BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1
Faktor yang Mempengaruhi Wanita Bekerja
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Riyani, dkk (2001) mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan wanita untuk bekerja adalah sebagai berikut:
a. Jika pendapatan suami masih belum mampu mencukupi kebutuhan keluarga, maka isetri akan bekerja lebih banyak untuk membantu memenuhi
kebutuhan
rumah
tangga.
Artinya,
ketika
jumlah
penghasilan keluarga terutama suami relatif kecil, maka keputusan wanita berstatus menikah untuk bekerja relatif besar. b. Jika pendapatan suami sudah mampu mencukupi kebutuhan keluarga, maka isteri tidak akan bekerja di sektor publik dan hanya fokus pada urusan rumah tangga (domestik). Artinya, ketika jumlah penghasilan keluarga sudah relatif besar, maka keputusan wanita berstatus menikah untuk bekerja menjadi relatif kecil. c. Pengaruh jumlah tanggungan pada keluarga terhadap keputusan seorang wanita yang berstatus menikah untuk bekerja. Semakin banyak jumlah
tanggungan
dalam
keluarga
membuat
semakin
besar
keikutsertaan wanita untuk berusaha memenuhi kebutuhan keluarga, mulai dari kebutuhan sekolah anak-anak, biaya dapur, kebutuhan pokok dan biaya tidak terduga lainnya.
Universitas Sumatera Utara
Kenyataannya di dalam keluarga miskin, sebagaian besar yang memungkinkan keluarga mereka tetap bertahan hidup dikarenakan wanita yang berperan dalam menafkahi keluarga, semakin miskin suatu keluarga maka keluarga itu semakin bergantung kepada produktivitas ekonomi seorang wanita. Ibu rumah tangga di seluruh dunia melakukan berbagai macam tugas yang memiliki satu kesamaan dengan ibu rumah tangga yang lainnya.
Mereka merawat anak, memenuhi suplai pangan keluarga, mereka mencuci pakaian dan juga wanita memberikan penghasilan bagi keluarga melalui pekerjaan mereka dengan upah yang rendah yang tidak membahayakan pekerjaan utamanya sebagai ibu rumah tangga (Abdullah, 1997:160).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Hugen (2011), menemukan bahwa yang menjadi faktor-faktor penyebab besarnya alokasi kerja wanita terhadap keputusan seorang wanita untuk bekerja di sektor publik sehingga mempengaruhi tingkat pendapatan keluarga adalah:
a. Usia dan pendidikan, usia isteri diduga sangat berpengaruh terhadap aktivitas mereka dalam bekerja sehari-hari. Dilihat dari aspek umur isteri berusia rata-rata 34,5 tahun, masuk dalam kategori usia produktif yang berarti mempunyai potensi sebagai sumber tenaga kerja baik di dalam maupun di luar daerah tempat tinggal. Sementara itu tingkat pendidikan isteri sebagian besar (76,33%) tamat SD selebihnya hanya tamat SLTP (23,76%). Isteri yang bekerja di luar rumah lebih besar dipekerjakan pada jenis pekerjaan yang dominan membutuhkan tenaga fisik.
Universitas Sumatera Utara
a) Tanggungan keluarga, tanggungan keluarga dalam penelitian ini mengacu pada pendapat Sajogyo, P. (1994) yang mengatakan, tanggungan keluarga dihitung dengan memilah berapa jumlah jiwa yang masih menjadi tanggungan dan masih dalam satu periuk nasi. Dari hasil wawancara yang didukung oleh observasi lapangan menunjukkan bahwa banyaknya tanggungan keluarga merupakan salah satu alasan perempuan turut serta bekerja membantu suami di lahan milik sendiri maupun menjadi buruh perkebunan kelapa sawit. Mereka beranggapan bahwa jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan berpengaruh terhadap besaran kebutuhan keluarga. Hasil analisis menunjukkan rata-rata jumlah tanggungan keluarga sebesar 3-4 jiwa, terdiri dari isteri dan 1 anak atau 2 anak. Jumlah anak yang menjadi tanggungan terdiri dari 13 jiwa usia anak balita, 7 jiwa usia Sekolah Taman Kanak-kanak (TK), dan 12 jiwa usia sekolah Dasar (SD). Kondisi keluarga kecil ini dipengaruhi oleh pasangan suami-isteri yang paham akan keluarga kecil bahagia, yang ditunjukkan dengan keikutsertaan dalam program Keluarga Berencana (KB). b) Kepala keluarga bekerja di luar daerah, pada umumnya kepala keluarga akan mencari pekerjaan ke luar daerah tempat tingga jika lapangan kerja di dalam daerah tempat tingga kurang menjanjikan atau pendapatan dari usaha tani kurang mencukupi kebutuhan keluarga. Umumnya, mereka tidak mempunyai keterampilan khusus hanya melakukan pekerjaan di bidang pertanian. Namun
Universitas Sumatera Utara
bagi yang mempunyai keterampilan, seperti tukang batu, tukang kayu, dan meubiller, lebih memilih pekerjaan tersebut sebagai pekerjaan utama, disamping tetap mengusahakan lahan usaha yang dimilikinya. Untuk bekerja di bidang ini umumnya mereka meninggalkan keluarga 1-2 minggu, bahkan ada yang 1 bulan. Hal ini dilakukan untuk menghemat biaya transportasi dan tenaga. Oleh karenanya isteri yang ditinggal suami bekerja di luar daerah, maka isteri
mengambil alih pekerjaan di lahan milik mereka untuk
menopang perekonomian. Kondisi tersebut mengakibatkan peran perempuan dalam kehidupan keluarga menjadi ganda, yaitu sebagai ibu rumah tangga, disisi lain berperan dalam menentukan kelangsungan usaha tani yang akhirnya mendapatkan pendapatan (pekerjaan produktif). Hal ini sejalan dengan pendapat Sajogyo, P. (1994) yang mengatakan bahwa perempuan dalam mencari nafkah dan mengurus rumah tangga merupakan pekerjaan produktif, dan menjadi kepuasan sendiri bagi kaum perempuan. Dengan demikian alokasi waktu kerja, konstribusi perempuan dalam mencari nafkah, mengurus rumah tangga, dan pengambilan keputusan dalam usaha tani menjadi penting. c) Alokasi waktu bekerja wanita, alokasi waktu wanita yang bekerja pada kegiatan usaha tani sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah ada atau tidaknya tanggungan anak balita dalam keluarga. Alokasi waktu kerja bagi yang mempunyai anak balita lebih sedikit jika dibanding yang
Universitas Sumatera Utara
tidak punya anak balita, karena waktunya lebih banyak digunakan untuk mengurus anak balita. Sisanya digunakan untuk kegiatan reproduktif dan sosial. Dengan demikian, wanita mempunyai peran ganda yaitu sebagai ibu rumah tangga dan bekerja membantu suami di lahan atau sebagai buruh upahan di perkebunan di sekitar daerah tempat tinggal.
Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Suhartini (2010) dampak yang diakibatkan dari partisipasi wanita dalam bekerja di sektor publik yaitu: a. Para wanita yang bekerja pada sektor publik mendapat keuntungan karena dapat memperluas hubungan sosial dengan masyarakat luas dan tidak hanya berinteraksi dengan anak dan suami. b. Kehidupan ekonomi para wanita tidak mengalami perubahan karena pendapatan yang diperoleh belum mampu untuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder dan tersier. c. Pola pengambilan keputusan dalam wanita ada hal-hal tertentu yang didominasi oleh istri atau perempuan terutama dalam hal yang berkaitan dengan urusan domestik. d. Hal-hal yang berkaitan dengan aktivitas pengasuhan anak-anak, pendidikan anak-anak, dan kesehatan relatif dilakukan secara bersama antara suami dan isteri.
2.2
Pengambilan Keputusan dalam Keluarga Pada umumnya, terdapat hubungan antara pola pengambilan keputusan
dan struktur kekuasaan dalam keluarga, yang menyatakan bahwa pola
Universitas Sumatera Utara
pengambilan keputusan (decision making) dalam suatu keluarga menggambarkan bagaimana struktur/pola kekuasaan dalam keluarga tersebut (T.O Ihromi, 1987: 87).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Hesti dan Nufitri (2010) ditemukan bahwa pengambil keputusan di dalam keluarga adalah:
a) Pengambilan keputusan keluarga masih didominasi oleh istri terutama dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kebutuhan anak seperti pendidiakan anak, keperluan sekolah anak, maupun pemeberian uang saku anak. b) Keputusan yang berkaitan dengan pembelian barang bernilai tinggi seperti rumah, kendaraan, tanah, emas dan perhiasan lainnya merupakan keputusan yang ditetapkan berdasarkan hasil diskusi antara suami dan istri. c) Pengambilan keputusan yang sifatnya jangka panjang seperti dalam memilih tempat berlibur, menabung serta berinvestasi, para wanita bekerja memilih membicarakannya terlebih dahulu dengan suami sehingga keputusan yang diambil merupakan keputusan berdua. d) Sementara untuk hal-hal yang sifatnya rutin dan untuk kebutuhan rumah tangga keputusan sepenuhnya diserahkan kepada istri seperti kebutuhan dapur, perlengkapan rumah tangga, perabot rumah tangga dan lain-lain.
2.3
Penggunaan Pendapatan Suami dan Isteri di dalam Keluarga
Pendapatan yang diterima oleh suami dan isteri tidak dapat dipisahkan, dimana pendapatan suami selalu diberikan kepada sang isteri. Pendapatan yang
Universitas Sumatera Utara
diperoleh keduanya yaitu suami dan isteri dianggap sebagai pendapatan keluarga yang nantinya akan digunakan untuk kebutuhan setiap anggota keluarga.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Haryanto (2008) penggunaan pendapatan suami dan isteri dialokasikan kepada:
a) Belanja kebutuhan sehari-hari atau pun kebutuhan pokok setiap anggota keluarga seperti kebutuhan dapur, belanja untuk makan setiap harinya, belanja untuk pakaian keluarga, perlengkapan yang dibutukan untuk ayah, ibu maupun anak-anak. Penggunaan pendapatan terbesar digunakan untuk kebutuhan sehari-hari dibanding dengan kebutuhan-kebutuhan lainnya. b) Kebutuhan sekolah anak-anak seperti uang SPP setiap bulannya, membeli buku sekolah anak-anak, seragam sekolah, uang jajan setiap harinya. c) Kebutuhan keluarga yang bersifat sosial seperti adanya anggota keluarga yang ikut serta dalam arisan keluarga, arisan tetangga, menghadiri acara pernikahan, menghadiri acara hajatan sehingga membutuhkan biaya juga dalam acara tersebut.
Dilihat dari distribusi penggunaan pendapatan istri atau wanita menunjukkan bahwa belum ada atau tidak banyak wanitayang menggunakan penghasilannya Penghasilan
untuk memenuhi mereka
kebutuhannya
digunakanuntuk
sendiri
memenuhi
secara
kebutuhan
pribadi. keluarga
secara bersama. Hal ini sangat terkait dengan kebiasaan yang ada di masyarakat terutama pedesaan bahwa tanggung jawab untuk mengatur rumah tangga merupakan tanggungjawab wanita atau istri di dalam keluarga mereka.
Universitas Sumatera Utara
2.4
Harmonisasi Rumah Tangga
Unit terkecil masyarakat adalah keluarga, sehingga seperti halnya masyarakat, maka masyarakat juga dapat dilihat sebagai sebuah sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang saling tergantung satu sama lain. Keseluruhan sistem tersebut memiliki seperangkat kebutuhan yang harus dipenuhi oleh masing-masing bagian yang fungsional, agar sistem tetap berada dalam keadaan seimbang atau harmoni. Bilamana tidak terpenuhi, maka kondisi tersebut akan dapat berkembang ke suatu keadaan yang bersifat patologis atau disharmoni. Kesatuan fungsional atau keadaan harmoni suatu sistem dibatasi sebagai suatu keadaan dimana seluruh bagian dari sistem sosial dapat saling fungsional, sehingga dapat tercipta keselarasan dengan tanpa atau sedikit konflik yang tidak berkepanjangan dan semakin membesar. Kesatuan fungsional atau keadaan harmoni yang lokal nampaknya bertentangan dengan fakta, karena suatu bagian dari sebuah sistem bias fungsional bagi suatu sub-sistem tertentu tetapi ternyata dapat disfungsional bagi subsistem lainnya. Kondisi dimana masing-masing subsistem dapat saling fungsional satu sama lain akan mengarah pada keadaan harmoni, kesesuaian fungsi dapat tercapai kalau terdapat adanya persamaan nilai dan norma. Sebaliknya kondisi dimana masing-masing
sub-sistem
saling
disfungsional,
sebenarnya
merupakan
perwujudan dari tidak adanya kesepakatan atau konsensus tentang nilai dan norma. Dan hal itu akan mengarah kepada konflik dan dis harmoni. Tetapi dalam penelitian yang dilakukan oleh Nurhadi (2009) menemukan bahwa, konflik justru akan ditempatkan sebagai suatu proses yang bersangkut paut dengan harmoni, dalam arti bahwa konflik dianggap sebagai pembuka bagi
Universitas Sumatera Utara
terjadinya proses harmonisasi. Menurut Nurhadi, dilihat beberapa kecenderungan bahwa, terjadi hubungan antara istri yang bekerja dengan tingkat harmonisasi pada keluarga melalui tingkat pendapatan istri. Dalam artian, bahwa jika istri yang bekerja tersebut pendapatannya dapat untuk mencukupi seluruh kebutuhan keluarga, maka terjadi disfungsional bagi urusan-urusan kerumahtanggaan, ketergantungan
ekonomis
kepada
suaminya
menjadi
rendah,
sikap
kemandiriannya (istri) menjadi tinggi, sehingga tingkat harmonisasi keluarga dapat menjadi goyah, meskipun seluruh kebutuhan ekonomi keluarga relatif dapat tercukupi. Sementara itu istri yang bekerja yang pendapatannya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan makan keluarga saja, maka ia akan tetap fungsional bagi pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, ketergantungan ekonomisnya kepada suami juga tetap tinggi karena isteri yang bekerja sebagai pencari nafkah tambahan hanya mampu mencukupi kebutuhan makan saja, selebihnya kebutuhan keluarga lainnya seperti kebutuhan sandang, papan maupun kebuthan tersier dipenuhi oleh suami. Tidak hanya masalah pemenuh kebutuhan keluarga, sikap kemandirian wanita juga berada dalam kategori rendah, hal ini dikarenakan wanita masih tergantung kepada suami yang dilihat dari segi ekonomi. Dalam penelitian ini juga ditarik kesimpulan bahwa, isteri yang pendapatannya masih lebih rendah dari pada pendapatan suami dan masih tergantung kepada suami, dikategorikan sebagai keluarga harmonis.
Universitas Sumatera Utara
2.5
Beban Ganda (Double Burden) Adanya anggapan bahwa kaum wanita memiliki sifat pemelihara dan rajin,
membuat wanita berorientasi dan bertanggung jawab pada semua pekerjaan domestik. Konsekuensinya, kaum wanita harus bekerja keras dalam mengurus kebutuhan rumah tangganya, bagi kalangan menegah kebawah beban lebih terasa berat jika wanita juga terjun ke dalam sektor publik atau dunia kerja yang membuat wanita memiliki beban ganda (Rochie, 2009:22). Beban ganda (double burden) merupakan beban pekerjaan yang diterima salah satu jenis kelamin lebih banyak dibandingkan jenis kelamin lainnya terutama kaum wanita.
Angka statistik Indonesia menunjukkan bahwa semakin meningkat jumlah wanita yang bekerja di sektor publik disebabkan oleh faktor-faktor tertentu, diantaranya adalah pendapatan suami rendah, suami meninggal dan juga suami bekerja di luar daerah maupun di luar negeri. Selain itu, berubahnya struktur keluarga disebabkan oleh tidak hadirnya pria sebagai kepala rumah tangga, membawa wanita untuk menggantikan pria sebagai kepala rumah tangga. Dengan demikian, pembagian-pembagian kerja yang biasanya terjadi dalam rumah tangga tidak dapat berjalan dengan baik
Berdasarkan ruang lingkup kedudukan wanita dalam keluarga dan masyarakat, wanita memiliki dua peran yaitu:
a. Disatu pihak sebagai ibu rumah tangga (domestik) dalam keluarga ,masing-masing wanita berperan sebagai tenaga kerja domestik yang tidak mendatangkan hasil secara langsung.
Universitas Sumatera Utara
b. Dipihak lain sesuai dengan perkembangan masyarakat khususnya di bidang perekonomian agraris, nampak nyata peran serta wanita sebagai tenaga dibidang pencari nafkah (publik) yang mendatangkan hasil secara langsung.
2.6
Persepsi Suami terhadap Beban Ganda yang Dipikul Isteri Dalam penelitian yang dilakukan oleh Iriani (2003) mengenai persepsi
suami terhadap aktifitas peran ganda perempuan sunda di sektor domestik sebagai berikut : a.
Istri
diharapkan tidak meninggalkan kodratnya walaupun melakukan
pekerjaan nafkah untuk menunjang keuangan keluarga. b.
Istri dan suami secara bersama-sama memberikan perhatian terhadap pendidikan dan kesehatan anak yang merupakan tanggungjawab kedua orangtua.
c. Istri dilibatkan dalam pengambilan keputusan dalam
keluarga, karena
suami-istri sebagai mitraperan dalam keluarga. Persepsi positif dari suami tersebut, menunjukkan bahwa keluarga sebagai jaringan hubungan sistem sosial
berlangsung dengan stabil, karena masing-
masing anggotanya dapat melaksanakan fungsi dan perannya yang sesuai dengan status masing-masing. Dengan adanya pergeseran pelaksanaan peran istri, maka suami sebagai mitraperannya dapat melakukan perubahan peran kontekstual secara adaptif, sehingga upaya mewujudkan
keberfungsian keluarga dapat
terwujud. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Ieke Iriani (2003) mengenai persepsi suami terhadap aktifitas istri di sektor publik adalah sebagi berikut:
Universitas Sumatera Utara
a. Suami menghargai hak dan kewajiban istri dalam melakukan aktifitas di luar rumah, karena dapat meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan wawasannya. b. Memberi dukungan dan motivasi terhadap perkembangan usaha atau karier istrinya. c. Memberikan dukungan dengan meninggalkan nilai yang sudah tidak relevan dengan dinamika masyarakat. Penelitian ini memperlihatkan bahwa telah terjadi transformasi kesetaraan gender dengan bentuk kemitrasejajaran perempuan-laki-laki, dalam hal ini akibat adanya persepsi positif dari perempuan Sunda terhadap aktifitas peran-gandanya. Untuk menjaga stabilitas struktur dan fungsi keluarga, maka perempuan Sunda mengem-bangkan harapan anticipatory dalam pelaksanaan perannya dan secara konsisten menerima peran kodrati (mengandung, melahirkan dan menyusui), lakilaki dalam hal ini suami mengembangkan konsensus dengan meningggalkan nilai yang membatasi ruang gerak perempuan Sunda dan mengembangkan
nilai
budaya yang mendukung perempuan Sunda untuk eksis di sektor publik. Lingkungan masyarakat Sunda mengembangkan nilai budaya yang mendukung aktifitas peran-ganda, sebagai upaya pemberdayaan perempuan. Dalam hal ini peran kodrati perempuan tetap menjadi tuntutan budaya dan agama. Hasil penelitian ini mengisyaratkan bahwa walaupun budaya tradisional Sunda masih menempatkan
perempuan di sektor domestik, namun kekuatan
budaya tradisional yang membatasi ruanggerak wanita, telah dianggap negatif dan sudah tidak relevan lagi dengan dinamika masyarakatnya. Sehingga perempuan memiliki 'pengakuan' dan legalitas dari masyarakat untuk tampil
Universitas Sumatera Utara
sebagai pekerja atau pencari nafkah serta dapat berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan. Berdasarkan temuan penelitian ini dapat dikemukakan bahwa alternatif model peran-ganda yang dipilih oleh perempuan Sunda adalah ‘model ideal’ atau model keseimbangan, karena perhatian terhadap keluarga dan aktifitas di sektor publik memiliki proporsi yang seimbang.
Universitas Sumatera Utara