ekonomi. Tiga sumber utama yang menjadi penyebab berlakunya pengangguran sturtural adalah: a) Perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi yang semakin maju membuat permintaan barang dari industri yang memproduksi barangbarang yang kuno menurun dan akhirnya tutup dan pekerja di industri ini akan menganggur. Pengangguran ini disebut juga sebagai pengangguran teknologi. b) Kemunduran yang disebabkan oleh adanya persaingan dari luar negeri atau daerah lain. Persaingan dari luar negeri yang mampu menghasilkan produk yang lebih baik dan lebih murah akan membuat permintaan
29
akan barang lokal menurun. Industri lokal yang tidak mampu bersaing akan bangkrut sehingga timbul pengangguran. c) Kemunduran perkembangan ekonomi suatu kawasan sebagai akibat dari pertumbuhan yang pesat dikawasan lain. (4) Pengangguran Konjungtur Penganguran yang melebihi pengangguran alamiah. Pada umumnya pengguran konjungtur berlaku sebagai akibat pengurangan dalam permintaan agregat. Penurunan permintaaan agregat mengakibatkan perusahaan mengurangi jumlah pekerja atau gulung tikar, sehingga muncul pengangguran konjungtur. 2) Jenis-Jenis Pengangguran Berdasarkan Cirinya: (1) Pengangguran Terbuka Pengangguran ini tercipta sebagai akibat penambahan pertumbuhan kesempatan kerja yang lebih rendah daripada pertumbuhan tenaga kerja, akibatnya banyak tenaga kerja yang tidak memperoleh pekerjaan. Menurut Badan Pusat Stsatistik (BPS), pengangguran terbuka adalah adalah penduduk yang telah masuk dalam angkatan kerja tetapi tidak memiliki pekerjaan dan sedang mencari pekerjaan, mempersiapkan usaha, serta sudah memiliki pekerjaan tetapi belum mulai bekerja. (2) Pengangguran tersembunyi Keadaan dimana suatu jenis kegiatan ekonomi dijalankan oleh tenaga kerja yang jumlahnya melebihi dari yang diperlukan.
30
(3) Pengangguran Musiman Keadaan pengangguran pada masa-masa tertentu dlam satu tahun. Penganguran ini biasanya terjadi di sektor pertanian. Petani akan mengganggur saat menunggu masa tanam dan saat jeda antara musim tanam dan musim panen. (4) Setengah Menganggur Keadaan dimana seseorang bekerja dibawah jam kerja normal. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), di Indonesia jam kerja normal adalah 35 jam seminggu, jadi pekerja yang bekerja di bawah 35 jam seminggu masuk dalam golongan setengah menganggur. Menurut Tambunan (2001), pengangguran dapat mempengaruhi tingkat kemiskinan dengan berbagai cara, antara lain: 1) Jika rumah tangga memiliki batasan likuiditas yang berarti bahwa konsumsi saat ini sangat dipengaruhi oleh pendapatan saat ini, maka bencana pengangguran akan secara langsung mempengaruhi income poverty rate dengan consumption poverty rate. 2) Jika rumah tangga tidak menghadapi batasan likuiditas yang berarti bahwa konsumsi saat ini tidak terlalu dipengaruhi oleh pendapatan saat ini, maka peningkatan pengangguran akan menyebabkan peningkatan kemiskinan dalam jangka panjang, tetapi tidak terlalu berpengaruh dalam jangka pendek. 2.1.7.1 Dampak Pengangguran Salah satu faktor penting yang mementukan kemakmuran suatu masyarakayat adalah tingkat pendapatan. Pendapatan masyarakat mencapai
31
maksimum apabila tingkat penggunaan tenaga kerja penuh dapat tercapai. Penganguran berdampak mengurangi pendapatan masyarakat, sehingga akan menurunkan tingkat kemakmuran yang mereka capai. Ditinjau dari sudut individu, pengangguran menimbulkan berbagai masalah ekonomi dan sosial kepada yang mengalaminya. Keadaan pendapatan menyebabkan para penganggur harus mengurangi pengeluaran konsumsinya. Apabila pengangguran di suatu negara sangat buruk, kekacauan politik dan sosial selalu berlaku dan menimbulkan efek yang buruk bagi kepada kesejahteraan masyarakat dan prospek pembangunan ekonomi dalam jangka panjang (Sukirno, 2004). 2.1.8 Pengaruh Pendidikan Terhadap Pengangguran Pendidikan adalah hal yang pokok untuk kehidupan yang berharga, pendidikan memainkan peranan kunci dalam membentuk kemampuan sebuah Negara berkembang untuk menyerap teknologi modern. Pendidikan merupakan faktor yang sangat penting dalam kehidupan individu, masyarakat bangsa, dan Negara, hal tersebut disebabkan karena pendidikan sangat menentukan tingkat kualitas sumber daya manusia. Semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat maka semakin baik kualitas sumber daya manusianya yang akan menyebabkan potensi dan keahlian masyarakat semakin meningkat, dimana akan memperbesar peluang kesempatan kerja, mendapatkan pekerjaan, atau akan memenuhi kualifikasi yang sesuai kebutuhan permintaan tenaga kerja sehinggga akan mengurangi jumlah pengangguran. Berarti tingkat pendidikan mempunyai hubungan yang negatif terhadap jumlah pengangguran. Hasil penelitian yang
32
dikemukakan oleh Sirait (2013) menyatakan bahwa pendidikan berpengaruh negatif terhadap pengangguran. 2.1.9 Pengaruh Tingkat Upah Terhadap Pengangguran Menurut Alghofari (2010 : 15), tenaga kerja menetapkan tingkat upah minimumnya pada tingkat upah tertentu. Jika seluruh upah yang ditawarkan besarnya di bawah tingkat upah tersebut, seorang pekerja akan menolak mendapatkan upah tersebut dan hal ini akan menyebabkan pengangguran. Jika upah yang ditetapkan pada suatu daerah terlalu rendah, maka akan berakibat pada tingginya jumlah pengangguran yang terjadi pada daerah tersebut. Apabila ditinjau dari sisi pengusaha, meningkatnya upah akan meningkatkan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan, maka akan mengurangi efisiensi pengeluaran, sehingga pengusaha akan mengambil kebijakan pengurangan tenaga kerja guna mengurangi biaya produksi. Hal ini akan berakibat pada peningkatan pengangguran. Menurut Kurniawan (2014) tingkat upah berpengaruh signifikan dan mempunyai hubungan positif terhadap pengangguran. Artinya tingkat upah mengalami kenaikan maka akan berdampak pada bertambahnya jumlah pengangguran. Hal ini sesuai dengan teori kekakuan upah, dimana upah tidak selalu bisa fleksibel atau tidak melakukan penyesuaian sampai penawaran tenaga kerja sama dengan permintaannya. Pada dasarnya tuntutan kenaikan upah mimimum pada tiap kota/kabupaten setiap tahunnya yang dilihat dari PDRB yang dimaksudkan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan kaum buruh, tetapi hal itu berdampak pada berpengaruh negatif terhadap penyerapan tenaga
33
kerja. Itu disebabkan karena apabila upah minimum meningkat, maka biaya produksi yang dikeluarkan oleh perusahaan akan semakin meningkat, sehingga perusahaan merespon hal tersebut dengan melakukan inefisiensi pada perusahaan. Kebijakan yang diambil adalah pengurangan tenaga kerja guna mengurangi biaya biaya produksi, sehingga ini berarti terjadi PHK dan pengangguran
menjadi
bertambah. 2.1.10 Pengaruh Pengangguran Terhadap Persentase Penduduk Miskin Hubungan pengangguran dan kemiskinan sangat erat, jika suatu masyarakat sudah bekerja pasti masyarakat atau orang tersebut berkecukupan atau kesejahteraanya tinggi, namun di dalam masyarakat ada juga yang belum bekerja atau menganggur, pengangguran secara otomatis akan mengurangi kesejahteraan suatu masyarakat yang secara otomatis juga akan mempengaruhi tingkat kemiskinan. Menurut Sukirno (2004), efek buruk dari pengangguran adalah mengurangi pendapatan masyarakat yang pada akhirnya mengurangi tingkat kemakmuran yang telah dicapai seseorang. Semakin turunnya kesejahteraan masyarakat karena menganggur tentunya akan meningkatkan peluang mereka terjebak dalam kemiskinan karena tidak memiliki pendapatan. Apabila pengangguran di suatu negara sangat buruk, kekacauan politik dan sosial selalu berlaku dan menimbulkan efek yang buruk bagi kepada kesejahteraan masyarakat dan prospek pembangunan ekonomi dalam jangka panjang. Hasil penelitian yang dikemukakan oleh Astriani dan Purbadharmaja (2013) menyatakan bahwa tingkat pengangguran terbuka berpengaruh positif dan signifikan terhadap kemiskinan
34
yang artinya semakin tinggi tingkat pengangguran terbuka maka kemiskinan akan meningkat. 2.1.11 Pengaruh Pendidikan Terhadap Persentase Penduduk Miskin Teori pertumbuhan baru menekankan pentingnya peranan pemerintah terutama dalam meningkatkan pembangunan modal manusia (human capital) dan mendorong penelitian dan pengembangan untuk meningkatkan produktivitas manusia. Kenyataannya dapat dilihat dengan melakukan investasi pendidikan akan mampu meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang diperlihatkan dengan meningkatnya pengetahuan dan keterampilan seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka pengetahuan dan keahlian juga akan meningkat sehingga akan mendorong peningkatan produktivitas kerjanya. Perusahaan akan memperoleh hasil yang lebih banyak dengan memperkerjakan tenaga kerja dengan produktivitas yang tinggi, sehingga perusahaan juga akan bersedia memberikan gaji yang lebih tinggi bagi yang bersangkutan. Di sektor informal seperti pertanian, peningkatan ketrampilan dan keahlian tenaga kerja akan mampu meningkatkan hasil pertanian, karena tenaga kerja yang terampil mampu bekerja lebih efisien. Pada akhirnya seseorang yang memiliki produktivitas yang tinggi akan memperoleh kesejahteraan yang lebih baik, yang diperlihatkan melalui peningkatan pendapatan maupun konsumsinya. Rendahnya produktivitas kaum miskin dapat disebabkan oleh rendahnya akses mereka untuk memperoleh pendidikan (Rasidin dan Bonar, 2009). Keterkaitan kemiskinan dan pendidikan sangat besar karena pendidikan memberikan kemampuan untuk berkembang lewat penguasaan ilmu dan
35
keterampilan. Pendidikan juga menanamkan kesadaran akan pentingnya martabat manusia. Mendidik dan memberikan pengetahuan berarti menggapai masa depan. Hal tersebut harusnya menjadi semangat untuk terus melakukan upaya mencerdaskan
bangsa
(Suryawati,
2005).
Hermanto
(2006),
di
dalam
penelitiannya menemukan bahwa pendidikan yang diukur dengan jumlah penduduk yang lulus pendidikan SMP, SMA, dan diploma memiliki berpengaruh negatif dan signifikan terhadap penurunan jumlah penduduk miskin. Ini mencerminkan bahwa pembangunan modal manusia (human capital) melalui pendidikan merupakan determinan penting untuk menurunkan jumlah penduduk miskin. 2.1.12 Pengaruh Tingkat Upah Terhadap Persentase Penduduk Miskin Tujuan utama ditetapkannya upah minimum adalah memenuhi standar hidup minimum seperti untuk kesehatan, efisiensi, dan kesejahteraan pekerja. Upah minimum adalah usaha untuk mengangkat derajat penduduk berpendapatan rendah, terutama pekerja miskin. Semakin meningkat tingkat upah minimum akan meningkatkan pendapatan masyarakat sehingga kesejahteraan juga meningkat dan sehingga terbebas dari kemiskinan (Kaufman 2000). Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor : Per-01/Men/1999, tujuan dari penetapan upah minimum adalah untuk mewujudkan penghasilan yang layak bagi pekerja. Beberapa hal yang menjadi bahan pertimbangan termasuk meningkatkan kesejahteraan para pekerja tanpa menafikkan produktifitas perusahaan dan kemajuannya, termasuk juga pertimbangan mengenai kondisi ekonomi secara umum. Hasil penelitian Putri (2013) yang mengemukakan bahwa upah minimum berpengaruh negatif dan
36
signifikan terhadap kemiskinan. Artinya upah minimum mengalami peningkatan akan meningkatkan pendapatan sehingga kesejahteraan juga meningkat sehingga akan terbebas dari kemiskinan. 2.2 Hipotesis Penelitian Hipotesis merupakan jawaban sementara dari pokok permasalahan yang akan diuji kebenarannya, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1) Pendidikan dan tingkat upah berpengaruh negatif dan signifikan terhadap persentase penduduk miskin di Kabupaten/Kota Provinsi Bali. 2) Tingkat pengangguran berpengaruh positif dan signifikan terhadap persentase penduduk miskin di Kabupaten/Kota Provinsi Bali. 3) Pendidikan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pengangguran di Kabupaten/Kota Provinsi Bali. 4) Tingkat Upah berpengaruh positif dan signifikan terhadap pengangguran di Kabupaten/Kota Provinsi Bali. 5) Pendidikan dan tingkat upah berpengaruh secara tidak langsung terhadap persentase
penduduk
miskin
Kabupaten/Kota Provinsi Bali.
37
melalui
tingkat
pengangguran
di