II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Penelitian Terdahulu Mengenai Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Realisasi Kredit Hasil analisis deksriptif (Wangi SP, 2008) memperlihatkan bahwa
semakin besar nilai pengajuan dan waktu pencairan kredit maka persentase kredit yang tidak terealisasi semakin besar. Selain itu, jika semakin besar suku bunga, jangka waktu peminjaman, nilai jaminan, pengalaman usaha dan pengalaman kredit maka semakin sedikit persentase kredit yang tidak terealisasinya. Sedangkan analisis inferensia yang telah dilakukan dengan menggunakan analisis regresi linear berganda menunjukkan bahwa meningkatnya nilai pengajuan dan waktu pencairan kredit maka akan meningkatkan persentase kredit yang tidak terealisasi. Hal ini dapat disebabkan tingginya nilai pengajuan maka risiko penyaluran kredit akan tinggi dan risiko kemacetan kredit juga tinggi karena kewajibanpembayaran lebih besar dari nilai pengajuan kredit yang lebih sedikit. Semakin lama waktu pencairan kredit maka mencerminkan adanya persyaratan kredit yang sulit dipenuhi sehingga pihak bank memnadang debitur kurang bankable dan risiko kredit juga lebih tinggi akibatnya persentase kredit yang tidak terealisasi semakin besar. Wangi SP (2008) meneliti tentang analisis faktor-faktor yang mempengaruhi realisasi pengajuan kredit di Bank “X” (studi kasus : wilayah Bandung), yaitu dengan menggunakan analisis deskriptif dan analisis inferensia. Namun, realisasi pengajuan kredit di Bank “X” cabang Sukabumi setelah diuji dengan menggunakan Korelasi Pearson nilai pengajuan pengaruhnya tidak signifikan. Analisis deskriptif dan regresi linier berganda juga digunakan oleh Mulyarto EP (2009) dengan jumlah responden sebanyak 80 debitur. Variabel respon dalam analisis tersebut adalah jumlah realisasi kredit (Y) dalam satuan rupiah, sedangkan variabel-variabel prediktornya meliputi X1 = tingkat pendapatan per bulan (rupiah), X2 = aset keluarga (rupiah), X3 = aset usaha (rupiah), X4 = frekuensi/pengalaman (kali), X5 = lama usaha (tahun), X6 = modal usaha (rupiah) dan X7 = lama pendidikan formal (tahun). Hasil analisis menujukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi realisasi KUR ada empat yaitu pendapatan, frekuensi pengambilan kredit, lama usaha dan modal usaha. 17
Sedangkan faktor-faktor lainnya, tidak berpengaruh secara signifikan terhadap realisasi KUR. Hal ini menjadi hasil penelitian yang dilakukan oleh Mulyarto EP (2009) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi realisasi KUR melalui studi kasus pada nasabah BRI Unit Leuwiliang, Cabang Bogor. Hal yang sama dilakukan oleh Lubis AM (2009) dalam penelitiannya tentang faktor-faktor yang mempengaruhi realisasi dan pengembalian kredit usaha rakyat melalui studi kasus BRI Unit Cibungbulang, semua faktor yang diduga mempengaruhi realisasi KUR-Kupedes tersebut dianalisis menggunakan analisis Deskriptif dan Regresi. Sampel yang digunakan adalah sama dengan jumlah populasi yaitu 116 debitur. Analisis terhadap faktor-faktor yang berpengaruh terhadap jumlah realisasi KUR-Kupedes menggunakan model analisis Linier Berganda, sebagai variabel dependent adalah jumlah realisasi KUR-Kupedes terakhir dan variabel independent diturunkan dari tiga jenis karakteristik nasabah yaitu karakteristik individu terdiri dari variabel usia, jenis kelamin, dan jumlah tanggungan keluarga, sedangkan karakteristik usaha terdiri dari variabel omzet usaha per bulan, tingkat pendapatan bersih per bulan, jenis usaha, dan lama usaha, serta karakteristik kredit yang teridiri dari variabel frekuensi peminjaman kredit, jumlah kredit yang diajukan debitur, dan nilai agunan. Berdasarkan
analisis
regresi
linier
berganda,
faktor-faktor
yang
berpengaruh secara signifikan terhadap realisasi KUR-Kupedes di BRI Unit Cibungbulang adalah omzet usaha per bulan, tingkat pendapatan bersih per bulan jenis usaha, jumlah kredit yang diajukan, dan nilai agunan. Hasil yang diperoleh dari penelitian Lubis AM (2009) adalah omzet usaha per bulan, tingkat pendapatan bersih per bulan, jumlah kredit yang diajukan, dan nilai agunan memiliki pengaruh yang positif terhadap realisasi KUR-Kupedes, sedangkan jenis usaha (off farm bernilai 1) memiliki pengaruh yang negatif terhadap besarnya realisasi KUR-Kupedes. Hidayanto E (2010), dalam penelitiannya tentang faktor-faktor yang mempengaruhi realisasi kredit usaha rakyat (KUR) dengan studi kasus usaha agribisnis di BRI Unit Tongkol. Analisis terhadap faktor-faktor yang berpengaruh terhadap jumlah realiasasi KUR menggunakan model analisis linier berganda. Sebagai varibel dependent adalah tingkat jumlah realisasi kredit, dan variabel
18
independent diantaranya tingkat pendapatan, frekuensi kredit, lama usaha, modal usaha, tingkat pendidikan, dan waktu pengembalian kredit. Berdasarkan hasil linier berganda diketahui bahwa variabel yang berpengaruh secara nyata terhadap realisasi KUR, yaitu tingkat pendapatan, frekuensi kredit, modal usaha, tingkat pendidikan, dan waktu pengembalian kredit. Suku bunga KUR yang relatif rendah yaitu sebesar 13,5 persen per tahun, membuat KUR menjadi target utama pengusaha kecil di sektor agribisnis guna pemenuhan kebutuhan modal usahanya. Usaha yang kurang layak ataupun karakter yang kurang baik merupakan sebagian kecil alasan mengapa nasabah yang mengajukan pinjaman modal tidak dapat memperoleh pencairan pinjaman dari BRI. Berdasarkan pemasalahan tersebut menjadi dasar bagi Hutagaol EIP (2009) untuk melakukan penelitian mengenai Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pencairan Pinjaman Kredit Usaha Rakyat (KUR) di Sektor Agribisnis (Kasus pada BRI Unit Cigombong-Bogor). Banyaknya jumlah pengajuan KUR tidak sejalan dengan banyaknya jumlah KUR yang dicairkan. Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor yang belum dipenuhi oleh pengusaha sebagai syarat untuk menerima pinjaman KUR, diantaranya usaha yang belum layak, lokasi yang jauh dari BRI, dan karakter pengusaha merupakan salah satu faktor penting yang dijadikan acuan dalam pencairan pinjaman. Tunggakan dengan status Dibawah Perhatian Khusus (nasabah yang menunggak kurang dari 90 hari). Dengan posisi tunggakan NPL (Non Performing Loan) sebesar nol persen menunjukkan bahwa belum terlihat adanya nasabah yang belum membayar angsuran lebih dari 90 hari (3 bulan). Posisi NPL sangat mempengaruhi putusan pencairan pinjaman KUR, dimana putusan pencairan pinjaman KUR dapat dilakukan selama posisi NPL KUR kurang dari lima persen. Tingginya proporsi kredit yang diberikan kepada sektor agribisnis disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya tingginya tingkat kebutuhan masyarakat terhadap kredit untuk memperluas dan mengembangkan skala usaha, serta penambahan modal usaha ataupun untuk penambahan jumlah komoditi usahanya. Selain itu, dapat juga dipengaruhi oleh kemudahan prosedur yang diberikan oleh pihak BRI dalam memberikan pinjaman kredit khususnya untuk
19
sektor agribisnis (Hutagaol EIP, 2009). Adapun kegiatan usaha yang termasuk dalam penelitian Hutagaol EIP (2009) adalah budidaya ayam potong, jual beli sayuran, budidaya jagung manis, budidaya singkong, jual beli buah-buahan, dagang bakso, dan penggilingan mie ayam. Metode penentuan responden yang digunakan dalam penelitian Hutagaol EIP (2009) adalah metode purposive sampling, dengan menggunakan alat analisis regresi linear berganda. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi pencairan kredit adalah (1) lama usaha berjalan (tahun), (2) pendapatan bersih rumah tangga per tahunnya (dalam Rupiah), (3) tingkat pendidikan nasabah (dimana D = 0 ; tingkat pendidikan SD, D = 1 ; tingkat pendidikan SMP, D = 2 ; tingkat pendidikan SMA), (4) nilai agunan atau jaminan (dummy, D = 0 ; tidak ada agunan, D = 1 ada agunan), (5) lokasi usaha atau jarak dengan BRI Unit Cigombong (km), (6) usia nasabah (tahun). Berdasarkan hasil analisis regresi linier berganda diketahui bahwa variabel-variabel yang berpengaruh terhadap pencairan kredit adalah pengalaman usaha, pendapatan rumah tangga dalam setahun, tingkat pendidikan, ada tidaknya jaminan dan jarak lokasi usaha. 2.2
Penelitian Terdahulu Mengenai Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengembalian Kredit Nilai tunggakan riil atau Non Performing Loan (NPL) merupakan
persentasi seluruh kredit yang termasuk Kurang Lancar (KL), Diragukan (D) dan Macet (M) terhadap seluruh nilai sisa pinjaman atau biasa disebut Out Standing (OS) atau sebutan di BRI adalah Total Baki Debet. Salah satu indikator kredit yang sehat bagi BRI adalah jika nilai tunggakan riil atau Non Performing Loan (NPL) di bawah tiga persen. Tingginya nilai tunggakan riil atau Non Performing Loan (NPL) disebabkan oleh rendahnya tingkat pengembalian kredit dan banyaknya tunggakan kredit oleh debitur KUR-Kupedes yang tergolong Kredit Kurang Lancar (KL), Diragukan (D) dan Macet (M) serta rendahnya nilai sisa pinjaman karena dihentikannya realisasi kredit. Hal ini menjadi pokok permasalahan dalam penelitian Lubis AM (2009) mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pengembalian kredit usaha rakyat melalui studi kasus BRI Unit Cibungbulang. Penelitian yang dilakukan oleh Lubis AM (2009) mengenai analisis terhadap 20
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kelancaran pengembalian KUR-Kupedes dengan menggunakan model analisis Regresi Logistik. Dengan menganalisis varibel dependent dan independent-nya, dimana variabel dependent-nya adalah tingkat kelancaran pengembalian kredit debitur yaitu Y=1 (jika lancar), dan Y=0 (jika menungggak). Sedangkan varibel dependent-nya diturunkan dari tiga jenis karakteristik nasabah yaitu (1) karakteristik individu (usia, jenis kelamin, dan jumlah tanggungan keluarga dan jarak tempat tinggal), (2) karakteristik usaha (nilai RPC per bulan, jenis usaha, lama usaha, dan lama menetap di lokasi usaha), serta (3) karakteristik kredit (nilai plafon kredit, jangka waktu pengembalian, frekuensi peminjaman kredit, nilai agunan, dan kewajiban per bulan). Berdasarkan analisis regresi logistik biner, faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap tingkat pengembalian KUR-Kupedes (lancar atau menunggak) adalah jenis kelamin dan kewajiban per bulan. Dimana jenis kelamin wanita berpengaruh negatif dan kewajiban per bulan berpengaruh positif terhadap kelancaran pengembalian KUR-Kupedes. Hal ini dapat diartikan bahwa, debitur wanita berpeluang lebih kecil dalam mengembalikan kredit dengan lancar dibandingkan dengan debitur pria, selain itu tidak ada perbedaaan yang berarti terhadap perluang kelancaran pengembalian kredit jika peningkatan kewajiban per bulan tidak cukup besar. Tingginya angka kredit bermasalah merupakan salah satu indikasi kurang berhasilnya suatu unit kerja BRI. Oleh karena itu, BRI harus terus melakukan pengembangan salah satunya dengan terus mengembangkan pengelolaan risiko kredit, terutama dalam hal penyeleksian calon debitur KUR agar dapat meningkatkan
kualitas
dan
kuantitas
pembiayaan
serta
menyokong
pengembangan usaha mikro. Dengan demikian faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kelancaran pengembalian oleh debitur perlu menjadi hal yang diperhatikan oleh BRI agar angka kredit bermasalah dapat ditekan. Nilai tunggakan riil atau Non Performing Loan (NPL) dapat menunjukkan kinerja penyaluran KUR pada BRI. Selain menunjukkan adanya penurun kinerja, tingkat NPL tersebut juga menunjukkan kinerja penyaluran KUR pada BRI Unit Cimanggis masih berada dibawah tingkat NPL KUR pada BRI secara keseluruhan. Pokok permasalahan tersebut menjadi dasar bagi Agustania VI
21
(2009) untuk melakukan penelitian mengenai “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kelancaran Pengembalian Kredit Usaha Rakyat (KUR) studi kasus pada PT Bank BRI Unit Cimanggis, Cabang Pasar Minggu”. Metode penentuan sampel dalam penelitian tersebut dilakukan secara sengaja atau disproporsional. Pengolahan data dengan menggunakan analisis kualitatif dan analisis kuantitatif dengan menggunakan analisis regresi logistik. Berdasarkan hasil penelitian Agustania VI (2009), ditemukan bahwa karakteristik responden debitur KUR BRI Unit Cimanggis baik responden debitur lancer maupun menunggak sebagian besar berjenis kelamin pria dengan tingkat pendidikan yang rendah. Jumlah tanggungan dalam keluarga sebagian besar berjumlah empat orang. Mereka sebagian besar mengakses kredit dengan masa pengembalian 12 bulan. Antara responden debitur lancer dengan responden debitur menunggak dapat dibedakan berdasarkan ada tidaknya pinjaman lain yang sedang diakses responden debitur bersamaan dengan KUR pada BRI Unit Cimanggis, besarnya jumlah pinjaman, serta besarnya omzet usaha. Responden debitur menunggak sebagian besar ditemukan sedang dalam pinjaman lain, sementara pada responden debitur lancar sebaliknya. Besarnya omzet usaha pada responden debitur lancar cenderung lebih besar jika dibandingkan dengan besarnya omzet usaha responden debitur menunggak. Faktor-faktor yang berpengaruh secara nyata terhadap kelancaran pengembalian KUR adalah omzet usaha, besarnya jumlah pinjaman, dan pinjaman lain pada selang kepercayaan 90 persen (α = 0,1). Nilai Odds ratio diinterpretasikan sebagai peningkatan omzet usaha sebesar satu satuan akan meningkatkan peluang tingkat kelancaran pengembalian kredit sebesar satuan. Berdasarkan faktor yang berpengaruh nyata tersebut, pihak BRI dapat lebih selektif dalam memutuskan calon debitur yang akan menerima pinjaman KUR dengan mempertimbangkan berbagai hal khususnya diantaranya (1) ada tidaknya pinjaman lain yang sedang diakses calon debitur, (2) besarnya jumlah pinjaman, dan (3) besarnya omzet usaha yang dimiliki calon debitur. Kondisi usaha calon debitur di masa yang akan datang harus diprediksi karena terdapat kemungkinan keberhasilan atau kegagalan usaha di masa yang akan datang.
22
2.3
Penelitian Terdahulu Mengenai Pengembangan Kredit Sektor Pertanian Kedudukan Bank sebagai lembaga intermediasi sangat penting dalam
pembangunan ekonomi nasional khususnya dalam penyediaan pembiayaan (kredit). Sektor pertanian merupakan sektor ekonomi yang menyerap tenaga kerja (SDM) terbesar di Indonesia. Peran kredit perbankan sangat strategis dalam pengembangan sektor pertanian ini, akan tetapi sektor pertanian sampai saat ini perkembangannya hanya mencapai 5,6 dari portofolio kredit secara nasional. Permasalahan tersebut menjadi dasar penelitian oleh Darmawanto (2008) dalam tesis-nya yang berjudul “Pengembangan Kredit Sektor Pertanian (Tinjauan Pada PT. Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah)”. Darmawanto dalam penelitiannya tentang kebijakan kredit pada umumnya dan kebijakan kredit sektor pertanian khususnya, mengggunakan teknik analisis data deskriptif kualitatif dengan menggunakan pola pikir induksi. Teknik ini dilakukan dengan metode interaktif dari tiga jenis kegiatan yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan yang dapat dilakukan pada saat sebelum, dan selama pengumpulan data. Menurut Darmawanto, makna esensial dari kredit adalah kepercayaan dari bank sebagai kreditur terhadap nasabah sebagai debitur bahwa kredit yang diberikan akan sungguh-sungguh diterima kembali dalam jangka waktu tertentu sesuai yang diperjanjikan. Dari definisi kredit menurut Undang-Undang Perbankan, beliau menemukan sedikitnya empat unsur utama dari kredit, yaitu (1) kepercayaan, (2) tenggang waktu, (3) risiko, dan (4) prestasi atau obyek. Menurut Darmawanto (2008), masalah seputar penyediaan modal dan sulitnya akses ke perbankan umum adalah kendala yang sering dilontarkan oleh para petani, baik petani tradisional, pedagang maupun pengumpul hingga industri rumah tangga yang berbasis pertanian. Banyak jumlah debitur (petani) yang tidak paham tentang pencatatan keuangannya sehingga data-data untuk analisa sulit didapatkan oleh bank dan secara teknis tidak memenuhi syarat. Kredit sektor pertanian merupakan kredit yang diberikan kepada para petani dalam rangka mengembangkan hasil usaha tani para petani tersebut dalam menjalankan usahanya banyak menghadapi risiko yang akhirnya akan berpengaruh pada pembayaran kembali kredit yang telah diberikan bank. Salah 23
satu usaha untuk mengatasi hal tersebut melalui Asuransi hasil pertanian sebagaimana yang diatur dalam pasal 299 sampai dengan pasal 301 UndangUndang Hukum Dagang (KUHD). Namun, hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan di bidang perkreditan pada sektor pertanian yang saling bertentangan sehingga menjadi penghambat bagi bank dalam pengembangan kredit pada sektor pertanian bahkan akan merugikan bank dalam pelaksanaannya. 2.4
Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah
lokasi penelitian ini belum pernah ada yang melakukan penelitian di BRI Unit Cibinong, Cabang Bogor, Jawa Barat, serta masih jarang yang melakukan penelitian yg menggabungkan dalam pembahasan dua masalah kredit sekaligus yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi realisasi dan pengembalian KUR, serta menganalisis hubungan antara realisasi dan pengembalian. Penelitian ini difokuskan kepada KUR pada debitur yang bergerak dalam bidang agribisnis di wilayah Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
24