BAB II HUKUM PERJANJIAN SECARA UMUM
A. Pengertian Perjanjian Dalam kehidupan sehari-hari banyak kita jumpai istilah perjanjian. Mengenai istilah perjanjian dalam hukum perdata Indonesia yang berasal dari istilah Belanda sebagai sumber aslinya sampai saat ini belum ada kesamaan dan kesatuan dalam menyalin kedalam bahasa Indonesia, dengan kata lain belum ada kesatuan terjemahan. Para ahli hukum perdata Indonesia menerjemahkan atau menyalin istilah perjanjian yang berasal dari istilah Belanda di dasarkan kepada pandangan dan tinjauan masing-masing. Istilah yang berasal dari kata “janji” itu dapat di artikan sebagai suatu kesediaan atau kesanggupan yang di ucapkan atau di buat secara lisan dan dapat pula dinyatakan secara tulisan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu hal. Menurut Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Di antara kalangan pakar hukum terjadi perbedaan mengenai pengertian dari suatu perjanjian, seperti defenisi perjanjian yang di berikan oleh Wirjono Projodikoro, bahwa perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antar dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji untuk melakukan
Universitas Sumatera Utara
suatu hal atau tidak melakukan suatu hal sedangkan pihak yang lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu. 8 Sedangkan menurut pendapat sarjana yang lain memberikan defenisi perjanjian antara lain : menurut K.R.M.T Tirtodiningrat, SH , perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat di antara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang di perkenankan oleh Undang-Undang. Menurut Prof. Subekti, SH , perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seseorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melakukan sesuatu hal.
9
Sifat dari suatu perjanjian itu sendiri adalah timbal balik
atau sepihak. Di maksud timbal balik adalah masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban. Sedangkan di maksud sepihak adalah perjanjian dimana hanya satu pihak saja yang mempunyai kewajiban untuk melakukan prestasi, sedangkan pihak yang lain mempunyai hak. Sifat perjanjian sepihak inilah yang menurut Prof. Mariam Darus Badrulzaman, SH sebagai suatu bentuk perjanjian yang di sebut dengan perjanjian standar atau baku. Beliau mengatakan perjanjian standar adalah perjanjian dimana isi perjanjian tersebut harus di tentukan terlebih dahulu dalam bentuk tertentu, kepada kreditur hanya di minta pendapatnya apakah dapat menerima syarat-syarat tersebut atau tidak.
10
8
Wirjono Projodikoro, Log. cit. Subekti, Log. Cit. 10 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, (Bandung : Citra Aditya Bakti), 1991,hal. 31. 9
Universitas Sumatera Utara
Dalam Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata di tentukan bahwa perjanjian atau Undang-Undang dapat melahirkan suatu perikatan. Adapun yang di maksud dengan perikatan adalah hubungan hukum antar dua orang yang memberikan hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya di wajibkan memenuhi tuntutan itu.
11
Dari uraian di atas dapatlah
di simpulkan bahwa untuk terjadinya perjanjian itu haruslah ada dua belah pihak di dalamnya dan sedikitnya terdapat satu hak dan satu kewajiban.
B. Bentuk dan Syarat Sah Perjanjian I. Bentuk Perjanjian Suatu perjanjian merupakan suatu hubungan hukum antara dua belah pihak yang telah sepakat untuk masing-masing memenuhi prestasi yang telah di perjanjikan. Melihat dari macamnya atau bentuknya perjanjian itu dapat di bagi kedalam tiga hal yaitu :
12
a. Menyerahkan Sesuatu Perjanjian untuk menyerahkan sesuatu adalah suatu perbuatan atau prestasi berupa jual beli, tukar-menukar, penghibahan, sewa-menyewa, pinjam pakai, dan sebagainya. Hal ini dapat kita lihat dalam Pasal 1352 Kitab undang-Undang Hukum Perdata yang dapat di kategorikan sebagai perjanjian bernama, yaitu perjanjian yang di lahirkan dan timbul karena Undang-Undang. 11
Sutarno, SH, MM, Aspek-aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, (Bandung : Alfabeta), 2003, Hal. 71. 12 Prof. Subekti, SH, Op. Cit, Hal. 36.
Universitas Sumatera Utara
b. Melakukan Sesuatu Dalam Pasal 1241 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata di jelaskan tentang perjanjian untuk melakukan sesuatu bahwa jika perjanjian tidak di laksanakan ( wanprestasi ) maka kreditur boleh juga di kuasakan supaya dia sendirilah yang mengusahakan pelaksanaannya atas biaya si debitur. c. Tidak Melakukan Sesuatu Misalnya : perjanjian untuk tidak mendirikan tambok atau perjanjian untuk tidak mendirikan suatu perusahaan yang sejenis dengan orang lain. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata buku III perjanjian dapat di kategorikan kedalam dua bagian (dapat di lihat dalam Pasal 1352 dan 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) : 1. Perjanjian Bernama Ialah : suatu perjanjian dengan memakai nama tertentu dan tunduk kepada salah satu nama perjanjian yang di atur secara khusus dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Artinya ketentuan-ketentuan khusus tentang perjanjian bernama yang bersangkutan berlaku terhadap perjanjian yang di buat oleh para pihak. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenal 15 perjanjian yang termasuk kedalam perjanjian bernama, antara lain : a) b) c) d) e) 13
13
Perjanjian jual beli Perjanjian sewa- menyewa Perjanjian Tukar Menukar Pemberian Hibah Persekutuan
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta : PT. Intermasa), 1985, Hal. 122.
Universitas Sumatera Utara
f) Perjanjian pinjam meminjam g) Perjanjian pinjam pakai Dari perjanjian bernama tersebut timbullah suatu perikatan. Adapun macammacam perikatan itu antara lain : a) b) c) d) e) f)
14
Perikatan bersyarat Perikatan dengan ketetapan waktu Perikatan manasuka (alternatif) Perikatan tanggung menanggung Perikatan dapat di bagi dan tidak dapat di bagi Perikatan dengan ancaman hukuman
2. Perjanjian Umum Ialah : perjanjian yang tidak termasuk kedalam salah satu jenis yang di sebut dalam buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka terhadap perjanjian yang seperti ini hanya berlaku ketentuan-ketentuan umum yang di atur juga dalam buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, di samping juga berlaku ketentuanketentuan yang di atur sendiri oleh para pihak dalam perjanjian yang bersangkutan di tambah dengan kebiasaan-kebiasaan dan yurisprudensi yang berlaku. Mengenai perjanjian kredit, ada pendapat yang menggolongkan perjanjian kredit sebagai perjanjian bernama jadi bukan termasuk kedalam perjanjian umum. Menurut Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman , SH mengatakan bahwa dalam hubungan dengan perjanjian kredit jika uang telah di serahkan kepada pihak peminjam, baru lahirlah perjanjian pinjam mengganti dalam pengertian UndangUndang menurut bab XIII Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 15
14 15
Ibid Mariam Darus Badrulzaman, SH, Perjanjian Kredit Bank, (Bandung : Alumni), 1978, Hal.
24.
Universitas Sumatera Utara
II. Syarat Sah Perjanjian Untuk membuat suatu perjanjian harus memenuhi syarat-syarat supaya perjanjian di akui dan mengikat para pihak yang membuatnya. Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian. Syarat-syarat yang di perlukan tersebut yaitu :
16
1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya Artinya orang-orang yang membuat perjanjian tersebut harus sepakat atau setuju mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang di buat dan juga sepakat mengenai syarat-syarat lain untuk mendukung sepakat mengenai hal-hal yang pokok. Contohnya dalam perjanjian jual beli, pihak penjual menghendaki uang sebagai harga jual sedangkan pihak pembeli menghendaki barang yang di beli. Harga jual dan barang tersebut merupakan kesepakatan mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian jual beli, sedangkan dimana barang harus di serahkan dan kapan penyerahannya merupakan kesepakatan di luar sepakat mengenai hal-hal yang pokok. Sepakat juga mengandung arti apa yang di kehendaki pihak yang satu juga di kehendaki pihak lainnya. Jadi pihak-pihak dalam perjanjian harus mempunyai kemauan yang bebas untuk mengikatkan diri dan kemauan itu harus di nyatakan secara tegas atau diam. Contoh kemauan yang di nyatakan secara tegas ialah dalam membuat perjanjian sewa menyewa, perjanjian jual beli, dan lainnya. Contoh yang dinyatakan secara diam misalnya orang naik bis kota atau angkutan kota, seorang penumpang membayar ongkos angkutan dan seorang supir mengangkut penumpang sesuai jurusannya atau trayeknya. Secara diam-diam antara penumpang dan supir telah sepakat mengadakan perjanjian pengangkutan yang masing-masing mempunyai hak dan kewajiban timbal balik, penumpang membayar ongkos dan supir berkewajiban mengangkut penumpang tersebut. Sepakat juga berarti ada kebebasan para pihak dan tidak ada unsur tekanan yang mengakibatkan adanya cacat dari kebebasan itu. Kesepakatan itu di anggap tidak ada apabila sepakat itu di berikan karena kekhilafan atau di perolehnya dengan paksaan atau penipuan. Paksaan terjadi jika salah satu pihak dalam perjanjian memberikan persetujuan karena takut ada ancaman. Misalnya ancaman akan di bunuh jika tidak bersedia menandatangani perjanjian. Dengan ancaman ini berarti tidak ada kemauan bebas bagi orang yang menandatangani perjanjian bahkan orang tersebut sebenarnya tidak menginginkan adanya perjanjian. Perlu di pahami bahwa ancaman disini harus berupa ancaman yang bertentangan dengan Undang-Undang misalnya di ancam akan di bunuh, akan di sandera, dan lainnya. Ancaman yang bertentangan dengan UndangUndang tidak dapat di anggap sebagai paksaan, misalnya akan di gugat secara perdata 16
Sutarno, SH, MM, Op. Cit, Hal. 78.
Universitas Sumatera Utara
melalui pengadilan. Ancaman berupa gugatan melalui pengadilan tidak di anggap sebagai ancaman yang mengakibatkan adanya unsur paksaan. 2) Cakap untuk membuat suatu perjanjian Cakap artinya orang-orang yang membuat perjanjian harus cakap menurut hukum. Seorang yang telah dewasa atau akil baligh, sehat jasmani dan rohani di anggap cakap menurut hukum sehingga dapat membuat suatu perjanjian. Orangorang yang di anggap tidak cakap menurut hukum di tentukan dalam Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu : a) Orang-orang yang belun dewasa b) Orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan c) Perempuan dalam hal-hal yang di tetapkan oleh Undang-Undang dan semua orang kepada siapa Undang-Undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Persyaratan kecakapan seseorang yang membuat suatu perjanjian sangat di perlukan karena hanya orang yang cakap yang mampu memahami dan melaksanakan isi perjanjian yang di buat. Membuat perjanjian berarti terikat dan bertanggung jawab untuk melaksanakan apa yang di janjikan bahkan harta kekayaan orang tersebut akan menjadi jaminan apa yang telah di janjikan. Orang yang sakit ingatan berarti tidak sehat pikirannya, orang seperti itu sudah tentu tidak mampu memahami dan melaksanakan apa yang di janjikan sehingga tidak cakap. Orang yang di taruh di bawah pengampuan tidak bebas berbuat terhadap harta kekayaannya, tetapi di bawah pengawasan pangampu. Orang yang seperti itu di samakan dengan orang yang belum dewasa. 3) Mengenai hal atau objek tertentu Artinya dalam membuat perjanjian, apa yang di perjanjikan harus jelas sehingga hak dan kewajiban para pihak bisa di tetapkan. Misalnya perjanjian hutangpiutang harus jelas berapa besarnya hutang, berapa jangka waktu pengembalian dan bagaimana cara mengembalikannya. Contoh lagi dalam perjanjian jual beli barang, barang yang menjadi objek jual beli harus jelas jenisnya misalnya rumah atau ruko, dan sebagainya. 4) Suatu sebab (causa) yang halal Artinya suatu perjanjian harus berdasarkan sebab yang halal atau yang di perbolehkan oleh Undang-Undang. Kriteria atau ukuran sebab yang halal adalah : a) Perjanjian yang di buat tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang. Misalnya perjanjian yang menyanggupi untuk melakukan pembunuhan dengan imabalan tertentu. Ini perjanjian yang di dasarkan sebab atau causa tidak halal dan bertentangan dengan Undang-Undang Pidana Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Sebab atau causa yang yang bertentangan dengan Undang-Undang jelas dan mudah nampak, perjanjian seperti ini adalah batal demi hukum, artinya sejak semula perjanjian di anggap tidak pernah ada, para pihak tidak terikat untuk melaksanakan perjanjian itu.
Universitas Sumatera Utara
b) Perjanjian tidak bertentangan dengan kesusilaan. Lebih mudah untuk menentukan sebab atau causa yang bertentangan dengan Undang-Undang karena sifatnya jelas dan nampak, tetapi sebab atau causa yang bertentangan dengan kesusilaan adalah relatif tidak sama wujudnya di seluruh dunia, mungkin di Indonesia suatu perbuatan tertentu bertentangan dengan kesusilaan tetapi di negara barat perbuatan tersebut di anggap tidak bertentangan dengan kesusilaan. Jadi tergantung pada anggapan masyarakat terhadap perbuatan itu. Perjanjian yang bertentangan dengan kesusilaan misalnya perjanjian dengan seorang penyanyi yang berpakaian mini dan terlihat agak porno. c) Perjanjian tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum. Tidak mudah untuk menetapkan suatu ukuran yang bertentangan dengan ketertiban umum. Ketertiban umum sebagai lawan atau kebalikan dari kepentingan orang-perorangan. Sebagian besar dari hal-hal yang berkaitan dengan ketertiban umum terletak pada bagian ketatanegaraan dari hukum. Perjanjian pengangkutan yang melebihi daya muat alat pengangkut dapat membahayakan ketertiban umum. Demonstrasi yang dilakukan di tengah jalan raya dapat di anggap mengganggu ketertiban umum.
Syarat pertama dan kedua di sebut dengan syarat subjektif karena menyangkut orang-orang atau pihak-pihak yang membuat perjanjian. Orang-orang atau pihakpihak ini sebagai subjek yang membuat perjanjian. Sedangkan syaat yang ketiga dan keempat di sebut sebagai syarat objektif karena menyangkut objek yang di perjanjikan oleh orang-orang atau subjek yang membuat perjanjian. Syarat subjektif apabila tidak di penuhi maka perjanjian dapat di batalkan. Sedangkan untuk syarat ketiga dan keempat atau syarat objektif apabila tidak di penuhi maka perjanjian itu dengan sendirinya batal demi hukum. Ke empat syarat di atas mutlak harus di taati oleh pihak-pihak yang berencana untuk membuat suatu perjanjian.
Universitas Sumatera Utara
C. Berakhirnya Perjanjian Tentang berakhirnya atau hapusnya perjanjian di terangkan dalam Pasal 1381 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, bahwa hapusnya atau berakhirnya perjanjian di sebabkan peristiwa-peristiwa sebagai berikut : 17 1. Karena ada pembayaran Pembayaran adalah kewajiban debitur secara sukarela untuk memenuhi perjanjian yang telah diadakan. Dengan adanya pembayaran oleh seorang debitur atau pihak yang berhutang, berarti debitur telah melakukan prestasi sesuai perjanjian. Dengan di lakukannya pembayaran oleh debitur maka perjanjian kredit/hutang menjadi hapus atau berakhir. Dalam pengertian perjanjian jual beli pembayaran mengandung arti pembayaran yang dilakukan pembeli di ikuti dengan penyerahan barang oleh penjualnya. Yang dapat melakukan pembayaran bukan hanya debitur saja tetapi orang lain yang kaitannya dengan pelaksanaan perjanjian. Menurut Pasal 1382 KUHPerdata yang dapat melakukan pembayaran atau pemenenuhan prestasi selain debitur yaitu : a) orang-orang yang berkepentingan, misalnya orang yang turut terutang atau seorang penjamin hutang (borg). b) orang yang tidak berkepentingan yang bertindak untuk dan atas nama debitur. Hapusnya atau berakhirnya perjanjian terjadi otomatis jika pembayaran telah dilakukan. Dalam praktek perbankan berakhirnya perjanjian kredit karena
17
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
pembayaran ini, sering bank sebagai kreditur mengeluarkan surat keterangan lunas atas hutangnya yang berfungsi untuk melakukan royal jaminan. 2. Penawaran pembayaran tunai di ikuti dengan penyimpanan atau penitipan (consignatie) Prestasi debitur dengan melakukan pembayaran tunai yang di ikuti dengan penitipan dapat mengakhiri atau menghapuskan perjanjian. Ketentuan pembayaran tunai yang di ikuti dengan penitipan ini prosedurnya di atur dalam Pasal 1404 s/d 1412 KUHPerdata. Tetapi hanya berlaku untuk perjanjian yang prestasinya “memberi barang-barang bergerak” sedangkan untuk memberi barang tidak bergerak UndangUndang tidak mengaturnya. 3. Novasi atau pembaruan utang Novasi merupakan salah satu cara untuk menghapuskan atau mengakhiri perjanjian. Novasi atau pembaruan hutang adalah suatu perjanjian baru yang menghapuskan perjanjian lama dan pada saat yang sama memunculkan perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama. Pasal 1413 KUHPerdata menetapkan 3(tiga) macam cara untuk terjadinya novasi yaitu : a) Novasi subjektif aktif adalah suatu perjanjian yang bertujuan mengganti kreditur lama dengan seorang kreditur baru. Misalnya bank A memberikan kredit atau pinjaman uang kepada seorang yang bernama Rafka. Bank A sebagai kreditur menjual piutangnya kepada Bank B, maka disini terjadi pergantian kreditur Bank A di ganti Kreditur baru Bank B. Pergantian kreditur dapat secara sepihak dilakukan kreditur tanpa sepengatahuan debitur.
Universitas Sumatera Utara
b) Novasi subjektif pasif suatu perjanjian yang bertujuan mengganti debitur lama dengan debitur baru dan membebaskan debitur lama dari kewajibannya, dapat juga di sebut dengan alih debitur. Misalnya bank A memberi kredit kepada seorang bernama PT. Rafka. Karena PT. Rafka sebagai debitur tidak dapat atau tidak mampu melunasi hutangnya maka Bank A mengadakan perjanjian dengan PT. Kemal untuk meneruskan kewajiban hutang Rafka, dengan demikian PT.Kemal berstatus sebagai debitur baru menggantikan PT.Rafka. PT.Rafka sebagai debitur lama di bebaskan Bank A dari hutangnya. c) Novasi objektif suatu perjanjian antara kreditur dengan debitur untuk memperbaharui atau merubah objek atau isi perjanjian. Pembaruan objek perjanjian ini terjadi jika kewajiban prestasi tertentu dari debitur di ganti dengan prestasi lain. Misalnya kewajiban menyerahkan suatu barang di ganti dengan menyerahkan uang. Novasi harus dilakukan oleh pihak-pihak yang cakap hukum, artinya cakap untuk membuat perjanjian demikian di tentukan dalam Pasal 1414 KUHPerdata. Keinginan untuk novasi harus dinyatakan dengan tegas. Novasi pada hakekatnya merupakan perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama, maka perjanjian ikutannya seperti hak tanggungan, gadai dan hak istimewa lainnya tidak ikut beralih kepada perjanjian baru kecuali di perjanjikan secara tegas dalam perjanjian novasi bahwa perjanjian ikutannya seperti hak tanggungan, gadai, hak istimewa lainnya tidak hapus dan ikut beralih dengan terjadinya perjanjian novasi.
Universitas Sumatera Utara
4. Kompensasi atau perjumpaan hutang Adalah suatu cara untuk mengakhiri perjanjian dengan cara memperjumpakan atau memperhitungkan hutang piutang antara kreditur dan debitur. Terjadinya perjumpaan hutang tersebut menurut Pasal 1242 KUHPerdata terjadi “demi hukum” artinya terjadi secara otomatis tanpa sepengetahuan kreditur dan debitur tersebut. Namun dalam penerapan di lapangan kompensasi yang terjadi demi hukum jarang terjadi, melainkan harus di dahului pembicaraan dan kesepakatan antara kreditur dan debitur untuk terjadi kompensasi itu. Adanya pendahuluan pembicaraan untuk mengarah terjadinya kompensasi itu untuk menghindarkan konflik di antara kreditur dan debitur. Dalam dunia bisnis hubungan antara kreditur dan debitur tentu harus di jaga demi kelangsungan hubungan bisnis. Namun jika telah terjadi wanprestasi dalam pelaksanaan perjanjian perjumpaan atau kompensasi dapat terjadi demi hukum artinya kreditur dan debitur dapat memperlakukan kompensasi. Untuk dapat dilakukan perjumpaan utang atau kompensasi, dalam Pasal 1427 KUHPerdata memberikan syarat-syarat yang harus di penuhi yaitu : a) kedua utang harus sama-sama mengenai uang atau barang yang dapat di habiskan dari jenis dan kwalitas yang sama. b) kedua utang seketika dapat di tetapkan besarnya atau jumlahnya dan seketika dapat di tagih. Kalau yang satu dapat di tagih sekarang sedangkan utang lainnya baru dapat di tagih satu bulan yang akan datang maka kedua utang itu tidak dapat di perjumpakan. Dalam perkembangannya, untuk menyelesaikan kredit macet kreditur dan debitur dapat melakukan perjumpaan hutang antara hutang dengan jaminan, bukan
Universitas Sumatera Utara
hutang dengan hutang saja. Caranya debitur menyerahkan jaminannya kepada kreditur/bank dan Bank menghapuskan hutangnya, dan hutang dinyatakan lunas. Perjumpaan hutang atau kompensasi seperti ini di sebut dengan set off. 5. Pencampuran Hutang Percampuran hutang terjadi apabila kedudukan kreditur dan debitur bersatu pada satu orang, maka demi hukum atau otomatis suatu pecampuran utang terjadi dan perjanjian menjadi hapus atau berakhir. Contoh terjadinya pernikahan antara kreditur dan debitur dan ada persatuan harta perkawinan, maka terjadi percampuran hutang. 6. Pembebasan Hutang Adalah perbuatan hukum yang dilakukan kreditur dengan menyatakan secara tegas tidak menuntut lagi pembayaran hutang dari debitur. Ini berarti kreditur melepaskan haknya dan tidak mnenghendaki lagi pemenuhan perjanjian yang di adakan, debitur di bebaskan dari prestasi yang sebenarnya harus dilakukan. Secara tegas artinya kreditur memberitahukan secara lisan atau tertulis kepada debitur bahwa kreditur membebaskan kepada debitur untuk tidak membayar lagi hutangnya. Jadi pembebasan hutang ini dapat dilakukan secara sepihak. Undang-Undang tidak mengatur bagaimana prosedur terjadinya pembebasan hutang, sehingga di serahkan kepada kreditur yang memiliki hak untuk membebaskan hutang sepanjang tidak merugikan hak debitur. Berkaitan dengan pembebasan hutang ini dalam Pasal 1442 KUHPerdata menentukan bahwa : a) Pembebasan hutang yang di berikan kepada debitur utama akan membebaskan pula para penanggungnya. b) Pembebasan yang di berikan kepada penangggung hutang tidak membebaskan debitur utama.
Universitas Sumatera Utara
c) Pembebasan yang di berikan kepada salah seorang penanggung hutang, tidak membebakan penanggung hutang lainnya. d) Musnahnya barang yang terhutang
Apabila barang tertentu yang menjadi objek perjanjian musnah, hilang, tidak dapat lagi di perdagangkan, sehingga barang itu tidak di ketahui lagi apakah barang itu masih ada atau tidak maka perjanjian menjadi hapus asal musnahnya barang, hilangnya barang bukan kesalahan debitur dan sebelum debitur lalai mnyerahkan barangnya kepada kreditur. Bahkan seandainya debitur lalai menyerahkan barangnya, maka debitur di bebaskan dari pemenuhan perjanjian jika debitur dapat membuktikan musnahnya atau hilagnya barang itu di sebabkan kejadian di luar kekuasaannya atau di sebabkan keadaan memaksa. Dalam hal debitur di bebaskan untuk memenuhi perjanjian yang di sebabkan peristiwa musnahnya atau hilangnya barang, namum jika debitur mempunyai hak-hak berkaitan dengan barang yang musnah atau hilang, misalnya hak asuransi atas barang tersebut maka debitur di wajibkan menyerahkan kepada kreditur. 7. Pembatalan Perjanjian Bila salah satu pihak akan membatalkan perjanjian yang tidak memenuhi syarat subjektif dapat dilakukan melalui dua cara yaitu : a) Secara aktif mengajukan gugatan pembatalan melalui Pengadilan Negeri. b) Secara pasif artinya menunggu pihak lawan dalam perjanjian mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri, dan di muka Pengadilan Negeri melakukan jawaban atau gugatan balik yang mengajukan kelemahan dan kekurangan dalam perjanjian agar perjanjian di batalkan.
Universitas Sumatera Utara
Untuk dapat mengajukan gugatan pembatalan secara aktif dalam Pasal 134 KUHPerdata memberikan batas waktu 5(lima) tahun yang mulai berlaku : a) Dalam hal belum dewasa maka di hitung sejak hari kedewasaan. b) Dalam hal di bawah pengampuan di hitung sejak hari pencabutan pengampuan. c) Dalam hal kekhilafan atau penipuan di hitung sejak hari di ketahuinya kekhilafan atau penipuan itu. Sedangkan untuk pembatalan secara pasif tidak ada batas waktunya. Bila syarat objektif tidak di penuhi maka perjanjian itu batal demi hukum artinya perjanjian itu sejak semula di anggap tidak pernah ada jadi tidak ada perikatan hukum yang di lahirkan. Karena sejak semula di anggap tidak pernah ada perjanjian maka tidak ada perjanjian yang di hapus. Meskipun syarat-syarat subjektif dan syarat-syarat objektif dalam perjanjian telah di penuhi, perjanjian juga dapat di batalkan oleh salah satu pihak jika salah satu pihak dalam perjanjian tersebut melakukan wanprestasi. Menurut Woeker Ordonantie (stb 1938) No.524 hakim berkuasa untuk membatalkan perjanjian jika isi perjanjian membebankan kewajiban yang tidak seimbang atau membebankan kewajiban yang lebih besar pada satu pihak dan menguntungkan pihak yang lainnya yang di sebabkan karena kebodohan, kurang pengalaman, atau dalam keadaan memaksa dari salah satu pihak. Akibat hukum suatu perjanjian di batalkan karena syarat subjektif dan syarat objektif dalam perjanjian tidak di penuhi atau karena di batalkan salah satu pihak karena wanprestasi yaitu :
Universitas Sumatera Utara
1) Hak dan kewajiban para pihak kembali kepada keadaan semula seperti sebelum adanya perjanjian. 2) Para pihak harus mengembalikan hak-hak yang telah di nikmati, misalnya debitur yang telah menerima uang pinjaman maka debitur segera mengembalikan sebesar uang yang di terimanya. Pembeli yang telah menerima barangnya segera mengembalikan barangnya. 8. Berlakunya Suatu Syarat Batal Untuk menjelaskan berlakunya syarat batal ini kita perlu mengingat kembali tentang perikatan bersyarat. Perikatan bersyarat adalah suatu perikatan yang lahirnya atau berakhirnya di gantungkan pada suatu peristiwa yang akan datang dan peristiwa itu masih belum tentu terjadi. Suatu perikatan yang lahirnya di gantungkan dengan terjadinya suatu peristiwa di namakan perikatan dengan syarat tangguh. Perikatan yang sudah ada yang berakhirnya di gantungkan kepada terjadinya suatu peristiwa di namakan perikatan dengan syarat batal. Misalnya seseorang menyewakan rumahnya kepada orang lain, dengan syarat apabila si pemilik rumah tadi telah kembali dari tugasnya di luar negeri maka perjanjian sewa menyewa tersebut menjadi batal di karenakan si pemilik rumah akan menempati kembali rumahnya itu. Apabila syarat batal di penuhi maka akan menghentikan perjanjian itu dan membawa kembali kepada keadaan semula seolah-olah tidak pernah ada perjanjian, akibatnya semua pihak dalam perjanjian itu harus mengembalikan kedalam keadaan semula.
Universitas Sumatera Utara
9. Daluwarsa atau Lewatnya Waktu Lewatnya waktu atau di sebut kadaluwarsa merupakan salah satu syarat untuk mengakhiri atau menghapus perjanjian atau untuk memperoleh sesuatu. Di dalam Pasal 1946 KUHPerdata menjelakan bahwa lewat waktu atau kadaluwarsa adalah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau di bebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang di tentukan oleh UndangUndang. Daluwarsa dapat di bedakan menjadi dua yaitu daluwarsa atau lewat waktu untuk memperoleh hak milik suatu barang di namakan daluwarsa acquisitive. Sedangkan daluwarsa untuk di bebaskan dari suatu kewajiban perjanjian di sebut dengan daluwarsa extinctive. Ketentuan batas waktu daluwarsa selama tiga puluh tahun lebih di atur dalam Pasal 1967 KUHPerdata yang menegaskan bahwa segala tuntutan hukum baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat perseorangan hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu 30(tiga) puluh tahun itu tidak ada usaha mempertunjukkan suatu atas hak lagi, pula tidak di ajukan terhadapnya suatu tangkisan yang di dasarkan kepada itikadnya yang buruk.
D. Perjanjian Kredit Bank Kata kredit barasal dari bahasa Romawi yaitu dari kata “credere” yang artinya adalah percaya. Dalam bahasa Belanda di sebut dengan vertrouwen, sedangkan dalam bahasa Inggris di sebut dengan believe atau trust atau confidence yang artinya juga sama yaitu percaya. Kepercayaan adalah unsur yang sangat penting dan utama dalam kehidupan manusia sehari-hari. Karena seseorang akan di hargai
Universitas Sumatera Utara
apabila ia dapat di percaya. Dan rasa kepercayaan dari orang lain itu tidak dengan mudah di dapatkan, kita harus menunjukkan tingkah laku yang baik terhadap orang, berkata dengan jujur dan selalu menepati janji yang telah kita ucapkan. Jadi kepercayaan itu sangat penting dalam kehidupan. Dan seseorang tidak akan dengan mudah di terima dalam pergaulan masyarakat apabila ia tidak dapat di percaya. Dalam pergaulan hidup manusia terutama dalam hubungan dagang atau transaksi perdagangan, kepercayaan adalah syarat utama. Artinya masing-masing pihak akan memenuhi kewajiban sesuai dengan kesepakatan yang telah di buat di antara mereka tanpa bermaksud untuk mengingkari apa yang telah di perjanjikan atau di sepakati sebelumnya. Sama halnya dalam kredit, suatu kredit hanya akan di berikan oleh kreditur bank atau lembaga keuangan non bank kepada orang yang dapat di percaya saja. Orang tersebut akan mampu dan mau untuk mengembalikan pinjamannya tepat waktu dan menggunakan pinjaman tersebut sesuai dengan tujuan. Orang yang tidak mampu mengembalikan pinjamannya tepat waktu dan tanpa alasan yang dapat di terima atau menyalahgunakan pinjamannya di luar tujuan sebelumnya maka orang tersebut tidak dapat di percaya lagi untuk memperoleh pinjaman di kemudian hari. Namun sangat sulit untuk mengetahui apakah orang yang mengajukan permohonan kredit atau pinjaman adalah orang yang dapat di percaya atau tidak. Untuk menentukannya maka di perlukan analisis kredit yang dilakukan oleh bank yang di dasarkan dari hasil penilaian berdasarkan konsep 5C yaitu :
18
18
Abdul Kadir Muhammad, SH & Rilda Muniarti, SH. M. Hum, Segi Hukum Lembaga Keuangan Dan Pembiayaan, (Bandung : Citra Aditya Bakti), 2000, Hal. 61.
Universitas Sumatera Utara
1. Character (watak)
Yang di maksud di sini adalah watak. Watak seseorang dapat mencerminkan adanya itikad baik dan kejujuran dari nasabah calon debitur. Penilaian karakter ini meliputi moral, sifat, perilaku, tanggung jawab, dan tidak tertutup kemungkinan kehidupan pribadi dari nasabah calon debitur. Seorang debitur yang mempunyai karakter atau watak baik selalu akan memikirkan mengenai pembayaran kembali hutangnya tepat waktu. 2. Capacity (kemampuan)
Artinya adalah kemampuan. Hal ini dapat di lihat dari kemampuan usaha dan kemampuan mengelola usaha yang di biayai melalui kredit. 3. Capital (modal)
Seseorang atau badan usaha yang akan menjalankan usaha atau bisnis sangat memerlukan modal untuk memperlancar kegiatan bisnisnya. Semakin besar jumlah modal yang di miliki oleh calon debitur dan di tanamkan dalam usaha yang di biayai oleh kredit maka semakin besar keseriusan calon debitur untuk menjalankan usahanya. 4. Collateral (jaminan)
Jaminan berarti harta kekayaan yang dapat di ikat sebagai jaminan guna menjamin kepastian pelunasan hutang apabila di kemudian hari debitur tidak melunasi hutangnya dengan jalan menjual jaminan dan mengambil pelunasan dari harta kekayaan yang menjadi jaminan itu. Jaminan ini meliputi jaminan yang bersifat materil yang berupa barang atau benda baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, seperti tanah, bangunan, mobil, dan lain-lain. Dan jaminan yang bersifat immateril yaitu jaminan yang secara fisik tidak dapat di kuasai langsung oleh bank, misalnya garansi bank. Fungsi jaminan ini adalah untuk memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapatkan pelunasan dari barang-barang jaminan tersebut apabila debitur dapat melunasi hutangnya pada waktu yang telah di tentukan dalam perjanjian. Penilaian terhadap jaminan dapat mengetahui besar kecilnya resiko kegagalan pengembalian kredit. 5. Condition (keadaan atau kondisi)
Bermacam-macam kondisi di luar pengetahuan bank dan di luar pengetahuan pemohon kredit. Kondisi ekonomi yang dapat mempengaruhi kemampuan pemohon kredit untuk mengembalikan hutangnya sering kali sulit untuk dapat di prediksi. Kondisi ekonomi negara yang buruk sudah pasti mempengaruhi usaha pemohon kredit yang akibatnya berdampak pada kemapuan pemohon kredit untuk melunasi hutangnya.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Molengraaf dalam buku (“kredoet” Tjeenk Willink Zwolle h 5 1878) yang dikutp oleh Prof. Dr. Mariam Darus Badrullzaman, SH dalam buku (Aneka Hukum Bisnis Hal.138) kredit adalah meminjamkan benda pada peminjam dengan kepercayaan, bahwa benda itu akan di kembalikan di kemudian hari kepada pihak yang meminjamkan. Defenisi tersebut di kembangkan bahwa jenis kredit mencakup : a) Kredit berupa uang yang kemudian hari di kembalikan dalam bentuk uang. b) Kredit berupa uang yang kemudian hari di kembalikan dalam bentuk barang. c) Kredit dalam bentuk barang yang di kemudian hari di kembalikan dalam bentuk uang. d) Kredit dalam bentuk barang yang kemudian di kembalikan dalam bentuk barang. Undang-Undang nomor 10 tahun 1998 Pasal 1 poin 11 tentang Perbankan memberikan rumusan mengenai pengertian kredit yaitu penyediaan uang atau tagihan yang dapat di persamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Dari pengertian kredit tersebut maka dapat di simpulkan bahwa elemenelemen kredit adalah : a) Kredit mempunyai arti khusus yaitu meminjamkan uang. b) Penyedia atau pemberi pinjaman uang khusus terjadi di dunia perbankan.
Universitas Sumatera Utara
c) Berdasarkan perjanjian pinjam-meminjam sebagai acuan dari perjanjian kredit. d) Dalam jangka waktu tertentu. e) Adanya prestasi dari pihak peminjam untuk mengembalikan utang di sertai dengan bunga. Perjanjian pinjam-meminjam sebagai acuan dari perjanjian kredit di atur dalam Pasal 1754 KUHPerdata yang berbunyi : perjanjian pinjam-meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis karena pemakaian dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula. Perjanjian pinjam-meminjam menurut KUHPerdata tersebut mengandung pengertian yang luas yaitu meliputi perjanjian pinjam-meminjam benda atau barang yang habis jika di pakai dan pinjam uang. Berdasarkan perjanjian pinjam-meminjam uang maka peminjam sebagai pemilik uang yang di kemudian hari peminjam harus mengembalikan dengan jenis yang sama (uang) di sertai bunga atau imbalan kepada pihak yang meminjamkan. Beberapa sarjana hukum berpendapat bahwa perjanjian kredit di kuasai oleh ketentuan-ketentuan KUHPerdata Bab XIII buku III karena perjanjian kredit mirip dengan perjanjian pinjam uang yang terdapat dalam Pasal 1754 KUHPerdata. Namun ada juga sarjana lain yang berpendapat bahwa perjanjian kredit tidak di kuasai KUHPerdata tapi perjanjian kredit memiliki identitas dan karakteristik tersendiri. Menurtu Sutarno, SH, MM bahwa perjanjian kredit sebagian di kuasai atau mirip
Universitas Sumatera Utara
perjanjian pinjam uang seperti di atur dalam KUHPerdata, sebagian lainnya tunduk pada peraturan lain yaitu Undang-Undang Perbankan. Jadi perjanjian kredit dapat di katakan memiliki identitas sendiri tetapi dengan memahami rumusan pengertian kredit yang di berikan oleh Undang-Undang Perbankan maka dapat di simpulkan dasar perjanjian kredit sebagian masih bisa mengacu pada ketentuan KUHPerdata bab XIII. 19 Meskipun perjanjian kredit tidak di atur secara khusus dalam KUHPerdata tetapi dalam membuat perjanjian kredit tidak boleh bertentangan dengan asas atau aturan-aturan yang terdapat dalam hukum perdata. Perjanjian kredit merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam pemberian kredit. Tanpa perjanjian kredit yang di tanda-tangani bank dan debitur maka tidak ada pemberian kredit itu. Perjanjian kredit merupakan ikatan antara bank dengan debitur yang isinya menentukan dan mengatur hak dan kewajiban kedua belah pihak sehubungan dengan pemberian atau pinjaman kredit. perjanjian kredit biasanya di kuti dengan perjanjian jaminan , maka perjanjian kredit merupakan pokok atau prinsip sedangkan perjanjian jaminan adalah perjanjian ikutan yang artinya ada dan berakhirnya perjanjian jaminan tergantung dari perjanjian pokok. Perjanjian kredit di mulai sejak saat di tanda-tangani oleh kedua belah pihak yaitu kreditur dan debitur. Namun walaupun telah di tanda-tangani oleh kedua pihak tetapi jika debitur belum menarik uangnya maka perjanjian kredit di anggap belum terjadi atau belum ada.
19
Sutarno, SH, MM,Op. Cit, Hal. 96.
Universitas Sumatera Utara
E. Bentuk Perjanjian Kredit Bank Menurut hukum perjanjian kredit dapat di buat secara lisan atau tertulis yang penting memenuhi syarat-syarat yang terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Namun dari sudut pembuktian, perjanjian secara lisan sulit untuk di buktikan dan sulit untuk di jadikan sebagai alat bukti. Karena hakekat pembuatan perjanjian adalah sebagai alat bukti bagi para pihak yang membuatnya. Perjanjian kredit merupakan ikatan atau bukti tertulis antara bank dengan nasabah/debitur sehingga harus di buat dan di susun sedemikian rupa agar setiap orang mudah untuk mengetahui bahwa perjanjian yang di muat itu merupakan perjanjian kredit. Dalam praktek bank, ada dua bentuk perjanjian kredit yaitu : 1) Perjanjian kredit yang di buat di bawah tangan yang sering di sebut dengan akta bawah tangan, yang artinya perjanjian tersebut di siapkan dan di buat sendiri oleh pihak bank yang kemudian di tawarkan kepada debitur untuk di sepakati. Biasanya bank telah mempersiapkan formulir perjanjian dalam bentuk yang standart atau baku. Formulir perjanjian kredit yang telah di siapkan oleh pihak bank kemudian di sodorkan kepada setiap calon-calon debitur untuk di ketahui dan di pahami tenteng syarat dan ketentuan pemberian kredit. Syarat dan ketentuan dalam formulir perjanjian tidak pernah di bicarakan atau di diskusikan sebelumnya dengan calon debitur. Calon debitur mau tidak mau harus menyetujui dan menerima persyaratan yang telah di tentukan. 2) Perjanjian yang di buat di hadapan notaris yang di sebut juga dengan akta otentik atau akta notariil. Yang membuat dan menyiapkan perjanjian ini
Universitas Sumatera Utara
adalah seorang notaris namun dalam prakteknya semua syarat dan ketentuan perjanjian kredit di siapkan oleh bank yang kemudian di berikan kepada notaris untuk di buat kedalam akta notariil. Perjanjian kredit yang di buat dalam bentuk akta notariil atau akta otentik biasanya di buat untuk pemberian kredit dalam jumlah yang besar dengan jangka waktu menengah atau panjang, seperti kredit investasi, kredit modal kerja, kredit sindikasi, dan lain-lain. a) Akta Otentik Di dalam Pasal 1868 KUHPerdata di jelaskan bahwa akta otentik adalah akta yang di dalam bentuk yang di tentukan Undang-Undang yang di buat oleh atau di hadapan pegawai yang berkuasa (pegawai umum) untuk itu, di tempat di mana akta di buatnya. Di sebut dengan akta otentik apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut yaitu : akta tersebut di buat di hadapan pegawai yang berwenang untuk itu, bentuk akta di tentukan Undang-Undang dan cara membuatnya harus menurut ketentuan yang di tetapkan oleh Undang-Undang, dan di tempat di mana pejabat yang berwenang membuat akta tersebut. Pegawai yang berkuasa atau pegawai umum yang di maksud pada Pasal 1868 KUHPerdata yaitu seorang notaris, seorang hakim, seorang juru sita di pengadilan, seoang pegawai catatan sipil dan dalam perkembangannya seorang camat karena jabatannya di tunjuk sebagai pembuat akta tanah. b) Akta di bawah tangan Menurut Pasal 1874 KUHPerdata yang di maksud akta di bawah tangan adalah surat atau tulisan yang di buat oleh para pihak tidak melalui perantaraan
Universitas Sumatera Utara
pejabat yang berwenang untuk di jadikan alat bukti. Jadi akta bawah tangan dapat di buat oleh siapa saja, bentuknya bebas, terserah bagi para pihak yang membuat dan tempat membuatnya dimana saja. Yang terpenting dari akta bawah tangan itu adalah tanda-tangan para pihak, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1876 KUHPerdata yang menyebutkan : barang siapa yang terhadapnya di majukan suatu tulisan (akta) di bawah tangan, di wajibkan secara tegas mengakui atau memungkiri tandatangannya. Kalau tandatangan sudah di akui,maka akta bawah tangan berlaku sebagai alat bukti sempurna seperti akta otentik bagi para pihak yang membuatnya. Perbedaan akta otentik dengan akta bawah tangan yaitu :
20
a) Akta Otentik 1) Bentuk akta di tentukan Undang-undang. Contohnya akta jual beli tanah yang di buat oleh PPAT, akta kelahiran, akta perkawinan, dan lain-lain. 2) Di buat oleh pejabat umum seperti notaris, PPAT, pejabat catatan sipil, pejabat KUA, ketua pengadilan, dan lain-lain. 3) Kekuatan pembuktian akta otentik sempurna artinya akta otentik itu di anggap sah dan benar tanpa perlu membuktikan atau menyelidiki keabsahan tanda tangan pihak-pihak tersebut. 4) Akta otentik mempunyai kekuatan formal artinya akta otentik membuktikan kebenaran daripada yang di lihat, di dengar dan dilakukan para pihak tersebut. Jadi dapat menjamin kebenaran identitas para pihak, tandatangan para pihak, tempat akta di buat dan para pihak menjamin keterangan yang di uraikan dalam akta. 5) Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian materiil artinya akta otentik isinya mempunyai kepastian sebagai alat bukti yang sah di antara pihak, para ahli waris dan orang-orang yang memperoleh hak dari akta tersebut. Dengan di ajukannya akta otentik, hakim terikat dan tidak di perkenankan meminta alat bukti tambahan, kecuali ada pembuktian sebaliknya yang menyanggah isi akta tersebut. 6) Apabila akta otentik di ajukan sebagai alat bukti di depan hakim, kemudian pihak lawan membantah akta otentik tersebut maka pihak pembantah yang harus membuktikan kebenaran/bantahannya.
20
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
b) Akta Bawah Tangan 1) Bentuk akta bawah tangan bebas artinya para pihak yang membuat akta bawah tangan tersebut bebas untuk menentukan bentuknya. 2) Kalau akta otentik di buat oleh pejabat negara, notaris, PPAT maka akta bawah tangan di buat oleh pihak-pihak yang membuat akta tersebut. Jadi setiap orang yang cakap menurut hukum dapat membuat akta di bawah tangan. 3) Akta di bawah tangan mempunyai kekuatan hukum pembuktian seperti akta otentik jika tandatangan yang ada dalam akta tersebut di akui oleh yang menandatangani. 4) Akta di bawah tangan baru mempunyai kekuatan materil jika tandatangannya itu di akui oleh yang menandatangani. 5) Untuk pembuktian di depan hakim, jika salah satu pihak mengajukan bukti akta di bawah tangan dan akta tersebut di bantah oleh pihak lawannya, maka pihak yang mengajukan akta di bawah tangan itu yang harus mencari bukti tambahan untuk membuktukan bahwa akta dibawah tangan yang di ajukan alat bukti tersebut benar-benar di tandatangani oleh pihak yang membantah.
Universitas Sumatera Utara