BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1
Landasan Teori
2.1.1
Desentralisasi dan Teori Federalisme Fiskal Secara umum, desentralisasi dapat diartikan sebagai pelimpahan wewenang
dari pemerintah pusat ke level pemerintahan yang ada di bawahnya. Secara teoritis ada beberapa tipe desentralisasi, yaitu desentralisasi politik, desentralisasi administratif, dan desentralisasi fiskal (Osoro, 2003 dalam Khusaini, 2006). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, tujuan dari desentralisasi fiskal di Indonesia adalah: 1) Kesinambungan fiskal (fiskal sustainability) dalam konteks ekonomi makro. 2) Mengoreksi vertical imbalance, yaitu mereduksi ketimpangan antara keuangan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Hal ini dilakukan dengan memperbesar taxing power daerah. 3) Mengoreksi horizontal imbalance, yaitu memperkecil disparitas antar daerah dengan mekanisme block grant/transfer dan memperbesar kewenangan daerah untuk menerapkan kebijakan pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan, potensi, dan sumber daya yang dimiliki. 4) Mengurangi tingkat ketergantungan daerah terhadap pusat. 5) Meningkatkan
akuntabilitas,
peningkatan kinerja daerah.
efektivitas
dan
efisiensi
dalam
rangka
6) Meningkatkan kualitas pelayanan publik. 7) Memperbesar partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan di sektor publik. Teori federalisme fiskal merupakan teori yang menjelaskan tentang bagaimana hubungan desentralisasi dengan perekonomian, pelayanan publik, dan kesejahteraan masyarakat. Dalam berbagai kajian tentang federalisme fiskal (fiscal federalism), terdapat dua perspektif teori yang menjelaskan dampak ekonomi dari desentralisasi, yaitu teori tradisonal (first generation theories) dan new perspective theories (second generation theories). Traditional theories menyatakan terdapat dua keuntungan dari desentralisasi, yaitu: 1) Dikemukakan oleh Hayek (1945) dalam Khusaini (2006), tentang penggunaan “knowledge in society”, di mana menurut Hayek pengambilan keputusan yang terdesentralisasi
akan dipermudah dengan penggunaan informasi yang efisien
karena pemerintah daerah lebih dekat dengan masyarakatnya. Diungkapkan oleh Tiebout (1956) dalam Khusaini (2006), terdapat dimensi persaingan dalam pemerintah daerah dan ia berpandangan bahwa kompetisi antar pemerintah daerah tentang alokasi pengeluaran publik memungkinkan masyarakat memilih berbagai barang dan jasa publik yang sesuai dengan selera dan keinginan mereka. Hal ini tidak akan terjadi dalam pemerintahan sentralistik jika pemerintah pusat menyediakan barang dan jasa publik secara seragam.
2.1.2
Teori Keagenan Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa teori keagenan adalah teori
yang menjelaskan hubungan keagenan sebagai sebuah kontrak dimana satu atau lebih (prinsipal) menyewa orang lain (agen) untuk melakukan beberapa jasa untuk kepentingan mereka dengan mendelegasikan beberapa wewenang pembuatan keputusan kepada agen untuk membuat keputusan yang terbaik bagi prinsipal. Hal serupa dikemukakan oleh Halim dan Abdullah (2006) yang menjelaskan Teori prinsipal-agen menganalisis susunan kontraktual di antara dua atau lebih individu, kelompok, atau organisasi dimana salah satu pihak (principal) membuat suatu kontrak, baik secara implisit maupun eksplisit, dengan pihak lain (agent) dengan harapan bahwa agen akan bertindak/melakukan pekerjaan seperti yang dinginkan oleh prinsipal (dalam hal ini terjadi pendelegasian wewenang). Teori keagenan adalah teori yang menjelaskan hubungan prinsipal dan agen yang berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Lane dalam Halim dan Abdullah (2006) mengemukakan bahwa teori keagenan dapat diterapkan dalam organisasi sektor publik. Lane menyatakan bahwa negara demokrasi modern didasarkan pada serangkaian hubungan prinsipal-agen. Antara prinsipal dan agen sering terjadi masalah keagenan karena adanya konflik kepentingan yang dimiliki oleh principal dan agen. Oleh karena itu, persoalan yang sering timbul di antara eksekutif dan legislatif juga merupakan persoalan keagenan. Adiwiyana (2011) menyatakan pemerintah daerah baik provinsi, kabupaten/kota sering mempraktikkan agency theory dalam
penyusunan rancangan APBD. Pada sektor publik, masyarakat yang diproksikan oleh DPRD adalah principal dan pemerintah daerah adalah agennya. Pada pemerintahan daerah (agen) seharusnya bertindak sesuai
dengan kehendak prinsipalnya
(masyarakat). Namun terkadang pada kenyataannya pemerintah daerah berperilaku opportunis dalam membuat keputusan yang berkaitan dengan publik (Gunantara, 2013). Hal ini sesuai dengan teori keagenan yaitu antara prinsipal dan agennya tidak selalu memiliki kepetingan yang sama (konflik kepentingan) dan agen cenderung melakukan suatu tindakan yang memaksimalkan utilitasnya. Sependapat dengan Lane, Yudhaningsih (2010) juga mengatakan bahwa teori keagenan dapat diterapkan pada sektor publik. Yudhaningsih (2010) menyatakan adanya desentralisasi fiskal, berarti ada delegasi dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Delegasi dalam hal ini merupakan situasi dimana pemerintah daerah bertindak sebagai agen pemerintah pusat dalam mengeksekusi fungsi-fungsi pemerintah pusat yang telah didelegasikan kepada pemerintah daerah. Ini berarti pemerintah daerah lebih leluasa dalam mengatur proporsi pelayanan publik, tapi juga harus mengukuti aturan dan permintaan pemerintah pusat. Namun pada kenyataannya pemerintah daerah terkadang berperilaku tidak sesuai dengan yang diinginkan pemerintah pusat sehingga menimbulkan konflik kepentingan. 2.1.3
Pendekatan Kontinjensi Teori kontinjensi merupakan teori yang membahas berbagai aspek
kepemimpinan diterapkan pada situasi tertentu saja tidak untuk situasi lain. Teori
kontinjensi ada deskriptif atau preskriptif. Teori kontinjensi yang deskriptif membahas tentang mengapa suatu pemimpin, antara satu situasi dengan situasi lain berperilaku berbeda. Sementara teori kontinjensi yang preskriptif membahas prilaku yang paling efektif pada setiap jenis situasi (Yukl, 2010:277). Penelitian-penelitian yang telah dilakukan menunjukkan hasil yang saling bertentangan mengenai hubungan PAD, DAU, dan DAK pada IPM. Penelitian Setyowati dan Suparwati (2012) menunjukkan hasil bahwa PAD, DAU, dan DAK terbukti berpengaruh positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia melalui pengalokasian Anggaran Belanja Modal, sedangkan hasil studi Lugastoro (2013) menunjukkan bahwa PAD dan DAK berpengaruh positif signifikan terhadap IPM sedangkan DAU berpengaruh negatif signifikan terhadap IPM. Di sisi lain Harahap (2010) dengan penelitiannya yang serupa menunjukkan secara parsial DAU dan DAK tidak berpengaruh terhadap IPM. Hasil penelitian yang tidak konsisten antara satu peneliti dengan peneliti lainnya dapat terjadi karena beberapa faktor lain yang diduga juga memiliki pengaruh antara PAD, DAU, dan DAK pada IPM. Terjadinya kontradiksi atau perbedaan pada hasil penelitian sebelumnya memungkinkan adanya pengaruh variabel moderating dalam mengidentifikasi pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen (Sugiarthi, 2013). Pengaruh dari variabel moderating tersebut dapat bersifat positif maupun negatif. Veriabel moderating ini digunakan untuk menyelesaikan perbedaan dari penelitian tersebut, yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan kontinjensi. Pendekatan ini secara sistematis mengevaluasi berbagai kondisi atau variabel yang
dapat mempengaruhi hubungan antara PAD, DAU, DAK dan SiLPA dengan IPM. Teori kontinjensi dalam hal ini dapat digunakan untuk menganalisis variabel moderating yang dapat memperkuat ataupun memperlemah hubungan antara PAD, DAU, DAK dan SiLPA dengan IPM. 2.1.4
Pendapatan Asli Daerah Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disebut PAD adalah pendapatan yang
diperoleh Daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan (UU Nomor 33 Tahun 2004). PAD memiliki tujuan untuk memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daearah sesuai dengan potensi daerah. Hal ini berarti pemerintah daerah berhak untuk menggali potensi yang terdapat pada daerahnya yang digunakan untuk menjalankan pemerintahan dan memenuhi kebutuhan publik, agar perekonomian daerah serta kesejahteraan masyarakat dapat berjalan dengan baik. Penggunaan PAD untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi daerah merupakan perwujudan desentralisasi. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mengatakan bahwa sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD), bersumber dari: 1) Pajak Daerah Pajak daerah yang selanjutnya disebut pajak adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung
dan digunakan untuk keperlukan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (UU Nomor 28 Tahun 2009) 2) Retribusi Daerah Retribusi daerah yang selanjutnya disebut retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan (UU Nomor 28 Tahun 2009). Jasa tersebut yaitu kegiatan pemerintah daerah berupa usaha dan pelayanan yang menghasilkan barang, fasilitas dan manfaat lainnya yang dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. 3) Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan Selain dari pajak dan retribusi daerah, pemerintah daerah juga mendapatkan pendapatan lain dari laba Badan Usaha Milik Daerah BUMD yang dimilki. Bagian laba Badan Usaha Milik Daerah adalah bagian keuntungan atau laba bersih dari perusahaan daerah atas badan lain yang merupakan badan usaha milik daerah. Sedangkan perusahaan daerah merupakan perusahaan yang modalnya sebagian atau seluruhnya merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan (Wertianti, 2013). Tujuan dari didirikannya BUMD adalah dalam rangka mendorong pembangunan ekonomi daerah dan menciptakan lapangan kerja (Yovita, 2011). Disamping itu, BUMD dapat memberikan cara yang lebih efisien dalam melayani masyarakat, dan merupakan salah satu sumber pendapatan daerah.
4) Lain-lain PAD yang sah Pendapatan ini merupakan pendapatan yang bersumber dari pendapatan daerah selain Pajak Daerah, Restribusi Daerah, dan BUMD. Bati (2009) mengatakan sumber – sumber dari Lain – lain Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sah yaitu : (1) Hasil penjualan aset daerah yang tidak dipisahkan (2) Jasa giro (3) Pendapatan bunga (4) Penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah (5) Penerimaan konsumsi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan pengadaan barang, dan jasa oleh daerah (6) Penerimaan keuangan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing (7) Pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan (8) Pendapatan denda pajak (9) Pendapatan denda retribusi (10) Pendapatan eksekusi atas jaminan (11) Pendapatan dari pengembalian (12) Fasilitas sosial dan umum (13) Pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan (14) Pendapatan dari angsuran/cicilan penjualan.
2.1.5
Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Umum yang selanjutnya disebut DAU adalah dana yang
bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi (UU Nomor 33 Tahun 2004). Setyowati dan Suparwati (2012) mengatakan bahwa DAU bersifat “Block Grant” yang berarti penggunaannya diserahkan kepada daerah sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerah untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. DAU berperan menggantikan subsidi daerah otonom dan dana inpres (Lugastoro, 2013). Wertianti (2013) mengatakan bahwa jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% (dua puluh enam persen) dari Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pengalokasian DAU untuk suatu daerah didasarkan atas celah fiskal dan alokasi dasar, dimana celah fiskal adalah kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal daerah. Alokasi dasar dihitung berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah. DAU atas dasar celah fiskal untuk suatu daerah provinsi dihitung berdasarkan perkalian bobot daerah provinsi yang bersangkutan dengan jumlah DAU seluruh daerah provinsi. Bobot daerah provinsi merupakan perbandingan antara celah fiskal daerah provinsi yang bersangkutan dan total celah fiskal seluruh daerah provinsi. Diberlakukannya desentralisasi berarti pemerintah daerah harus mampu mengoptimalkan kemampuan dalam mengelola sumber daya yang dimiliki sehinga
tidak hanya mengandalkan DAU (Ardhani, 2011). Diterimanya DAU dari pemerintah pusat maka daerah bisa fokus menggunakan PAD untuk membiayai belanja modal yang digunakan untuk meningkatkan pelayanan publik yang berimbas pada kesejahteraan masyarakat. 2.1.6 Dana Bagi Hasil DBH, adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi (pasal 1, PP No. 55 thn 2005). DBH merupakan Dana Perimbangan (pasal 2, PP No. 55 thn 2005) yang bersumber dari pajak dan sumber daya alam (pasal 3, PP No. 55 thn 2005). DBH yang bersumber dari pajak terdiri atas: PBB, BPHTB, dan PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21(pasal 4, PP No. 55 thn 2005), sedangkan DBH yang bersumber dari sumber daya alam berasal dari: Kehutanan, Pertambangan Umum, Perikanan, Pertambangan Minyak Bumi, Pertambangan Gas Bumi, dan Pertambangan Panas Bumi (pasal 15, PP No. 55 thn 2005). Apabila setiap daerah mampu mengelola elemen-elemen dari DBH tersebut maka akan mampu meningkatkan daya saing daerahnya sendiri. 2.1.7 Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) adalah selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran. Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran tahun anggaran sebelumnya (SiLPA) mencakup pelampauan penerimaan PAD, pelampauan penerimaan dana perimbangan, pelampauan
penerimaan lain-lain pendapatan daerah yang sah, pelampauan penerimaan pembiayaan, penghematan belanja, kewajiban kepada pihak ketiga sampai dengan akhir tahun belum terselesaikan, dan sisa dana kegiatan lanjutan (Permendagri Nomor 13 Tahun 2006). Kusnandar dan Siswantoro (2012) menyatakan bahwa SiLPA tahun sebelumnya adalah penerimaan pembiayaan digunakan untuk menutupi defisit anggaran apabila realisasi pendapatan lebih kecil daripada realisasi belanja, mendanai pelaksanaan kegiatan lanjutan atas beban belanja langsung (belanja barang dan jasa, belanja modal, dan belanja pegawai) dan mendanai kewajiban lainnya yang sampai dengan akhir tahun anggaran belum diselesaikan. Hal tersebut sejalan dengan Mahmudi (2010:122) menjelaskan apabila terjadi sisa anggaran pada akhir periode maka sisa anggaran dapat digunakan sebagai sumber pembiayaan maupun belanja untuk tahun anggaran berikutnya. SiLPA merupakan suatu indikator yang dapat menggambarkan efisiensi pengeluaran pemerintah karena SiLPA akan terbentuk bila terjadi surplus pada APBD dan sekaligus terjadi pembiayaan neto yang positif, dimana komponen penerimaan lebih besar dari komponen pengeluaran pembiayaan. Namun di sisi lain SiLPA bisa menjadi suatu indikator inefisiensi jika SiLPA tersebut berasal atau terbentuk dari komponen sisa kas (misalnya ada program atau kegiatan dari penggunaan anggaran yang tidak terealisasi) dan Sisa UUDP tahun-tahun sebelumnya (Balitbangda NTT, 2008). SiLPA yang berasal atau terbentuk dari pelampauan target penerimaan daerah (indikator efisiensi) sangat diharapkan sedangkan SiLPA yang berasal atau terbentuk
dari ditiadakan program atau kegiatan pembangunan apalagi dalam jumlah tidak wajar sangat merugikan masyarakat. 2.1.8
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan sebuah indeks komposit
(gabungan) dari indeks pendidikan, kesehatan dan daya beli yang diharapkan dapat mengukur tingkat keberhasilan pembangunan manusia yang tercermin dengan penduduk yang berpendidikan, sehat dan berumur panjang, berketerampilan serta mempunyai pendapatan untuk hidup layak. IPM merupakan indeks komposit yang dihitung sebagai rata-rata sederhana dari indeks pendidikan (melek huruf dan rata-rata lama sekolah), indeks harapan hidup, dan indeks standar hidup layak. IPM digunakan sebagai alat ukur keberhasilan pembangunan di suatu tempat pada suatu waktu dan dapat digunakan sebagai salah satu petunjuk untuk melihat apakah pembangunan yang telah dilakukan sesuai dengan yang ditetapkan. Selain itu, IPM juga sebagai alat pemantau yang bisa memberikan perbandingan antar wilayah serta perkembangan antar waktu sehingga dapat memperlihatkan dampak pembangunan yang dilakukan pada periode sebelumnya (BPS, 2012a:19). Pembangunan manusia menempatkan manusia sebagai tujuan akhir dari pembangunan dan bukan alat dari pembangunan. Ini sependapat dengan Anand dan Sen (2000) yang mengatakan bahwa manusia merupakan makhluk primer dan sarana utama dalam pembangunan. Ranis et al. (2005) mengatakan ada 12 kategori dalam pembangunan manusia meliputi: IPM itu sendiri, kesejahteraan mental, pemberdayaan, kebebasan berpolitik,
hubungan sosial, kesejahteraan masyarakat, ketimpangan, kondisi kerja, kondisi rekreasi, politik dan keamanan, keamanan ekonomi, kondisi lingkungan. Keberhasilan suatu pembangunan manusia dapat dilihat dari seberapa besar permasalahan yang mendasar di masyarakat dapat teratasi (Setyowati dan Suparwati, 2012). Agar dapat melihat perkembangan tingkatan dan status IPM (Indeks Pembangunan Manusia) dibedakan menjadi 4 kriteria dimana status menengah dipecah menjadi dua seperti dibawah ini (Sumiyati, 2011): 1. Rendah dengan nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) kurang dari 50. 2. Menengah bawah dengan nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) berada diantara 50 samapi kurang dari 66. 3. Menengah atas dengan nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) berada antara 66 sampai kurang dari 80. 4. Tinggi dengan nilai IPM lebih atau sama dengan 80. Sumiyati (2011) menyatakan jika status pembangunan manusia masih berada pada kriteria rendah hal ini berarti kinerja pembangunan manusia harus ditingkatkan atau masih memerlukan perhatian khusus untuk mengejar ketinggalannya. Begitu pula jika status pembangunan manusia berada pada kriteria menengah berarti masih perlu ditingkatkan atau dioptimalkan. Jika daerah memiliki status pembangunan manusia berada pada kriteria tinggi berarti kinerja pembangunan manusia sudah baik atau optimal dan perlu dipertahankan supaya kualitas sumber daya manusia tersebut produktif sehingga memiliki produktivitas yang tinggi sehingga kesejahteraan masyarakat dapat tercapai.
Sebelum menghitung IPM, setiap komponen IPM harus dihitung indeksnya (BPS, 2012b:71). Formula yang digunakan dalam perhitungan indeks komponen IPM adalah sebagai berikut:
Indeks X (i) = Keterangan:
X(i) −X(min) X(maks) −X(min)
X (i) = Komponen IPM ke-i X (min) = Nilai minimum dari komponen IPM ke-i X (maks) = Nilai maksimum dari komponen IPM ke-i
Unuk menghitung indeks masing-masing komponen IPM digunakan batas maksimum dan minimum seperti terlihat dalam Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Nilai Maksimum dan Minimum dari setiap komponen IPM Komponen IPM (1) 1. 2. 3. 4.
Angka Harapan Hidup (Tahun) Angka Melek Huruf (Persen) Rata-rata Lama Sekolah (Tahun) Daya Beli (Rupiah PPP)
Maksimum (2) 85 100 15 732.720a
Minimum (3)
Keterangan (4)
25 0 0 300.000 (1996) 360.000b (1999,dst)
Standar UNDP Standar UNDP Pengeluaran per Kapita Rill Disesuaikan
Sumber: BPS, 2012b Keterangan: a) Perkiraan maksimum pada PJP II tahun 2018 b) Penyesuaian garis kemiskinan lama dengan garis kemiskinan baru Selanjutnya nilai IPM dapat dihitung sebagai berikut:
IPM j = Keterangan: Indeks X (i, j) i j
= Indeks komponen IPM ke I untuk wilayah kej = 1, 2, 3 (urutan komponen IPM) = 1, 2 ……….k (wilayah)
2.1.9 Daya Saing Daerah Para ahli ekonomi pada umumnya mengartikan daya saing sebagai hasil gabungan dari keunggulan komparatif (market distortion), baik yang terjadi karena kebijakan (intervensi) pemerintah maupun karena ketidaksempurnaan pasar (Sharples, 1990). Oleh karena itu, dapat terjadi suatu produk memiliki keunggulan kompetitif di pasar internasional akibat adanya dukungan kebijakan proteksi (distortif) pemerintah, walaupun
sebenarnya
produk
tersebut
tidak
memiliki
keunggulan
kompetitif.Sebaliknya dapat pula terjadi, suatu produk memiliki keunggulan komparatif, namun karena tingginya distorsi pasar (tingginya biaya transaksi) menyebabkan produk tersebut menjadi tidak memiliki daya saing (Gonarsyah, 2001). Selanjutnya, Word Economi Forum (WEF) yakni suatu lembaga secara rutin (setiap tahun) menerbitkan the global competitiveness Report, mengartikan daya saing nasional sebagai kemampuan perekonomian nasional yang mencapai pertumbuhan yang tinggi dan berkelanjutan (WEF, 2013). Sesuai amanah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2008, bahwa dalam rangka memaksimalkan aspek daya saing daerah maka, fokus kemampuan ekonomi daerah yang telah ditetapkan adalah: 1) Angka konsumsi RT per kapita adalah rata-rata pengeluaran konsumsi rumah tangga per kapita. Angka ini dihitung berdasarkan pengeluaran penduduk untuk makanan dan bukan makanan per jumlah penduduk. Makanan mencakup seluruh jenis makanan termasuk makanan jadi, minuman, tembakau, dan sirih. Bukan
makanan mencakup perumahan, sandang, biaya kesehatan, sekolah, dan sebagainya. 2) Perbandingan faktor produksi dengan produk yang menggambarkan nilai tukar petani adalah perban dingan antara indeks yang diterima (It) petani dan dibayar (Ib) petani. Nilai Tukar Petani (NTP) merupakan salah satu indikator yang berguna untuk mengukur dngkat kesejahteraan petani, karena mengukur kemampuan tukar produk (komoditas) yang dihasilkan/dijual petani dibandingkan dengan produk yang dibutuhkan petani baik untuk proses produksi (usaha) maupun untuk konsumsi rumah tangga. Jika NTP lebih besar dari 100 maka periode tersebut relatif lebih baik dibandingkan dengan periode tahun dasar, sebaliknya jika NTP lebih kecil dari 100 berarti terjadi penurunan daya beli petani. 3) Persentase konsumsi RT untuk non pangan adalah proporsi total pengeluaran rumah tangga untuk non pangan terhadap total pengeluaran. Produktivitas daerah per sektor (9 sektor) merupakan jumlah PDRB dari setiap sektor dibagi dengan jumlah angkatan kerja dalam sektor yang bersangkutan.
2.2
Rumusan Hipotesis
2.2.1 Pengaruh PAD pada Daya Saing Daerah Keberhasilan desentralisasi fiskal salah satunya dapat dilihat dari tingginya penerimaan dan pengeluaran pembangunan pemerintah daerah demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang tercermin dalam pertumbuhan ekonomi daerah yang tinggi. Dari sisi penerimaan daerah, desentralisasi fiskal dapat diukur melalui rasio
PAD terhadap total penerimaan daerah atau sering disebut juga dengan rasio kemandirian. Jika rasio tersebut semakin tinggi artinya pemerintah daerah semakin mandiri untuk membiayai program-program kerja yang ada di daerah. Peningkatan rasio tersebut tentu dicapai melalui peningkatan PAD yang diterima daerah. Tingginya PAD suatu daerah tentu juga akan berperan serta dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah serta ototmatis akan berpengaruh pada daya saing daerah tiap-tiap daerah tersebut. Berkaitan dengan paparan di atas, maka hipotesis yang dapat diajukan adalah Ha.1 : PAD berpengaruh positif pada daya saing daerah 2.2.2 Pengaruh DAU pada Daya Saing Daerah DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (UU Nomor 33 Tahun 2004). Setyowati dan Suparwati (2012) mengatakan bahwa DAU bersifat “Block Grant” yang berarti penggunaannya diserahkan kepada daerah sesuai dengan prioritas dan kebutuhan daerah untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. DAU berperan menggantikan subsidi daerah otonom dan dana inpres (Lugastoro, 2013). Wertianti (2013) mengatakan bahwa jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% (dua puluh enam persen) dari Pendapatan Dalam Negeri
Neto yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pengalokasian DAU untuk suatu daerah didasarkan atas celah fiskal dan alokasi dasar, dimana celah fiskal adalah kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal daerah. Alokasi dasar dihitung berdasarkan jumlah gaji pegawai negeri sipil daerah. DAU atas dasar celah fiskal untuk suatu daerah provinsi dihitung berdasarkan perkalian bobot daerah provinsi yang bersangkutan dengan jumlah DAU seluruh daerah provinsi. Bobot daerah provinsi merupakan perbandingan antara celah fiskal daerah provinsi yang bersangkutan dan total celah fiskal seluruh daerah provinsi. Diberlakukannya desentralisasi berarti pemerintah daerah harus mampu mengoptimalkan kemampuan dalam mengelola sumber daya yang dimiliki sehinga tidak hanya mengandalkan DAU (Ardhani, 2011). Diterimanya DAU dari pemerintah pusat maka daerah bisa fokus menggunakan PAD untuk membiayai belanja modal yang digunakan untuk meningkatkan pelayanan publik yang berimbas pada kesejahteraan masyarakat. Ha.2 : DAU berpengaruh positif pada daya saing daerah 2.2.3 Pengaruh DBH Pada Daya Saing Daerah DBH, adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi (pasal 1, PP No. 55 thn 2005). DBH merupakan Dana Perimbangan (pasal 2, PP No. 55 thn 2005) yang bersumber dari pajak dan sumber daya alam (pasal 3, PP No. 55 thn 2005).
DBH yang bersumber dari pajak terdiri atas: PBB, BPHTB, dan PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21(pasal 4, PP No. 55 thn 2005), sedangkan DBH yang bersumber dari sumber daya alam berasal dari: Kehutanan, Pertambangan Umum, Perikanan, Pertambangan Minyak Bumi, Pertambangan Gas Bumi, dan Pertambangan Panas Bumi (pasal 15, PP No. 55 thn 2005). Apabila setiap daerah mampu mengelola elemenelemen dari DBH tersebut maka akan mampu meningkatkan daya saing daerahnya sendiri. Ha.3 : DBH berpengaruh positif pada daya saing daerah 2.2.4 Pengaruh SiLPA Pada Daya Saing Daerah Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) adalah selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran. SiLPA mencakup pelampauan penerimaan PAD, pelampauan penerimaan dana perimbangan, pelampauan penerimaan lain-lain pendapatan daerah yang sah, pelampauan penerimaan pembiayaan, penghematan belanja, kewajiban kepada pihak ketiga sampai dengan akhir tahun belum terselesaikan, dan sisa dana kegiatan lanjutan (Permendagri Nomor 13 Tahun 2006). Kusnandar dan Siswantoro (2012) menyatakan bahwa SiLPA tahun sebelumnya adalah penerimaan pembiayaan digunakan untuk menutupi defisit anggaran apabila realisasi pendapatan lebih kecil daripada realisasi belanja, mendanai pelaksanaan kegiatan lanjutan atas beban belanja langsung (belanja barang dan jasa, belanja modal, dan belanja pegawai) dan mendanai kewajiban lainnya yang sampai dengan akhir tahun anggaran belum diselesaikan. Hal tersebut sejalan dengan
Mahmudi (2010:122) menjelaskan apabila terjadi sisa anggaran pada akhir periode maka sisa anggaran dapat digunakan sebagai sumber pembiayaan maupun belanja untuk tahun anggaran berikutnya. SiLPA merupakan suatu indikator yang dapat menggambarkan efisiensi pengeluaran pemerintah karena SiLPA akan terbentuk bila terjadi surplus pada APBD dan sekaligus terjadi pembiayaan neto yang positif, dimana komponen penerimaan lebih besar dari komponen pengeluaran pembiayaan. Namun di sisi lain SiLPA bisa menjadi suatu indikator inefisiensi jika SiLPA tersebut berasal atau terbentuk dari komponen sisa kas (misalnya ada program atau kegiatan dari penggunaan anggaran yang tidak terealisasi) dan Sisa UUDP tahun-tahun sebelumnya (Balitbangda NTT, 2008). SiLPA yang berasal atau terbentuk dari pelampauan target penerimaan daerah (indikator efisiensi) sangat diharapkan sedangkan SiLPA yang berasal atau terbentuk dari ditiadakan program atau kegiatan pembangunan apalagi dalam jumlah tidak wajar sangat merugikan masyarakat. Ha.4 : SiLPA berpengaruh positif pada daya saing daerah 2.2.5 Pengaruh IPM Pada Daya Saing Daerah IPM merupakan sebuah indeks komposit (gabungan) dari indeks pendidikan, kesehatan dan daya beli yang diharapkan dapat mengukur tingkat keberhasilan pembangunan manusia yang tercermin dengan penduduk yang berpendidikan, sehat dan berumur panjang, berketerampilan serta mempunyai pendapatan untuk hidup layak.
IPM merupakan indeks komposit yang dihitung sebagai rata-rata sederhana dari indeks pendidikan (melek huruf dan rata-rata lama sekolah), indeks harapan hidup, dan indeks standar hidup layak. IPM digunakan sebagai alat ukur keberhasilan pembangunan di suatu tempat pada suatu waktu dan dapat digunakan sebagai salah satu petunjuk untuk melihat apakah pembangunan yang telah dilakukan sesuai dengan yang ditetapkan. Selain itu, IPM juga sebagai alat pemantau yang bisa memberikan perbandingan antar wilayah serta perkembangan antar waktu sehingga dapat memperlihatkan dampak pembangunan yang dilakukan pada periode sebelumnya (BPS, 2012a:19). Agar dapat melihat perkembangan tingkatan dan status IPM dibedakan menjadi 4 kriteria dimana status menengah dipecah menjadi dua seperti dibawah ini (Sumiyati, 2011):
1) Rendah dengan nilai IPM kurang dari 50. 2) Menengah bawah dengan nilai IPM berada diantara 50 samapi kurang dari 66. 3) Menengah atas dengan nilai IPM berada antara 66 sampai kurang dari 80. 4) Tinggi dengan nilai IPM lebih atau sama dengan 80. Sebelum menghitung IPM, setiap komponen IPM harus dihitung indeksnya (BPS, 2012b:71). Formula yang digunakan dalam perhitungan indeks komponen IPM adalah sebagai berikut:
Indeks X (i) = X Keterangan:
X(i) −X(min) (maks) −X(min)
X (i)
= Komponen IPM ke-i
X (min) = Nilai minimum dari komponen IPM ke-i X (maks) = Nilai maksimum dari komponen IPM ke-i Untuk menghitung indeks masing-masing komponen IPM digunakan batas maksimum dan minimum seperti terlihat dalam Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Nilai Maksimum dan Minimum dari setiap komponen IPM Komponen IPM (1) 1) Angka
Harapan
Maksimum (2)
Minimum (3)
Keterangan (4)
85
25
Standar UNDP
100
0
Standar UNDP
15
0
Hidup (Tahun) 2) Angka
Melek
Huruf (Persen) 3) Rata-rata Lama Sekolah (Tahun) 4) Daya PPP)
Beli
(Rupiah
732.720a
300.000 (1996) 360.000b (1999,dst)
Pengeluaran per Kapita Rill Disesuaikan
Sumber: BPS, 2012b Keterangan: c) Perkiraan maksimum pada PJP II tahun 2018 d) Penyesuaian garis kemiskinan lama dengan garis kemiskinan baru Selanjutnya nilai IPM dapat dihitung sebagai berikut: IPMj =
Keterangan: Indeks X (i, j) i j
= Indeks komponen IPM ke I untuk wilayah kej = 1, 2, 3 (urutan komponen IPM) = 1, 2 ……….k (wilayah)
Pembangunan manusia menempatkan manusia sebagai tujuan akhir dari pembangunan dan bukan alat dari pembangunan. Ini sependapat dengan Anand dan Sen (2000) yang mengatakan bahwa manusia merupakan makhluk primer dan sarana utama dalam pembangunan. Ranis et al. (2005) mengatakan ada 12 kategori dalam pembangunan manusia meliputi: IPM itu sendiri, kesejahteraan mental, pemberdayaan, kebebasan berpolitik, hubungan sosial, kesejahteraan masyarakat, ketimpangan, kondisi kerja, kondisi rekreasi, politik dan keamanan, keamanan ekonomi, kondisi lingkungan. Keberhasilan suatu pembangunan manusia dapat dilihat dari seberapa besar permasalahan yang mendasar di masyarakat dapat teratasi (Setyowati dan Suparwati, 2012). Sumiyati (2011) menyatakan jika status pembangunan manusia masih berada pada kriteria rendah hal ini berarti kinerja pembangunan manusia harus ditingkatkan atau masih memerlukan perhatian khusus untuk mengejar ketinggalannya. Begitu pula jika status pembangunan manusia berada pada kriteria menengah berarti masih perlu ditingkatkan atau dioptimalkan. Jika daerah memiliki status pembangunan manusia berada pada kriteria tinggi berarti kinerja pembangunan manusia sudah baik atau optimal dan perlu dipertahankan supaya kualitas sumber daya manusia tersebut produktif sehingga memiliki produktivitas yang tinggi sehingga kesejahteraan masyarakat dapat tercapai.
Michael Porter (1990) menyatakan bahwa ada 4 (empat) faktor yang mempengaruhi daya saing suatu negara, yaitu: 1) Strategi, struktur, dan tingkat persaingan perusahaan, yaitu bagaimana unit-unit usaha di dalam suatu negara terbentuk, diorganisasikan, dan dikelola, serta bagaimana tingkat persaingan dalam negerinya, 2) Sumber daya di suatu negara, yaitu bagaimana ketersediaan sumber daya di suatu negara, yakni sumber daya manusia, bahan baku, pengetahuan, modal, dan infrastruktur. Ketersediaan tersebut menjadi penentu perkembangan industri di suatu negara. Ketika terjadi kelangkaan pada salah satu jenis faktor tersebut maka investasi industri di suatu negara menjadi investasi yang mahal, 3) Permintaan domestik, yaitu bagaimana permintaan di dalam negeri terhadap produk atau layanan industri di negara tersebut. Permintaan hasil industri, terutama permintaan dalam negeri, merupakan aspek yang mempengaruhi arah pengembangan faktor awalan keunggulan kompetitif sektor industri. Inovasi dan kemajuan teknologi dapat terinspirasi oleh kebutuhan dan keinginan konsumen, 4) Keberadaan industri terkait dan pendukung, yaitu keberadaan industri pemasok atau industri pendukung yang mampu bersaing secara internasional. Ini berarti bahwa sumber daya manusia dan atau IPM merupakan salah satu dari empat faktor yang mempengaruhi daya saing. Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikembangkan hipotesis penelitian sebagai berikut: Ha.5: IPM berpengaruh positif pada daya saing daerah
2.2.6 Kemampuan IPM memoderasi pengaruh PAD Pada Daya saing daerah Impelementasi desentralisasi fiskal dimana pemerintah pusat melimpahkan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengatur keuangannya sendiri terlihat dari meningkatnya PAD di setiap daerah tersebut. Namun apabila tidak dibarengi dengan kualitas sumber daya manusianya maka akan menghambat jalannya kinerja keuangan daerah dimana tujuannya adalah untuk terus meningkatkan PAD daerahnya sendiri serta untuk mengukur daya saing dengan daerah lainnya. Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikembangkan hipotesis penelitian sebagai berikut: Ha.6: IPM meningkatkan pengaruh positif PAD pada daya saing daerah 2.2.7 Kemampuan IPM Memoderasi Pengaruh DAU Pada Daya Saing Daerah Penerapan desentralisasi fiskal memberikan konsekuensi-konsekuensi, yaitu di setiap daerah dituntut untuk membiayai seluruh pengeluaran daerah, namun tidak semua daerah mampu membiayai pengeluaran pemerintah daerah menggunakan Pendapatan asli daerah (PAD), dikarenakan kemampuan daerah untuk menyediakan pendanaan yang berasal dari daerah sangat tergantung pada kemampuan merealisasikan potensi ekonomi tersebut menjadi bentuk-bentuk kegiatan ekonomi yang mampu menciptakan perguliran dana untuk pembangunan daerah yang berkelanjutan (Darwanto dan Yustikasari, 2006). Hal tersebut mengakibatkan tidak meratanya pembangunan di setiap daerah. Untuk mengatasi adanya ketimpangan infrastruktur yang terdapat di setiap daerah, Pemerintah Pusat mengalokasikan Dana Perimbangan yang bersumber dari
APBN untuk mendanai kebutuhan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi. Salah satu dana perimbangan dari pemerintah ini adalah Dana alokasi umum (DAU). Sumber daya manusia disetiap daerah harus mampu mengalokasikan dana tersebut dengan baik agar tersebar secara merata ke daerah-daerah yang sangat membutuhkan dan pertumbuhan ekonomi di daerah lain meningkat secara merata Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikembangkan hipotesis penelitian sebagai berikut: Ha.7: IPM meningkatkan pengaruh positif DAU pada daya saing daerah 2.2.8 Kemampuan IPM Memoderasi Pengaruh DBH Pada Daya Saing Daerah Dana Bagi Hasil, selanjutnya disebut DBH, adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi (pasal 1, PP No. 55 thn 2005). DBH merupakan Dana Perimbangan (pasal 2, PP No. 55 thn 2005) yang bersumber dari pajak dan sumber daya alam (pasal 3, PP No. 55 thn 2005). DBH yang bersumber dari pajak terdiri atas: PBB, BPHTB, dan PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 (pasal 4, PP No. 55 thn 2005), sedangkan DBH yang bersumber dari sumber daya alam berasal dari: Kehutanan, Pertambangan Umum, Perikanan, Pertambangan Minyak Bumi, Pertambangan Gas Bumi, dan Pertambangan Panas Bumi (pasal 15, PP No. 55 thn 2005). Daerah dituntut memiliki sumber daya manusia yang handal dan mampu memanage sumber-sumber dari DBH tersebut dengan baik guna meningkatkan
pendapatan daerah, dan nantinya terlihat daerah mana yang lebih baik dalam pengelolaan DBH tersebut. Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikembangkan hipotesis penelitian sebagai berikut: Ha.8: IPM meningkatkan pengaruh positif DBH pada daya saing daerah 2.2.9 Kemampuan IPM Memoderasi Pengaruh SiLPA Pada Daya Saing Daerah Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) adalah selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran. SiLPA merupakan suatu indikator yang dapat menggambarkan efisiensi pengeluaran pemerintah karena SiLPA akan terbentuk bila terjadi surplus pada APBD dan sekaligus terjadi pembiayaan neto yang positif, dimana komponen penerimaan lebih besar dari komponen pengeluaran pembiayaan. Oleh karena itu sumber daya manusia yang ada di setiap daerah harus mampu meminimalisir pengeluaran-pengeluaran daerah yang tidak terlalu penting serta lebih efisien dalam menggunakan anggaran daerah. Hal tersebut bertujuan untuk mendapatkan SiLPA dan meningkatkan pendapatan daerah. Karena secara normatif, semakin meningkatnya kinerja kapasitas fiskal daerahdan SiLPA maka pemda memiliki dana yang cukup untuk merealisasikan program-program kerjanya dan sudah tentu termasuk program kerja dalam rangka meningkatkan daya saing daerah.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikembangkan hipotesis penelitian sebagai berikut: Ha.9: IPM meningkatkan pengaruh positif SiLPA pada daya saing daerah