BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1
Sekolah Menurut Reimer dalam (Saiful Sagala, 2009: 70) mengemukakan bahwa
sekolah adalah lembaga yang menghendaki kehadiran penuh kelompok-kelompok umur tertentu dalam ruang-ruang kelas yang dipimpin guru untuk mempelajari kurikulum-kurikulum yang bertingkat. Nanang Fattah dalam (Saiful Sagala, 2009: 70) mengemukakan sekolah merupakan wadah tempat proses pendidikan dilakukan, memiliki sistem yang kompleks dan dinamis. Dalam kegiatannya, sekolah bukan hanya tempat berkumpulnya guru dan murid, melainkan berada dalam suatu tatanan sistem yang rumit dan saling berkaitan. Sementara itu Saiful Sagala (2009: 71) mengemukakan sekolah merupakan suatu organisasi yang membutuhkan pengelolaan oleh orang-orang profesional. Sekolah memiliki kegiatan inti organisasi yaitu mengelola Sumber Daya Manusia (SDM) yang diharapkan menghasilkan lulusan yang berkualitas sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat, lulusan sekolah diharapkan dapat memberikan kontribusi yang signifikan kepada pembangunan bangsa. Pendapat tersebut di dukung oleh Abdul Aziz Wahab (2008: 112) sekolah merupakan organisasi pendidikan yang melaksanakan kegiatan yang dikelola secara efektif-efisien dalam upaya mencapai tujuan yang hendak dicapainya, sekolah juga memiliki hubungan-hubungan fungsional dengan pusat kekuasaan yaitu pemerintah pusat. Berdasarkan pemaparan para ahli tersebut dapat dikemukakan kembali bahwa sekolah merupakan lembaga pendidikan yang dikelola secara efektif dan efisien oleh tenaga profesional dengan kegiatan intinya adalah mengelola SDM agar mampu memberikan kotribusi signifikan bagi masyarakat. Sebagai suatu lembaga pendidikan, sekolah tentunya memiliki fungsi. Fungsi sekolah menurut Saiful Salaga (2009: 75) adalah meneruskan, mempertahankan
dan
mengembangkan
kebudayaan
masyarakat
melalui
pembentukan kepribadian peserta didik dengan memberikan ilmu pengetahuan dan penanaman nilai-nilai yang mendukungnya.
9
Cheng dalam (Umaedi, dkk. 2007: 36-40) lebih memperinci mejelaskan fungsi sekolah antara lain: 1.
Fungsi Teknis/ Ekonomi Fungsi teknis/ ekonomi merujuk pada sejauh mana sekolah di dalam
pembangunan ekonomi bagi individu, institusi dan masyarakat. Pada tingkat individu, sekolah membantu siswa memperoleh pengetahuan dan ketrampilan untuk bekal hidup. Sebagai instusi, sekolah merupakan organisasi layanan yang menyediakan produk jasa layanan yang bermutu bagi klien (pengguna jasa pendidikan), tempat bekerja bagi karyawan dan pengelola. Pada tingkat masyarakat baik lokal maupun nasional, sekolah turut mewarnai sistem dan gerak ekonomi dengan menyediakan tenaga yang diperlukan dan sesuai perkembangan ekonomi masyarakat. 2.
Fungsi Manusiawi/ Sosial Fungsi manusiawi/ sosial berkaitan dengan sumbangan sekolah
terhadap perkembangan manusia sebagai pribadi dan dalam hubungan sosial dengan orang lain. Bagi individu, sekolah membantu pengembangan diri secara psikologis, fisik, sikap dan ketrampilan sosial, dengan mengembangkan potensi setiap anak dengan optimal. Bagi tingkat institusi, sekolah merupakan unit masyarakat kecil yang mempunyai sistem sosial yang diharapkan ideal yaitu sesuai dengan nilai dan norma tatanan yang dianggap baik sehingga menjadi model hubungan antar pribadi yang harmonis di antara warga sekolah maupun warga sekolah dengan masyarakat. 3.
Fungsi Politik Fungsi
politik
mengacu
pada
kontribusi
sekolah
kepada
pengembangan politik pada setiap tingkat atau tataran masyarakat. Pada tataran individual, sekolah membantu siswa mengembangkan sikap kewarganegaraan yang baik, serta pengembangan pengetahuan dan keterampilan merealisasikan hak dan kewajiban sebagai warga negara. Pada tataran institusi, sekolah menjadi tempat pelaksanaan model pemerintahan yang sejalan dengan tatanan kenegaraan dan pemerintah
10
Indonesia, utamanya di dalam organisasi sekolah seperti komite sekolah dan dewan guru sebagai contoh penerapan lembaga yang demokratis. Pada tataran masyarakat, sekolah turut memberikan kontribusi terhadap kesadaran berdemokrasi, menjaga kestabilan pemerintah yang sah dan menyumbangkan tenaga (termasuk lulusan) yang memiliki etika politik terpuji. 4.
Fungsi Budaya Fungsi budaya/ kultural merujuk pada kontribusi sekolah dalam
bentuk pembekalan sikap, kesadaran, sosialisasi, dan praktik hidup berbudaya baik bagi individu, institusi maupun masyarakat. Pada tataran individu, sekolah membantu siswa mengembangkan sikap perilaku yang berbudaya, memelihara dan mempertahankan tradisi yang positif dan mengembangkannya, baik dalam bentuk tradisi perilaku maupun berbagai ragam kesenian. Dalam tataran institusi sekolah menjadi pusat alih budaya secara sistematis kepada generasi penerus, pegenalan budaya baru yang lebih dinamis serta pemolesan budaya lama dengan meninggalkan unsurunsur yang tidak relevan lagi dengan perkembangan masyarakat. Pada tataran masyarakat, sekolah sering dipandang sebagai model yang merefleksikan harapan masyarakat, penghasil manusia yang berbudaya, serta calon budayawan sehingga secara keseluruhan sekolah-sekolah mewarnai ragam budaya bangsa. 5.
Fungsi Pendidikan Faktor pendidikan merujuk pada sumbangan sekolah untuk lembaga
persekolahan dalam memelihara, mempertahankan, dan mengembangkan sistem pendidikan dan apresiasi serta komitmen akan pentingnya pendidikan baik bagi individu, lembaga, masyarakat, bangsa dan antar bangsa. Bagi individu, sekolah membantu siswa belajar bagaimana belajar, kesadaran akan pentingnya belajar sepanjang hayat. Bagi institusi, sekolah merupakan tempat bersama-sama belajar secara sistematis bukan hanya bagi siswa tetapi juga guru, tenaga kependidikan lainnya, tempat eksperimentasi dan pembaruan model belajar. Bagi masyarakat, sekolah
11
merupakan institusi yang penting bagi masyarakat modern yang harus ada dan memenuhi kebutuhan masyarakat akan berbagai ragam pendidikan. 6.
Fungsi spiritual Fungsi spiritual merujuk pada kontribusi sekolah bagi kehidupan
pribadi, kepentingan institusi, dan kehidupan masyarakat. Bagi pribadi, sekolah membantu pengembangan spiritual anak untuk memahami nilai luhur dan norma-norma hidup yang bersumber dari agama yang dianut serta pengertian dan pemahaman mengenai perbedaan dalam hal agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dengan sikap yang positif untuk dihayati dan diamalkan sehingga pribadi akan dapat menjalin kehidupan secara lebih bermakna dan utuh. Bagi institusi, sekolah merupakan tempat masyarakat kecil beragama yang plural dan harmonis. Pada tataran masyarakat, sekolah berperan memenuhi hasrat spiritual yang mungkin masih kurang ditangani oleh lembaga keagamaan maupun orang tua. Dalam bukunya Sudarwan Danim (2006: 1 – 4) menyebutkan sekolah memiliki 3 (tiga) pilar fungsi sekolah yaitu: 1. Fungsi Penyadaran Fungsi penyadaran disebut juga fungsi konservatif bermakna bahwa sekolah memiliki tangungjawab untuk mempertahankan nilai-nilai budaya masyarakat dan membentuk kesejatian diri sebagai manusia. Sekolah berfungsi untuk membangun kesadaran untuk tetap berada pada tataran sopan santun, beradap, dan bermoral dimana hal tersebut menjadi tugas semua orang. Orang tua, guru dan dosen harus mampu harus mampu membebaskan anak-anak dari aneka belenggu, bukan malah menindasnya dengan cara menetapkan norma tunggal. Mereka perlu membangun kesadaran bagi lahirnya proses dialogis yang mengantarkan individu-individu secara bersama-sama untuk memecahkan masalah eksistensial mereka.
12
2. Fungsi Reproduksi Fungsi ini disebut juga fungsi progresif merujuk pada eksistensi sekolah sebagai pembaharu atau pengubah kondisi masyarakat kekinian ke sosok yang lebih maju. Fungsi ini juga berperan sebagai wahana pengembangan, reproduksi, dan desimilasi ilmu pengetahuan dan teknologi. 3. Fungsi Mediasi Sekolah sebagai lembaga pendidikan memiliki fungsi mediasi yang menjembatani fungsi konservatif dan fungsi progresif. Hal yang termasuk kerangka fungsi mediasi adalah kehadiran institusi pendidikan sebagai wahana
sosialisasi,
pembawa
bendera
moralitas,
wahana
proses
pemanusiaan dan kemusiaan umum, serta pembinaan idealisme sebagai manusia terpelajar. Berdasarkan beberapa pemaparan fungsi sekolah oleh para ahli, dapat dikemukakakan bahwa sekolah berfungsi sebagai wahana untuk mengembangkan individu dalam berbagai aspek sehingga sadar dan mampu mengaplikasikan berbagai pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki dalam kehidupan masyarakat. Fungsi sekolah ini perlu dipahami oleh warga sekolah dalam rangka usaha untuk mencapai tujuan sekolah yang tidak terlepas dari tujuan nasional pendidikan karena sekolah dalam sistem pendidikan nasional merupakan satuan pendidikan jalur formal yang peran utamanya adalah merealisasikan tujuan nasional pendidikan yaitu “...untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”1
1
Indonesia, Undang-Undang RI nomor 20 tahun 2003 pasal 3, Sistem Pendidikan Nasional.
13
2.1.1 Sekolah Dasar Pada Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) nomor 20 tahun 2003 pasal 34 dijelaskan bahwa setiap warga negara berusia 6 tahun dapat mengukuti program wajib belajar dan pemerintah menjamin terselanggaranya wajib belajar tersebut melalui pendidikan dasar yang tanpa memungut biaya. Sementara pada UUSPN nomor 20 tahun 2003 pasal 17 dijelaskan bahwa pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah. Pendidikan dasar tersebut berbentuk Sekolah Dasar (SD) atau bentuk lain yang sederajat dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau yang sederajat. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan menjelaskan “Sekolah Dasar selanjutnya SD adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggaran pendidikan umum pada jenjang pendidikan dasar.” Sementara menurut Suharjo dalam (Agung Pramono, 2013: 1) sekolah dasar merupakan lembaga pendidikan yang menyelenggarakan program pendidikan enam tahun bagi anak-anak usia 6 – 12 tahun. Sejalan dengan hal tersebut, Fuad Ihsan (2008: 26) menjelaskan bahwa sekolah dasar merupakan bentuk satu kesatuan pendidikan yang dilaksanakan dalam masa program belajar 6 tahun. Berdasarkan beberapa pernyataan tersebut dapat dikemukakan bahwa sekolah dasar adalah suatu lembaga formal pada jenjang pendidikan dasar yang menjadi landasan untuk melanjutkann ke jenjang pendidikan menengah dengan menyelesaikan program belajar 6 tahun. Sebagai suatu lembaga pendidikan sekolah memiliki tujuan yang diselaraskan dengan tujuan pendidikan nasional. Menurut Suharjo (2006: 8) tujuan pendidikan sekolah dasar sebagai berikut: 1. Menuntun pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani, bakat dan minat siswa. 2. Memberikan bekal pengetahuan, ketrampilan dan sikap dasar yang bermanfaat bagi siswa. 3. Membentuk warga negara yang baik.
14
4. Melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan di SMP. 5. Memiliki pengetahuan, ketrampilan dan sikap dasar bekerja di masyarakat. 6. Terampil untuk hidup di masayarakat dan dapat mengembangkan diri sesuai dengan asas pendidikan seumur hidup. Menurut Eka Ihsanudin dalam (Wa, Rosidah, 2012: 19) pendidikan sekolah dasar memiliki tujuan yaitu: 1. Memberikan bekal kemampuan membaca, menulis dan berhitung. 2. Memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar yang bermanfaat bagi siswa sesuai dengan tingkat perkembangannya. 3. Mempersiapkan siswa untuk mengikuti pendidikan di SMP. Berdasarkan pemaparan oleh para ahli dapat dikemukakan kembali bahwa sekolah dasar memiliki tujuan untuk memberikan bekal pengetahuan, ketrampilan dan sikap dasar
yang bermanfaat bagi siswa sesuai dengan tingkat
perkembangannya dan dapat digunakan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah pertama.
2.2
Manajemen Sekolah Istilah manajemen memiliki beragam definisi sesuai dengan para ahli yang
mengemukakan. Dari para ahli yang berpendapat mengenai manajemen antara lain, 1. Menurut The Liang Gie, manajemen adalah segenap proses penyelenggaraan dalam setiap usaha kerjasama sekelompok manusia untuk mencapai tujuan tertentu. 2. Menurut Sondang Palan Siagian, manajemen adalah keseluruhan proses kerjasama antara dua orang atau lebih yang didasarkan rasionalitas tertentu untuk mencapai tujuan yang ditentukan sebelumnya. 3. Menurut Pariata Westra, manajemen adalah segenap rangkaian perbuatan penyelenggaraan dalam setiap usaha kerjasama sekelompok manusia untuk mecapai tujuan tertentu.2
2
Arikunto dan Lia ,2003, Manajemen Pendidikan, Aditya Media, Yogyakarta, h.2-3.
15
Berdasarkan pendapat tiga ahli tersebut dapat dikemukakan bahwa manajemen adalah suatu kegiatan yang berupa proses kerjasama yang dilakukan dua orang atau lebih dalam usaha untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan. Menurut Tim Dosen Adminisrasi Pendidikan UPI (2010: 85) ilmu manajemen apabila dipelajari secara komprehensif dan diterapkan dengan konsisten akan memberikan arah yang jelas, langkah yang teratur sehingga keberhasilan dan kegagalan dapat dengan mudah dievaluasi dengan benar, akurat dan lengkap yang dapat dijadikan bahan pembelajaran bagi tindakan selanjutnya. Hal tersebut juga berlaku dalam dunia pendidikan. Menurut Gaffar dalam (E, Mulyasa, 2009: 19) manajemen pendidikan adalah suatu proses kerjasama yang berkenaan dengan pengelolaan proses pendidikan dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Sejalan dengan Gaffar, Muljani A. Nurhadi dalam (Suharsimi, Arikunto dan Lia, 2012: 3) menjelaskan bahawa manajemen pendidikan adalah suatu kegiatan atau rangkaian kegiatan yang berupa proses pengelolaan usaha kerjasama sekelompok manusia yang tergabung dalam organisasi pendidikan, untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan sebelumnya, agar efektif dan efisien. Berdasarkan pernyataan para ahli tersebut terdapat beberapa kesamaan dalam memberikan definisi mengenai manajemen pendidikan yaitu terdapat suatu proses yang di dalamnya terdapat kerjasama dalam mengelola hal-hal yang berkaitan pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan yang sudah ditetapkan bersama. “Manajemen atau pengelolaan merupakan komponen integral yang tidak dapat dipisahkan dari proses pendidikan secara keseluruhan, karena tanpa manajemen maka tidak mungkin tujuan pendidikan dapat diwujudkan secara optimal, efektif dan efisien.”3 Sekolah merupakan suatu lembaga pendidikan yang dalam pengelolaannya seharusnya menjalankan ilmu manajemen untuk mencapai tujuan sekolah secara efektif dan efisien. Berdasarkan pendapat para ahli mengenai manajemen dan sekolah maka dapat dikemukakan bahwa manajemen sekolah adalah suatu
3
E, Mulyasa, op. cit., hal.20.
16
kegiatan yang berupa proses kerjasama dalam bidang pendidikan yang dilakukan dua orang atau lebih dalam usaha untuk mencapai tujuan pendidikan dan tujuan sekolah yang sudah ditetapkan. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Syaiful Sagala (2009: 55) yang menyatakan manajemen sekolah adalah proses dan instansi yang memimpin dan membimbing penyelenggaraan pekerjaan sekolah sebagai suatu organisasi dalam mewujudkan tujuan pendidikan dan tujuan sekolah yang telah ditetapkan. Dalam UUSPN nomor 20 tahun 2003 pasal 51 ayat (1) dijelaskan bahwa “Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah.” Berdasarkan UUSPN tesebut maka pendidikan pada tingkat Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas atau Kejuruan seharusnya menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah.
2.3
Manajemen Berbasis Sekolah
2.3.1 Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah Salah satu model desentralisasi pendidikan yang diterapkan pada pengelolaan sekolah adalah manajemen berbasis sekolah. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 49 ayat (1) “Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menerapkan manajemen berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas.” Berdasarkan Peraturan Pemerintah tersebut, maka sekolah sebagai satuan pendidikan jalur formal dari jenjang sekolah dasar sampai sekolah menengah seharusnya menerapkan manajemen berbasis sekolah. Pada penjelasan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 51, ayat (1) menyebut bahwa “yang dimaksud dengan manajemen berbasis sekolah/madrasah adalah bentuk otonomi manajemen pendidikan pada satuan pendidikan, yang dalam hal ini kepala sekolah/madrasah dan guru dibantu oleh komite sekolah/ madrasah dalam mengelola kegiatan pendidikan.”
17
Secara lesikal, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) berasal dari tiga kata, yaitu manajemen, berbasis, dan sekolah. Manajemen adalah proses menggunakan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran. Berbasis memiliki kata dasar basis yang berarti dasar atau asas. Sekolah adalah lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberikan pelajaran. Berdasarkan makna lesikal tersebut maka MBS dapat diartikan sebagai penggunaan sumber daya yang berasaskan pada sekolah itu sendiri dalam proses pengajaran atau pembelajaran .4 Menurut Sudarwan Danim (2006: 34) MBS dapat didefinisikan suatu proses kerja komunitas sekolah dengan cara menerapkan kaidah-kaidah otonomi, akuntabilitas, partisipasi, dan sustainabilitas (ketahanan) untuk mencapai tujuan pendidikan dan pembelajaran secara bermutu. Sementara menurut Syamsudin dalam (Engkoswara dan Aan Komariah, 2010: 293) menjelaskan bahwa MBS merupakan salah satu alternatif pengelolaan sekolah dalam kerangka desentralisasi dalam bidang pendidikan yang memungkinkan adanya otonomi yang luas di tingkat sekolah, partisipasi masyarakat yang tinggi agar sekolah lebih leluasa dalam mengelola sumber daya dan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas, kebutuhan, dan potensi daerah setempat. Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Republik Indonesia menyebut MBS dengan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). Secara Umum MPMBS diartikan sebagai model manajemen yang memberi otonomi lebih besar pada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan peritisipatif yang melibatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional.5 Berdasarkan pendapat para ahli tersebut dapat dikemukakan kembali bahwa MBS merupakan suatu model desentralisasi dalam pengelolaan pendidikan oleh kepala sekolah, guru dan dibantu komite sekolah pada satuan pendidikan dasar dan menengah yang menerapkan kaidah otonomi, akuntabiilitas, serta partisipasi untuk mencapai tujuan pendidikan dan pembelajaran yang bermutu.
4 5
Nurkolis, op. cit., h.1. Nurkolis, loc. cit., h.9.
18
2.3.2 Karakter Manajemen Berbasis Sekolah Sebagai salah satu model pengelolaan pendidikan, MBS memiliki karakter yang sudah seharusnya dipahami oleh sekolah yang akan menerapkannya. Menurut Bailey (1991) dalam (Sudarwan Danim, 2006: 29), terdapat 9 karakterisitik ideal manajemen berbasis sekolah dan karakteristik ideal sekolah sekolah untuk abad ke-21 (School for the twenty-firt characteristics), seperiti berikut ini. 1. Adanya keragaman dalam Pola Penggajian Guru Istilah populernya adalah pendekatan prestasi dalam hal penggajian dan pemberian aneka bentuk kesejahteraan material lainnya. Caranya dapat dilakukan dengan penetapan kebijakan melalui pengiriman langsung gaji guru ke rekening sekolah, kemudian kepala sekolah mengalokasikan gaji guru per bulan tersebut sesuai dengan prestasinya. 2. Otonomi Manajemen Sekolah Sekolah menjadi sentral utama manajemen pada tingkat strategi dan oprasional dalam kerangka penyelenggaraan program pendidikan dan pembelajaran. Sementara, kebijakan internal lain menjadi penyertanya. 3. Pemberdayaan Guru secara Optimal Dikarenakan sekolah harus berkompetisi membangun mutu dan membentuk citra di masyarakat, guru-guru harus diberdayakan dan memberdayakan diri secara optimal bagi terselenggaranya proses pembelajaran yang bermakna. 4. Pengelolaan Sekolah secara Partisipatif Kepala sekolah harus mampu bekerja dengan dan melalui komunitas sekolah agara masing-masing dapat menjalankan tugas pokok dan fungsi secara baik dan terjadi transparansi pengelolaan sekolah. 5. Sistem yang Didesentralisasikan Dibidang penganggaran misalnya, pelaksanaan MBS mendorong sekolah-sekolah siap berkompetisi untuk mendapatkan dana dari masyarakat atau dari pemerintah secara kompetitif dan mengelola dana itu dengan baik.
19
6. Sekolah dengan pilihan atau Otonomi Sekolah dalam Menentukan Aneka Pilihan Program akademik dan non akademik dapat dikreasi oleh sekolah sesuai dengan kapasitasnya dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal, nasional, atau global. 7. Hubungan Kemitraan antara Dunia Bisnis dan Dunia Pendidikan Hubungan kemitraan itu dapat dilakukan secara langsung atau melalui Komite Sekolah. Hubungan kemitraan ini bukan hanya untuk keperluan pendanaan, malainkan juga untuk kegiatan praktik kerja dan program pembinaan dan pengembangan lainnya. 8. Akses terbuka bagi Sekolah untuk Tumbuh Relatif Mandiri Perlunya kewenangan yang diberikan kepada sekolah, memberi ruang gerak baginya
untuk membuat keputusan inovatif dan mengkreasi
program demi peningkatan mutu sekolah. 9. “Pemasaran” Sekolah secara Kompetitif Tugas pokok dan fungsi sekolah adalah menawarkan produk unggulan atau jasa. Jika sekolah sudah mampu membangun citra mutu dan keunggulan, lembanga tersebut akan mampu beradu tawar dengan masyarakat, misalnya berkaitan dengan jumlah dana yang akan ditanggung oleh penerima jasa layanan. “Karakteristik MBS dapat diketahui antara lain dari bagaimana sekolah mampu mengoptimalkan kinerjanya, proses pembelajaran pengelolaan sumber belajar, profesionalisme tenaga kependidikan, serta sistem administrasi secara keseluruhan.”6 Sejalan dengan itu, Saud dalam (E. Mulyasa, 2005: 36-38) berdasarkan pelaksanaan di negara maju mengemukaan bahwa karakteristik dasar MBS adalah pemberian otonomi yang luas kepada sekolah, partisipasi masyarakat dan orang tua, kepemimpinan yang demokratis dan profesional, serta adanya team work yang kompak dan transparan.
6
E. Mulyasa, 2005, Menjadi Kepala Sekolah Profesional, Rosda, Jakarta h.37-38
20
1. Pemberian Otonomi kepada Sekolah MBS memberikan otonomi yang luas kepada sekolah, disertai seperangkat tanggung jawab. Dengan adanya otonomi yang memberikan tanggung jawab pengelolaan sumber daya dan pengembangan strategi sesuai dengan kondisi setempat, sekolah dapat lebih memberdayakan tenaga kependidikan guru agar lebih berkonsentrasi pada tugas utama mengajar. Sekolah sebagai lembaga pendidikan diberikan kekuasaan dan kewenangan
yang
luas
untuk
mengembangkan
program-program
kurikulum dan pembelajaran sesuai dengan kondisi dan kebutuhan perseta didik serta tuntutan masyarakat. Sekolah juga diberikan kewenangan dan kekuasaan untuk menggali dan mengelola sumber daya yang tersedia di masyarakat dan di lingkungan sekitar, menggali dan mengelola sumber dana sesuai dengan prioritas kebutuhan. 2. Paritisipasi Masyarakat dan Orang Tua Dalam MBS, pelaksanaan program-program sekolah didukung oleh partisipasi masyarakat dan orang tua peserta didik yang tinggi. Orang tua peserta didik dan masyarakat tidak hanya mendukung sekolah melalui bantuan keuangan, tetapi melalui komite sekolah dan dewan pendidikan merumuskan serta mengembangkan
program-program
yang dapat
meningkatkan kualitas sekolah. Masyarakat dan orang tua menjalin kerjasama untuk membantu sekolah sebagai nara sumber berbagai kegiatan sekolah untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. 3. Kepemimpinan yang Demokratis dan Profesional Dalam MBS, pelaksanaan program-program sekolah didukung oleh adanya kepemimpinan sekolah yang demokratis dan profesional. Kepala sekolah dan guru-guru sebagai tenaga pelaksana inti program sekolah merupakan orang-orang yang memiliki kemampuan dan integritas profesional. Kepala sekolah adalah manajer pendidikan profesional yang direkrut komite sekolah untuk mengelola segala kegiatan sekolah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan. Guru-guru yang direkrut oleh sekolah adalah pendidik yang profesional dalam bidangnya masing-
21
masing, sehingga mereka bekerja berdasarkan pola kinerja profesional yang disepakati beersama untuk memberikan kemudahan dan mendukung keberhasilan pembelajran peserta didik. Dalam pengambilan keputusan, kepala
sekolah
mengimplementasikan
proses
“Bottom-up”
secara
demokratis, sehingga semua pihak memiliki tanggung jawab terhadap keputusan yang diambil beserta pelaksanaannya. 4. Team Work yang Kompak dan Transparan Dalam MBS keberhasilan program-program sekolah didukung oleh kinerja team work yang kompak dan transparan dari berbagai pihak yang terlibat dalam pendidikan di sekolah. Dalam dewan pendidikan dan komite sekolah misalnya, pihak-pihak yang terlibat bekerja sama secara harmonis sesuai dengan posisinya masing-masing untuk mewujudkan “sekolah yang dapat dibanggakan” oleh semua pihak. Mereka tidak saling menunjukkan kuasa atau paling berjasa, tetapi masing-masing memberi kontribusi terhadap upaya peningkatan mutu dan kinerja sekolah secara kaffah. Dalam pelaksanaan program misalnya, pihak-pihak terkait bekerja sama secara profesional untuk mencapai tujuan-tujuan atau target yang disepakati bersama. Dengan demikian keberhasilan MBS merupakan hasil sinergi dari kolaborasi tim yang kompak dan transparan. Berdasarkan pemaparan para ahli, maka dapat dikemukakan bahwa karakteristik MBS meruapakan ciri-ciri khas yang dimiliki MBS sebagai betuk pengelolaan pendidikan dasar sampai menengah yang perlu dipahami oleh para pelaku MBS untuk mengoptimalkan kinerjanya dalam menerapkan MBS.
2.3.3 Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah Tujuan utama Manajemen Berbasis Sekolah adalah meningkatkan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan.
Peningkatan efisiensi diperoleh
melalui keleluasaan mengelola sumber daya yang ada, partisipasi masyarakat, dan penyederhanaan birokrasi. Peningkatan mutu diperoleh melalui partisipasi orang tua, kelenturan pengelolaan sekolah, peningkatan profesionalisme guru, adanya
22
hadiah dan hukuman sebagai kontrol, serta hal lain yang dapat menumbuh kembangkan suasana yang kondusif.7 Menurut Depdiknas dalam (Anon, 2001: 4) tujuan Manajemen Berbasis Sekolah dengan Model MPMBS adalah pertama, meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia. Kedua, meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama. Ketiga, meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada sekolahnya. Keempat, meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai. Sementara Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat (2001) mengidentifikasi tujuan melaksanakan MBS antara lain: 1. Meningkatakan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengeloladan memberdayakan sumberdaya yang tersedia. 2. Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan secara kooperatif. 3. Meningkatkan tanggungjawab sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu pendidikan di sekolah. 4. Meningkatkan kompetisi yang sehat antara sekolah untuk pencapaian mutu pendidikan yang diharapkan. (Engkoswara dan Aan Komariah, 2010: 295) Berdasarkan pemaparan para ahli, maka dapat dikemukakan bahwa tujuan MBS adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan mengoptimalkan peran serta warga sekolah dan masyarakat dalam bidang pendidikan.
7
E. Mulyasa, op. cit.,h. 13
23
2.3.4
Prinsip-Prinsip Manajemen Berbasis Sekolah Nurkolis (2003: 52-55) menyatakan teori yang digunakan MBS untuk
mengelola sekolah didasarkan pada empat prinsip yaitu: 1. Prinsip Ekuifinalitas (Principle of Equifinality) Prinsip ini didasarkan pada teori manajemen modern yang berasumsi bahwa terdapat beberapa cara yang berbeda untuk mencapai satu tujuan. MBS menekankan fleksibilitas sehingga sekolah harus dikelola oleh warga sekolah menurut kondisi mereka masing-masing. Karena kompleksnya pekerjaan sekolah saat ini dan adanya perbedaan yang besar antara sekolah yang satu dengan sekolah yang lain, misalnya perbedaan tingkat akademik siswa dan situas komunitasnya, sekolah tidak dapat dijalankan dengan struktur yang standar di seluruh kota, provinsi, bahkan negara. Sekolah harus mampu memecahkan masalah berbagai permasalahan yang dihadapinya dengan cara yang paling tepat dan sesuai dengan situasi dan kondisinya. Walaupun sekolah yang berbeda memiliki masalah yang sama, cara penanganannya akan berlainan antara sekolahs satu dengan sekolah yang lain. 2. Prinsip Desentralisasi (Principle of Decetralization) Prinsip desentralisasi ini konsisten dengan prinsip ekuifinalitas. Prinsip desentralisasi dilandasi oleh teori dasar bahwa pengelolaan sekolah dan aktivitas
pengajaran
tidak
dapat
dielakkan
dari
kesulitan
dan
permasalahan. Pendidikan memiliki masalah yang kompleks sehingga memerlukan desentralisasi dalam pelakasanaannya. Prinsip ekuifinalitas yang dikemukakan sebelumnya mendorong adanya desentralisasi kekuasaan dengan mempersilahkan sekolah memiliki ruang yang lebih luas untuk bergerak, berkembang dan bekerja menurut strategi-strategi unik mereka untuk menjalani dan mengelola sekolahnya secara efektif. Oleh karena itu, sekolah harus diberikan kekuasaan dan tanggung jawab untuk memecahkan masalahnya secara efektif dan secepat mungkin ketika masalah itu muncul.
24
3. Prinsip Sistem Pengelolaan Mandiri (Principle of Self-Managing System) MBS tidak mengingkari bahwa sekolah perlu mencapai tujuan-tujuan berdasarkan suatu kebijakan yang telah ditetapkan, tetapi terdapat berbagai cara yang berbeda-beda untuk mencapainya. MBS juga menyadari pentingnya untuk mempersilahkan sekolah menjadi sistem pengelolaan secara mandiri dibawah kebijakannya sendiri. Sekolah memiliki otonomi tertentu untuk mengembangkan tujuan pengajaran, strategi manajemen, distribusi sumber daya manusia dan sumber daya lainnya, memecahkan masalah, dan mencapai tujuan berdasarkan kondisi mereka masingmasing. Karena sekolah dikelola secara mandiri maka mereka lebih memiliki inisiatif dan tanggung jawab. Prinsip ini terikat dengan prinsip sebelumnya
yaitu prinsip
ekuifinalitas dan prinsip desentralisasi. Ketika sekolah menghadapi permasalahan maka harus diselesaikan dengan caranya sendiri. Sekolah dapat menyelesaikan masalahnya bila telah terjadi pelimpahan wewenang dari birokrasi di atasnya ke tingkat sekolah. Dengan adanya kewenangan di tingkat sekolah itulah maka sekolah dapat melakukan sistem pengelolaan mandiri. 4. Prinsip Inisiatif Manusia (Principle of Human Initiative) Sejalan dengan perkembangan pergerakan hubungan antar manusia dan pergerakan ilmu perilaku pada manajemen modern, orang mulai menaruh perhatian serius pada pengaruh penting faktor manusia pada efektivitas
organisasi
manusia.
perspektif
sumber
daya
manusia
menekankan bahwa orang adalah sumber daya berharga di dalam organisasi
sehingga
poin
utama
dalam
manajemen
adalah
mengembangkan sumber daya manusia di dalam sekolah untuk berinisiatif. Berdasarkan perspektif ini maka MBS bertujuan untuk membangun lingkungan yang sesuai untuk warga sekolah agar dapat bekerja dengan baik dan mengembangkan potensinya. Oleh karena itu,
25
peningkatan kualitas pendidikan dapat diukur dari perkembangan aspek sumber daya manusianya. Prinsip ini mengakui bahwa manusia bukanya sumber daya yang dimanis. Oleh karena itu, potensi sumber daya manusia harus selalu digali, ditemukan, dan kemudian dikembangkan.
Sekolah dan lembaga
pendidikan yang lebih luas tidak dapat lagi menggunakan istilah staffing yang nantinya hanya mengelola manusia sebagai barang yang statis. Lembaga pendidikan harus menggunakan pendekatan Human resource development yang memiliki konotasi yang dinamis dan menganggap serta memperlakukan manusia di sekolah sebagai aset yang sangat penting dan memiliki potensi untuk selalu dikembangkan. Engkoswara dan Aan Komariah (2010: 295) menjelaskan bahwa pelaksanaan MBS harus disarkan pada prinsip-prinsip MBS antara lain: 1. Partisipasi, partisipasi dari para stakeholder penting untuk meningkatkan rasa memiliki yang nantinya akan meningkatkan tanggung jawab sehingga dedikasi/ kontribusi mereka akan meningkat juga. Partisipasi yang dimaksud adalah proses dimana stakeholder terlibat aktif baik dalam pengambilan
keputusan,
pembuatan
kebijakan,
perencanaan,
pelaksanaan, dan pengawasan/ pengevaluasian pendidikan di sekolah. 2. Transparansi, manajemen sekolah yang dilaksanakan secara transparan, mudah diakses anggota, memberikan laporan secara kontinu kepada stakeholder untuk dapat mengetahui proses dari hasil pengambilan keputusan dan kebijakan sekolah, hal tersebut akan menumbuhkan kepercayaan dan keyakinan stakeholder terhadap kewibawaan dan citra sekolah yang good goverment dan clean goverment. 3. Akuntabilitas, Sekolah harus mempertanggungjawabkan aktifitas penyelenggaraan pendidikan di sekolah yang dimandatkan stakeholder dengan melakukan manajemen sebaik mungkin.
26
4. Profesionalisme, mencapai kemandirian dengan tingkat prakarsa dan kreatifitas yang tinggi memerlukan profesionalisme dari semua komponen personil, baik jajaran manajemen, pendidik dan tenaga kependidikan lainnya, maupun komite sekolah. 5. Memiliki wawasan ke depan, wawasan kedepan ini berupa visi, misi, dan strategi ke arah pencapaian mutu pendidikan. 6. Sharing Audithory dalam implementasi manajemen sehingga tidak ada one man show tetapi berpijak pada kekuatan kerja tim yang solid. Berdasarkan pemaparan para ahli, maka dapat dikemukakan bahwa prinsip-prinsip MBS merupakan dasar dalam melaksanakan MBS oleh para pelaku MBS seperti partisipasi, kemandirian, dan akuntabilitas.
2.3.5
Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang oleh Departemen Pendidikan
Nasional (Depdiknas) Republik diseebut dengan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) mulai diterapkan dalam pengelolaan pendidikan di Indonesia sejak tahun 2001 setelah berlakunya UU nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. “Implementasi MBS akan berlangsung secara efektif dan efisien apabila didukung oleh sumber daya manusia yang profesional untuk mengoprasikan sekolah, dana yang cukup agar sekolah mampu mengaji staf sesuai dengan fungsinya, sarana prasarana yang memadahi untuk mendukung proses belajar-mengajar, serta dukungan masyarakat (orang tua murid) yang tinggi.”8 Menurut Nurkolis (2003: 132-134) pada dasarnya, tidak ada satu strategi khusus yang jitu dan bisa menjamin keberhasilan implementasi MBS di semua tempat dan kondisi. Oleh karena itu strategi Implementasi MBS di suatu negara dengan negara lain bisa berlainan, antara satu daerah dengan daerah lain bisa berbeda, bahkan antar sekolah dalam satu daerahpun bisa berlainan strateginya.
8
E. Mulyasa, op. cit., h. 58
27
Namun, secara umum dapat disimpulkan bahwa implementasi MBS akan behasil melalui strategi- strategi berikut ini. Pertama, sekolah harus memiliki otonomi terhadap empat hal, yaitu dimilikinya otonomi dalam kekuasaan dan kewenangan, pengembangan pengetahuan dan keterampilan secara berkesinambungan, akses informasi ke segala bagian dan pemberian penghargaan kepada setiap pihak yang berhasil. Kedua, adanya peran serta masyarakat secara aktif, dalam hal pembiayaan, proses pengambian keputusan terhadap kurikulum. Sekolah harus lebih banyak mengajak lingkungan dalam mengelola sekolah karena bagaimanapun sekolah adalah bagian dari masyarakat luas. Ketiga, kepala sekolah harus menjadi sumber inspirasi atas pembangunan dan pengembangan sekolah secara umum. Kepala sekolah dalam MBS berperan sebagai designer, motivator, fasilitator. Bagaimanapun kepala sekolah adalah pimpinan yang memiliki kekuatan untuk itu. Oleh karena itu, pengangkatan kepala sekolah harus didasarkan atas kemampuan manajerial dan kepemimpinan dan bukan lagi didasarkan atas jenjang kepangkatan. Keempat, adanya proses pengambilan keputusan yang demokratis dalam kehidupan dewan sekolah yang aktif. Dalam pengambilan keputusan kepala sekolah harus mengembangkan iklim demokratis dan memperhatikan aspirasi dari bawah. Konsumen yang harus dilayani kepala sekolah adalah murid dan orang tuanya, masyarakat dan para guru. Kepala sekolah jangan selalu menengok ke atas sehingga hanya menyenangkan pimpinannya namun mengorbankan masyarakat pendidikan yang utama. Kelima, semua pihak harus memahami peran dan tanggung jawabnya secara bersungguhsungguh. Untuk bisa memahami peran dan tanggung jawabnya masing-masing harus ada sosialisasi terhadap konsep MBS itu sendiri. Siapa kebagian peran apa dan melakukan apa, sampai batas-batas nyata perlu dijelaskan secara nyata. Keenam, adanya guidlines dari departemen pendidikan terkait sehingga mampu mendorong proses pendidikan di sekolah secara efisien dan efektif. Guidelines itu jangan sampai berupa peraturan-peraturan yang mengekang dan
28
membelenggu sekolah. Artinya, tidak perlu lagi petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis dalam pelaksanaan MBS, yang diperlukan adalah rambu-rambu yang membimbing. Ketujuh, sekolah harus memiliki transparansi dan akuntabilitas yang minimal diwujudkan dalam laporan pertanggung jawabannya setiap tahunnya. Akuntabilitas sebagai bentuk pertanggung jawaban sekolah terhadap semua stakeholder. Untuk itu, sekolah harus dijalankan secara transparan, demokratis, dan terbuka terhadap segala bidang yang dijalankan dan kepada setiap pihak terkait. Kedelapan, Penerapan MBS harus diarahkan untuk pencapaian kinerja sekolah dan lebih khusus lagi adalah meningkatkan pencapaian belajar siswa. Perlu dikemukakan lagi bahwa MBS tidak bisa langsung meningkatkan kinerja belajar siswa namun berpotensi untuk itu. Oleh karena itu, usaha MBS harus lebih terfokus pada pencapaian prestasi belajar siswa. Kesembilan, implementasi diawali dengan sosialsasi dari konsep MBS, identifikasi peran masing-masing pembangunan kelembagaan capacity building mengadakan pelatihan pelatihan terhadap peran barunya, implementasi pada proses pembelajaran, evaluasi atas pelaksanaan dilapangan dan dilakukan perbaikan-perbaikan. Sementara menurut Umaedi (2007: 3-25) setidaknya ada 6 (enam) langkah pokok yang harus dilakukan dalam implementasi manajemen berbasis sekolah yaitu: 1. Evaluasi Diri Evaluasi diri merupakan langkah awal bagi sekolah yang ingin atau akan melaksanaan MBS. Kegiatan ini biasanya dimulai dengan curahan pendapat (brainstorming) yang diikuti oleh kepala sekolah, guru dan seluruh staf serta diikutkan juga komite sekolah. Tujuan dilakukan evaluasi diri ini adalah a. Mengetahui segala aspek sekolah berkaitan dengan kemajuan yang telah dicapai maupun masalah-masalah yang dihadapi.
29
b. Refleksi diri untuk membangkitkann kedadaran/ keprihatinan akan penting dan perlunya pendidikan yang bermutu sehingga timbul komitmen bersama untuk meningkatkan mutu. c. Merumuskan titik tolak (point of departure) bagi sekolah dalam mengembangkan diri terutama dalam hal mutu. Titik awal ini penting karena sekolah yang sudah berjalan untuk meningktkan mutu mereka tidak berangkat dari nol, melainkan dari kondisi yang dimiliki. 2. Perumusan Visi, Misi, dan Tujuan Rumusan visi sekolah bukan hanya mimpi yang diidamkan, tetapi nantinya akan mengkomunikasi tujuan akhir, nilai yang dianut, sikap pendirian yang dianut oleh suatu sekolah. Rumusan visi ini hendaknya singkat, langsung dan menggambarkan tujuan akhir sekolah. Visi yang sudah dibuat akan dijabarkan menjadi komponen-komponen pokok yang harus direalisasikan untuk mencapi visi. Komponen-komponen pokok yang menjadi tugas pokok untuk merealisasikan visi tersebut dinamakan misi. Selanjutnya sekolah perlu merumuskan tujuan sekolah yang merupakan suatu rangkaian penting dalam langkah strategi manajemen mutu pendidikan sesudah visi dan misi. Tujuan tersebut dibagi menjadi tiga yaitu tujuan jangka pendek yang dapat dicapai dalam waktu satu tahun, tujuan jangka menengah yang dapat dicapai dalam waktu 3 – 5 tahun kedepan dan tujuan jangka panjang yang dapat dicapai dalam jangka waktu 25 – 30 tahun. Bagi sekolah yang baru didirikan, perumusan visi dan misi serta tujuan sekolah merupakan langkah awal yang harus dilakukan untuk menjelaskan ke mana arah pendidikan yang ingin dituju oleh para pendiri/ penyelenggara pendidikan. Apabila sekolah tersebut merupakan sekolah swasta hal ini cukup jelas, bahkan mungkin sudah tercantum dalam akte pendirian oleh yayasan. Namun apabila sekolah negeri kepala sekolah dan guru yang mewakili pemerintah pusat atau pemerintah kabupaten/ kota sebagai penyelenggara pendidikan bersama dengan komite sekolah
30
maupun tokoh masyarakat dan orang tua siswa merumuskan ke mana sekolah ini akan dibawa sejauh tidak bertentangan dengan UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas. Bagi sekolah yang sudah berjalan, perumusan visi, misi dan tujuan merupakan langkah lanjutan setelah evaluasi diri terutama bagi sekolah yang belum memiliki rumusan yang jelas. Sekolah yang sudah memiliki visi, misi dan tujuan dan telah melakukan evaluasi diri selanjutnya memutuskan untuk perlu atau tidaknya melakukan revisi terhadap visi, misi dan tujuan. 3. Perencanaan Perencanaan pada tingkat sekolah adalah kegiatan menetapkan terlebih dulu tentang kegiatan yang harus dilakukan, prosedurnya serta metode pelaksanaannya untuk mencapai suatu tujuan organisasi. Sekolah seharusnya
membuat
rencana
kerja
jangka
menengah
untuk
menggambarkan tujuan yang akan dicapai dalam waktu 3 – 5 tahun. Perencanaan sekolahn jangka mengenah ini selanjutya akan dibuat lebih terperinci, lengkap dengan perhitungan anggarannya untuk satu tahun disebut Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah (RKAS) yang menjadi dasar pengelolaan sekolah. 4. Pelaksanaan Tahap pelaksanaan pada dasarnya menjawab bagaimana semua fungsi manajemen sebagai suatu proses untuk mencapai tujuan sekolah yang telah ditetapkan melalui kerjasama dengan orang lain dan dengan sumber daya yang ada agar dapat berjalan secara efektif dan efisien. Perencanaan yang efektif dan efisien dapat terlaksana dengan bantuan pedoman pengelolaan
sekolah
yang
dibuat
pihak
sekolah
dengan
mempertimbangkan visi, misi dan tujuan sekolah. Pedoman tersebut dalam lampiran Permendiknas nomor 19 tahun 2007 mengenai Standar Pengelolaan Pendidikan oleh Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah adalah sebagai berikut: a. Kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP),
31
b. Kalender akademik, c. Struktur organisasi sekolah, d. Pembagian tugas di antara guru, e. Pembagian tugas di antara tenaga kependidikan, f. Peratutan akademik, g. Tata tertib sekolah, h. Kode etik sekolah, i. Biaya operasional sekolah. Pedoman pengelolaan sekolah ini berfungsi sebagai petunjuk pelaksanaan operasional sekolah. 5. Evaluasi Evaluasi pada tahap ini adalah evaluasi secara menyeluruh menyengkut pengelolaan semua bidang dalam satuan pendidikan, yaitu bidang teknis edukatif (pelaksanaan kurikulum/ proses pembelajaran dengan segala aspeknya), bidang ketenagaan, bidang keuangan, bidang sarana prasarana, dan administrasi ketatalaksanaan sekolah. Temuan-temuan dan rumusan hasil dari evaluasi sekolah secara menyeluruh, digunakan untuk hal-hal berikut. a. Pemberian penghargaan kepada berbagai pihak yang dianggap berhasil, baik sebagai individu atau kelompok sehingga memberi motivasi kepada semua pihak untuk terlibat di dalam proses pendidikan. b. Sebagai masukan bagi tindakan koreksi dan perbaikan atau penyempurnaan bagi program kerja tahun berikutnya, serta penyempurnaan kebijakan pengelolaan satuan pendidikan yang bersangkutan. c. Menilai sendiri status sekolah yang dikelola apakah mengalami kemajuan atau kemunduran. d. Sebagai bahan pertanggungjawaban kepada semua stakeholder, terutama orang tua siswa dan komite sekolah.
32
Evaluasi sebagai salah satu fungsi manajemen merupakan tanggung jawab kepala sekolah. Dalam pelaksanaannya, kepala sekolah dapat menujuk guru untuk membuat tim kecil untuk mengumpulkan berbagai bahan yang diperlukan dan menyusunnya untuk dibahas dalam forum yang menyertakan komite sekolah. 6. Pelaporan Kegiatan pelaporan merupakan kelanjutan dari kegiatan evaluasi dalam bentuk mengkomunikasikan hasil evaluasi secara resmi kepada berbagi pihak sebagai pertanggungjawaban mengenai kegiatan yang telah dikerjakan
oleh
sekolah
beserta
hasil-hasilnya.
Pelaporan
yang
disampaikan tidak semua hasil evaluasi, karena ada hasil evaluasi yang bersifat internal dan ada pula yang bersifat eksternal, bahkan masingmasing-masing stakeholder mungkin memerlukan laporan yang berbeda fokusnya. Berbagai strategi maupun langkah-langkah telah dipaparkan oleh para ahli tersebut merupakan bentuk usaha dalam penerapan MBS yang ideal untuk mecapai tujuan dari MBS.
2.4
Komite Sekolah
2.4.1 Konsep Komite Sekolah Undang-Undang (UU) No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa: “Masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah.”9 “Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi, profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan.”10 9
Indonesia, Undang-Undang RI nomor 20 tahun 2003 pasal 56 ayat 1(satu), Sistem Pendidikan Nasional. 10 Indonesia, Undang-Undang RI nomor 20 tahun 2003 pasal 54 ayat 1(satu), Sistem Pendidikan Nasional.
33
Berdasarkan UU tersebut, pemerintah Republik Indonesia memberikan ruang yang sangat luas bagi masyarakat untuk terjun dalam pengelolaan pendidikan dasar sampai menengah menggunakan model MBS sebagai mitra kerja bagi sekolah dalam mewujudkan tujuan sekolah maupun tujuan pendidikan nasional. Peran masyarakat ini kemudian diwadahi dalam bentuk lembaga mendiri yang tidak berhubungan secara hierarkis dengan pemerintah yang kemudian biasa disebut dengan Dewan Pendidikan di tingkat kabupaten/ kota dan Komite Sekolah pada tingkat lebih kecil yaitu satuan pendidikan sesuai dengan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional (Kepmendiknas) Republik Indonesia nomor 044/ U/ 2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Dalam UUSPN nomor 20 tahun 2003 pasal 56 ayat (3) dijelaskan bahwa “Komite sekolah adalah lembaga mandiri, dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan. Hal tersebut dijelaskan kembali pada Lampiran II Kepmendiknas nomor nomor 044/ U/ 2002, komite sekolah didefinisikan sebagai “...badan mandiri yang mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, efisiensi pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan, baik pada pendidikan pra sekolah, jalur pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan luar sekolah.” Sedangkan menurut Engkoswara dan Aan Komariah (2010: 297), komite sekolah adalah lembaga/ badan khusus yang dibentuk berdasarkan musyawarah yang demokratis oleh para stakeholder pendidikan di tingkat sekolah sebagai representasi dari berbagi unsur yang bertanggungjawab terhadap peningkatan mutu di sekolah. Komite sekolah ini terdiri dari berbagai unsur yaitu, wakil orang tua siswa, tokoh masyarakat, tokoh pendidikan, dunia usaha, organisasi profesi, wakil alumni dan wakil peserta didik. Berdasarkan
pemaparan
mengenai
komite
sekolah,
maka
dapat
dikemukakan kembali bahwa komite sekolah adalah lembaga mandiri yang dibentuk berdasarkan musyawarah oleh para pemangku kepentingan pendidikan yang dibentuk untuk meningkatkan mutu pendidikan dari berbagai jalur, jenjang dan jenis pendidikan.
34
Menurut Lampiran II Kepmendiknas nomor nomor 044/ U/ 2002, komite sekolah sebagai sebuah organisasi memiliki ketentuan sebagai berikut. 1.
Keanggotaan Komite Sekolah terdiri atas: a. Unsur masyarakat dapat berasal dari, orang tua/wali peserta didik, tokoh masyarakat, tokoh pendidikan, dunia usaha/industri, organisasi profesi tenaga kependidikan, wakil alumni, wakil peserta didik. b. Unsur dewan guru, yayasan/lembaga penyelenggara pendidikan, Badan Pertimbangan Desa dapat dilibatkann sebagai anggota komite sekolah (maksimal 3 orang). Anggota
komite
sekolah
sekurang-kurangnya
berjumlah
9
(sembilan) orang dan jumlahnya gasal. 2.
Kepengurusan Komite Sekolah a. Pengurus sekurang-kurangnya terdiri atas Ketua, Sekretaris, dan Bendahara. b. Pengurus dipilih dari dan oleh anggota. c. Ketua bukan berasal dari kepala sekolah.
3.
Anggaran Dasar (AD) dan Angaran Rumah Tangga (ART) a. Komite sekolah wajib memiliki AD dan ART. b. Anggaran Dasar sebagaimana yang dimaksud, sekurang-kurangnya memuat: Nama dan tempat kedudukan; Dasar, tujuan dan kegiatan; Keanggotaan dan kepengurusan; Hak dan Kewajiban Anggota dan pengurus; Mekanisme kerja dan rapat-rapat; Perubahan AD dan ART, serta pembubaran organisasi.
Komite sekolah sebagai sebuah organisasi maka yang pertama kali harus dilakukan adalah pembentukan kepengurusan komite sekolah. Pembentukan kepengurusan komite sekolah ini juga sudah diatur dalam Kepmendiknas nomor nomor 044/ U/ 2002 yang harus memegang prinsip pembentukan yang transparan, akuntabel, demokratis, dan prinsip bahawa komite sekolah merupakan mitra satuan pendidikan. Dalam Kepmendiknas tersebut juga dijabarkan mengenai mekanisme pembentukan komite sebagai berikut.
35
1. Pembentukan Panitia Persiapan a.
Masyarakat dan/atau sekolah membentuk panitia persiapan. Panitia persiapan berjumlah sekurang-kurangnya 5 (lima) orang yang terdiri atas kalangan praktisi pendidikan (seperti guru, kepala sekolah, penyelenggara pendidikan), pemerhati pendidikan (LSM peduli pendidikan, tokoh masyarakat, tokoh agama, dunia usaha dan industri), dan orangtua peserta didik.
b. Panitia persiapan bertugas mempersiapkan pembentukan Komite Sekolah dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1) Mengadakan forum sosialisasi kepada masyarakat (termasuk pengurus/ anggota BP3, Majelis Sekolah, dan Komite Sekolah yang sudah ada) tentang Komite Sekolah menurut Keputusan ini. 2) Menyusun kriteria dan mengindentifikasi calon anggota berdasarkan usulan dari masyarakat. 3) Menyeleksi calon anggota berdasarkan usulan dari masyarakat. 4) Mengumumkan nama-nama calon anggota kepada masyarakat. 5) Menyusun nama-nama anggota terpilih. 6) Memfasilitasi pemilihan pengurus dan anggota komite sekolah. 7) Menyampaikan nama pengurus dan anggota kepada kepala sekolah. 2. Penetapan Pembentukan Komite Sekolah Komite Sekolah ditetapkan untuk pertama kali dengan Surat Keputusan kepala sekolah, dan selanjutnya diatur dalam AD dan ART. Sementara E. Mulyasa (2012: 132) juga menjelaskan proses pembentukan komite sekolah sebagai berikut. 1. Tahap Persiapan Pada tahap persiapan, kepala sekolah dibantu oleh staf sekolah pengurus komite sekolah yang telah ada membentuk panitia persiapan pembentukan komite sekolah. Tugas pokok dari panitia persiapan pembentukan komite sekolah adalah:
36
a. Mengadakan survey mengenai potensi wilayah sekolah setempat. b. Melakukan analisis posisi sekolah. c. Mengedakan sosialisasi dan penyebarluasan informasi tentang perlunya komite sekolah kepada para stagehorlder pendidikan di lingkungan sekolah setempat. d. Menyusun paduan tata cara pemilihan anggota komite sekolah dan menyebarluaskan kepada semua pihak yang terkait. e. Mengirimkan surat permintaan kesediaan calon sebagai unsur anggota komite sekolah. f. Memuat daftar calon anggota komite sekolah yang bersedia untuk dipilih dan menyebarkannya kepada para pemilih (para stakeholder sekolah). 2. Proses Pemilihan Anggota dan Pengurus Komite Sekolah Pemilihan anggota dan pengurus komite sekolah dilakukan secara demokratis melalui musyawarah. Jika dipandang perlu pemilihan anggota dan pengurus dapat dilakukan melalui pemungutan suara. 3. Penetapan Anggota dan Pengurus Kominte Sekolah Calon anggota komite sekolah yang disepakati dalam musyawarah atau mendapat dukungan suara terbanyak melalui pemungutan suara secara langsung menjadi anggota komite sekolah sesuai dengan jumlah anggota yang disepakati dari masing-masing unsur. Pengesahan anggota komite sekolah dilakukan oleh musyawarah lengkap anggota.
2.4.2 Tujuan Komite Sekolah Sebagai sebuah lembaga maka komite sekolah tentunya memiliki tujuan. Tujuan pembentukan komite sekolah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan adalah meningkatkan mutu pendidikan melalui perannya meliputi perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan. Pada Lampiran II Kepmendiknas nomor nomor 044/ U/ 2002 dijelaskan bahwa komite sekolah dibentuk dengan tujuan :
37
a. Mewadahi dan menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan operasional dan program pendidikan di satuan pendidikan. b. Meningkatkan tanggung jawab dan peran masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan. c. Menciptakan suasana dan kondisi transparan, akuntabel, dan demokratis dalam penyelenggaraan pendidikan yang bermutu di satuan pendidikan Sementara menurut Aan Komarian dan Engkoswara (2010: 298) format kelembagaan komite sekolah diarahkan untuk dapat mencapai tujuan yaitu: 1. Mewadahi dan meningkatkan peranserta para stakeholders pendidikan di tingkat sekolah dalam merumuskan dan menetapkan berbagai kebijakan pengelolaan sekolah, pengembangan program sekolah, monitoring pelaksanaan kegiatan pendidikan sekolah, dan pertanggung jawaban mutu pedidikan sekolah secara demokratis dan transparan. 2. Mewadahi dan meningkatkan peranserta para stakeholders pendidikan di tingkat sekolah dalam memecahkan masalah-masalah pendidikan yang dihadapi sekolah, dan membantu pemerintah memonitoring pengelolaan pendidikan di sekolah. 3. Memfasilitasi upaya peningkatan kinerja dan profesionalisme kepala sekolah, guru, dan staf yang terlibat dalam proses pendidikan anak sekolah sesuai dengan visi, misi, dan tujuan yang hendak dicapai oleh sekolah. 4. Menyediakan berbagai fasilitas yang dibutuhkan sekolah dalam upaya meningkatkan proses belajar mengajar, pengadaan dan pemeliharaan fasilitas sekolah yang baik, dan peningkatan kualitas staf yang sesuai dengan kebutuhan sekolah. 5. Mengembangkan dan menetapkan program kurikulum efektif yang sesuai dengan kebutuhan anak dan masyarakat, kebutuhan dan tuntutan global, serta berbagai inovasi yang mendukung peningkatan kualitas pendidikan di sekolah.
38
6. Memfasilitasi dan mengontrol penerapan sistem manajemen sekolah yang transparan dan demokratis dalam pendayagunaan berbagai sumber daya yang tersedia sesuai dengan prioritas kebutuhan pelakasanaan program sekolah dalam mencapai tujuan sekolah yang ditetapkan. Berdasarkan pemaparan tujuan komite tersebut dapat dikemukakan bahwa tujuan dari komite sekolah adalah sebagai berikut. Pertama, mewadahi dan menyalurkan aspirasi masyarakat terkait dengan peningkatan mutu pendidikan. Kedua, meningkatkan partisipasi dan tanggungjawab masyarakat terkait dengan pelaksanaan dan pengawasan berbagai program pendidikan pada satuan pendidikan sehingga penyelenggaran pendidikan dapat lebih transparan, akuntabel, dan demokratis.
2.4.3 Peran dan Fungsi Komite Sekolah Dalam usaha mencapai tujuan, komite sekolah harus memahami peran dan fungsi mereka. Peran komite sekolah diatur dalam Kepmendiknas nomor 044/U/2002 Tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah yaitu sebagai berikut: 1. Pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan di satuan pendidikan. 2. Pendukung (supporting agency), baik yang berwujud finansial, pemikiran maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan. 3. Pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan. 4. Mediator antara pemerintah (eksekutif) dengan masyarakat di satuan pendidikan. Setelah memahami perannya, maka komite sekolah dapat menjalankan fungsinya sebagai mitra kerja bagi sekolah. Fungsi komite sekolah sekolah sesuai
39
dengan Kepmendiknas nomor 044/U/2002 Tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah yaitu sebagai berikut: 1. Mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu. 2. Melakukan kerjasama dengan masyarakat (perorangan/ organisasi/ dunia usaha/ dunia industri) dan pemerintah berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu. 3. Menampung dan menganalisis aspirasi, ide, tuntutan, dan berbagai kebutuhan pendidikan yang diajukan oleh masyarakat. 4. Memberikan masukan, pertimbangan, dan rekomendasi kepada satuan pendidikan mengenai: a. Kebijakan dan program pendidikan. b. Rencana Anggaran Pendidikan dan Belanja Sekolah (RAPBS). c. Kriteria kinerja satuan pendidikan. d. Kriteria tenaga kependidikan. e. Kriteria fasilitas pendidikan. f. Hal-hal lain yang terkait dengan pendidikan. 5. Mendorong orangtua dan masyarakat berpartisipasi dalam pendidikan guna mendukung peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan. 6. Menggalang
dana
masyarakat
dalam
rangka
pembiayaan
penyelenggaraan pendidikan disatuan pendidikan. 7. Melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan, program, penyelenggaraan, dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan.
40
Secara rinci Tim Pengembangan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah Ditjen Dikdasmen Depdiknas dalam (Engkoswara dan Aan Komariah, 2010: 293303) mengemukakan peran komite sekolah sebagai berikut. Tabel 2.1 Indikator Kinerja Komite Peran Komite Sekolah Badan Pertim-bangan (Advisory Agency)
Fungsi Manajemen Pendidikan Perencanaan sekolah
Pelaksanaan Program a. Kurikulum b. PBM c. Penilaian
Pengelolaan Sumber Pendidikan a. SDM b. S/P c. Anggaran
Badan Pendukung (Supportinng Agency)
daya
Pengelolaan Sumber Daya
Pengelolaan Prasarana
Sarana
41
dan
Indikator Kinerja Identifikasi sumber daya pendidikan dalam masyarakat. Memberikan masukan untuk penyusunan RAPBS. Menyelenggarakan rapat RAPBS (sekolah, orang tua siswa, masyarakat). Memberikan pertimbangan perubahan RAPBS Ikut mengesahkan RAPBS bersama kepala sekolah. Memberikan masukan terhadap proses pengelolaan pendidikan di sekolah. Memberikan masukan terhadap proses pembelajaran kepada para guru. Identifikasi potensi sumber daya pendidikan dalam masyarakat. Memberikan pertimbangan tentang tenaga kependidikan yang dapat diperbantukan di sekolah. Memberikan pertimbangan tentang sarana dan prasarana yang dapat diperbantukan di sekolah. Memberikan pertimbangan tentang anggaran yang dapat dimanfaatkan di sekolah. Memantau kondisi ketenagaan pendidikan di sekolah. Mobilisasi guru sukarelawan untuk menanggulangi kekurangan guru di sekolah. Mobilisasi tenaga kependidikan non guru untuk mengisi kekurangan di sekolah. Memantau kondisi sarana dan prasarana yang ada di sekolah. Mobilisasi bantuan sarana dan parasarana sekolah. Mengkoordinasi dukungan sarana dan parasarana sekolah. Mengevaluasi pelaksanaan dukungan sarana dan prasarana
Pengelolaan Anggaran
Badan Pengontrol (Controlling Agency)
Mengontrol perencanaan pendidikan di sekolah
Memantau pelaksanaan program sekolah
Memantau out put pendidikan
Badan Penghubung (Mediator Agency)
Perencanaan
Pelaksanaan program
42
sekolah. Memantau kondisi anggaran pendidikan di sekolah. Memobilisasi dukungan terhadap anggaran pendidikan di sekolah. Mengkoordinasikan dukungan terhadap anggaran pendidikan di sekolah. Mengevaluasi pelaksanaan dukungan anggaran di sekolah. Mengontrol proses pengambilan keputusan di sekolah. Mengontrol kualitas kebijakan di sekolah. Mengontrol proses perencanaan pendidikan di sekolah Pengawasan terhadap kualitas perencanaan sekolah Pengawasan terhadap kualitas program sekolah. Memantau organisasi sekolah Memantau penjadwalan program sekolah Memantaua alokasi anggaran untuk pelaksanaan program sekolah. Memantau sumber daya pelaksana program sekolah. Memantau partisipasi stake-holder pendidikan dalam pelaksanaan program sekolah. Memantau hasil ujian akhir. Memanatau angka partisipasi sekolah Memantau angka mengulang sekolah Memantau angka bertahan di sekolah. Menjadi penghubung antara Komite Sekolah dengan masyarakat, Komite Sekolah dengan sekolah, dan Komite Sekolah dengan Dewan Pendidikan. Mengidentifikasi aspirasi masyarakat untuk perencanaan pendidikan. Membuat usulan kebijakan dan program pendidikan kepada sekolah Mensosialisasikan kebijakan dan program sekolah kepada masyarakat
Pengelolaan pendidikan
2.5
Sumber
Daya
Memfasilitasi berbagai masukan kebijakan program terhadap sekolah Menampung pengaduan dan keluhan terhadap kebijakan dan program sekolah Mengkomunikasikan pengaduan dan keluhan masyarakat terhadap sekolah Mengindentifikasi kondisi sumber daya di sekolah Mengidentifikasi sumber-sumber daya masyarakat Memobilisasi bantuan masyarakat untuk pendidikan di sekolah Mengkoordinasikan bantuan masyarakat
Kajian Hasil Penelitian yang Relevan Penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan peran komite sekolah
yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya antara lain: 1. Siti Lestari (2013) dalam penelitiannya berjudul “Peran Komite Sekolah dalam Manajemen Berbasis Sekolah di Sekolah dasar Gugus P Diponegoro Kecamatan Dempet” yang menyimpulkan bahwa peran komite sekolah di Sekolah Dasar (SD) gugus P Diponegoro kecamatan Dempet baik sebagai badan pertimbangan, badan pendukung, badan pengontrol maupun badan mediator sudah dilaksanakan. Namun diantara empat peran komite sekolah tersebut, peran sebagai mediator merupakan peran yang paling kurang optimal terlihat dari pasifnya komite sekolah dalam segala kegiatan dikarenakan ketidakpahaman akan peran mereka yang seharusnya sebagai mediator. 2. Bodi Kurniawan (2011) dalam penelitiannya yang berjudul “Peran Komite Sekolah dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan di Madrasah Pembangunan UIN Jakarta” yang menyimpulkan bahwa komite sekolah Madrasah Pembangunan UIN Jakarta sudah melaksanakan peran mereka sebagai pertimbangan, pendukung, pengontrol, dan penghubung, walaupun secara keseluruhan belum maksimal. Akan tetapi telah banyak kontribusi yang telah diberikan komite sekolah
43
dalam hal membantu sekolah baik secara finansial maupun secara sumbang ide ataupun tenaga.
2.6
Kerangka Berfikir Tujuan pendidikan akan tercapai melalui pengelolaan pendidikan yang
memberi kesempatan kepada sekolah untuk mengelola pendidikan yang sesaui dengan situasi dan kondinsi di masing-masing daerah. Salah satu pengelolaan sekolah yang saat ini diterapkan di pendidikan dasar dan menengah adalah manajemen berbasis sekolah. Manajemen berbasis sekolah akan dapat terlaksana dengan baik apabila semua komponennya bekerja dengan baik, salah satunya adalah partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam satuan pendidikan dapat disalurkan melalui badan mandiri yang disebut komite sekolah. Komite sekolah sebagai mitra kerja sekolah memiliki tujuan untuk meningkatkan mutu, pemerataan, efisiensi pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan. Untuk mencapai tujuan tersebut maka komite sekolah perlu memahami peran agar dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Berdasarkan uraian tersebut, maka perlu diketahui bagaimana peran komite sekolah dalam implementasi manajemen berbasis sekolah. Pemberi Pertimbangan
Pendukung Manajemeen Berbasis Sekolah
Peran Komite Pengontrol
Mediator
Gambar 2.1 Kerangka Berfikir
44