BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1
Landasan Teori
2.1.1 Green Product Green product atau juga dikenal dengan istilah ecological product atau environmental friendly product adalah produk yang mengandung komponen yang aman, tidak beracun, dapat didaur ulang, serta menggunakan kemasan yang ramah lingkungan untuk mengurangi dampak negatif konsumsi produk pada lingkungan, menurut Shamdasami dalam Sumarsono dan Giyatno, (2012). Ottman dalam Mei et al. (2012), mendefinisikan produk hijau sebagai produk yang biasanya tidak beracun serta terbuat dari bahan daur ulang. Contoh produk berwawasan lingkungan di pasar pada umumnya berlabel "Environment Friendly”, atau "Friendly to Our Environment, No Flourocarbons" pada produk obat pembasmi serangga; "Peduli
lingkungan,
gunakan
kembali
kemasan
ini";
"Recycleable
dengan
simbolnya";”Selamatkan kehidupan air” pada produk deterjen, "Only One Earth, Ozon Friendly, Care and Share" atau "Ozon Friendly, Ozone Surete" pada produk spray; "Energy, EPA (Environment Protection Agency) Polution Preventer atau "Low Radiation" pada produk monitor komputer dan masih banyak lagi yang lainnya (Novandari, 2011). Secara umum, produk hijau dikenal sebagai produk ekologi atau produk ramah lingkungan yang memiliki dampak sedikit terhadap lingkungan. Menurut D’Souza et al. (2006) Konsumen dalam membeli produk hijau membuat keputusannya bukan hanya untuk membeli produk hijau tersebut, melainkan memberi manfaat utama untuk kepentingan sosialnya, masalahnya di sini terletak dalam menyikapi manfaat ganda untuk produk hijau, pertama kinerja fungsional, dan kedua aspek keamanan lingkungan, konsumen membeli
10
produk yang ramah lingkungan ketika kriteria tentang kualitas, kinerja dan kenyamanan dicapai. Menurut Pavan dalam Mei et al. (2012), "produk hijau" dan "produk lingkungan" adalah suatu istilah bisnis yang digunakan umumnya dalam menggambarkan produk yang melindungi atau meningkatkan lingkungan alam dengan menghemat energi dan atau sumber daya dan mengurangi atau menghilangkan penggunaan bahan beracun, limbah, dan polusi, lalu ditetapkan lebih lanjut karakteristik produk hijau yang terdiri dari perkembanganya, didaur ulang dan dapat digunakan kembali, mengandung bahan-bahan alami, berisi konten daur ulang, tidak mencemari lingkungan, mengandung bahan kimia yang disetujui dan tidak menguji pada hewan. Dengan demikian Ottman dalam Mei et al. (2012) mengemukakan bahwa konsumen sadar kesehatan membeli produk yang organik, tidak beracun, berbasis air, dan alami. 2.1.2 Teori Tindakan Beralasan (Theory of Reasoned Action-TRA) Ajzen dan Fishbein (1980) mengembangkan suatu teori yang dikenal dengan Teori Tindakan Beralasan (Theory of Reasoned Action-TRA). Teori Tindakan Beralasan (TRA) didasarkan
pada
asumsi
bahwa
manusia
berperilaku
dengan
cara
yang
sadar,
mempertimbangkan informasi yang tersedia dan juga mempertimbangkan implikasi-implikasi dari tindakan yang dilakukan. Menurut teori tindakan beralasan (TRA), niat merupakan faktor yang mempengaruhi terjadinya suatu tindakan. Niat dipengaruhi oleh dua faktor dasar, yaitu faktor pribadi dan faktor pengaruh sosial (Ajzen dan Fishbein, 1980). Faktor pertama yang berhubungan dengan faktor pribadi adalah sikap. Sikap (attitude) adalah evaluasi kepercayaan atau perasaan positif atau negative dari seseorang jika harus melakukan perilaku yang harus ditentukan. Faktor kedua yang berhubungan
dengan
pengaruh sosial adalah Norma subjektif (subjective norm) adalah persepsi individu mengenai kepercayaan orang lain yang akan mempengaruhi niat untuk melakukan atau tidak melakukan
11
sesuatu yang sedang dipertimbangkan. Sikap dan Norma subjektif yang membentuk niat merupakan penentu utama dari perilaku, namun terdapat juga kemungkinan variabel-variabel lain yang mempengaruhi perilaku (Ajzen, 2002). 2.1.3 Sikap pada lingkungan Menurut Kotler dan Amstrong (2008:157) sikap (attitude) menggambarkan perasaan, penilaian, dan kecendrungan yang relative konsisten atas objek atau gagasan. Sikap merupakan suatu ekspresi atas perasaan seseorang yang merefleksikan kesukaan atau ketidaksukaannya terhadap suatu objek (Suprapti 2010:135-136). Fishbein dalam Suprapti (2010:145) mengungkapkan bahwa dalam upaya menjelaskan hubungan antara sikap dan perilaku secara lebih baik, Fishbein secara terus menerus memodifikasi model multi-atributnya. Melalui beberapa riset, akhirnya dibangun sebuah model sikap yang secara komprehensif mengintegrasikan komponen-komponen sikap ke dalam sebuah struktur yang dirancang dapat memberikan daya penjelas dan daya prediksi perilaku yang lebih baik. Model itu disebut dengan model tindakan-beralasan (ReasonedAction Model). Model ini terdiri atas tiga komponen utama, yaitu komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen konatif. Komponen kognitif merupakan pengetahuan dan persepsi yang didapat melalui kombinasi pengalaman langsung dengan objek sikap dan informasi didapat dari berbagai sumber. Komponen afektif merupakan emosi atau perasaan konsumen yang mencerminkan evaluasi keseluruhan konsumen terhadap suatu objek, seberapa jauh konsumen merasa suka atau tidak suka terhadap objek itu. Komponen konatif merupakan kecenderungan bahwa seseorang akan melakukan tindakan tertentu yang berkaitan dengan objek sikap, meliputi perilaku aktualnya. Gambar 2.1 Model Reasoned-Action
12
Sumber: Suprapti, 2010:140 Para ilmuwan sosial biasanya menganggap bahwa ada tiga jenis respon yang bertanggung jawab untuk pembentukan sikap. Ini adalah kategori kognitif, afektif dan perilaku. Pikiran Rakyat tentang objek sikap dianggap sebagai kategori kognitif atau respon kognitif. Kategori afektif berhubungan dengan emosi dan perasaan masyarakat terhadap sikap pada produk (Promotosh and Sajedul, 2011). Zelezny dalam Aman et al. (2012) mendefinisikan sikap sebagai tindakan yang mewakili apa yang disukai dan tidak disukai konsumen dan "sikap kepedulian lingkungan berakar pada seseorang" konsep diri dan sejauh mana seorang individu memandang dirinya untuk menjadi bagian integral dari lingkungan alam ". Umumnya dalam arti umum lebih sikap positif, semakin kuat niat untuk melakukan perilaku dan sebaliknya. Konsumen yang menghargai alam dan lingkungan akan cenderung mengembangkan sikap positif terhadap produk dan kegiatan yang konsisten dengan nilai tersebut. Sikap sebagai fungsi ekspresi nilai akan mengeks-presikan nilai utama dan konsep diri konsumen. Konsumen yang memiliki sikap positif dalam dampak konsumsi pada lingkungan akan cenderung mendukung inisiatif perlindungan lingkungan, mendaur ulang, dan membeli serta menggunakan produk ramah lingkungan (Sumarsono dan Giyatno, 2012). Suprapti (2010:146) menyatakan sikap konsumen terhadap perilaku secara langsung dapat diukur sebagai afeksi (sebagai suatu ukuran yang bersifat menyenangkan terhadap pembeli). Selanjutnya, diperhatikan pula hal-hal yang ada di balik sikap itu, yaitu keyakinan bahwa perilaku menghasilkan konsekuensi tertentu dan evaluasi terhadap hasil atau konsekuensi itu.
13
Gambar 2.2 Model Tindakan-Beralasan yang Disederhanakan
Sumber: Ajzen dan Fishbein, 1980 (dalam Suprapti, 2010:147) 2.1.4 Norma subjektif Norma subjektif didefinisikan sebagai tekanan sosial yang diberikan oleh kelompok sosial seperti orang tua, guru, pengusaha, rekan-rekan, pasangan, dll untuk bertindak atas sesuatu Bidin et al. (2009). Norma subyektif ditentukan oleh hubungan antara beliefs seseorang tentang setuju atau tidak setujunya orang lain maupun kelompok yang penting bagi seseorang tersebut, dengan motivasinya untuk mematuhi rujukan tersebut Fausiah dkk. (2014). Simamora (2004) menyatakan bahwa Norma subjektif dibentuk oleh dua komponen. Pertama keyakinan normatif individu bahwa kelompok atau seseorang yang menjadi preferensi menginginkan individu tersebut untuk melakukan suatu perbuatan. Kedua, motivasi individu untuk menuruti keyakinan normatif tersebut. Norma subjektif (subjective norms) adalah persepsi atau pandangan seseorang terhadap kepercayaan-kepercayaan orang lain yang akan mempengaruhi minat untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku (Ajzen dan Fishbein, 1980). Norma subjektif menilai apa yang dipercaya konsumen bahwa orang lain akan berpikir mereka harus melakukannnya. Dengan kata lain, Norma subjektif memperkenalkan formulasi pengaruh kelompok referensi yang sangat kuat terhadap perilaku (Rastini, 2013).
14
2.1.5 Pengetahuan tentang lingkungan Fryxell and Lo (2003), mendefinisikan pengetahuan lingkungan sebagai suatu pengetahuan umum tentang fakta, konsep, dan hubungan tentang lingkungan alam dan ekosistem.
Oleh
karena
itu,
secara
sederhana
pengetahuan
tentang
lingkungan
menggambarkan apa yang manusia ketahui tentang lingkungan. Haryanto (2014), mendefinisikan pengetahuan ekologi sebagai kemampuan individu untuk mengidentifikasi dan menentukan simbol dan konsep yang berkaitan dengan masalah lingkungan. Koellner and Luis (2009), menyatakan bahwa pengetahuan tentang lingkungan merupakan kumpulan dari pengetahuan ekologi (ecological knowledge) yang dimiliki seseorang mengenai topik lingkungan. Lee (2011), dalam penelitiannya mendefinisikan pengetahuan tentang lingkungan sebagai pengetahuan dasar seseorang tentang apa yang bisa mereka lakukan untuk membantu melindungi lingkungan yang memfasilitasi komitmen perilaku mereka untuk pembelian hijau. Apabila konsumen memiliki pengetahuan tentang isu-isu lingkungan, maka tingkat kesadaran mereka akan meningkat dan dengan demikian akan berpotensi, mempromosikan sikap yang menguntungkan terhadap produk hijau Aman et al. (2012). Menurut D'Souza et al. (2006), environmental knowledge berkembang dalam dua bentuk; (1) konsumen harus dididik untuk memahami dampak dari produk terhadap lingkungan; dan (2) pengetahuan konsumen dalam produk yang diproduksi dengan cara ramah lingkungan. 2.1.6 Niat Membeli Produk Hijau Niat beli mengarah kepada tujuan atau niat, dan kecenderungan konsumen untuk membeli merek yang paling disukainya (Kotler dan Amstrong, 2008:227). Rashid (2009), mendefinisikan niat beli hijau sebagai probabilitas dan kesediaan seseorang untuk memberikan preferensi untuk produk hijau atas produk konvensional dalam pertimbangan pembelian mereka. Niat beli hijau dikonseptualisasikan sebagai probabilitas dan kesediaan
15
seseorang untuk memberikan preferensi untuk produk yang memiliki fitur-fitur ramah lingkungan melalui produk tradisional lainnya dalam pertimbangan pembelian mereka. Berdasarkan penelitian Beckford et al. (2010), niat pembelian hijau adalah prediktor signifikan dari perilaku pembelian hijau, yang berarti bahwa niat beli secara positif mempengaruhi probabilitas keputusan pelanggan bahwa ia akan membeli produk hijau. Menurut Rehman and Dost (2013), teori Planned Behavior menegaskan bahwa niat beli hijau merupakan penentu penting dari perilaku pembelian aktual dari konsumen. Ini berarti bahwa semakin meningkat niat untuk membeli produk meningkat hijau, terjadi peningkatan kemungkinan bahwa seorang konsumen benar-benar akan melakukan pembelian. Niat beli hijau adalah jenis dari perilaku ramah lingkungan di mana konsumen menunjukkan kepedulian mereka terhadap lingkungan. Strategi bauran pemasaran konvensional 4P (produk, harga, tempat, dan promosi) menurut Aman et al. (2012), juga dapat diimplementasikan di daerah pemasaran hijau, namun menurut Siswanto dan Rumambi (2013) hal tersebut harus disesuaikan dengan situasi masyarakat agar produk yang disampaikan bisa diterima oleh masyarakat. Misalnya dalam pengembangan produk, pemasar dapat memberikan informasi pada tren konsumsi hijau dan atribut produk hijau, diantaranya organic, bio-kimia, dan hemat energi untuk memenuhi kebutuhan konsumen yang lebih memilih produk hijau. Berdasarkan penelitian oleh Ramayah et al. (2010), niat membeli hijau merupakan faktor penting di mana konsumen memberikan peringkat sementara membuat pertimbangan pembelian. Iman and Zainuddin dalam Mei et al. (2012), menyatakan dua faktor penting dalam memediasi proses pembelian yaitu sikap dan faktor-faktor situasional yang lain. Pendapatan, harga, dan fungsionalitas produk dapat mempengaruhi pembelian akhir dari konsumen juga. Sebagai contoh, konsumen dapat membentuk niat pembelian berdasarkan faktor-faktor seperti pendapatan yang diharapkan, harga yang diharapkan, dan manfaat produk yang diharapkan. Kebanyakan konsumen yang
16
melakukan pembelian terhadap produk hijau atau produk ramah lingkungan adalah mereka yang memiliki kesadaran tinggi untuk melestarikan dan menjaga kondisi lingkungan.
2.2 Hipotesis Penelitian 2.2.1 Pengaruh Pengetahuan tentang lingkungan terhadap Sikap pada lingkungan. Penelitian oleh Kumurur (2008), menyatakan adanya hubungan antara pengetahuan dengan sikap Mahasiswa Ilmu Lingkungan di mana semakin seseorang memiliki pengetahuan yang tinggi maka seseorang mampu untuk bersikap atau mengemukakan sikapnya, artinya ada korelasi antara pengetahuan dengan sikap. Haryanto (2014), dalam penelitiannya menemukan bahwa pengetahuan ekologi memiliki efek positif pada sikap terhadap produk ramah lingkungan. Hal ini dapat terjadi karena responden tahu mengenai isu pemanasan global yang berdampak buruk bagi lingkungan. Waskito dan Harsono (2012) juga membuktikan dalam penelitiannya pada masyarakat Joglosemar bahwa pengetahuan terhadap lingkungan, dan kegiatan berpolitik berpengaruh secara signifikan terhadap semua perilaku pembelian masyarakat pada produk ramah lingkungan, baik perilaku pembelian secara umum maupun produk ramah lingkungan yang memiliki penekanan khusus. Penelitian yang tidak berpengaruh positif adalah Aman et al. (2012) yang menyebutkan bahwa pengetahuan lingkungan tidak berpengaruh positif terhadap sikap konsumen Sabahan. Berdasakan hasil penelitian dan kajian teori yang telah dipaparkan maka hipotesis untuk penelitian ini adalah: H1: Pengetahuan tentang lingkungan berpengaruh positif terhadap Sikap pada lingkungan. 2.2.2 Pengaruh Sikap pada lingkungan terhadap Niat beli produk hijau. Menurut Schlegelmilch dalam Aman et al. (2012), yang menemukan bahwa komponen sikap diamati menjadi prediktor yang paling penting dari keputusan pembelian hijau. Hal tersebut menunjukkan bahwa adanya
hubungan yang signifikan antara Sikap pada 17
lingkungan dengan niat membeli produk hijau di kalangan konsumen Sabahan. Sikap pada lingkungan dapat langsung menjadi penentu untuk niat membeli produk hijau atau tidak langsung dapat menjadi mediator untuk menengahi hubungan antara faktor-faktor lain dengan niat membeli produk hijau. Pendapat tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan Aman et al. (2012) yang menunjukan bahwa adanya hubungan yang positif antara sikap terhadap lingkungan dan niat membeli hijau. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Picauly (2014) yang memperoleh hasil tidak ada pengaruh sikap lingkungan terhadap perilaku pembelian hijau. Tetapi Mei et al. (2012) dan Putri dkk. (2014), dalam penelitian yang dilakukannya, semakin positif sikap konsumen terhadap lingkungan maka niat konsumen untuk membeli produk hijau juga semakin tinggi. Berdasakan hasil penelitian dan kajian teori yang telah dipaparkan maka hipotesis untuk penelitian ini adalah: H2: Sikap pada lingkungan berpengaruh positif terhadap Niat beli produk hijau. 2.2.3 Pengaruh Norma subjektif terhadap Niat beli produk hijau Sikap dan Norma subjektif yang berpengaruh signifikan terhadap Niat membeli Close Up merupakan indikator bahwa Close Up sebagai leader produk pasta gigi pada segmen anak muda sudah dapat diterima dengan baik oleh konsumen potensialnya. Hasil penelitian ini mendukung theory of reasoned action dari Ajzen dan Fishbein yang menyatakan bahwa Niat sangat dipengaruhi oleh Sikap dan Norma subjektif (Sigit, 2006). Rastini (2013) dalam penelitiannya menemukan variabel sikap dan variabel Norma subjektif secara bersama-sama mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap niat belanja konsumen pada pasar tradisional Badung. Penelitian yang dilakukan Mandasari (2013) yang meneliti tentang ketertarikan konsumen terhadap produk mobil LCGC yang ramah terhadap lingkungan, menemukan variabel Norma subjektif memiliki pengaruh yang signifikan terhadap niat beli konsumen 18
pada dampak langsung terhadap lingkungan setelah mengkonsumsi atau menggunakan produk ramah lingkungan tersebut. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan Yasa (2015) dengan hasil bahwa Norma subjektif memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap niat beli kosmetik ramah lingkungan oriflame, dengan kata lain apabila Norma subjektif ditingkatkan maka niat beli juga akan meningkat. Berdasakan hasil penelitian dan kajian teori yang telah dipaparkan maka hipotesis untuk penelitian ini adalah: H3: Norma subjektif berpengaruh positif terhadap Niat beli produk hijau. 2.3 Model Penelitian Berdasarkan kajian teori serta hasil-hasil penelitian terdahulu dan dengan melakukan beberapa modifikasi maka diperoleh model penelitian seperti yang terlihat pada Gambar 2.3
Pengetahuan tentang Lingkungan
H1(+)
Sikap pada Lingkungan
H2(+)
Niat Beli Produk Hijau H3(+)
Norma Subjektif
Gambar 2.3 Konsep Penelitian
19