BAB II HUKUM DAN PERUBAHAN SOSIAL
A. Hukum dalam Masyarakat Masyarakat sebagai bagian dari alam semesta mempunyai tatanan yang menentukan realitas sosial. Persoalan statik dan dinamik yang oleh Comte menjadi titik sentralnya. Aspek statik merupakan aspek sosial yang eksistensinya berada pada momen kesejarahan sosial khusus. Sementara itu, aspek dinamik berkaitan dengan pandangan tentang cara masyarakat mengalami perubahan sepanjang waktu. Dengan demikian, dimensi waktu menjadi penting dalam studi dinamika sosial sejak Comte berpandangan bahwa evolusi alamiah masyarakat bergerak menuju ke kondisi harmoni final.38 Sejak lahir di dunia, manusia telah bergaul dengan sesamanya di dalam wadah yang bernama masyarakat. Dari pergaulan itu, secara sepintas lalu diapun mengatahui dalam berbagai hal, dia mempunyai persamaan dengan orang-orang lain, sedangkan dalam hal lain dia berbeda dengan mereka dan mempunyai sifat-sifat khas yang berlaku pada dirinya sendiri. Adanya persamaan-persamaan
dan
perbedaan-perbedaan
ini,
lama
kelamaan
menimbulkan kesadaran pada diri manusia, bahwa dalam kehidupan masyarakat ia membutuhkan aturan-aturan yang oleh semua anggota masyarakat tersebut harus dipatuhi atau ditaati, sebagai pedoman atau 38
Sindung Haryanto, Spektrum Teori Sosial: Dari Klasik hingga Postmodern (Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2012), h. 14
25
26
pegangan yang mengatur hubungan-hubungan antara manusia yang satu dengan yang lainnya, serta antara manusia dengan masyarakat atau klompoknya. Pedoman-pedoman itu biasanya diatur oleh serangkaian nilainilai dan kaidah-kaidah.39 Proses inilah yang menjadi manusia untuk berhasrat berhubungan dengan yang lainnya. Yang memunculkan sebuah sistem nilai atau kaidah termasuk kaidah hukum. Dalam kenyataannya manusia mempunyai hasrat untuk senantiasa berhubungan dengan manusia lainnya. Hasrat tersebut sebenarnya merupakan suatu naluri, yang kemudian terwujud di dalam proses interaksi sosial. Proses interaksi sosial merupakan hubungan timbal balik antara manusia perorangan, hubungan antar kelompok, serta hubungan manusia perorangan dengan kelompok. Pengalaman di dalam interaksi sosial mungkin menghasilkan sistem nilai-nilai yang berpengaruh pada pola berpikir. Di dalam proses selanjutnya, pola pikir manusia berpengaruh terhadap sikapnya, yang kemudian menghasilkan kaedah-kaedah, antara lain kaedah hukum. Kaedahkaedah tersebut menjadi pedoman bagi perilaku masyarakat, antara lain perilaku hukum.40
39
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), h. 1-2. 40 Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, Cet. III (Jakarta: CV. Rajawali, 1987), h. 47. Perilaku hukum yang muncul dari pedoman kaedah hukum ini menjadikan aturan yang sangat penting dalam berinteraksi sosial, karena itu dapat dijadikan hukum yang berlaku di masyarakat. Oleh karena itu, hukum dalam masyarakat sangat penting dalam mengatur pola kehidupan masyarakat yang berbeda-beda. Hal ini, bisa dibuktikan bahwa setiap ada kelompok manusia yang saling berinteraksi, dipastikan adanya kesepakatan untuk menjamin kehidupannya masing-masing. Misalnya hukum pernikahan yang merupakan interaksi hubungan manusia perorangan, hubungan antar kelompok, serta hubungan manusia perorangan dengan kelompok.
27
Dikutip dari peters dan siswosoebroto, dalam masyarakat primitif, perilaku anggota masyarakat memanisfestasikan keteraturan lahiriah tertentu, terutama dalam hubungannya dengan sesamanya. Keteraturan tersebut tampaknya dikondisikan secara organis dan merupakan ciri manusia yang paling primer. Dari merekalah berasal ide tentang suatu norma yang seharusnya ditaati. Terulangnya kejadian-kejadian tertentu secara teratur menunjukkan kepada mereka pentingnya arti seharusnya.41 Arti seharusnya tersebut merupakan fungsi hukum dalam masyarakat yang telah disepakati bersama untuk mengatur kehidupan. Hukum tersebut merupakan kontrol atau pengendali dalam hidup dalam mayarakat. Teori tentang fungsi hukum dalam masyarakat yang sudah maju dapat dilihat dari dua sisi, yaitu: 1. Di mana kemajuan masyarakat dalam berbagai bidang membutuhkan aturan hukum untuk mengaturnya, sehingga sektor hukum ikut ditarik oleh perkembangan masyarakat tersebut. 2. Di mana hukum yang baik dapat mengembangkan masyarakat atau mengarahkan perkembangan masyarakat. Dalam setiap masyarakat, hukum lebih berfungsi untuk menjamin keamanan dalam masyarakat dan jaminan pencapaian struktur sosial yang diharapkan oleh masyarakat.42 Sehingga arti pentingnya hukum mempunyai peran yang sangat dominan.
41
Rianto Adi, Sosiologi Hukum: Kajian Hukum secara Sosiologis ( Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012), h. 55. 42 Munir Fuady, Teori-teori Besar (Grand Theory) dalam Hukum (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), h. 245.
28
Hukum memainkan peranan penting dalam suatu masyarakat dan bahkan mempunyai multifungsi untuk kebaikan masyarakat demi mencapai keadilan, kepastian hukum, ketertiban, kemanfaatan, dan lain-lain. Akan tetapi, keadaan sebaliknya dapat terjadi bahkan sering terjadi, di mana penguasa negara menggunakan hukum sebagai alat untuk menekan masyarakat, agar masyarakat dapat dihalau ke tempat yang diinginkan oleh penguasa negara, utamanya penguasa negara yang totaliter. Penggunaan hukum sebagai alat menekan masyarakat oleh pemerintah totaliter seperti ini misalnya terjadi dalam bentuk mengirim oposisi atau musuh penguasa ke dalam penjara atau ke tiang gantung, yang dijustifikasi secara semu oleh pengadilan-pengadilan, di mana para hakimnya merupakan boneka dari penguasa negara.43 Hukum dalam masyarakat berkembang yang selalu akan memunculkan ide perubahan hukum sesuai dengan fungsi hukum dalam masyarakat sebagai rekayasa masyarakat atau alat pengontrol masyarakat. Hanya saja sebelum produk hukum diubah baik oleh parlemen, pemerintah atau oleh pengadilan, terlebih sudah ada teriakan/kebutuhan dalam masyarakat akan perubahan tersebut. Semakin cepat hukum merespons suara pembaruan/perubahan hukum dalam masyarakat, semakin besar pula peran yang dimainkan oleh hukum untuk perubahan masyarakat tersebut. Sebaliknya, semakin lamban hukum merespon suara-suara pembaruan dalam masyarakat, semakin kecil fungsi dan andil hukum dalam mengubah masyarakat tersebut, karena
43
Munir Fuady, , Teori-teori Besar (Grand Theory) dalam Hukum, h. 248.
29
masyarakat sudah mengubah dirinya sendiri. Dalam hal ini, hukum hanyalah berfungsi sebagai ratifikasi dan legitimasi saja. Sehingga dalam kasus seperti ini, bukan hukum yang mengubah masyarakat, tetapi yang terjadi adalah perkembangan masyarakat yang mengubah hukum.44 Oleh karena itu, pembaruan hukum keluarga di Maroko seorang perempuan tidak membutuhkan izin wali untuk menikah seiring dengan perkembangan masyarakat yang harus direspon.
B. Perubahan Hukum Apabila hukum itu dipakai dalam artinya sebagai bentuk karya manusia tertentu dalam rangka mengatur kehidupannya, maka akan dapat dijumpai dalam bentuk lambang. Di antara lambang-lambang tersebut, yang paling tegas dan terperinci mengutarakan isinya adalah bentuk tertulis atau dalam sistem hukum formal. Salah satu segi bentuk tersebut adalah terdapatnya kepastian dalam norma-normanya, sedangkan seginya yang lain adalah kekakuan. Kepastian hukum memang banyak disebabkan oleh karena sifat kekakuan bentuk pengaturan ini. Kekakuan itu sendiri pada gilirannnya menyebabkan timbulnya keadaan-keadaan yang lain lagi. Salah satu daripadanya adalah adanya kesenjangan di
antara keadaan-keadaan,
hubungan-hubungan
dalam
serta
peristiwa-peristiwa
masyarakat
dan
pengaturannya oleh hukum formal itu. Memang harus diakui, apa yang terdapat di dalam sistem hukum formal itu tidak dimaksudkan untuk merekam
44
Munir Fuady, , Teori-teori Besar (Grand Theory) dalam Hukum, h. 250.
30
keadaan yang terdapat di dalam, bahkan ia bisa dimaksudkan untuk membatasi dan mengubahnya. Namun demikian, apa pun yang dikehendaki oleh sistem hukum formal itu, ia tak dapat melepaskan diri dari bahan-bahan yang diaturnya.
Maka
apabila
di
atas
disebutkan
mengenai
terdapatnya
kesenjangan, kesenjangan ini terdapat antara hukum yang mengatur dan bahan yang diaturnya.45 Memang demi tercapainya cita-cita hukum dan untuk menciptakan kewibawaan hukum diperlukan adanya telaah hukum dengan tidak hanya menggunakan pendekatan normatif atau studi law in books, tetapi lebih dari itu dibutuhkan adanya kajian hukum dengan menggunakan pendekatan sosiologis atau studi law in action.46 Oleh karena itu, perubahan hukum oleh Lawrence M. Friedman dapat terjadi pada awalnya karena berupa suatu peraturan yang kabur dan peraturan tersebut merupakan produk dari pendelegasian penuh dari sebuah komunitas. Di samping itu juga karena latar sosial yang berubah (perubahan sosial) atau yang berkembang.47
45
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat (Bandung: Angkasa, 1980), h. 50-51. Aturan hukum yang telah menjadi hukum formal memang menjadi polemik ketika perubahan di masyarakat menghendaki harus diubah. Namun, nilai substansi hukum yeng terkandung dalam hukum formal tersebut tidak berubah. Misalnya, hukum Islam yang selalu identik dengan kompatibel dengan ruang dan waktu, harus bisa memberikan solusi hukumnya dengan kondisi sosial masyarakat yang berkembang. Proses inilah yang menjadi perubahan hukum bahkan pembaruan hukum Islam untuk bisa menghadapi tuntutan zaman dan kondisi sosial yang berbeda. Sesuai dengan fungsi hukum yang bisa sebagai alat rekayasa dan alat kontrol sosial dalam mengatur kehidupan. 46 Istilah law in books dan law in action, meminjam istilah yang digunakan oleh Tomasic dalam bukunya The Sosiology of Law. Lihat Roman Tomasic, The sociology of Law (London: Sage Publication, 1986), h. 6. 47 Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective, terj. Alimandan, Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial, h. 401. Hal inilah yang terjadi dalam pembaruan hukum keluarga di Maroko seorang perempuan tidak membutuhkan izi wali untuk menikah.
31
Sistem hukum Islam yang sumber hukumnya dari al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam dan firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia hingga akhir zaman sebagai petunjuk48 yang kemudian dipahami melalui penggalian dan penemuan hukum untuk menjawab tuntutan dan perkembangan zaman mengalami perubahan hukum. Begitu juga dengan Sunnah yaitu dalam istilah syara’ adalah ucapan, perbuatan atau pengakuan Rasulullah SAW.49 sebagai pedoman umat Islam dalam penggalian dan penemuan hukum. Proses itulah yang menjadi hukum Islam berkembang sesuai dan fleksibel dengan tuntutan dan perkembangan zaman. Langkah dan metode yang dikembangkan dalam hukum Islam adalah melalui ijtihad.50 Kajian ijtihad tersebut menghasilkan beberapa pemahaman yang disebut dengan fikih atau yang secara sederhananya sebagai hukum Islam dari produk pemahaman terhadap teks-teks sumber hukum Islam. Dalam beberapa literatur kitab-kitab klasik muncul beberapa kajian fikih sebagai aturan hukum oleh umat Islam baik secara pribadi atau dengan masyarakat atau berhubungan dengan Tuhannya, seperti fikih ibadah, fikih jinayat, fikih mu’amalah, fikih mawaris, fikih munakahat, dan lain-lain.
48
Surah al-Baqarah 2: 185 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Usul al-Fiqh (Kuwait, Dar al-Qalam: 1977), h. 14. 50 Al-Qur’an dan al-Sunah merupakan dua sumber utama dalam pemikiran hukum Islam. Apabila di dalam al-Qur’an ditemukan ketentuan hukum yang jelas, maka hukum itulah yang diambil. Namun bila tidak ditemukan di dalamnya, maka dicari dalam Sunah. Jika di dalam keduanya tidak terdapat ketentuan hukum, atau hanya disinggung secara samar, maka pencarian hukumnya melalui ijtihād atau ra’y. Lihat Ilyas Supena dan M. Fauzi, Dekontruksi dan Rekontruksi Hukum Islam, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), h. 167-168. Hal inilah yang menjadi ijtihad merupakan aktifitas daya nalar yang dilakukan oleh para fuqaha’ (mujtahidīn) dan alternatif metode dalam penggalian hukum Islam. 49
32
Dalam kajiannya, fikih munakahat adalah seperangkat peraturan yang bersifat amaliyah furū’īyah berdasarkan wahyu Illahi yang mengatur hal ihwal yang berkenaan dengan pernikahan yang berlaku untuk seluruh umat yang beragama Islam.51 Fikih ini mengatur kehidupan rumah tangga (hukum keluarga) berikut hak dan kewajiban dalam pernikahan di samping akibat pernikahan tersebut. Memasuki era modern di dunia negara-negara Islam, fikih munakahat mengalami pergeseran term yang diganti dengan hukum keluarga Islam52 sekarang, menjadi isu perubahan hukum yang dikodifikasi menjadi undangundang dalam sistem hukum Islam di negara-negara muslim modern, sehingga proses
kodifikasinya
sangat
banyak
tantangan
dalam
tuntutan
dan
perkembangan zaman seiring dengan perubahan sosial. Hukum keluarga Islam selama berabad-abad diakui sebagai landasan utama pembentukan masyarakat (umat) Islam. Selain itu, kajian terhadap hukum keluarga Islam tetap penting dan terus berkembang juga karena dari persoalan-persoalan inilah selalu muncul perdebatan antara kekuatan konservatif dengan kekuatan-kekuatan
51
Amir Syarifuddin, Hukum Pernikahan Islam di Indonesia (Jakarta : Kencana, 2006), h.
5. 52
Nama-nama atau sebutan fikih munakahat menjelma menjadi hukum keluarga Islam ,banyak bentuknya dalam berbegai istilah, seperti: Law of Family Rights (Qānūn Qarar al-Huqūq al-‘Ailah) di Turki, sementara itu di Lebanon dengan the Law of the Rights of the Family, di Mesir dengan Personal Status (Amandement) Law, di Iran dengan Protection of Family (Himāyāt alKhāniwadā), di Yaman dengan Family Law (Qanun al-Usrah), di Yordania dengan Law of Personal Status (Qānūn al-Aḥwāl al-Syakhshīyah, di Syria dengan The Syrian Code of Personal Status, di Tunisia dengan Code of Personal Status (Majallāt al-Aḥwal al-Syakhshīyah), di Maroko dengan Mudawwanah al-Aḥwāl al-Syakhshīyah yang kemudian diamandemen pada tanggal 5 Februari 2004 dengan nama Mudawwanah al-Usrah , Iraq dengan Personal Status (Qānūn alAḥwāl al-Syakhshīyah al-Irāqīah), di AlJazair dengan the Algerian Family Code, di India dengan The Muslim Personal Law (Syari’ah) Application Act, di Bangladesh dengan The Muslim Personal Law, di Somalia dengan the Family Code of Somalia, di Afghanistan dengan Qanun-i Izdiwaj, di Malaysia dengan Mohammedan Marriage Ordonance, di Indonesia dengan Kompilasi Hukum Islam, dan di Filipina dengan Code of Muslim Personal Laws
33
progresif di dunia Islam.53 Oleh karena itu, mengkaji perkembangan hukum keluarga Islam dalam setting perubahan sosial akan menarik dalam konteks hukum keluarga Islam di negara-negara Islam modern.
C. Hukum Keluarga Islam dalam Perubahan Sosial Sebelum mengenal hukum keluarga Islam dalam undang-undang di dunia Islam modern, hukum keluarga dalam dunia Ilmu Fikih dikenal dengan al-Aḥwal al-Syakhsīyah,54 yaitu hasil ketentuan hukum yang mengatur hubungan antara suami isteri, anak, dan keluarganya. Pokok kajian hukum keluarga salah satunya adalah Munakahat atau pernikahan. Munakahat merupakan akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang pria dan seorang wanita serta menetapkan hak-hak dan kewajiban diantara keduanya. Pembahasan fikih munakahat, mencakup topik-topik: peminangan, akad-nikah, wali nikah, saksi nikah, mahar, mahram, rada’ah, hadanah, kedudukan harta dalam pernikahan, hal-hal yang berkaitan dengan putusnya pernikahan, iddah, talak, ruju’, ila’, zihar, li’an, nusyuz, syiqaq, ihdad, nafkah, poligami, dan lain-lain.55 Islam sangat memperhatikan pembinaan pribadi dan keluarga. Akhlak yang baik pada pribadi dan keluarga akan menciptakan masyarakat yang baik
53
J. N. D. Anderson, Islamic Law in the Modern World, terj. Machsun Husain, Hukum Islam di Dunia Modern (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), 46-47. 54 Dalam undang-undang di dunia Islam modern masih ada juga yang menggunakan istilah hukum keluarga dengan al-Aḥwāl al-Syakhshīyah, seperti di Maroko yaitu Mudawwanah al-Aḥwāl al-Syakhshīyah, namun seiring dengan reformasi tanggal 5 februari 2004 terhadap undang-undang tersebut, kemudian diganti dengan istilah Mudawwanah al-Usrah. 55 Lihat M. A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2009). H. 67.
34
dan harmonis, oleh karena itu pula, hukum keluarga menempati posisi penting dalam hukum Islam. Hukum keluarga dirasakan sangat erat kaitannya dengan keimanan seseorang. Seorang muslim akan selalu berpedoman kepada ketentuan dan peraturan yan telah diberikan oleh Allah SWT dalam setiap aktivitas pribadi dan dalam hubungan dengan keluarga. Kendatipun dalam ilmu fikih hukum keluarga digolongkan mu’amalah, akan tetapi unsur ibadatnya lebih terasa, sehingga hukum keluarga berkaitan agama Islam. Hukum keluarga merupakan hukum yang mendapatkan prioritas dan terdapat jiwa wahyu Ilahi dan sunnah Rasulullah, sedangkan pada hukum (mu’amalah) lain, pada umumnya jiwa tersebut mengalami kelunturan yang signifikan antara lain akibat penjajahan Barat selama berabad-abad lamanya. Stagnasi perkembangan hukum Islam sebelum dan pada masa penjajahan Barat itu mengakibatkan hukum Islam sebagai sistem hukum yang mempunyai corak tersendiri telah diganti atau setidaknya dipinggirkan oleh hukum Barat (Kristen) dengan berbagai cara, seperti: teori resepsi, pilihan (opsi) hukum, penundukan dengan suka rela, pernyataan berlaku hukum Barat mengenai bidang-bidang tertentu, sampai dengan pemberlakuan hukum pidana Barat kepada umat Islam, kendatipun bertentangan dengan asas dan kaidah hukum Islam serta kesadaran hukum masyarakat muslim. Hal ini menyebabkan hukum Islam sebagai suatu sistem hukum di dunia ini menjadi banyak yang hilang dari peredaran, kecuali hukum keluarga.56
56
M. Sularno, ―Dinamika Hukum Islam Bidang Keluarga di Indonesia‖ (Yogyakarta, AlMawarid, Edisi XVIII Tahun 2008), h. 249-250. Lihat juga dalam Abdullah Ahmad al-Na’im, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberaties, Human Right, and International Law, terj. Ahmad Suaedy dan Amiruddin Ar – Rany, Dekontruksi Syari‘ah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak
35
Hukum keluarga mempunyai posisi yang penting dalam hukum Islam. Hukum keluarga dianggap sebagai inti syari’ah. Hal ini berkaitan dengan asumsi umat Islam yang memandang hukum keluarga sebagai pintu gerbang untuk masuk lebih jauh ke dalam hukum Islam. Seiring dengan tuntutan dan perkembangan zaman, hukum keluarga Islam tidak dapat menghindar dari perubahan sosial yang ada. Sesuai dengan konteks masyarakat modern, menghendaki unifikasi dan kodifikasi hukum keluarga agar bisa diberlakukan sesuai kondisi masyarakat sekarang. Masyarakat senantiasa mengalami perubahan-perubahan. Perbedaan hanya terdapat pada sifat atau tingkat perubahan itu. Perubahan dapat kentara dan menonjol atau tidak; dapat cepat atau lambat; dapat menyangkut soal-soal yang fundamental bagi masyarakat bersangkutan atau hanya perubahan yang kecil saja. Namun bagaimanapun sifat dan tingkat perubahan itu, masyarakat senantiasa mengalaminya.57 Dengan adanya hukum keluarga Islam yang dipengaruhi oleh perubahan sosial meniscayakan perubahan dalam banyak hal, terutama dalam hukum. Perubahan hukum dalam hukum keluarga Islam yang dikenal di negara-negara Islam memunculkan pembaruan hukum Islam yang tak lain demi menjaga eksistensi hukum keluarga Islam yang selama ini masih diberlakukan di negara-negara Islam Modern bahkan termasuk negara di luar yang kebanyakan bukan Islam penduduknya.
Asasi Manusia, dan Hubungan Internasional dalam Islam, h. 88-89. Hukum Islam yang masih diterapkan dalam dunia muslim modern hanya dalam hukum keluarga dan waris. 57 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Cet. XII. (Jakarta: Rajawali Press, 1995), h. 56
36
D. Pembaruan Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern memasuki dunia Islam, terutama sesudah pembukaan abad ke-19, yang dalam sejarah Islam dipandang sebagai permulaan modern.58 Kontak dengan dunia Barat selanjutnya membawa ide-ide baru ke dunia Islam, seperti kodifikasi fikih dalam bentuk undang-undang modern, pembentukan lembaga peradilan Islam Modern dan lainnya. Ada yang baru lagi yaitu pembaruan undang-undang terutama hukum keluarga yang selama ini menjadi pedoman dalam kehidupan di negara-negara dunia Islam. Sehingga muncul beberapa istilah untuk hukum keluarga yang dilakukan dengan pembaruan yang berbentuk undang-undang di negara Islam, seperti : Law of Personal Status, Family Law, Las Family of Rights dan lainlain. Ruang lingkup pembaruan hukum keluarga (pernikahan) ada 10 dari 13 hal yang mengalami perubahan atau terjadi pembaruan,59 salah satunya peranan wali dalam nikah. Yang selama ini masih belum bisa diterima kalangan umat Islam sepenuhnya. Sehingga perbedaan mencolok antara ketentuan undang-undang sebelumnya dengan sesudahnya, seperti halnya terjadi di Maroko. 58
Harun Nasution, Pembaruan dalam Islam: Sejarah, Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 11. 59 Pembatasan umur minimal untuk kawin bagi laki-laki dan wanita, peranan wali dalam nikah, pendaftaran dan pencatatan pernikahan, keuangan pernikahan: maskawin dan biaya pernikahan, poligami dan hak-hak istri dalam poligami, nafkah istri dan keluarga serta rumah tinggal, talak dan cerai dimuka pengadilan, hak-hak wanita yang dicerai suaminya, masa hamil dan akibat hukumnya, serta hak dan tanggungjawab pemeliharaan anak setelah terjadi perceraian. Lihat Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries (History Text dan Comparative Analysis), h. 12.
37
JND. Anderson dalam bukunya Islamic law in The Modern World menjelaskan tentang urgensinya hukum keluarga dengan alasan sebagai berikut : 1. Hukum keluarga selalu dianggap sebagai inti syari'ah 2. Selama beratus-ratus tahun hingga sekarang diakui sebagai landasan pembentukan masyarakat muslim. 3. Dapat dikatan hukum keluarga masih berlaku utuh dan penuh. 4. Hukum keluarga sering menjadi sasaran perdebatan kelompok konservatif dan modernis di dunia Islam. 60 Menurut para pakar hukum Islam, pembaruan hukum Islam (termasuk hukum keluaraga) yang terjadi saat ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: 1. Untuk mengisi kekosongan hukum karena norma-norma yang terdapat dalam kitab-kitab fikih tidak mengaturnya, sedangkan kebutuhan masyarakat hukum terhadap masalah yang baru terjadi itu sangat mendesak untuk diterapkan. 2. Pengaruh globalisasi ekonomi dan IPTEK, sehingga perlu ada aturan hukum yang mengaturnya terutama masalah-masalah yang belum ada aturan hukumnya. 3. Pengaruh reformasi dalam berbagai bidang yang memberikan peluang kepada hukum Islam untuk bahan acuan hukum nasional.
60
J. N. D Anderson, Islamic law in The Modern World, terj. Machnun Husein, Hukum Islam di Dunia Modern (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1994), h. 100.
38
4. Pengaruh pembaruan pemikiran hukum Islam yang dilaksanakan oleh para mujtahid baik tingkat internasional maupun tingkat nasional, terutama halhal yang menyangkut perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.61 Semua negara muslim memiliki sistem hukum dengan pengadilan dan hakim seperti di tempat lainnya di dunia. Bagaimanapun terdapat beberapa perbedaan antara negara-negara Islam. Pada sejumlah negara, seperti Mesir, Jordan, Libanon, Maroko, Syiria, dan Tunisia, terdapat juga a tradition of legal codification and jurisprudence. Struktur dan Administrasi pengadilan juga berkembang dengan baik. Di negara-negara seperti Saudi Arabia, Kuwait, Uni Emirat Arab dan negara-negara teluk lainnya telah mendasarkan pada hukum syari’ah yang terkodifikasi dan hukum-hukum kebiasaan semakin berkurang.62 Adanya faktor lain juga yang memungkinkan terjadinya pembaruan hukum Islam adalah salah satunya pengaruh kemajuan dan pluralitas sosialbudaya dan politik dalam masyarakat dan negara. Kalau dicermati pada masa awal dengan mengambil contoh wilayah yang sekaligus dianggap sebagai mazhab, yakni Hijaz, Irak, dan Siria, maka jelas sekali peran dan pengaruh elemen-elemen sosial-budaya dan politik terhadap fuqahā’ (para ahli hukum Islam) dalam merumuskan hukum Islam. Maka seringkali merumuskan
61
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 2006), h.
153. 62
Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum Civil Law, Common Law, Hukum Islam (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2008), 136. Di samping juga ada negaranegara dunia yang menggunakan sistem hukumnya menganut tidak mendasarkan pada hukum syari’ah dengan mengadopsi hukum bangsa Eropa, seperti Turki.
39
tafsiran ayat al-Qur’an dan Sunnah dalam konteks sosial-budaya dan politik.63 Sehingga meniscayakan adanya pembaruan tidak dapat dihindari sebagai fakta dari konteks sosial-budaya dan politik yang selalu berkembang di mana hukum Islam ada. Di samping itu, perubahan-perubahan sosial yang dihadapi oleh umat Islam di era modern telah menimbulkan sejumlah masalah serius, apalagi berkaitan dengan hukum Islam. Di lain pihak metode yang dikembangkan para pembaru dalam menjawab permasalahan tersebut terlihat belum memuaskan.64 Pembaruan hukum Islam selama ini di dunia Islam hanya dilakukan dalam hukum keluarga yang merupakan sesuatu yang tidak terelakkan. Di sisi lain, hukum keluarga yang selama ini masih dipertahankan oleh umat Islam sebagai identitas keagamaannya.65 Hukum keluarga mempunyai posisi yang penting dalam Islam. Hukum keluarga dianggap sebagai inti syari’ah. Hal ini berkaitan dengan asumsi umat Islam yang memandang hukum keluarga sebagai pintu gerbang untuk masuk lebih jauh ke dalam agama Islam. Oleh
63
A. Qodri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional: Kompetisis antara Hukum Islam dan Hukum Umum (Yogyakarta: Gama Media, 2002), h. 32-33. 64 Amir Mu’allim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, Cet. II (Yogyakarta: UII Press, 2001), h. 49. Lihat Abdullah Ahmad an-Na’im, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberaties, Human Right, and International Law, terj. Ahmad Suaedy dan Amiruddin Ar – Rany, Dekontruksi Syari‘ah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia, dan Hubungan Internasional dalam Islam, (Yogyakarta: LKiS, 1994), h. 92. 65 Alasan pembaruan hukum Islam lebih identik dengan pembaruan hukum keluaran Islam adalah salah satunya mayoritas pemerintah bagsa-bangsa Muslim telah melakukan dua tipe pembaruan sejak pertengahan abad XIX. Pertama, mengganti syari’ah dengan hukum sekuler dalam maslah perdagangan, sipil, konstitusi, dan pidana. Di sebagian besar dunia Muslim, hanya hukum keluarga dan waris yang diwujudkan dalam hukum syari’ah. Kedua, pembaruan dilakukan dengan tetap mengakui prinsip-prinsip dan aturan syari’ah seperti diterapkan dalam hukum keluarga dan waris bagi umat Islam. Abdullah Ahmad an-Na’im, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberaties, Human Right, and International Law, terj. Ahmad Suaedy dan Amiruddin Ar – Rany, Dekontruksi Syari‘ah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia, dan Hubungan Internasional dalam Islam, h. 88.
40
karena itu, pembaruan hukum Islam lebih identik dengan pembaruan hukum keluarga Islam yang terjadi di dunia Islam.66 Pembaruan hukum keluarga di negara-negara Islam selalu melahirkan perdebatan di kalangan modernis-progresif dan tradisionalis- konservatif. Pembaruan hukum keluarga setidak-tidaknya berkaitan dengan materi hukum yang dianggap out of date yang dilakukan dengan metode-metode tertentu, sehingga hasil dari pembaruan itu dimungkinkan bisa tercapai. Dalam Perjalanan Sejarahnya yang awal, hukum Islam merupakan suatu kekuatan yang dinamis dan kreatif. Hal ini dapat dilihat dari munculnya sejumlah mazhab hukum yang memiliki corak sendiri-sendiri sesuai dengan latar belakang sosiokultural dan politik mazhab hukum itu tumbuh dan
66
Walaupun ada dalam pembaruan hukum Islam yang lebih luas cakupannya terkait pembaruan hukum Islam yang tidak hanya memfokuskan hukum keluarga saja atau bahkan diluar hukum keuarga Islam yang merupakan sisi kehidupan kaum Islam di dunia Islam. Sebut saja Fazlur Rahman menggunakan teori doble movement (gerak ganda) yang bisa dilihat tidak hanya hukum keluarga saja, tetapi hukum Islam secara luar. Lihat Ghufran A. Mas’adi: Pemikiran Fazlur rahman tentang metodologi Pembaruan Hukum Islam, Rajawali Press, Jakarta, 1997. Muhammad Syahrur dalam karya monumentalnya al-Kitāb wa al Qur’an: Qira’ah al-Mu’as irah dengan pembacaan ulangnya terhadap Islam menghasilkn pemahaman dan kesan yang kuat tentang akurasi istilah-istilah yang digunakan dalam al-Kitab (al-Qur’an). Sehingga dalam pembacaan ulangnya ini teori yang cukup terkenal yang ditawarkannya adalah teori batas (Nazariyyah al-Hudud) yang bidang kajian hukum Islam secara keseluruhan tidak hanya hukum keluarga saja. Lihat M. In’am Esha, Muhammad Syahrur: Teori Batas dalam Khudori Soleh dkk, Pemikiran Islam Kontemporer (Yogyakarta Jendela, 2003), h. 296. Berbeda dengan Abdullah Ahmad an-Na’im, perhatian utamanya adalah hukum Islam kaitannya dengan isu-isu internasional modern seperti HAM, konstitusionalisme modern, dan hukum pidana modern. Tidak ada fokus pada hukum keluarga. Metode pembaruan hukum Islam Abdullah Ahmad an-Na’im sebenarnya berangkat dari metodologi yang diintroduksi dari gurunya sendiri, Mahmoud Muhammad Thaha yakni teori evolusi yang memuat teori naskh (sebagaimana dikenal dalam ushul Fiqh) namun substansi dalam penerapannya akan berbeda. Lihat Abdullah Ahmad an-Na’im, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberaties, Human Right, and International Law. terj. Ahmad Suaedy dan Amiruddin Ar – Rany, Dekontruksi Syari‘ah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia, dan Hubungan Internasional dalam Islam. Lihat Juga Adang Djumhur Salikin, Reformasi Syari’ah dan HAM dalam Islam: Bacaan Kritis terhadap Pemikiran an-Na’im (Yogyakarta: Gama Media, 2004).
41
berkembang.67 Sehingga hukum bisa merespon terhadap kondisi sosiokultural dan politik yang berkembang saat itu. Inilah yang menjadikan perubahan yang kemudian memunculkan adanya pembaruan hukum termasuk hukum keluarga yang disebabkan perubahan sosial di masyarakat yang berkembang. Adanya perubahan kondisi sosial karena adanya perubahan masa maupun tempat, telah cukup disadari oleh para tokoh hukum Islam sebelumnya. Mereka termotivasi untuk melakukan pengkajian-pengkajian terhadap kemungkinan terjadinya perubahan hukum yang disebabkan oleh perubahan keadaan masyarakat. Merekapun berusaha merumuskan kaidahkaidah untuk menjadi patokan dalam pengembangan hukum Islam.68 Pemberlakuan hukum keluarga Islam di negara-negara Islam dan negara-negara berpenduduk muslim saat ini sangat mudah dipahami karena hukum keluarga dalam pandangan umat Islam mengadung unsur-unsur ta’ābudī (peribadatan) dan di samping itu juga mengadung nilai-nilai kesucian yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Benar bahwa antara negara Islam yang satu dengan negara Islam yang lain atau antara negara berpeduduk muslim yang satu dengan negara berpenduduk muslim lain terdapat sebuah perbedaan dibalik persamaan atau persesuaian yang dijumpai, namun perbedaan yang ada tampak lebih berkenaan dengan hal-hal yang bersifat formal administratif daripada persoalan-persoalan hukum yang bersifat substansial-normatif.69
67
Abdul Halim, ―Menimbang Paradigma Kontemporer Metode Pemikiran Hukum Islam‖ http://badilag.net, diakses tanggal 15 September 2013. 68 Asni, Pembaruan Hukum Islam di Indonesia: Telaah Epistemologis Kedudukan Perempuan dalam Hukum Keluarga ( Jakarta: Kementrian Agama Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, 2012), h. 44. 69 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, h. 162.
42
Karena secara substansial-normatif merupakan aturan yang bisa memberikan pengaruh dalam pemberlakuan hukum Islam termasuk hukum keluarga. Di samping latar belakang pembaruan hukum Islam tersebut di atas yang merupakan latar belakang dari internal bisa dibilang. Perkembangan modern di dunia Islam —terkait pembaruan hukum Islam atau bahkan hukum keluarga juga— disebabkan oleh empat faktor, yaitu:70 (1) apakah suatu negara tetap mempertahankan kedudukannya atau didominasi oleh negara eropa. (2) Watak organisasi ulama atau kepemimpinan. (3) Perkembangan pendidikan Islam. (4) sifat kebijakan kolonial dari negara-negara penjajah. Itulah beberapa faktor yang mempengaruhi pembaruan hukum Islam apalagi hukum Keluarga Islam yang masih berlaku dan mengakar kuat dikalangan penduduk muslim di dunia. Makanya mustahil pembaruan hukum tidak terjadi saat ini. Dalam perspektif historis, sebagaimana diungkapkan Coulson yang dikutip Ahsan Dawi, pembaruan hukum Islam —tidak terlepas dari hukum keluarga— menampakkan diri dalam bentuk (1) kodifikasi (pengelompokkan hukum yang sejenis ke dalam kitab undang-undang) hukum Islam menjadi hukum perundang-undangan negara, yang dinamakan sebagai doktrin siyasah,(2) tidak terikatnya umat Islam hanya pada satu mazhab hukum tertentu, yaitu disebut doktrin takhayyur (seleksi) pendapat yang paling dominan dalam masyarakat, (3) penerapan hukum terhadap peristiwa baru,
70
Fazlurrahman, Islam dan Modernitas Tentang Transformasi Intentelektual, alih bahasa Ahsin Muhammad, cet. II (Bandung:Pustaka, 2000), h. 50-51
43
yang disebut doktrin taṭbiq, dan (4) perubahan hukum dari yang lama kepada yang baru yang dinamakan tajdid-reinterpretasi.71 Dunia Islam mempunyai pengalaman yang sangat beragam mengenai berbagai upaya yang dilakukan untuk mempertahankan eksistensi ―hukumhukum‖ agamanya, mulai dari yang paling ―ekstrim kiri‖ sampai ―ekstrim kanan‖. Abdullah Ahmad an-Na’im secara rinci menjelaskan teknik-teknik pembaruan, terutama pembaruan dalam bidang keluarga di dunia Islam yang ia nilai tidak memuaskan. Teknik-teknik adalah sebagai berikut:72 1. Takhsīs al-Qadā (hak penguasa untuk memutuskan dan menguatkan keputusan pengadilan) digunakan seperti prosedur untuk membatasi penerapan syari’ah pada persoalan-persoalan perdata bagi umat Islam. Prosedur yang sama juga digunakan untuk mencegah pengadilan dari penerapan syari’ah dalam keadaan spesifik tanpa mengubah aturan-aturan syari’ah yang relevan. Sebagai contoh, untuk menghalangi pernikahan anak-anak, hukum Mesir pada tahun 1931 menolak bantuan matrimonial melalui pengadilan dengan menghalangi pengadilan dari suatu kalim pernikahan jika suami belum mencapai 18 tahun atau istri belum 16 tahun pada waktu proses pengadilan tersebut.
71
Ahsan Dawi, ―Pembaruan Hukum Keluarga Di Turki (Studi Atas Perundang-Undangan Pernikahan)‖ http://badilag.net, diakses tanggal 18 September 2013. 72 An-Na’im, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberaties, Human Right, and International Law, terj. Ahmad Suaedy dan Amiruddin Ar – Rany, Dekontruksi Syari‘ah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia, dan Hubungan Internasional dalam Islam, h. 88-91. Ada juga yang menyebutkan ada 4 model pembaruan hukum Islam, yaitu: Kebijakan administratif, aturan tambahan, talfīq, serta reinterpretasi dan reformulasi. Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad: Isu-isu Penting Hukum Islam Kontemporer Indonesia, h. 77-80.
44
2. Takhayyur, yaitu menyeleksi berbagai pendapat di dalam mażhab fiqh tertentu dan tidak memilih pendapat yang dominan di dalam mażhab arus utama, termasuk mengizinkan seleksi pendapat dari mażhab Suni lain. Cara eklektik ini digunakan di Sudan melalui fatwa (judicial directives) yang mengizinkan pengadilan untuk menyimpang dari aturan mażhab Hanafi, sebaliknya diakui sebagai mażhab resmi bagi masalah-masalah yang berkaitan dengan hukum perdata umat Islam. Cara ini disebut talfiq.73 3. Suatu bentuk penafsiran kembali digunakan untuk membatasi kebebasan pria untuk melakukan perceraian dan berpoligami. Perceraian tidak sah kecuali dengan keputusan pengadilan dan suami diwajibkan membayar sejumlah uang sebagai kompensasi dari perceraian. Mengharuskan pengakuan oleh pengadilan terhadap pernikahan Poligami. Pelarangan poligami
karena
mustahil
tuntutan
keadilan
dapat
diwujudkan
sebagaimana dalam al-Qur’an. 4. Siyasah al-Syar’iyah (kebijaksanaan penguasa untuk menerapkan aturanaturan administratif yang bermanfaat dan tidak bertentangan syari’ah). Sebagai contoh, untuk memaksakan prinsip umum syari’ah yang mengharuskan seorang istri menaati suaminya, syari’ah mengizinkan 73
Talfīq termasuk masalah yang muncul di kemudian hari setelah masa Rasulullah SAW dan sahabatnya. Sebagai term yang tidak dikenal masa awal pembinaan hukum Islam, muslim sebaiknya berlapang dada dalam menerima kenyataan akhir-akhir ini dengan problematika multi dimensi yang senantiasa terus muncul. Persoalan beragam ini tentu membutuhkan jawaban cepat dan tepat yang tidak mungkin tanpa melakukam proses eklektisisme pemahaman hukum. Ruh zaman kini tentu tidak memungkinkan perwujudan model hukum dengan mempertahankan status quo terhadap pemikiran aliran tertentu. Alasannya adalah berpikir seperti tidak hanya menaifkan jawaban terhadap problematika yang dihadapi umat, tetapi menimbulkan kerancuan metodologis yang berakhir pada kebuntuan. Fauzi Saleh, ―Problematika Talfīq Mazhab dalam Penemuan Hukum Islam‖ ( Surabaya: Islamica, Jurnal Studi Islam, Vol. 6, No. 1, September 2011), h. 72.
45
suami untuk melaksanakan taat (kepatuhan istri). Pada waktu bersamaan, syari’ah secara keras membatasi berbagai keadaan menyangkut perwalian anak, kepada istri atau suami. Menghentikan
tindakan taat sementara
menjamin suami dalam perwalian anaknya. 5. Di India dan di bekas koloni Inggris lainnya, Pembaruan dilakukan melalui berbagai keputusan pengadilan dengan cara yang digunakan dalam tradisi hukum adat. Pembaruan melalui keputusan pengadilan tersebut tidak dibayangkan
sebagai suatu mekanisme untuk menentang atau
mengubah prinsip dan aturan-aturan syari’ah berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah yang jelas dan pasti. Pengadilan hanya menyatakan hak untuk berbeda dari pandangan para ahli hukum yang sudah ada, bukan hak untuk menolak penerapan aturan syari’ah yang berdasarkan tek sal-Qur’an dan atau Sunnah yang jelas dan pasti. Pada umumnya, pembaruan hukum keluarga Islam di beberapa negara ditempuh melalui upaya kodifikasi yakni pembukuan atau pembentukan sistem perundang-undangan (taqnīn). Pola ini mencerminkan wujud pembaruan hukum kontemporer yakni melalui proses-proses tertentu di parlemen didasarkan atas tuntutan perkembangan yang terjadi di masyarakat.74 Proses inilah yang menjadikan pembaruan hukum Islam. Dengan proses pembaruan hukum keluarga Islam tersebut, ada beberapa pola pembaruannya, anatara lain sebagai berikut:
74
Asni, Pembaruan Hukum Islam di Indonesia: Telaah Epistemologis Kedudukan Perempuan dalam Hukum Keluarga, h. 53.
46
1. Negeri muslim yang masih tetap mempertahankan hukum keluarganya secara apa adanya sebagaimana tertuang dalam kitab-kitab fikih klasik seperti negara Saudi Arabia, Qatar,
Yaman, Bahrain dan Kuwait. Di
Afrika Gambia, Mali, Nigeria. 2. Negeri muslim yang telah meninggalkan hukum fikih klasik dan mengantikannya dengan hukum sipil Eropa seperti yang dilakukan oleh Turki dan Albania. 3. Negeri muslim yang dalam memberlakukan hukum keluarga Islam melakukan modifikasi dan perubahan di sana-sini agar sesuai dengan kemaslahatan warganya ini adalah yang dilakukan oleh kebanyakan negara-negara muslim seperti, Sudan, Irak, Aljazair, Maroko, Tunisisa, Pakistan, Indonesia, Yordania dll.75 Menurut Tahir Mahmood minimal ada tiga belas isu yang penting mengalami perubahan dalam hukum keluarga. Isu penting tersebut salah satunya adalah: peran wali bagi perempuan dalam pernikahan.76 Di Maroko sesuai dengan pembaruan hukum keluarga telah menafikan keberadaan wali nikah, sehingga wali nikah bukan merupakan syarat rukun pernikahan yang selama ini kebanyakan dianut beberapa negara Islam.
75
Lihat. Juga J. N. D Anderson, Islamic Law in the Modern World, terj. Machnun Husein, Hukum Islam di Dunia Modern ( Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1994), h. 100-101. Lihat juga, Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, h. 162-164. 76 Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries (History, Text and Comparative Analysis), h. 12.