BAB II HUKUM YANG HIDUP MENGENAI PEMBAGIAN HARTA PUSAKA RENDAH DALAM MASYARAKAT MINANGKABAU DI KOTA PADANG
A. Tinjauan Umum Lokasi Penelitian 1. Sejarah Kota Padang Kota padang adalah salah satu kota tertua di pantai barat Sumatera di Lautan Hindia. Menurut umber sejarah pada awalnya (sebelum abad ke-17) kota padang dihuni oleh para nelayan, petani garam dan pedagang. Ketika itu Padang belum begitu penting karena arus perdagangan orang Minang mengarah ke pantai timur melalui sungai-sungai besar. Namun sejak Selat Malaka tidak lagi aman dari persaingan dagang yang jeras oleh bangsa asing serta banyaknya peperangan dan pembajakan, maka arus perdagangan berpindah ke pantai barat Pulau Sumatera. Suku Aceh adalah kelompok pertama yang datang setelah malaka ditaklukkan oleh Portugis pada akhir abad ke XVI. Sejak saat itu pantai Tiku, Pariaman dan Inderapura yang dikuasai oleh raja-raja muda wakil Pagaruyung berubah menjadi pelabuhan-pelabuhan penting karena posisinya dekat dengan sumber-sumber komoditi seperti lada, cengkeh, pala dan emas. Kemudian Belanda datang mengincar Padang karena muaranya yang bagus dan cukup besar serta udaranya yang nyaman dan berhasil menguasainya pada tahun 1660 melalui perjanjian dengan raja-raja muda wakil dari pagaruyung. Tahun 1667 membuat Loji yang berfungsi sebagai gudang sekaligus tangsi dan daerah sekitarnya dikuasai pula demi alasan keamanan.
33 Universitas Sumatera Utara
Akhirnya pada tanggal 20 Mei 1784 belanda menetapkan Padang sebagai pusat kedudukan dan perdagangan di Sumatera Barat. Kota Padang menjadi lebih ramai setelah adanya Pelabuhan Teluk Bayur, Semen dan Batubara (di Sawahlunto), serta Jalur Kereta Api. Namun yang menjadi hari Jadi Kota Padang adalah tanggal 7 Agustus, karena pada tanggal 7 Agustus 1669 terjadi penyebuan besar-besaran terhadap Loji Belanda di Kepalo Koto Natang Arau yang dilandasi oleh semangat patriotisme dan rasa cinta tanah air dalam mengusir penjajah dari bumi Nusantara. Pada awalnya luas kota Padang adalah 33 Km2, yang terdiri dari 3 Kecamatan dan 13 buah kampung, yaitu Kecamatan Padang Barat, Padang Selatan, dan Padang Timur. Dengan Undang-undang Nomor 5 tahun 1979 dan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun1980 tanggal 21 Maret 1980 wilayah Kota Padang menjadi 694,96 Km2, yang terdiri dari 11 Kecamatan dan 103 kelurahan. Dengan Keluarnya Peraturan daerah Kota Padang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Pembentukan organisasi kelurahan maka jumlah kelurahan di Kota Padang menjadi 104 kelurahan. 35
35
Badan Pusat Statistik, Padang Dalam Angka 2008
Universitas Sumatera Utara
2. Jumlah Penduduk kota Padang Berdasarkan Kecamatan Tabel 1. Jumlah Penduduk menurut Agama dan Kecamatan Number of Population byReligion and Sub District 2007 Kecamatan
Islam
Katholik
Protestan
Hindu
Budha
Lainnya
Jumlah
Sub District
Moeslem
Catholic
Protestan
Hindu
Budha
Others
Total
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
01. Bungus Teluk Kabung
23.500
18
70
2
2
-
23.592
02. Lubuk Kilangan
42.439
105
36
3
2
-
42.585
03. Lubuk Begalung
101.390
919
1.629
144
240
-
104.323
04. Padang Selatan
52.203
4.446
2.175
330
2.812
-
61.967
05. Padang Timur
82.927
718
1.462
30
142
-
85.279
06. Padang Barat
53.164
3.712
1.017
487
1.722
-
60.102
07. Padang Utara
73.684
356
449
41
86
-
74.667
08. Nanggalo
57.322
102
83
6
10
-
57.523
117.551
59
72
5
7
-
117.694
52.299
83
114
6
0
-
52.502
156.561
399
914
13
69
-
157.956
09 Kuranji 10 Pauh 11. Koto Tangah
Padang
2007
813.043
10.917
8.071
1.067
5.092
0
838.190
2006
795.298
11.318
6.833
1.133
5.158
0
819.740
2005
777.053
11.292
6.740
1.117
5.142
0
801.344
2004
756.014
10.774
6.815
1.003
10134
0
784.740
Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Padang Source : BPS Statistics of Padang
Universitas Sumatera Utara
B. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Terhadap Harta Pusaka Rendah 1. Ruang Lingkup Pengertian Harta Pusaka Rendah Harta pusaka di Minangkabau terbagi atas dua. Pertama disebut harta pusaka tinggi dan kedua disebut harta pusaka rendah. Masing-masing harta pusaka ini memiliki konsekwensi waris yang berbeda. Harta pusaka tinggi diwariskan secara turun temurun untuk dimiliki secara kolektif oleh kaum atau suku sedangkan harta pusaka rendah diwariskan kepada individu untuk menjadi milik individu tersebut. Harta pusaka rendah merupakan harta milik orang tua, harta ini tidak membedakan mana harta Harta pusaka rendah merupakan harta milik orang tua. Harta ini tidak dibedakan mana yang merupakan harta bersama dan mana pula yang merupakan harta bawaan. Dalam bahasa sehari-hari disebut dengan “harto carian bapak jo mande” (harta pencaharian bapak dan ibu). Beranjak dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa perlakuan terhadap harta yang dimiliki tidak begitu dipersoalkan antara harta bersama dengan harta bawaan. Walaupun secara konsepsional masing-masing harta itu memiliki pengertian yang berbeda namun dalam prakteknya masyarakat tidak membedakan. Hal ini terbukti apabila salah seorang dari orang tua meninggal, status harta yang ditinggalkan tidak dipersoalkan oleh ahli waris apakah ia harta bersama atau harta bawaan. Ahli waris yang ada hanya menyatakan bahwa harta yang ditinggalkan oleh orang tua mereka adalah harta warisan. Maka dari itu, mereka berhak mewarisinya. Hampir sama dengan pengertian harta pusaka rendah di atas, terdapat juga masyarakat yang mengelompokkan harta pusaka rendah menjadi beberapa kelompok.
Universitas Sumatera Utara
Pada dasarnya, kelompok-kelompok tersebut merupakan penjabaran dari defenisi harta pusaka rendah sebagai harta milik seseorang yang diwariskan kepada anakanaknya. Di antaranya dikemukakan sebagai berikut. a. Pusako Tali Darah Pusako tali darah adalah harta pusaka yang diperoleh dari hasil usaha ibu bapak dan diwariskan kepada keturunannya. Keturunan yang dimaksud di sini adalah anak kandung. Sesuai dengan sebutannya yaitu, bertali darah. Oleh sebab itu, apabila terdapat anak-anak lain yang tidak berasal dari ibu dan bapak yang mengusahakan harta tersebut (bukan anak kandung) maka anak itu tidak berhak mendapat harta pusaka ini. Sebagai contoh, seorang suami atau seorang isteri mempunyai harta sebidang tanah yang diperoleh atas usaha bersama dan memiliki beberapa orang anak. Pada saat yang bersamaan, karena sesuatu hal suami itu menikah lagi dan mempunyai anak. Apabila suami dimaksud meninggal maka harta berupa sebidang tanah tadi adalah harta warisan untuk beberapa orang anaknya dengan isteri yang turut serta memperoleh harta itu. Adapun anak dari suami dengan isteri berikutnya tidak berhak atas sebidang tanah yang ditinggalkan disebabkan ibu dari anak itu tidak ikut dalam memperoleh harta tersebut. b. Pusako Tali Aka Pusako tali aka mempunyai arti harta pusaka yang berasal dari hasil usaha mamak. Harta ini terbagi lagi menjadi dua bagian. Pertama, harta yang diperoleh oleh mamak atas hasil usahanya semata dan kedua harta yang diperoleh oleh mamak atas
Universitas Sumatera Utara
hasil usaha mamak dengan saudara perempuannya. Dengan kata lain, terdapat semacam modal usaha yang bersumber dari saudara perempuannya. Harta yang diperoleh oleh mamak dari hasil usahanya semata menjadi harta harta pusako tali darah bagi anak-anaknya. Oleh karena itu, jika mamak tadi meninggal maka harta ini akan menjadi milik anak-anaknya. Namun apabila harta yang diperoleh oleh mamak berasal atas bantuan atau kerjasama dari saudara perempuan maka kemenakan dari mamak tersebut (anak dari saudara perempuan) berhak atas harta yang diperoleh. Pewarisan dari mamak ke kemenakan seperti inilah yang disebut dengan pusako tali aka. Sebagai contoh, sebidang tanah milik saudara perempuan diolah oleh seorang mamak. Dari hasil pengolahan yang dilakukan mamak terhadap sebidang tanah itu dapat pula dibeli oleh mamak sebidang tanah lainnya. Apabila mamak ini meninggal maka sebidang tanah yang telah dibeli tadi, di samping menjadi hak anaknya sebagai pusako tali darah juga terdapat hak dari anak saudara perempuannya sebagai pusako tali aka. c. Pusako Tali Budi Pusako tali budi merupakan harta hasil usaha seseorang yang diberikan kepada orang lain di luar keluarga disebabkan adanya hubungan baik. Pemberian ini ada yang kepemilikannya langsung menjadi hak orang yang diberi dan ada juga kepemilikannya yang dihubungkan dengan syarat tertentu. Kepemilikan langsung maksudnya setelah harta diberikan maka harta tersebut seketika itu juga langsung menjadi hak milik orang yang diberi. Adapun kepemilikan yang dihubungkan dengan
Universitas Sumatera Utara
syarat, umumnya dilakukan dengan perjanjian dimana harta menjadi hak milik orang yang diberi sepanjang ia masih hidup. Apabila orang yang diberi harta telah meninggal maka kepemilikan atas harta yang diberikan kepadanya beralih kembali kepada keluarga atau ahli waris pemberi harta. Sebagai contoh, sebidang tanah atas tali budi diberikan kepada seseorang. Apabila tidak ditentukan lain maka sebidang tanah itu langsung menjadi milik seseorang tersebut. Namun apabila ditentukan lain maka kepemilikan seseorang yang diberi itu akan berakhir seiring dengan meninggalnya ia untuk kemudian beralih kembali menjadi milik si pemberi harta atau ahli waris si pemberi harta. Berdasarkan uraian di atas tergambar bahwa harta pusako tali darah, pusako tali aka, dan pusako tali budi selama tidak ditentukan lain merupakan harta pusaka rendah. Dari itu cukup jelas bahwa harta pusaka rendah adalah harta yang benarbenar milik seseorang atau tidak tercampur dengan harta milik orang lain sehingga apabila terjadi peristiwa kematian maka akan beralih menjadi harta milik ahli waris. 36
2. Hukum Yang Mengatur Pembagian Harta Pusaka Rendah Telah sejak lama perobahan-perobahan struktur sosial Minangkabau disorot sebagai
telah
melemahnya
ciri
matrilineal
dari
susunan
kekerabatannya.
Perkembangannya antara lain mencerminkan semakin senggangnya hubungan seseorang dengan kemenakannya, serta dengan konsekwensinya semakin kokohnya
36
. Ahmad Syafruddin,Makalah Metode Pewarisan Harta Pusaka Rendah, Kajian Yuridis Sosiologis, Padang, hal 2
Universitas Sumatera Utara
hubungan dengan anaknya, proses perobahan ini bagaimanapun membawa berbagai masalah konflik kedalam kehidupan sosialnya
.
Cara membagi harta benda seseorang yang telah meninggal merupakan satu diantara masalah tersebut. Ini tidak hanya merupakan masalah penerapan hukumnya saja, tetapi juga masalah pertentangan sistem hukumnya sendiri. Menurut hukum waris adat Minangkabau, harta peninggalan jatuh ketangan anggota kerabat dari garis keturunan keibuan, yang dalam hal ini adalah anak dari saudara yang meninggal, yaitu kemenakan-kemenakannya, sedangkan harta yang telah menjadi pusaka, diwarisi secara komunal yaitu dimiliki secara bersama-sama oleh para ahli waris . demikianlah pokok-pokok dari sistem kewarisan adat Minangkabau Sebaliknya, kepentingan dari anak-anak dari yang meninggal mendapat perhatian yang utama dalam sistem kewarisan menurut Islam. Sistem ini hanya memungkinkan sikemenakan memperoleh warisan dari mendiang makanya, bila orang-orang yang lebih berhak mewarisi (yaitu anak-anak serta turun-turunan mereka, mereka, ayah dan ibu dan saudara-saudara dari mamaknya yang meninggal) telah lebih dulu meninggal. Sedangkan harta yang diwarisi dibagi-bagi diantara para ahli waris menurut cara-cara dan urutan-urutan pembagian tertentu. Komplikasi yang ditimbulkan oleh kedua sistem kewarisan ini yaitu sistem kewarisan matrilineal komunal menurut hukum adat minangkabau dan sistem kewarisan bilateral individual menurut hukum Islam diperbesar oleh gejala-gejala perkembangan kehidupan masyarakat Minangkabau sendiri 37 37
Lembaga Pembinaan Hukum Nasional, Pola-Pola Kewarisan Di Sumatera Barat Dewasa Ini, Fakultas Hukum Dan Pengetahuan Masyarakat Universitas andalas Padang ,1971
Universitas Sumatera Utara
Semakin kuatnya kehidupan dalam satuan keluarga, yang terdiri dari suami, isteri, dan anak-anak mereka, antara lain berhubungan erat dengan cara pencaharian nafkah. Biaya hidup lama-lama tidak lagi lagi ditutup dengan menggarap harta pusaka kaum atau kerabat. Harta yang diperdapat dari hasil pencaharian ini di belanjakan untuk keperluan membiayai anggota-anggota keluarganya. Pembagian warisan yang berasal dari harta pencaharian inipun menjadi tantangan bagi berlakunya hukum kewarisan adat. 38 Dengan demikian timbul dorongan untuk mengeluarkan hasil usahanya sendiri dari kelompok harta pusaka, yang sebelumnya dua bentuk harta itu berbaur dalam bentuk harta kaum. Selanjutnya mulailah pemisahan harta pencaharian dari harta pusaka. Kemudian dijelaskan pula bahwa harta pusaka yang sudah terlepas dari harta pencaharian tidak termasuk dalam lingkungan harta warisan yang harus mengikuti hukum faraidh. 39 Pengertian “sesuai hukum faraidh” sebagaimana sering disebut bahwa pengertian yang sebenarnya dalam tinjauan dan pengertian orang yang mengetahui, bukan faraidh menurut pengertian awam yang berlaku di Minangkabau. Menurut pengertian awam sesuai dengan hukum faraidh ialah pewarisan untuk anak-anak, sebagai imbangan pewarisan secara adat ialah pewarisan untuk kemenakan. Atas 38
Iskandar Kamal, Beberapa Aspek Dari Hukum Kewarisan Dalam Mochter Naim (Ed), Menggali Tanah Dan Hukum Waris Mingangkabau, Center For Minangkabau Studies Press, Padang, 1968, Hal 158 39 Amir Syarifudin, Op Cit, hal 279
Universitas Sumatera Utara
dasar anggapan awam ini, bila harta pencaharian telah diwarisi oleh anak tanpa memperhatikan cara pembagiannya, maka yang demikian telah sesuai dengan hukum faraidh. 40 Pewarisan harta pencaharian pada waktu ini dalam lingkungan adat Minagkabau sudah berbeda dengan pewarisan harta pusaka menurut adat lama. Menurut adat lama pewarisan berlaku menurut sistem matrilineal, yaitu pewarisan hanya melalui garis kerabat perempuan saja. Pada waktu ini sistem pewarisan demikian hanya diberlakukan terhadap harta pusaka. 41 Dari hasil penelitian diketahui pula pada prakteknya, bahwa masyarakt Minangkabau menganggap penyelesaian harta warisan dalam bentuk harta pencaharian adalah persoalan keluarga yang dapat diselesaikan bersama oleh anggota keluarga, meski mereka tidak mengalami kesukaran dalam penyelesaian warisan tersebut. Kenyataan ini menunjukkan bahwa peranan pengadilan tidak banyak dalam penyelesaian harta pencahariaan, karena pada umumnya dapat diselesaikan di rumah masing-masing secara kekeluargaan. Timbulnya sengketa dalam hal ini disebabkan oleh adanya pihak yang ingin menguasai harta secara perorangan dan menuntut bagiannya atas harta warisan. Menurut kenyataan yang berlaku di lingkungan Adat Minangkabau terdapat 2 cara dalam penyelesaian harta warisan yaitu : 40
Wawancara Khusus Dengan Sarwono, SH, M.H, Hakim Pengadilan Negeri Padang, tanggal 27 Februari 2009, dan ini senada diucapkan oleh Alidir Datuk Mudo, Ketua Karapatan Adat Nagari Koto Tangah, tanggal 27 Januari 2009 41 Amir Syarifuddin, Op Cit Hal 307
Universitas Sumatera Utara
1. Harta warisan dimiliki bersama oleh ahli waris yang berhak. Hal ini berarti bahwa dalam peristiwa kematian itu tidak dilakukan pembagian harta warisan secara nyata. Bentuk tidak dibaginya harta warisan itu ada 3 kemungkinan. a. Harta warisan tidak dibagi karena memeng tidak ada yang pantas untuk dibagi. b. Ada harta yang mungkin dibagi di kalangan ahli waris, tetapi harta tersebut tidak dapat dibagi secara terpisah seperti rumah dan tanah. c. Harta warisan ada dan dapat dibagi tetapi tidak diadakan pembagian karena memang ahli waris tidak menginginkannya untuk membagi harta tersebut secara terpecah – pecah. Tidak terbaginya harta warisan biasanya berlaku pada harta peninggalan yang besar yang pada umumnya dalam bentuk barang yang tidak bergerak atau barang berharga lainnya. Sedangkan barang yang kecil – kecil dan dapat berpindah – pindah, diadakan pembagian secara kekeluargaan sesuai dengan bentuk kegunaannya. 2. Bentuk kedua dari harta pencarian ialah secara terbagi, dengan arti kata setiap ahli waris menerima haknya secara perorangan. Cara ini berlaku terhadap barang yang bergerak dan barang yang tidak bergerak. Inilah yang mengikuti azas individual dalam kewarisan. Dalam pelaksanan azas individual tersebut, dari segi penentuan porsi bagian masing – masing terdapat dua cara, pertama membaginya sesuai dengan perincian dalam hukum Faraid dengan arti murni secara ilmu
Universitas Sumatera Utara
faraid. Kedua membaginya menurut perdamaian dan musyawarah bersama dari seluruh yang berhak atas dasar keperluan masing – masing dan atas kerelaan bersama. 42 Dalam uraian tersebut dapat disimpulkan dua hal pokok perbedaan antara apa yang secara teoritis dikehendaki oleh hukum kewarisan Islam dengan apa yang secara nyata terjadi dalam pewarisan harta pencaharian. Pertama adanya kesepakatan di antara ahli waris yang berhak untuk memiliki bersama harta warisan dan tidak mengadakan pembagian secara nyata, yang menurut lahirnya dianggap tidak sejalan dengan azas individual yang dikehendaki oleh ajaran Islam. Kedua adanya keinginan bersama ahli waris untuk menggunakan hak mereka atas harta warisan menurut mereka sepakati, yang mungkin dalam beberapa hal tidak persis seperti yang dikehendaki hukum faraid. Dua perbedaan tersebut diatas adalah merupakan kelainan dari pelaksanaan hukum kewarisan dalam lingkungan adat Minangkabau 43
3. Hukum Waris Islam Hukum Islam merupakan bagian dari hukum positif (tata hukum) di Indonesia. Di antara banya bidang di dalam hukum Islam, misalnya hukum perkawinan, hukum kewarisan, hukum perwakafan, terdapat perbedaan keadaan berlakunya. Berlakunya hukum perkawinan Islam bagi orang Islam di Indonesia 42 43
Amir Syarifuddin, Op Cit, hal 310 Amir Syarifuddin, Op Cit, hal 312
Universitas Sumatera Utara
berbeda dengan berlakunya hukum kewarisan Islam bagi orang Islam di Indonesia. Berlakunya hukum perkawinan Islam bagi orang Islam bersifat memaksa. Padahal sesungguhnya, dilihat dari sudut pandangan ajaran Islam, baik hukum perkawinan maupun kewarisan merupakan hukum yang bersifat memaksa. Artinya, hukum yang tidak dapat disampingi dengan cara apapun. Dalam literatur hukum Islam ditemui beberapa istilah untuk menamakan Hukum Kewarisan Islam seperti : Faraid, Fikh Mawaris, dan Hukum Al-waris. Kata yang lazim dipakai adalah Faraid. Hukuum kewarisan ialah himpunan aturan-aturan hukum yang mengatur tentang siapa ali waris yang berhak mewarisi harta peninggalan seorang yang mati meninggalkan harta peninggalan. Bagaimana kedudukan masing-masing ahli waris serta bagaimana/berapa perolehan masing-masing ahli waris secara adil dan sempurna. Jadi hukum kewarisan adalah hukum atau peraturan-peraturan yang mengatur tentang penyelisaian nasib kekayaan seseorang setelah meninggal dunia. 44 Definisi lain yang berkaitan dengan hukum kewarisan Islam disampaikan oleh Muhammad Asy-Syarbini, yakni Ilmu Fiqhi yang berpautan dengan pembagian harta pusaka, pengetahuan tentang tata cara perhitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian harta pusaka dan pengetahuan mengenai bagian-bagian wajib dari harta peninggalan untuk setiap pemilik hak pusaka. 45
44
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqhul Mawaris (Hukum Warisan Dalam Syari’at Islam), Bulan Bintang, Jakarta, Cetakan Pertama, 1973, hal 18, dikutip dari Pahing Sambiring, Hukum Islam II Bidang Hukum Waris Islam (Faraid), Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan,2002, hal 1 45 Muhammad Asy-syarbini, Mughnil Muhtez, Jus III hal 3, Dikutip dari A. Rahmad Budiono, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, Citra Aditya Bakti, bandung, 1999, hal 2
Universitas Sumatera Utara
Dalam Pasal 171 huruf (a) kompilasi Hukum Islam, Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa pembagiannya masing-masing. Hukum kewarisan baru dapat berlaku jika pewaris adalah beragama Islam dan yang menerima juga beragama Islam. Dengan demikian pelaksanaan hukum waris bagi umat Islam merupakan Ibadah. Dari definisi-definisi yang ada mengenai Hukum Kewarisan Islam apat diambil kesimpulan bahwa Hukum Kewarisan Islam menitikberatkan pada segi orang yang mewaris, berapa bagian masing-masing ahli waris , dan cara perhitungan harta peninggalan. Kewarisan Islam sebagai bagian dari syari’at islam tidak dapat dipisahkan dengan aspek-aspek lain dari ajaran islam. Karena penyusunan kaidah-kaidah harus didasarkan pada sumber yang sama seperti halnya aspek-aspek yang lain dari ajaran Islam tersebut. Sumber-sumber Islam itu adalah Al-Qur’an, Sunnah Rasul dan Ijtihad. Ketiga sumber ini pula yang menjadi sumber hukum kewarisan Islam. 46 Penggunaan ketiga sumber ini didasarkan kepada ayat Al-Qur’an sendiri dan hadits Nabi. Salah satu ayat yang menyinggung tentang hal ini adalah Al-Qur’an Surah An-Nisa (4):59, yang terjemahannya : “ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya) dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalilah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya)...”
46
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan islam di Indonesia Eksistensi dan Adaptabilitas, Ekonisia, Yogyakarta,2002, hal 6
Universitas Sumatera Utara
Ayat ini memberi pengertian bahwa orang mukmin diharuskan untuk mengikuti atau taat kepada Allah, Rasul dan Ulil Amri. Hak ini dapat diberikan pengertian, bahwa seorang mukmin senantiasa dalam memecahkan berbagai aspek harus mengikuti, dan didasarkan pada ketiga sumber tersebut. Karena itu pengertian taat kepada Allah, dimaknakan dengan sumber Sunnah, dan Ulil Amri dimaknakan sebagai sumber Ijtihad para Mujtahid. 47 Sebagai hukum agama yang terutama bersumber kepada wahyu Allah yang disampaikan oleh nabi Muhammad SAW, hukum kewarisan Islam mengandung berbagai asas yang dalam beberapa hal berlaku pula dalam hukum kewarisan yang bersumber dari akal manusia. Berbagai asas hukum ini memperlihatkan bentuk karakteristik dari hukum kewarisan Islam itu. Asas-asas hukum kewarisan Islam yang dapat disalurkan dari Al-Quran dan Hadist seperti tersebut diatas adalah : (1) Ijbari, (2) Bilateral, (3) Individual, (4) Keadilan berimbang, (5) Akibat kematian. 48 1. Asas Ijbari Asas Ijbari yang terdapat dalam hukum kewarisan Islam mengandung arti bahwa peralihan harta seorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah SWT tanpa tergantung pada kehendak dari pewaris ahli waris.
47
Ibid, hal 6 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hal 128 48
Universitas Sumatera Utara
2. Asas Bilateral Berarti bahwa seorang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak yaitu dari pihak kerabat keturunan perempuan. Asas ini dapat dilihat dalam surat An-nisa (4) ayat 7,11,12 dan 176. Di dalam ayat 7 surat tersebut ditegaskan bahwa seorang laki-laki berhak mendapat warisan dari ayahnya dan juga dari ibunya. Demikian juga halnya dengan perempuan. Ia berhak mendapat warisan dalam warisan bilateral. 3. Asas Individual Asas ini menyatakam bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi pada masingmasing ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Dalam pelaksanaanya selurih harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang kemudian dibagikan pada setiap ahli waris yang berhak menerimanya menurut kadar bagian masing-masing. Dalam hal ini setiap ahli waris berhak atas bagian yang di dapatnya tanpa terikat kepada ahli waris yang lain, karena bagian masing-masing sudah ditentukan. 4. Asas Keadilan Yang Berimbang Asas ini mengandung arti bahwa harus sentiasa terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara hak yang di peroleh seseorang, dengan kewajiban yang harus ditunaikannya. Laki-laki dan perempuan misalnya, mendapat hak yang sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya masing-masing (kelak) dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Alam sistem kewarisan Islam,
Universitas Sumatera Utara
harta peninggalan yang diterima oleh ahli waris dari pewaris pada hakikatnya adalah pelanjutan tanggung jawab pewaris terhadap keluarganya. Oleh karena itu perbedaan bagian yang diterima oleh masing-masing ahli waris berimbang dengan perbedaan tanggung jawab masing-masing terhadap keluarga. Seorang laki-laki menjadi penanggung jawab kehidupan keluarga, mencukupi keperluan hidup anak dan istrinya menurut kemampuannya, tanggung jawab itu merupakan kewajiban agama yang harus dilaksanakannya, terlepas dari persoalan apakah istrinya mampu atau tidak , anaknya memerlukan bantuan atau tidak. 5. Asas yang menyatakan bahwa kewarisan ada kalau ada yang meninggal dunia. Ini berartu bahwa kewarisan semata-mata akibat dari kematian seseorang. Menurut ketentuan hukum kewarisan Islam, peralihan harta seseorang kepada orang lain yang disebut dengan nama kewarisan, terjadi setelah orang yang mempunyai harta meninggal dunia. Ini berarti bahwa harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain dan disebut sebagai harta warisan, selama orang yang mempunyai harta masih hidup. Demikian asas hukum kewarisan Islam yang menunjukan karakteristik dari kewarisan dalam hukum Islam. Dari asas-asas tersebut dapat ditarik perbedaan antara hukum Islam dengan sistem kewarisan lain, meskipun terlihat beberapa titik kesamaan di sana-sini.
Universitas Sumatera Utara
4. Ahli Waris Menurut Adat Minangkabau P e n g e r t i a n ahli waris disini ialah orang atau orang-orang yang berhak meneruskan peranan dalam pengurusan harta pusaka. Pengertian ini didasarkan pada dasar kolektif dalam pemilikan dan pengolahan harta serta hubungan seseorang pribadi dengan harta yang diusahakannya itu sebagai hak pakai dalam ganggam bauntuak
(genggam
beruntuk).
Kematian
seseorang
yang
memakai
harta
menyebabkan kembalinya harta itu kepada kaum, kemudian pengolahannya diteruskan oleh orang lain, orang lain yang meneruskan itu disebut ahli waris dalam pengertian adat. Dasar dari pewarisan dan siapa yang menjadi ahli waris dinyatakan dalam pepatah adat sebagai berikut : 49 Birik-birik turun ke semak Tiba disemak berilah makan Harta ninik turun kemamak Dari mamak turun ke kemenakan. Dari pepatah adat tersebut jelas bahwa yang dimaksud dengan ahli waris ialah mamak terhadap harta ninik dan kemenakan terhadap harta mamak. Asas kewarisan kolektif tersebut diatas menjelaskan bahwa ahli waris bukan orang perorang, maka pengertian ninik, mamak dan kemenakan itu harus dipahami sebagai kelompok orang atau generasi.
49
Nasroen, Op Cit, hal 143
Universitas Sumatera Utara
Sebuah keluarga matrilineal, susunannya biasanya terdiri dari seorang lakilaki disebut mamak, (sebagai kepala keluarganya yang berkuasa ke luar), saudara perempuan dari mamak itu (sebagai bundo yang berkuasa dalam keluarga) dan anak dari perempuan tersebut baik laki-laki maupun perempuan. Jadi di dalam rumah keluarga itu terdapat dua generasi yaitu generasi mamak dan generasi kemenakan. Dahulunya si mamak dan si ibu adalah generasi kemenakan dari ninik dan saudara perempuannya. Generasi ninik dan nenek itu dahulunya adalah pemegang harta pusaka. Menurut adat Minangkabau pemegang harta pusaka adalah perempuan karena di tangannya terpusat kerabat matrilineal, namun bila diperhatikan kekuasaan yang dipegang oleh perempuan tersebut ternyata bahwa pada umumnya kekuasaannya itu mempunyai hubungan yang rapat dengan peranannya dalam kelangsungan keturunan dan tidak akan menempatkannya pada pusat kekuasaan. Jadi sesungguhnya kedudukan wanita yang dominan di dalam rumah tangga sama sekali tidak memojokkan kaum lelaki 50 . Dengan berlalunya generasi ninik, maka peranan pengawasan dilanjutkan oleh mamak, sedangkan peranan pengolahan dan pengurusan dilanjutkan oleh ibu untuk membiayai kehidupan keluarga. Dengan demikian dikatakan bahwa harta ninik turun ke mamak atau dengan arti mamak adalah ahli waris terhadap harta ninik. Begitu pula dengan berlalunya generasi mamak, maka kemenakan laki-laki meneruskan peranan 50
B. Nurdin Yakub, Hukum Kekerabatan Minangkabau, Pustaka Indonesia, Bukit Tinggi, 1995, hal 51, dan ini senada seperti yang diutarakan DS.Dt. Mangkuto Rajo SH, Tokoh Adat Minang Kabau, yang diwawancarai 22 Mei 2009
Universitas Sumatera Utara
pengawasan dan kemenakan perempuan meneruskan peranan pengolahan, hingga dikatakan bahwa harta mamak turun ke kemenakan dengan arti kemenakan adalah ahli waris terhadap harta pusaka yang di tinggalkan oleh mamak. Hubungan kewarisan mamak dan kemenakan ini menjadi ciri khas dari hukum kewarisan adat Minangkabau. Kewarisan mamak kemenakan didasarkan kepada pemikiran bahwa harta adalah milik kaum dan hanya untuk kpentingan kaum. Dilain pihak pengertian kaum didasrkan pada system matrilineal yang membatasi kelompok kerabat pada orang-orang yang bertalian darah menurut garis ibu. Yang terdekat dari kerabat itu ialah hubungan mamak kemenakan. Pokok pikiran seperti itulah yang menimbulkan bentuk kewarisan mamak kemenakan. Atas dasar pemikiran tersebut dapat dipastikan bahwa kewarisan mamak kemenakan sudah berlaku semenjak berlakunya system kekerabatan matrilineal di Minangkabau. Dengan pemahaman ini dapat dijelaskan bahwa anak-anak tidak ikut adat matrilineal. Oleh karenanya tidak mendapat warisan. Pengertian generasi dalam kaum mengandung lingkungan yang luas, sedangkan prinsip keutamaan mengharuskan pembatasan generasi kedalam lingkungan yang lebih sempit. Generasi yang berhak untuk menggantikan peranan melanjutkan harta pusaka itu disebut “sewaris”. Tentang syarat-syarat sewaris ditentukan oleh adat sebagai berikut 51 : 1. Seharta sepusaka. 2. Serumah asal 3. Sependam sepekuburan 4. Segolok segadai 51
Amir Syarifuddin, Op Cit, hal 240
Universitas Sumatera Utara
Setiap kaum mempunyai rumah gadang asal, mempunyai harta pusaka untuk kehidupan anggota kaum itu dan mempunyai pendam pekuburan bagi anggota kaum yang mati. Seandainya antara dua orang masih sama-sama tinggal di rumah asal atau dapat diketahui bahwa keduanya adalah sekaum dengan arti sewaris. Bila tidak dapat diketahui bahwa keduanya serumah asal tetapi dapat diketahui bahwa pendam pekuburannya adalah samaa, maka itu adalah menjadi tanda bahwa mereka adalah sekaum dan dengan sendirinya adalah sewaris. Segolok segadai berarti bahwa dalam pertemuan yang melakukan transaksi gadai ia dikuatkan sebagai pihak yang harus mengetahui. Hadirnya ia dalam transaksi gadai itu menunjukan bahwa mereka sekaum dan sewaris. Keseluruhan yang dapat diketahui melalui persyaratan tersebut diatas adalah ahli waris lapisan kekerabatan yang terdekat ialah kerabat bertali darah. Hubungan antara waris dengan ahli waris disebabkan oleh kesamaan keturunan yang di telusuri ke atas melalui garis perempuan bila generasi pewarisan disebut mamak dan generasi ahli waris disebut kemenakan sesuai dengan ketentuan harta pusaka turun dari mamak kepada kemenakan maka hubungan dalam bentuk ini disebut kemenakan bertali darah karena jarak hubungannya terdekat kepada pewaris, maka kemenakan ini di sebut kemenakan di bawah dagu penamaan ini menunjukan dekatnya hubungan dan yang lebih dulu meminta perrhatian ini menunjukkan dekatnya hubungan dan yang lebih dulu meminta perhatian dibandingkan dengan yang lain. Lapisan kedua ialah kerabat yang disebut bertali adat yaitu antara satu dengan yang lainnya tidak diketahui bertali darah. Tetapi secara adat keduanya dinyatakan
Universitas Sumatera Utara
mempunyai hubungan kerabat karena sukunya sama hanya berbeda nagari oleh karena keduanya diikat oleh ikatan adat, maka hubungan mamak kemenakan di sini disebut kemenakan bertali adat dari segi jaraknya terutama yang menyangkut perhatian disebut kemenakan di bawah dada. Lapisan selanjutnya disebut kerabat bertali budi, yaitu hubungan antara kedua pihak tidak diikat oleh kesamaan darah dan tidak pula oleh kesamaan suku. Terjadinya hubungan ialah bahwa sekelompok orang dari luar suku menempatkan dirinya di satu suku dan berbuat jasa pada suku tersebut. Atas jasanya itu ia diakui oleh orang dalam suku untuk bergabung dcengan suku tersebut dan selanjutnya diperlakukan dari anggota dari suku itu oleh karenanya kemenakan yang disebabkan oleh budi itu disebut kemenakan bertali budi karena jaraknya begitu jauh maka ia disebut kemenakan di bawah perut. Bentuk lapisan terakhir disebut kerabat bertali emas ini terjadi pada orangorang yang tidak sedarah dan juga tidak sesuku tetapi datang menyandar kepada suatu suku/ kaum untuk ikut mengusahakn tanah ulayat suku itu. Untuk dapat diterima dalam suku itu ia telah mengisi adat dalam bentuk penyerahan emas. Hubungan orang itu dengan suku tempat ia menyandar itu pada hakikatnya terkait pada emas tersebut. Kemenakan dalam bentuk hubungan ini disebut kemenakan bertali emas dan dari segi jaraknya disebut juga kemenakan di bawah lutut. Pelapisan kekerabatan tersebut diatas menimbulkan adanya sekelompok keutamaan dalam hukum kewarisan. Lapisan yang lebih atas lebih berhak mendapatkan warisan dibandingkan dengan lapisan yang lebih rendah. Selama masih ada yang lebih tinggi, maka yang dibawahnya tidak mempunyai hak atas warisan.
Universitas Sumatera Utara
Bila keseluruhan ahli waris itu tidak ada, maka yang meninggal itu punah. Dalam keadaan seperti itu maka harta peninggalan diurus oleh penghulu sebagai hakim yang memutuskan semua masalah dan silang sengketa kaumnya berdasarkan musyawarah yang dilakukan bersama para ninik mamak keluarga tersebut agar harta tersebut di kembalikan pada posisinya dalam kaum sebagai harta pusaka tinggi dan harta tersebut di laporkan ke lembaga adat gunanya untuk melegalkan posisi terakhir harta tersebut agar terhindar persengketaan dikemudian hari. Biaya pengurusan harta tersebut diambil dari harta peninggalan yang punah. 52 Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan Bapak Bustami Sar, Datuak Perpatiah Nan Sabatang Dena Bawan menyatakan jika dalam pewarisan tersebut itu punah maka harta yang ditinggalkan di urus oleh Pengulu untuk di serahkan ke suku yang paling dekat dari suku yang telah punah tersebut, dan penyerahan harta tersebut harus di hadiri oleh para tungganai dan ninik mamak kedua suku agar tidak terjadi persengketaan di kemudian hari. Dari penjelasan tersebut bahwa “punah” dalam adat Minangkabau sulit terjadi dalam hubungannya dengan harta pusaka karena yang berhak menerima harta pusaka luas sekali lingkungannya dan berlapis-lapis. Pengertian punah dalam arti sempit disebut putus ahli waris. hal itu dapat terjadi jika dalam sebuah rumah tidak ada lagi perempuan. Dengan demikian tidak akan ada lagi keturunan matrilineal yang akan menyambung tali keturunan. Walaupun ada laki-laki di rumah itu, tetapi ia tidak akan
52
Wawancara dengan Amrin Karim, Ketua Badan Musyawarah Masyarakat Minang di Gedung BM3 Medan, 30 Mei 2009
Universitas Sumatera Utara
melanjutkan keturunan matrilineal. Dalam keadaan demikian maka ahli waris berpindah kepada tingkat lebih jauh. Demikian seterusnya sampai betul-betul punah kerabat tersebut dan harta itu disebut harta gantung. Dalam perkembangan selanjutnya ahli waris mengalami perubahan tetapi khusus untuk harta pencaharian. Yaitu janda atau duda serta anak-anak menjadi ahli waris, tetapi hal itu khusus untuk bentuk perkawinan menetap bukan urang sumando lagi. Perhatikan diagram dibawah ini : NN
IN.1 N.1
1.1
M
IN.2 N.2
1.2
Sp.1 S.p4 K.1
N.3
1.3
Sp.2
K.2
1.4
Sp.3
K.3
K.4
Keterangan : NN
: Nenek dari nenek
IN
: Ibu Dari Nenek
N
: Nenek
Ï
: Ibu
M
: Mamak (ego)
Sp.
: Saudara Perempuan
: Perempuan
K
: Kemenakan113
: Laki-Laki Diagram 1. Lapisan Kekerabatan Dan Kewarisan
Universitas Sumatera Utara
K.1 oleh M disebut kemenakan kandung karena hubungan M dengna Ibunya K.1 yaitu Sp.1 adalah seibu. Dalam kewarisan, K.1 oleh M disebut waris yang setampok. Inilah ahli waris yang paling berhak atas harta peninggalan M. Selama ada kemenakan ini keraat lainnya tidak berhak mendapat warisan dari M. K.2 oleh M disebut kemenakan dunsanak ibu, karena ibunya M yaitu I.1 dengan neneknya K.2 Yaitu I.2 adalah seibu yaitu sama-sama anak dari N.1 dalam jarak kewarisan, K.2 disebut waris sejengkal. Maka baru berhak atas warisan M bila K.1 sudah tidak ada. K.3 oleh M desebut kemenakan dunsanak nenek karena neneknya M yaitu IN.1, dalam jarak kewarisan, K.3 disebut warsi sehasta. Mereka berhak atas warisan M bila K.1 dan K.2 sudah tidak ada. K.4 oleh M disebut kemenakan dunsanak moyang, karena dari M yaitu N.1 dengan nenek dari ibunya K.4 adalah senenek, yaitu sama-sama cucu dari NN. Dalam jarak kewarisan K.4 disebut waris sedepa, mereka baru berhak atas harta warisan M bila K.1, K.2 dan K.3 sudah tidak ada. 53 Hal ini disebut prinsip keutamaan dalam hukum kewarisan adat Minangkabau yang erarti bahwa dalam penerimaan harta pusaka atau penerimaan peranan untuk mengurus harta pusaka, terdapat tingkatan-tingkatan hak yang menyebabkan satu pihak lebih berhak dibandingkan dengan yang lain dan selama yang lebih berhak itu masih ada, maka yang lain belum akan menerima.
53
Amir Syarifuddin, Op Cit, hal 237
Universitas Sumatera Utara
5. Cara Pewarisan Dalam Masyarakat Adat Minangkabau Cara-cara pewarisan yang dimaksud disini adalah proses peralihan harta dari pewaris kepada ahli waris. Dalam pengertian adat Minagkabau lebih banyak berarti proses peralihan peranan dari pewaris kepada ahli waris dalam hal penguasaan harta pusaka. Cara-cara peralihan itu bergantung pada macam harta yang akan dilanjutkan dan macam ahli waris yang akan melanjutkan. 54 1) Pewarisan Harta Pusaka Dalam pewarisan harta pusaka, oleh karena harta yang diwariskan dikuasai oleh kaum secara kolektif, sedangkan ahli waris adalah anggota secara kolektif pula, maka kematian seseorang dalam kaum tidak banyak menimbulkan masalah. Harta tetap tinggal pada rumah yang ditempati kaum dimanfaatkan bersama oleh seluruh anggota kaum itu. 2) Pewarisan Harta Bawaan Harta bawaan ialah harta yang dibawa oleh seseorang suami kerumah istrinya pada waktu perkawinan. Harta bawaan dapat berbentuk hasil pencaharian sendiri yang didapat menjelang berlangsungnya perkawinan atau hibah yang diterimanya dalam masa perkawinan, dan harta kaum adalam bentuk hak pakai ganggam beruntuk yang telah berada di tangan suami menjelang perkawinan atau didapatnya hak tersebut dakam masa perkawinan. Kedua macam harta bawaan itu, karena timbul di luar usaha bersama suami istri, adalah hak penuh si suami, maka yang menyangkut harta bawaan berlakulah ucapan adat “ bawaan kembali , tepatan tinggal “. 54
Amir syarifuddin, Op Cit, hal 243
Universitas Sumatera Utara
Pengertian harta bawaan kembali ialah pulangnya harta itu kemabali keasalnya yaitu kaum dari suami. Tentang kembalinya harta yang berasal dari harta pusaka adalah jelas karena hubungan suami dengan harta pusaka itu hanya dalam bentuk hak pakai atau pinjaman dari kaum. Sebagaimana layaknya, harta pinjaman kembali ke asalnya. Sedangkan harta bawaan yang berasal dari hasil pencaharian sisuami sebelum kawin juga kembali pada kaum sebagaimana harta pencaharian seseorang sebelum kawin. 3) Pewarisan Harta Tepatan Yang dimaksud harta tepatan ialah harta yang telah ada pada istri waktu suami kawin dengan istri itu. Harta itu dari asal usulnya ada dua kemungkinan yaitu harta pusaka yang ada pada rumah itu dan harta hasil usahanya sendiri. Pengertian harta tepatan jelas dalam hal yang meninggal istri. Harta itu jika harta hasil usahanya sendiri diwariskan pada anak-anaknya, tetapi dalam hal harta pusaka selain pada anak-anaknya harta itu diwariskan pada saudara-saudaranya karena harta itu diterima bersama saudara-saudaranya. Suami tidak berhak atas harta itu baik harta usaha istri atau harta pusaka. Ada pepatah “harta tepatan tinggal” yang berarti harta tersebut tidak dapat dibawa oleh suami waktu ia meninggalkan rumah. 4) Pewarisan Harta Pencaharian Harta pencaharian yang didapat oleh seseorang melalui tembilang besi atau tembilang emas, menurut adat lama dipergunakan untuk menambah harta pusaka yang telah ada. Dengan demikian harta pencaharian menggabung dengan harta
Universitas Sumatera Utara
pusaka bila yang mendapatkannya sudah tidak ada. Dengan demikian pewarisannya oleh generasi kemenakan. Perubahan berlaku setelah kuatnya pengaruh hukum Islam yang menuntut tanggung jawab seorang ayah terhadap anaknya. Dengan adanya perubahan ini, maka harta pencaharian ayah turun pada anaknya. Dalam penentuan harta pencaharian yang akan diturunkan kepada anak itu, diperlukan pemikiran, terutama tentang kemurnian harta pencaharian itu. Harta pencaharian dalam bentuk tembilang besi dari milik kaum, atau tembilang emas dari hasil usaha yang modalnya berasal dari harta kaum, tidak dapat dikatakan bahwa semuanya adalah harta pencaharian secara murni. Dalam keadaan begitu tidak mungkin seluruh harta pencaharian itu diwarisi oleh anak. Disamping itu kemenakan juga tidak dapat menuntut secara pasti sebagaimana berlaku cara pembagian menurut alur dan patut. Tidaklah adil bila semua harta diambil oleh anakssebagaimana tidak adil bila kemenakan menuntut lebih banyak 55 Terpisahnya harta pencaharian seseorang dari harta pusaka berlaku secara berangsur-angsur dan baru sampai pada tahap akhir dengan adanya pengesahan formal dari putusan dan kesepakatan bersama ninik-mamak, alim ulama dan cerdik pandai dalam pertemuan yang diadakan di Bukittinggi pada tahun 1952. dalam pertemuan itu ditetapkan bahwa harta pusaka diturunkan secara adat dan harta 55
Prof. Nasrun, Hukum waris dan Hukum tanah, Mukhtar Naim (ed), center for Minangkabau Studies : Padang, 1968, hal 51.
Universitas Sumatera Utara
pencaharian dibagi menurut hokum faraid. Kesepakatan tahun 1952 itu dikuatkan lagi dalam seminar Hukum Adat Minangkabau yang diadakan di Padang pada tuhun 1968. 56 Kebanyakan orang Minangkabau memahami pewarisan harta pencaharian pada anak-anak sebagai suatu adat yang baru, dan pada umumnya mereka menyatakan bahwa harta pencaharian hendaknya harus diwariskan sesuai dengan hukum faraid. Kebanyakan orang yang membuat pernyataan demikian ada yang sangat menyadari dan ada yang tidak menyadari fakta bahwa hukum faraid mengandung pengaturan pembagian porsi-porsi warisan yang jauh lebih rumit, dan rujukan mereka ke hukum Islam hanya bersifat parsial. Jika dalam perselisihan muncul argument bahwa anak-anak harus mewaris menurut hukum Islam, rujukan terhadap hukum Islam selalu dibuat hanya untuk melegitimasi tuntutan anak-anak dan tidak untuk legitimasi orang-orang lain yang termasuk calon ahli waris menurut hukum islam, seperti misalnya ayah dan ibu. 57 Seperti diketahui bahwa dalam hukum waris Islam, ayah meruapakan salah satu ahli waris yang tidak pernah terdinding, sedangkan ibu adalah ahli waris yang tidak terdinding secara penuh hanya mungkin akan berkurang pendapatannya jika mewaris bersama-sama dengan anak, cucu, dan dua atau lebih saudara. 58. Dengan demikian baik ayah maupun ibu harus selalu turut serta sebagai ahli waris.
56
Amir syarifuddin,buku II, Op Cit, hal 265 Wawancara dengan H. Edwarman, SH, ketua Pengadilan Negeri, tanggal 22 Januari 2009, di Pengadilan Negeri Padang 58 . Pahing sembiring, Hukum Islam II, Hukum Waris Islam (Faraidh), Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2002 57
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh bahwa harta pencaharian sesudah mati pemiliknya diserahkan kepada anak dan istrinya sebagai ahli waris menurut hukum syara’ atau Faraid. Pewarisan yang menggunakan hukum faraid banyak sekali dilakukan masyarakat adat Minangkabau jika dibandingkan dengan pewarisan yang diberikan kepada anak dan kemenakan, ahli waris anak bersama kemenakan adalah diketahui bahwa harta peninggalan tersebut didapat dengan modal dari harta pusaka tinggi kaumnya (harta pencaharian yang didapat dengan tembilang besi) sehingga hak kemenakan masih melekat padanya, dan yang memberikan kepada ibu atau hanya memberikan kepada kemenakan saja itu berlaku dalam keadaan tertentu yaitu pewaris tidak meninggalkan istri dan anak. Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian yang dilakukan bahwa harta pencaharian seseorang yang tidak tersangkut padanya harta pusaka tinggi diwarisi oleh anak-anak dan istrinya, tanpa pernah menyebutkan ahli waris lainnya (ayah dan ibu). Sedangkan sisanya Mengenai peralihan harta warisan tersebut menjelaskan bahwa mereka tidak ada melakukan pembahagian harta warisan, dengan arti bahwa harta warisan itu adalah hak bersama anak-anak dan istri, harta itu mereka miliki bersama dalam bentuk yang tidak terpecah-pecah. Hal ini disebabkan pada umumnya msayarakat Minangkabau beranggapan bahwa kalau harta itu dibagi-bagi maka fungsi sosial dari harta tersebut tidak ada lagi
Universitas Sumatera Utara
dan akan menghilangkan rasa kebersamaan dalama keluarga mereka. 59 Selama pemilikan bersama itu harta diurus oleh anggota tertua (pada umumnya anak perempuan tertua) dalam rumah itu. Dengan harta warisan itu dibiayai kehidupan setiap anggota, sehingga setiap anggota menerima haknya sesuai dengan keperluannya. Namun apabila mereka akan membagi harta warisan maka mereka sebagian menjawab akan membaginya sama rata di antara anak-anak mereka, sesuai dengan alur dan patut. Bahkan ada yang menjawab bahwa anak perempuan mendapat bagian lebih banyak dari anak laki-laki. Sedangkan warisan bagi anak-anak secara umum, dalam praktek maupun tuntutan normative, diharuskan menurut hukum Islam, pembagian warisan yang aktual di antara anak-anak sesuai dengan aturan-aturan di dalam Al-Qur’an, ahli waris lelaki menerima dua kali lebih banyak dari perempuan. Dalam pembahasan sebelumnya telah dijelaskan tentang harta pencaharian di Minangkabau, kejadiannya, kaitannya dengan harta pusaka, perkembangannya dan pemisahannya dari pengertian harta pusaka. Dengan tidak mengulangi penjelasan tersebut, dibawah ini akan dijelaskan kedudukan harta pencaharian yang ada ditangan seseorang pada waktu ini dengan kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut: 60
59 60
Wawancara dengan Martias, Ketua KAN Kuranji tanggal 24 Januari 2009, Di padang Amir Syarifuddin, Op Cit, hal 283.
Universitas Sumatera Utara
1. Harta pencaharian yang mcdalnya sepenuhnya terdiri dari harta pusaka Bentuk ini dapat dijelaskan dalam beberapa kemungkinan sebagai dibawah ini: a) Usahanya bergerak dalam bidang pertanian dan tanah yang diusahakannya itu seluruhnya harta pusaka. Hubungan antara yang berusaha dengan pemilik modal dalam hal ini adalah kaum atau kemenakan dapat disamakan dengan kerjasama. Perbedaannya ialah bahwa secara nyata disini tidak ada suatu perjanjian formal antara pihak yang berusaha dengan pemegang modal, hingga bagian masing-masing atas usaha yang diperoleh tidak dapat ditentukan secara pasti. Dalam hubungannya dengan harta pencaharian untuk dijadikan harta warisan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, tidak dapat ditempuh suatu cara yang pasti karena tidak jelas hak sebenarnya. Tetapi yang pasti modal dalam bentuk tanah dipisahkan dari harta pencaharian, sisanya yang merupakan hasilnya ini yang merupakan harta pencaharian yang dapat diwariskan pada istri dan anak. b) Usahanya bergerak dalam bidang perdagangan atau industri sedangkan modalnya sepenuhnya dari hasil gadaian tanah pusaka. Dalam hubungannya dengan usaha pemurnian harta untuk dijadikan harta warisan, kewajiban pertama adalah mengembalikan modal dalam bentuk mengganti menebus harta pusaka yang tergadai. Dalam sebagian kelebihannya terdapat hak Yang berusaha dan terdapat pula hak yang mempunyai modal. Hak yang berusaha inilah yang disebut harta pencaharian yang akan diwariskan pada anak dan istri.
Universitas Sumatera Utara
c) Usaha bergerak dalam bidang jasa atau hasil ilmu pengetahuan, Yang didapatnya sebagai investasi sepenuhnya dari harta pusaka. Contoh dalam hal ini adalah seseorang disekolahkan dengan menggadai harta pusaka sampai selesai dan setelah tamat la berusaha dengan ilmu yang diperolehnya. Dari segi pekerjaaan yang dihadapinya, memang tidak terlihat adanya modal dari harta pusaka. Tetapi pengetahuannya yang menjadi modal bagi usahanya itu adalah berkat harta pusaka. Walaupun tidak disadarinya. Kemungkinan ketiga ini lebih sulit dalam pemisahan harta. pencahariannya. Tetapi yang pasti harta pusaka yang terjual atau tergadai harus diperhitungkan. Dalam kemungkinan-kemungkinan tersebut diatas, pemurnian harta pencaharian seseorang dari tersangkutnya hak pihak kaum atau kemenakan akan sukar sekali dilaksanakan. Pada waktu dulu hal tersebut menjadi salah satu pendorong bagi yang berusaha untuk menggabungkan harta pencahariannya dengan harta pusaka. Seandainya harta seperti itu ada di tangan anak, kemenakan mempunyai alasan untuk menggugat anak-anak di pengadilan. Tetapi pada waktu ini jarang terjadi tuntutan pihak kemenakan atas bagiannya dalam harta pencaharian mamaknya. Asalkan harta pusaka yang dijadikan modal usaha harta pencahariannya itu kembali. 2. Modal dari harta pencaharian sebagian berasal dari harta pusaka. Bagian ini dapat dipisahkan secara nyata ada perbedaan antara harta pencaharian dengan harta pusaka Dibandingkan dengan bagian ke 1 diatas, maka porsi harta warisan dalam harta pencaharian dalam bentuk ini, lebih besar dan lebih nyata. Namun demikian,
Universitas Sumatera Utara
masih tercampur didalamnya hak orang lain walaulpun sedikit, yang perlu dimurnikan sebelum diserahkan kepada ahli waris yang berhak. Masih melekatnya unsur harta pusaka dalam harta pencaharian seseorang diatas adalah salah satu faktor yang menyebabkan seorang mamak masih memperhatikan kehidupan ekonomi kemenakannya dan tidak berlepas tangan sama sekali, walau jumlah dan pelaksanaannya sudah berkurang.
3. Harta pencaharian yang modalnya bebas sama sekali dari harta pusaka Kemungkinan yang besar terjadi terhadap harta bentuk ini ialah bila seseorang diam dan berusaha di luar lingkungan kaumnya. Hasil dari harta pencaharian ini sepenuhnya hak milik dari yang berusaha dan secara pasti tidak termasuk didalamnya harta kaum. Pewarisannya lebih mudah karena terlepas dari harta kaum. Harta pencaharian yang bebas sama sekali dari modal harta pusaka, sudah memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai harta warisan. Begitu pula harta pencaharian yang modalnya harta pusaka memenuhi syarat sebagai harta warisan menurut ketentuan syara' setelah dikeluarkan hak kemenakan dari padanya. Dengan demikian dapat ditegaskan lagi bahwa terhadap harta pencaharian yang sama sekali tidak tersangkut padanya harta pusaka, harus sepenuhnya diperlakukan hukum faraid. Terhadap harta pencaharian yang terdapat di dalamnya harta pusaka, juga harus diperlakukan hukum faraidh dengan memberikan kelonggaran untuk memberikannya kepada ahli waris diluar faraid dalam batas yang diizinkan hukum baik melalui wasiat mamak sebelum meninggal atau pemberian ahli waris yang berhak sebelum pembagian warisan.
Universitas Sumatera Utara
5) Pewarisan Harta Bersama atau Harta Suarang Harta suarang adalah segala harta yang diperoleh suami istri secara bersama selama berlangsungnya perkawinan. Unsur kerja sama yang dimaksud bukanlah berarti untuk memperoleh harta suarang si istri harus pula mengerjakan suatu perkerjaan yang serupa dengan si suami. Cukuplah si suami berusaha di luar rumah sedangkan si istri sebagai ibu rumah tangga membina keluarga yang harmonis dan mendorong si suami untuk meningkatkan prestasi kerjanya untuk mengumpulkan harta suarang sebanyak-banyaknya. 61 Harta Suarang ini dipisahkan dari harta pambawaan yaitu harta yang dibawa suami ke dalam hidup perkawinan dan harta dapatan yang didapati suami pada waktu ia datang ke rumah istrinya. Dengan demikian maka harta suarang itu mengandung beberapa unsur: a. Deperoleh selama rumah tangga berlangsung b. Dengan cara usaha masing-masing suami dan istri atau suami saja c. Umumnya harta tersebut disatukan, baik suami dan istri sama-sama bekerja maupun hanya suami saja yang bekerja. Dari hasil penelitian diketahui bahwa apabila orang tua meninggal maka anak yang akan menjadi ahli waris harta suarang orang tuanya sesuai dengan ketentuan hukum Islam, namum dalam hal pembagian harta tersebut mereka masih menganut system pewarisan kolektif. Dengan kata lain di antara anak-anak yang menjadi ahli
61
Jahja, Hukum Waris dan Tanah dan Praktek-praktek Peradilan, dalam Mochtar Naim (ed) Op Cit, hal 88
Universitas Sumatera Utara
waris tidak pernah membagi harta suarang mengacu pada hukum waris Islam, tapi kedudukan istri dan anak terhadap peninggalan suami/ayah, dalam hal porsi dan pembagian, hukum waris Islam tidak dijalankan secara murni, karena para ahli waris memiliki harta tersebut secara bersama-sama. Tampaknya masih kuatnya pengruh hukum waris adat dalam masyarakat merupakan faktor penyebab tidak terbaginya harta suarang secara individual. Hal yang sama juga terjaditerhadap harta pencarian seperti telah diuraikan di atas. Jadi apabila suami meninggal maka harta suarang akan diwarisi oleh anak dan istrinya dan hara tersebut tetap tinggal di rumah di mana suami tiu berusaha. Dan ibu/janda akan bertindak sebagai kepala keluarga di rumahnya menggantikan kedudukan suaminya dengan harta suarang yang selama ini mereka usahakan. Apabila yang meninggal istri maka harta suarang akan diwarisi oleh anakanaknya, dan selama duda tidak menikah lagi maka duda tersebut dapat mengusahakan harta suarang bersama-sama dengan anak-anaknya. Namun jika duda itu menikah lagi, biasanya dia akan meninggalkan harta suarang di rumah jika duda tanpa membawa harta suarang istrinya yang meninggal ke rumah istrinya yang kedua. Si suami akan tercela oleh adat dan masyarakat jika dia membawa harta yang telah ada dirumahnya bersama istri pertama ke rumah istri keduanya. 62 Karena hal ini akan menyebabkan ketidak jelasan harta, mana harta suarang yang diperoleh dari perkawinan pertama dan yang mana diperoleh dari perkawinan
62
Wawancara dengan Alidir Datuk Mudo, Ketua Karapatan Adat Nagari Koto Tangah Padang, tanggal 27 Januari 2009
Universitas Sumatera Utara
kedua (kecuali terjadi pembagian harta suarang yang diperoleh pada perkawinan pertama). Apabila tidak terjadi pemagian harta suarang pada perkawinan pertama maka tindakan ini akan merugikan hak anak-anak dari istri pertama.
e) Hibah Hibah adalah pemberian sewaktu hidup yang dapat dinikmati oleh si penerima sewaktu hidup, tetapi haknya timbul setelah si penghibah meninggal dunia. Yang dapat dihibahkan harta yang telah menjadi hak si pemberi hibah. 63 Lembaga hibah diterima dilingkungan adat sebagai suatu jalan keluar terhadap sesuatu norma yang berlaku tanpa keinginan untuk mengubah norma tersebut. Hasil dari pelaksanaan hibah itu kelihatan seperti mengoreksi suatu hukum yang berlaku. 64 Untuk mengoreksi ataupun mencarikan jalan lain untuk para yang bukan ahli waris menurut hukum adat yang berlaku di masyarakat Minangkabau adalah melalui hibah, hibah wasiat atau wasiat. Namun seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa hibah wasiat dan wasiat sangat jarang dilakukan untuk pariwisata harta. Mereka pada umumnya memakai lembaga hibah dalam hal peralihan hartanya. Pada umumnya penghibahan harta pusaka tinggi dibagi atas 3 macam yaitu : 1. Hibah Laleh 2. Hibah Bakeh 3. Hibah Pampeh 63
Herman Sihombing dan Mahjuddin Salim, Hukum Adat Minangkabau Dalam Keputusan Pengadilan Negeri di Sumatera Barat, Alumni, Bandung, 1975, hal 24. 64 Ter Haar, Asas-asas dan susunan Hukum Adat, Terjemahan Subakti Pusponoto, Jakarta : Pradnya Paramita, hal 212
Universitas Sumatera Utara
Hibah Laleh adalah pemberian dari seseorang kepada orang lain untuk selama-lamanya. Pemberian atau hibah seperti ini akan menjadi milik penerima hibah untuk selama-lamanya. tidak dapat diganggu gugat lagi, baik pemberian ini dari bapak kepada anak, atau dari mamak kepada kemenakan dan sebagainya. Hibah laleh ini biasanya juga terjadi pada seorang penghulu yang tidak mempunyai lagi ahli waris bertali darah. Hibah dalam bentuk seperti ini dilakukan harus sepakat ahli waris bertali adat dan ahli waris lainnya. Hibah Bakeh adalah pemberian yang dilakukan seorang ayah kepada anaknya, yang waktunya terbatas (diberikan selama anak tersebut hidup, jika anak penerima hibah tersebut meninggal maka harta yang dihibahkan tadi kembali kepada kaum penghibah/kaum ayah). Hibah pampeh adalah pemberian dari ayah kepada anaknya dengan cara si anak memberi uang kepada ayahnya, akan tetapi uang yang diberikan biasanya jauh di bawah harga harta yang diberikan tersebut. Harta yang diberikan tersebut akan kembali kepada ayah atau kaum ayah tadi apabila ayah atau kaumnya telah mengembalikan uang yang diberikan tersebut. Hibah seperti ini biasanya dilakukan hanya untuk membantu anak itu. Menurut ketentuan yang dahulu tentang cara pemindahan harta pusaka tinggi melalui hibah ini adalah dengan memakai ketentuan dan syarat-syarat tertentu. Hal ini adalah oleh karena harta pusaka tinggi itu adalah harta bersama dari suatu kaum, dan oleh karena adanya hibah tadi maka harta yang bersangkutan pindah pada kaum yang lain.
Universitas Sumatera Utara
Ketentuan yang harus dipenuhi tadi adalah antara lain : 1. Hibah dilakukan semasa hidup si penghibah. 2. Kerabat dari si penghibah harus hadir semuanya, baik laki-laki maupun wanita. 3. yang akan menerima hibah harus hadir pula. 4. Ninik Mamak baik dari kaum penghibah maupun dari kaum yang akan menerima hibah juga harus hadir. 5. Orang-orang yang memiliki tanah yang berbatasan dengan tanah yang akan dihibahkan tadi juga harus hadir 6. Penghibahan oleh penghibah harus dilakukan di rumah orang yang penghibah dan tidak boleh di rumah istri ataupun tempat lainnya. 7. Pekerjaan ini harus dilakukan disiang hari 8. Kalau
dari salah satu kerabat itu tidak setuju maka hibah tadi tidak dapat
dilaksanakan 9. Setelah di setujui oleh semua kerabat penghibah bahwa mereka setuju dengan penghibahan tadi, biasanya hal itu dinyatakan dalam suatu surat di atas meterai / segel yang ditandatangani penghibah dan warisan-warisannya, dan disaksikan oleh ninik mamak kedua belah pihak serta orang-orang yang memiliki tanah yang berbatasan dengan tanah yang akan dihibahkan untuk ini biasanya para saksi tadi dalam menanda tangani surat itu diberikan uang yang jumlahnya tidak tertentu bagi masing-masing nagari, dan uang tersebut disebut dengan uang saksi. 65
65
Tasyrif Aliumar dan Faisal Hamdan, Hukum Adat dan Lembaga-lembaga Hukum Adat di Sumatera Barat, Proyek Kerja Sama Badan Pembinaan hukum Nasional, Fakultas Hukum Universitas Andalas, 1978
Universitas Sumatera Utara
Kalau melihat syarat dan ketentuan di atas maka tampaklah bahwa banyak tahap-tahap yang harus dilalui untuk melaksanakan hibah tadi. Namum ketentuan umum ataupun syarat yang disebut dalam penghibahan tadi masih dianut oleh masyarakat adat Minangkabau sampai saat ini, dan dapat saja dengan berbagai variasi tertentu dari ketentuan tadi di tiap-tiap Nagari (adanya fatwa adat yang mengatakan bahwa “adat salingka nagari” yang maksudnya bahwa masing-masing nagari memiliki tata cara adapt yang berbeda dalam upacara-upacara adat dan kebiasaankebiasaan adat), akan tetapi tidak melupakan hal-hal yang dianggap penting dari ketentuan di atas. Akan tetapi menurut Ketua Karapatan Adata Nagari Koto Tangah Alidir Datuk Mudo mengenai harta pencaharian pada masyarakat adat Minangkabau, untuk saat ini mereka bebas untuk menghibahkan hartanya tanpa harus izin dan persetujuan dari kaumnya, kaum cukup mengetahuinya saja dengan cara pemberitahuan secara lisan, dan saat ini telah ada (meskipun tidak banyak) yang menggunakan akta otentik untuk menghibahkan hartanya.
6. Metode Pewarisan Harta Pusaka Rendah Membahas metode pewarisan harta pusaka rendah berarti melihat bagaimana cara pewarisan harta pusaka rendah yang diterapkan seseorang terhadap harta yang dimilikinya. Oleh sebab itu, metode ini memperlihatkan tentang cara pewarisan dan besarnya bagian harta warisan yang diperoleh oleh ahli waris terhadap harta pusaka rendah, ditemukan bahwa ada beberapa metode yang diterapkan. Metode-metode
Universitas Sumatera Utara
tersebut umumnya dapat dilihat dari dua sudut. Pertama dari sudut pelaksanaan pembagian harta pusaka dan ke dua dari sudut jumlah atau kuantitas harta yang diterima oleh ahli waris. Adapun Masing-masing metode pewarisan harta tersebut adalah : 1. Dari Sudut Pelaksanaan Pembagian Harta Pusaka Dilihat dari sudut pelaksanaan pembagian harta, metode pewarisan harta pusaka rendah ini terbagi menjadi dua bagian. Pertama, pelaksanaan pembagian harta yang dilakukan pada saat pewaris masih hidup, kedua, pelaksanaan pembagian harta yang dilakukan setelah pewaris meninggal. Masing-masing pelaksanaan pembagian harta dimaksud ditunjukkan oleh penjelasan berikut : a) Pelaksanaan Pembagian Harta Pada Saat Pewaris masih Hidup. Pembagian harta yang dilaksanakan pada saat pewaris masih hidup dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok. Pertama, harta pusaka rendah dibagi oleh pewaris menjadi milik individu ahli waris. Kedua, harta pusaka rendah tidak dibagi atau dibiarkan tetap utuh sebagai milik keluarga ahli waris. Harta pusaka rendah yang dibagi oleh pewaris sebagai milik individu ahli waris, pelaksanaannya ditentukan sepenuhnya oleh pewaris. Dalam hal ini adalah orang tua. Ini didasarkan pada alasan bahwa harta adalah milik orang tua maka untuk menentukan pembagian harta itu juga merupakan hak orang tua. Dalam pembagian harta, orang tua memperuntukkan sejumlah harta bagi anak-anaknya. Anak-anak hanya berkewajiban untuk menerima peruntukkan harta dimaksud. Namun demikian, pembagian seperti ini sering kali tetap dilaksanakan
Universitas Sumatera Utara
dengan cara musyawarah melibatkan anggota keluarga. Harta pusaka rendah yang tidak dibagi atau dibiarkan tetap utuh sebagai milik kolektif keluarga didasarkan kepada pernyataan pewaris yang menetapkan bahwa harta yang akan ditinggalkannya tidak dapat dibagi menjadi milik individu melainkan hanya dijadikan sebagai milik kolektif keluarga. Pelaksanaan seperti ini juga merupakan wewenang orang tua dengan alasan yang sama seperti di atas. Namun begitu, kepemilikan keluarga secara kolektif ini dapat berubah akibat kondisi tertentu berdasarkan kesepakatan dan atau kepentingan. Apabila ahli waris menghendaki maka harta yang pada awalnya milik kolektif keluarga dapat berubah menjadi milik seorang atau beberapa orang ahli waris dengan cara pembelian hak terhadap seorang atau beberapa orang ahli waris lainnya tanpa merusak keutuhan bendanya. Sebagai contoh, sebuah rumah merupakan harta pusaka rendah milik kolektif keluarga. Ahli waris terdiri dari empat orang bersaudara. Dua orang di antaranya memiliki tingkat ekonomi lemah sehingga membutuhkan modal. Dua orang yang lain memiliki tingkat ekonomi yang cukup mapan. Dengan adanya kesepakatan, saudara yang memiliki tingkat ekonomi cukup mapan dapat melakukan pembelian hak atas saudaranya yang membutuhkan modal. Apabila harga rumah disepakati bernilai 1 Milyar maka setiap orang akan mendapat bagian Rp. 250 juta. Dengan demikian, mereka yang membutuhkan modal dapat menerima bagian sebesar Rp. 250 juta per orang tanpa mengusik keutuhan harta. Pelaksanaan pembagian harta yang dilakukan pada saat pewaris masih hidup di atas–baik dibagi menjadi milik individu ahli waris maupun dibiarkan tetap utuh menjadi milik kolektif keluarga–secara umum ditujukan
Universitas Sumatera Utara
untuk menghindari persengketaan di dalam keluarga serta menjaga kekompakan keluarga. Dengan dibaginya harta waris menjadi milik individu maka masing-masing ahli waris dapat mengetahui haknya secara jelas sehingga tidak ada keinginan untuk melakukan penuntutan terhadap harta milik ahli waris lain sepeninggal pewaris. Hal ini disebabkan karena pada saat melaksanakan pembagian harta, pewaris dan ahli waris telah mempersaksikannya secara bersama-sama. Demikian pula kondisinya bila harta tidak dibagi oleh pewaris. Oleh karena harta tetap utuh maka anggota keluarga pewaris akan selalu bekerja sama dan tolong menolong menghadapi persoalan-persoalan keluarga yang muncul. Selain itu, dengan tetap utuhnya harta maka nilai harta tersebut akan terjaga atau lebih besar bila dibandingkan dengan melakukan
pembagian.
Oleh
sebab
itu,
harta
dapat
dimanfaatkan
dan
ditumbuhkembangkan secara terus menerus untuk memperoleh keuntungan maksimal.
b.) Pelaksanaan Pembagian Harta Setelah Pewaris Meninggal Jika pada saat pewaris masih hidup telah menentukan bagian ahli warisnya masing-masing baik dengan cara kepemilikan perseorangan maupun kolektif keluarga maka pada pewarisan harta setelah pewaris meninggal, kondisi harta sama sekali belum dibagi untuk ahli waris. Di samping itu, pewaris juga tidak memberikan penjelasan tertentu yang harus dilaksanakan oleh ahli waris berhubungan dengan harta yang ditinggalkan. Pendek kata, bagaimana proses yang akan dilaksanakan
Universitas Sumatera Utara
terhadap harta pusaka rendah yang ditinggalkan pewaris sepenuhnya menjadi tanggung jawab ahli waris. Berkaitan dengan persoalan ini maka pewarisan harta yang dilaksanakan oleh ahli waris ditempuh dengan cara menyerahkan sepenuhnya hak penentuan pembagian harta warisan kepada orang tua yang masih hidup. Jika orang tua yang meninggal adalah bapak maka hak dimaksud beralih kepada ibu. Begitu juga sebaliknya, jika yang meninggal adalah ibu maka hak penentuan pembagian harta warisan akan beralih kepada bapak. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, pembagian harta pusaka rendah sepenuhnya adalah hak orang tua karena harta yang ada ia peroleh dari hasil jerih payahnya. Bapak sebagai pemimpin di keluarga dan ibu sebagai wakilnya. Jika bapak lebih dahulu meninggal maka kepemimpinan di rumah tangga beralih ke ibu. Peralihan ini juga berlaku terhadap penentuan pembagian harta pusaka rendah. Meskipun demikian, dalam pelaksanaan pembagian harta pusaka rendah ini tetap dilakukan melalui musyawarah keluarga. Pelaksanaan pembagian harta pusaka rendah di atas tentu tidak selalu berjalan sebagaimana mestinya. Ada kalanya orang tua yang masih hidup tetap tidak melakukan pembagian harta sampai ia meninggal. Oleh sebab itu tidak jarang terjadi sengketa pembagian harta diantara ahli waris terhadap harta yang ditinggalkan pewaris. Jika sengketa tersebut terjadi, upaya penyelesaian yang ditempuh adalah dengan melakukan musyawarah keluarga. Namun apabila musyawarah keluarga tetap tidak berhasil, selanjutnya baru dilimpahkan ke pengadilan.
Universitas Sumatera Utara
2. Dari Sudut Kuantitas Harta Melihat pewarisan harta pusaka rendah dari sudut kuantitas adalah mencermati pembagian harta pusaka rendah dari segi jumlah harta yang diberikan pewaris kepada ahli waris. Jika pada poin terdahulu membicarakan tentang pembagian harta pusaka rendah maka di sini yang dibincangkan adalah jumlah atau kuantitas harta yang diberikan kepada ahli waris setelah harta dibagi. Dalam prakteknya, dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok. Ke tiga kelompok tersebut dikemukakan dalam uraian di bawah ini. a.) Memberikan Harta kepada Anak Perempuan Saja Memberikan harta kepada anak perempuan saja dilatarbelakangi oleh alasan pribadi orang tua. Biasanya rasa kasih sayang yang berlebihan kepada anak perempuan. Di samping itu, juga karena alasan yang bersifat fisik dimana anak perempuan memiliki fisik yang lebih lemah dibandingkan dengan anak laki-laki. Oleh kelemahan fisik yang dimiliki anak perempuan tersebut maka anak perempuan harus didukung dengan harta pusaka. Berbeda halnya dengan anak laki-laki. Dengan kondisi fisiknya yang lebih kuat ia dapat berusaha hidup mandiri dan mencari sumber harta lain tanpa harus mengharapkan harta pusaka dari orang tuanya. Alasan lainnya adalah anak laki-laki di Minangkabau setelah menikah akan pergi ke rumah isterinya atau menjadi sumando di rumah isterinya. Itulah sebabnya maka anak laki-laki tidak perlu diberikan harta waris oleh orang tuanya.
Universitas Sumatera Utara
b.) Memberikan Harta Kepada Anak Perempuan Lebih Banyak Pemberian harta pusaka rendah kepada anak perempuan lebih banyak dibandingkan dengan anak laki-laki di samping alasan-alasan yang dikemukakan di atas juga disebabkan oleh sistem perkawinan minangkabau yang matrilokal. Oleh sebab itu, apabila seorang saudara laki-laki dari seorang perempuan mengalami perselisihan–atau sebab lain sehingga mengakibatkan perceraian–dengan isterinya di rumah tangga maka saudara laki-laki itu akan kembali ke rumah keluarga asalnya. Dalam hal ini adalah saudara perempuannya. Dengan kembalinya saudara laki-laki tersebut ke keluarga asal maka tanggung jawab terhadapnya merupakan kewajiban saudara perempuannya.
c.) Memberikan Harta kepada Anak-Anak dengan Jumlah yang Setara atau Seadiladilnya Kelompok ke tiga ini, pertimbangan maupun alasan-alasan seperti dikemukakan di atas sama sekali tidak ditemukan. Kedudukan anak baik laki-laki maupun perempuan dianggap sama dalam keluarga. Tidak ada pemberlakuan istimewa terhadap anak laki-laki maupun anak perempuan dalam masalah harta. Oleh karena itu, harta pusaka rendah yang dimiliki oleh orang tua mereka sepenuhnya menjadi hak anak laki-laki dan perempuan dalam jumlah yang berimbang. 66
66
Internet, Http://ethnotourism.blogspot.com/2009-01-11-archive-html, Medan 22 Januari
2009
Universitas Sumatera Utara