34 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. DASAR DAN FUNGSI KOPSIS DALAM PEMBINAAN GENERASI MUDA Dalam UUD'45 pasal 33 ayat 1 menyatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Penjabaran lebih lanjut dari pasal 33 ayat 1 tersebut menyebutkan bahwa: dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi. Produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan. "Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah Koperasi", yakni bangun perusahaan yang terdiri dari sekumpulan orang yang secara senganja bergabung secara suakarela untuk mencapai tujuan ekonomi bersama melalui pembentukan organisasi bisnis berdasarkan azas kekeluargaan yang dikontrol secara demokratis, masing-masing anggota memberikan kontribusi dan menanggung resiko atas modal yang diperlukan serta menerima bagian keuntungan secara adil. Pengertian sejalan dengan pengertian koperasi dari International Labour Officie (ILO) (dalam Departemen Koperasi, 1985:11) yang mengatakan: ... Cooperatives is an association of person, usually of limited means, who have voluntary joined together to achieve a common economic end through the formation of a democratically controlled business organization, making equitable contribution to the capital required and accepting a fair share of the risk and benifits of the undertaking. Penjelasan UUD pasal 33 tersebut secara tegas memberi dasar yang kokoh bagi tumbuh & berkembangnya koperasi.
Sebagai bangun perusahaan,
koperasi
diharapkan dapat merupakan alat peijuangan ekonomi yang memiliki peran yang
35 tangguh dan strategis dalam mengisi tuntutan konstitusional dan pembangunan, yakni alat perjuangkan ekonomi untuk mempertinggi kesejahteraan rakyat, bahkan lebih jauh lagi dapat berfungsi sebagai soko guru perekonomian nasional. Agar dapat menunjukkan peran strategis, koperasi perlu didorong pengembangannya serta diberi kesempatan seluas-luasnya untuk menjadi lembaga ekonomi yang tangguh dan mandiri serta pertumbuhannya berakar dalam masyarakat. Namun demikian harapan tersebut sampai saat ini ternyata belum dapat diwujudkan menjadi kenyataan secara penuh, karena adanya berbagai kendala. Kendala yang paling menonjol menurut pengamatan para ahli adalah bahwa perkembangan koperasi banyak bertumpu pada faktor kurangnya kemampuan dan kemauan manusia-nya, baik manusia sebagai pendukung ide-ide koperasi maupun manusia sebagai anggota yang sekaligus juga merupakan sumber modal koperasi, serta manusia yang menjadi pengelola organisasi dan usaha koperasinya (Ahdiyat, 1990:2). Menyadari kondisi yang demikian, maka pemerintah secara terus menerus berupaya menggali dan menggalakkan pertumbuhan serta perkembangan koperasi, termasuk pertumbuhan dan perkembangan manusia koperasi sebagai kunci keberhasil-an koperasi. Salah satu SDM yang potensial namun belum banyak digarap dan berperan dalam kehidupan serta kegiatan perkoperasian adalah para generasi muda sebagai penerus cita-cita perjuangan bangsa dan SDM bagi pembangunan nasional. Oleh karena itu perlu upaya peningkatan, pembinaan dan pengembangan generasi muda yang memiliki daya mampu dan mau yang tangguh sebagai mana Menteri Koperasi Republik Indonesia dalam acara seminar Nasional di IKIP Bandung katakan bahwa "para pemuda, para kader, dan sumber daya manusia
36 koperasi harus mendapat pendidikan yang tepat, harus menguasai keahlian yang tepat, harus memiliki kemahiran dan ketrampilan yang tepat." Ini berarti bahwa pendidikan koperasi tidak hanya dalam segi teori atau konsep tetapi harus diimbangi dengan praktik lapangan langsung dalam kehidupan dan kegiatan perkoperasian. Gerakan memasyarakatkan koperasi kepada generasi muda dapat dilakukan di dalam sekolah dan di luar sekolah. Sebagaimana yang diamanatkan GBHN 1988, bahwa:
gerakan
memasyarakatkan koperasi
perlu
ditingkatkan
dan dalam
pelaksanaan-nya di dudukung oleh pendidikan perkoperasian baik di sekolah maupun di luar sekolah serta pembinaan koperasi secara profesional. (GBHN, 1988: 57). Pendidikan koperasi di sekolah dapat dilaksanakan dan dikembangkan melalui berbagai bentuk kegiatan intrakurikuler, kokurikuler dan ekstrakurikuler. Pembinaan Kopsis merupakan salah satu wahana kegiatan pembinaan siswa (generasi muda). Proses pembinaan Kopsis dilaksanakan sebagai bagian integral sistem pendidikan dasar dan menegah. Pelaksanaan kegiatan pembinaan Kopsis ini dilaksanakan melalui jalur kegiatan intrakurikuler, kokurikuler dan ekstrakurikuler (Ditjen Dikdasmen, 1991:13). Dasar dari pada pendidikan koperasi di sekolah, yang berkenaan dengan pendidikan, pembinaan, dan pengembangan Kopsis adalah Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 3 tahun 1960 tentang Pendidikan Koperasi. Instruksi Presiden ini kemudian disusul oleh Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Perdagangan dan Koperasi dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 719/Kpd/XII/1979-28a/1979 tanggal 31
Desember
1979, tentang pendidikan
perkoperasian di sekolah, Universitas, dan lain-lain lembaga Pendidikan dan Kelembagaan, serta SKB Mekop, Mendikbud, dan Mendagri Republik Indonesia No.
37 SKB
125/M/KPTS/X/1984-0447a/V/1984 tanggal 4
Oktober
1984,
tentang
Pembinaan dan Pengembangan Kopsis. Sedangkan operasional pelaksanaan di sekolah, pengetahuan perkoperasian telah dimasukkan ke dalam GBPP kurikulum sekolah dalam mata pelajaran pendidikan ilmu pengetahuan sosial (bagian ekonomi), dan praktik perkoperasian dimasukkan ke dalam salah satu dari 8 program pembinaan kesiswaan, yaitu program kewirausahaan (Kandep Dikbud Kodya Bandung, 1996). Melalui Inpres dan SKB tersebut, pemerintah berusaha untuk memperkokoh kedudukan dan peran Kopsis baik di pedesaan maupun di perkotaan. Kopsis tersebut diarahkan pada pendidikan dan pelatihan perkoperasian, di samping fungsinya sebagai badan usaha yang melayani kebutuhan siswa di lingkungan sekolah. Pembinaan Kopsis bertujuan untuk mengembangkan dan mendewasakan para siswa agar mampu meng-urus diri sendiri atas dasar swadaya dan gotong-royong. Dengan demikian pembinaan siswa dalam berkoperasi diarahkan untuk menumbuhkan apresiasi terhadap perkoperasian dan memberikan pengalaman praktis kepada siswa agar dapat berwirausaha, kreatif, dan trampil di bidang pengelolaan perkoperasiaan. Lebih khusus, bahwa Kopsis bertujuan untuk meningkatkan kemampuan yang berupa pengetahuan,
pengalaman
dan
ketram-pilan
berkoperasi
dan
berwirausaha,
menumbuhkan sikap menghargai koperasi melalui latihan-latihan yang sistematis, terarah dan terus menerus, serta berbagai upaya untuk memasyarakatkan koperasi pada mereka sejak usia dini. Kopsis sebagai salah satu kopersi yang azas dan sendinya sama dengan koperasi pada umumnya, maka Kopsis berfungsi sebagai organisasi ekonomi siswa, lab bidang ekonomi koperasi dan lab pembinaan kepribadian siswa, termasuk dalam
38 pengem-bangan dan penanaman langsung nilai-nilai kehidupan masyarakat demokratis (Ditjen Dikdasmen, 1991: 6). Sebagai organisasi ekonomi siswa maka Kopsis bertujuan untuk memberikan kesejahteraan siswa (khususnya kesejahteraan yang diarahkan untuk ikut serta membantu proses pencapaian tujuan pendidikan berupa penyediaan alat-alat sekolah dan sarana penunjang lainnya dengan harga yang relatif ringan, sehingga terjangkau oleh siswa). Dalam fungsinya sebagai laboratorium ekonomi siswa, Kopsis berfungsi sebagai
wahana pendidikan dan pelatihan para siswa
dalam
berkoperasi,
berwirausaha, dan sebagai penunjang tercapainya tujuan pendidikan ke arah kegiatankegiatan praktis guna mencapai kebutuhan ekonomi di kalangan siswa. Dalam fiingsingnya sebagai pengembangan kepribadian siswa Kopsis bertujuan untuk mengembangkan rasa tanggung jawab, disiplin, setia kawan, pembinaan persatuan dan kesatuan siswa serta pengembangan jiwa demokratis pada diri para siswa. Agar dapat memenuhi fungsi tersebut, maka perlu ditanamkan pengalaman teoritis dan praktis siswa dalam berkoperasi. Para siswa perlu tidak hanya diberikan pengalaman konseptual tetapi juga perlu diberi kesempatan melihat secara dekat dan dilibatkan secara langsung dalam kehidupan dan kegiatan berkoperasi. Pendekatan yang demikian merupakan kebutuhan yang sangat urgen guna melengkapi dan mendorong para siswa mengembangkan program-program kesejahteraan dan hidup bergotong royong, mengembangkan pengalaman berwirausaha dan nilai-nilai demokratis dalam dunia yang riil baik di dalam lingkungan sekolah maupun di luar lingkungan sekolah dan sesudah tamat sekolah (Depkop, 1986:iii). Pada sisi lain, adanya keterlibatan para siswa dalam kehidupan dan kegiatan Kopsis, mereka kelak tidak hanya memiliki pengetahuan perkoperasian secara
39 konseptual melainkan juga memiliki ketrampilan berkoperasi. Pendekatan pembinaan generasi muda sejak usia dini akan memungkinkan mereka mampu menghayati bagaimana kehidupan, kegiatan dan manfaat koperasi secara dalam serta mampu menciptakan kader-kader koperasi yang sangat diperlukan demi kelangsungan pembangunan perkoperasian di Indonesia. Dengan pengalaman yang dihayati secara dalam inilah mereka akan memiliki kemampuan, ketrampilan, kesadaran dan kemauan berkoperasi yang tangguh. Generasi yang demikian akan siap untuk melanjutkan dan meningkatkan pembangunan perkoperasian yang akan datang dan akan benar-benar mampu memwujudkan koperasi sebagai soko guru perekonomian nasional. Anggota Kopsis adalah seluruh siswa sekolah dimana Kopsis didirikan. Sehingga keberhasilan pencapaian tujuan dan fungsi Kopsis akan sangat tergantung pada partisipasi aktif para siswa sebagai anggota, di samping pelayanan yang baik dari Kopsis dalam memenuhi kebutuhan para anggotanya. Partisipasi siswa dalam Kopsis minimal akan memungkinkan mereka memperoleh pengalaman pengetahuan dan ketrampilan mengelola suatu koperasi. Pada taraf yang lebih tinggi, partisipasi siswa akan memungkinkan mereka mampu menyerap nilai-nilai demokrasi ekonomi dan jiwa wirausaha. Nilai-nilai ini sangat penting artinya bagi pembinaan dan penyiapan SDM dalam menghadapi era globalisasi dan mampu mengembangkan koperasi sebagai soko guru ekonomi rakyat. Sehingga demikian pembelajaran dan pembinaan siswa berkope-rasi di sekolah perlu diintensifkan keberadaannya. Upaya ini menjadi tanggung jawab kepla sekolah, pembina Kopsis, guru ekonomi dan guru-guru lain terkait, baik dalam upaya pencarian dan penerapan model, metode pembelajaran dan pembinaan kemampuan dan ketrampilan
40 berkoperasi, peningkatan persepsi, motivasi dan sikap berkoperasi, peningkatan rasa manfaat, rasa percaya, partisipasi, serta perkembangan Kopsis.
B. TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB KEPALA SEKOLAH, PEMBINA KOPSIS DAN GURU Kepemimpinan kepala sekolah sangat menentukan sukses atau gagalnya sekolah dalam mencapai tujuannya (Usman, 1996:196; Depdikbud, 1981.44; Asmara, 1984:201). Sehubungan dengan hal ini, Sutisna (1990.) menyatakan bahwa semakin banyak tenaga kependidikan mengakui bahwa sukses atau gagalnya pencapaian tujuan pendidikan terutama terletak di atas pundak kepemimpinan kepala sekolahnya. Hal ini disebabkan dalam pelaksanaannya kepala sekolah diberikan wewenang dan tanggung jawab yang penuh terhadap penyelenggaraan pendidikan dalam lingkungan sekolahnya (Penjelasan PP RI No.29 tahun 1990). Wewenang dan tanggung jawab ini meliputi penyelenggaraan kegiatan pendidikan, adminsitrasi sekolah, pembinaan tenaga kepen-didikan lainnya, dan pendayagunaan sarana dan prasarana. (PP RI No. 29 tahun 1990). Tugas dan tanggung jawab kepala sekolah tersebut akan mencakup bidang pengelolaan pendidikan dan pengajaran, kesiswaan, tenaga kependidikan dan atau kepegawaian, keuangan, sarana dan prasarana dan hubungan masyarakat (Usman, 1994: 52-57). Dalam melaksanakan tugasnya ia harus mampu melakukan kepemimpinan dalam mengelola semua bidang-bidang tersebut secara efektif dan efisien sehingga dapat tercipta suasana sekolah yang kondusif bagi semua tenaga kependidikan dan siswa dalam mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan bersama (sekolah).
41 Keberhasilan seorang pemimpin dalam mejalankan kepemimpinannya sangat dipengaruhi oleh dirinya (perilaku kepemimpinan pemimpin), pengikut dan situasinya (Depdikbud, 1981:44;Hersey dan Balnchard, 1993:123). Atas dasar pendapat ini berarti bahwa keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan dalam segi membelajarkan dan membina siswa dalam berkoperasi di sekolah sangat dipengaruhi oleh kepemimpinan kepala sekolah, partisipasi semua personel pelaksana yang terkait (khususnya para pembina kopsis dan guru ekonomi) dan serta sistuasi lingkungan sekolah yang kondusif. 1. Perilaku Kepemimpinan. Kao (199la: 15) menjelaskan bahwa perilaku kepemimpinan seorang sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat kepemimpinan perilaku pemimpin, konteks organisasi, peraturan pelaksanaan dan interaksi dengan lingkungannya. a. Sifat Kepemimpinan. Kao (1991a:7) menjelaskan sifat-sifat perilaku kepemimpinan itu meliputi: motif yang kuat untuk mencapai tujuan, kepribadian yang utuh (tidak mudah goyah), memiliki ketrampilan dan pengalaman dalam memilih orang dan membagi tugas, dan memiliki
pilihan
psikologik
(komitmen
yang
kuat).
Lessem
(1992:17)
mengidentifika-sikan 7 (tujuh) sifat kepemimpinan yaitu imajinatif intuitif, berwibawa, berkema-uan keras, fleksibel, ramah, bersemangat dan giat. Dalam kaitan dengan sifat-sifat kepemimpinan ini, Hisrich dan Peters (1992:516) juga memberikan tujuh sifat kepemimpian yaitu memahami lingkungan, mempunyai fisi jauh kedepan dan luwes, kreatif, mendorong keija tim, mendorong diskusi secara terbuka, membina koalisi pendukung, dan keteguhan hati (komitmen yang kuat).
42 Berdasarkan pendapat-pendapat di atas maka terdapat sejumlah sifat kepemimpinan yang dapat dikembangkan untuk mendukung tercapainya pelaksanaan kepemimpinan Kepala sekolah dalam mencapai tujuan pembelajaran dan pembinaan perilaku siswa dalam berkoperasi yaitu: 1) motif yang kuat dalam mencapai tujuan. Atas dasar sifat ini berarti bahwa kepala sekolah adalah seorang yang: a) memiliki wewenang dan tanggung jawab penuh dalam melakukan pengelolaan sekolah; b) harus memahami tujuan dan fungsi penyelenggaraan, pembinaan dan pengembangan Kopsis di sekolah; dan c) memiliki motivasi serta upaya yang kuat untuk mencapai tujuan dan fungsi Kopsis. 2) Mempunyai visi jauh kedepcar. ia memiliki wawasan tentang kearah mana dan bagaimana Kopsis harus dikembangkan. 3) Kepribadian yang utuh yakni tidak mudah goyah oleh adanya pengaruh-pengaruh lingkungan yang kurang kondusif. 4) Memiliki ketrampilan dan pengalaman dalam memilih orang dan membagi tugas. Kepala sekolah harus memiliki ketrampilan dan pengalaman memilih orang-orang
yang
dipandang
mampu
mengemban
tugas
untuk
membina,
mengembangkan dan memajukan Kopsis menjadi media yang mampu berfungsi sebagai sarana pendidikan dan organisasi ekonomi siswa. 5) Imajinatif, intuitif dan kreatif. Artinya kepala sekolah harus selalu berupaya timbulnya ide-ide baru dan peka terhadap makna terjadinya suatu peristiwa bagi upaya pembinaan dan pengembangan Kopsis ke arah yang lebih maju dan fungsional terhadap tercapainya tujuan dan fungsi Kopsis. Ia mampunyai kepekaan mengantisipasi bagaimana sesuatu itu akan berjalan dan bagaimana mengelolanya untuk mencapai sasaran yang lebih baik. 6) Berkemauan keras untuk memajukan dan mengembangkan Kopsis secara maksimal. 7) Fleksibel dan ramah. Ia mampu menye-suaikan diri dalam berbagai situasi dan ramah dalam pergaulan dengan pengikutnya dan orang-orang yang ada di
43 sekitarnya. Ia menyenangi suasana kekeluargaan sebagai penengah yang mampu mengusahakan kedamainan kelompok sehingga semua personel yang terkait dengan upaya pembinaan dan pengembangan Kopsis serta upaya membelajarkan dan membina perilaku siswa dalam berkoperasi menjadi senang dan bersemangat bekerja dalam mencapai tujuan serta mengupayakan Kopsis dapat berfungsi sebaga-imana seharusnya. 8) Memahami lingkungan, ia peka terhadap sumber daya apa yang tersedia dan sumber daya apa yang dapat diupayakan adanya untuk dapat dimanfaatkan. 9) Mendorong kerja tim dan diskusi secara terbuka. Ia selalu mengadakan diskusi secara terbuka dengan anggota tim kerja sehingga mereka yang terkait dengan upaya mengembangkan dan memajukan Kopsis serta upaya membelajarkan dan membina siswa dalam berkoperasi tumbuh semangat bekeija sama untuk mencapai tujuan yang diharapkan. 10) Membina koalisi pendukung, ia selalu berupaya menyatukan semua sarana dan prasarana pendukung bagi tercapainya tujuan. 11) Memiliki komitmen yang kuat: ia mempunyai kegigihan semangat, pantang putus asa, dan kesetiaan melaksa-nakan tugas serta tanggung jawab yang dibebankan padanya. b. Peraturan-peraturan. Peraturan-peraturan merupakan kegiatan-kegiatan
apa
yang
harus
norma-norma dilakukan
dan
yang
menunjuk
bagaimana
kepada
seharusnya
melakukannya oleh semua individu yang terkait (kepala sekolah, pembina Kopsis, guru, siswa, Depkop, Bidmudora, dan Pemda setempat) dengan pembinaan dan pengembangan Kopsis serta bagaimana membelajarkan dan membina siswa berkoparasi.
44 c. Konteks organisasi/iklim organisasi. Konteks organisasi merupakan suatu suasana yang memungkinkan pemimpin dapat mengembangkan kreativitasnya secara optimal (Usman, 1996:43). Menurut Kao (1991a:7) konteks organisasi ini meliputi: misi dan tujuan, struktur, kultur, peran-peran, kebijakan-kebijakan, sistem pengembangan SDM, sistem komunikasi, dan pendayagunaan sumber daya organisasi yang terbatas. Misi dan tujuan mempengaruhi kepemimpinan karena misi dan tujuan merupa-kan arah, fungsi, dan kualitas tujuan yang ingin dicapai. Kepala sekolah sebagai pemimpin penyelenggaraan dan pengembangan Kopsis serta upaya membelajarkan dan membina perilaku siswa dalam berkoperasi perlu memhami misi dan tujuan penyelenggaraan pengembangan Kopsis di sekolah. Struktur. Jones (1995:12) mendefinisikan struktur organisasi sebagai sistem formal dari hubungan aturan-aturan dan tugas serta keterkaitan otoritas yang mengontrol tentang bagaimana orang-orang bekeijasama dan memanfaatkan sumberdaya untuk
mencapai
tujuan
organisasi.
Selanjutnya
pada
halaman
13
ia
mengidentifikasikan sifat-sifat struktur organisasi sebagai sistem formal yang: 1) mengontrol pemanfaatan sumber daya organisasi; 2) mengontrol motivasi, perilaku, dan organisasi; 3) merespon terhadap lingkungan dan SDM, 4) menggambarkan pertumbuhan organisasi dan differensiasi; dan 5) merupakan alat yang mengatur perubahan melalui proses desain organisasi. Struktur dasar penyelenggaraan dan pengembangan Kopsis serta upaya membelajarkan dan membina perilaku siswa dalam berkoperasi merupakan bagian dari keseluruhan struktur organisasi sekolah. Dimana penyelenggaraan Kopsis merupakan bagian kegiatan kesiswaan yang mengarah pada aspek pembelajaran dan pembinaan jiwa kewirausahaan para siswa.
45 Oleh karena itu (berdasarkan Buku Juklak Kopsis, 1991:48) secara struktural dalam organisasi sekolah bahwa pembelajaran dan pembina-an jiwa kewirausahaan siswa merupakan bagian wewenang dan tanggung jawab kepala sekolah yang pengelolaan dan pengembangannya didelegasikan kepada wakil kepala sekolah bagian kesiswaan. Sedangan operasional penyelenggaraan dan pembinaan Kopsis serta pembelajaran dan pembinaan siswa dalam berkoperasi dilakukan oleh para guru yang dipandang cakap yang ditunjuk oleh kepala sekolah sebagai tim pembina. Dalam praktiknya tim pembina mengkoordinir para siswa agar membentuk kepengurusan Kopsis. Dalam upaya efektivitas pembelajaran dan pembinaan serta peningkatan partisipasi siswa dalam berkoperasi tim ini dapat bekeijasama dengan para guru (khususnya guru ekonomi) dan wali kelas. Kultur. Kao (1991b:227) mengemukakan bahwa kultur (budaya) organisasi adalah bentuk asumsi yang membuat anggota bekerja dengan cukup baik dan benar, mengajari anggota bagaimana cara merasakan, memikirkan, dan menaruh perhatian terhadap berbagai masalah. Berdasarkan pendapat ini maka dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi adalah nilai-nilai yang dimiliki kelompok untuk dipatuhi. Nilainilai yang dikembangkan di sekolah (lanjutan atas) berkarakteristik: a) berdisiplin waktu yang tinggi, b) melaksanakan pekeijaan dengan mutu yang terstandar (tidak asal jadi), c) melaksanakan admisnistrasi secara efisien, d) penampilan sekolah yang bersih, rapih, indah dan menarik, e) setiap siswa harus bangga dengan sekolahnya, dan setiap guru bangga dengan profesinya sebagai guru di sekolah yang bersangkutan. Prinsip yang dikembangkan untuk ini adalah in garso sung tulodo. Siswa tidak mungkin berdisiplin, kalau gurunya tidak bersdisiplin, dan guru tidak akan berdisiplin kalau kepala sekolahnya tidak berdisplin (Depdikbud, 1994a: 13-14)
46 Peran-peran. Kepala sekolah sebagai pimpinan organisasi formal mempunyai peran-peran: interpersonal, informasional dan pembuatan keputusan (Handoko, 1994: 33; Stoner, 1995:13, dan Robbins, 1996:7-8). Peran interpersonal menghendaki kepala sekolah sebagai pimpinan memerankan tugas-tugas penghubung hubungan sosial antar individu di dalam dan di luar organisasinya. Dalam penyelenggaran dan pengembangan Kopsis kepala sekolah harus memainkan peran menjaga bagaimana hubungan sosial antar individu yang terkait dengan penyelenggaraan dan pengembang-an Kopsis serta upaya pembelajaran dan pembinaan perilaku siswa dalam berkoperasi bisa termotivasi berkeijasama secara baik sehingga mampu mencapai tujuan dan fungsinya-nya. Selain itu kepala sekolah memiliki peran penghubung antara para pembina Kopsis dan siswanya mampu mengadakan keija sama dengan lembaga lain sehingga bisa mengembangkan Kopsisnya. Peran informasional menuntut kepala sekolah mencari, menerima dan mengumpulkan informasi dari luar. Selanjutnya ia memiliki peran untuk menyebarkan informasi yang diperoleh kepada semua yang terkait dengan penyeleng-garaan dan pengembangan Kopsis serta upaya membelajarkan dan membina perilaku siswa dalam berkoperasi. Sedangkan peran pembuat keputusan menghendaki kepala sekolah mampu menghambil keputusan alternatif terbaik terhadap berbagai persoalan yang dihadapi dalam meyelenggarakan dan mengembangkan Kopsis serta upaya membelajar-kan dan membina perilaku siswa dalam berkoperasi demi tercapainya tujuan Kopsis. Kebijakan-kebijakan. Kebijakan merupakan ketentuan-ketentuan yang harus dijadikan pedoman demi tercapainya kelancaran dan keterpaduan dalam pencapaian tujuan. (Usman, 1996:57). Agar tercapai tujuan dan fungsi penyelenggaran serta
47 pengembangan Kopsis, kepala sekolah perlu mebuat berbagai kebijakan demi tercapai-nya kelancaran dan keterpaduan dalam pencapaian tujuan. Yakni berupa kebijakan-kebijakan yang memungkinkan semua individu di sekolah termotivasi dan mau berpartL-sipasi mendukung tercapainya tujuan dan fungsi penyelenggaraan dan pengembangan Kopsis di sekolah serta upaya pembelajaran dan pembinaan perilaku siswa dalam berkoperasi. Sitem Pengembangan SDM. Kualitas SDM merupakan faktor penentu terhadap kelancaran peijalan dan kemajuan organisasi. Oleh karena itu agar organisasi Kopsis dapat berjalan lancar dan mampu mencapai tujuan yang diharapkan, pimpinan organisasi perlu berupaya mengembangkan, membina, memberikan kesempatan berlatih dan meningkatkan mutu semua SDM dalam organisasi. Pembinaan SDM ini mencakup pembina, pengurus, pengawas dan anggota baik dilaksanakan sendiri maupun mengirimkan pelatihan ke luar (Dubell, 1985:60) Sistem Komunikasi. Kao (1991b:18) mengemukakan bahwa komunikasi harus dilakukan secara vertikal dan horisontal. Selain itu, Kao (1991b: 25) juga menyatakan bahwa komunikasi harus dilakukan secara formal dan informal, dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas. Komunikasi sangat penting agar anggota dapat memperoleh berbagai informasi.
Sehubungan dengan itu Kao (1991b:199)
menyatakan bahwa karyawan tidak hanya membutuhkan apa yang diinginkan, tetapi juga mengapa dan bagaimana mewujudkan keinginan tersebut. Selanjutnya Kao (199Ib: 276) menjelaskan ide dapat datang dari berbagai sumber di dalam organisasi, jadi kita harus memelihara suasana yang penuh dengan keterbukaan.
48 Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa sistem komunikasi harus bersifat terbuka, secara vertikal dan horisontal, dari atas dan dari bawah. Ini berarti bahwa kepala sekolah dalam meyelenggarakan dan mengembangkan Kopsis serta upaya membelajarkan dan mebina perilaku siswa dalam berkoperasi perlu melakukan komunikasi dengan pengikutnya secara terbuka. Komunikasi dilakukan secara dialogis dan informasi dapat berasal dari kepala & wakil kepala sekolah, pembina Kopsis, guru dan siswa. Pemanfaatan sumber daya pendidikan yang terbatas. Sumber daya pendidikan adalah pendukung dan penunjang pelaksanaan pendi-dikan yang terwujud sebagai tenaga, dana, sarana dan prasarana yang tersedia atau diadakan dan didayagunakan keluarga, masyarakat, peserta didik, dan pemerintah, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama (UUSPN RI Nomor 2 tahun 1989, Bab I pasal 1) Sebagai pemimpin, kepala sekolah harus mampu mengelola dan mendayagunakan fasilitas yang dimiliki seefektif dan seefisien mungkin untuk mencapai tujuan pendidikan. Dalam meyelenggarakan dan mengembangkan Kopsis serta membelajarkan dan membina perilaku siswa dalam berkoperasi, kepala sekolah harus mampu mendayagunakan semua potensi sumberdaya yang mungkin dapat digali dan dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin. Ia tidak boleh menyianyiakan semua potensi yang dimiliki. Ia harus peka membaca potensi yang dimiliki dan bagaimana memanfaatkannya. Dengan cara demikian pencapaian kemajuan dan pengebangan Kopsis serta tujuan pembelajaran dan pembinaan perilaku siswa dalam berkoperasi dapat dicapai semaksimal mungkin. d. Lingkungan.
49 Interaksi, kepekaan dan kemampuan pimpinan membaca lingkungannya sangat penting, khususnya terhadap potensi lingkungan yang memiliki pengaruh dan tantangan bagi kemajuan dan perkembangan organisasinya. Kepala sekolah dalam memimpin penyelenggaraan dan pengembangan Kopsis serta upaya membelajarkan dan membina perilaku siswa dalam berkoperasi harus mengetahui lembaga-lembaga mana yang terkait dan seharusnya ikut bertanggung jawab mengembangkan Kopsisnya, lembaga-lembaga mana yang dapat diajak bekerja sama dan membantu memajukan Kopsis serta potensi-potensi apa yang ada di lingkungannya yang dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan Kopsis seperti seksi Binmudora, Kodya/ Kabupaten setempat, Kandep Depkop, KPN dan perusahaan-perusahaan penyalur alat-alat sekolah.
2. Pengikut (Pembina Kopsis dan Para Guru -khususnya guru ekonomi) Selain perilaku kepala sekolah, partisipasi pembina Kopsis dan para guru dalam menyelenggarakan dan memajukan Kopsis ikut menentukan keberhasilan Kopsis. Pembina Kopsis adalah orang yang ditugasi melakukan pembinaan Kopsis yaitu membimbing dan mengawasi terhadap jalannya kegiatan Kopsis. Pada tingkat Sekolah Lanjutan Atas yang dimaksudkan pembina Kopsis adalah guru bidang studi ekonomi/pengelolaan usaha dan atau guru lain yang ditunjuk serta memiliki pengetahuan perko-perasiaan sebagai Guru Pembina OSIS yang mendampingi pengembangan kewirausahaan/perkoperasiaan para
siswa (Ditjen Dikdasmen,
1991:3-4). Berdasarkan pengertian ini pembina Kopsis pada dasarnya adalah guru
50 atau tenaga pendidik yang ditugasi melakukan pembinaan perilaku siswa dalam berkoperasi/berwirausaha. Guru/tenaga pendidik memiliki tugas menyelenggarakan kegiatan mengajar, melatih, meneliti, mengembangkan, mengelola dan atau memberikan pelayanan teknis dalam bidang pendidikan. (UUSPN RI No.2 tahun 1989 BAB I pasal 1) Dalam kaitan
ini pembina Kopsis adalah tenaga pendidik yang bertugas
untuk
membelajarkan, melatih, meneliti, mengembangkan, mengelola dan atau memberikan pelayanan teknis berkoperasi bagi para siswa yakni bagaimana seharusnya ia menyelenggarakan
dan
mengembangkan
Kopsis
serta
bagaimana
upaya
membelajarkan dan membina para siswa dalam berkoperasi/berpartisipasi dalam Kopsis. Sejalan dengan fungsi penyelenggaraan Kopsis adalah sebagai lab ekonomi dan organisasi ekonomi siswa, maka guru ekonomi berarti memiliki tugas tidak hanya membelajarkan, melatih, meneliti, mengembangkan, mengelola proses pembelajaran teoritis ekonomi di dalam kelas tetapai juga harus melatih dan membina para siswa memanfaatkan Kopsis sebagai media belajarnya. Berdasarkan pengertian tersebut, tugas dan tanggung jawab pembina Kopsis dan guru ekonomi tersebut mengandung makna bahwa dalam menempatkan fungsi dan mencapai tujuan penyelenggaraan dan pengembangan Kopsis mereka perlu saling bekeija sama dan saling berkoordinasi, terutama dari segi penyusunan program kegiatan dan arah pembelajaran serta pembinaan dan pemanfaatan Kopsis sebagai media. Dengan kata lain bahwa pembelajaran dan pembinaan perilaku siswa dalam berkoperasi di dalam kelas dan luar kelas perlu dilakukan secara terpadu. Agar pembelajaran dan pembinaan siswa dalam berkoperasi dapat mencapai hasil yang maksimal, para pembina Kopsis dan guru ekonomi perlu mencari dan memilih model
51 dan metode pembelajaran dan pembinaan yang sesuai dengan tingkat kebutuhan, kemampuan, dan karakteristik individu atau kelompok individu siswa (Glickman, 1981:40;Gagne and Briggs, 1977; 1979; Gagne, Briggs & Wager, 1988). 3. Situasi Situasi mengandung pengertian suasana lingkungan baik internal dan ekternal yang mendukung atau menghambat terhadap jalannya organisasi, termasuk di dalamnya tingkat partisipasi warga dalam organisasi, lembaga terkait, sarana dan prasarana yang tersedia. Tingkat kemanfaatan situasi yang ada sangat tergantung dari performansi pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya.
C. PARTISIPASI, MANFAAT AN PER KEMBANGAN KOPERASI Suatu hal yang perlu diingat oleh pembina Kopsis dan guru ekonomi (koperasi) sebelum menentukan metode pembinaan, adalah partisipasi anggota dalam koperasi akan muncul apabila anggota koperasi merasakan adanya manfaat yang diterima dengan menjadi anggota lebih besar dibandingkan apabila tidak menjadi anggota koperasi. Manfaat yang diterima tersebut akan muncul apabila ada kesesuaian antara "apa yang diharapakan anggota dari koperasi" dengan "apa yang diharapakan oleh koperasi dari anggota." (Subyantoro, 1993: 8-9). Sehubungan dengan itu Ropke (1989: 106) mengemukakan saling ketergantungan tersebut dari segi kesesuaian antara anggota (penerima manfaat), manajemen koperasi dan program sebagaimana nampak dalam gambar 3. Partisipasi anggota dalam pelayanan yang diberikan oleh koperasi akan teijadi apabila terdapat kesesuaian antara anggota, program dan pengelolaan koperasi yang ada. Kesesuaian yang dimaksud adalah: (1) kesesuaian antara pelayanan yang dibutuhkan oleh
52 anggota dan output pelayanan dari program; (2) kesesuaian antara tugas-tugas program dan kemampuan manageraen koperasi; (3) kesesuaian antara apa yang diminta oleh anggota dengan yang diberikan oleh koperasi (manajemen koperasi). Sedangkan alat yang digunakan oleh anggota untuk berpartisipasi adalah hak suara, pilih dan keluar.
IROGRAM OUTPUT
/
TASK
/ OEFFECITVENESS T
PARTICIPATIOIN
NEEDS.
3EMANDS
DEC1SION
HEMBER
ABHJTY managemen
oy
COOPERATTVE
toh^E^—* VOTE
MEANSOF PARTICIPATION
Gambar 3: The Fit Model ofParticipation Sumber : Jochen Ropke (1989). The Economic Theory of Cooperatives, Marburg. Wirasasmita (dalam Subyantoro, 1993 :9) juga menunjukkan saling ketergantungan tersebut dengan memakai koperasi pemasaran sebagai model (gambar 4). Pada koperasi pemasaran yang diminta anggota dari koperasi adalah fasilitas pemasaran, harga yang layak dan stabil, kestersediaan koperasi untuk membeli, sistem pembayaran yang dapat diterima anggota, kredit lunak, bimbingan manajerial & skill, dan lain-lain. Sedang persyaratan dari fihak koperasi yang dimintakan kepada anggota ialah jenis barang yang dihasilkan sesuai dengan permintaan pasar, persyaratan kualitas terpenuhi, pesediaan barang yang cukup, biaya produksi yang efisien, homoginitas usaha, konsentrasi lokasi, dapat melaksanakan fungsi anggota sebagai pemilik dan pelanggan.
53
Anggota
Koperasi Yang dimintakan koperasi dari anggota • Jenis barang yang dihasilkan sesuai dengan permintaan pasar • persyaratan kualitas terpenuhi • persediaan barang yang cukup I* homogtnitas usaha f» konsentrasi lokasi
Yang dimintakan anggota dari koperasi * fasilitas pemasaran •
harga yang layak dan stabil
•
ketersediaan koperasi untuk membeli kredit lunak
•
• bimbingan (managerial &
sM)
•
> dapat melaksanakan fungsi anggota sebagai pemilik dan pelanggan
sistem pembayaran yang dapat diterima anggota dan lain-lain manfaat langsung SHU
. efisiensi koperasi t manfaat koperasi/ valueadded
.t.
cadangan, gaji dan lain-lain
Gambar 4: Saling Ketergantungan Anggota dan Koperasi Keterkaitannya dengan Taraf Partsipasi Sumber : Arief Subyantoro, 1993. Pengaruh Faktor-faktor Perilaku Terhadap efektivitas Partsipasi Anaeota KUD dan Non KUD di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pemenuhan pesyaratan oleh masing-masing fihak merupakan prasyarat atau pendorong terciptanya efisiensi koperasi, karena antara lain: terciptanya skala ekonomis, peningkatan bargaining position, kenaikan produktivitas dengan spesialisasi, penghematan biaya transaksi dan sebagainya. Pada gilirannya efisiensi koperasi akan menghasilkan manfaat koperasi baik yang bersifat langsung maupun tak langsung bagi anggota. Manfaat koperasi bagi anggota misalnya harga penjualan yang layak dan SHU Bagi koperasi SHU untuk cadangan dan upah/gajj, Uraian tersebut sangat penting untuk difahami masalah artinya perlu ada kesesuaian "yang dimintakan anggota dari kope dimintakan koperasi dari anggota" agar dapat menghasilkan "efektivitas partisipasi •£> se-
anggota". Uraian ini juga memberikan isyarat bahwa tugas guru dan pe&bina Kopsis
54 adalah membina perilaku anggota dan pengurus Kopsis agar keduanya berperilaku sesuai dengan yang diharapkannya. Kesesuaian antara keduanya akan meningkatkan efektivitas partisipasi anggota Kopsis. Pada saatnya efektivitas partisipasi anggota akan mempengaruhi: a) tingkat rasa manfaat anggota terhadap Kopsis, b) perkembangan Kopsis. Dalam hal ini pembina harus memilih dan menerapkan model pembelajaran yang efektif (baik perencanaan program maupun penerapannya) dalam membina perilaku siswa untuk meningkatakan efektivitas partisipasinya dalam Kopsis. Dengan istilah lain guru dan pembina harus merencanakan program-program pembinaan perilaku siswa yang akan diterapkan. Di mana dengan program-program yang telah dipersiapkan dengan baik dan diterapkan tersebut diharapkan dapat meningkatakan
efektivitas
partisipasi
siswa,
manfaat
yang
dirasakan
dan
perkembangan Kopsis. Efektivitas partisipasi anggota ditentukan oleh partisipasi anggota koperasi dalam kedudukannya sebagai pemilik (partisipasi kontribusi) dan sebagai pelanggan (partisipasi insentif). Tingkat efektivitas partisipasi anggota Kopsis ditentukan oleh tinggi rendahnya manfaat atau keuntungan yang diperoleh anggota Kopsis sejalan dengan partisipasinya (Subyantoro,1993: 8). Manfaat anggota Kopsis dapat berupa manfaat ekonomi dan non ekonomi (Senen d k k 1 9 9 2 : 18). Sehingga pengukuran manfaat Kopsis bagi anggota dapat dilihat dari tingkatan rasa puas anggota terhadap Kopsis atas imbalan yang terima baik secara ekonomi maupun non ekonomi. Hanel (1985:70) mengemukan bahwa partisipasi dapat dibedakan dalam dimensi partisipasi anggota sesuai dengan peran ganda yang ditandai dengan prinsip identitas, yaitu: a. Anggota
dalam
hubungannya
sebagai
pemilik-,
anggota
memberikan
kontribusinya terhadap pembentukan dan pertumbuhan koperasi dalam bentuk
55 kontribusi keuangan. Anggota mengambil bagian dalam bal penetapan tujuan, pembuatan keputusan dan dalam proses pengawasan tata kehidupan koperasi. Dalam hal ini anggota melakukan partisipasi kontribusi. b. Anggota dalam kedudukannya sebagai pelanggan/pemakai: anggota memanfaatkan berbagai potensi yang disediakan oleh koperasi dalam menunjang kepentingan-nya. Dalam hal ini anggota melakukan partisipasi insentif. Sedangkan dari segi tingkatannya, Freire (1972: 1-48) dan Alschuler (1980: 13) menggolongkan tingkatan partisipasi sesorang ke dalam 3 (tiga) tingkatan: a. The magical conforming stage: pada tingkatan ini orang memiliki perspektif bahwa sistuasi yang ada di lingkungannya dirasakan sebagai sesuatu yang sudah tidak bisa diubah dan sangat kecil sekali kemungkinnya untuk mampu mengubahnya. Ia lebih suka menyerah terhadap keadaan, merasa tak berdaya untuk berbuat, berjiwa fatalism, masa bodoh dan tak mau melakukan tindakan untuk berbuat sesuatu. b. Natve rejorming stage: pada tingkatan ini orang sudah timbul keinginan mencoba dan mencoba untuk memperbaiki keadaan. Ia memandang bahwa system lingkungan dapat diterima dan tanggung jawab perubahan adalah ada pada individu masing-masing. Ia merasa bahwa yang penting dirinya telah berbuat sesuai dengan system yang ada. c. The critical transforming stage: individu mulai menganalisa budaya dan struktur sosial atau system yang ada secara kritis dan berpartisipasi secara aktif untuk melakukan rekonstruksi terhadap system yang ada atau melakukan tindakantindakan pemecahan masalah yang dihadapi secara bersama-sama.
56 Dengan memperhatikan pendapat Hanel, Freire dan Alschuler, untuk melihat seberapa tingkat efektivitas partisipasi siswa dalam Kopsis diukur dengan indikator para siswa sebagai anggota Kopsis yang berfungsi ganda, yaitu sebagai pemilik dan pelanggan, dan tingkatan keterlibatan dirinya baik fisik, perasaan dan pemikiran dalam koperasi maupun pemanfaatan insentif yang diberikan oleh koperasi. Tumbuhnya efektivitas partisipasi siswa dalam Kopsis sampai pada taraf critical transforming, sangat penting artinya bagi peningkatan manfaat Kopsis yang dapat dirasakan oleh para siswa dan perkembangan Kopsis. Perkembangan dan manfaat Kopsis bagi siswa pada gilirannya akan meningkatkan taraf partisipasi siswa berko-perasi. Ini berarti bahwa kesesuaian antara harapan anggota (siswa) dengan pelayanan Kopsis, rasa manfaat Kopsis bagi siswa, perkembangan Kopsis dan taraf partisipasi siswa akan merupakan sesuatu yang saling kait mengkait. Dengan kata lain apabila salah satu di antara keempat unsur tersebut tidak terpenuhi akan menurunkan taraf perkembangan unsur lain. Ini berarti Kopsis sebagai organisasi akan selalu berubah. Child and Kieser (1981:28) mengemukakan bahwa ada dua faktor yang mempengaruhi perubahan organisasi, faktor external dan faktor internal organisasi. Ia menjelaskan faktor-faktor yang termasuk external adalah seperti kompetisi, inovasi, tuntutan masyarakat, dan kebijaksanaan pemerintah menuntut adanya strategi-strategi baru, berbagai metode kerja, dan hasil-hasil yang direncanakan untuk mepertahankan kehidupannya. Sedangkan yang termasuk faktor internal adalah berbagai kegiatan seperti strategi-strategi baru, inovasi, metode-metode baru, yang diusahakan dan dilakukan oleh pimpinan dan anggotanya adalah dalam rangka tidak hanya untuk mempertahankan hidupnya tetapi juga agar tumbuh, meningkatkan
57 keuntungan dan kepuasannya. Bennis (1969:2) menyatakan perkembangan organisasi merupakan respon perubahan, suatu strategi yang komplek yang dimaksudkan untuk mengubah keyakinan, sikap, nilai dan struktur organisasi, sehingga mereka lebih mampu beradaptasi terhadap teknologi-teknologi baru, tantangan dan juga sebagai usaha untuk me-ngembangkan organisasi itu sendiri. Dengan istlah lain bahwa semua aktivitas yang diusahakan dan dilakukan oleh personel organisasi (pimpinan dan anggota) adalah dalam rangka menggerakkan semua daya yang ada untuk menghidupkan, mempeMahankan, mengelola dan mengembangkan organisasinya ke taraf yang lebih maju. Kedua pendapat tersebut menggambarkan bahwa organisasi bersifat dinamis. Sebagai
konsekwensinya,
organisasi akan selalu tumbuh dan berkembang.
Pertumbuh-an dan perkembangan tersebut tergantung pada aspek manusia yang ada dalam organisasi yang dimaksud (Sutisna, 1987: 4). Heire (1959), dan Mooney dan Reiley (1931) yang dikutip oleh Child and Kieser, (1981: 46) mengemukakan bahwa perkem-bangan organisasi beranalog dengan kehidupan organism, yakni bahwa organisasi akan berkembang seperti siklus kehidupan (tife cycle): kelahiran, pertumbuhan, kematangan, penurunan dan mati. Berbeda dengan Scott (dalam Child and Kieser, 1981: 49). Ia menerangkan bahwa organisasi perusahaan berkembang dari tahap 1 - perusahan yang kecil yang dikelola sendiri oleh pemiliknya, berkembang ke tahap 2 - perusahan ini belum mengalami diversifikasi, namun telah dikelola oleh manajer-manajer profesional, berkembang ke tahap 3 - mereka telah memiliki
cabang-cabang
usaha,
pembagian
struktur,diversifikasi
produksi,
berkembang ke tahap 4 - dengan begitu kompleksnya struktur, usaha dan produksi organisasi ini telah go internasional.
58 Hanafiah, dkk. (1994: 9) menerangkan fase-fase perkembangan organisasi yang hampir sama dengan yang dikemukakan oleh Reiley dan Heire. Mereka mengemukan siklus kehidupan organisasi pada umumnya berkembang melalui empat fase: 1) fase pembentukan, 2) fase pertumbuhan, 3) fase pematangan, dan 4) fase pemantapan. Menurutnya keempat fase ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut, fase pembentukan, organisasi perlu: a) memiliki basis pelanggan yang jelas, b) selalu responsif terhadap perkembangan dan tuntutan lingkungan, dan mengembangkan kewirausahaan. Fase pertumbuhan, organisasi diharapkan: a) memiliki kekuatan untuk bertahan dan berkembang, b) mempunyai sistem manajemen yang baik, dan berorientasi pada kepentingan pelanggan. Pada fase pematangan (kedewasaan) adalah fase menemukan jati diri, dan juga merupakan fase kedewasaan. Dalam kondisi seperti ini suatu organi-sasi hanya sekedar bereaksi terhadap peristiwaperistiwa external. Hal ini berarti bahwa organisasi secara umum akan berhenti berinovasi, dan akan beroperasi sebagaimana adanya saja. Pada fase pematangan ini dapat terus berkembang jika a) pengelolaan mutu total diadaptasi, dan berorientasi pada upaya yang ditujukan terhadap pelanggan, b) mempertahankan dinamika dan jiwa kewirausahaan, c) selalu menguji ulang kegiatan secara pereodik, d) selalu mengevaluasi kegiatan-kegiatan yang dilakukan, dan e) revitalisasi merupakan kegiatan yang dilakukan secara sadar.
Sedangkan fase peman-tapan dapat
berkembang menuju dua arah a) pertumbuhan kembali atau revitalisasi dan b) penurunan yang akhirnya akan menuju ke suatu kehancuran. Koperasi sebagai suatu organisasi juga bertahap perkembangnannya. Widodo (1996: 35-42) mengemukakan taraf perkembangan koperasi menjadi dua: koperasi yang belum maju dan telah maju. Koperasi yang belum maju ditandai dengan tugas
59 pengurus koperasi yang masih bersifat rangkap, yaitu mengelola organisasi dan sekali-gus mengelola usaha koperasi. Sedangkan koperasi yang telah maju ditandai dengan tugas pengurus koperasi yang bersifat tunggal yaitu hanya mengelola organisasi. Menurut Depkop (1985:13) perkembangan koperasi dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan: koperasi belum mantap, koperasi mantap, dan koperasi sangat mantap. Koperasi dikatakan: 1) koperasi belum mantap, jika berdasarkan hasil penilaian, koperasi memiliki nilai 30 sampai 59; 2) koperasi mantap, jika berdasarkan hasil penilaian memiliki nilai 60 sampai dengan 89; dan 3) koperasi sangat mantap, jika berdasarkan hasil penilaian memiliki nilai 90 sampai 100. Berdasarkan pendapat-pendapat para ahli tersebut berarti bahwa organisasi baik organisasi pada umumnya maupun organisasi lembaga usaha seperti koperasi bersifat dinamis, selalu megalami perubahan. Perubahan itu bisa merosot dan bisa berkembang, tergantung pada kondisi internal dalam organisasi yaitu kemauan individu-individu dalam organisasi untuk berinovasi mencari metode dan strategi baru dalam mengembangkan diri dan kemampuan merespon faktor ekternal seperti kompe-tisi, inovasi dan tuntutan masyarakat serta kebijakan-kebijakan pemerintah yang menuntut adanya pencarian metode dan strategi kerja baru serta perencanaan hasil-hasilnya untuk mempertahankan kehidupannya. Faktor internal dan ekternal inilah yang menyebabkan organisasi mengalami perubahan dari taraf pembentukan, berkembang ke taraf konsolidasi dan pengembangan (pematangan dan pemantapan). Dikatakan masih pada 1) taraf pembentukan apabila organisasi itu memiliki basis pelanggan yang tetap, berupaya responsif terhadap perkembangan dan tuntutan lingkungan dan berupaya mengembangkan kewirausahaan, struktur organisasi pelaksana dan pengontrol masih cenderung tunggal; 2) taraf konsolidasi apabila telah
60 memiliki kekuatan untuk bertahan dan berkembang, memiliki manajemen yang baik, diversifikasi usaha dan produk serta struktur keija, dan berorientasi pada kepentingan pelanggan; dan 3) taraf pengembangan atau pematangan dan pemantapan apabila telah selalu beradaptasi kepada pengelolaan mutu total (diversifikasi usaha, produk, struktur yang kompleks namun jelas kerangka kerjanya), berorientasi pada kepentingan
pelanggan,
mempertahankan
dinamika
kewirausahannya,
selalu
mengkaji ulang kegiatan yang telah dilakukan, dan secara sadar selalu mengadakan revitalisasi. Kopsis juga merupakan suatu organisasi, namun memiliki struktur yang agak berbeda, dimana faktor penentu perubahan/perkembangan bukan hanya faktor internal (SDM dalam organisasi) berkemauan dan mampu merespon faktor external, tetapi juga faktor external pembina yaitu kemampuan dan komitmen pembina dalam membina para siswa dalam berkoperasi. Apabila faktor-faktor ini bereaksi secara positif maka Kopsis juga mengalami dinamika perubahan atau perkembangan dari taraf pembentukan, ke taraf konsolidasi (pertumbuhan),
dan pengembangan
(pematangan dan pemantapan). Sejalan dengan keunikan faktor yang mempengaruhi perkembangan Kopsis, Depkop (1987/ 1988: 9-11) menggolongkan dan mencirikan tahap perkembangan Kopsis menjadi tahap pertama sebagai tahap pembentukan. Cirinya adalah kepengurusan organisasi dan sistem pelaksanaan kepengurusan Kopsis masih cenderung bersifat tunggal serta belum mampu menjalankan secara penuh kegiatan usaha Kopsis, mereka masih harus didampingi secara penuh oleh para pembina dan guru yang ditugasi untuk itu, kemampuan dan ketrampilan sumber daya manusianya dalam berkoperasi sangat terbatas sehingga pembinaan dengan cara petunjuk-petunjuk langsung sangat diperlu-kan, kegiatan usaha secara keseluruhan
61 belum mampu melayani kebutuhan permintaan anggota, sistem adminstrasi masih sangat sederhana dan para siswa berpartisipasi dalam Kopsis karena diharuskan oleh sekolah. Tahap kedua sebagai tahap konsolidasi. Ciri-cirinya adalah sistem organisasi, kelembagaan usaha dan manajemen usaha sudah merupakan kesatuan kelengkapan organisasi Kopsis, dengan didampingi seperlunya oleh para guru pembina mereka telah dapat menjalankan kegiatan usaha secara keseluruhan, sumber daya manusianya telah memiliki dasar-dasar ketrampilan berkope-rasi dan managerial administrasi yang cukup sehingga pembinaan dapat dilakukan secara kolaboratif, telah ada peningkatan diversifikasi usaha sesuai dengan kebutuhan anggota, telah ada perkembangan modal usaha secara berarti, adminstrasi usaha telah berjalan dengan baik dan tinggal penyempurnaan, serta partisipasi para siswa berkope-rasi telah merupakan kesadaran tetapi belum tumbuh semangat yang kuat untuk melakukan inovasi-inovasi dalam mengembangkan dan memajukan Kopsis. Tahap Ketiga sebagai tahap pengembangan. Ciri-cirinya adalah meningkatnya tugas dan fungsi kepengurusan serta pelaksana dalam melaksanakan manajemen dan kegiatan pengawasan, tenaga terampil dan pengurus telah mampu melaksanakan pengelolaan secara professional sehingga pembina telah bisa melakukan pembinaan secara delegatif atau secara eklektif, kegiatan usaha Kopsis telah dapat berjalan lancar, permodalan telah dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien, adminstrasi usaha dan keuangan telah dilaksnakan secara memadai sehingga mampu menunjang kelancaran usaha, dan partisipasi para siswa telah tumbuh keinginan secara kuat untuk mengadakan strategi-strategi baru untuk mengembangkan dan memajukan Kopsis.
62 Berdasarkan pendapat-pendapat para ahli tentang perkembangan organisasi dan keunikan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan Kopsis tersebut maka perkembangan Kopsis dapat digolongkan mejadi tiga tahapan perkembangan dengan ciri-ciri sebagamana pada tabel 2. Peningkatan taraf partisipasi siswa sampai pada taraf magical transforming stage, peran guru dan pembina Kopsis sangat penting. Tugas mereka adalah membelajarkan dan membina perilaku (partisipasi) siswa ke arah terjadinya kesesuaian harapan anggota dan pengurus koperasi dalam saling memberi dan menerima. TABEL 2 TAHAP-TAHAP DAN CIRI-CIRI PERKEMBANGAN KOPSIS TAHAP. PERKEM.
PERTAMA:
KEDUA:
PEMBENTUKAN
PERTUMBUHAN/ KONSOLIDASI
a s p e k " \
Sistem adminstrasi Sistem Kepengurusan /perlengkapan Or-ganisasi. Kopsis dan Pengelolaan
masih sangat sederhana Masih sederhana dan belum mampu mengelola kegiatan usaha Kopsis secara penuh. Pelaksanaan pengelolaan masih sepenuhnya tergantung pada petunjuk pembina. Kewirausahaan baru mulai ditumbuhkan. Berupaya responsif terhadap perkembangan tuntutan lingkungan. Struktur organisasi pelaksana dan pengawas masih cenderung tunggal. Memiliki basis anggota yang tetap
telah berjalan dengan baik dan tinggal penyempurnaan, Sudah merupakan kelengkapan organisasi Kopsis. Telah ada diversifikasi tugas dan fungsi kepengurusan serta pelaksana dalam melaksanakan manajemen dan kegiatan pengawasan. Dengan bimbingan pembina mereka telah mampu mengelola kegiatan usaha Kopsis walaupun masih perlu penyempurnaan. Mengkaji ulang kegiatan secara periodik. Mengadaptasikan terhadap perubahan, telah memiliki kekuatan untuk bertahan dan berkembang, diversifikasi usaha dan produk serta struktur kaja, dan berorientasi pada kepentingan pelanggan (anggota)
Kemampuan sumber daya manusia
masih terbatas
Cara ponbinaan Pelayanan anggota/kegiatan
masih dilakukan secara direktif kegiatan usaha masih terbatas, belum
telah memiliki dasar-dasar ketrampilan berkoperasi dan managerial administrasi yang cukup telah dapat dilakukan secara colaboratif telah ada peningkatan diversifikasi usaha sesuai dengan
KETIGA: PENGEMBANGAN (PEMATANGAN DAN PEMANTAPAN telah berjalan baik dan lengkap Telah merupakan kelengkapan organisai. Diversifikasi tugas dan fungsi kepengurusan serta pelaksana dalam melaksanakan manajemen dan kegiatan pengawasan semakin meningkat dan sepenuhnya mereka telah mampu mengelola kegiatan usaha Kopsis. Pembina tinggal melakukan pembinaan seperlunya. Mengkaji ulang kegiatan secara periodik, selalu meng-evaluasi kegiatan yang telah dilakukan, dan mempertahankan dinamika dan jiwa kewirausahaan. Telah selalu beradaptasi kepada pengelolaan mutu total (diversifikasi usaha, produk, struktur yang kompleks namun jelas kerangka kerjanya), berorientasi pada kepentingan pelanggan, dan secara sadar selalu mengadakan revitalisasi tenaga terampil dan pengurus telah mampu melaksanakan pengelolaan secara professional telah dapat dilakukan secara delegatifatau eklektif telah ada diversifikasi usaha yang luas dan dapat berjalan lancar serta
TABEL usaha Perkembangan modal
Tingkat Partisipasi
mampu melayani semua kebutuhan pokok anggota masih relatif statis
63
2 (Lanjutan)
kebutuhan pokok anggota
tidak hanya dapat memenuhi kebutuhan anggota
permodalan telah dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien, adminstrasi usaha dan keuangan telah dilaksnakan secara memadai sehingga mampu menuryang kelancaran usaha partisipasi karena partisipasi secara sadar tapi partipasi secara sadar dan telah diharuskan tumbuh upaya mengadakan belum inovatif {naSve reforming (Afogical conform-stage) pembaruan dani perkembangan ingstage) dan kemajuan Kopsis telah ada perkembangan modal usaha secara berarti (baik dari dalam maupun dari luar)
Pembina dan Guru Koperasi
Gambar 5: Keterkaitan tentang kesesuaian antara harapan anggota dan koperasi, rasa manfaat koperasi, taraf partisipasi, dan perkembangan koperasi.
Kesesuaian antara keduanya akan menumbuhkan kesadaran bahwa Kopsis mempunyai arti baginya. Manfaat Kopsis yang dirasakan oleh para siswa akan menumbuhkan kemauan berpartisipasi dalam Kopsis. Dan pada gilirannya, semua ini akan meningkatkan taraf perkembangan Kopsis dan sebaliknya (Lihat gambar 5). D. TEORI PERILAKU Tugas pembina dan pendidik koperasi adalah membina perilaku siswa untuk meningkatkan efektivitas partisipasi siswa dalam Kopsis. Sebelum melakukan
64 pembina-an, pembina kiranya perlu terlebih dahulu mengetahui dari mana perilaku itu terjadi, apa unsur-unsurnya dan bagimana unsur-unsur itu terjadi perubahan. Pendek kata, pembina dan pendidik koperasi perlu mengetahui bagaimana proses psikologis yang mempengaruhi manusia. Secara sederhana R.Milton (1981:21) melukiskan proses psikologis tersebut sebagai berikut:
Environment-* Object Person Things
•Individual Perception Attitudes Values Motivation
•Behavior • Consequences Thinking Favorable or Dicision Unfevorable Evaluation Communication
Gambar 6: Proses psikologis hubungan antara lingkirngan individu, tingkah laku dan konsekuensi menurut Charles R. Milton.
Sedangkan Litterer (1980); Nimpuno (1989) mengemukakan bahwa studi tentang perilaku manusia dapat ditinjau dari empat aspek, yaitu: persepsi, kognisi, motivasi dan sikap. Keempat unsur perilaku itu saling berpengaruh seperti pada gambar 7
Cognition Social stimulus
perc ption
Attitudes
^Social behavior
Motivation Gambar 7: Keterkaitan antara unsur psikologis: persepsi, kognisi, sikap, motivasi dengan stimulus lingkungan dan tingkah laku.
Proses perilaku individu dipengaruhi oleh hasil belajar, persepsi, motivasi dan sikap (Kretch,dkk., 1982: 139:140; Baron, 1986: 97-175). Sedangkan Milton, 1981: 7) mengemukakan bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh persepsi, nilai dan
65 sikap, dan motivasi yang dimiliki. Ketiga pendapat tersebut mengisyaratkan bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh persepsi, kognisi, nilai dan sikap, dan motivasi yang ada pada dirinya. Bila persepsi, kognisi, motivasi dan sikap individu berubah, ia akan berubah perilakunya. Perubahan persepsi, kognisi, motivasi dan sikap akan memberikan dampak perubahan partisipasi. Untuk mengubah perilaku sesorang, kita harus mencoba mengubah ide-ide yang mendasari apa yang sesorang lakukan (Cratty, 1985: 2). Hasil penelitian tentang perilaku individu dalam bidang koperasi menunjukkan bahwa partisipasi anggota koperasi dipengaruhi oleh pengalaman atau hasil belajar (kognisinya) (Syamsuri, 1986: 381, Senen dkk., 1992: 39; Subyantoro, 1993:189), persepsi, motivasi dan sikapnya terhadap koperasi (Subyantoro, 1993). Selain itu partisipasi anggota terjadi bila terdapat kesesuaian antara apa yang diharapkan anggota dari koperasi dengan apa yang diharapkan oleh koperasi dari anggota (Ropke,1989: 106-108; Subyantoro, 1993:11). Dengan kata lain tingkat kualitas pelayanan koperasi (yang diwujudkan dalam perilaku pengurus) terhadap anggota (siswa) akan mempengaruhi tingkat partisipasinya. Perila-ku pengurus koperasi ikut mewarnai manfaat yang dirasakan oleh anggota koperasi dan sekaligus mempengaruhi efektivitas partisipasi anggota (Subyantoro, 1993:189). Demi-kian pula sebaliknya bahwa tinggi rendahnya partisipasi anggota akan mempengaruhi tingkat manfaat yang diterima anggota (Subyantoro, 1993:17). Perilaku pengurus koperasi berhubungan dengan hasil belajar (kognisi), persepsi, motivasi, dan sikap yang dimiliki (Subyantoro, 1993: 189-190). Oleh karena itu untuk meningkatkan partisipasi siswa dalam Kopsis, para pembina dan guru koperasi perlu membina perilaku siswa (mencakup aspek persepsi, kognisi, motivasi dan sikapnya) dengan menggunakan model pembelajaran dan metode
66 pembinaan tertentu, baik perilaku siswa dalam kedudukannya sebagai anggota maupun sebagai pengurus Kopsis, baik di dalam kelas maupun di luar kelas, agar terjadi kesesuaian apa yang dimintakan anggota dari Kopsis dan apa yang dimintakan Kopsis dari anggota.
1. Persepsi Beberapa pengertian persepsi telah dikemukakan oleh para ahli. Persepsi merupakan suatu proses melalui yang mana kita secara aktif menyeleksi, mengorgani-sir, dan menginterpretasikan informasi yang dibawa oleh panca indera kita untuk memahami dunia yang kompleks di sekitar kita (Milton, 1981:22; Baron, 1986:106). Robbins (1996:132) memberikan pengertian persepsi sebagai suatu proses di sekitar yang mana individu mengorganisasikan dan menginterprestasikan kesankesan panca inderanya untuk memberikan makna lingkungannya. Subyantoro (1993:18) menyatakan bahwa persepsi pada hakekatnya merupakan proses kognitif yang dialami
oleh
setiap
orang di dalam
memahami
informasi
tentang
lingkungannya. Sama halnya dengan yang diutarakan oleh Mar'at (1981: 22) bahwa persepsi merupakan proses pengamatan seseorang yang berasal dari komponen kognisi. Inti dari pendapat-pendapat tersebut mengisyaratkan bahwa persepsi adalah suatu proses seleksi, mengorganisir dan memberikan makna oleh individu terhadap kesan-kesan yang ada di lingkungannya. Pemaknaan kesan akan mendasari pemikiran seseorang dalam bertindak. Makna yang diberikan seseorang terhadap suatu objek itu dapat diketahui dari perasaan, kesan dan pendapat terhadap objek yang bersangkutan
67 Persepsi memainkan peran kunci dalam perilaku manusia. Persepsi seseorang dapat menentukan prilakunya (Milton, 1981: 21; Stagner dan Solley, 1970:184). Persepsi yang dilalaikan secara sadar maupun tidak, akan memberikan dampak tertentu terhadap sikap dan perilaku orang (Willis, 1992: 50). Demikian juga pendapat Shertzer dan Stone (1980: 120) yang mengatakan: 'Terfonnance depends on how each person perceive, interprets, and acts on the obligations and rights of a position." Bagaimana manusia bertindak pada umumnya merupakan suatu fungsi bagaimana mereka
menginterpretasikan lingkungan
sekitarnya
yang
sedang
berlangsung, baik fisik maupun sosial (Baron, 1986: 106). Oleh karena itu perilaku siswa baik sebagai anggota maupun pengurus Kopsis akan dipengaruhi oleh persepsinya terhadap Kopsis. Dikaitkan dengan persepsi siswa tentang Kopsis diartikan dengan pemberian makna oleh siswa apakah dengan menjadi anggota /pengurus Kopsis itu ia merasakan ada manfaatnya. Individu dalam memberikan makna terhadap dunia sekitarnya sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Ada berbagai
faktor yang mempengaruhi
persepsi
sesorang
dalam
memberikan makna terhadap kesan yang diperoleh. Menurut Baron (1986: 108-109) bahwa persepsi bersifat selektif dan sangat dipengaruhi oleh faktor pribadi, yang mencakup: motif, sikap dan pengalaman masa lampau. Berbeda dengan Robbins (1996:132-134), dia mengemukakan tiga faktor yang mempengaruhi persepsi sesorang: perceiver, target dan situasi. Perciever adalah karakteristik pribadi individu yang memberikan persepsi. Ada beberapa karakteristik pribadi yang mempengaruhi persepsi: sikap, motif atau kebutuhan, minat, pengalaman masa lampau dan harapan. Target adalah sasaran atau harapan yang diinginkan oleh perceiver. Situasi adalah kondisi yang ada di sekitar lingkungan sesorang. Situasi merupakan faktor yang turut
68 berperan dalam pertumbuh-an persepsi sesorang. Persepsi sesorang akan dipengaruhi oleh elemen-elemen yang ada di sekitar individu yang bersangkutan. Berdasarkan perceiver,
target
dan
situasi
inilah
yang
mempengaruhi
individu
dalam
memperhatikan informasi, memperoleh kesan dan memaknai kesan-kesan yang diperoleh. Selain ketiga faktor tersebut, karakteristik informasi juga mempengaruhi perhatian dan kesan yang diperoleh indivdu (Baron, 1986:120). Menurut Baron ada lima karakteristik informasi yang mempengaruhi perhatian dan kesan sesorang. Pertama, individu akan lebih banyak menaruh perhatian pada karakteristik atau traits orang atau objek yang telah sedang berlangsung dari pada yang bersifat temporer semata. Kedua, informasi pertama tentang orang atau organisasi yang diperoleh individu memiliki dampak yang kuat pada kesan sesorang dari pada yang diterima kemudian. Ketiga, orang akan lebih memperhatikan informasi dan memperoleh kesan tentang orang dan organisasi yang kredibel dan reliabel dari pada informasi tentang orang dan organisasi yang kredibilitas dan reliabilitasnya diragukan. Keempat, orang akan lebih mudah tertarik dan terkesan pada informasi negatif tentang orang atau organisasi dari pada informasi positifnya. Dan kelima, orang akan lebih mudah tertarik dan terkesan pada informasi-informasi tindakan dan perilaku tentang organisasi dan orang yang ekstrem dari pada yang moderat. Atas dasar faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi siswa tentang lingkungannya tersebut, maka implementasinya dalam pembinaan persepsi siswa tentang Kopsis dapat dilakukan: a. Dari segi perceiver: pembina dapat memberikan berbagai informasi positif tentang: 1) tujuan, fungsi dan manfaat Kopsis, 2) kondisi koperasi, kegiatan koperasi yang sedang, telah dan akan dilakukan, 3) perkembangan dan hasil-hasil
69 yang telah dicapai oleh Kopsis, 4) berbagai persoalan dan tantangan yang perlu dipecahkan dalam mengembangkan koperasi, 5) program pelatihan yang memungkinkan para siswa dapat memilih program kegiatan yang diminati untuk mengembangkan dirinya, 6) berbagai alasan tentang mengapa sering Kopsis tidak mampu berkembang (untuk meninggalkan kesan negatif tentang koperasi yang diperoleh sebelumnya). Informasi positif tentang hal-hal tersebut akan memungkinkan siswa timbul persepsi positif terhadap Kopsisnya, terdorong untuk berpartisipasi dalam Kopsis dalam
rangka
memnuhi
minat,
harapan
dan
kebutuhan
peningkatan
kemampuannya. b. Dari segi target: pembina dapat memberikan penjelasan tentang tujuan dan fungsi koperasi serta gambaran nyata tentang berbagai keuntungan yang dapat diperoleh dan dapat dicapai dengan berpartisipasi aktif dalam koperasi. c. Dari segi situasi: pembina dapat memberikan gambaran tentang program-program yang telah, sedang dan akan dilakukan; kemjauan dan perkembangan Kopsis yang telah dicapai; pengorganisasian dan pengelolaan koperasi, keijasama antar sesama anggota pengurus, keijasama antara anggota dan pengurus; sistem pelayanan, pendidikan, pelatihan dan kaderisasi; dan pola pembinaan yang dilakukan. d. Dari segi karakteristik informasi yang mempengaruhi kesan: sejak awal pembina harus berusaha semaksimal mungkin memberikan kesan positif para siswa tentang situasi dan kondisi, tujuan dan fungsi Kopsis, informasi khas Kopsisnya yang menonjol atau dapat diandalkan yang selama ini telah dicapai dengan berhasil, informasi tentang kredibilitas dan releabilitas koperasi, menetralisir kesan negatif yang mungkin menimbulkan kesan negatif siswa terhadap Kopsis, menunjukkan
70 perilaku dan aktivitas orang atau perangkat organisasi koperasi yang telah menunjukkan pengabdiannya, dededikasinya dan prestasinya terhadap koperasi.
2. Kognisi Krech et. al. (1982:17) mengemukan: "Sons and things are shaped by the way they look to him - his cognitive world. The image, or 'map\ of the world of every person is an individual one. Pernyataan ini mengisyaratkan makna bahwa kognisi merupakan image atau peta individu tentang dunia. Dengan istilah lain bahwa kognisi merupakan gambaran atau pengetahuan yang ada dalam diri individu tentang dunia sekitarnya. Berdasarkan pengertian ini yang dimaksudkan kognisi siswa adalah pengetahuan siswa tentang Kopsis yaitu gambaran atau pengetahuan siswa tentang hakekat, tujuan, fungsi dan mekanisme kerja tentang Kopsis. Bloom (1956:28) mengartikan pengetahuan sebagai berikut: "By knowledge, we mean that student can give evidence that he remembers, either by recalling or by recognizing some idea or phenomenon with which he has had experience in the educational process. It may be helpful in this case to think knowledge as something filled or stored in the mind." Dalam pengertian ini seseorang dikatakan berpengetahuan apabila ia mampu mengemukakan bukti bahwa ia mengingat, baik dengan "rekal" maupun "rekognisi", beberapa ide atau fenomena dengan yang mana ia telah memiliki pengalaman sebagai hasil proses pendidikan. Dan apa yang diingat adalah apa yang merupakan sesuatu yang tersimpan di dalam otaknya. Pendek kata bahwa pengetahuan merupakan sesuatu yang terisimpan di dalam otaknya. Dengan demikian orang yang berkognisi tinggi adalah orang yang memiliki banyak pengetahuan yang tersimpan di dalam otaknya. Kognisi yang dimiliki akan mendasari sesorang dalam bertindak. Agar para siswa memiliki pengetahuan atau kognisi yang tinggi mereka perlu dibantu atau
71 dibina di dalam proses belajarnya. Bantuan siswa belajar akan lebih efektif apabila mereka yang membantu mengetahuai bagaimana peserta didik itu belajar. a. Menurut Aristoteles Aristoles memberikan pengertian proses belajar atas dasar pemikirannya tentang realita. Ia mendefinisikan realita sebagai "reality as the relationships found in nature and the physical environment, and learning occurs only through contanct with that environment." Menurutnya realita sebagai hubungan-hubungan atau asosiasi yang ditemukan di dalam alam dan lingkungan fisik dan belajar hanya tetjadi melalui kontak dengan lingkungan. Selain itu bahwa pengetahuan pada mulanya diperoleh dengan membentuk kesan-kesan pengalaman panca indera. Aplikasinya dalam usaha peningkatan kognisi siswa, pembina dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk melihat, mengadakan kontak langsung atau berpraktik langsung dalam kehidupan Kopsis di sekolahnya. Mereka diajak mengamati, meneliti atau menganalisa unsur-unsur mana yang telah berjalan dengan baik dan permasalahan-permasalahan apa yang timbul di Kopsis. Setelah itu mereka secara bersama diajak mencari alternatif pemecahannya. b. Menurut E.L. Thorndike Thomdike (1905:122) mengemukakan teori belajar koneksionisme. Menurut teori ini bahwa proses belajar merupakan proses 'connecting' yaitu proses hubungan antara stimulus dengan respon. Frekwensi respon akan ditingkatkan oleh individu yang belajar apabila ia memperoleh reinforcement (penguatan). Tanpa penguatan, respon akan melemah. Thorndike mengemukakan tiga pokok hukum belajar: 1) Law of effect. kondisi peristiwa (hasil belajar) yang memuaskan (individu memperoleh penguatan), akan memperkuat hubungan antara stimulus dengan tingkah laku
72 (respon), respon akan diulang. Sedangkan kondisi hasil belajar yang mengganggu atau tidak memuaskan individu yang belajar, akan memperlemah hubungan antara stimulus dengan respon, resopon akan melemah atau bahakan berhenti. 2) Law of exercise: latihan akan menyempurnakan respon. Pengulangan pengalaman akan meningkatkan kemungkinan suatu respon yang tepat. Namun pengulangan suatu tugas tidak mempertinggi belajar (respon) jika tidak memberikan hasil belajar yang memuaskan. 3) Law of readiness: hasil kerja (respon) yang sempurna atau memuaskan akan membuat individu yang belajar siap melakukan respon selanjutnya. Aplikasinya, dalam usaha untuk meningkatkan semangat belajar siswa, khusus-nya timbulnya kemauan siswa untuk meningkatkan kognitifnya dalam bidang koperasi, sejak awal pembelajaran pendidik perlu a) mengusahakan penyusunan strategi pembelajaran yang memungkinkan siswa mencapai hasil belajar yang tinggi atau memuaskan; b) memberikan feeback dan memberitahukan hasil belajar sesegera mungkin; c) memberikan berbagai latihan-latihan untuk meningkatkan kesempurnaan hasil belajar dan feedback secara berulang; d) mempertinggi kondisi belajar yang memberikan kepuasan belajar, seperti pemberian penghargaan kepada mereka yang berprestasi tinggi. Dengan cara ini siswa akan timbul kesenangan, kemauan dan kesiapan untuk menerima pelajaran selanjutnya dan usaha untuk meningkatkan kognitifnya sebaik mungkin. c. Menurut B.F. Skinner Menurut Skinner (1954) belajar adalah perubahan tingkah lalai, yakni perubahan dalam kemungkinan memberikan suatu respon ke arah yang lebih sempurna. Perubahan tingkah laku secara fungsional berhubungan dengan perubahan kondisi lingkungan Perubahan lingkungan menyebabkan perubahan tingkah laku.
73 Skinner termasuk aliran stimulus respon seperti Pavlov. Namun sorotan utama Skinner dalam proses belajar bukan respon langsung (elicited responses), tetapi apa yang disebut dengan istilah 'instrumental responses or emitted responses'. Dalam respon ini individu bertindak pada lingkungan untuk menghasilkan macam konsekuensi yang berbeda, yaitu konsekuensi yang diharapkan ada di luar stimulus. Tingkah laku-tingkah laku ini lebih populer disebut dengan istilah operant conditioning. Thorndike dan Skinner terdapat kesamaan. Mereka berdua menekankan pentingnya penguatan agar terjadi respon berulang. Penguatan meningkatkan frekuensi respon dan me-nurunnya penguatan menurunkan frekuensi respon. Jika penguat dihilangkan sama sekali secara perlahan tingkah laku akan berhenti. Peningkatan frekuensi respon atau perubahan tingkah laku individu dapat terjadi karena adanya penguatan yang terantisipasi olehnya. Di antara penguatan tersebut adalah: 1) penguatan positif, situasi dimana tingkah laku individu menghasilkan stimulus baru yang meningkatkan frekuensi tingkah laku; 2) penguatan negatif: penarikan atau penghentian suatu stimulus yang memperkuat tingkah laku; 3) hukuman-, memaksakan konsekuensi yang tidak diinginkan pada individu secara teratur untuk menghentikan tingkah laku tertetntu; 4) praktik budaya atau serangkaian praktik kehidupan sosial: berbagai kegiatan sosial yang dipertahankan oleh kelompok akan memberikan kemungkinan membentuk tingkah laku tiap anggota kelompok (Skinner, 1989b: 52). Suatu hal yang penting dalam operant conditioning adalah adanya variasi tingkah laku dan seleksi, dalam arti berbagai tingkah laku yang berbeda dilakukan, hanya sebagian dari tingkah laku-tingkah laku yang memuaskan itu diperkuat.
74 Aplikasinya, dalam usaha untuk meningkatkan kognitif siswa dalam bidang koperasi, sejak awal pembelajaran pendidik perlu a) mengusahakan penyusunan strategi pembelajaran koperasi yang memungkinkan siswa mencapai hasil belajar yang tinggi; b) memberikan feedback dan memberitahukan hasil belajar sesegera mungkin; c) memberikan berbagai latihan-latihan untuk meningkatkan kesempurnaan hasil belajar dan feedback secara terus-menerus; d) mempertinggi kondisi belajar yang meningkat-kan kepuasan belajar (penguatan positif), seperti pemberian penghargaan kepada mereka yang berprestasi tinggi; e) memberikan penguatan negatif: mengontrol mereka yang kurang belajar sungguh-sungguh dan memberikan petunjuk cara-cara belajar yang baik; f) memberikan hukuman kalau memang situasinya menuntut demikian: memberikan tugas yang lebih berat kepada mereka yang tidak mengerjakan tugas; g) menciptakan iklim keija sama antar siswa dalam proses belajar dan menciptakan semangat dan budaya keija sama di antara personel koperasi dalam penyelenggaran Kopsis untuk mencapai tujuan secara maksimal; h) memberikan kesempatan kepada siswa untuk memahami permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam koperasinya dan usaha-usaha untuk memikirkan alternatif pemecahannya. Dengan cara ini siswa akan timbul kesenangan, kemauan dan kesiapan untuk menerima pelajaran selajutnya dan usaha untuk meningkatkan kognitifnya sebaik mungkin. d. Menurut RM. Gagne Gagne menguraikan teori belajar dari segi kondisi belajar. Ia memandang tentang belajar bukan bagaimana proses belajar itu dilakukan oleh individu tetapi ia lebih menekakan tentang sumbangan belajar terhadap perkembangan individu. Bagi Gagne bahwa belajar adalah suatu faktor kausal yang penting di dalam
75 perkembangan individu. Perkembangan tingkah laku berasal dari hasil kumulatif belajar (Gagne, 1968a: 178). Ada dua karakteristik belajar yang penting bagi perkembangan individu. Pertama, belajar merupakan generalisasi suatu variasi informasi dari berbagai situasi. Kedua, ketrampilan kompleks hasil belajar dibangun atas dasar pengalaman belajar yang diperoleh sebelumnya. Dengan istilah lain belajar adalah kumulatif. Belajar berfungsi sebagai pengembangan intelektual atau kemampuan yang mencakup ketrampilan, pengetahuan, sikap dan nilai. "Intelectual development may be conceived as the building of increasingly complex and interesting structures of learned capabilities" (Gagne, 1968:190). Perkembangan intelek atau pengetahuan seseorang dibangun atas dasar pembangunan strukturstruktur yang kompleks secara terus-menerus terhadap kemampuan-kemampuan yang dipelajari. Kemampuan-kemampuan yang dipelajari ini memberikan kontribusi terhadap ketrampilan-ketrampilan belajar yang lebih kompleks. Sebagai hasilnya adalah kompetensi intelektual dikembangkan secara terus-menerus. Menurut Gagne ada lima komponen variasi belajar: informasi verbal, ketrampilan intelektual, ketrampilan motorik, sikap, dan strategi kognitif. Kelima komponen ini sekaligus merupakan tujuan akhir yang ingin dicapai di dalam belajar. Di dalam pencapaian tujuan belajar terdapat dua faktor pendukukung belajar yaitu a) kondisi internal yang mencakup: ketrampilan prerequisit dan sikap yang mempengaruhi belajar baru serta proses kognitif individu dalam berinteraksi dengan lingkungan dengan menggunakan berbagai cara selama belajar dilakukan, b) kondisi external, yang menurut Gagne mengacu
kepada
peristiwa-peristiwa
pengajaran
(walau
pengajaranpun individu dapat melakuan proses belajar).
di
luar
peristiwa
Peristiwa-peristiwa
76 pengajaran yang dimaksud adalah peristiwa-peristiwa yang secara sengaja dirancang untuk mempermudah atau mendukung belajar. Untuk meyediakan peristiwa belajar yang kondusif bagi proses pencapaian tujuan belajar individu, peristiwa-peristiwa pengajaran tersebut harus disusun berdasarkan: aj variasi belajar atau kompenen-komponen belajar yang ingin dicapai atau dipelajari. Tiap komponen harus disusun secara hierarkhis - dari yang sederhana menuju ke lebih kompleks - agar jelas apa yang ingin dicapai, b) fase-fase psikologis proses belajar individu. Ada 9 fase belajar individu: 1) attending (fase pemahaman stimulus); 2) expectency (harapan belajar siswa); 3) retrieval of relevan information atid/or skills to working memory (pemerolehan kembali berbagai informasi atau ketrampilan yang pernah dipelajari sebelumnya yang sangat penting artinya bagi penyerapan pelajaran baru; 4) selective perception of stimulus features (pengenalan ciri-ciri stimulus fisik dan menyimpannya secara sementara di dalam working memory agar proses pengkodean terjadi; 5) semantic encoding ( proses pemberian makna terhadap stimulus); 6) retrieval and respondng (pemerolehan kembali kodekode yang baru saja dipelajari dan menggerakkannya menjadi sebuah respon); 7) reinforcement (feedback atas pencapaian tujuan belajar untuk memastikan apakah tujuan belajar sudah tercapai atau belum); 8) Cueing retrieval (pemerolehan petunjuk atas apa yang dipelajari sebagai kemampuan yang dimiliki untuk dapat ditransfer dalam berbagai situasi belajar baru yang lebih komplek); 9 generalizability (mempertinggi transfer kedalam berbagai situasi baru). Kesembilan fase tersebut dapat digolongkan menjdi 3 kategori. Fase 1 sampai 3 termasuk kategori persiapan belajar (preparation for leaming), fase 4 sampai 7 termasuk kategori pemerolehan
77 dan performansi (acquisition and performance), dan fase 8 dan 9 adalah fase transfer belajar {transfer of learning). Di samping variasi dan fase-fase belajar siswa, di dalam perencanaan dan proses pembelajaran, faktor-faktor lain yang perlu dipertimbangkan oleh pendidik adalah perbedaan, dipertimbangkan
kesiapan dan motivasi individu. dalam
proses
perencanaan
Hal
peristiwa
lain
yang perlu
pengajaran
adalah
pengembangan learming how to leran (belajar bagaimana seharusnya belajar) ketrampilan, dan pengajaran pemecahan masalah. Aplikasinya, dalam usaha untuk meningkatkan kognitif siswa dalam bidang koperasi, pendidik koperasi perlu menyusun rencana pelajaran sebagai berikut: 1). Memilih tujuan-tujuan performansi yang ingin dicapai: a) merumuskan tujuan ketrampilan-ketrampilan dalam materi koperasi yang ingin dicapai pada akhir pelajaran. b) menguraikan tujuan-tujuan ketrampilan dalam materi koperasi yang telah terumuskan menjadi tujuan-tujuan ketrampilan bidang koperasi yang lebih kecil. c) menentukan yang mana di antara pengetahuan dan atau ketrampilan prerequisit koperasi yang berfungsi sebagai pendukung dan yang mana yang menjadi menjadi inti pelajaran baru. d) memilih kata kerja yang tepat untuk merumuskan tujuan pengetahuan dan ketrampilan-ketrampilan yang ingin dicapi. 2) Memilih peristiwa pengajaran untuk masing-masing tujuan performansi. a) mengidentifikasi komponen variasi belajar dalam bidang koperasi untuk masing-masing tujuan.
78 b) mengidentifikasi kemampuan siswa dalam bidang koperasi dan ciri-ciri kelompok siswa yang akan diajar. c) atas dasar pertimbangan (seperti dalam a dan b tersebut) guru memilih peristiwa-peristiwa pengajaran untuk memenuhi kondisi-kondisi belajar yang unik untuk setiap tujuan. 3) Memilih media yang sesuai untuk melakukan peristiwa pengajaran a) mengidentifikasikan beberapa pilihan media yang dapat digunakan sebagai sarana dalam pencapaian hasil belajar dalam aspek-aspek tertentu. b) menghilangkan media yang kurang tepat bagi kondisi siswa (seperti umur, tingkat kemampuan yang dimiliki). c) memutuskan media akhir yang mana yang akan dipakai untuk mendukung peristiwa-peristiwa pengajaran yang akan dilakukan dalam rangka mencapai tujuan-tujuan belajar siswa yang telah diidentifikasi dengan mempertimbangkan biaya, ukuran kelompok, kemudahan penerapan dan waktu yang tersedia. 4) Mengembangkan alat assesmen dan test yang mampu mengukur tingkat pencapaian tujuan belajar yang telah dirumuskan. e. Teori Perkembangan Kognitif J.Piaget Menurut Piaget bahwa perkembangan intelektual sebagai hasil internalisasi bentuk-bentuk berfikir yang lebih kompleks yang terjadi secara progressif. Pengetahuan dikonstruksi oleh individu dengan cara kontak lingkungan secara terusmenerus. Perkembangan ini teijadi karena adanya interaksi antara individu dengan lingkungan. Ada empat faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif individu: lingkungan fisik, kematangan, lingkungan sosial dan equilibrium (Piaget, 1977). Lingkungan fisik dan sosial merupakan sumber pengetahuan. Namun kontak dengan
79 lingkungan tidak sepenuhnya mampu mengembangkan pengetahuan kecuali jika intelegensi individu mampu memanfaatkan lingkungan, individu telah mencapai kematangan. Kematangan yang dimaksud adalah terjadinya kesiapan diri individu untuk menginterpretasi atau memaknai informasi baru yang diperoleh. Kematangan membuka
kemungkinan
mencapai
perkembangan
kognitif
sedangkan
kekurangmatangan akan membatasi perkembangan kognitif. Walaupun kematangan merupakan persyaratan penting bagi perkembangan kognitif namun tingkat perkembangannya berbeda-beda, tergantung hakekat kontak individu dengan lingkungan dan aktivitas individu yang bersangkutan. Perbedaan tingkat pengalaman sosial juga mempengaruhi perkembangan struktur kognitif. Kemauan individu untuk mengelola diri memanfaatkan lingkungan dan koreksi diri juga sangat menentukan bagi perkembangan kognitif individu. Atas dasar pemikiran tersebut Piaget membagi perkembangan preoperational,
kognitif individu
ke
dalam
empat
tingkatan:
concrete operational and formal operational.
sensorimotor, Tiap
tangga
mengembangkan periode sebelumnya, merekonstruksinya ke dalam level baru, bahkan kemudian melampau taraf perkembangan yang jauh lebih tinggi (Piaget & Inheler, 1969:152). Individu berkembang dari satu tangga ke tangga yang lain pada umur yang berbeda, namun perkembangan itu terjadi secara berurutan secara teratur. Ini berarti bahwa tranfer belajar terjadi ketika individu mampu memanfaatkan pengalaman serupa yang telah diperoleh sebelumnya sebagai dasar pengembangan pemikiran untuk memperoleh/ mempelajari pengetahuan baru. Informasi baru sering terjadi konflik dengan informasi yang dimiliki. Ini dikatakan sebagai konflik kognitif. Hal ini menuntut kesiapan individu untuk memecahkannya. Kesiapan dikatakan terjadi ketika individu merasakan adanya
80 konflik kognitif dan berusaha untuk memecahkannya. Konflik inilah yang menyebabkan individu timbul kebutuhan untuk memecahkannya. Oleh karena itu Piaget menerangkan bahwa konflik kognitif dan kebutuhan inilah sebagai sumber motivasi belajar. Aplikasinya dalam peningkatan kognitif koperasi siswa, pendidik dapat melakukan strategi pembelajaran sebagai berikut: 1) Memilih dan menentukan pokok pelajaran koperasi yang biasanya diajarkan secara verbal digantikan dengan cara penelitian yang dilakukan oleh siswa sendiri. a) Aspek-aspek materi pelajaran koperasi yang mana yang dapat dilakukan dengan cara penelitian oleh siswa. b) Aspek-aspek materi pelajaran koperasi yang mana yang dapat diajarkan dalam bentuk aktivitas-aktivitas pemecahan masalah yang dilakukan oleh siswa secara kelompok. c) Konsep-konsep koperasi yang mana yang harus diperkenalkan kepada para siswa secara konkret sebelum secara verbal. 2) Memilih atau mengembagkan aktivitas kelas terhadap pokok pelajaran yang telah teridentifikasi.
Mengevaluasi
aktivitas-aktivitas
yang
terseleksi
dengan
mengguna-kan pertanyaan sebagai berikut: a) Apakah aktivitas-aktivitas kelas itu memberikan keuntungan kepada para siswa apabila diajarkan secara penelitian atau eksperimen? b) Mampukah
aktivitas
itu
merangsang
siswa
mengemukakan
berbagai
pertanyaan? c) Apakah dengan aktivitas itu memungkinkan siswa mengembangkan berbagai model alasan yang rasional?
81 d) Adakah suatu masalah yang tidak bisa dipecahkan dengan menggunakan petunjuk-petunjuk yang diberikan? e) Dapatkah aktivitas itu mampu memperkaya konstruksi pengetahuan perkoperasian siswa yang telah dipelajari? 3) Mengidentifikasi pertanyaan yang mampu mendukung proses pemecahan masalah yang dilakukan oleh siswa. a) Pertanyaan-pertanyaan follow-up apa yang mungkin dapat digunakan? b) Perbandingan-perbandingan materi koperasi yang seperti apa yang dapat diiden-tifikasi dan bermanfat untuk mengantisipasi pertanyaan-pertanyan spontan? 4) Mengevaluasi penerapan setiap aktivitas, mencatat keberhasilan dan melakukan revisi-revisi yang diperlukan, a) Aktivitas yang mana yang paling membangkitkan minat dan keterlibatan siswa dalam belajar koperasi? Adakah aktivitas-aktivitas yang dapat dimanfaatkan pada proses belajar mendatang? b) Adakah aspek-aspek aktivitas yang dirasakan kurang menguntungkan belajar siswa? Adakah aktivitas-aktivitas yang kurang mampu melibatkan siswa secara keseluruhan? Alternatif apa yang mungkin dapat diterapkan pada proses pembelajaran selanjutnya? c) Apakah aktivitas-aktivitas itu mampu mengembangkan strategi penyelidikan baru atau mempertinggi strategi yang pernah dipelajari/dilakukan oleh para siswa? Ringkasnya, aplikasi teori Piaget ini adalah bahwa seorang guru dan atau pembina Kopsis perlu memberikan kesempatan kepada para siswa secara maksimal
82 untuk mengembangkan pengetahuannya sendiri. Diskusi-diskusi tentang topik-topik koperasi di mana jawaban-jawaban dapat dikembangkan melalui interaksi kelompok dan menuntut pertimbangan sejumlah variabel akan membantu mempertinggi pengonstruksian atau pembangunan pengetahuan siswa tentang koperasi. f. Teori Sosiohistoris tentang Prekembangan Psikologis Vygotsky. Vygotsky percaya bahwa kemampuan mental manusia berkembang melalui interaksi individu dengan dunia lingkungannya. Kemampuan manusia merupakan produk dari interaksi sosial dan pengalaman sosial. Tingkah laku manusia dewasa yang berbudaya modern merupakan hasil proses perkembangan mental yang berbedabeda. Pertama, evolusi biologis dari spesies binatang berkembang menjadi spesies homo sapiens. Kedua: proses perkembangan historis mentransformasikan manusia primitif menjadi manusia berbudaya. Pemikiran ini didasarkan beberapa asumsi dasar: 1) penguasaan alam dan hubungan sosial sekitarnya menenetukan hakekat berfikir manusia. Oleh karena itu, menurut Vigotsky, pengalaman sosiohistoris mempengaruhi perkembangan cara-cara berfikir yang unik bagi manusia. Manusia secara aktif beradaptasi dengan lingkungan untuk mencapai tujuannya. Melalui adaptasi yang akti£ dengan cara berkomunikasi dan membentuk kelompok-kelompok sosial, manusia mengembangkan kode-kode dan sistem-sitem simbol yang kompleks. Kode-kode dan sistem-sistem simbol ini merupakan aspek utama pengalaman manusia yang mempe-ngaruhi perkembangan kognitif. Fungsi-fungsi mental komplek manusia, seperti logical memory dan berbefikir konseptual, direfleksikan dalam proses pemaknaan. 2) Proses kognitif adalah dinamis dan selalu berubah. Penciptaan dan pemanfaatan stimulus yang dinamis memberikan kontribusi kepada proses perkembangan mental yang kompleks. Proses ini menciptakan kode-kode dan
83 simbol-simbol untuk mewakili ide. Ide menciptakan hubungan-hubungan bani antara berbagai objek dan ide. Melalui cara ini berarti individu membentuk hubunganhubungan di dalam otak. Cara ini juga mengubah proses-proses psikologis dalam mengingat dan berfikir. 3) Faktor-faktor biologis dan sosiohistoris memberikan kontribusi perkembangan kognitif. Faktor biologis seperti kematangan mempengaruhi perkembangan fungsi-fungsi mental primitif (perhatian tak sengaja, persepsi sederhana, ingatan sederhana). Namun tingkat berfungsinya kognitif individu sangat tergantung pada budaya tertentu di mana ia berada. Sistem-sistem simbol budaya dan interaksi-interkasi anggota-anggota pemilik budaya itu merupkan faktor-faktor penting bagi perkembangan kognitif. Dalam meningkatkan kemampuan mental kompleks para siswa, pendekatan pembelajaran siswa yang mendasarkan teori sosiohistoris menggunakan pendekatan yang disebut Scaffolding. Dalam pendekatan ini, pembelajaran siswa beranjak pada aktivitas bersama antara guru dan siswa. Kemudian guru secara perlahan-lahan mentranfer kontrol ke pada para siswa ketika ia mulai menguasai aspek-aspek tugas yang lebih tinggi. Pendekatan ini menempatkan guru sebagai tutor yang memungkinkan siswa untuk memecahkan masalah yang ada diluar kemampuannya. Scaffolding adalah suatu proses mengontrol elemen-elemen tugas yang pada awalnya belum dikuasi oleh para siswa, siswa berkonsentrasi dan melengkapi pada elemenlemen tugas yang belum dikuasai dan secara perlahan-lahan (dengan bimbingan tutor) dalam waktu dekat siswa mampu menguasai standar yang diharapkan oleh tutor. (Wood, Bruner, and Ross, 1976: 90) Dalam situasi pengajaran, guru membimbing anak untuk memecahkan masalah secara bersama-sama, kemudian menggunakan
ketramp i lan-ketramp i 1 an bagian yang telah dikuasai kearah
84 kemampuan pemecahan masalah secara mandiri. Konsep ini merupakan konsep pemben-tukan dalam hal mengurangi kesalahan dan pengalaman-penglaman kegagalan pada tahap awal belajar di samping memberikan bantuan-bantuan pokok yang semakin lama semakin dikurangi dalam rangka mencapai kemapuan komplek si pelajar (Greenfield, 1984: 119) Aplikasinya dalam peningkatan kognitif siswa tentang koperasi, pendidik dapat melakukan strategi pengajaran sebagai berikut: 1) Mengidentifikasi konsep-konsep atau pokok-pokok pengetahuan koperasi yang akan diajarkan. a) Aspek-aspek konsep koperasi yang seperti apa yang dapat diajarkan kepada para siswa sesuai dengan tingkat kemampuan siswa SLTA. b) Aspek-aspek konsep koperasi yang mana yang mampu mempermudah siswa belajar sesuai dengan tingkat kemampuan berfikirnya? 2) Menstrukturkan tugas belajar sebagai aktivitas keijasama antara guru dan siswa. a) Seberapa tingkat pemaknaan yang difahami bersama yang dipersyaratkan untuk memulai belajar? b) Aspek-aspek tugas apa yang harus dimodelkan oleh guru? c) Aspek-aspek tugas yang mana yang secara awal harus diperankan oleh guru? d) Dalam cara-cara apa siswa harus menggunakan tanda dan symbol untuk mengontrol tingkah laku belajarnya? e) Apa anjuran dan feedback guru yang diperlukan para siswa untuk membantu belajarnya? 3) Menerapkan pengajaran daftm&KJ&tpkan evaluasi.
85 a) Apakah guru telah secara perlahan-lahan meningkatkan permintaan tugas sesuai dengan tingkat yang dikuasai oleh siswa? b) Apakah siswa telah mampu berfungsi secara mandiri pada akhir pembelajaran koperasi? c) Apakah para siswa telah menggunakan cara-cara berfikir baru setelah pembelajaran koperasi dilakukan? d) Apakah ketrampilan siswa dapat diterapkan pada setting dan situasi yang lain? Aplikasi peningkatan pengetahuan siswa tentang koperasi yang dilakukan di luar kelas, para pembina dan aktivis koperasi perlu memprogramkan penyelenggaraan tutorial koperasi. Dimana para senior dan aktivis koperasi diberikan kepercayaan untuk memberikan tutorial atau contoh-contoh praktik menyelenggarakan koperasi dalam segala kegiatan pelaksanaan Kopsis baik dalam bentuk training maupun magang. g. Teori Kognitif Sosial Albert Bandara Di dalam belajar individu memberikan respon lebih dari pada apa yang diamati, tidak terbatas pada aspek tertentu yang diamti, atau apa yang dimodelkan oleh guru, pendidik, atau individu lain yang menginginkan modelnya ditim. Di dalam belajar individu sering mengimitasi suatu kombinasi variasi dari berbagai tingkah laku, mengabstraksi, dan menafsirkan serangkaian tingkah lalai dari berbagai aktivitas aneka model dan akhirnya membuat keputusan tingkah laku apa dan yang mana yang harus diambil dan dilakukan. Belajar bukan hanya terjadi secara direct learning or instantaneous matching tetapi juga indirect learning or delayed matching. Di dalam proses belajar, pemerolehan tingkah laku yang kompleks tidak hanya merupakan hubungan dua arah antara individu dan lingkungan. Banyak
86 pengaruh lingkungan pada individu di antarai oleh faktor-faktor personal internal (internal personal factors). Faktor-faktor personal internal ini, seperti pemilihan peristiwa yang akan diamati dan cara-cara yang mana harus difahami dan diputuskan, mengintervensi antara pengaruh lingkungan dan tingkah laku. Oleh karena itu Bandura, (1986: 23) menyebutnya hubungan ketiga faktor tersebut sebagai a three way interlocking relationship (behavior, personalfactor, environment). Ketiga faktor tersebut beroperasi secara interaktif sebagai faktor diterminan antara satu dengan yang lain. Pengertian belajar menurut Bandura (dalam Gredler, 1992:308) "Learning is defined as the acquisition of symbolic representation in the form of verbal or visual codes, and their functions is to serve as guidlines for future behavior." Ini berati bahwa 1) proses belajar memerlukan pemrosesan kognitif dan berbagai ketrampilan pembuatan keputusan pelajar, 2) belajar adalah 'a three way interlocking system' antara lingkungan, faktor pribadi, dan tingkah laku 3) belajar menghasilkan kodekode verbal dan visual tentang tingkah laku yang mungkin dilakukan dan mungkin tidak dilakukan di kemudian hari. Menurut teori belajar kognitif sosial Bandura, ada tiga komponen belajar: tingkah laku yang dimodelkan, konsekwensi-konsekwensi yang dimodelkan, dan proses-proses internal pelajar. Tingkah Laku yang Dimodelkan. Fungsi utama model tingkah laku adalah sebagai: a) tawaran atau stimulus sosial yang memung-kinkan orang lain melakukan tingkah laku yang serupa, b) memperkuat atau mem-perlemah pengendalianpengendalian dalam diri pelajar terhadap performansi tingkah laku-tingkah laku tertentu, c) mentransmisikan pola-pola tingkah laku yang baru.
87 Ada tiga jenis model tingkah laku: live model, symbolic model, verbal descrip-tions or instructions. Dari ketiga jenis model tingkah laku ini hanya model yang mampu menarik perhatian pelajarlah yang mungkin dipelajari dan akhirnya mampu meningkatkan pengetahuan dan kemampuan pelajar. Model akan menarik perhatian pelajar bila memiliki karakteristik: relevan dan memiliki kredibilitas bagi pelajar, yakni memiliki prestis - dapat dipertahankan, memggambarkan konsensus kelompok, menawarkan standar-standar yang dapat dipercaya untuk membimbing timbulnya aspirasi pelajar, atau meyediakan figur-figur acuan yang realiastik bagi pelajar (Rosenthal dan Bandura, 1978: 636). Konsekwensi Tingkah laku. Seperti dalam teori operant condistioning, bahwa teori kognitif sosial juga memandang penting terhadap konsekwensi tingkah laku atau reinforcemen bagi respon pelajar. Menurut Bandara (dalam Gredler, 1992: 313) ada tiga macam reinforcemen: 1) direct reinforcement. konsekwensi tingkah laku yang dialami langsung. 2) Vicarious reinforcemet. tingah laku orang lain yang diamati. 3) Sel f reinforcement: reinforcemen yang timbul karena standar pribadi. Proses Kognitif Pelajar. Dalam teori kognitif sosial, proses kognitif memainkan peran penting. Kemampuan pelajar untuk mengkode, menyimpan pengalaman-penga-laman
transitori
dalam
bentuk
simbolik
dan
gambaran
konsekwensi yang akan teijadi dalam fikiran adalah penting bagi pemerolehan dan pemodifikasian tingkah laku pelajar. Ada empat komponen yang mempengaruhi belajar dan performansi, yaitu; proses perhatian, proses retensi, proses reproduksi motorik, dan proses motivasi. (Bandura dalam Gredler, 1992: 317). Mekanisme perhatian dan retensi mengatur
88 pemerolehan individu tentang tingkah laku yang diamati. Performansi tindakantindakan ini selanjutnya diatur oleh mekanisme reproduksi dan motivasi. Proses Perhatian. Tingkah laku-tingkah laku baru tidak akan dapat diperoleh kecuali jika mereka diperhatikan dan difaliami secara akurat. Tingkat perhatian pelajar dipengaruhi oleh berbagai faktor: karakteristik model, karakteristik dan nilai fungsional tingkah laku dan karakteristik pelajar. Nilai fungsional dari model yang diamati diperoleh melalui penguatan terhadap model. Yang termasuk karakteristik tingkah laku adalah kompleksitas dan relevansi bagi pelajar,- Tingkah laku yang berhasil cenderung diperhatikan dan dikode oleh pelajar. Sedangkan yang kurang berhasil akan kurang diperhatikan oleh pelajar. Karakteristik pelajar yang mempengaruhi perhatian pelajar adalah persepsi, ketrampilan pengamatan, semangat, pengalaman masa lampau, dan kemampuan panca indera (Bandura, 1977b: 23). Belajar dari model sangat tergantung pada ketrampilan pelajar dalam memonitor dan menginterpretasi peristiwa yang sedang berlangsung. Proses Ingatan (retensi). Proses ingatan merupakan proses yang bertanggung jawab terhadap pengkodean tingkah laku menjadi kode-kode visual dan atau verbal, serta penyimpanan kode-kode itu ke dalam memori. Kode-kode verbal dan visual ini berfungsi sebagai petunjuk untuk menyatakan tindakan-tindakan pada saat diperlukan (Bandura, 1977b:179). Proses retensi yang terpenting adalah latihan. Ada dua macam latihan retensi: latihan mental, di mana pelajar membayangkan diri melakukan tingkah laku yang dipelajari, dan latihan motorik, di mana pelajar melakukan tindakan-tindakan nyata yang berfungsi sebagai bantuan nyata. Proses retensi sangat dipengaruhi oleh perkembangan pelajar. Kemapuan untuk menyajikan tingkah laku
89 dalam bentuk label-label dan menggerakkannya dalam bentuk petunjuk-petunjuk visual dan verbal akan mempertinggi retensi. Proses Reproduksi Motorik. Performansi tingkah laku yang diperoleh tergantung pada reproduksi motorik dan proses motivasi pelajar. Yang termasuk reproduksi motorik adalah penyeleksian dan pengorganisasian respon-respon pada tingkat kognitif. Repropoduksi kognitif dipengaruhi oleh tingkat perkembangan pelajar. Proses Motivasi. Proses perhatian, ingatan dan reproduksi motorik tersebut yang berfungsi sebagai motivator adalah direct (exernal) reinforcement, vicarious reinforcement and self reinforcement. Antisipasi reinforcement terhdap suatu tingkah laku tertentu memotivasi performansi pelajar. HaJcekat Belajar Kompleks. Pemerolehan ketrampilan dan kemampuan belajar yang kompleks tergantung pada proses atensi, retensi, reproduksi motorik dan motiva-si. Menurut Bandura (1982b) performansi tercapai apabila dipenuhi dua persyaratan yang lain. yaitu sense ofself efficasy and learner 's self regulator system. Sense of self efficasy adalah keyakinan bahwa sesorang dapat melakukan tingkah laku secara berhasil menurut yang dipersyaratkan untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Pengeta-huan diri tentang sense of self efficasy berasal dari empat sumber informasi (Bandura, 1986 dalam Gledler, 1992:320) yaitu pengalaman pribadi yang dicapai, melihat orang lain yang memiliki kemampuan yang serupa mampu memerankan secara berhasil, persuasi verbal dan kondisi psikis pelajar. Sense of efficasy memiliki efek positif: a) usaha dalam menghadapi kesulitan diperkuat, b) ketrampilan yang telah diperoleh diintensifkan dan diperkuat dalam menghadapi kesulitan, c) usaha dan perhatian difokuskan pada tuntutan-tuntutan situasi (ketiganya merupakan efek positif yang langsung berkaitan dengan tugas yang
90 dilakukan), d) membantu perkembangan diri melalui percepatan keterlibatan diri dalam berbagai aktivitas dan pengalaman, e) mengurangi rasa stres pelajar dalam mengahada-pi situasi yang memerlukan pengorbanan, f) tumbuh keyakinan percaya diri untuk menggunakan ketrampilannya yang efektif, dan g) tumbuh keinginannya untuk mencapai tujuan yang bersifat menantang, mendukung minat dan partisipasi. Sel/ Regulatory System. System ini merupakan sistem pengembangan dan pengelolaan diri dalam belajar. System ini mengacu kepada a) struktur kognitif yang memberikan acuan-acuan terhadap tingkah laku dan hasil-hasilnya, b) subproses kognitif yang mempersepsi, mengevaluasi, dan mengatur tingkah laku (Bandura, 1978: 348). Dalam self regulatory system, individu merumuskan standar-satandar bagi tingkah lakunya, dan kemampuan-kemampuan pengamatan diri, pembuatan keputusan diri dan respon diri. Proses ini terutama memungkinkan individu mampu mengelola diri. Individu mampu mengejar aktivitas-aktivitas yang memberikan kepuasan dan nilai diri, pada saat yang sama individu menghindarkan tingkah laku yang bersifat menyalahkan diri. Aplikasinya dalam peningkatan kognitif siswa tentang koperasi, para guru dan pembina koperasi dapat menysun strategi pembelajaran dengan menganalisa secara cermat tingkah laku yang akan dimodelkan dan persyaratan yang memproses belajar. 1) Menganalisa tingkah laku yang akan dimodelkan, a) Apa hakekat tingkah laku yang akan dimodelkan? Apakah ini berupa teori-teori koperasi (koseptual), apakah praktik koperasi (motorik), apakah penanaman nilai koperasi, atau ini suatu strategi belajar? b) Apa urutan langkah-langkah tingkah laku yang akan dimodelkan? Jika berupa pengertian koperasi, umpamanya, apakah dimulai dengan menyajikan definisi
91 koperasi dan ciri koperasi kemudian baru membandingkan dengan pengertian atau ciri-ciri bentuk lembaga ekonomi yang lain ataukah sebaliknya? c) Apa pokok-pokok kritis dalam urutan itu (seperti langkah-langkah yang mungkin sulit untuk diamati, dan langkah-langkah tindakan-tindakan alternatif yang mungkin tidak tepat yang mana yang perlu diganti)? 2) Menentukan nilai fungsional tingkah laku dan memilih model tingkah laku. a) Apakah tingkah laku itu mengemban prediksi keberhasilan? b) Jika tingkahlaku itu mengemban prediksi keberhasilan yang lemah, model potensial yang mana yang paling mungkin untuk memprediksi keberhasilan? c) Seharusnyakah model itu live model (seperti kegiatan koperasi dan kegiatan bentuk usaha ekonomi yang lain) atau symbolic model (berupa diagramdiagram atau gambar-gambar kegiatan berbagai jenis usaha? Perlu dipertimbangkan masalah biaya, apabila kebutuhan untuk mengulangi pengalaman yang dipergunakan lebih untuk satu kelompok, dan kesempatan atau kemungkinan untuk membawakan/menggambarkan nilai fungsional dari tingkah laku tersebut. d) Penguatan apa yang dapat ditimbulkan dengan model tingkahlaku tersebut? Apakah tingkat angka nilai, kegiatan tambahan yang prestis (jadikan ketua atau pengurus koperasi misalnya), pujian, hadiah materi dsb. 3) Mengembangkan urutan pengajaran a) Untuk ketrampilan motorik misalnya, mengapa menggunakan perintah lakukan ini dan bukan lakukan itu? b) Langkah-langkah tindakan mana dalam urutan latihan itu harus disajikan secara perlahan-lahan dan teliti serta mana yang dapat disajikan secara biasa?
92 c) Untuk strategi belajar, kegiatan belajar yang sel/ talk atau sel/system apa harus dimodelkan? 4) Menerapkan pengajaran untuk membimbing proses kognitif dan reproduksi motorik. Ketrampilan motorik: siswa: 1) Menyajikan tingkah laku yang ingin dimodelkan 2) Memberikan kesempatan kepada siswa untuk melalaikan latihan simbolik. 3) Memberikan kesempatan siswa berpraktik dengan melakukan visual /eedback. Tingkah laku konseptual: 1) Sajikan model dengan bantuan penjelasan! 2) Jika berupa suatu konsep atau dalil, berikan kesempatan kepada siswa untuk meringkas berbagai tingkahlaku model! 3) Jika belajar berupa problem solving atau penerapan strategi, berikan kesempatan kepada para siswa untuk berpartisipasi memodelkan! 4) Berikan kesempatan kepada para siswa untuk menerapkan hasil belajar ke dalam situasi-situasi yang berbeda!
Integrasi dan Aplikasi Teori-teori Belajar Dari berbagai teori belajar tersebut dapat diambil beberapa prinsip yang dapat diterapkan dalam pelaksanaan proses belajar-mengajar untuk meningkatkan kognitif siswa. Dalam usaha meningkatkan kognitif siswa banyak hal yang perlu diperhatikan. 1) Pemberian informasi yang bersifat konseptual kepada para siswa memang perlu, namun yang lebih baik adalah pemberian kesempatan kepadanya untuk mencari, menganalisa, meyimpulkan dan mengembangkan sendiri dengan cara melihat dan
93 mengadakan interaksi langsung dengan lingkungan baik fisik maupun sosialbudaya. 2) Dalam proses pembelajaran pendidik perlu memperhatikan faktor internal siswa (kemaun, motivasi, standar-standar pribadi, latar belakang kemampuan atau ketrampilan dan pengetahuan prerekuisit, self efficasy and sel/ system), dan extemal siswa (peristiwa-peristiwa lingkungan atau peritiwa pengajaran). 3) Program pembelajaran harus disusun sedemikian rupa sehingga mampu berfungsi sebagai sarana pencapaian pengembangan pengetahuan, ketrampilan, nilai dan sikap serta pencapaian variasi komponen belajar: informasi verbal, ketrampilan intelektual, ketrampilan motorik, sikap dan strategi kognitif. 4) Program pembelajaran juga harus memperhatikan karakteristik siswa. 5) Proses pembelajaran yang dilakukan harus mampu memberikan kesempatan siswa belajar secara langsung dan tidak langsung terhadap tingkah laku yang dimodelkan, serta mampu mempermudah siswa untuk memperoleh gambaran simbolik dalam bentuk-bentuk kode-kode verbal dan atau visual yang berfungsi sebagai petunjuk belajar selanjutnya. 6) Proses pembelajaran juga harus mampu membangkitkan direct reinforcement, vicarious reinforcement, self reinforcement, self efficasy and self system. 7) Proses
pembelajaran
harus
mampu
memebantu
mempermudah
proses
penangkapan stimulus, pengkodean, penyimpanan dan pemerolehan kemabali ketika dibutuhkan. 8) Tingkah laku yang dimodelkan memenuhi karakteristik tingkah laku yaitu relevan, dapat
dipercaya
oleh
pelajar,
memungkinkan belajar kompleks.
variatif,
memiliki
nilai
fungsional
dan
94 3. Motivasi Siagian (1989:18) mengemukakan motivasi sebagai daya pendorong yang mengakibatkan seseorang anggota organisasi mau dan rela untuk mengerahkan kemampuan dalam bentuk keahlian atau ketrampilan, tenaga dan waktunya untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya dan menunaikan kewajibannya dalam rangka pencapaian tujuan dan beibagai sasaran organisasi. Stephen (1996:212) mengemukakan: "We define motivation as the willingnes to exert high level of effort toward organisasional goals, conditioned by the effort's ability to some individual need." Motivasi merupakan kemauan untuk mempergunakan kemampuan usaha yang tinggi ke arah pencapaian tujuan organisasi, yang dipersiapkan oleh kemampuan usaha untuk memuaskan kebutuhan individu. Lebih ringkasnya Stephen (1996:213) motivasi sebagai proses pemuasan kebutuhan. Litwin and Stringer (1968: 12) mengemukakan: "Each person have potential energy to behave in a variety of ways. The way in which one behaves, however, depends on the relative strength of his or her various motives and the opportunities presented by the situation." Pada dasarnya setiap orang memiliki energi untuk bertingkah laku secara berbeda-beda. Namun, cara individu bertingkah laku sangat secara relatif tergantung pada tingkat kekuatan motif yang dimiliki dan kesempatan-kesempatan yang diberikan oleh lingkungan. Dari pendapat-pendapat tersebut menunjukkan bahwa motivasi merupakan energi atau daya pendorong seseorang untuk berbuat atau bertingkah laku. Seseorang bertingkah laku karena adanya motif atau daya pendorong. Daya pendorong ini muncul karena adanya kebutuhan atau needs. Sebagaimana Piaget (1967:5) katakan bahwa semua tindakan baik itu berupa gerakan, fikiran maupun emosi adalah dalam
95 berusaha untuk memenuhi kebutuhan atau need. A need means some internal state that make certain outcomes appear attractive" (Stephen, 1996: 213) Kebutuhan merupakan kondisi internal dalam diri sesorang yang membuat akibat atau hasil-hasil tertentu muncul atraktif. Dengan demikian kebutuhan merupakan akar motivasi. Kebutuhan menuntut adanya pemuasan. Kebutuhan yang belum terpuaskan menyebabkan kete-gangan. Ketegangan inilah yang menyebabkan seseorang timbul kemauan untuk berusaha untuk memuaskan kebutuhan tersebut. Pengertian-pengertian motivasi tersebut juga mengandung makna bahwa kemauan usaha tersebut akan menguat apabila lingkungan dan potensi dirinya mendukung atau memberikan peluang untuk mampu memuaskan kebutuhan. Atas dasar uraian tersebut timbul pemikiran, apa yang meyebabkan individu timbul rasa adanya kebutuhan? Ada beberapa faktor yang menimbulkan adanya rasa kebutuhan
antara lain adalah:
akumulasi
pengalaman
masa lampau yang
menguntung-kan dan pengalaman orang lain yang terkenal (Milton, 1981: 61-77), pengalaman hasil kerja yang menuaskan (Thoradike, 1913b:20, Skinner,1954), direct reinforcement, vicarious reinforcement, sel/ reinforcement (Bandura, dalam Gredler, 1992:313) Akumulasi pengalaman masa lampau yang menguntungkan (dan telah diuji berkali-kali) akan menimbulkan rasa butuh dalam diri sesorang dan timbul dorongan untuk mengulangi perbuatan itu demi pencapaian hasil yang lebih maksimal. Pengalam-an melihat keberhasilan orang terkenal juga sering mengusik individu timbul rasa butuh untuk meniru dan mencoba belajar lebih dalam agar mencapai kepuasan dan hasil seperti orang yang dikagumi (vicarious reinforcement). Selain itu
96 pengalaman hasil keija yang menuaskan juga akan menimbulkan rasa puas, rasa butuh, dan dorongan untuk mengulangi atau melanjutkan perbuatan itu. Seseorang terdorong untuk berbuat serupa karena mungkin :a) perbuatan intu diijinkan atau didukung oleh norma lingkungan; b) perbuatan itu menimbulkan kebahagian,
kepuasan
dan
kesenangan
dirinya,
di
mana
ia
cenderung
mengidentifikasi kebaha-giaan dan kepuasan emosional yang dialami oleh orang yang diamati; c) karena perbuatan itu diulang-ulang dan membawa efek positif terhadap orang yang berbuat, pengamat mengidentifikasi bahwa bila ia berbuat demikian ia akan mendapatkan nilai fungsional seperti orang itu. Faktor-faktor tersebut merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya rasa kebutuhan dan bersifat individual. Dalam arti bahwa faktor-faktor tersebut merupakan faktor yang mengusik indivdu untuk berbuat terlepas dari lingkungan kesatuannya. Ada faktorfaktor lain yang mendorong individu terdorong untuk giat berbuat yang memiliki arti bagi kesatuannya dan dirinya sendiri. Individu akan memiliki motivasi tinggi apabila lingkungan mendukung dan memberikan peluang untuk mencapai apa yang diharapakan. Ada beberapa teori yang berkaitan dengan hal ini: a Hygiem-Motvation Theory. Dalam teori ini (Herberg,1968: 53-63) menyebut dua faktor yang mempengaruhi motivasi kerja yaitu faktor-faktor internal (motivation factors) yang berhubungan dengan kepuasan keija, dan faktor-faktor external (hygiene factors) yang berhubungan dengan ketidakpuasan ketja. Yang termasuk hygiene factors adalah kondisi kebijakan dan admistrasi lembaga, pola pengawasan, hubungan antar pribadi, gaji, kondisi kerja, keamanan dan status. Sedangkan yang termasuk motivation factor
97 adalah
prestasi,
pengakuan,
macam pekerjaan,
tanggung jawab,
promosi,
pertumbuhan karier. Aplikasinya. Dalam usaha meningkatkan motivasi siswa dalam berkoperasi, para pembina dan guru ekonomi (koperasi) perlu menyediakan lingkungan yang menimbul-kan kepuasan berkoperasi dan meghilangkan ketidakpuasan berkoperasi. Para pembina (termasuk guru koperasi) perlu memberikan kebijakan atau pengarahan penyelenggaraan koperasi yang dapat diterima oleh para anggota koperasi, seperti barang yang dijual terutama merupakan barang yang dibutuhkan oleh para siswa dalam mengikuti pendidikan di sekolahnya, uang simpanan pokok dan wajib disesuaikan dengan tingkat kemampuan ekonomi siswa, terutama kelompok kemampuan ekonomi tingkat menengah bawah ke bawah dari para siswa di sekolah itu. Administrasi Kopsis harus dilakukan secara teratur tertib, pengawasan dilakukan secara ketat sesuai dengan keputusan rapat anggota, hubungan kerjasama antara pembina, guru, pengurus koperasi, dan para anggota harus dijalin secara harmonis, hubungan antar personel tidak kaku, menghormati hak dan kewajiban masingmasing, melaksanakan kewajiban dan menerima haknya masing-masing sesuai dengan aturan main yang ada, adanya pengakuan prestasi kerja, tugas dan kewajiban setiap
anggota
disesuaikan
dengan
kemampuan
masing-masing,
pemberian
kesempatan untuk berkembang secara rasional terbuka. Para guru koperasi harus memanfaatkan koperasi sebagai tempat latihan dan belajar secara sel/ talk dan atau sel/ regulatory system untuk memperoleh hasil belajar ketrampilan dan kemampuan tingkat kompleks.
98 b Existence-Relatedness-Growth (ERG) Theory Alderfer (1969:142-175) dalam teorinya yang disingkat ERG theory menyatakan bahwa ada tiga kelompok kebutuhan dasar dalam diri manusia yang harus dipenuhi agar individu termotivasi keija: existence needs, relatedness needs and needs of growth. Existence needs. lembaga harus menyediakan kebutuhan dasar yang bersifat materi, yakni kebutuhan untuk mempertahankan hidup. Relatedness needs. lembaga harus menjamin terwujudnya kebutuhan hubungan antar pribadi secara sehat. Sedangkan needs of growth: lembaga memberikan kesempatan pertumbuhan dan perkembangan pribadi. Aplikasinya dalam pengembangan motivasi siswa dalam berkoperasi, Kopsis di samping menjual kebutuhan-kebutuhan pokok (alat-alat sekolah) yang dibutuhkan dalam mengikuti pendidikan sekolah, perlu juga menjual barang-barang (makanan) yang sering kali sangat dibutuhkan oleh siswa di sekolah. Di samping keuntungan non materi diharapkan Kopsis mampu memberikan keuntungan materi bagi para anggota Kopsis. Diusahakan terjadinya hubungan dan keijasama yang baik antar anggota Kopsis, pengurus dengan anggota, pengurus koperasi dengan pembina Kopsis dan guru koperasi, koperasi dengan seluruh personel sekolah yang lain. Kopsis harus ditempat-kan sesuai dengan fungsinya sebagai organisasi ekonomi siswa, laboratorium ekonomi dan penanaman nilai-nilai demokrasi eknomi kepada siswa sehingga mampu meningkat-kan pertumbuhan dan perkembangan ketrampilan dan kemampuan para siswa dalam dunia usaha (khususnya berkoperasi) c Teori Kebutuhan McClelland McClelland (dalam Robbins, 1996: 220) memfokusku motivasi manusia yang harus diperhatikan agar individu dalar
99 motivasi tinggi: 'needs for achievement, power and afFiliation'. Needfor achievement adalah kebutuhan untuk berprestasi lebih tinggi dari pada yang dicapai sebelumnya. McCIe-lland (1986) menerangkan bahwa orang yang berprestasi tinggi lebih suka mengerjakan pekeijaan-pekeijaan yang memberikan kebebasan bekerja, tanggung jawab pribadi untuk mencapai tujuan atau memecahkan masalah; memperoleh feedback langsung atas hasil pekerjaannya atau performansi pekerjaannya; dan tantangan kerja atau kesempat-an yang mengandung resiko wajar. Jadi mereka tidak menyukai keberhasilan karena kebetulan. Need for power adalah dorongan untuk memperoleh kekuasaan, yaitu dorongan untuk memiliki pengaruh dan mengontrol orang lain. Kelompok orang ini menyukai adanya perubahan-perubahan, suka berjuang untuk mencari pengaruh, lebih suka ditempatkan pada situasi-situasi yang bersifat kompetitif dan berorietasi status serta lebih perduli terhadap pencapaian prestise dan memperoleh pengaruh atas orang lain dari pada penampilan kerja yang efektif. Sedangkan need for affiliation adalah kelompok orang yang lebih suka pada pekerjaan yang membutuhkan persahabatan, kerja sama, dan keinginan melakukan persahabatan yang melibatkan persetujuan saling memahami kebutuhan. Aplikasinya dalam meningkatkan motivasi siswa dalam berkoperasi pembina dan para guru koperasi perlu menempatkan siswa sesuai dengan kebutuhan atau motif yang ada padanya. Para siswa yang memiliki motif berprestasi tinggi perlu lebih banyak diberikan pekerjaan dalam kegiatan koperasi ataupun tugas-tugas belajar yang memiliki tantangan dalam mengerjakannya namun memiliki resiko wajar, yang menuntut tanggung jawab pribadi untuk menyelesaikannya, dan cepat diberikan feedback atas hasil pekerjaannya, seperti meneliti mengapa barang-barang yang dijual di koperasi tidak laku, mengerjakan pembukuan keuangan Kopsis, mencari barang-
100
barang yang akan di jual di Kopsis berkualitas baik tetapi berharga relatif lebih murah dari harga di luar. Untuk para siswa yang memiliki motif berkuasa tinggi, mereka perlu diberikan tugas yang bersifat dinamis, memungkinkan mereka memperoleh pengaruh dan mengontrol orang lain, bersifat kompetitif dan berpristise tinggi, seperti menjadi pengurus Kopsis, ketua kelompok dalam mengerjakan tugastugas sekolah. Sedangkan mereka yang memiliki motif affiliasi tinggi, mereka perlu diberi tugas yang membutuhkan kemampuan hubungan antar manusia yang relatif tinggi, seperti bagian promosi, pemasaran, dan staf pengurus. d Goal Setting Theory Teori ini menyatakan bahwa perumusan sasaran secara spesifik dan memiliki tingkat kesulitan yang tinggi, yang diikuti dengan feedback akan menghasilkan perfoMnansi yang lebih tinggi. Semakin sulit sasaran yang ingin dicapai semakin tinggi perfor^mansinya. Namun teori juga mengatakan, semakin mudah sasaran semakin diterima. Sayangnya bila sasaran terlalu mudah akan kurang mendorong individu menggunakan tenaganya/potensi yang dimiliki semaksimal mungkin. Tetapi teori ini tetap berpegang, semakin individu menerima tugas yang berat, semakin ia akan mengerahkan tenaganya semaksimal mungkin sampai sasaran itu tercapai. Seseorang akan bekerja lebih baik bila ia memperoleh feedback seberapa jauh ia telah mencapai kemajuan dalam mencapai sasaran. Hal ini disebabkan feedback membantu individu dalam mengidentifikasi penyimpangan tehadap apa yang ia telah lakukan dan apa yang ingin lakukan. Aplikasinya dalam usaha meningkatkan motivasi siswa dalam berkoperasi, pembina dan para guru koperasi, perlu merumuskan sasaran yang ingin dicapai para siswa secara jelas dan lebih spesifik serta memiliki tingkat kesulitan yang relatif
101 tinggi, sehingga ia akan memeprgunakan tenaga/kemampuan yang dimiliki semaksimal mungkin. Perumusan sasaran jangan terlalu mudah, mungkin akan diabaikan atau para siswa akan kurang menggunakan kemampuan semaksimal mungkin. e. Equity Theory. Teori ini lebih menekankan pada peninjauan masalah perbandingan penghargaan dalam input dan output kerja individu. Individu cenderung membandingkan input dan hasil kerja mereka dengan input dan ouput orang lain, dan kemudian individu merespon masalah ini untuk memerangi ketidakadilan. Teori ini mengakui bahwa individu tidak hanya perduli terhadap jumlah penghargaan yang absolut atas usaha mereka tetapi juga hubungan jumlah penghargaan itu dengan apa yang orang lain terima. Apliaksinya dalam usaha meningkatkan motivasi siswa dalam berkoperasi, para pembina dan pendidik koperasi perlu memberikan penghargaan atas hasil kerja individu yang sesuai dengan tingkat kemampuan yang dikeluarkan (berbuat adil). Ketidakadilan pemberian penghargaan, akan memperlemah motivasi kerja dalam menyelesaikan tugas. f. Expectancy Theory Teori ini menegaskan bahwa tingkat kecenderungan bertindak pada suatu cara tertentu tergantung pada tingkat harapan bahwa tindakan itu akan diikuti oleh suatu hasil yang diberikan dan daya tarik hasil itu pada individu. Teori ini menegaskan juga bahwa dalam usaha meningkatkan motivasi kerja jangan sampai melupakan pertimbangan tentang kemampuan individu dan kesempatan yang diberikan oleh lembaga.
102 Aplikasinya, dalam usaha meningkatkan motivasi siswa berpartisipasi dalam Kopsis, para pembina dan pendidik koperasi perlu memberikan gambaran keuntungan (materi maupun nonmateri) yang akan diperoleh bila ia aktif berpartisipasi dalam Kopsis. Namun suatu hal yang perlu diperhatikan, bahwa pembina dan pendidik koperasi perlu komit untuk memberikan kesempatan kepada para siswa untuk mencapai keinginan/ sasaran yang diinginkan.
4. Sikap Menurut Robbins (1991:124; 1996:180) bahwa sikap adalah pernyataan evaluasi tentang sesuatu objek, orang atau peristiwa yang dinyatakan dengan perasaan menyenangkan atau tidak menyenangkan. Sedangkan pengertian sikap menurut Kretch et.al (1982: 139) merupakan suatu sistem yang sedang berlangsung yang terdiri dari kognitif, perasaan dan kecenderungan bertindak yang teroganisir pada objek dunia sekitarnya - sistem ini bersifat evaluatif secara positif atau negatif, perasaan-perasaan emosional, kecenderungan-kecenderungan bertindak pro dan kontra terhadap objek sikap. Krech, et al, (1982:140) mengemukan tentang komponen-komponen sikap: "The Components of attitudes: The cognitive component of an attitude consists of the beliefs of individual about the object....The feeling component of an attitude refers to the emotions connected with the object....The action tendency component of an attitude includes all the behavior readiness associated with attitude" Sikap mengandung tiga komponen: a. komponen sikap kognitif yaitu yang terdiri dari keyakinan-keyakinan evaluatif individu terhadap objek sikap. b. Komponen sikap perasaan yaitu komponen sikap yang berkenaan dengan emosi-emosi yang berhubungan dengan objek. c. komponen sikap kecenderungan bertindak, yang termasuk
103 komponen ini adalah semua kesiapan tingkah laku yang berhubungan dengan sikap. Jadi sikap akan mencerminkan keyakinan-keyakinan, perasaan-perasaan dan kecenderungan bertindak sesorang terhadap sesuatu objek sebagai hasil evaluasinya. Ketiga komponen itu tidak berdiri sendiri sendiri tetapi saling pengaruh mempengaruhi Kognisi seseorang tentang suatu objek sangat dipengaruhi oleh perasaannya dan kecenderungan-kecenderungan bertindak ke arah objek itu. Perubahan kognisi seseoramg pada suatu objek akan cenderung menghasilkan perubahan-perubahan dalam perasaan dan kecenderungan bertindak ke arah objek itu. (Kretch, etat., 1982: 139-140) Sikap seseorang terhadap sesuatu objek tidak begitu saja terjadi. Menurut Krech, et al. (1982) ada beberapa faktor yang mempengaruhi terbentuknya sikap: a. "Attitudes develop i n the process of want satisfaction"(p. 181). Sikap berkembang dalam proses pemuasan keinginan. Mengapa dalam diri sesorang muncul sikap tertentu terhadap suatu objek hal ini karena ingin memperoleh kepuasan, b. "The attitudes of individual are shaped by the information to which he is exposed" (p. 186). Sikap seseorang dibentuk oleh informasi yang diterima. Baik-buruknya atau valid-tidaknya informasi yang seseorang terima akan mempengaruhi sikapnya, c. The group affiliations of the individual help determine the formation of his attitudes (hal. 191). Affiliasi-afiliasi individu dalam sesuatu kelompok akan mempengaruhi sikapnya. Masuknya individu dalam suatu kelompok membawa konsekuensi ia harus belajar tentang keyakinan, norma dan nilai yang berlaku dalam kelompok dimana ia menjadi bagian dari kelompok itu. Di sini ia memperoleh informasi yang akan mempengaruhi pandangannya terhadap suatu objek tertentu. Di samping itu agar dapat diterima oleh kelompok ia harus ikut mempertahankan keyakinan, norma dan
104
nilai yang berlaku dalam kelompok itu. Dengan demikian ia telah berubah sikapnya, baik itu perubahan itu secara congruent maupun incongruent. Pada saat yang sama individu tersebut juga membawa informasi, keyakinan, norma dan nilai ke dalam kelompok baru. Semua yang dibawa olehnya akan ikut mewarnai pengetahuan, perasaan dan kecenderungan anggota kelompok yang lain. Pendek kata akan mempengaruhi sikap anggota kelompok yang lain. Ini berarti sikap individu terhadap suatu objek banyak dipengaruhi oleh keinginan, informasi yang diterima dan kelompok di mana seseorang berafiliasi. Ia akan bersikap positif terhadap objek yang dapat memuaskan keinginannya dan bersikap negatif atau kurang menyenangkan terhadap objek yang menghalangi keinginannya. Informasi tentang suatu objek yang diterima mempengaruhi sikap individu terhadap suatu objek. Namun, apakah informasi akan mengubah sikap sangat tergantung pada hakekat sistuasi komunikasi, karakteristik komunikator, media komunikasi, bentuk dan isi pesan (Kretch, et.al., 1982: 246). Ia juga menjelaskan bahwa pemberian informasi secara kelompok dalam satu tempat lebih effektif dari pada yang pendengarnya berpisafvpisah tempat jika mayoritas kelompok mendukung posisi komunikator, cara ini kurang effektif jika mayoritas menolak. Metode keputusan kelompok lebih effektif daripada metode ceramah dalam pembentukan sikap. Agar efektif dalam pemberian iformasi untuk mengubah sikap, pemberi informasi adalah orang yang dapat dipercaya dan attraktif. Penyampaian pesan dari mulut ke mulut lebih effektif dari pada penyampaian pesan lewat m a ^ f f ^ ^ ^ W mass-media memainkan peran penting dalam proses pengaruh s/s^tjcfan p^baf&yV>\ jl -V'? - ^ \ sosial bersamaan pemuka masyarakat memberikan pengaruh dap muluHte mulut di
105 masyarkat. Isi informasi akan mempunyai makna dalam perubahan sikap individu bila isi pesan tersebut memiliki nilai fungsional yang lebih besar bagi individu dari pada yang dimiliki sekarang. Sedangkan keefektifan affiliasi kelompok baru dalam pembentukan sikap sangat tergantung pada hakekat norma kelompok, pengendalian kelompok dan keefektifan monitoring (Kretch, et al., 1982:247). Apabila norma kelompok diterima oleh mayoritas anggota, maka norma ini akan dapat dipakai sebagai sarana untuk mengubah sikap anggota dan sebaliknya. Kohesifan dan daya tarik kelompok akan merupakan
sumber
kekuatan
kelompok
untuk
mempengaruhi
anggotanya.
Monitoring kelompok atas penyimpangan-penyimpangan anggota secara rutin, adil dan bijak akan mampu mengendalikan dan mengembangkan sikap positif anggota terhadap kelompok. Keinginan, informasi dan afiliasi individu pada suatu kelompok merupakan faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan sikap.Yang menjadi masalah adalah bagaimana cara merubah sikap individu. Menurut Milton, (1981: 33) ada tiga cara untuk mengubah sikap: mengubah tingkah laku, mengubah kognisi, dan mengubah perasaan. Untuk mengubah tingkah laku, seseorang dapat melakukan pendekatan mengubah
sikap-sikap
yang
tidak
diinginkan dengan tingkah
laku
yang
menyertainya, seperti diadakan pendisiplinan kegiatan. Untuk memodifikasi kognitif dapat dilakukan dengan mengubah ide dan keyakinan. Sikap yang tidak diinginkan biasanya muncul sebagai akibat kurangnya informasi atau salah informasi. Oleh karena itu pengubahan ide dan keyakinan ini dapat dilakukan dengan cara menggantikan informasi yang mendasari ide atau keyakinan yang selama ini dipertimbangkan salah. Bagi mereka yang bersikap yang tidak diinginkan karena
106 kurangnya informasi maka untuk mengubah sikapnya dapat dilakukan dengan memberikan informasi dan fakta-fakta tambahan. Sedangkan mereka yang memiliki sikap perasaan yang tidak diinginkan dapat dilakukan pengubahan dengan cara mendengarkan secara baik apa yang menjadi keluhannya dan diadakan negosiasi. Aplikasinya dalam usaha menumbuhkan sikap positif siswa terhadap Kopsis, pembina dan pendidik koperasi perlu (a) memberikan informasi bahwa setiap anggota memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh keuntungan materi maupun non materi atas dasar aturan-aturan yang berlaku, (b) memberikan pendidikan dan latihan secara terus-menerus sehingga para siswa memahami secara dalam tentang tujuan, fungsi, hakekat, mekanisme Kopsis, dan hak dan kewajiban masing-masing personil Kopsis; (c) selalu memberikan informasi tentang kondisi dan situasi penyelenggaraan koperasinya, perkembangan dan keberhasilan yang dicapai Kopsis, termasuk keberhasilan-keberhasilan yang dicapai oleh pengurus, komitmen tim pengawas dalam melaksanakan tugasnya dan komitmen personel koperasi lainnya dalam melaksanakan kewajibannya; (d) memberikan kesempatan secara terbuka untuk melihat secara dekat penyelenggaraan koperasinya, sehingga setiap anggota akan memperoleh informasi secara nyata apa yang terjadi di koperasinya dan tidak terjadi salah informasi; (e) memberikan penghargaan secara khusus kepada mereka yang telah berjasa pada koperasi; (f) memonitor dan mendisiplinkan mereka yang memiliki kecenderungan bertindak yang tidak diinginkan; (h) mendengarkan keluhan dan menegosiasi kepada mereka yang memiliki sikap perasaan yang tidak diinginkan; (i) selalu meningkatkan kehosifan oganisasi kerja dan daya tarik Kopsis; (j) mengusahakan semua kegiatan dan pelaksanaan Kopsis selalu didasarkan hasil rapat anggota; (k) pemberian pendidikan dan latihan dalam bentuk training kelompok yang
107 dilakukan oleh para trcdner yang atraktif, dapat dipercaya dan diterima peserta training.
E. TEORI PENDIDIKAN Pandangan tentang apa pendidikan atau pembinaan, bagaimna proses peserta didik itu belajar dan bagaimana ia memberikan makna belajar sangat mempengaruhi pola pemikiran bagaimana sesorang seharusnya membina, mendidik atau mengajar individu. Secara umum para ahli didik memberikan makna belajar sebagai proses perubahan perilaku dan pendidikan sebagai proses merubahnya. Namun masingmasing tokoh pendidikan memberikan tekanan konsep yang berbeda-beda tentang bagaimana proses terjadinya dan apa fungsi pendidikan itu. Pendidik mengemban tanggung jawab untuk mengambil khasanah dari berbagai konsep pendidikan yang telah dikemukakan oleh para ahli untuk diramu dan diterapkan sesuai dengan kondisi di lapangan. Dalam proses pendidikan, seharusnya pendidik jangan hanya mentransmisikan fakta, konsep dan teori kepada para siswa. Ia juga harus memberikan kesempatan siswa untuk merenungkan, menyadari dan menangkap masalah-masalah yang teijadi di lingkungan kehidupannya dan selanjutnya melakukan aktivitas-aktivitas nyata yang berupa pemecahan-pemecahan masalah yang ada di sekitarnya. Psikologi humanistik, sebagai pangkal pemikiran model pembelajaran interaksionis, berpandangan bahwa: "man, a social being who fiilfil his potential only in interdependency with his feilow man and the viable context of a human community" (Lapp et al., 1975: 195). Manusia hanya mampu memenuhi potensinya dalam saling ketergantungannya dengan masusia yang lain dan dalam kontek masyarakat manusia.
108 Dalam konsep ini belajar adalah proses interaksi antara guru dengan siswa, antara siswa dengan isinya, antara siswa dengan lingkungannya, antara pemikiran dan kehidupannya. Belajar lebih daripada hanya pengumpulan fakta. Belajar adalah memahami dan mengahyati fakta, melihat fakta yang diinterpretasikan ke dalam keseluruhan
konteks
kehidupan.
Manusia
hanya
akan
mampu
menyusun
pertumbuhannya, perkembangan kepribadiannya, pembentukan konsep dirinya, pendidikannya dan berbagai unsur penting yang lain dalam pembentukan kemanusiannya dalam kontek/ hubungannya dengan manusia-manusia lain di dalam masyaraktanya. Konsep ini memiliki kesamaan dengan konsep social progresivism dari John Dewey. Dewey (1916) mengemukan bahwa pendidikan memiliki fungsi konservatif dan konstruktif. Pada satu sisi bahwa pendidikan memiliki fungsi penanaman dalam hal sekolah seharusnya mentransmisikan mores atau adat istiadat dan budaya yang ada di masyarakatnya. Pada sisi lain ia memandang pendidikan sebagai proses dinamik yang dapat membantu siswa berpartisipasi dalam proses demokratis. Lebih tegasnya Dewey (1916) mengklaim bahwa sekolah mempunyai 3 fungsi yaitu simplifikasi, purifikasi dan balansi warisan budaya. Simplifikasi berarti bahwa sekolah mengidentifikasikan elemen-elemen kunci budaya yang seharusnya siswa pelajari. Purifikasi berarti bahwa sekolah seharusnya menekankan elemen-elemen kunci budaya yang dapat mempermudah pertumbuhan dan perkembangan positif dan mengiliminasi yang menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak. Balansi mengacu kepada pengintegrasian berbagai aspek pengalaman kedalam keseluruhan kehidupan yang harmonis. Dengan ketiga fungsi tersebut diharapkan menjadi acuan
109 para pendidik dalam melaksanakan pendidikan agar dapat mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan. Menurut Dewey (1916), tujuan pendidikan adalah pertumbuhan, yakni berkem-bangnya fungsi diri baik sebagai makhluk individu maupun sosial, tumbuhnya peng-alaman sebagai refleksi untuk memahami lingkungannya dan kemampuan merekon-struksi lingkungannya. Pertumbuhan melibatkan rekonstruksi pengalaman dan pengetahuan yang membantu penyaringan dan pengontrolan pengalaman masa depan. Peng-alaman pendidikan yang dimaksud adalah pengalamanpengalaman yang diperoleh dari hasil pemahaman permasalahan lingkungan yang memiliki kemampuan untuk memper-mudah pertumbuhan kemampuan subjek belajar untuk
merekonstruksi
lingkungannya.
Pengalaman
positif
mempermudah
pertumbuhan sedangkan pengalaman negatif akan menghambatnya. Pengalaman yang disadari anak sangat penting artinya bagi dirinya. Oleh karenanya Dewey mengemukakan pentingnya suatu proses belajar berdasarkan pengalaman yang dalam konsepnya ia nyatakan dengan istilah learning by doing. Dalam proses pendidikan, pengalaman anak merupakan pangkal utama berpijak bagi teijadinya perkembangan anak. Suatu konsep (informasi) yang diberikan kepada anak mungkin sekali dapat dengan mudah diterima dan diingat oleh anak Namun ini belum bermkna bagi anak selama belum menjadi kesadaran dalam diri anak. Pendidik harus mampu membuat anak sadar terhadap informasi, konsep atau persoalan-persoalan yang ada di sekitarnya sebagai sesuatu yang menarik perhatian dan penting baginya untuk dipelajari dan dipecahkan atau direkonstruksi. Pendidikan yang sebenarnya harus berpusat pada anak dan pengalaman yang sedang disadarinya. Setiap memperoleh pengalaman baru, individu membentuk mental
110 picture dimana ia mengorganisir semua data tentang pengalaman kehidupannya. Namun pengalaman baru yang terorganisir tersebut belum memiliki arti sebelum subjek belajar merekonstruksi berbagai pengalaman baru tersebut dengan organisasi mentalnya sehingga membentuk konsep baru yang bermakna baginya. Ini berarti setelah individu memperoleh arti atas apa yang dipelajari, ia memodifikasi pengalaman sebelumnya, ia telah belajar sesuatu yang baru, atau pengalaman telah mendidiknya. Sekali individu telah memahami pengalaman baru dengan penuh kesadaran, ia juga telah memperoleh kontrol masa depannya. Ia tahu bagaimana merespon dan mempergunakannya . Di dalam proses pendidikan Dewey menekankan pendidikan yang berpusat pada anak dan pengalaman yang disadarinya. Namun demikian ia tidak menginginkan pendidik terlalu mengikuti apa yang anak sedang sadari atau menjadi minatnya. Anak memiliki minat atau kebutuhan riil yang harus dipenuhi - termasuk kebutuhan yang belum disadari. Pendidik memiliki tanggung jawab untuk memperhatikan minat anak, dan membimbing serta mengarahkan ke arah sesuatu yang belum menjadi kesadaranya/ minatnya ke dalam kesadarnnya/minatnya. (Lapp, 1975:150-151). Pelaksanaannya dapat dilalaikan dengan menunjukkan pentingnya konsep, informasi, persoalan yang ada di sekitarnya sebagai sesuatu yang perlu difahami, dicari alternatif pemecahannya dan direkonstruksi sehingga bermakna bagi dirinya dan kehidupan masyarakatnya. Tujuan pendidikan progresif adalah pembentukan manusia 'sosial-individu', oleh karena itu pendekatan pendidikan yang Dewey anjurkan adalah pendekatan yang mampu mengembangkan manusia sebagai makhluk individu dan sosial - mampu merekonstruksi informasi, konsep, teori yang telah dimiliki dan baru saja diterima
111 serta permasalahan-permasalahan yang dihadapi menjadi konsep mental yang baru di dalam memahami lingkungannya, yakni dengan menggunakan metode ilmiah yang dilakukan secara kolaboratif. Metode ini biasa disebut metode problem solving. Sejalan dengan konsep pendidikan Dewey tersebut adalah konsep pendidikan yang dikemukakan oleh Friere (1972:1-48). Dia mengemukakan bahwa pencapaian tujuan pendidikan harus sampai pada taraf kemampuan transformasi. Subjek didik tidak hanya sampai pada taraf mampu mengungkap realitas, tahu ada masalah dan menyadari adanya masalah, tetapi sampai pada taraf tumbuh kemampuan untuk menganalisa masalah, menjadi partisipan aktif dalam menemukan alternatif pemecahan masalah dan menyelesaikan masalah yang dihadapi secara bersama. Untuk mencapai tujuan tersebut Freire menggunakan metode pendidikan hadap masalah atau problem solving. Hal ini sejalan dengan keyakinannya bahwa pendidikan yang hanya memberikan kesempatan kepada subjek didik sebagai pengumpul dan penyimpan informasi (pendidikan gaya bank), akhirnya bukan subjek didik sebagai penyimpannya tetapi dialah yang akhirnya tersimpan. Persoalannya adalah karena keterbatasan subjek didik akan daya cipta, daya ubah dan pengetahuan realitas lingkungannya. Tanpa usaha mencari, tanpa refleksi dan tindakan, manusia tidak akan menjadi benar-benar manusiawi. Pengetahuan hanya lahir melalui usaha penemuan dan penemuan ulang, mencari penemuan manusia yang gelisah, tidak sabar, terus menerus dan penuh harapan di dunia bersama orang lain (Freire, 1972: 50-51). Atas dasar keyakinannya tersebut Freire (1972: 71-123) mengemukan prinsip proses pendidikan secara dialogis dengan 3 langkah kegiatan: membiarkan subjek didik menginventarisir masalah yang dihadapi, menganalisa sebab-akibat terjadinya
112 masalah dan menganjurkan subjek didik secara bersama-sama bertindak memecahkan masalah tersebut. Atas dasar konsep-konsep pendidikan tersebut dapat disimpulkan bahwa proses pendidikan harus dilakukan sebagai berikut: 1. Manusia hanya akan mampu mengembangkan potensinya dalam saling ketergantungannya dengan manusia lain dan lingkungannya. 2. Pendidikan harus berfungsi sebagai konservasi dan rekonstruksi budaya, sehingga mampu memacu pertumbuhan rekonstruksi konsep mental. Pendidikan bukan hanya pemberian pengetahuan yang konseptual tetapi harus praktikal dalam arti memahami dan memecahkan masalah lingkungannya secara langsung. 3
Proses pendidikan harus bersifat interaktif antar subjek didik, antara subjek didik dengan pendidik, subjek didik dengan lingkungannya, antara pemikirannya dengan lingkungannya. Proses pendidikan harus berdasarkan kondisi psikis dan sosial subjek didik, yaitu minat dan sesuatu yang sedang menjadi kesadarannya serta warisan budaya sekitarnya. Pendidik bertanggung jawab untuk membuat sesuatu yang akan dipelajari menjadi menarik subjek didik. Di dalam belajar subjek didik harus interaktif dan aktif bertindak secara kolaboratif.
4. Proses pendidikan diharapkan mampu membantu memudahkan subjek didik memperoleh pengalaman yang bermakna bagi subjek didik dalam hidup di masyarakat. Untuk mencapai tujuan ini pendidikan tidak hanya memebrikan pengetahuan konseptual tetapi juga harus membuat subjek didik aktif mencari, menganalisa, dan memecahkan masalah yang ada disekitarnya (termasuk aktif bertindak melakukan tindakan-tindakan baru atas dasar temuannya).
113
5. Program pendidikan hendaknya disusun sebagai satu kesatuan antara pendidikan dalam kelas dengan program pendidikan di luar kelas. Atas dasar konsep-konsep tersebut, aplikasinya dalam pendidikan koperasi di sekolah, khususnya tentang peningkatan efektivitas partisipasi
siswa dalam
berkoperasi, guru koperasi seharusnya tidak hanya memberikan pengetahuan konseptual tentang koperasi tetapi harus memberikan kesempatan kepada para siswa (atas dasar pengetahuan konseptual yang dimiliki) untuk aktif mencari dan mengidentifikasi persoalan yang ada di Kopsisnya, menganalisa sebab akibat persoalan secara sistemik, brainslorming alternatif pemecahan persoalan yang ada, dan secara bersama-sama merencanakan secara demokratis untuk menerapkan solusisolusi yang diperoleh. Sedangkan pelaksanaan pembinaan perilaku siswa dalam berkoperasi yang tidak langsung berkaitan dengan pembelajaran di dalam kelas, di samping para siswa diberikan berbagai penjelasan dan penataran atau training tentang perkoperasian dan koperasi yang ada di sekolahnya, mereka juga diberi kesempatan untuk terlibat secara aktif dalam kegiatan-kegiatan pengelolaan koperasi, khsususnya kegiatan inventarisasi permasalahan yang dihadapi, analisa persoalan secara sistemik, pemikiran alternatif pemecahan masalah, dan pelaksanaan program pemecahan masalah. (Aschuler, 1980: 43 - 114) Untuk mencapai tujuan tersebut program pembinaan partisipasi siswa dalam berkoperasi tidak hanya berupa program pembinaan yang langsung berkenaan dengan pembinaan kegiatan/ penyelenggaraan Kopsis tetapi mencakup program pembinaan dalam kelas atau program pembelajaran. Kedua program tersebut harus berjalan sebagai satu kesatuan yang saling mendukung pencapaian tujuan peningkatan partisipasi siswa dalam koperasi atau siswa dalam berkoperasi.
114 F. MODEL PEMBELAJARAN KOPERASI Berdasarkan uraian di atas, bahwa proses pembelajaran (koperasi) menuntut suatu model pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada anak untuk memperoleh pengalaman yang berupa teori dan prkatek sebagai satu kesatuan baik di dalam maupun di luar kelas, belajar dalam proses mencari, menghayati, memilih, menentukan, melakukan dan mengmbil keputusan sendiri terhadap apa yang sedang dipelajari. Dengan istilah lain proses pembelajaran koperasi menuntut adanya model pembelajaran yang melibatkan azas-azas didaktik atau azas-azas pembelajaran sebanyak mungkin. Azas-azas pembelajaran itu antara lain: motivasi, minat dan perhatian, apersepsi, korelasi,
integrasi,
individualisasi, peragaan, penilaian,
sosialisasi, belajar alam sekitar, belajar kesinambungan, aktivitas, belajar sambil bekerja, penemuan, pemecahan masalah, kontektual dan azas kegunaan. Samana (1992: 95) mengatakan bahwa model pembelajaran yang baik adalah yang dapat menerapkan azas-azas didaktik secara tepat (semakin banyak azas didaktik yang diterapkan secara tepat pembelajaran tersebut semakin baik). Menurut Cole dan Chan (1994:2-6) model pembelajaran itu memiliki unsurunsur secara hierarkhis. Pada tingkatan tertinggi atau tingkatan pemikiran yang paling abstrak atau paling teoritis, unsur itu disebut model, dan pada tingkatan yang paling rendah atau operasional, unsur itu disebut strategi, prosedur dan teknik. Menurut Cole dan Loma (1994:4) model pembelajaran merupakan serangkaian ideide atau proposisi-proposisi dari suatu pemikiran yang abstrak yang dapat digunakan untuk membimbing memilih prinsip-prinsip, metode-metode, dan mengambil keputusan praktis. Model mencakup di dalamnya gambaran prinsip-prinsip, metode, strategi, prosedur dan teknik yang dapat dilakukan. Menurut Reigluth (1983: 21)
115 model pembelajaran merupakan serangkaian komponen strategi yang terpadu, seperti dalam pengurutan bahan ajar, penggunaan ikhtisar dan ringkasan, penggunaan contoh,
pelaksanaan praktik, penerapan strategi yang berbeda-beda dalam
memotivasi siswa. Pembelajaran merupakan serangkaian aktivitas yang dilakukan oleh pendidik atau tutor yang bertujuan untuk membantu dan membina atau memepermudah proses belajar subjek belajar atau siswa. Koperasi yang dimaksudkan dalam penelitian ini mencakup dua penegrtian: 1. koperasi dalam arti bagian mata pelajaran ekonomi yang membicarakan tentang dunia usaha dalam bentuk keija sama ekonomi yang mementingkan kepentingan anggota, dan 2 koperasi dalam arti Kopsis yang berfungsi sebagai organisasi ekonomi siswa, lab ekonomi dan lab pembinaan kepribadian siswa, termasuk dalam pengembangan dan penanaman langsung nilainilai kehidupan ekonomi yang bersifat demokratis (Ditjen Dikdasmen, 1991). Berdasarkan fungsi Kopsis tersebut mengisyaratkan bahwa dalam membelajarkan koperasi untuk meningkatkan partisipasi para siswa dalam Kopsis, para guru dan pembina Kopsis hendaknya memandang pembelajaran koperasi dalam kelas dan di luar kelas sebagai satu kesatuan. Oleh karena itu model pembelajaran koperasi adalah serangkaian ide-ide atau proposisi pemikiran yang bersifat abstrak yang dapat digunakan untuk membimbing dan memilih prinsip-prinsip, metode, strategi, prosedur dan teknik, pengurutan bahan ajar, penggunaan contoh, pelaksanaan praktik, pemberian tugas, dan pengambilan keputusan tentang berbagai aktivitas yang perlu dilakukan pendidik atau tutor dalam membantu dan membina atau mempermudah proses belajar subjek belajar dalam bidang perkoperasian, baik belajar koperasi yang dilakukan di dalam maupun di luar kelas. Dengan kata lain, dalam proses pembelajaran koperasi menuntut digunakannya model pembelajaran yang
116 menuntut siswa belajar secara aktif melalui pemerolehan pengetahuan secara konseptual dan pengalaman yang diperoleh secara langsung dalam kehidupan nyata. Dengan pengertian tersebut model pembelajaran koperasi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah model pembelajaran koperasi yang terpadu antara belajar koperasi di dalam dan di luar kelas. Model ini serupa dengan pendidikan sistem ganda (PSG) atau dual sistem,. Menurut Wolf, (1992: 30) model ini merupaka: "/wo places of learning of equal values and of the same Standard are kombined together to form a systemPengertian ini menggambarkan bahwa pembelajaran dan pembinaan terpadu
ini
merupakan
suatu
sistem
pembelajaran
dan
pembinaan
yang
menggabungkan dua tempat belajar yang memiliki nilai dan standar yang sama. Selanjutnya Schipers dan Patriana (1994:40-42) dan Pakpahan (1995:5) menyatakan bahwa
sistem ganda
merupakan
model
penyelenggaraan
pendidikan
yang
perencanaan dan pelaksanaannya diwujudkan melalui kemitraan antara dunia kerja dengan sekolah, dan penyelenggaraan pendidikannya dilaksanakan sebagaian di sekolah (kelas) dan sebagian lagi di dunia usaha (luar kelas). Sedangkan Idler et al. (1995:28) memberikan pengertian sistem ganda sebagai "Vocational and technical training under such a patnership between training insitut and interprises of formal and informal sector". Pandangan ini menekankan adanya pasangan kerjasama dalam pendidikan antara sekolah dengan sektor formal dan informal. Berdasarkan berbagai pandangan tersebut dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya model pendidkan secara terpadu atau sistem ganda tersebut meupakan sistem penyelenggaraan pendidikan yang mengintegrasikan program pendidikan di sekolah (secara konseptual dalam kelas) dengan program penguasaan keahlian di
117 dunia usaha (luar kelas). Dalam sistem ini mereka bersama-sama bertanggung jawab atas penyelenggaraan pendidikan mulai perencanaan sampai evaluasi. Dalam penyelenggaraan pendidikan siswa dalam berkoperasi, pelaksanaan pendidikan secara terpadu atau sistem ganda ini dapat dilakukan dengan tiga pola. Pertama,
sekolah mneyelenggarakan pembelajaran secara konseptual dengan
memiliki lembaga usaha (koperasi) sebagai tempat praktik atau labnya. Kedua, sekolah menyelenggarakan pendidikan secara konseptual yang diikuti dengan mengadakan kerjasama dengan lembaga usaha koperasi atau lembaga usaha lain di luar sekolah sebagai tempat magang atau praktik. Ketiga, sekolah mneyelenggarakan pembelajaran secara konseptual dengan memiliki lembaga usaha (koperasi) sebagai tempat praktik atau labnya serta kerjasama dengan lembaga usaha lain yang dipandang lebih maju sebagai tempat studi banding dan untuk memperoleh pengalaman praktik yang lebih luas atau magang. Prinsip-prinsip merupakan jabaran pembelajaran dari model teoritis. Prinsip merupakan generalisasi-generalisasi yang digunakan sebagai petunjuk bertindak (Cole dan Chan 1994: 4). Oleh karena itu prinsip pembelajaran adalah generalisasigeneralisasi yang digunakan sebagai petunjuk dalam usaha membelajarkan siswa. Metode pembelajaran adalah serangkaian rencana pembelajaran, strategi dan teknik yang digunakan untuk mengorganisasikan pelaksanaan pembelajaran (Cole dan Chan 1994:4). Metode pembelajaran menjelaskan prosesedur-prosedur yang dilakukan langkah demi langkah dalam proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan. Metode yang dimaksudkan dalam penelitian ini merupakan langkah-langkah, strategi dan teknik yang langsung diterapkan dalam
118
proses pelaksanaan membelajarkan siswa tentang koperasi baik di dalam maupun di luar kelas. Strategi adalah rencana mengajar berskala kecil. Mereka merupakan operasional pengajaran yang sangat spesifik yang digunakan untuk membimbing aktivitasaktivitas pendidik atau tutor di dalam proses membelajarkan peserta didik (Cole dan Chan 1994: 5). Dengan kata lain strategi adalah penetapan komponen-komponen pengajaran utama agar penyajian isi pelajaran dapat mencapai sasaran belajar dan dapat difahami oleh peserta didik secara efektif dan efisien. Di dalam konteks pembelajaran, strategi digunakan untuk mempertinggi dan mempermudah pencapaian tujuan pembelajaran secara khusus. Dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien para pendidik menggunakan strategi pembelajaran di dalam kelas dengan cara memadukan dua atau lebih metode dan media pembelajaran. Prosedur merupakan bagian-bagian individual strategi pembelajaran atau meru-pakan komponen-komponen strategi pembelajaran yang dilakukan langkah demi langkah. Prosedur merupakan langkah-langkah pengajaran yang kongkret yang mendukung pencapaian tujuan khusus pembelajaran. Teknik merupakan prosedur-prosedur pembelajaran dari segi yang paling praktis yang dirancang untuk mencapai kemanfaatan pembelajaran jangka pendek. Teknik lebih merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan yang paling kecil. Strategi, prosedur dan teknik merupakan level hierakhi yang paling rendah dalam urutan kerangka pemikiran model pembelajaran karena ini berkenaan dengan penerapan praktis dalam proses pembelajaran. Sedangkan pengurutan bahan ajar, penggunaan contoh, pelaksanaan praktik, pemberian tugas, dan pengambilan keputusan merupakan aplikasi dari strategi, prosedur dan teknik yang telah
119 dirumuskan dalam aktivitas nyata proses pembelajaran perkoperasian. Di mana pengurutan bahan ajar merupakan tindakan yang diambil pendidik atau pembina koperasi dalam mengurutkan materi pembelajaran secara hierarkhis dari yang sederhana ke yang kompleks, mudah ke yang sukar dan sebagainya. Urutan bahan ajar tersebut perlu diikuti contoh-contoh yang sesuai, bagaimana praktiknya bagi subjek belajar, dan pemberian tugas dan latihan yang perlu dilakukan oleh subjek belajar. Sedangkan pengambilan keputusan adalah penentuan pilihan berbagai aktivitas-aktivitas yang akan dilakukan oleh pendidik atau pembina koperasi (atas dasar prinsip, metode, strategi, prosedur dan teknik) dalam proses membelajarkan peserta didik. Gambaran hierakhis antara teori dan praktik tersebut dapat dilihat pada gambar 8. Dengan alas pemikiran bahwa pembelajaran koperasi dalam kelas dan luar kelas harus dipandang sebagai satu kesatuan antara pembelajaran koperasi yang bersifat teoritis konseptual dan pembelajaran praktik koperasi atau berusaha, maka model
pembelajaran koperasi harus merupakan model
pembelajaran yang
menyatukan antara pembelajaran koperasi dalam kelas dan luar kelas. Dengan kata lain agar partisipasi
Gambar 8 : Gambaran hierarkhis atau diagramatik antara model teoritis pembelajaran dan praktik pembelajaran Sumber : Peter G, Cole and I .oma Chan. 1994. Teachina Princioles and Practice. p. 3.
120 siswa meningkat maka model pembelajaran koperasi itu harus merupakan model pembelajaran yang memanfaatkan azas-azas pembelajaran atau azas-azas didaktik sebanyak mungkin. Dengan model ini diharapkan pencapaian tujuan dan fungsi Kopsis bisa tercapai. Model pembelajaran koperasi yang banyak memenuhi azas didaktik adalah model pembelajaran yang mengarah pada cara beljar siswa aktif (CBSA), khususnya pembelajaran berdasarkan pengalaman dan ketrampilan proses, social learning, pemecahan masalah. Dengan alas pemikiran, tingkatan belajar yang bersifat pemecahan masalah,
berdasarkan pengalaman,
dan social learning
merupakan proses belajar langsung yang menuntut pemecahan masalah paling tinggi tingkatnya (Piaget, 1967, 1970, 1976; Gagne dalam Lefrancois, 1975. 114-120; Gagne, 1977a. 34-36; Bandura, 1977a, 1978: 344-358, 1982b: 122-147). Melalui CBSA, pelaksanaan pembelajaran koperasi akan lebih memenuhi azas-azas didaktik seperti: motivasi (pembelajaran dilakukan sesuai dengan tingkat kebutuhan siswa dan makna belajar bagi siswa, konteks (permasalahan yang dipelajari disesuaikan dengan jaringan-jaringan
yang terkait
dengan bahan ajar),
sosial dan
individual
(pembelajaran dilakukan melalui tugas-tugas individual dan kelompok, program belajar sesuai dengan tingkat kemampu-annya dan perkembangannya, optimalisasi kemampuan belajarnya), belajar melalui bekerja (mendayagunakan seluruh daya hidup: fisik, sosial dan mental), azas penemuan (siswa dibimbing untuk mengolah pengalamannya, melakukan eksplorasi keilmuan, dipandu dalam analisis-sistesisnya agar menemukan kebenaran dan nilai hidup yang bermakna bagi dirinya dan orang lain), azas pemecahan masalah (siswa dibimbing agar siswa menyadari adanya masalah, mencirikan masalah yang ditemuinya atau mengiden-tifikasi masalah, dapat mengajukan dugaan atau alternatif pemecahan masalah, mengumpulkan fakta atau
121 informasi, data, konsep yang relevan untuk memecahkan masalahnya, siswa terlibat aktif dalam pemecahan masalahnya atau verifikasi, menyimpulkan hasil pemecahan masalahnya, serta merencanakan tindak lanjutannya). Pembelajaran yang mendasarkan CBSA merupakan suatu strategi mengajar yang dapat mengakibatkan anak didik melakukan aktivitas belajar, yaitu aktivitas belajar yang melibatkan kemampuan fisik, mental, dan sosial sebagai akibat dari cara guru membelajarkan anak didik. Dalam model pembelajaran yang bersifat CBSA, pembelajaran memusatkan perhatian pada peranan, inisiatif dan keikutsertaan anak didik yang tinggi dalam menetapkan masalah, mencari informasi dan cara pemecahan masalah. Inti dari pada ciri-ciri pembelajaran CBSA yang berhasil adalah pemberian kesempatan kepada anak didik untuk aktif, mendayagunakan segala kemampuannya (fisik, mental dan sosial) secara optimal, banyak usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh siswa secara terarah, di bawah bimbingan guru atau pembina yang kreatif dan penuh dedikasi. (Samana, 1992: 102). Menurut McKeachie (1954: 2) ada tujuh pertimbangan atau prinsip untuk mengukur kadar ke-CBSA-an pembelajaran: 1 Seberapa jauh partisipasi siswa dalam menetapkan tujuan kegiatan pembelajaran. 2 Adanya pengutamaan aspek afektif dalam pembelajaran. 3 Partisipasi siswa dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran, terutama yang berbentuk interaksi antar siswa. 4. Adanya ketulusan penerimaan dari fihak pendidik terhadap perbuatan dan sumbangan peserta didik, baik yang relevan maupun yang kurang relevan, bahkan yang salah. 5. Adanya kekohesifan kelas sebagai kelompok belajar.
122 6. Adanya kesempatan yang diberikan kepada peserta didik untuk mengambil keputusan-keputusan penting dalam kehidupan sekolahnya. 7. Seberapa banyak waktu yang dipergunakan untuk menanggulangi masalah pribadi peserta didik. Sehubungan dengan hal ini, Sudjana dan Arifin (1988:33-34) mengemukakan prinsip-prinsip lebih rinci tentang praktik ke-CBSA-an yang berhasil: 1. Dari sudut siswa, tampak adanya keinginan yang kuat untuk belajar, partisipasi belajar yang tinggi, berani menampilkan diri dan kreatif, kebebasan belajar yang terarah tinggi. 2. Dari sudut guru, tampak adanya aneka usaha untuk memotivasi belajar peserta didik, terdapat kecekatan dalam mengorganisir pembelajaran, kesediaan guru untuk menerima sumbangan siswa (baik benar maupun salah), dan kesediaan guru untuk membantu mengatasi kesulitannya. 3. Dari sudut program, tampak adanya program yang sesuat dengan tujuan (kebutuhan siswa) program tersebut cukup jelas batas-batasnya dan sekaligus menantang siswa, dan bahan tersebut mengandung isi pesan yang lengkap (fakta, konsep, prinsip atau generalisasi dan teori). 4. Dari sudut situasi belajar, tampak adanya iklim sosial kelas, yang intim, kooperatif, bersemangat, bergembira dalam melaksanakan tugas dan bersdisiplin, tampak adanya persaingan yang sehat secara perorangan maupun kelompok. 5. Dari sudut pengadaan sarana belajar, tampak adanya kelengkapan sumber belajar, sarana belajar, media belajar, fleksibelilitas pengaturan waktu belajar, dan adanya kemungkinan siswa belajar di dalam maupun di luar kelas.
123
Praktik CBSA dapat dilakukan dengan berbagai metode pembelajaran, namun yang memiliki tingkat keterlibatan siswa yang tinggi adalah yang bersifat pemecahan masalah, ketrampilan proses (pembelajaran berdasarkan pengalaman) dan social learning. Hal ini karena dalam proses belajar (khususnya belajar secara pemecahan masalah, ketrampilan proses, dan belajar berdasarkan pengalaman) para siswa dituntut untuk menyadari masalah yang dipelajari, mendefinisikan masalah, mencari dan mengumpulkan data atau informasi, mencari serta mengolah informasi, membuat kesimpulan, melaporkan serta mengkomunikasikan hasil temuan atau pemecahannya. Dalam proses pembelajaran yang demikian, aspek kognitif, afektif psikomotor dan sosial semuanya terlibat dalam proses belajar. Keterlibatan secara menyeluruh dari diri siswa akan mampu memenuhi asumsi bahwa para siswa akan mendapat lebih banyak pengalaman dengan keterlibatan secara aktif dan pribadi dari pada yang diperoleh dengan melihat atau menonton isi atau konsep (Dewey, 1916). Di sini peserta didik tidak hanya bersifat konsumtif terhadap pengetahuan atau kemampuankemampuan yang dipelajari tetapi ia menghayati dan memperoleh sendiri fakta, konsep, prinsip atau generalisasi, dan teori. Dalam proses pembelajaran yang demikian siswa juga berkembang kemampuan a) sel/ manajemen dalam: mereview karakteristik stimulus atau masalah dan memvisualisasikan stimulus di dalam fikirannya (Skinner, 1968b), strategi kognitif (Gagne, 1977a:36; 1980a: 89) mengorganisr tingkah laku dalam menarik makna persoalan yang dihadapi (Piaget dalam Gredler, 1992:251), menggunakan simbol dalam mengingat dan berfikir (Vigotsky
dalam
Gredler,
1992:292)
meng-amati,
menilai
dan
membuat
pertimbangan dan keputusan sendiri terhadap apa yang dipelajari (Bandura, 1978: 348) dan kepercayaan diri melakukan sesuatu (1977a: 194-303); b) tranfer belajar.
124 belajar lebih lanjut pada hal-hal yang serupa dengan yang telah dipelajari (Skinnerl953: 247), belajar lebih lanjut atas dasar kemampuan yang telah dicapai sebelumnya untuk mencapai kemampuan yang lebih tinggi (Gagne, 1968a: 178; Bandura, 1976; Piaget & Inheler, 1969:152), hasil belajar yang diperoleh akan menimbulkan kesiapan belajar dan motivasi Sedangkan motode pembelajaran yang bersifat ketrampilan proses (pembelajaran berdasarkan penagalaman, menurut istilah Hamalik, 1991: 46) merupakan proses pembelajaran yang memandang peserta didik serta kegiatannya sebagai manusia seutuhnya yang diterjemahkan dalam kegiatan belajar-mengajar yang memperhatikan perkembangan pengetahuan, nilai hidup serta sikap, perasaan dan ketrampilan sebagai kesatuan (baik sebagai tujuan maupun sekaligus bentuk pelatihannya), yang akhirnya semua kegiatan belajar dan hasilnya tampak dalam bentuk kreativitas (Mochtar (1987: 20). Ketrampilan proses hanya diperoleh lewat melatih kemampuan fisik, mental dan sosialitas peserta didik secara mendasar (Soedjono, 1988:23). Singkatnya pembeljaran yang mendasarkan pada ketrampilan proses
merupakan
strategi
pembelajaran
yang
berprinsip
pada
penekanan
memberikan kesempatan pada anak didik untuk memproses sendiri atau mengalami sendiri bagaimana suatu ketrampilan dan ilmu itu diperoleh. Metode pembelajaran yang bersifat pemecahan masalah merupakan pembelajaran yang memiliki prinsip-prinsip: guru berawal dengan memberikan stimulus yang dapat menimbulkan situasi masalah dalam diri peserta didik, memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk berlatih merumuskan dan mencari alternatif pemecahan masalah, dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk mencoba mengalami sendiri melaksanakan pemecahan masalah dan pembuktiannya (Makmun,
125 1996: 157). Dalam pembelajaran yang demikian siswa belajar merumuskan dan memecahkan masalah dengan menggunakan berbagai konsep atau kecakapan yang telah dikuasainya. Konsep problem solving dari Dewey berakar pada metode ilmiah (scientific method) (Miller dan Seiler, 1985:65). Metode ilmiah sebagai metode pembelajaran pemecahan masalah dilakukan melalui langkah pembelajaran sebagai berikut: a. menciptakan sistuasi problematik yang menyebabkan anak didik timbul rasa teka-teki adanya masalah yang harus ia pecahkan; b. mengajak anak didik untuk mendefinisikan persoalan yang mereka hadapi secara pasti. c. mengajak anak didik untuk mengkla-rifikasi masalah. Kegiatan ini merupakan kegiatan pengujian secara cermat atau analisa terhadap berbagai faktor yang menyebabkan timbulnya masalah itu; d. mendorong anak didik untuk mengembangkan hipotesa atau menyusun kalimat "if-—then" yaitu per-nyataan-pernyataan yang menawarkan berbagai alternatif pemecahan masalah yang mungkin terhadap kesulitan yang dihadapi. Di sini peserta didik mengembangkan alternatif-alternatif pemecahan masalah dan mempertimbangkan berbagai konsekuensi yang mungkin dari tiap alternatif; e. memberikan kesempatan pada anak didik untuk memilih alternatif pemecahan yang paling baik dan menerapkannya. Langkah-langkah ini merupakan langkah-langkah umum dari metode pemecahan masalah. Langkah-langkah dalam menerapkan metode pemecahan masalah dapat bervariasi, di samping tergantung pada strategi, prosedur, dan teknik yang ingin dipilih dan diterapkan oleh pendidik/guru, juga tergantung jenis masalah dan tujuan yang ingin dicapai. Dari segi strategi misalnya, seorang guru bisa melakukan strategi pembelajaran pemecahan masalah secara directed discovery or
126 inquiry, atau pure discovery or inquiry (Sanders, 1968: 139-145). Ia menjelaskan: pada directed discovery-inquiry, pendidik mengkombinasikan metode pemecahan masalah dengan metode lain, utamanya metode pemecahan masalah secara murni dan metode exposisi. Dalam pelaksanaannya pendidik lebih cenderung mengarahkan berfikir peserta didik dengan memberikan penjelasan singkat pada pendahuluan dan juga menyediakan peserta didik seluruh data yang berhubungan dengan data yang diperlukan untuk memecahkan masalah yang diberikan. Masalahnya pun bersifat direktif dalam arti masalah sudah diberikan secara konkret (masalah sudah definitif), peserta didik tidak mencari-cari masalah sendiri, ia tinggal mencari jalan keluar pemecahannya. Pada siswa yang baru memiliki dasar-dasar pengetahuan dan ketrampilan tentang aspek-aspek yang dipelajari sangat tepat dibelajarkan dan dibina dengan metode ini. Sedangkan metode pemecahan masalah yang diterapkan secara murni, pendidik lebih cenderung meberikan masalah lebih bersifat umum dan siswa disuruh mencari dan merumuskan sendiri secara detail tentang masalah yang ingin dipecahkan sesuai dengan yang diinginkannya. Dalam strategi ini, macam data, cara pemerolehan data dan pemecahannyapun diserahkan penuh kepada peserta didik. Pada peserta didik yang telah memiliki kemampuan dan ketrampilan yang cukup tentang aspek yang dipelajari sangat mendukung penerapan pembelejaran dan pembinaan pure discovery-inquiry. Dalam kaitannya dengan prosedur dan teknik pelaksanaan pembelajaran, Ross dan Maynes (1982: 5-7) membuat kerangka urutan pelaksanaan metode pemecahan masalah menjadi 11 langkah, a. mendefinisikan masalah, b. membuat framework inku-iri, c. menentukan sumber data, d. memperoleh data pada sumbernya, e. mempertimbangkan keakuratan data, f. memasukan data ke dalam 'framework' g.
127
mereduksi data ke dalam bentuk summary, h. mengamati hubungan-hubungan di dalam data, i. menginterpretasi data, j. mengekstrapolasikan interpretasi, dan k. mengkomunikasikan inkuiri. Ross dan Maynes (1982: 7-8) mengemukakan bahwa penerapan metode problem solving sangat bervariasi, tergantung pada konteks masalahnya. Guru dapat mentranfer ke sebelas urutan metode pemecahan masalah tersebut sesuai dengan konteks permasalahannya. Mereka mengelompokkan masalah ke dalam empat jenis masalah: a. Comparative problems. masalah yang bekenaan dengan pencarian perbedaan dan persamaan dalam dua atau lebih kesatuan, b. Decision-making prblems: masalah yang berkenaan dengan pembuatan keputusan dalam situasi yang kompleks. Di sini peserta didik diajak memikirkan dan memutuskan serangkain tindakan yang terbaik yang harus dilakukan, c. Corelational problems: guru memberikan kesempatan anak didik menyelediki hubungan-hubungan antara dua atau lebih variabel, d. Exsperimentally orientedproblems. problem-problem yang perlu dilakukan secara eksperiemental. Freire (1972) mengemukakan uratas pelaksanaan pemebelajaran pemecahan masalah secara lebih singkat dari pada yang dikemukan oleh Ross dan Maynes. Dalam usaha meningkatkan partisipasi masyarakat memecahkan masalah sosialnya sampai pada taraf partisipasi the critical trawforming beliau mengemukakan tiga langkah
urutan
penerapan
metode
pembelajaran
pemecahan
masalah:
a.
mengidentifikasikan semua konflik-konflik penting yang dirasakan; b. menganalisa kausal konflik secara sistemik; dan c. mendorong tindakan kerjasama untuk memecahkan konflik. Lain halnya dengan langkah-langkah penerapan metode pembelajarn pemecahan masalah yang dikemukakan oleh Alschuler (1980). Untuk meningkatkan
128
taraf partisipasi peserta didik sampai pada taraf partisipasi transformasi kritis ia menggunakan langkah-langkah pembelajaran pemecahan masalah sebagai berikut: a. mengemukakan peristiwa problematik; b. mengidentifikasikan pola-pola konflik, c. melakukan brainstorming untuk memperoleh masukan alternatif pemecahan; d. mengembangkan rencana-rencana tindakan secara demokratis atas dasar temuan/ kesepkatan pemecahan masalah yang dilanjutkan dengan penerapannya. Variasi langkah-langkah tersebut menggambarkan aneka variasi strategi, prosedur dan teknik pelaksanaan metode pemecahan masalah yang dilakukan pendidik. Variasi ini tegantung berbagai faktor seperti tujuan, bahan sajian, konteks dan sarana yang tersedia. Strategi pelaksanaan metode ini dapat dilakukan secara perorangan, secara kelompok, dan secara bersama-sama antara guru dan siswa dalam satu kelas. Strategi operational pelaksanaan di kelas dalam satu pertemuan atau beberapa pertemuan kelaspun metode ini dapat dilakuakan secara bervariasi: metode pemecahan masalah sebagai metode utama dalam membelajarkan anak didik, sebagai metode bantu atau metode selingan. Strategi pelaksanaan metode pemecahan masalah secara berbeda menuntut pendidik menggunakan prosedur dan teknik yang berbeda dalam mencapai tujuan tertentu. Sedangkan metode pembelajaran social learning merupakan metode pembelajaran yang memiliki prinsip: guru memberikan atau mendemonstrasikan model perila-ku atau berbagai model perilaku yang diharapkan ditiru dan diinternalisasi oleh siswa baik peniruan yang dilakukan secara langsung (instantaneous matching atau direct learning) maupun tidak langsung (delayed learning atau indirect leraning). Dalam strategi perencanaan dan pelaksanaan pemebelajaran, Vygostsky dan Bandura mengemukakan langkah-langkah pembelajaran sebagai berikut:
129 Strategi Vygostsky (dalam Gredler, 192: 293-294) 1) Menidentifikasi konsep-konsep atau pokok-pokok yang akan diajarkan. a) Aspek-aspek konsep yang seperti apa yang dapat diajarkan kepada para siswa sesuai dengan tingkat kemampuan siswa? b) Aspek-aspek konsep yang mana yang mampu mempermudah siswa belajar sesuai dengan tingkat kemampuan berfikirnya? 2) Menstrukturkan tugas belajar sebagai aktivitas kerjasama antara guru dan siswa. a) Seberapa tingkat pemaknaan yang difahami bersama yang dipersyaratkan untuk memulai belajar? b) Aspek-aspek tugas apa yang harus dimodelkan oleh guru? c) Aspek-aspek tugas yang mana yang secara awal harus diperankan oleh guru? d) Dalam cara-cara apa siswa harus menggunakan tanda dan symbol untuk mengontrol tingkah laku belajarnya? e) Apa anjuran dan feedback guru yang diperlukan para siswa untuk membantu belajarnya? 3) Menerapkan pengajaran dan menerapkan evaluasi. a) Apakah guru telah secara perlahan-lahan meningkatkan permintaan tugas sesuai dengan tingkat yang dikuasai oleh siswa? b) Apakah siswa telah mampu berfungsi secara mandiri pada akhir pembelajaran koperasi? c) Apakah para siswa telah menggunakan cara-cara berfikir baru setelah pembelajaran koperasi dilakukan? d) Apakah ketrampilan siswa dapat diterapkan pada setting dan situasi yang lain?
Sedangkan Bandura (dalam Gredler, 1992: 335-336) melakuan langkahlangkah strategi perencanaan dan strategi pembelajaran sebagai berikut: 1) Menganalisa tingkah laku yang akan dimodelkan. a) Apa hakekat tingkah laku yang akan dimodelkan? Apakah ini berupa teori-teori koperasi (koseptual), apakah ini praktik koperasi (motorik), apakah ini penanaman nilai koperasi, atau ini suatu strategi belajar? b) Apa urutan langkah-langkah tingkah laku yang akan dimodelkan? Jika berupa pengertian koperasi, umpamanya, apakah dimulai dengan menyajikan definisi koperasi dan ciri koperasi kemudian baru membandingkan dengan pengertian atau ciri-ciri bentuk lembaga ekonomi yang lain ataukah sebaliknya? c) Apa pokok-pokok kritis dalam urutan itu (seperti langkah-langkah yang mungkin sulit untuk diamati, dan langkah-langkah tindakan alternatif yang mungkin tidak tepat yang mana yang perlu diganti)? 2) Menentukan nilai fungsional tingkah lalai dan memilih model tingkah laku. a) Apakah tingkah laku itu mengemban prediksi keberhasilan? b) Jika tingkahlaku itu mengemban prediksi keberhasilan yang lemah, model potensial yang mana yang paling mungkin untuk memprediksi keberhasilan? c) Sehanisnyakah model itu 'live model'(seperti kegiatan koperasi dan kegiatan bentuk usaha ekonomi sesungguhnya yang lain) atau 'symbolic model' (berupa diagram
atau
gambar-gambar
kegiatan
dipertimbang-kan masalah biaya,
berbagai jenis
usaha)?
Perlu
apabila kebutuhan untuk mengulangi
pengalaman yang dipergunakan lebih untuk satu kelompok, dan kesempatan atau kemungkinan untuk membawakan/ menggambarkan nilai fungsional dari tingkah laku tersebut.
131 d) Penguatan apa yang dapat ditimbulkan dengan model tingkah laku tersebut? Apakah tingkat angka nilai, kegiatan tambahan yang prestis (jadikan ketua atau pengurus koperasi misalnya), pujian, hadiah materi dsb. 3) Mengembangkan urutan pengajaran a) Untuk ketrampilan motorik misalnya, mengapa menggunakan perintah lakukan ini dan bukan lakukan itu? b) Langkah-langkah tindakan yang mana dalam urutan latihan itu harus disajikan secara perlahan-lahan dan teliti dan mana yang dapat disajikan secara biasa? c) Untuk strategi belajar, kegiatan belajar yang sel/talk atau self system apa yang harus dimodelkan? 4) Menerapkan pengajaran untuk membimbing proses kognitif dan reproduksi motorik. Ketrampilan motorik. a) Menyajikan tingkah laku yang ingin dimodelkan. b) Memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan latihan simbolik. c) Memberikan kesempatan siswa beipraktik dengan melakukan visualfeedback. Tingkah laku konseptual. a) Sajikan model dengan bantuan penjelasan! b) Jika berupa suatu konsep atau dalil, berikan kesempatan kepada siswa untuk meringkas berbagai tingkahlaku model! c) Jika belajar berupa problem solving atau penerapan strategi, berikan kesempatan kepada para siswa untuk berpartisipasi memodelkan! d) Berikan kesempatan kepada para siswa untuk menerapkan hasil belajr ke dalam situasi-situasi yang berbeda!
132 Singkatnya strategi, prosedur dan teknik pelaksanaan pembelajaran yang dikemukakan oleh Vygotsky dan Bandura merupakan prosedur pembelajaran yang dilakukan secara bertahap atau bertangga yang dilakukan: 1) pendidik memodelkan aspek tertentu yang diinginkan agar peserta didik menirunya, 2) sambil memberikan esesmen, secara bertahap, pendidik memberikan kesempatan kepada anak didik untuk memhami dan mencobanya model itu, 3) pendidik mengevaluasi tingkat kecakapan yang dicapai peserta didik. Mereka menjelaskan bahwa metode social learning bisa dieterapkan pada peserta didik mulai yang tingkat kemampuannya sangat rendah sekali sampai tingkat lanjut Metode social learning akan lebih berarti lagi untuk pembelajaran peserta didik yang tingkat pengetahuan dan ketrampilannya masih rendah. Dalam melaksanakan pembelajaran koperasi melalui metode social learning, secara umum, pendidik dapat melakukan strategi, prosedur dan teknik melalui ketiga langkah tersebut. Aplikasinya dalam pembelajaran koperasi (khususnya pembeljaran di luar kelas) pada Kopsis yang tingkat perkembangannya masih pada tahap pembentukan akan lebih tepat para siswanya (anggota Kopsis) dibelajarkan dan dibina dengan metode social learning, Kopsis yang bertahap konsolidasi/pertumbuhan dibelajarkan dengan directed dicovery-inquiry, sedangkan Kopsis yang bertahap pengembangan dibelajarkan dengan pure dicovery-inquiry dan metode ketrampilan proses.
G. PROGRAM PEMBELAJARAN Berdasarkan fungsi Kopsis sebagaimana yang dikemukakan bagian terdahulu berarti, pertama, proses pendidikan menuntut pendidik untuk menyusun program-
133 program pendidikan yang akan dipakai sebagai pedoman dalam mendidik siswa baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Lebih-lebih program pendidikan dalam bidang ekonomi koperasi yang bertujuan agar siswa memiliki jiwa berkoperasi. Program pendidikan ekonomi koperasi dalam kelas berfungsi sebagai pedoman dalam rangka membantu peserta didik menginternalisasi nilai yang terkandung dalam pengetahuan teoritis konseptual. Sedangkan program pedidikan luar kelas berfungsi sebagai pedoman dalam meningkatkan kedalaman kemampuan berpraktik dan sekaligus sebagai pedoman dalam usaha membina kehidupan tempat praktik (Kopsis). Kedua program ini dalam operasionalnya biasa disebut program pembelajaran, karena pelaksanaan pendidikan di sekolah lebih banyak dilakukan melalui proses pembelajaran. Kedua, program pembelajaran koperasi dalam kelas dan luar kelas sekaligus berfungsi sebagai pedoman dalam mengembangkan dan memperdalam pengetahuan siswa tentang koperasi, serta membina siswa mampu mengelola, berpartisipasi, dan mengembangkan Kopsis. Singkatnya kedua program tersebut berfungsi untuk membina perilaku siswa dalam berkoperasi. Berkembangnya Kopsis tersebut diharapkan dapat digunakan sebagai tempat praktik para siswa dalam rangka meneliti, mengembangkan pengetahuan dan kemampuan berwirausaha. Program adalah suatu rancangan yang berskala besar dan rinci yang dikembang-kan untuk mencapai tujuan tertentu (Cobuild, 1988:1147). Program pembelajaran koperasi berarti rancangan pembelajaran koperasi yang berskala besar dan rinci yang dikembangkan untuk mencapai tujuan pembelajaran pendidikan koperasi. Program pembelajaran dalam kelas berisi rancangan pembelajaran yang dikembangkan dan disusun berdasarkan pada tujuan pembelajaran dan bahan ajar
134 yang telah digariskan oleh kurikulum. Menurut Sukartawi (1995:33) program pembelajaran di kelas berisi: tujuan pembelajaran, isi pembelajaran, rancangan kegiatan-kegiatan pembelajaran yang akan dilakukan, strategi pembelajaran, dan eveluasi hasil belajar. Sedangkan program pembelajaran koperasi di luar kelas berisi rancangan-rancanagan kegiatan pembelajaran yang mendukung pencapaian tujuan pembelajaran pendidikan koperasi, dan mendu-kung pencapaian tujuan dan fungsi penyelenggaraan Kopsis. Program kegiatan pembelajaran di luar kelas pada dasarnya merupakan program kegiatan pembinaan siswa dalam berkoperasi dan program kegiatan dalam menyelenggarakan dan mengembangkan Kopsis. Program ini pada dasarnya sama dengan program pendidikan masyarakat berkoperasi. Pendidikan masyarakat berkoperasi ini berupa kegiatan-kegiatan pendidik-an yang dilaksanakan untuk membuat anggota, pengurus dan staf karyawan (pelaksana harian koperasi) sadar akan ideologi koperasi, praktik usaha dan metode kerja (Dubell, 1985: 59). Selain itu ia juga mengatakan bahwa pendidikan koperasi berfungsi sebagai latihan orientasi dan bertujuan untuk meningkatkan keahlian berkoperasi sehingga personil koperasi mampu bekerja secara efektif dan efisien dalam melaksanakan tugasnya. Pendidikan berkoperasi ini mencakup pendidikan anggota, pengurus dan pengawas serta pendidikan manajer dan karyawan (Dubell, 1985: 60). Pendidikan Anggota. Menurut Dubell (1985: 74-75 ada beberapa informasi/ materi penting yang perlu disampaikan oleh pembina/tutor dan difahami oleh anggota meliputi: a) hakekat koperasi, fungsi dan tujuan koperasi; b) kegiatan-kegiatan/usaha yang dilakukan koperasi; c) jenis dan cara pelayanan yang diberikan koperasi d) pengorganisasian dan pengelolaan kegiatan-kegiatan/usaha koperasi; e) struktur dan
135 tugas organisasi pengurus koperasi atau pengelola koperasi, f) manfat/keuntungan yang diperoleh diperoleh anggota; g) hak dan keawajiban setiap anggota. Dalam pelaksanaan pendidikan ini dapat dilakukan dua cara: a) secara informal, informasi dan pendidikan dapat diberikan kapan saja ketika orang-orang bertemu, pemeberian informasi ketika para anggota nampak berkumpul atau ada dalam suatu kelompok sosial; b) secara formal, kegiatan pendidikan diorganisasikan secara tertaur seperti: kursus, rapat-rapat atau pertemuaan-pertemuan atau pelatihan, kunjungan anggota koperasi ke suatu koperasi yang telah maju. Pendidikan Manajer dan Karyawan. Menurut Dubell (1985:61-62) ada beberapa materi penting yang perlu disampaikan dalam pendidikan ini, yaitu materi berkenaan dengan manajemen, keuangan, pemasaran, kredit dan pengembangan koperasi. Dalam pelaksanaannya pendidikan melalui tiga tahap, yaitu: a) tugas analisa di lapangan, b) pelajaran di kelas, dan c) praktik koperasi (Dubell, 1985:6269). Pada tahap analisa di lapangan peserta latihan bersama istruktur yang berpengalaman berkunjung ke beberapa koperasi (yang maju dan yang belum maju) untuk menganalisa hal-hal seperti berikut: macam dan jenis pekeijaan yang dikeijakan oleh masing-masing orang sehari-hari di kantor, hak dan kewajiban masing-masing karyawan terhadap koperasi, sistem pelaporan dan jenis pencatatan serta formulir yang dipergunakan, pelaksanaan perencanaan usaha, dan cara melaksanakannya sehingga tujuan-tujuan dapat tercapai, masalah-masalah yang dihadapi karyawan dalam melaksanakan pekerjaannya dan cara pemecahannya, cara melayani anggota, cara mengupayakan dan memasarkan barang, cara memasarkan dan menyalurkan kredit anggota, dan cara mengebangkan usaha.
136
Pada Tahap pembelajaran di kelas: setelah tugas analisis di lapangan, peserta latihan harus mendapatkan pelajaran di kelas meliputi: pengorganisasian koperasi, fungsi koperasi yang bersangkutan, bentuk dan cara pelayanan, kedit, penyediaan dan pemasaran barang, pembukuan, akutansi dan strategi pengembangan koperasi. Tahap praktik lapangan, berdasarkan konsep teoritis di kelas para peserta disuruh praktik koperasi. Bila memungkinkan mereka yang akan dikaderkan sebagai kader manajer koperasi praktik itu dilakukan pada koperasi yang telah maju. Tahap pelajaran di kelas ke dua: setelah praktik koperasi, para peserta kembali lagi ke kelas. Di sisni para peserta dan instruktur menganalisa antara teori dengan pelaksanaan kondisi di lapangan, merumuskan permasalahan yang dirasakan, mendiskusikan masalah-masalah yang ditemui baik masalah pembukuan, penyediaan barang, pemasaran, pelayanan, tingkat kemampuan peserta dalam merencanakan kredit dan pemasaran, menganalisis keuangan koperasi dan perbaikan bila diperlukan. Pendidikan dan Pelatihan Pengurus dan Pengawas. Menurut Dubell, (1985: 72) aspek-aspek pengetahuan yang perlu diberikan dalam pendidikan dan pelatihan pengurus adalah: manajemen, keuangan, pemasaran, kredit, ekonomi perusahaan, perencanaan, manjemen personalia, tugas dan tanggung jawab pengurus serta pengawas aspek hukum yang berkenaan dengan koperasi dan pengembangan koperasi. Dalam melakukan pendidikan dan latihan pengurus dan pengawas dilakukan melalui dua cara: 1. tugas analisis seprti yang dilakukan dalam pendidikan latihan manajer dan karyawan, 2. berpartisipasi dalam rapat pengurus. Tugas analisis: peserta latihan pengurus dan pengurus beserta instruktur berkunjung ke suatu koperasi yang telah maju dan belum maju untuk bersama-sama
137 melakukan tugas analisa dalam hal fakta-fakta tertentu, berbagai masalah utama dan khusus yang terjadi di koperasi, pelaksanaan peraturan-peraturan dan undang-undang, mebandingkan berbagai jenis tindakan, menyelidiki, memahami dan memperhatikan struktur organisasi dan hubungannya. Cara kedua yaitu partisipasi pelatihan pengurus dalam rapat pengurus. Dalam pelatihan ini para peserta diharapkan mengetahui tentang hal-hal yang biasa teijadi dalam rapat pengurus. Setelah berpartisipasi dalam rapat pengurus, para peserta pelatihan diajak mengalisa tugas tentang hal-hal yang teijadi dalam koperasi dan dalam rapat pengurus. Kegiatan ini mencakup, di samping aspek-aspek dalam analisa tugas di lapangan, hal-hal sebagai berikut: menganalisis pertanyaan-pertanyaan pada angenda, mempertimbangkan usulan-usulan untuk pengambilan keputusan, menimbang untung-rugi, meramalkan akibat, resiko, dan konsekuensi, menyarankan alternatif metode pendekatan masalah, merencana dan mencapai kesimpulan. Program pembelajaran koperasi akan dapat digunakan sebagai pedoman yang mampu mendukung pencapaian tujuan kalau direncanakan secara baik. Ada beberapa indikator untuk melihat dan mengetahui apakah suatu perencanaan program itu tergolong baik atau tidak, Menurut Sudjana (1992:42) ada tujuh indikator perencanaan yang dapat digolongkan baik, yaitu: 1. Perencanaan merupakan model pengambilan keputusan, memilih dan menetapkan tindakan mecapai tujuan secara ilmiah, 2. perencanaan berorientasi perubahan dari keadaan sekarang ke keadaan yang diinginkan di masa mendatang sebagaimana dirumuskan di dalam tujuanya yang akan dicapai, 3. perencanaan melibatkan orang ke dalam suatu proses menentukan dan menemukan masa depan yang diinginkan, 4. perencanaan mengarahkan bagaimana dan kapan tindakan akan diambil serta siapa yang terlibat, perencanaan melibatkan semua kegiatan yang akan dilalui, 5. meliputi kemungkinan keberhasilan, sumber yang digunakan, kemungkinan resiko, faktor pendukung dan penghambat, 6. perencanaan berkaitan dengan penentuan prioritas, urutan tindakan yang akan dilakukan, prioritas ditetapkan berdasarkan urutan kepentingan, relevansi, tujuan yang akan dicapai, sumber
138 yang tersedia dan hambatan yang mungkin ditemui, 7. perencanaan sebagai titik awal dan arah pengorganisasian, penggerakan, pembinaan, penilaian dan pengembangan. Di dalam merencanakan program pembelajaran salah satu faktor yang dapat meningkatakan efisiensi dan efektivitas pembelajaran adalah memperhatikan prinsipprinsip perencanaan program. London (1967:66) mengemukakan bahwa setidaknya ada lima prinsip dan tahap perencanaan program pembelajaran, yaitu "(1) menentukan kebutuhan belajar, (2) melibatkan warga belajar di dalam perencanaan, (3) merumuskan tujuan yang jelas, (4) membuat rencana program, (5) membuat sistem evaluasi" Sedangakan Darkenwald dan Memain (1982:16) mengemukakan prinsip perencanaan pembelajaran sebagai berikut. "(1) memperkirakan kebutuhan belajar, (2). menetapkan tujuan, (3) memilih aktivitas dan sumber belajar, (4) membuat dan melaksanakan keputusan yang sesuai dengan aktivitas dan tempat belajar, (5) mengevaluasi hasil." Memperkirakan kebutuhan belajar, jenis dan ragam belajar yang dibutuhkan perserta didik diidentifikasi berdasarkan informasi yang didapat dari peserta didik, kemudian
ditentukan
program prioritas
dengan
mempertimbangkan
sarana,
prasarana, sumber, dan lain-lain. Menentukan tujuan, tujuan dibuat spesifik dalam bentuk perilaku yang dapat diukur. Memilih aktivitas dan sumber belajar, jenis dan ragam aktivitas pembelajaran ditentukan berdasarkan sarana dan prasarana yang ada, pemilihan materi pembeljaran, kemampuan pendidik, metode, strategi, prosedur, teknik, dan alat yang sesuai untuk mencapai tujuan pembelajaran. Selain itu perlu dipertimbangkan juga, jumlah perserta didik, waktu dan dana yang tersedia. Membuat dan melaksanakan keputusan yang sesuai dengan aktivitas dan tempat belajar. Keputusan dan pelaksana-an program pembelajaran disesuaikan dengan aktivitas
139 yang direncanakan dan tempat belajar yang ada. Mengevaluasi hasil. Setelah program dilaksanakan, evaluasi perlu dilakukan untuk mengetahui hasil pembelajaran yang telah dilakukan baik evaluasi proses maupun evaluasi hasil yang dilakukan melalui evaluasi formatif dan sumatif. Hasil evaluasi dan esestnen dijadikan kontrol pembelajaran yang dilakukan untuk perbaikan pembelajaran berikutnya. Sukartawi, dkk. (1995: 2-3) mengemukakan bahwa program pembelajaran adalah suatu program yang disusun secara logis dan sistematis oleh pendidik atau instruktur untuk meningkatkan hasil pembelajaran. Atas dasar pengertian tersebut mereka
menyatakan
bahwa
program pembelajaran
perlu:
diidentifikasikan,
dikembangkan, dievaluasi, dan direvisi. Pada tahap identifikasi diperlukan langkahlangkah sebagai berikut: mengidentifikasikan kebutuhan program pembelajaran, melaksanakan analisa program pembelajaran, dan mengidentifikasikan perilaku dan karakteristik awal dari siswa. Pada tahap mengembangkan, kegiatan pembuatan program dapat diklasifikasikan menjadi empat tahapan yaitu: menuliskan tujuantujuan program pembelajaran, menuliskan tes acuan patokan, menyusun strategi program pembelajaran, mengembangkan bahan pembelajaran.' Sedangkan pada tahap evaluasi dan revisi, kegiatan pendidik/tutor perlu menyusun program dan melaksanakan evaluasi formatif. Di dalam program pembelajaran terdapat tiga bagian utama yaitu: program pengorgnisasian bahan ajar, program penyajian pengajaran, dan program evaluasi hasil pembelajaran. Mengorganisasikan bahan ajar. Kegiatan ini dimulai dengan memilih dan menetapkan bahan ajar yang sesuai dan mampu untuk mencapai tujuan pembelajaran. Bahan ajar tersebut tentunya terdiri dari serangkaian pokok-pokok bahasan yang
140 harus ditata urutannya dan saling berkaitan antara satu dengan yang lain. Dalam memilih pokok-pokok bahan ajar tersebut, tentunya telah diketahui kegunaan dan tujuan pada setiap pokok bahasan, yang pada dasarnya setiap tujuan pembelajaran pokok bahasan dituju-kan untuk menunjang tercapainya tujuan bidang studi. Pokokpokok bahasan yang telah dipilih tersebut perlu dijabarkan menjadi sub-sub pokok bahasan sehingga dapat digunakan untuk menetapkan sasaran-sasaran belajar yaitu gambaran kemampuan anak didik yang bisa diamati dan diukur. Memprogram/ merancang penyajian bahan ajar. Dalam kegiatan ini pendidik mengidentfikasi karakteristik anak didik, kondisi dan lingkungan pemeblajaran untuk dapat memilih dan menetapkan kegiatan belajar serta membelajarkan anak didik. Dalam kegiatan pembelajaran ini penting sekali pendidik/tutor memikirkan strategi, prosedur dan teknik kegiatan yang perlu dilakukan agar sasaran-sasaran belajar siswa dapat tercapai secara efektif dan efisien. Hasil dari kegiatan ini adalah rancangan/program, cara mengajar, media serta waktu yang dipergunakan dalam menyajikan bahan ajar agar sasaran belajar dapat tercapai secara efektif dan efisien. Program evaluasi hasil pembelajaran. Dalam kegiatan ini pendidik atau tutor menentukan kreteria untuk dapat mengamati, mengukur ketercapaian sasaran belajar, serta menentukan metode dan teknik serta alat yang tepat untuk melakukan pengamatan dan pengukuran sasaran belajar.
H. METODE PEMBINAAN Metode pembinaan adalah langkah-langkah yang ditempuh dalam proses pembinaan (Sahertian, 1994: 102). Atas dasar difinisi ini maka metode pembinaan perilaku yang diterapkan oleh pembina Kopsis adalah langkah-langkah yang
141 ditempuh oleh pembina Kopsis dalam upaya membina perilaku siswa yang meliputi faktor-faktor kognisi, persepsi, motivasi dan sikap. Upaya pembinaan perilaku ini dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitas partisipasi siswa dalam Kopsis, baik partisipasi kontributif maupun partisipasi insentif. Dengan memperhatikan penerapan metode pembinaan perilaku
yang
diterapkan oleh pembina, maka dapat dilihat perilaku pembina dalam upaya meningkatkan partisipasi siswa dalam Kopsis. Menurut Glickman (1981: 5) dan Sahertian (1994: 102) ada tiga metode utama pembinaan yang diterapkan oleh pembina dalam membina perilaku individu: metode direktif, non direktif dan kolaboratif. Lebih lanjut Glickman menambahakan satu metode pembinaan yang disebut metode ekiektif. Pemakaian metode pembinaan direktif mendasarkan pada psikologi behavioristik. Psikologi ini berasumsi bahwa perkembangan individu ditentukan oleh faktor eksternal. Perilaku pembina yang menerapkan metode ini lebih bersifat menggurui. Dalam praktiknya pembina mengambil langkah-langkah (mungkin urutannya relatif bervariasi): pembina menjelaskan atau mungkin menanyakan permasalahan yang dihadapi subjek binaan untuk memperoleh konfirmasi atau revisi, atas dasar informasi yang diperoleh pembina menyajikan ide pemecahannya, atas dasar analisa data yang diperoleh pembina mengarahkan tindakan yang perlu dilakukan, memberi contoh tindakan, menetapkan tolok ukur yang perlu dicapai, memberikan penguatan dengan insentif tertentu. Metode pembinaan non direktif mendasarkan pada psikologi humanistik. Psikologi ini berasumsi bahwa perkembangan sesorang ditentukan oleh faktor internal. Perilaku pembina yang menerapkan metode ini lebih banyak bersifat memberikan kesempatan subjek binaan untuk mengungkapkan diri tentang apa yang dihadapi dan dibutuhkan
142 sehingga pembina dapat membaca apa yang dibutuhkan dan dimauinya. Dalam praktiknya ia melakukan langkah-langkah: mendengarkan permasalahan yang dihadapi oleh subjek binaan dengan penuh perhatian, membesarkan hati kepada subjek binaan agar mengalisa lebih lanjut atas masalah yang dihadapi, menjelaskan permasalahan dengan cara melakukan paraprase dan pertanyaan kepada subjek binaan, apabila subjek binaan meminta saran pembina menawarkan beberapa alternatif, kemudian pembina mengan-jurkan subjek binaan untuk memutuskan sendiri rencana atau pemecahan masalah yang ingin dilakukan. Metode pembinaan kolaboratif mendasarkan pada psikologi kognitif. Psikologi ini berasumsi bahwa perkembangan sesorang merupakan hasil perpaduan antara perkembangan individual dan pengaruh ekteraal atau lingkungan. Perilaku pembina lebih berusaha untuk memperoleh persetujuan antara pemikiran pembina dan subjek binaan. Dalam praktiknya
pembina
mengambil
langkah-langkah:
pembina
mendengarkan
permasalahan yang dihadapi subjek binaan, pembina meminta subjek binaan untuk menyajikan persepsi masalah-masalah yang perlu diperbaiki, pembina menyajikan persepsi terhadap masalah-masalah yang perlu diperbaiki, pembina dan subjek binaan menyajikan alternatif-alternatif tindakan pemecahan masalah, pembina dan subjek binaan berdiskusi dan bernegosiasi untuk memperoleh persetujuan rencana dan pelaksanaan pemecahan masalah. Sedangkan metode pembinaan eklektif adalah metode yang tidak mendasarkan pada suatu faham psikologi tertentu tetapi metode ini lebih mendasarkan pada pemikiran bahwa pelaksanaan pembinaan perlu disesuaikan dengan situasi dan kondisi subjek binaan yang akan dibina, tingkat kebutuhan subjek binaan, tingkat komitmen, kemampuan berfikir abstrak dan tujuan yang ingin dicapai.
143 Proses
belajar
merupakan
proses
bertahap,
pengetahuan
prerekuisit
sebelumnya menentukan perkembangan pengetahuan, kemampuan dan ketrampilan selajutnya (Gagne and Briggs, 1977; 1979; Gagne, Briggs & Wager, 1988). Glickman (1981: 40) mengemukan bahwa proses pembelajaran dan pembinaan perlu disesuaikan dengan tingkat kebutuhan, kemampuan dan karakteristik anak. Taraf kemampuan dan peng-alaman kelompok individu ada yang berkategori rendah, sedang dan tinggi. Ia juga mengemukakan bahwa para individu yang berkemampuan rendah lebih baik dibina dengan menggunakan metode direktif, mereka yang berkemampuan sedang dibina dengan metode kolaboratif dan eklektif, dan mereka yang berkemam-puan tinggi dibina dengan menggunakan metode non direktif atau delegatif dan eklektif. Dengan memperhatikan teori partisipasi dalam koperasi dan manfaat koperasi, teori perilaku, teori pendidikan pembelajaran, dan metode pembinaan tersebut, maka agar efektivitas partisipasi para siswa dalam berkoperasi meningkat, pembina Kopsis (termasuk guru koperasi) perlu menyusun program-program (baik yang langsung berkaitan dengan pelajaran koperasi dalam kelas maupun kegiatankegiatan lain yang ada di luar kelas) yang memungkinkan para siswa memiliki tingkat kesadaran berkoperasi yang tinggi baik dari segi persepsi, pengetahuan, motivasi maupun sikap. Kesadaran yang diharapkan adalah kesadaran sampai pada taraf transformasi dan rekonstruksi koperasinya, yaitu kemauan bertindak untuk menginventarisir masalah, menganalisa masalah secara sistemik, mencari alternatif pemecahan dan mengim-plementasikan alternatif pemecahan yang dipilih dalam praktik berkoperasi.
144
Selain itu perkembangan Kopsis berbeda-beda ada yang ada pada tahap pembentukan, konsolidasi dan pengembangan. Taraf kemampuan dan ketrampilan berkoperasi pada masing-masing tahappun berbeda-beda, ada yang berada dalam taraf mulai belajar, telah memiliki dasar-dasar kemampuan dan ketrampilan berkoperasi dan ada yang telah memiliki kemampuan yang memadai dan sangat trampil dalam menjalankan Kopsis. Dalam kaitan ini pembina dan para guru akan lebih berhasil dalam mencapai sasarannya apabila dalam melakukan pembelajaran dan pembinaan meneyesuaikan diri dengan tingkat kemampuan, kebutuhan dan harapan para siswa.
Hustrai Model Pemikiran Penelitian Berdasarkan keseluruhan kajian pustaka tersebut, dapat dilihat hubunganhubungan antar variabel dalam kerangka 1cybemitic model' (Lihat gambar 9). Pada kerangka ini dapat dilihat mana yang menjadi variabel 'effector, detector, dan selector. Sebagai input atau effector adalah para siswa, guru & pembina koperasi, program pembelajaran dan pembinaan siswa dalam berkoperasi, media pembelajaran (material), situasi (lingkungan sekolah, kepala sekolah, fasilitas sekolah, orang tua dsb ). Sedangkan yang menjadi detector dalam penelitian ini adalah partisipasi, manfaat koperasi, dan perkembangan koperasi. Dan yang menjadi selector adalah tingkat partisipasi, tingkat manfaat, dan tingkat perkembangan Kopsis. Selain kerangka 'Cybernetic model', juga dapat diilustrasikan kerangka pemikiran penelitian tentang model pembelajaran dan pemibinaan siswa dalam berkoperasi untuk meningkatkan partisipasi siswa, manfaat dan pengembangan Kopsis. (Lihat gambar 10).
145 INPUT (Effector) siswa Kcpsek, Guru, pembina Kopsis dan ( lembaga terkait Program pembelajaran -> dan pembinaan kop.
Transaction. Pelaskanaan pembinaan dan pembelajaran siswa dalam ^berkoperasi
Out Comes (Detector) Partisipasi siswa, manfaat ' kop. bagi siswa & perkemb. kop. Sek.
Media pembelajaran
Selector
situasi
fKreteria Pertimbangan) EfFectivitas Partisipasi: magical conforming stage, naive reforming stage, Critical ctranforming stage. S a n Manfaat Vtvpgrasi.: Ekonomi & non ekonomi. Perkemb. Koperasi.: (pembentukan, pertumbuhan, pematangan X pemantapan
Gambar 9: Cybernetic model dalam pembelajaran dan peningkatan partisipasi siswa, manfaat koperasi bagi siswa, dan perkembangan koperasi.
Pemda Tingkat II melakukan koodinasi dengan Departemen Koperasi Tingkat II dan departemen Pendidikan dan Kebudayaan Tingkat II mengadakan koordinasi untuk menyusun langkah-langkah nyata pembinaan, pengembangan dan pemecahan permasalahan yang dihadapi Kopsis di wilayahnya. Selain itu mereka memiliki tanggung jawab untuk mengadakan pembinaan kontrol dan monitoring pelaksanaan kegiatan Kopsis di setiap sekolah. Kepala sekolah sebagai pembina dan sebagai penanggung jawab terlaksananya pemeblajaran dan pembinaan perilaku siswa berkoperasi dan pengembangan Kopsis bertanggung jawab atas terciptanya budaya yang ditunjuk dan kepala sekolah) mengadakan kerja sama menyususun program pembinaan perilaku siswa dalam berkoperasi. Atas dasar arah program tersebut, guru/pendidik koperasi menyusun program pembelajaran dalam kelas yaitu program pembelajaran yang memungkinkan para siswa menginventarisir, menganilisa secara
146
Program Pembelajaran Koperasi dalam Kelas Program pembel. yang memungkinkan siswa: menginventarisir, menganalisa secara sistemik , mencari alternatif pemecah-an, melelapkan & menerapkan alter-natif pemecahan masalah (di Kop.) serta feed baek.
Program Pembm Perilaku siswa berkop
Model: terpadu dlm & luar kelas Metode: hadap masalah, diskoveri, inkuiri, ket proses, dan social learning.
Program Pembel & Pemb 'm di Luar Kelas Pengarahan siswa, pembinaan, pelatihan perangkat org. kop, pembinaan lembaga terkait, fcerjasama antar guru, siswa, dan badan usaha lain. Model: terpadu dalam & luar kls Met. Pembin: beri kesempatan siswa aktif (non direklif, colaboratifdan eklektif), kontr & monitoring scr. kontinyu Met Pembel: directed discovery, social learning & pure dicovery (sesuai tingkat kemanp & ket. Siswa)
Melasanakan Program Pembel dalam Kelas
PembI APembin Perilaku Siswa dalam berkoperasi
Pengurus:
Anggota; Persepsi Kognisi Motivasi Sikap
Persepsi Kognisi Motivasi Sikap
Efektivitas Partisipasi'. Magical conforming stage? Naive reforming stage? Criticat transfonning stage?
K i
-
— *
-evaluasi & feedback
Taraf Perkembangan Kopsis: pembentukan? Kosolidasi?
y
P^b^?
Gambar 10: Kerangka Pemikiran Penelitian Model Integratif Pembelajaran dan Pembinaan Kopsis Untuk Meningkatkan Partisipasi, Rasa Manfaat dan Perkembangan Kopsis.
—H
147 Keterangan: 1. 4 y; Koordinasi/keija sama 2. f: membuat/melalaikan 3 _ terhadap 4. — -• berpengaruh terhadap 5. — m e m b i n a , mengontrol dan memonitor
5. 6. 7. i 8.
: memperhatikan . berdasarkan y : saling mempengaruhi ^ .evaluasi!feedback
oragnisasi dan lingkungan yang kondusif bagi tercapainya tujuan dan fungsi penyelenggaraan Kopsis. Guru/pendidik koperasi dan pembina Kopsis sekolah (guru sistemik, mencari alternatif pemecahan, menetapkan dan menerapkan alternatif pemecahan masalah itu dalam Kopsis yang selanjutnya dilakukan feedback. Untuk mecapai ini guru perlu menggunakan model pembelajaran secara terpadu antara proses pembelajaran dalam kelas dan luar kelas dengan pendekatan pembel-ajaran siswa aktif. Dalam pendekatan ini guru perlu lebih mengutamakan penerapan metode hadap masalah, diskoveri, inkuiri, ketrampilan proses dan social learning dalam proses pembelajarannya. Atas dasar arah program pembinaan perilaku siswa yang telah dirumus-kan bersama, pembina Kopsis menyusun program pembinaan di luar kelas. Program ini mencakup pemberian pengarahan siswa, penataran anggota, pelatihan perangkat organisasi Kopsis, kerjasama antar guru dan staf sekolah, kerjasama dengan lembaga terkait, badan usaha dan lembaga lain. Agar program ini bisa terlaksana, pembina Kopsis perlu melaksanakan model pembinaan secara integratif dengan semua fihak dan program lain yang terkait. Dalam proses pelaksanaan pembinaan, pembina koperasi dapat menggunakan metode direkttf, non direktif, colaboratif dan eklektif. Atas dasar program yang dibuat, guru/pendidik koperasi melaksanakan program pembelajaran dalam kelas dan pembina Kopsis melaksanakan program
148 pembinaan di luar kelas. Aktivitas guru/pendidik koperasi dan pembina Kopsis secara bersama-sama diarahkan ke arah membina perilaku siswa yang mencakup aspek persepsi, kognisi, motivasi dan sikap. Melalui pem-binaan perilaku siswa dalam berkoperasi ini diharpakan dapat meningkatkan partisipasi siswa dalam Kopsis, manfaat Kopsis bagi siswa, dan perkembangan Kopsis. Selain itu dalam waktu yang bersamaan guru berpartisipasi membantu membina perilaku siswa dalam berkoperasi. Setelah melaksanakan program, guru/pendidik koperasi dan pembina Kopsis melakukan evaluasi dan feedback. Evaluasi dimaksudkan untuk melihat pada tingkat mana partisipasi siswa (magical conforming stage, natve reforming stage atau critical transforming stage), seperti apa manfaat koperasi bagi siswa baik secara ekonomi maupun non ekonomi, dan pada taraf mana perkembangan koperasinya (pembentukan, pertumbuhan, pematangan atau pemantapan). Dalam melakukan feedback guru dan pembina Kopsis dapat memeriksa pelaksanaan program, pembuatan program dan komitmen mereka sendiri terhadap tugas dan tanggung jawabnya.
I. APLIKASI MODEL, METODE DAN PERENCNAAN PEMBELAJARAN SERTA PEMBINAAN SISWA DALAM BERKOPERASI Berdasarkan teori pembelajaran dan pembinaan siswa dalam berkoperasi tersebut maka dapat diambil inti-intinya sebagai berikut: model pembelajaran dan pembinaan siswa dalam berkoperasi secara keseluruhan akan fungsional bila diterapkan model pembelajaran dan pembinaan secara terpadu dengan menggunakan pendekatan belajar siswa aktif. Artinya kepala sekolah, guru ekonomi dan pembina Kopsis dalam menyususun program dan melakukan pembelajaran siswa pembinaan siswa dalam berkoperasi perlu saling berkoordinasi tentang apa materinya dan
149
bagaimana membelajarkan dan membinanya serta bagaimana memanfaatkan Kopsis sebagai media pembelajaran dan pembinaan yang memungkinkan siswa aktif dalam proses belajar. Para guru ekonomi dalam melaksanakan pembelajaran dan pembinaan siswa dalam berkoperasi di kelas perlu memanfaatkan Kopsis dan lembaga usaha lain sebagai media pembelajaran materi-materi ekonomi yang berkaitan dengan masalah koperasi. Strategi pembelajaran yang perlu diterapkan adalah setelah menyajikan teori-teori atau konsep ekonomi dan koperasi, guru membuka permasalahan tentang bagaimana penerapan dan hasil-hasilnya atas teori atau konsep yang telah dipelajari itu di dalam Kopsis, siswa disuruh mengamati dan mengecek penerapannya serta bagaimana hasilnya, mengapa itu terjadi demikian, para siswa disuruh mendiskusikan hal tersebut dalam kelompok dan melaporkan serta mendiskusikan hasilnya di kelas, selanjutnya para siswa dianjurkan mendiskusikan tentang saran-saran apa yang perlu diterapkan di Kopsis. Pada kesempatan yang lain guru menyuruh para siswanya mengevaluasi hasil penerapan atas saran-saran yang mereka berikan. Bagi para pembina dalam menerapkan pembelajaran dan pembinaan perlu memperhatikan tahap mana perkembangan Kopsis yang ada di sekolahnya dan tingkat kemampuan dan ketrampilan para siswa. Hal ini disebabkan tahap perkembangan
koperasi
yang
berbeda
menunjukkan
tingkat
pengetahuan,
kemampuan, ketrampilan dan pengalaman para siswa dalam berkoperasi secara berebeda. Proses pembelajaran dan pembinaan perlu disesuaikan dengan tingkat kebutuhan, kemampuan dan karakteristik anak. (Glickman,1981: 40) Proses belajar merupakan proses bertahap, pengetahuan prerekuisit sebelumnya menentukan perkembangan pengetahuan, kemampuan dan ketrampilan selajutnya (Gagne and
150 Briggs, 1977; 1979; Gagne, Briggs & Wager, 1988). Taraf kemampuan dan pengalaman kelompok individu ada yang masih berkategori rendah, sedang dan tinggi, dan secara berurutan akan lebih tepat dibina secara direktif, colaboratif dan non direktif (delegatif) dan eklektif. Sehubungan dengan pendekatan penerapan CBSA yang variatif sifatnya, agar lebih serasi dengan taraf kemampuan para individu dalam Kopsis dan tahap perkembanagn Kopsis, maka Kopsis yang bertahap pembentukan akan lebih tepat apabila para anggota Kopsis dibelajarkan dengan menggunakan metode social learning dan dibina secara direktif. Kopsis yang bertahap Konsolidasi dibelajarkan dengan menggunakan directed dicovery-inquiry dan dibina secara kolaboratif. Sedangkan Kopsis yang telah bertahap pengembangan dibelajarkan dengan menggunakan metode pembelajaran secara pure dicoveryinquiry dan dibina secara delegatif (non-direktif)
J. DEFINISI OPERATIONAL 1. Model Pembelajaran Koperasi Menurut Cole dan Chan (1994: 4) model pembelajaran merupakan serangkaian ide-ide atau proposisi-proposisi dari suatu pemikiran yang abstrak yang dapat digunakan untuk membimbing metode-metode, memilih prinsip-prinsip dan mengambil keputusan praktis. Model mencakup di dalamnya gambaran prinsipprinsip, metode, strategi, prosedur dan teknik yang dapat dilakukan. Menurut Reigluth (1983: 21) model pembelajaran merupakan serangkaian komponen strategi yang terpadu, seperti dalam pengurutan bahan ajar, penggunaan ikhtisar dan ringkasan, penggunaan contoh, pelaksanaan praktik, penerapan strategi-strategi yang berbeda-beda dalam memotivasi siswa. Pembelajaran merupakan serangkaian aktivitas yang dilakukan oleh pendidik atau tutor yang bertujuan untuk membantu
151 dan membina atau memepermudah proses belajar subjek belajar atau siswa. Koperasi yang dimaksudkan dalam penelitian ini mencakup dua penegrtian: (a) koperasi dalam arti bagian mata pelajaran ekonomi yang membicarakan tentang dunia usaha dalam bentuk keija sama ekonomi yang mementingkan kepentingan anggota, dan (b) koperasi dalam arti Kopsis yang berfungsi sebagai organisasi ekonomi siswa, lab ekonomi dan lab pembinan kepribadian siswa, termasuk dalam pengembangan dan penanaman langsung nilai-nilai kehidupan ekonomi yang bersifat demokratis (Ditjen Dikdasmen, 1991). Oleh karena itu model pernbel-ajaran koperasi adalah serangkaian ide-ide atau proposisi-proposisi pemikiran yang bersifat abstrak yang dapat digunakan untuk membimbing dan memilih prinsip-prinsip, metode, strategi, prosedur dan teknik, pengurutan bahan ajar, penggunaan contoh, pelaksanaan praktik, pemberian tugas, dan pengambilan keputusan tentang berbagai aktivitas yang perlu dilakukan pendidik atau tutor dalam membantu dan membina atau mempermudah proses belajar peserta didik dalam bidang perkoperasian, baik belajar koperasi yang dilakukan di dalam kelas maupun belajar koperasi yang dilakukan di luar kelas
Dengan pengertian tersebut model pembelajaran koperasi yang
dimaksudkan dalam penelitian ini adalah serangkaian ide-ide yang abstrak yang membimbing dan memilih prinsip-prinsip, metode, strategi, prosedur dan teknik yang dilakukan secara terpadu antara belajar koperasi di dalam kelas dengan belajar koperasi di luar kelas. 2. Metode Pembinaan Perilaku. Metode pembinaan adalah langkah-langkah yang ditempuh dalam proses pembina-an (Sahertian, 1994:102). Sedangkan perilaku memiliki empat unsur yaitu persepsi, kognisi, motivasi dan sikap. Dari macamnya Glickman (1981: 5) menggo-
152 longkan. 4 macam metode yang mungkin dapat diterapkan dalam upaya pembinaan perilaku, yaitu metode direktif, non-direktif, kolaboratif dan eklektif. Atas dasar pengertian ini maka metode pembinaan perilaku yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah adalah langkah-langkah yang ditempuh oleh pembina Kopsis dalam upaya membina persepsi, kognisi, motivasi dan sikap siswa dalam berkoperasi, apakah ia cenderung menggunakan metode direktif, non-direktif, colaboratif atau eklektif. 3. Pembina Kopsis Pembina Kopsis adalah orang yang tugasnya melakukan pembinaan Kopsis yaitu membimbing dan mengawasi terhadap jalannya kegiatan Kopsis. Pada tingkat Sekolah Lanjutan Atas yang dimaksudkan pembina Kopsis adalah guru bidang studi ekonomi/pengelolaan usaha dan atau guru lain yang ditunjuk serta memiliki pengetahuan
perkoperasiaan
sebagai
Guru
Pembina
OSIS
yang
mendampingi
kewirausahaan/ perkoperasiaan (Petunjuk Pelaksnaan Kopsis Ditjen Depdikbud, 1991:3-4). 4. Perilaku Siswa (Sebagai Anggota dan Pengurus) Dengan pembinaan diharapkan para siswa terjadi perubahan persepsi dan sikap negatif ke arah persepsi dan sikap yang positif peserta didik terhadap koperasi, serta meningkatnya kognisi dan motivasi peserta didik terhadap koperasi. Persepsi adalah suatu proses seleksi, mengorganisir dan memberikan makna oleh individu terhadap kesan-kesan yang ada di lingkungannya. Yang dimaksudkan persepsi positif dalam penelitian ini adalah pemberian makna terhadap Kopsis dan perlengkapan organisasinya secara positif. Sedangkan persepsi negatif adalah pemberi-an makna terhadap koperasi secara negatif. Pemberian makna ini meliputi pemberian makna terhadap koperasi dari segi manfaat, pelayanan, kegiatan yang
153
dilakukan, perkembangan, pelaksanaan rapat anggota, pembina, pengurus dan pengawas koperasi serta pelajaran koperasi. Sikap adalah pernyataan evaluatif tentang sesuatu objek, orang atau peristiwa yang dinyatakan dengan perasaan menyenangkan atau tidak menyenangkan. (Robbins, 1996: 180), Yang dimaksudkan sikap positif dalam penelitian ini adalah pernyataan evaluatif dari para siswa terhadap koperasinya secara positif. Sedangkan sikap negatif terhadap koperasi adalah pernyataan evaluatif secara negatif terhadap koperasi. Sikap mengandung tiga komponen yaitu sikap kognitif, sikap perasaan, dan sikap kecenderungan bertindak. Komponen pertama akan mencakup semua pemahaman siswa yang bersifat evaluatif terhadap kegiatan dan kehidupan koperasi yang sedang berjalan. Pemahaman ini akan mencakup: a. segi manfaat: apakah Kopsis memberikan manfaat kepada dirinya atau tidak, menguntungkan atau tidak menguntungkan; b. segi pelayanan: apakah koperasi sudah mampu memberikan pelayanan sesuai dengan harapan dari keputusan rapat anggota baik dari segi kecepatan pelayanan, kualitas barang, harga barang, macam barang, penampilan petugas maupun penerimaan aduan; c. perlengkap-an organisasi Kopsis (pengurus, pembina, rapat anggota, pengawas). Pengurus: apakah mereka dapat dipercaya atau tidak, apakah mereka telah menjalankan hasil-hasil kepu-tusan rapat anggota atau belum, pembina: apakah pembina meberikan pembinaan sesuai dengan harapannya; rapat anggota: apakah panitia rapat telah menyiapkan persoalan-persoalan yang perlu dipecahkan dalam rapat, apakah pelaksanaan rapat didominasi oleh panitia atau tidak; pengawas : apakah pengawas telah menjalankan hak dan kewajibannya sebagai pengawas, d.. segi kegiatan: apakah koperasi telah banyak menyelenggarakan kegiatan yang
154 bermanfaat bagi pengembangan anggota atau tidak, seperti trainng kepengurusan dan pengelolaan koperasi, mengundang tenaga ahli untuk memberikan penataran; e. segi perkembangan: apakah koperasi berkembang atau mengalami kemajuan atau tidak. Komponen kedua berkenaan dengan perasaan senang dan tidak senang, suka dan tidak suka terhadap koperasi: mencakup segi manfaat, pelayanan, kegiatan yang dilakukan, perkembangan, pelaksanaan rapat anggota, pembina, pengurus dan pengawas koperasi. Komponen ketiga berkaitan dengan kecenderungan atau kemauan individu untuk bertindak membantu, acuh tak acuh atau justru menghalangi kelancaran penyelenggaraan koperasi: baik dari segi pelayanan, kegiatan, pengembangan, pelaksanaan rapat anggota maupun promosi koperasi. Kognisi adalah banyaknya pengetahuan yang tersimpan di dalam otak seseorang (Bloom, 1956:28). Tingkat pengetahuan para siswa tentang koperasi akan dilihat dari aspek hakekat, tujuan, fungsi koperasi, azas-azas koperasi, hak dan kewajiban anggota serta mekanisme kerja koperasi (khususnya Kopsis) serta berdasarkan prestasi hasil belajar yang berupa nilai yang diberikan oleh guru bidang ekonomi koperasi. Motivasi merupakan energi atau daya pendorong seseorang untuk berbuat atau bertingkah laku. Yang dimaksudkan motivasi dalam penelitian ini adalah daya pendo-rong atau semangat individual siswa untuk belajar dan berpartisipasi dalam koperasi, baik partisipasi dalam perannya sebagai pemilik dan pelanggan. Sebagai pemilik para siswa bersemangat memberikan kontribusi secara aktif dalam pembentukan dan perkembangan koperasi dalam bentuk kontribusi keuangan. Sebagai anggota para siswa ikut aktif mengambil bagian dalam hal penetapan tujuan,
155
pembuatan keputusan dan dalam proses pengawasan tata kehidupan koperasi. Sedangkan dalam perannya sebagai pelanggan/pemakai, para siswa memanfaatkan berbagai potensi yang disediakan oleh koperasi dalam menunjang kepentingannya. 5. Program Pembelajaran Program pembelajaran merupakan suatu rancangan pengalaman pendidikan yang disusun agar dapat dipelajari para siswa mungkin di dalam kelas, luar kelas atau bahkan mungkin dapat dipelajari di luar sekolah (Good and Mackel, 1956: 449). Atas dasar pengertian tersebut maka yang dimaksudkan dengan program pembelajaran koperasi dalam penelitian ini adalah rancangan pengalaman pendidikan koperasi yang akan diberikan kepada para siswa baik yang dipelajari di dalam kelas maupun di luar kelas. Pendeknya program pembelajaran koperasi yang ingin digali dalam penelitian ini mencakup program pembelajaran koperasi dalam kelas dan luar kelas. Program pembelajaran dalam kelas adalah suatu rancanagan pembelajaran yang disusun secara logis-sistematis oleh pendidik untuk meningkatkan hasil pembelajaran (Sukartawi, dkk, 1995:15). Program pembelajaran ini lebih menekankan pada hasil pembelajaran yang lebih bersifat konseptual teoritis. Program pembelajaran ini mencakup: pengorganiasian bahan ajar, penyajian pembelajaran, dan evaluasi hasil pembelajaran. Sedangkan program pembelajaran koperasi di luar kelas merupakan prgram pembelajaran yang lebih bersifat praktis yang dirancang dan dilakukan oleh guru dan pembina koperasi dalam rangka meningkatkan atau menunjang pencapaian tujuan pembelajaran di dalam kelas dan pencapaian tujuan dan fungsi Kopsis. Lebih sederhananya, program ini merupakan program yang diarahkan pada pemikiran bagaimana Kopsis itu dapat berkembang dan benar-benar dapat difungsikan sebagai laboratorium ekonomi (koperasi) di sekolah dan organisasi ekonomi siswa. Program
156 ini mencakup: analisa kondisi koperasi pengarahan siswa baru, training anggota, manajer dan karyawan serta training pengurus, keijasama dengan lembaga lain, keijasama antara kepala sekolah, guru, pembina koperasi dan adminstrasi sekolah, praktik koperasi, cara membina perilaku siswa: peningkatan pesepsi, pengetahuan (wawasan), motivasi dan sikap siswa terhadap koperasi. 6. Hasil yang Dicapai Hasil yang dicapai atau hasil belajar riil yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah perubahan-perubahan yang terjadi dalam koperasi yang mencakup manfaat koperasi yang dirasakan siswa, efektivitas partisipasi siswa dalam koperasi, dan perkembangan Kopsis dengan model pembelajaran dan metode pembinaan perilaku yang diterapkan oleh para guru dan pembina koperasi. Manfaat koperasi adalah tingkat keuntungan yang dirasakan oleh para anggota (siswa) Kopsis baik yang bersifat ekonomi maupun non ekonomi. Efektivitas partisipasi siswa (Anggota). Steers (1985:46) mengemukakan bahwa efektivitas adalah tingkatan sejauh mana organisasi melakukan seluruh tugas pokoknya atau mencapai sasaran. Pendapat yang senada juga dikemukakan oleh Hidayat (1986:3) bahwa efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa target (kuantitas, kualitas, waktu) telah tercapai. Sedangkan Partisipasi adalah keterlibatan mental dan perasaan sesorang di dalam situasi kelompok untuk memberikan kontribusi dan bersama-sama bertanggung jawab atas tercapainya tujuan kelompok (Davis, 1981: 176) Berdasarkan pendapat tersebut yang dimaksudkan efektivitas parti-sipasi dalam penelitian ini adalah tingkatan sampai seberapa jauh anggota melibatakan diri dalam Kopsis, memanfaatkan insentif yang diberikan oleh koperasi, menyumbangkan fikiran, tenaga, dan biaya dalam mendukung pelaksanaan kegiatan koperasi.
157 Dari pendapat tersebut dapat dikemukakan bahwa yang dimaksud efektivitas partisipasi anggota Kopsis adalah tingkatan sampai seberapa jauh anggota melibatakan diri dalam Kopsis, memanfaatkan insentif yang diberikan oleh koperasi, menyumbang-kan fikiran, tenaga, dan biaya dalam mendukung pelaksanaan kegiatan koperasi. Sedangkan data tentang tingkat partisipasi siswa akan dilihat berdasarkan pada tingkat-tingkat partisipasi yang dikemukakan oleh Freire (1972:1-48) dan Alschuler (1980: 13). Mereka menggolongkan tingkatan partisipasi sesorang ke dalam 3 (tiga) tingkatan: a. The magical conforming stage. pada tingkatan ini orang memiliki perspektif bahwa sistuasi yang ada di lingkungannya dirasakan sebagai sesuatu yang sudah tidak bisa diubah dan sangat kecil sekali kemungkinnya untuk mampu mengubahnya. Ia lebih suka menyerah terhadap keadaan, merasa tak berdaya untuk berbuat, berjiwa fatalism, masa bodoh dan tak mau melakukan tindakan untuk berbuat. b. Na'ive reforming stage. pada tingkatan ini orang sudah timbul keinginan mencoba dan mencoba untuk memperbaiki keadaan. Ia memandang bahwa system lingkung-an dapat diterima, dan tanggung jawab perubahan adalah ada pada individu masing-masing. Ia merasa bahwa yang penting dirinya telah berbuat sesuai dengan system yang ada. c. The critical transforming stage: individu mulai menganalisa budaya dan struktur sosial atau system lingkungan yang ada secara kritis dan berpartisipasi secara aktif untuk melakukan rekonstruksi terhadap system yang ada atau melakukan tindakan-tindakan pemecahan masalah yang dihadapi secara bersama-sama.