BAB II HUTAN MANGROVE DAN STOK KARBON A. Hutan Mangrove 1. Pengertian Mangrove Istilah mangrove sering digunakan untuk dua konsep yang berbeda.Pertama, istilah mangrove digunakan untuk menggambarkan suatu gugus ekologis dari jenis tumbuhan halofitik.Kedua, mangrove digunakan untuk menggambarkan suatu kompleks komunitas tumbuhan tepi yang menutup daerah pantai.Dengan demikian mangrove dapat didefinisikan sebagai suatu formasi hutan yang dipengaruhi pasang surut air laut dengan keadaan tanah yang anaerobik (Adisendjaja, 2001). Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut.Mangrove tumbuh pada pantai-pantai yang terlindung atau pantai-pantai yang datar, biasanya di sepanjang sisi pulau yang terlindung dari angin atau di belakang terumbu karang di lepas pantai yang terlindung (Nybakken, 1992). Keberadaan hutan mangrove di Cagar Alam Leuweung Sancang bisa dikatakan unik, sebab lokasi tersebut berada di pantai selatan Pulau Jawa yang umumnya didominasi oleh bebatuan dan pasir putih.Kondisi salinitas sangat mempengaruhi komposisi mangrove. Berbagai jenis mangrove mengatasi kadar salinitas dengan cara yang berbeda-beda. Beberapa diantaranya secara selektif mampu menghindari penyerapan garam dari media tumbuhnya, sementara beberapa
6
7
jenis yang lainnya mampu mengeluarkan garam dari kelenjar khusus pada daunnya.(Rusila, et al., 1999). Berdasarkan jenis vegetasinya, tumbuhan mangrove secara umum terbagi kepada 3 zonasi, yaitu vegetasi inti, vegetasi marginal, dan vegetasi fakultatif marginal (Lugo dan Snedaker, 1974). Berikut penjelasannya: a) Vegetasi inti, jenis ini membentuk hutan mangrove di daerah zona intertidal yang mampu bertahan terhadap pengaruh salinitas (garam), yang disebut tumbuhan halophyta. Kebanyakan jenis mangrove mempunyai adaptasi khusus yang memungkinkan untuk tumbuh dan berkembang dalam substrat/lahan mangrove seperti kemampuan berkembang biak, toleransi terhadap kadar garam tinggi, kemampuan bertahan terhadap perendaman oleh pasang surut, memiliki pneumatofor atau akar napas, bersifat sukulentis dan kelenjar yang mengeluarkan garam. Lima jenis mangrove paling utama adalah Rhizophora mangle. L., Rhizophora harrisonii leechman (Rhizoporaceae), Pelliciera rhizophorae triana dan Planchon (Pelliceriaceae), Avicennia germinans L (Avicenniaceae)dan Laguncularia racemosa L. gaertn. (Combretaceae). b) Vegetasi marginal, jenis ini biasanya dihubungkan dengan mangrove yang berada di darat, di rawa musiman, pantai dan/atau habitat mangrove marginal. Meskipun demikian vegetasi ini tetap tergolong mangrove. Jenis Conocarpus erecta (Combretaceae) tidak ditemukan di dalam vegetasi mangrove biasa. Mora oleifera (Triana) dan Duke (Leguminosae) jumlahnya berlimpah-limpah di
8
selatan pantai pasifik, terutama di Semenanjung De Osayang mangrovenya berkembang dalam rawa musiman pada salinitas sebesar 25 promil. Jenis yang lain adalah Annona glabra L (Annonaceae),Pterocarpus officinalis jacq (Leguminosae),Hibiscus tiliaceus L., dan Pavonia spicata killip. (Malvaceae).Jenis pakis-pakisan seperti Acrostichum aureum L. (Polipodiaceae) adalah yang sangat luas penyebarannya di dalam zona air payau dan merupakan suatu ancaman terhadap semaian bibit untuk regenerasi. c) Vegetasi
fakultatif marginal, Carapa
guianensis
(Meliaceae)
tumbuh
berkembang di daerah dengan kadar garam sekitar 10 ‰. Jenis lain adalah Elaeis oleifera dan Raphia taedigera. Tumbuhan mangrove di daerah zona interterrestrial yang pengaruh iklim khatulistiwanya semakin terasa, banyak ditumbuhi oleh Melaleuca leucadendron rawa (misalnya selatan Vietnam). Jenis ini banyak digunakan untuk pembangunan oleh manusia. Lugo dan Snedaker (1974) mengidentifkasi dan menggolongkan mangrove menurut enam jenis kelompok (komunitas) berdasar pada bentuk hutan, proses geologi dan hidrologi. Masingmasing jenis memiliki karakteristik satuan lingkungan seperti jenis lahan dan kedalaman, kisaran kadar garam tanah/lahan, dan frekuensi penggenangan. Masing-masing kelompok mempunyai karakteristik yang sama dalam hal produksi primer, dekomposisi serasah dan ekspor karbon dengan perbedaan dalam tingkat daur ulang nutrien, serta komponen penyusun kelompok.
9
2. Manfaat dan Fungsi Mangrove Mangrove merupakan ekosistem yang sangat produktif. Berbagai produk dari mangrove dapat dihasilkan baik secara langsung maupun tidak langsung, diantaranya: kayu bakar, bahan bangunan, keperluan rumah tangga, kertas, kulit, obat-obatan dan perikanan. Melihat beragamnya manfaat mangrove, maka tingkat dan laju perekonomian pedesaan yang berada di kawasan pesisir seringkali sangat bergantung pada habitat mangrove yang ada di sekitarnya.Contohnya, perikanan pantai yang sangat dipengaruhi oleh keberadaan mangrove, merupakan produk yang secara tidak langsung mempengaruhi taraf hidup dan perekonomian desa-desa nelayan.Sejarah pemanfaatan mangrove secara tradisional oleh masyarakat untuk kayu bakar dan bangunan telah berlangsung sejak lama.Bahkan pemanfaatan mangrove untuk tujuan komersial seperti ekspor kayu, kulit (untuk tanin) dan arang juga memiliki sejarah yang panjang.Pembuatan arang mangrove telah berlangsung sejak abad yang lalu di Riau dan masih berlangsung hingga kini. Nampaknya produk yang paling memiliki nilai ekonomis tinggi dari ekosistem mangrove adalah perikanan pesisir.Banyak jenis ikan yang bernilai ekonomi tinggi menghabiskan sebagian siklus hidupnya pada habitat mangrove (Sasekumaret al., 1992).Kakap (Lates calcacifer), kepiting mangrove (Scylla serrata) serta ikan salmon (Polynemus sheridani) merupakan jenis ikan yang secara langsung bergantung kepada habitat mangrove (Rusila, Khazali, dan Suryadiputra, 1999). Keberadaan mangrove berkaitan erat dengan tingkat produksi perikanan. Di Indonesia hal ini dapat dilihat bahwa daerah-daerah perikanan potensial seperti di
10
perairan sebelah timur Sumatera, pantai selatan dan timur Kalimantan, pantai Cilacap dan pantai selatan Irian Jaya yang kesemuanya masih berbatasan dengan hutan mangrove yang cukup luas dan bahkan masih perawan (Rusila, et al., 1999). Sebaliknya, menurunnya produksi perikanan di Bagan Siapi-api, yang sebelum perang dunia II merupakan penghasil ikan utama di Indonesia bahkan sebagai salah satu penghasil ikan utama di dunia, salah satunya disebabkan oleh rusaknya mangrove di daerah sekitarnya (Rusila, et al., 1999). Peranan mangrove dalam menunjang kegiatan perikanan pantai dapat disarikan dalam dua hal.Pertama, mangrove berperan penting dalam siklus hidup berbagai jenis ikan, udang dan moluska, karena lingkungan mangrove menyediakan perlindungan dan makanan berupa bahan-bahan organik yang masuk kedalam rantai makanan.Kedua, mangrove merupakan pemasok bahan organik, sehingga dapat menyediakan makanan untuk organisme yang hidup pada perairan sekitarnya (Rusila, et al., 1999).Produksi serasah mangrove berperan penting dalam kesuburan perairan pesisir dan hutan mangrove dianggap yang paling produktif diantara ekosistem pesisir. Di Indonesia, produksi serasah mangrove berkisar antara 7 – 8 ton/ha/ tahun (Nontji, 1987). Mangrove memiliki peranan penting dalam melindungi pantai dari gelombang, angin dan badai.Tegakan mangrove dapat melindungi pemukiman, bangunan dan pertanian dari angin kencang atau intrusi air laut.Mangrove juga terbukti memainkan peran penting dalam melindungi pesisir dari gempuran badai.Dusun Tongke-tongke dan Pangasa, Sinjai, Sulawesi Selatan yang memiliki
11
barisan mangrove yang tebal di pantai terlindung dari gelombang pasang (Tsunami) di pulau Flores pada akhir tahun 1993. Manfaat lain dari mangrove yang dapat kita pelajari berhubungan dengan akar dan substrat. Kemampuan mangrove untuk mengembangkan wilayahnya ke arah laut merupakan salah satu peran penting mangrove dalam pembentukan lahan baru.Akar mangrove mampu mengikat dan menyetabilkan substrat lumpur, pohonnya mengurangi energi gelombang dan memperlambat arus, sementara vegetasi secara keseluruhan dapat memerangkap sedimen (Rusila, et al., 1999). Berbagai penelitian (Chapman, 1977) kemudian menyebutkan bahwa proses pengikatan dan penyetabilan tersebut ternyata hanya terjadi pada pantai yang telah berkembang. Satu hal yang penting adalah vegetasi mangrove mempunyai peranan yang besar dalam mempertahankan lahan yang telah dikolonisasinya, terutama dari ombak dan arus laut.Pada pulau-pulau di daerah delta yang berlumpur halus ditumbuhi mangrove, peranan mangrove sangat besar untuk mempertahankan pulau tersebut.Sebaliknya, pada pulau yang hilang mangrovenya, pulau tersebut mudah disapu ombak dan arus musiman (Rusila, et al., 1999). Saat ini di seluruh dunia terjadi peningkatan hilangnya sumberdaya mangrove yang disebabkan adanya pemanfaatan yang tidak berkelanjutan serta pengalihan peruntukan (Rusila, et al., 1999). Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Dalam Rusila, Khazali dan Suryadiputra (1999), dari penghitungan diketahui luas mangrove yang tersisa pada tahun 1990 hanya sekitar 2,49 juta hektar (60%). Dari luasan areal mangrove yang tersisa tersebut, 58% diantaranya terdapat di Papua, dan hanya 11%
12
tersisa di Jawa. Sejalan dengan hal tersebut, laju hilangnya mangrove hingga tahun 1990 juga sangat beragam, antara hampir 10% di Papua hingga hampir 100% di Jawa Timur. Berdasarkan penghitungan diatas, jika perkiraan luas areal mangrove yang tersisa di Indonesia sekitar 2,49 juta hektar (1987- 1990) dapat diterima, maka hal tersebut berarti bahwa pada akhir tahun 1980-an, Indonesia telah kehilangan sekitar 40% areal mangrovenya (Rusila, et al., 1999). Hal yang perlu dicatat dari uraian diatas adalah mungkin luas areal mangrove yang dihitung merupakan jumlah yang optimistis.Dengan melihat kondisi lapangan saat ini, kemungkinan luasan mangrove tersebut sudah berkurang, yang berarti jumlah areal mangrove yang hilang semakin bertambah. Selain manfaat dan fungsi yang disebutkan diatas hutan mangrove juga memiliki fungsi sebagai penyimpan karbon.Dalam Dharmawan dan Chairil(2008) menyebutkan bahwa hutan mangrove memiliki potensi kandungan biomassa total sebesar 364,9 ton/ha dan kandungan karbon sebesar 182,5 ton karbon/ha. Bila dihubungkan dengan luas hutan mangrove sekarang ini yang sudah banyak hilang, bisa diasumsikan bahwa banyak pula gas CO2 diudara yang tidak terserap.
B. Biomassa dan StokKarbon Hutan 1. Konsep dasar Biomassa dan Stok Karbon Hutan
13
Biomassa adalah total berat atau volume organisme dalam suatu area atau volume tertentu (a glossary by the IPCC,1995). Biomassa juga didefinisikan sebagai total jumlah materi hidup di atas permukaan pada suatu pohon dan dinyatakan dengan satuan ton berat kering per satuan luas (Sutaryo, 2009). Biomassa hutan sangat relevan dengan isu perubahan iklim.Biomassa hutan berperan penting dalam siklus biogeokimia terutama dalam siklus karbon.Dari keseluruhan karbon hutan, sekitar 50% diantaranya tersimpan dalam vegetasi hutan. Sebagai konsekuensi, jika terjadi kerusakan hutan, kebakaran, pembalakan dan sebagainya akan menambah jumlah karbon di atmosfer. Dinamika karbon di alam dapat dijelaskan secara sederhana dengan siklus karbon.Siklus karbon adalah siklus biogeokimia yang mencakup pertukaran atau perpindahan karbon diantara biosfer, pedosfer, geosfer, hidrosfer dan atmosfer bumi. Siklus karbon sesungguhnya merupakan suatu proses yang rumit dan setiap proses salingmempengaruhi proses lainnya (Sutaryo, 2009). Tumbuhan memerlukan sinar matahari, gas karbondioksida (CO2) yang diserap dari udara serta air dan hara yang diserap
dari dalam tanah untuk
kelangsungan hidupnya. Melalui proses fotosintesis, CO2 di udara diserap oleh tumbuhan dan diubah menjadi karbohidrat, kemudian disebarkan ke seluruh tubuh tanaman dan akhirnya ditimbun dalam tubuh tanaman berupa daun, batang, ranting, bunga dan buah (Hairiah danRahayu, 2007). Proses penimbunan karbon (C) dalam tubuh tumbuhan hidup dinamakan proses sekuestrasi (C- sequestration). Dengan demikian mengukur jumlah C yang
14
disimpan dalam tubuh tanaman hidup (biomassa) pada suatu lahan dapat menggambarkan banyaknya CO2 di atmosfer yang diserap oleh tanaman.Sedangkan pengukuran C yang masih tersimpan dalam bagian tumbuhan yang telah mati (nekromasa) secara tidak langsung menggambarkan CO2 yang tidak dilepaskan ke udara lewat pembakaran(Hairiah dan Rahayu, 2007). Tumbuhan akan mengurangi karbon di atmosfer (CO2) melalui proses fotosinthesis dan menyimpannya dalam jaringan tumbuhan. Sampai waktunya karbon tersebut tersikluskan kembali ke atmosfer, karbon tersebut akan menempati salah satu dari sejumlah kantong karbon. Semua komponen penyusun vegetasi baik pohon, semak, liana dan epifit merupakan bagian dari biomassa atas permukaan.Di bawah permukaan tanah, akar tumbuhan juga merupakan penyimpan karbon selain tanah itu sendiri.Pada tanah gambut, jumlah simpanan karbon mungkin lebih besar dibandingkan dengan simpanan karbon yang ada di atas permukaan.Karbon juga masih tersimpan pada bahan organik mati dan produk-produk berbasis biomassa seperti produk kayu baik ketika masih dipergunakan maupun sudah berada di tempat penimbunan.Karbon dapat tersimpan dalam kantong karbon dalam periode yang lama atau hanya sebentar.Peningkatan jumlah karbon yang tersimpan dalam karbon pool ini mewakili jumlah karbon yang terserap dari atmosfer.Dalam inventarisasi karbon hutan, karbon pool yang diperhitungkan setidaknya ada 4 kantong karbon.Keempat kantong karbon tersebut adalah biomassa atas permukaan (above ground), biomassa bawah permukaan, bahan organik mati dan karbon organik tanah.Kantong karbon yang diinveritarisasikan oleh vegetasi yaitu:
15
1. Biomassa atas permukaan (above ground) adalah semua material hidup di atas permukaan. Bagian dari kantong karbon ini adalah batang, tunggul, cabang, kulit kayu, biji dan daun dari vegetasi baik dari strata pohon maupun dari strata tumbuhan bawah di lantai hutan. 2. Biomassa bawah permukaan adalah semua biomassa dari akar tumbuhan yang hidup. Pengertian akar ini berlaku hingga ukuran diameter tertentu yang ditetapkan. Hal ini dilakukan sebab akar tumbuhan dengan diameter yang lebih kecil dari ketentuan cenderung sulit untuk dibedakan dengan bahan organik tanah dan serasah. Cadangan karbon pada suatu sistem penggunaan lahan dipengaruhi oleh jenis vegetasinya. Suatu sistem penggunaan lahan yang terdiri dari pohon dengan spesies yang mempunyai nilai kerapatan kayu tinggi, biomassanya akan lebih tinggi bila dibandingkan dengan lahan yang mempunyai jenis dengan nilai kerapatan kayu rendah. Biomassa pohon (dalam berat kering) dihitung menggunakan allometric equation berdasarkan pada diameter batang setinggi 1,3 m di atas permukaan tanah (Rahayu, et al.,2007). Perubahan iklim global yang terjadi akhir-akhir ini disebabkan karena terganggunya keseimbangan energi antara bumi dan atmosfer. Keseimbangan tersebut dipengaruhi antara lain oleh peningkatan gas-gas asam arang atau karbondioksida (CO2), metana (CH4) dan nitrogen oksida (N2O) yang lebih dikenal dengan gas rumah kaca (GRK). Saat ini konsentrasi GRK sudah mencapai tingkat yang membahayakan
16
iklim bumi dan keseimbangan ekosistem (Hairiah dan Rahayu, 2007). Konsentrasi GRK di atmosfer meningkat sebagai akibat adanya pengelolaan lahan yang kurang tepat, antara lain adanya pembakaran vegetasi hutan dalam skala luas pada waktu yang bersamaan dan adanya pengeringan lahan gambut. Kegiatan tersebut umumnya dilakukan pada awal alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian.Kebakaran hutan dan lahan serta gangguan lahan lainnya telah menempatkan Indonesia dalam urutan ketiga negara penghasil emisi CO2 terbesar di dunia.Indonesia berada di bawah Amerika Serikat dan China, dengan jumlah emisi yang dihasilkan mencapai dua miliar ton CO2 pertahunnya atau menyumbang 10% dari emisi CO2 di dunia (Hairiah danRahayu, 2007). Lebih lanjut Hairiah dan Rahayu (2007) mengatakan, tumbuhan atau pohon berumur panjang yang tumbuh di hutan maupun di kebun campuran (agroforestri) merupakan tempat penimbunan atau penyimpanan karbon (rosot C = C sink) yang jauh lebih besar daripada tanaman semusim. Oleh karena itu, hutan alami dengan keragaman jenis pepohonan berumur panjang dan serasah yang banyak merupakan gudang penyimpanan karbon tertinggi (baik di atas maupun di dalam tanah).Hutan juga melepaskan CO2 ke udara lewat respirasi dan dekomposisi (pelapukan) serasah, namun pelepasannya terjadi secara bertahap, tidak sebesar bila ada pembakaran yang melepaskan CO2 sekaligus dalam jumlah yang besar. Bila hutan diubah fungsinya menjadi lahan-lahan pertanian atau perkebunan atau ladang pengembalaan maka karbon tersimpan akan merosot.
17
Berkenaan dengan upaya pengembangan lingkungan bersih, maka jumlah CO2 di udara harus dikendalikan dengan jalan meningkatkan jumlah serapan CO2 oleh tanaman sebanyak mungkin dan menekan pelepasan (emisi) CO2 ke udara serendah mungkin.Jadi, mempertahankan keutuhan hutan alami, menanam pepohonan pada lahan-lahan pertanian, dan melindungi lahan gambut sangat penting untuk mengurangi jumlah CO2 yang berlebihan di udara. Jumlah karbon tersimpan dalam setiap penggunaan lahan tanaman, seresah dan tanah, biasanya disebut juga sebagai cadangan karbon. Jumlah karbon tersimpan antar lahan berbeda-beda, tergantung pada keragaman dan kerapatan tumbuhan yang ada, jenis tanahnya serta cara pengelolaannya. Penyimpanan karbon suatu lahan menjadi lebih besar bila kondisi kesuburan tanahnya baik, atau dengan kata lain jumlah karbon tersimpan di atas tanah (biomassa tanaman) ditentukan oleh besarnya jumlah karbon tersimpan di dalam tanah (bahan organik tanah, BOT) (Hairiah dan Rahayu, 2007). Penebangan hutan akan menyebabkan terbukanya permukaan tanah terhadap radiasi dan cahaya matahari. Dampak langsungnya adalah meningkatnya suhu tanah dan turunnya kadar air tanah. Dampak langsung lainnya dari kegiatan penebangan hutan adalah menurunnya cadangan karbon atas-permukaan (above-ground carbon stocks) dan selanjutnya akan mempengaruhi penyusutan cadangan karbon bawah permukaan (below-ground carbon stocks) (Murdiyarso et al., 2004).
18
Aliran karbon dari atmosfir ke vegetasi merupakan aliran yang bersifat dua arah, yaitu pengikatan CO2 ke dalam biomassa melalui fotosintesis dan pelepasan CO2 ke atmosfir melalui proses dekomposisi dan pembakaran. Diperkirakan sekitar 60 Pg karbon mengalir antara ekosistem daratan dan atmosfir setiap tahunnya, dan sebesar 0,7 ± 1,0 Pg karbon diserap oleh ekosistem daratan. Alih guna lahan dan konversi hutan merupakan sumber utama emisi CO2 dengan jumlah sebesar 1,7 ± 0,6 Pg karbon pertahun. Apabila laju konsumsi bahan bakar dan pertumbuhan ekonomi global terus berlanjut seperti yang terjadi pada saat ini, maka dalam jangka waktu 100 tahun yang akan datang suhu global rata-rata akan meningkat sekitar 1,7 - 4,5oC (Rahayu et al., 2007). Kegiatan konversi hutan menjadi lahan pertanian melepaskan cadangan karbon ke atmosfir dalam jumlah yang cukup berarti.Namun jumlah tersebut tidak memberikan dampak yang berarti terhadap jumlah CO2 yang mampu diserap oleh hutan dan daratan secara keseluruhan. Dampak konversi hutan ini baru terasa apabila diikuti dengan degradasi tanah dan hilangnya vegetasi, serta berkurangnya proses fotosintesis akibat munculnya hutan beton serta lahan yang dipenuhi bangunanbangunan dari aspal sebagai pengganti tanah atau rumput. Meskipun laju fotosintesis pada lahan pertanian dapat menyamai laju fotosintesis pada hutan, namun jumlah cadangan karbon yang terserap lahan pertanian jauh lebih kecil. Selain itu, karbon yang terikat oleh vegetasi hutan akan segara dilepaskan kembali ke atmosfir melalui pembakaran, dekomposisi sisa panen maupun pengangkutan hasil panen. Masalah
19
utama yang terkait dengan alih guna lahan adalah perubahan jumlah cadangan karbon. Pelepasan karbon ke atmosfer akibat konversi hutan berjumlah sekitar 250 ton ha-1 karbon yang terjadi selama penebangan dan pembakaran, sedangkan penyerapan kembali karbon ke pohon relatif lambat, hanya sekitar 5 ton ha-1 karbon. Untuk mengurangi dampak perubahan iklim, upaya yang dapat dilakukan saat ini adalah meningkatkan penyerapan karbon dan menurunkan emisi karbon. Penurunan emisi karbon dapat dilakukan dengan: (a) mempertahankan cadangan karbon yang telah ada dengan: mengelola hutan lindung, mengendalikan deforestasi, menerapkan praktek silvikultur yang baik, mencegah degradasi lahan gambut dan memperbaiki pengelolaan cadangan bahan organik tanah, (b) meningkatkan cadangan karbon melalui penanaman tanaman berkayu dan (c) mengganti bahan bakar fosil dengan bahan bakar yang dapat diperbarui secara langsung maupun tidak langsung (angin, biomassa, aliran air), radiasi matahari, atau aktifitas panas bumi (Rahayu et al., 2007). Sedangkan peningkatan penyerapan cadangan karbon dapat dilakukan dengan: (a) meningkatkan pertumbuhan biomassa hutan secara alami, (b) menambah cadangan kayu pada hutan yang ada dengan penanaman pohon atau mengurangi pemanenan kayu, dan (c) mengembangkan hutan dengan jenis pohon yang cepat tumbuh. Karbon yang diserap oleh tanaman disimpan dalam bentuk biomassa kayu, sehingga cara yang paling mudah untuk meningkatkan cadangan karbon adalah dengan menanam dan memelihara pohon (Rahayu et al., 2007).
20
Memperoleh potensial penyerapan karbon yang maksimum perlu ditekankan pada kegiatan peningkatan biomassa di atas permukaan tanah bukan karbon yang ada dalam tanah, karena jumlah bahan organik tanah yang relatif lebih kecil dan masa keberadaannya singkat.Hal ini tidak berlaku pada tanah gambut (Rahayu et al., 2007). 2. Penelitian yang Relevan Penelitian yang dilakukan oleh Bismarket al. (2008) yang dilakukan di hutan mangrove Cagar Biosfer Pulau Siberut, Sumatera Barat, biomassa tegakan di atas permukaan dan kandungan karbon hutan mangrove yang terdiri dari jenis R. apiculata, R. mucronata, dan jenis B. gymnorrhiza cukup rendah, yaitu sebesar 49,13 ton/ha dan 24,56 ton karbon/ha, atau setara dengan 90,16 ton CO2/ha. Jenis yang mendominasi tegakan hutan mangrove adalah R. apiculata dengan kerapatan 80 pohon/ha, R. mucronata dengan kerapatan 28 pohon/ha dam B. gymnorrhiza dengan kerapatan 12 pohon/ha. Pada hutan mangrove yang terdapat di Ciasem, Purwakarta juga dilakukan penelitian tentang stok karbon oleh Dharmawan dan Chairil(2008). Berdasarkan hasil sampling dengan merusak pohon (destruktif methods) di lapangan, diperoleh persamaan allometrik kandungan biomassa bawah dan juga biomassa total untuk tegakan A. marina. Tegakan A. marina di BKPH Ciasem memiliki potensi kandungan biomassa total sebesar 364,9 ton/ha dan kandungan karbon sebesar 182,5 ton karbon/ha.
21
Bila dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan pada hutan yang bukan hutan mangrove stok karbon yang terukur adalah sebesar 95,82 ton karbon/ha. Penelitian ini dilaksanakan di kawasan Hutan Taman Wisata Alam Taman Eden Desa Sionggang Utara Kecamatan Lumban Julu Kabupaten Toba Samosir oleh Bakri (2009).Dari penelitian tersebut ditemukan 18 jenis pohon yang termasuk dalam 12 familia dengan jumlah individu sebanyak 301 individu/2 ha. Jumlah cadangan karbon adalah sebesar 95,82 ton karbon/ha yang tidak jauh berbada dengan stok karbon yang terdapat pada hutan mangrove Ciasem, Purwakarta sebesar 182,5 ton karbon/ha. Wulansari (2008) melakukan penelitian untuk mengukur dan membandingkan stok karbon pada dua tipe hutan pesisir Cagar Alam Pulau Dua, Serang, Banten yang merupakan salah satu daerah konservasi penting di Jawa.Pengukuran stok karbon dilakukan di hutan mangrove dan non-mangrove yang telah ditentukan terlebih dahulu melalui analisis vegetasi dan perbandingan komunitas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai stok karbon total pada hutan mangrove dan non-mangrove tidak berbeda secara nyata (P>0,05), dengan nilai masing-masing sebesar 130,87 Ton karbon/ha dan 139,01 Ton karbon/ha. Hasil pengukuran stok karbon pada pohon, understorey, serasah, nekromasa dan tanah di hutan mangrove, berturut-turut adalah 51,31 Ton/ha; 0,12 Ton/ha; 0,14 Ton/ha; 6,43 Ton/ha dan 72,86 Ton/ha. Urutan komponen stok karbon yang sama, hutan nonmangrove memiliki nilai stok karbon berturut-turut sebagai berikut: 75,51 Ton/ha; 0,22 Ton/ha; 2,32 Ton/ha; 0,15 Ton/ha; dan 60,81 Ton/ha. Hasil perbandingan
22
masing-masing komponen menunjukkan bahwa nilai stok karbon pada pohon, understorey dan tanah tidak berbeda secara nyata antara hutan mangrove dan nonmangrove (P>0,05), sedangkan stok karbon pada serasah dan nekromasa berbeda secara nyata antara hutan mangrove dan non-mangrove (P<0,05). Proporsi stok karbon terbesar terdapat pada komponen pohon (39,0-54,3%) dan tanah (43,055,7%), baik di hutan mangrove maupun non-mangrove, sedangkan proporsi understorey, serasah dan nekromasa relatif kecil (<5,0%). Telah dilakukan pengukuran stok karbon di Kawasan Wisata Alam Ciwidey oleh peneliti Hendrayana (2011).Hendrayana membagi hutan yang ada di Kawasan Wisata Alam Ciwidey menjadi Hutan Alam, Hutan Rasamala, dan Hutan Kayu Putih.Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa stok karbon total pada Hutan Alam, Hutan Rasamala, dan Hutan Kayu Putih masing-masing sebesar 363.32 ton ha1
, 195.36 ton ha-1, dan 116.23 ton ha-1. Hal ini menunjukkan bahwa stok karbon hutan
pada kawasan tersebut masih tergolong tinggi, sedangkan hasil uji Tukey menujukkan adanya perbedaan besarnya stok karbon yang signifikan (P < 0.05) antara Hutan Alam dengan Hutan Rasamala maupun Hutan Alam dengan Hutan Kayu Putih, tetapi tidak berbeda signifikan (P > 0.05) antara Hutan Rasamala dengan Hutan Kayu Putih. Hal ini menunjukkan adanya penurunan stok karbon apabila lahan pada Hutan Alam dikonversi menjadi Hutan Rasamala atau Hutan Kayu Putih.