47
BAB II JENIS-JENIS BENDA YANG DAPAT DIJADIKAN JAMINAN KUASA MENJUAL DALAM PERJANJIAN KREDIT
Dalam perjanjian kredit, pihak Kreditur sebagai penyalur dana (biasanya Kreditur adalah Bank) memerlukan suatu kepastian dari nasabahnya yaitu pihak Debitur yang hendak memerlukan dana, bahwa dana yang disalurkannya tersebut dapat dikembalikan kepada Kreditur seutuhnya berikut bunganya serta biaya-biaya lain yang kemudian timbul setelah perjanjian tersebut dilakukan. Kepastian tersebut memerlukan suatu jaminan yang harus diberikan oleh Debitur kepada Kreditur bahwa ia dapat melunasi pinjaman dana atau hutangnya (selanjutnya disebut kredit) tersebut terhadap Kreditur sebagai pihak penyalur kredit. Oleh karena lembaga jaminan mempunyai tugas untuk melancarkan dan mengamankan pemberian kredit, maka jaminan yang baik (ideal) adalah : 1. Yang dapat secara mudah membantu perolehan kredit itu oleh pihak yang memerlukannya. 2. Yang tidak melemahkan potensi (kekuatan) pencari kredit untuk melakukan (meneruskan) kegiatan usahanya. 3. Yang memberikan kepastian kepada pemberi kredit, dalam arti bahwa barang jaminan setiap waktu tersedia untuk dieksekusi, yaitu bila perlu dengan mudah dapat diuangkan untuk melunasi hutangnya penerima (pengambil) kredit.37 Hal tersebut di atas, sesuai dengan persyaratan kredit yang dikemukakan oleh Hasanuddin Rahman di dalam bukunya, yang menyatakan bahwa prototype suatu
37
Mantayborbir, Hukum Perbankan Dan Sistem Hukum Piutang Dan Lelang Negara, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2006, hal. 38.
Universitas Sumatera Utara
48
perjanjian kredit atau pengakuan hutang-piutang pada dasarnya harus memenuhi minimal 6 (enam) syarat, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Jumlah hutang Besarnya bunga Waktu pelunasan Cara-cara pembayaran Klausula opeisbaarheid dan Barang jaminan. 38 Isi perjanjian kredit atau pengakuan utang yang termuat dalam pasal-pasal
klausula perjanjian, dari pengembangan hal tersebut di atas, adalah sebagai berikut: 39 1. Jumlah maksimum kredit (plafond) yang diberikan oleh Bank kepada Debiturnya. Dalam praktek, Bank dapat juga memberikan kesempatan kepada Debiturnya untuk menarik dana melebihi plafond kreditnya (overdraft); 2. Cara media penarikan kredit (plafond) yang diberikan tersebut, yang mana penarikan dana tersebut dilakukan di kantor Bank yang bersangkutan dan pembayaran yang dilakukan pada hari dan jam kantor buka. 3. Jangka waktu dan cara pembayaran sampai jatuh tempo, ada 2 (dua) cara pembayaran yang lazim digunakan, yaitu : diangsur; dan secara sekaligus. 4. Mutasi keuangan Debitur dan pembukuan Bank. Dari mutasi dan pembukuan Bank ini dapatlah diketahui berapa besar jumlah yang terutang oleh pihak Debitur, untuk itu mutasi keuangan dan pembukuan bank tersebut yang dalam bentuk rekening koran diberikan salinannya setiap bulan oleh pihak bank kepada pihak Debitur; 5. Pembayaran bunga, administrasi, provisi dan denda (bila ada), kecuali pembayaran bunga, maka pembayaran biaya administrasi dan provisi harus dibayar di muka oleh pihak Debitur. Sedangkan denda harus dibayar oleh pihak Debitur bila terdapat tunggakan angsuran ataupun bunga; 6. Klausula opeersbaarheid, yaitu klausula yang memuat hal-hal mengenai hilangnya kewenangan bertindak atau kehilangan hak-haknya pihak Debitur untuk mengurus harta kekayaannya, barang jaminan serta kelalaian Debitur untuk memenuhi ketentuan-ketentuan dalam perjanjian kredit atau pengakuan utang,
38
Hasanuddin Rahman, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan Di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal. 159. 39 Ibid, hal. 160-161.
Universitas Sumatera Utara
49
sehingga pihak Debitur harus membayar secara seketika dan sekaligus lunas. Klausula tersebut antara lain : 6.1. Debitur tidak membayar kewajibannya sebagaimana mestinya; 6.2. Debitur atau pemilik jaminan pailit; 6.3. Debitur atau pemilik jaminan meninggal dunia; 6.4. Harta kekayaan Debitur atau pemilik jaminan dilakukan sitaan; atau 6.5. Surcance Van Betaling; dan 6.6. Debitur atau pemiik jaminan ditaruh dibawah pengampuan (Onder Cuaratele Gesteld); 7. Jaminan yang diserahkan oleh pihak Debitur beserta kuasa yang menyertainya dan persyaratan penilaian jaminan, pembayaran pajak dan asuransi atas barang jaminan tersebut; 8. Syarat-syarat lain yang harus dipenuhi oleh Debitur dan termasuk hak untuk pengawasan atau pembinaan kredit oleh bank; 10. Biaya akta dan biaya penagihan utang yang juga harus dibayar oleh pihak Debitur.
Secara lengkapnya, suatu perjanjian kredit bank yang baik harusnya sekurang-kurangnya berisi klausula - klausula, sebagai berikuit : 1. Klausula-klausula tentang maksimum kredit, jangka waktu kredit, tujuan kredit, bentuk kredit dan batas izin tarik; 2. Kalusula-klausula tentang bunga, commitment fee dan denda kelebihan tarik; 3. Klausula-klausula tentang kuasa bank untuk melakukan pembebanan atas rekening giro dan rekening pinjaman nasabah Debitur; 4. Klausula-klausula representation and warranties, yaitu klausula yang berisi pernyataan-pernyataan nasabah Debitur mengenai fakta-fakta yang menyangkut status hukum, keadaan keuangan dan harta kekayaan nasabah Debitur pada waktu kredit diberikan, yaitu yang menjadi asumsi-asumsi bagi bank dalam mengambil keputusan untuk memberikan kredit itu; 5. Klausula tentang conditions precedent, yaitu klausula tentang syarat-syarat tangguh yang harus dipenuhi terlebih dahulu oleh nasabah Debitur sebelum bank berkewajiban untuk menyediakan dana bagi kredit tersebut dan nasabah Debitur berhak untuk pertama kalinya menggunakan kredit tersebut; 6. Klausula tentang agunan kredit dan asuransi barang-barang agunan; 7. Klausula tentang berlakunya syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan hubungan Rekening Koran bagi perjanjian kredit yang bersangkutan; 8. Klausula tentang affirmative covenants, yaitu klausula yang berisi janji-janji nasabah Debitur untuk melakukan hal-hal tertentu selama perjanjian kredit masih berlaku;
Universitas Sumatera Utara
50
9. Klausula tentang negative covenants, yaitu klausula yang berisi janji-janji nasabah Debitur untuk tidak melakukan hal-hal tertentu selama perjanjian kredit berlaku; 10. Klausula tentang financial covenants, yaitu klausula yang berisi nasabah Debitur untuk menyampaikan laporan keuangannya kepada bank dan memelihara posisi keuangannya pada minimal taraf tertentu; 11. Klausula tentang tindakan yang dapat diambil oleh bank dalam rangka pengawasan, pengamanan, penyelamatan, dan penyelesaian kredit; 12. Klausula tentang events of default, yaitu klausula yang menentukan suatu peristiwa atau peristiwa-peristiwa yang apabila terjadi memberikan hak kepada bank untuk secara sepihak mengakhiri perjanjian kredit dan seketika dan sekaligus menangih seluruh out-standing kredit; 13. Klausula tentang arbitrase, yaitu klausula yang mengatur mengenai penyelesaian perbedaan pendapat atau perselisihan di antara para pihak melaui badan arbitrase, baik badan arbitrase ad hoc atau badan arbitrase institusional; 14. Klausula-klausula bunga rampai atau miscellaneous provisions atau boilerplate provisions, yaitu klausula-klausula yang berisi syarat-syarat dan ketentuanketentuan yang belum tertampung secara khusus di dalam klausula-kalusula lain; termasuk di dalam klausula-klausula ini adalah klausula yang disebut Pasal tambahan, yaitu klausula yang berisi syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan tambahan yang belum diatur di dalam pasal-pasal lain atau berisi syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan khusus yang dimaksudkan sebagai syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang menyimpang syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan lain yang telah tercetak di dalam perjanjian kredit yang merupakan perjanjian baku. 40
Dari ketiga teks tentang syarat klausula perjanjian kredit yang diuraikan diatas, khususnya perihal barang jaminan, diungkapkan bahwa barang jaminan atas kredit Debitur kepada Kreditur wajib diberikan, serta penjaminan barang tersebut harus diikuti dengan kuasa atas barang yang dijadikan objek jaminan tersebut yang harus diberikan oleh Debitur maupun pihak ketiga yang turut serta demi kepentingan Debitur, kepada Kreditur selaku pihak yang memberikan dan mempercayakan uangnya sebagai dana kredit kepada Debitur yang bersangkutan.
40
Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit,hal. 178-179.
Universitas Sumatera Utara
51
Kuasa yang diberikan oleh Debitur kepada Kreditur di dalam perjanjian kredit yang terjadi di antara mereka adalah Kuasa Menjual objek jaminan yang diagunkan tersebut apabila suatu saat Debitur mengalami wanprestasi. Jadi, disini perwujudan dari kuasa menjual tersebut dikondisikan atau disyaratkan pada suatu kondisi yaitu kondisi bila Debitur mengalami wanprestasi sehingga ia tidak dapat memenuhi kewajibannya untuk membayar kreditnya tersebut kepada Kreditur. Dalam hal ini, yang seharusnya bersikap aktif untuk memberi inisiatif atas pemberian aset atau benda sebagai jaminan atas hutang tersebut adalah Debitur yang harus berupaya untuk dapat meyakinkan Kreditur bahwa ia beritikad baik di dalam meminjam dana tersebut akan mengembalikannya sebagaimana akan diperjanjikan di antara mereka (sesuai dasar hukum yaitu Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik). Sebelum transaksi kredit dilaksanakan, Kreditur biasanya meminta terlebih dahulu kepada Debitur suatu benda yang merupakan hak milik Debitur maupun hak milik dari pihak ketiga yang mau turut serta ke dalam perjanjian mereka, untuk dijadikan jaminan atas hutangnya, dan kemudian menjadikannya sebagai salah satu persyaratan dalam perjanjian mereka, bahwa Debitur harus memberikan salah satu aset (harta) miliknya sebagai jaminan terhadap hutangnya kepada Kreditur. Hal tersebut di atas adalah berguna untuk meyakinkan Kreditur bahwa Debitur benar-benar beritikad baik dalam meminjam dana Kreditur dan Debitur akan mengembalikan dana, berikut bunga serta biaya-biaya lain yang dapat timbul di
Universitas Sumatera Utara
52
kemudian hari oleh karena perjanjian tersebut, sebagaimana kesepakatan yang terjadi di antara mereka.
A. Perjanjian Kredit Bank Sebagai Dasar Timbulnya Kuasa Menjual Sebelum kita memasuki lebih jauh lagi perihal jenis-jenis benda jaminan apa saja yang dapat dijadikan sebagai objek jaminan, ada baiknya kita memahami lebih dahulu pengertian dari bank, pengertian kredit, serta pengertian perjanjian kredit bank sebagai perluasan dari pengertian hutang-piutang dan kemudian menjadi dasar dari timbulnya jaminan Kuasa Menjual yang diberikan oleh Debitur sebagai konsekuensi atas dana yang dipinjamkan atau hutang yang diberikan Kreditur padanya. Menurut Pasal 1 ayat (2), ayat (3), ayat (4), Bab I Ketentuan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, bahwa yang dimaksud dengan : Bank adalah “Badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.”41 Bank Umum adalah “Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.”
41
Himpunan Perundangan-Undangan Republik Indonesia Tentang Perbankan Dan Lembaga Penjamin Simpanan, Dihimpun oleh Tim Redaksi Nuansa Aulia, Bandung, 2005, hal. 72.
Universitas Sumatera Utara
53
Bank Perkreditan Rakyat adalah “Bank yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatan usahanya tidak memberikan jasa dalam lalu-lintas pembayaran.” 42 Menurut Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, bahwa Jenis Bank terdiri dari : a. Bank Umum; b. Bank Perkreditan Rakyat
Menurut Pasal 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, bahwa Usaha Bank Umum, meliputi : a. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu; b. Memberikan kredit; c. Menerbitkan surat pengakuan utang; d. Membeli, menjual atau menjamin atas resiko maupun untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya, seperti : d.1. Surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank yang masa berlakunya tidak lebih lama dari kebiasaan perdagangan surat dimaksud; d.2. Surat pengakuan utang dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya tidak lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud; d.3. Kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan pemerintah; d.4. Sertifikat Bank Indnesia (SBI); d.5. Obligasi; d.6. Surat dagang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun; d.7. Instrumen surat berharga loan yang berjangka waktu sampai 1 (satu) tahun. e. Memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah; f. Menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan dana kepada bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek atau sarana lainnya; g. Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga; h. Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat-surat berharga; 42
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
54
i. Melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak. j. Melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek; k. Membeli melalui pelelangan agunan, baik semua maupun sebahagian dalam hal Debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya; l. Melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit dan kegiatan wali amanat; m. Menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah; n. Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh perbankan sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini dan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.43 Menurut Pasal 13 Bagian Ketiga Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, bahwa Usaha Bank Perkreditan Rakyat, meliputi : a. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan dan/ atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu; b. Memberikan kredit; c. Menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah; d. Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), deposito berjangka, sertifikat deposito dan/ atau tabungan pada bank lain sebagaimana termaktub dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.44 Uraian tersebut di atas adalah merupakan salah satu usaha dari pihak perbankan termasuk Bank dalam hal memberikan kredit terhadap pihak Debitur. Sebelum pihak bank memberikan kredit kepada pihak Debitur, pihak Bank harus memperhatikan asas kehati-hatian, karena dana pinjaman yang diberikan kepada pihak Debitur tersebut bersumber dari dana masyarakat yang dipercayakan untuk disimpan oleh
43 44
Ibid, hal. 16-18. Ibid, hal. 12-13.
Universitas Sumatera Utara
55
masyarakat dalam bentuk simpanan berupa tabungan nasabah, deposito berjangka dan bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. Tujuan dari azas kehati-hatian ini diberlakukan dalam setiap langkah Bank sebagai pihak Kreditur di dalam menyalurkan dananya berupa kredit ke masyarakat selaku Debitur adalah agar pihak bank selaku Kreditur harus selalu dalam keadaan sehat, dimana uang yang diberikan dalam bentuk pinjaman dapat kembali dengan cara angsuran pembayaran kredit atau hutang oleh pihak Debitur. Menurut pendapat Muhammad Abdulkadir dan Rilda Murniati terhadap Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, bahwa : Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjammeminjam antara pihak bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.45 Menurut Muchdarsyah Sinungan, dalam bukunya brjudul “Manajemen Dana Bank”, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan : “Kredit adalah suatu pemberian prestasi oleh suatu pihak kepada pihak lain dan prestasi itu akan dikembalikan lagi pada suatu masa tertentu yang akan disertai dengan suatu kontra-prestasi berupa bunga”.46
45
Abdulkadir Muhammad, dan Rilda Murniati, Segi Hukum Lembaga Keuangan Dan Pembiayaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, Cetakan Pertama, hal. 58-85. 46 Muchdarsyah Sinungan, Manjemen Dana Bank, Bumi Aksara, Jakarta, 1989, hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
56
Perjanjian kredit bank adalah perjanjian yang isinya telah disusun oleh bank secara sepihak dalam bentuk baku mengenai kredit yang memuat hubungan hukum antara bank dengan nasabah Debitur.47 Perihal perjanjian kredit ini, dapat kita ketahui bahwa dasar dari perjanjian kredit adalah perjanjian pinjam-meminjam yang terdapat dalam Pasal 1754 KUH Perdata. Dalam Pasal tersebut dinyatakan bahwa “Perjanjian pinjam-meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabiskan karena pemakaian dengan syarat bahwa pihak yang belakang ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.” 48 Melihat pengertian dari perjanjian kredit di atas, dapat kita ambil suatu pengertian bahwa unsur-unsur dari Perjanjian Kredit adalah sama dengan unsur-unsur dari terjadinya perikatan sebagaimana terdapat dalam undang-undang. Unsur-unsur tersebut, yaitu sebagai berikut : 1. Hubungan hukum yaitu hubungan yang terhadapnya hukum melekatkan “hak” pada 1 (satu) pihak dan melekatkan “kewajiban” pada pihak lainnya, sehingga bila 1 (satu) pihak tidak mengindahkan atau melanggar hubungan tadi, maka hukum akan memaksakan agar hubungan tersebut dipenuhi atau dipulihkan kembali. 49 2. Kekayaan, yang disebut sebagai objek perikatan, artinya bahwa walaupun suatu hubungan hukum tersebut tidak dapat dinilai dengan uang, namun jika masyarakat 47
Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia, Alumni, Bandung, 2006, hal. 33. Subekti, Hukum Perjanjian (Buku I), Internusa, Jakarta, 1979, hal. 451-452. 49 Mariam Darus Badrulzaman, dkk, Op.Cit, hal. 1. 48
Universitas Sumatera Utara
57
atau rasa keadilan menghendaki agar suatu hubungan tersebut diberi akibat hukum, maka hukum akan melekatkan akibat hukum pada hubungan tadi sebagai suatu perikatan.50 3. Pihak-pihak, bahwa hubungan hukum tersebut di atas harus terjadi antara
2
(dua) orang atau lebih, yang disebut sebagai subjek perikatan, dimana terdapat pihak yang berhak atas prestasi (yaitu pihak yang aktif, bertindak sebagai Kreditur atau yang berpiutang) serta pihak yang wajib memenuhi prestasi (yaitu pihak yang pasif bertindak sebagai Debitur atau yang berhutang). 51 Marhaenis Abdul Hay dalam bukunya Hukum Perdata, memberikan beberapa pendapat perihal pengertian dari perjanjian kredit tersebut, antara lain bahwa perjanjian kredit memiliki pengertian perjanjian pinjam-mengganti, sehingga dalam masalah sengketa perjanjian kredit tersebut kita dapat mempergunakan dasar hukum perjanjian pinjam-mengganti menurut KUH Perdata tersebut. Ketentuan umum dalam pinjam mengganti menurut KUH Perdata dapat dipergunakan untuk perjanjian kredit seperti yang dimaksudkan oleh UndangUndang Pokok Perbankan. Pengertian lainnya bahwa perjanjian kredit merupakan hal yang khusus (lex specialis) dari perjanjian pinjam-mengganti. 52 Pengertian lain lagi tentang Perjanjian Kredit diberikan oleh Mariam Darus Badrulzaman, dimana beliau berkata bahwa perjanjian kredit bank adalah “Perjanjian Pendahuluan” (Voorovereenkomst) dari penyerahan uang. Perjanjian pendahuluan ini merupakan hasil permufakatan antara pemberi dan penerima pinjaman mengenai hubungan-hubungan hukum antara keduanya. Perjanjian ini bersifat konsensuil (pacta de contrahendo) obligator, yang dikuasai oleh Undang-Undang Pokok Perbankan 1967 dan Bagian Umum KUH Perdata. “Penyerahan uangnya” sendiri adalah bersifat riil. Pada saat penyerahan uangnya dilakukan, barulah berlaku ketentuan yang dituangkan dalam model perjanjian kredit bagi kedua pihak.53
50
Ibid, hal. 2. Ibid, hal. 3. 52 Muchdarsyah Sinungan, Op.Cit, hal. 155. 53 Ibid, hal. 156. 51
Universitas Sumatera Utara
58
Dari kedua pengertian yang diberikan oleh dua pakar yang berbeda di atas, yang paling mendekati kebenaran perihal pengertian perjanjian kredit bank ialah pengertian yang diberikan oleh Mariam Darul Badrulzaman, karena perjanjian kredit bank dalam pengertiannya memiliki 3 (tiga) ciri yaitu : 1. Perjanjian kredit bank bersifat konsensuil, yang tidak terdapat pada pengertian dasar dari peminjaman uang. Dalam hal ini diambil pengertian dari asas konsensuil (asas konsensualisme) bahwa untuk melahirkan perjanjian adalah cukup dengan dicapainya sepakat yang mengenai hal-hak pokok dari perjanjian tersebut, dan bahwa perjanjian itu (dan perikatan yang ditimbulkan karenanya) sudah dilahirkan pada saat atau detik tercapainya konsensus. Pada detik tersebut, perjanjian sudah sah dan mengikat, bukannya pada detik-detik lain yang terkemudian atau yang sebelumnya. Dan sekaligus perlu ditegaskan tentang detik lahirnya sepakat itu.54 2. Kredit yang diberikan oleh Bank kepada Debitur tidak dapat digunakan secara leluasa untuk keperluan atau tujuan yang tidak tertentu oleh Debitur, sebagaimana dilakukan oleh Debitur pada peminjaman uang biasa, karena pada perjanjian kredit bank, tujuan penggunaan kredit harus sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan dalam clausul perjanjian kredit yang telah dibuat oleh para pihak sesuai kesepakatan bersama. 3. Syarat dan cara penggunaan perjanjian kredit bank hanya dapat dilakukan menurut cara tertentu saja, dimana kredit tersebut tidak pernah diserahkan oleh Bank kedalam kekuasaan mutlak Debitur, namun diserahkan dalam bentuk rekening Koran yang mana penggunaannya selalu di bawah pengawasan Bank. Dalam hal
54
Subekti, Op.Cit, hal. 5.
Universitas Sumatera Utara
59
ini, tata cara penggunaan perjanjian kredit sepenuhnya diatur oleh pihak Kreditur sebagai pemberi dana dan Debitur wajib untuk mematuhinya. Selain ciri dari perjanjian kredit sebagaimana tersebut di atas, terdapat beberapa fungsi dari dilakukannya Perjanjian Kredit (khususnya perjanjian kredit yang dilakukan antara Bank sebagai Kreditur dan individu sebagai Debitur), sebagaimana diungkapkan oleh Ch. Gatot Wardoyo, perjanjian kredit mempunyai beberapa fungsi, antara lain : 1. Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidak batalnya perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya perjanjian pengikatan jaminan; 2. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan kewajiban di antara Kreditur dan Debitur; 3. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit.55 Dari ciri dan fungsi perjanjian kredit Bank yang tercantum dalam pengertian Perjanjian Kredit Bank sebagaimana tersebut di atas, maka dapat kita ketahui bahwa kuasa menjual adalah salah satu hal yang wajib untuk dimasukkan ke dalam klausul perjanjian, sehingga dapat dikatakan bahwa kuasa menjual ini adalah salah satu syarat yang harus ada dalam setiap perjanjian kredit sebagai konsekuensi bagi Debitur atas pinjaman yang diberikan Kreditur padanya. Sedangkan bagi Kreditur sendiri perihal Kuasa Menjual tersebut adalah sebagai jaminan bahwa Debitur beritikad baik bahwa uang yang dipinjamkannya tersebut akan dikembalikan berikut bunga serta biaya lain yang timbul atasnya sebagaimana telah diperjanjikan sebelumnya antara para pihak. 55
Ch. Gatot Wardoyo, Sekitar Klausul-Klausul Perjanjian Kredit Bank, Bank Dan Manajemen, November-Desember, 1992, hal. 64-69.
Universitas Sumatera Utara
60
Itikad baik maksudnya bahwa diwaktu membuat suatu perjanjian, berarti adanya kejujuran. Orang yang beritikad baik menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada pihak lawan, yang dianggapnya jujur dan tidak menyembunyikan sesuatu yang burukyang dikemudian hari dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan tertentu. Adagium ini pada hakekatnya berguna untuk melindungi pembeli namun kemudian diperluas juga untuk melindungi kedua belah pihak yang melakukan perjanjian apapun, khususnya dalam bidang keperdataan.56 Hal tersebut diatas sesuai dengan dasar hukum dari Perjanjian itu sendiri yang dituangkan di dalam pasal 1338 ayat (3) dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik (oleh para pihak yang melaksanakan perjanjian). Itikad baik tersebut harus ada pada kedua belah pihak yang melaksanakan perjanjian, sehingga itikad baik ini kemudian dijadikan oleh pembuat undang-undang menjadi salah satu hukum yang tegas dan mengikat dan memiliki sanksi apabila tidak dipenuhi, sebagai salah satu syarat untuk sahnya perjanjian, mengingat betapa pentingnya unsur itikad baik ini. Dari berbagai keterangan di atas, maka jelaslah bagi kita bahwa Perjanjian Kredit adalah sebagai dasar dan sumber utama dari timbulnya suatu Kuasa Menjual, yang artinya bahwa Kuasa Menjual timbul, karena adanya perjanjian kredit yang terjadi antara Debitur dan Kreditur sebelumnya, sehingga apabila Perjanjian Kredit tidak terjadi (tidak dilakukan oleh para pihak yang bersangkutan) maka Kuasa Menjual juga tidak akan pernah ada.
56
Ibid, hal. 17.
Universitas Sumatera Utara
61
B. Jenis-Jenis Benda Sebagai Jaminan Dalam Perjanjian Kredit Dalam perjanjian kredit, masing-masing jenis kebendaan diikat oleh lembaga jaminan dengan cara yang berbeda-beda antara satu dan lainnya. Hal tersebut terjadi, karena demikian diatur menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga sebelum kita mengetahui lembaga jaminan yang dapat mengikat objek jaminan dalam perjanjian kredit, maka sebelumnya kita harus mengetahui terlebih dahulu jenis-jenis kebendaan yang dapat dijadikan sebagai objek jaminan dalam perjanjian kredit. Oleh sebab itu, dalam bab ini penulis akan mencari tahu lalu menjelaskannya secara rinci benda-benda apa sajakah yang dapat dijadikan sebagai objek jaminan dari Kuasa Menjual atas perjanjian kredit yang terjadi antara Kreditur terhadap pinjaman dana yang diberikannya kepada Debitur. Pengaturan benda dalam KUH Perdata pada prinsipnya memuat pengertian benda, jenis-jenis benda, dan jenis-jenis hak kebendaan. Secara yuridis, yang diartikan sebagai benda (zaak) adalah segala sesuatu yang dapat menjadi objek hak milik.57 Pengertian benda yang dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang adalah meliputi barang berwujud dan tidak berwujud (hak), barang bergerak dan barang tidak bergerak. Barang tidak berwujud juga ditentukan sebagai barang bergerak dan barang tidak bergerak. Hal ini menunjukkan bahwa istilah benda bukan saja berada dalam lingkup hukum benda, tetapi juga berada dalam lapangan hukum harta kekayaan. Pengertian ini memberikan makna yang luas dari benda, sehingga ada yang berpendapat bahwa sebaiknya benda diartikan sebagai barang yang berwujud saja.58 Dalam perkembangannya, timbul pula istilah ‘barang’ yang memiliki arti yang lebih luas dari benda, dimana dikatakan dalam KUH Perdata bahwa barang adalah bagian dari benda, sehingga barang meliputi selain benda, juga adalah objek
57 58
Tan Kamelo, Op.Cit hal. 139. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
62
dari suatu hak yaitu hak-hak kekayaan, sedangkan benda merupakan sesuatu yang berobjek fisik (materi). 59 Selain pengertian benda, suatu hal yang penting dalam kaitannya dengan jaminan adalah cara membedakan benda. Menurut KUH Perdata, benda dapat dibedakan dalam beberapa jenis, yaitu benda bergerak dan tidak bergerak, benda berwujud dan benda tidak berwujud, benda yang diperdagangkan dan tidak diperdagangkan, benda yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi, benda yang sudah ada dan benda yang masih akan ada. Dari pembagian benda tersebut, yang paling penting adalah pembagian benda bergerak dan tidak bergerak.60 Bahkan, pembagian itu tidak dapat dihindarkan karena sesuai dengan kodrat alam dan akhirnya mempunyai akibat hukum (rechtsgevolg) terhadap kedudukan berkuasa (bezit), penyerahan (levering), kadaluarsa (verjaring), pembebanan (bezwaring) dan penyitaan (beslag). Dalam perkembangan selanjutnya dari pembagian benda, pembagian yang tidak kalah pentingnya dan mempunyai akibat hukum dalam bidang hukum jaminan (khususnya hak tanggungan dan jaminan fidusia) adalah benda terdaftar dan tidak terdaftar. Pendaftaran benda dilakukan di tempat pendaftaran umum, untuk memenuhi aspek publisitas dan sebagai bukti kemilikan atas benda tersebut.61
Dalam KUH Perdata, diberikan pengertian benda yaitu sesuatu yang berobjek fisik (materi), yang memiliki hubungan yang erat dengan hak milik yang kemudian menjadikan pula hak milik adalah titik sentral dari hukum benda, hal tersebut diungkapkan dalam Pasal 570, Pasal 584 dan Pasal 588 KUH Perdata, sedangkan barang meliputi selain benda juga adalah objek dari suatu hak yaitu hak-hak kekayaan. Dimana dalam Pasal 570 KUH Perdata diungkapkan bahwa hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bersalahan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan 59
Ibid, hal. 140. Ibid. 61 Ibid, hal. 141. 60
Universitas Sumatera Utara
63
yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak orang lain; kesemuanya itu dengan tidak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum berdasar atas ketentuan undang-undang dan dengan pembayaran ganti rugi.62 Dalam Pasal 584 KUH Perdata diungkapkan cara-cara memperoleh hak milik, yaitu bahwa Hak milik atas sesuatu kebendaan tak dapat diperoleh dengan cara lain, melainkan dengan pemilikan karena perlekatan, karena daluwarsa, karena pewarisan, baik menurut undang-undang maupun menurut surat wasiat, dan karena penunjukan atau penyerahan berdasar atas suatu peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik, dilakukan oleh seorang yang berhak berbuat bebas terhadap kebendaan itu.63 Dalam Pasal 588 KUH Perdata diungkapkan azas perlekatan dari suatu benda, bahwa segala apa yang melekat pada sesuatu kebendaan, atau yang merupakan sebuah tubuh dengan kebendaan itu, adalah milik dari orang yang menurut ketentuan-ketentuan tercantum dalam pasal-pasal berikut, dianggap sebagai pemiliknya.64 Dari keterangan di atas maka dapat kita ketahui bahwa benda-benda yang dapat dijadikan sebagai objek jaminan di dalam perjanjian kredit, yaitu : 1. Benda Bergerak, yaitu benda yang karena sifatnya dapat dipindahkan atau karena ditentukan undang-undang.
65
Dalam hal ini benda tersebut dibagi lagi ke dalam
beberapa kategori, yaitu benda bergerak terdaftar dan benda bergerak tidak terdaftar. Perlunya pembagian tersebut dilakukan, karena pembagian tersebut mempengaruhi jenis lembaga jaminan apakah yang akan dipakai dalam mengikat benda tersebut dalam perjanjian kredit. Dalam hal ini diuraikan sebagai berikut: Untuk benda bergerak yang terdaftar, lembaga jaminan yang dipakai adalah lembaga jaminan fidusia, dan pendaftarannya dilakukan di tempat pendaftaran umum fidusia, 62
Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Edisi Revisi, Pradnya Paramita, Jakarta, 1987, Hal. 171. 63 Ibid, hal. 174. 64 Ibid, hal. 175. 65 Op.Cit, hal. 32.
Universitas Sumatera Utara
64
untuk memenuhi aspek publisitas dan sebagai bukti kepemilikan atas benda tersebut. Benda-benda yang tergolong pada benda bergerak yang terdaftar antara lain kendaraan bermotor (Sepeda Motor, Mobil) Pesawat Udara, Kapal Laut, dan lain sebagainya. Fidusia adalah pengalihan hak kemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan si pemilik benda 66 Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tak berwujud, dan bangunan/rumah di atas tanah orang lain baik yang terdaftar atau tidak terdaftar, yang tidak dapat dibebani hak tanggungan, yang tetap dalam penguasaan pemberi fidusia sebagai agunan pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada penerima fidusia terhadap Kreditur lainnya. 67 Benda jaminan fidusia adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan, baik yang berwujud maupun yang tak berwujud, yang terdaftar maupun yang tak terdaftar, yang bergerak maupun yang tak bergerak, yang tidak dapat dibebani hak tanggungan atau hipotik.68 Lembaga jaminan fidusia ini juga dapat dipakai untuk menjamin Benda bukan tanah yang terdaftar, baik benda bukan tanah tersebut adalah benda bergerak maupun benda tidak bergerak misalnya bangunan tertentu/rumah yang memiliki bukti kepemilikan berupa sertifikat. Bukti kepemilikan ini diperlukan sebagai konsekuensi yuridis (akibat hukum) dari prinsip horisontal.
66
Ibid, hal. 30. Ibid, hal. 31. 68 Ibid. 67
Universitas Sumatera Utara
65
Prinsip horisontal memiliki konsekuensi yuridis bahwa tanah dan bendabenda lain yang ada diatasnya merupakan dua benda yang masing-masing berdiri sendiri. Hal ini berarti pemilik bangunan gedung/rumah dapat saja menjual bangunan gedung/rumah tersebut kepada pihak lain atau menjaminkannya kepada pihak Bank untuk mendapatkan kredit (secara terpisah dari tanahnya). Lembaga jaminan fidusia ini dibebankan terhadap benda bukan tanah sebagai jaminan kredit yang mana penguasaan fisik atas benda tersebut tetap berada di tangan Debitur. Untuk benda bergerak yang tidak terdaftar, lembaga jaminan yang dipakai adalah lembaga gadai (Pand). Dimana yang dapat dipakai sebagai objek jaminannya antara lain perhiasan, perabot rumah tangga, dan benda bergerak lainnya. Dasar hukum tentang gadai ini tunduk pada peraturan yang ada di dalam Buku II KUH Perdata Bab XX tentang Kebendaan. Lembaga gadai ini dibebankan terhadap benda bukan tanah, yang mana penguasaan secara fisik atas benda tersebut sepenuhnya diserahkan kepada Kreditur. Benda yang dijaminkan atau digadaikan tersebut berada di bawah penguasaan Kreditur selama kredit/hutang Debitur belum dilunasinya, hingga tiba masa/tenggang waktu yang diberikan Kreditur untuk melunaskan hutang Debitur berakhir, apabila Debitur telah selesai melunasi kredit/hutangnya tersebut, maka barang atau benda yang dijadikan jaminan atas kreditnya tersebut (jaminan gadai) akan dikembalikan kepada Debitur.
Universitas Sumatera Utara
66
Namun jika ternyata Debitur tidak mampu untuk melunasi kredit/hutangnya tersebut, maka benda yang dijadikan jaminan tersebut kemudian menjadi hak milik serta penguasaan penuh Kreditur sebagai kompensasi atau penggantian pembayaran hutang Debitur kepada Kreditur tersebut. Sehingga akibat kompensasi atau penggantian pembayaran hutang tersebut, maka Debitur tidak memiliki hak apapun lagi atas benda atau barang yang dijaminkan tersebut, karena sejak Debitur tidak mampu melunasi hutangnya tersebut, maka sejak itu pula terjadi pengalihan hak kepemilikan atas benda atau barang yang dijaminkan tersebut, dari milik Debitur, menjadi milik Kreditur sepenuhnya. 2. Benda Tidak Bergerak, lembaga jaminan yang dipakai untuk mengikatnya ke dalam suatu perjanjian kredit adalah Hak Tanggungan. Dalam hal ini objek jaminan haruslah berupa benda tidak bergerak berbentuk tanah. Dan, dalam proses pengikatannya juga harus dilakukan ke dalam akta atau dokumen tersendiri yaitu dalam bentuk Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) yang dilakukan secara terpisah dari perjanjian tersebut namun adalah merupakan satu kesatuan yang utuh dan bulat dari perjanjian kredit itu sendiri. Sebelum kita mengenal lebih dalam lagi perihal Hak Tanggungan ini, ada baiknya kita mengerti terlebih dahulu pengertian dasar dari Hak Tanggungan itu sendiri. Pengertian dasar dari Hak Tanggungan tersebut yang dirumuskan secara rinci di dalam dasar hukumnya yaitu Pasal 1 butir (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, yang isinya sebagai berikut : Hak Tanggungan atas Tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut hak tanggungan,
Universitas Sumatera Utara
67
adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur lain. 69 Dari rumusan Pasal 1 butir (1) Undang-Undang Hak Tanggungan tersebut dapat diketahui bahwa pada dasarnya suatu Hak Tanggungan adalah suatu bentuk jaminan pelunasan hutang, dengan hak mendahulu, dengan objek jaminannya berupa Hak-hak Atas Tanah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau Undang-Undang Pokok Agraria (untuk selanjutnya disebut UUPA). 70 Dari penjelasan tersebut di atas, dapat kita ketahui bahwa Hak Tanggungan sebagaimana defenisi yang diuraikan dalam pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, sebagaimana tersebut di atas, jelas merupakan salah satu jenis jaminan kebendaan walaupun tidak dinyatakan secara tegas, adalah jaminan yang lahir dari suatu perjanjian. Di dalam proses pembuatan Hak Tanggungan ini juga hanya dimungkinkan jika dibuat dalam bentuk perjanjian. Hal tersebut telah dinyatakan di dalam UndangUndang yang sama, yaitu Pasal 10 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, yang berbunyi: (1) Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan hutang tertentu, yang dituangkan di
69
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Hak Tanggungan, Prenada Media-Kencana, Jakarta, 2005, hal. 13. 70 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
68
dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian kredit yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan hutang tersebut. (2) Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh PPAT sesuai dengan peraturan
perundang-
undangan yang berlaku. (3) Apabila objek Hak Tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat, untuk didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan, pemberian Hak Tanggungan dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan. Dari pasal diatas, dapat dikatakan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) adalah merupakan bagian dari perjanjian kredit yang dilakukan secara terpisah namun tetap merupakan satu kesatuan dalam perjanjian kredit yang tidak dapat dikenai Kuasa Menjual oleh Debitur terhadap Kreditur sebagai konsekuensi atas hutang yang dimilikinya tersebut. Menurut Djaja S. Meliala, berdasarkan Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan butir (3) menyatakan bahwa Hak Tanggungan merupakan suatu lembaga hak jaminan atas tanah yang kuat dengan ciri-ciri : 1
Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulukan kepada pemegangnya (droit de preference), Pasal 1 butir (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. 2. Selalu mengikuti objek yang dijaminkan dalam tangan siapapun objek itu berada (droit de suite), Pasal 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996.
Universitas Sumatera Utara
69
3. Memenuhi asas spesialitas dan asas publisitas, sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Memenuhi asas spesialitas (Pasal 11 butir (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun tentang Hak Tanggungan) maksudnya ditentukan objeknya, besarnya nilai tanggungan dan identitas para pihak. Sedangkan memenuhi asas publisitas (Pasal 13 butir Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan), berarti pemberian hak tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya (Pasal 6 jo. Pasal 26 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan).71
Dalam hak tanggungan ini juga diberlakukan asas pemisahan horisontal, sebagaimana terhadap benda bergerak yang dijamin dengan jaminan fidusia, sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Dan sebagai konsekuensinya juga berlaku hal yang sama yaitu bahwa terjadinya pemisahan antara tanah dan segala sesuatu yang ada di atasnya, termasuk rumah/bangunan lainnya . Dalam perkembangan selanjutnya, asas pemisahan horisontal ini dapat dilentur sesuai dengan perubahan hukum dan kenyataan yang ada di dalam masyarakat. Hal itu dapat terjadi karena masyarakat bersifat fleksibel, yang selalu mengikuti perkembangan zaman, sehingga diharapkan hukum juga harus dapat mengikuti perkembangan masyarakat tersebut, seiring dengan perkembangan zaman yang ada sebagai contohnya, Undang-Undang Hak Tanggungan menganut asas pemisahan horisontal yang tidak bersifat mutlak, artinya bahwa bangunan/ rumah, tanaman, hasil karya dimungkinkan juga untuk dibebankan dengan hak tanggungan sepanjang
71
Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda Dan Hukum Perikatan, Nuansa Aulia, Bandung, 2007, hal. 53.
Universitas Sumatera Utara
70
merupakan satu kesatuan dengan tanah dan hal tersebut harus dinyatakan secara tegas di dalam akta pemberian Hak Tanggungan.
C. Objek Jaminan Yang Dapat Dikenakan Kuasa Menjual dalam Perjanjian Kredit Setelah jenis-jenis benda yang dapat digunakan untuk jaminan dalam perjanjian kredit telah dijelaskan dengan lengkap di atas, maka sekarang penulis akan mencoba untuk menjelaskan jenis-jenis benda sebagai objek jaminan yang dapat dikenai Kuasa Menjual di dalam perjanjian kredit. Berdasarkan penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan, Bank dimungkinkan menerima agunan berupa tanah yang kepemilikannya didasarkan pada hukum adat, yaitu tanah yang bukti kepemilikannya berupa girik, petuk, dan lain-ain sejenisnya, sementara pengikatan jaminan atas tanah tersebut tidak dapat dilakukan dengan Hak Tanggungan, maka Bank kadangkala menggunakan Kuasa Menjual untuk mengikat objek jaminan atas tanah dengan bukti kepemilikan yang belum bersertifikat. 72 Dengan adanya Kuasa Menjual yang diperoleh Bank berdasarkan perjanjian dari nasabah Debiturnya, maka terjadilah hubungan hukum antara pemberi kuasa (last gever) dengan penerima kuasa (last hebber) yang selanjutnya penerima kuasa tidak bertindak untuk dirinya sendiri, akan tetapi ia bertindak untuk kepentingan pemberi
72
Pieter Latumeten, Kebatalan dan Degradasi Kekuatan Bukti Akta Notaris serta Model Aktanya, Makalah, Kongres XX Ikatan Notaris Indonesia, Surabaya, 2009, hal. 18.
Universitas Sumatera Utara
71
kuasa (yaitu menjual aset milik pemberi kuasa dalam rangka melunasi hutang/kredit yang dimilikinya pada penerima kuasa). Dari keterangan di atas, dapat diketahui bahwa objek jaminan yang dapat dikenai Kuasa Menjual di dalam perjanjian kredit adalah : 1. Hak atas tanah yang belum terdaftar, yaitu hak atas tanah yang masih dalam bentuk SK Camat, Lurah yang belum didaftarkan ke lembaga yang berwenang untuk itu, sehingga dokumen hak atas tanahnya belum berbentuk sertifikat. 2. Hak atas tanah yang tidak terdaftar pada badan yang berwenang, karena masih berasal dari konversi hak-hak lama yang belum didaftarkan atas pendaftaran hak atas tanah untuk pertama sekali
73
(misalnya tanah dengan hak ex. hak eigendom
atau Grant Sultan, yaitu hak yang apabila dikonversi dapat menjadi hak milik, hak eigendom yang apabila dikonversi dapat menjadi Hak Guna Bangunan, Hak Erfpacht, yang apabila dikonversi dapat menjadi Hak Guna Usaha, hak Opstal yang apabila dikonversi dapat menjadi Hak Pakai, maupun hak lainnya) terhadap hak-hak atas tanah sebagaimana tersebut diatas, tidak dapat dibebani Hak Tanggungan. 3. Tanah yang kepemilikannya masih didasarkan pada hukum adat
74
yaitu tanah
yang bukti kepemilikannya berupa girik, petuk, dan lain-lain sejenisnya, sehingga pengikatan jaminan atas tanah tersebut tidak dapat dilakukan dengan Hak Tanggungan.
73 74
A.P. Parlindungan, Pendaftaran Tanah Di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1999, hal. 111. Ibid
Universitas Sumatera Utara
72
Dalam praktek perbankan, akta pengakuan hutang dan kuasa menjual dibuat secara terpisah, dan kuasa menjual dibuat sebagai jaminan, bilamana jika Debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada Kreditur, maka Kreditur dapat langsung menjual bidang tanah kepada pihak lain dan hasil penjualannya untuk melunasi hutang Debitur kepada Kreditur.75 Dari keterangan di atas dapat diketahui bahwa Kuasa Menjual dibuat secara terpisah dengan Akta Perjanjian Kredit namun keduanya adalah satu kesatuan yang bulat dan utuh serta tak terpisahkan karena Kuasa Menjual timbul karena adanya perjanjian kredit antara para pihak yang kemudian dituangkan ke dalam suatu akta yaitu Akta Pengakuan hutang. Jadi, dapat kita mengerti bahwa perjanjian kredit adalah sumber utama dari timbulnya Kuasa Menjual itu sendiri. Hal tersebut dapat terjadi, karena kuasa menjual terhadap objek jaminan tidak akan dapat terjadi apabila tidak ada perjanjian kredit yang terjadi sebelumnya di antara para pihak yang bersangkutan. Kuasa menjual ini juga diatur sekilas dalam Pasal 12 A Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang menyebutkan bahwa Bank Umum dapat membeli barang agunan melalui pelelangan umum, ataupun di luar pelelangan berdasarkan peyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa dari pemilik agunan untuk menjual di luar lelang, dalam hal nasabah Debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada Bank. Namun demikian, agunan yang dibeli oleh bank tersebut tidak dapat dimiliki oleh Bank. Bank harus mencairkan ataupun menjual agunan yang dibeli tersebut secepatnya, paling lambat dalam waktu satu tahun. 76 Dari penjelasan tersebut di atas dapat juga kita ketahui bahwa Kuasa Menjual ini dapat dilakukan oleh Bank untuk menjual agunan nasabah Debitur yang tidak
75
Pieter Latumeten, Op.Cit. Suharnoko, Hukum Perjanjian- Teori dan Analisa Kasus, Prenada Media-Kencana, Jakarta, 2008, hal. 29. 76
Universitas Sumatera Utara
73
dapat memenuhi kewajibannya namun hal tersebut harus dilakukan dengan beberapa syarat, yaitu : 1. Bahwa kuasa menjual tersebut harus diberikan oleh nasabah Debitur secara langsung kepada Bank (dalam hal ini Bank yang menerima kuasa tersebut bukanlah sebagai pihak ketiga yang bertindak untuk kepentingan Debitur terhadap kredit yang dimilikinya kepada Bank). 2. Bahwa penjualan atas benda atau barang jaminan/agunan tersebut harus dilakukan diluar dari pelelangan umum. 3. Bahwa penjualan agunan harus dilakukan oleh Bank hanya apabila Debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya untuk membayar kredit serta biaya lain yang timbul dalam perjanjian kredit tersebut. 4. Bahwa benda/barang jaminan atau agunan tersebut tidak dapat dimiliki oleh Bank secara langsung atau otomatis, begitu Debitur wanprestasi atau tidak dapat memenuhi kewajibannya untuk membayar kredit/hutangnya tersebut kepada Kreditur. 5. Bahwa benda/barang yang dijadikan jaminan/agunan tersebut harus dicairkan atau dijual secepatnya, oleh Kreditur kepada pihak lain, lewat proses penjualan secara biasa, dalam tempo selambatnya 1 (satu) tahun. 6. Bahwa hasil penjualan agunan tersebut harus segera digunakan untuk pelunasan kredit Debitur terhadap Bank serta untuk menutupi biaya lainnya yang timbul atas peristiwa tersebut, sedangkan sisa dari hasil penjualan agunan tersebut harus
Universitas Sumatera Utara
74
dikembalikan segera mungkin kepada Debitur, agar jangan sampai Debitur merasa dirugikan.
Universitas Sumatera Utara