BAB II HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Pidana Hukuman atau sanksi yang dianut hukum pidana membedakan hukum pidana dengan bagian hukum yang lain. Hukuman dalam hukum pidana ditunjukan untuk memelihara keamanan dan pergaulan hidup yang teratur.1 Sebelum menguraikan tentang pidana dan tujuan pemidanaan, penulis akan menguraikan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan hukuman. Istilah yang berasal dari kata “straf’ dan istilah “dihukum” yang berasal dari kata “wordtgestraft” menurut Mulyanto merupakan istilah yang konvensional. Beliau tidak setuju dengan istilah konvensional tersebut beliau lebih menggunakan istilah yang inkonvesional yaitu “Pidana” untuk menggantikan kata “wordtgestraf”. “straf diartikan sebagai “Hukuman”, maka kata “Strafrecht” seharusnya diartikan sebagai “hukuman”, maka kata “strafrecht” seharusnya diartikan sebagai “hukum hukuman”. Menurut beliau “dihukum” berarti dilakukannya terapi hukum baik itu hukum pidana, maupun hukum perdata. Hukuman adalah hasil atau akibat dari penerapan hukum tadi maknanya lebih luas dari pada pidana. Sebab didalam kata “hukuman” sudah mencakup juga keputusan hakim dalam lapangan hukum perdata.2 Kata-kata hukum pidana merupakan kata-kata yang mempunyai lebih daripada satu pengertian diantara rumusan-rumusan yang ada, yang dapat dianggap sebagai rumusan yang semapurna yang dapat diberlakukan secara umum. Menurut Prof. DR.W.L.G. Lemaire pengertian hukum pidana adalah : 1
Leden Marpaung, Asas-Theori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal.105 Muladi dan Barda Nawawi, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni Bandung, 1998, hal.1-2.
2
1
“Het strafrecht is samengesteld uit die normen welke geboden en verboden bevatten en waaraan (door de wetgever) als sancite straf, d.i een bijzonder leed, is gekoppeld. Men kan dus ook zeggen dat het strafrecht het normen stelsel is, dat bepaalt op welke gedragingen (doen of niet-doen waar handelen verplicht is) en onder welke omstandigheden het recht met straf reageert en waaruit deze straf bestaat”.3 Yang artinya: “Hukum pidana itu terdiri dari norma-norma yang berisi keharusankeharusan dan larangan-larangan yang (oleh pembentuk Undang-Undang) telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman, yaitu suatu penderitaan yang bersifat khusus. Dengan demikian dapat juga dikatakan, bahwa hukum pidana itu merupakan suatu sistem norma-norma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dimana terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam keadaan-keadaan bagaimana hukuman itu dapat dijatuhkan, serta hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut”.4 Berhubungan dengan uraian di atas mengenai arti hukum pidana, maka penulis ingin melihat juga arti dari pidana itu sendiri. Berikut ini adalah beberapa definisi mengenai Pidana : a. Sudarto: Pidana adalah : penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.5 b. Mezger Hukun pidana adalah aturan hukum yang mengikatkan pada suatu perbuatan yang memenuhi syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana.
3
P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar baru, Bandung, 1984. Hal 1. Ibid.,Hal 2. 5 Muladi dan Barda Nawawi, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, 1998, Alumni, Bandung, Hal 2. 4
2
c. Black’s Law Dictionary Punishment means any fine, penaty or confinement inflicted upon a person by authotiry of the law and the judgment and sentence of a court for some crime of offence commited by him or for his omission of a duty enjoined by law. (Setiap denda, hukuman atau kurungan yang dijatuhkan pada seseorang oleh lembaga yang berwenang, hakim serta pengadilan untuk setiap tindak kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan olehnya atau perbuatan salah, kealpaan yang diatur).6 d. Roeslan Saleh Pidana adalah reaksi atas delik dan ini wujud pada netapa yang dengan sengaja dilimpahkan Negara kepada pembuat delik tersebut.7
2. Tujuan Pemidanaan Dewasa ini kita ketahui bahwa tujuan hukum pidana pada umumnya adalah untuk melindungi kepentingan orang perseorangan (individu) atau hak-hak asasi manusia dan melindungi kepentingan-kepentingan masyarakat dan Negara dengan pertimbangan yang serasi dari kejahatan/tindakan tercela disatu pihak dari tindakan penguasa yang sewenangwenang dilain pihak.8 Salah satu cara untuk mencapai tujuan hukum pidana adalah memidana seseorang yang telah melakukan suatu tindak pidana. Dalam pembahasan tujuan pidana ini tidak dapat dipisahkan dari teori-teori hukum pidana (strafrecht theorien) yang dibagi menjadi 3 (tiga) macam teori, yakni:
a. Teori Absolut (Teori Pembalasan)
6
Prof. Dr. Teguh Prasetyo, S.H.,M.Si., Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hal 23. Muladi dan Barda Nawawi, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung,1998, hal 2-3. 8 E.Y.Kanter,S.H dan S.R.Sianturi,S.H.,Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni AHM-PTHM, Jakarta, 1982, hal 55. 7
3
Teori absolut
membenarkan pemidanaan
karena
seseorang telah
melakukan suatu tindak pidana. Terhadap pelaku tindak pidana mutlak harus diadakan pembalasan yang berupa pidana. Tidak dipersoalkan akibat dari pemidanaan bagi terpidana. Bahan pertimbangan untuk pemidanaan hanya masa lampau, maksudnya masa terjadinya tindak pidana terdebut. Teori absolut (pembalasan) terbagi menjadi 5 (lima), yaitu:9 1) Pembalasan berdasarkan tuntutan mutlak dari ethica (moral philosophie). Teori ini dikemukakan oleh IMMANUEL KANT yang mengatakan bahwa pemidanaan adalah merupakan tuntutan mutlak dari kesusilaan (etika) terhadap seorang penjahat. Ahli Filsafat ini mengatakan bahwa dasar pemidanaan adalah tuntutan mutlak dari hukum kesusilaan kepada seorang penjahat yang telah merugikan orang lain.10 2) Pembalasan bersambut (dialektis). Teori ini dikemukakan oleh HEGEL, yang mengatakan bahwa hukum adalah perwujudan dari kemerdekaan, sedangkan kejahatan adalah merupakan tantangan kepada hukum dan keadilan. Karenanya ahli filsafat ini mengatakan untuk mempertahankan hukum yang merupakan perwujudan dari kemerdekaan dan keadilan, kejahatankejahatan secara mutlak harus dilenyapkan dengan memberikan “ketidakadilan” (pidana) kepada penjahat.11 3) Pembalasan demi “keindahan”atau “kepuasan” (aesthetisch). Teori ini dikemukakan oleh HERBART, yang mengatakan bahwa adalah merupakan tuntutan mutlak dari ketidakpuasan masyarakat, sebagai akibat dari kejahatan, untuk memidana penjahat, agar ketidakpuasan masyarakat terimbangi/rasa keindahan masyarakat terpulihkan kembali.12 4) Pembalasan sesuai dengan ajaran Tuhan (agama). Teori ini dikemukakan oleh STAHL (termasuk juga GEWIN dan THOMAS AQUINO) yang mengemukakan, bahwa kejahatan adalah merupakan pelanggaran terhadap pri keadilan Tuhan dan harus ditiadakan. Karenanya mutlak harus diberikan penderitaan kepada yang melakukan kejahatan, demi terpeliharanya pri keadilan Tuhan.13
5) Pembalasan sebagai kehendak manusia.
9
Ibid.,hal 59. Ibid.,hal 60. 11 Ibid. 12 Ibid.,hal 61. 13 Ibid. 10
4
Para sarjana dari mazhab hukum alam yang memandang Negara sebagai hasil dari kehendak manusia. Menurut ajaran ini adalah merupakan tuntutan alam bahwa siapa saja yang melakukan kejahatan, dia akan menerima sesuatu yang jahat.14 b. Teori relatif (Teori Tujuan). Teori relatif memandang bahwa pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat. Dari teori ini muncullah tujuan pemidanaan sebagai saran pencegahan umum yang ditujukan pada masyarakat. Menurut Leonard Orland, teori relatif dalam pemidanaan bertujuan mencegah dan mengurangi kejahatan. Pidana harus dimaksudkan untuk mengubah tingkah laku penjahat dan orang lain yang berpotensi atau cenderung melakukan kejahatan. Karena itu, teori relatif lebih melihat kedepan.15 Pemidanaan sebagai suatu tindakan terhadap seorang penjahat dapat dibenarkan secara moral bukan terutama karena terpidana telah terbukti bersalah, melainkan karena pemidanaan ini mengandung konsekuensi-konsekuensi positif bagi si terpidana, korban dan juga orang lain dalam masyarakat. Karena itu, teori ini disebut juga sebagai teori konsekuensialisme.16 Menurut Karl O. Christiansen ada beberapa ciri pokok dari teori relatif ini, yaitu: 17 a. The purpose of punishment is prevention ( Tujuan pidana adalah pencegahan ); b. Prevention is not a final aim, but a means is a more seprems aim, e.g. social welfare ( Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat ); c. Only breaches of the law which or imputable to the prepetator as intent or negligence qualify for punishment ( Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan 14
Ibid.,hal 61. M. Sholehuddin. Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007. Hal 41-42. 16 Yong Ohoitimur, Teori Etika Tentang Hukuman Legal,. PT. Gramedia Putaka Utama, Jakarta, 1997. Hal 24. 17 M. Sholehuddin. Op cit..2007. Hal 43. 15
5
kepada sipelaku saja, misalnya kesenjangan atau kelalaian yang memenuhi syarat untuk adanya pidana ); d. The penalty shall be determined by its utility as an instrument for the prevention of crime ( Pidana harus diterapkan berdasar tujuannya sebagai alat pencegah kejahatan ); e. The punishment is prospective, is points into the future; it may contant as element of reproach, but neither reproach nor retributive elements can be eccepted if they do not serve the prevention of crime for the benefit or social welfare ( Pidana melihat kedepan atau bersifat prospektif; ia mengandung unsur pencelaan tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima bila tak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat ). Dengan demikian menurut teori relatif, pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan kepada orang yang telah melakukan kejahatan, pidana ditetapkan bukan karena orang melakukan kejahatan, tetapi agar orang jangan melakukan kejahatan.18 Secara ringkas dapatlah dikatakan bahwa teori-teori pokok tentang tujuan pemidanaan berpusat pada dua aliran utama, yakni aliran klasik dan aliran modern. Aliran klasik yang berpaham indeterminisme menjadi acuan dari teori absolut atau teori pembalasan (retributive theory/vergeldings theorieen). Sebab, seperti yang dikatakan Sudarto bahwa aliran klasik melihat terutama kepada perbuatan yang dilakukan dan menghendaki pidana yang dijatuhkan itu seimbang dengan perbuatan tersebut. Jadi, secara ekstrim dapat dikatakan bahwa aliran klasik dalam pemberian pidana lebih melihat ke belakang. Sedangkan aliran modern
pertama-tama
menghendaki
menjelaskan
individualisme
dari
pembuatnya pidana,
(pelaku
artinya
kejahatan)
dalam
dan
pemidanaan
memperhatikan sifat-sifat dan keadaan si pembuat. Makanya dapat dikatakan
18
Ibid.. Hal 43
6
bahwa aliran modern yang berpaham determinisme itu menderivasi teori relatif atau teori tujuan (utilitarian theory/doeltheorieen).19 c. Teori gabungan. Teori gabungan mendasarkan pemidanaan kepada perpaduan teori pembalasan dengan teori tujuan. Penganut teori ini adalah BINDING. Dikatakan bahwa teori pembalasan dan teori tujuan masing-masing mempunyai kelemahankelemahan. Terhadap Teori pembalasan: 1) Sukar menentukan berat/ringannya pidana atau ukuran pembalasan tidak jelas. 2) Di ragukan adanya hak Negara untuk menjatukan pidana sebagai pembalasan. 3) (Hukuman)
pidana
sebagai
pembalasan
tidak
bermanfaat
bagi
masyarakat. Terhadap Teori tujuan: 1) Pidana hanya ditujukan untuk mencegah kejahatan, sehingga dijatuhkan pidana yang berat baik oleh teori pencegahan umum maupun teori pencegahan khusus. 2) Jika ternyata kejahatan itu ringan, maka penjatuhan pidana yang berat, tidak akan memenuhi rasa keadilan; 3) Bukan hanya masyarakat harus diberi kepuasan, tetapi juga kepada penjahat itu sendiri.
Maka oleh karena itu, tidak saja hanya mempertimbangkan masa lalu (seperti yang terdapat dalam teori pembalasan), tetapi juga harus bersamaan 19
Ibid… Hal 48
7
mempertimbangkan masa datang (seperti yang dimaksudkan pada teori tujuan). Dengan demikian penjatuhan suatu pidana harus memberikan rasa kepuasan, baik bagi hakim maupun kepada penjahat itu sendiri di samping kepada masyarakat. Jadi harus ada keseimbangan antara pidana yang dijatuhkan dengan kejahatan yang telah dilakukan.20
3. Pengertian Penggelapan Menurut pasal 372 KUHP berbunyi : “Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak Sembilan ratus rupiah.”21 Berdasarkan ketentuan diatas, kita dapat melihat dengan jelas bahwa ketentuan pasal 372 KUHP ini mengatur mengenai penggelapan dalam bentuk pokok atau verduistering atau didalam beberapa literatur disebut juga dengan penggelapan biasa.Pasal 372 KUHP ini dikatakan sebagai penggelapan dalam bentuk pokok dikarenakan tidak ada unsur yang memberatkan ataupun unsur yang meringankan. Penggelapan ini merupakan delik formal.22
4. Unsur-unsur Penggelapan Berdasarkan bunyi Pasal 372 KUHP diatas, diketahui bahwa secara yuridis delik penggelapan harus memenuhi unsur-unsur pokok berupa : a. Unsur Subyektif Delik 20
Ibid.,hal 63. DR. Andi Hamzah, S.H.,KUHP dan KUHAP, Rineka Cipta, Jakarta, 2011, hal 144 22 C. Djisman Samosir S.H., M.H., dan Nasar Ambarita S.H., M.H., C.N., Diktat Kuliah Delik-Delik Khusus, Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 2012, hal 138. 21
8
berupa kesengajaan pelaku untuk menggelapkan barang milik orang lain yang dirumuskan dalam pasal undang-undang melalui kata : “dengan sengaja”; dan b.
Unsur Oyektif Delik yang terdiri atas : (1) Unsur barang siapa; (2) Unsur menguasai secara melawan hukum; (3) Unsur suatu benda; (4) Unsur sebagian atau seluruhnya milik orang lain; dan (5) Unsur benda tersebut ada padanya bukan karena kejahatan. Jadi untuk dapat menyatakan seseorang sebagai pelaku penggelapan, Majelis
Hakim Pengadilan harus melakukan pemeriksaan dan membuktikan secara sah dan meyakinkan, apakah benar pada diri dan perbuatan orang tersebut telah terbukti unsur-unsur tindak pidana penggelapan baik berupa unsur subyektif maupun unsur obyektifnya. Dalam konteks pembuktian unsur subyektif misalnya, kesengajaan pelaku penggelapan (opzet), melahirkan implikasi-implikasi pembuktian apakah benar (berdasar fakta hukum) terdakwa memang : 1) “menghendaki” atau “bermaksud” untuk menguasai suatu benda secara melawan hukum 2) “mengetahui / menyadari” secara pasti bahwa yang ingin ia kuasai itu adalah sebuah benda 3) “mengetahui / menyadari” bahwa benda tersebut sebagian atau seluruhnya adalah milik orang lain 4) “mengetahui” bahwa benda tersebut ada padanya bukan karena kejahatan.23
23
http://irwanandrianto.blogspot.co.id/2012/09/unsur-unsur-tindak-pidana-penipuan-dan.html
9
5. Pengertian Putusan Pengadilan Leden Marpaung menyebutkan pengertian “Putusan Pengadilan/Putusan Hakim” sebagai berikut: “Putusan adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang berbentuk tertulis”.24 Dari uraian diatas mengenai definisi dari Putusan Pengadilan (Putusan Hakim), dapat dilihat lebih jauh mengenai hakikat dari Putusan Pengadilan: a. Putusan yang diucapkan dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum. Pasal 13 ayat 2 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman: “Putusan Pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di siding terbuka untuk umum”.25 b. Putusan dijatuhkan setelah melalui proses dan prosedur hukum acara pidana pada umumnya. Hanya putusan hakim yang melalui proses dan prosedural hukum acara pidana pada umumnya saja mempunyai kekuatan mengikat dan sah. Pengertian “proses” di sini, tendens kepada cara prosessuil hakim menangani perkara pidana itu mulai tahap; menyatakan sidang “dibuka” dan “terbuka” untuk umum, pemeriksaan identitas terdakwa, pembacaan dakwaan, keberatan/eksepsi, putusan sela, pemeriksaan saksi-saksi dan terdakwa, kemudian pemeriksaan dinyatakan selesai, lalu tuntutan pidana/requisitoir, pembelaan/pledooi, musyawarah hakim dan pembacaan putusan.26
24
Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana Bagian Kedua , Sinar Grafika, Jakarta, 1995. Hal 406. Undang-undang No.48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Hal 6 26 Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hal 204 25
10
c. Putusan Hakim tersebut bertujuan untuk menyelesaikan perkara. Dengan diucapkan putusan hakim, secara formal perkara tersebut di tingkat Pengadilan Negeri telah selesai. Oleh karena itu, status dan langkah terdakwa pun menjadi jelas apakah menerima putusan untuk melakukan upaya hukum banding/kasasi atau melakukan grasi. Setelah itu, juga dapat disebutkan lebih detail karena putusan hakim merupakan “mahkota” dan “puncak”dari perkara pidana. Oleh karena itu, diharapkan pada putusan hakim ditemukan pencerminan nilai-nilai keadilan dan kebenaran, dapat dipertanggungjawabkan kepada pencari keadilan (yusticiabelen), ilmu hukum itu sendiri, hati nurani hakim dan masyarakat pada umumnya serta Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.27 Pada dasarnya Putusan Pengadilan/Hakim dapat dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu: 1). Putusan Akhir Dalam praktik. “putusan akhir” lazim disebut dengan istilah “putusan”atau “eind vonnis” dan merupakan jenis putusan bersifat material. Pada hakikatnya, putusan ini dapat terjadi setelah Majelis Hakim memeriksa terdakwa yang hadir di persidangan sampai dengan “pokok perkara” selesai diperiksa (Pasal 182 (3), (8), Pasal 197 dan 199 KUHAP).28 2). Putusan yang Bukan Putusan Akhir Dalam praktik, bentuk dari pada putusan yang bukan putusan akhir dapat berupa “Penetapan” atau “Putusan Sela” atau sering pula disebut dengan istilah bahasa Belanda “tussenvonnis”. Putusan jenis ini mengacu pada ketentuan Pasal
27
Ibid,.hal 205. M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal 266.
28
11
148, Pasal 156 ayat (1) KUHAP yakni dalam hal setelah pelimpahan perkara dan apabila
terdakwa
dan
atau
penasihat
hukumannya
mengajukan
“keberatan/eksepsi” terhadap surat dakwaan Jaksa/Penuntut Umum.29 Apabila tahap proses tuntutan dan pembelaan sudah berakhir, tiba saatnya tahap terakhir pemeriksaan perkara, yaitu
penjatuhan putusan oleh Ketua Sidang, sebagai tujuan akhir pemeriksaan suatu perkara, yang menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Akan tetapi sebelum Ketua Sidang menjatuhkan putusan, harus dilalui beberapa tahap proses “formal”. Dikatakan formal, karena pada dasarnya tahap proses itu harus dilalui, tetapi sifatnya tidak begitu “formalitas”. Seandainya tahap tersebut tidak secara lebih “bersifat intern” di antara majelis hakim yang memeriksa perkara. Di samping bersifat intern, “sifatnya pun rahasia”, tidak dilakukan di siding pengadilan yang terbuka untuk umum.30
Pada asasnya putusan musyawarah merupakan hasil pemufakatan bulat. Mengharapkan agar setiap hasil musyawarah
hakim, mencapai keputusan bulat, sehingga keputusan yang akan dijatuhkan kepada terdakwa, benar-benar merupakan hasil pemufakatan bulat, yaitu hasil pemufakatan bulat dalam arti “positif” dalam menegakkan hukum dan keadilan. Bukan hasil mufakat bulat yang berbau “negatif” yang dilatarbelakangi motivasi penyalahgunaan wewenang, yang “dibeli” dengan suatu
imbalan oleh terdakwa. Kebulatan mufakat yang ideal ialah hasil mufakat yang jernih, bersumber dari hati nurani yang tulus dan
suci. Kebulatan mufakat itu benar-benar merupakan cetusan penegakan hukum tanpa pamrih. Yang didalamnya terwujud
integritas nilai-nilai hukum dan keadilan yang utuh sesuai dengan fakta dan aktualitas, sehingga bias diwujudkan putusan yang
berorientasi for the interest of the justice not for interest of the judge31
.
6. Tugas dan Kewajiban Hakim Hakim merupakan pelaku inti yang secara fungsional melaksanakan kekuasaan kehakiman. Dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman tersebut, hakim harus memahami ruang lingkup tugas dan kewajibannya sebagaimana telah diatur dalam perundang-undangan. Setelah memahami tugas dan kewajibannya, selanjutnya
29
Ibid,.hal 267. Ibid. 31 Ibid,.hal 268. 30
12
hakim harus berupaya secara professional dalam menjalankan dan menyelesaikan pekerjaannya.32 Beberapa tugas hakim dalam Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 antara lain : 1. Tugas pokok dalam bidang peradilan (teknis yudisial) diantaranya adalah : a. Menerima, memeriksa, dan mengadili, serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya;33 b. Menurut Pasal 4 ayat (1) mengadili menurut hukum dengan tidak membedabedakan orang; c. Menurut Pasal 4 ayat (2) membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan; d. Menurut Pasal 10 ayat (1) tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya; 2. Tugas yuridis, yaitu memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada lembaga Negara dan lembaga pemerintah apabila diminta. Hal ini diatur dalam Pasal 22 ayat (1); 3. Tugas akademis/ilmiah dalam melaksanakan tugas pokoknya yaitu: a. Menurut Pasal 5 ayat (1) Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat; b. Menurut Pasal 5 ayat (2) Hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, professional, dan berpengalaman di bidang hukum;
32
Jimly Asshiddiqie, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman, Ull Press, Yogyakarta, 2005, hal 125.
33
Ibid,.hal 125.
13
c. Menurut Pasal 5 ayat (3) Hakim wajib menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim; Adapun secara kongkrit tugas hakim dalam mengadili sesuatu perkara melalui 3 tindakan secara bertahap: 34 1. Mengkonstatir (mengkonstatasi) yaitu mengakui atau membenarkan telah terjadinya peristiwa yang telah diajukan para pihak di muka persidangan. Syaratnya adalah peristiwa kongkret itu harus dibuktikan terlebih dahulu, tanpa pembuktian hakim tidak boleh menyatakan suatu peristiwa kongkret itu benarbenar terjadi. Jadi mengkonstatir peristiwa berarti juga membuktikan atau menganggap telah terbuktinya peristiwa tersebut. 2. Mengkwalifisir (mengkwalifikasi) yaitu menilai peristiwa yang telah dianggap benar-benar terjadi ini termasuk dalam hubungan hukum yang amanah atau seperti apa. Dengan kata lain mengkwalisir adalah menemukan hukumnya terhadap peristiwa yang telah dikonstatir dengan jalan menerapkan peraturan hukum terhadap peristiwa tersebut. 3. Mengkonstituir (mengkonstitusi) atau memberikan konstitusinya, yaitu hakim menetapkan hukumnya dan memberi keadilan bagi yang bersangkutan. Di sini hakim mengambil keadilan dari adanya premise mayor (peraturan hukumnya) dan premise minor (peristiwanya). Dalam memberikan putusan hakim perlu memperhatikan faktor yang seharusnya diterapkan secara proposional yaitu : keadilan, kepastian hukumnya, dan kemanfaatannya.
7. Pertimbangan Hakim dalam menetapkan putusan
34
Ibid,.hal 126.
14
Menurut Sudikno Mertokusumo dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus selalu diperhatikan yaitu: kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Demikian juga putusan hakim untuk menyelesaikan suatu perkara yang diajukan di Pengadilan, bahwa putusan yang baik adalah yang memperhatikan tiga nilai unsur yaitu yuridis (kepastian hukum), nilai sosiologis (kemanfaatan),dan filosofis (keadilan).35 Kepastian hukum (nilai Yuridis) menekankan agar hukum atau peraturan itu ditegakkan sebagaimana yang diinginkan oleh bunyi hukum atau peraturannya. Atau dengan kata lain bahwa bagaimana bunyi hukumnya itulah yang harus berlaku, sehingga pada dasarnya tidak dibolehkan adanya penyimpangan.
B. Hasil Penelitian 1. Perkara Nomor :01/Pid.B/2013/PN.Sal. a. Dakwaan. Bahwa pada hari selasa tanggal 28 Agustus 2012 sekitar pukul 12 WIB terdakwa meminjam 1 (satu) unit mobil Daihatsu Luxio tahun 2011 warna putih Nopol : H-8464-ST beserta STNK di Rental Lintas Jaya Mandiri milik saksi EDI SRIYANTO yang terletak di Jl. Jambewangi No. 04 RT. 04 RW. 04 Kel. Sidorejo Lor Kec. Sidorejo Kota Salatiga selama 1 (satu) minggu harga sewa perhari Rp.250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah) dengan alasan untuk bisnis tembakau di Temanggung. Setelah mobil tersebut berada dalam kekuasaan terdakwa, kemudian terdakwa timbul niatnya untuk menggadaikan mobil tersebut, lalu pada pukul 20.00 Wib mobil tersebut oleh terdakwa di bawa ke daerah Temanggung untuk digadaikan kepada Saksi MUHAMMAD PADLAN sebesar 35
http://setaaja.blogspot.co.id/
15
Rp.20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) melalui saksi SAIDA dan saksi BUDIYONO tanpa seijin dan sepengetahuan pemilik Rental maupun pemilik mobil. Atas perbuatan terdakwa, pemilik mobil mengalami kerugian sekitar Rp. 145.000.000,- (seratus empat puluh lima juta rupiah). b. Tuntutan. Berdasarkan hal-hal yang terungkap melaluiproses pembuktian dalam persidangan, sertra fakta-fakta yang terungkap melalui alat-alat bukti dan barang bukti, maka menurut Penuntut Umum perkara tersebut dapat dibukti secara sah dan meyakinkan, oleh karena itu Penuntut Umum mohon kepada Majelis Hakim untuk memutuskan sebagai berikut : 1. Menyatakan terdakwa MUHAMMAD ARIF Bin ABU BAKAR (Alm) telah terbukti
secara sah
dan menyakinkan melakukan tindak pidana :
“Penggelapan” yang diatur dan diancam pidana menurut pasal 372 KUHP sebagaimana tersebut dalam Dakwaan Tunggal; 2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa MUHAMMAD ARIF Bin ABU BAKAR (Alm) dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dikurangi masa penahanan sementara dengan perintah terdakwa tetap dalam tahanan; 3. Menyatakan barang bukti berupa: -
1 (satu) unit mobil Daihatsu MPNP/Minibus type S402RG-ZMMF JJ Luxio
1,5
MMT
Nopol
:
H-8464-ST
tahun
2011
Noka
:
MHKW3CA2JBK005770 Nosin : DCG8503 warna putih beserta kunci kontak dan STNK atas nama WITONO alamat Jl. Kridanggo 27 RT. 02 RW. 01 Kel. Kalicacing Kec. Sidomukti Kota Salatiga;
16
Dikembalikan kepada saksi WITONO. 4. Menetapkan agar terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah); c. Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Pidana Sebelum
Majelis
Hakim
menjatuhkan
putusan,
Majelis
Hakim
mempertimbangkan dakwaan Penuntut Umum, Tuntutan pidana, serta fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan melalui alat-alat bukti dan barang bukti. Apabila setelah Majelis Hakim menganalisis dakwaan Penuntut Umum berdasarkan fakta yang terungkap dalam persidangan memperoleh kesimpulan bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa dapat dibuktikan secara sah dan meyakinkan dan terdakwa adalah orang yang bersalah melakukan tindak pidana tersebut, tidak ditemukan alasan pemaaf ataupun alasan pembenar pada diri terdakwa,
maka
sebelum
menjatuhkan
pidana
Majelis
Hakim
akan
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut : 1. Tujuan Pemidanaan : Pertimbangan Majelis Hakim terkait dengan tujuan pemidanaan adalah berkaitan dengan manfaat yang akan diperoleh atau yang diharapkan baik bagi terpidana maupun masyarakat, namun dalam perkara ini Majelis Hakim secara eksplisit tidak mempertimbangkan tujuan pemidanaan tersebut. 2. Hal yang memberatkan: 1. Perbuatan terdakwa telah meresahkan masyarakat; 2. Terdakwa sudah pernah dihukum; 3. Hal yang meringankan: 1. Terdakwa merasa menyesal dan tidak akan mengulanginya lagi; 2. Terdakwa bersikap sopan dan mengakui perbuatannya dalam persidangan;
17
2. Perkara Nomor : 25/Pid.B/2013/PN.Sal. a. Dakwaan. Bahwa pada Senin tanggal 31 Desember 2012 sekira pukul 12.30 wib terdakwa DIAN PUTRA PRADANA Bin RIYANTO mendatangi rental mobil Jago milik saksi ARIS SUTRISNO Bin UNTUNG PRIHONO selaku pengelola rental di Jl. Sumopuro Lor Kel. Salatiga Kec Sidorejo Kota Salatiga bermaksud menyewa mobil. Selanjutnya setelah terjadi kesepakatan antara terdakwa dengan saksi ARIS SUTRISNO Bin UNTUNG PRIHONO, terdakwa menyewa 1 (satu) unit mobil Suzuki Swif Nopo : H-9201-FA warna putih seharga Rp. 450.000,(empat ratus lima puluh ribu rupiah) per hari dengan batas perjanjian sewa bahwa mobil tersebut dikembalikan pada hari selasa tanggal 01 Januari 2013. Setelah terjadi kesepakatan, selanjutnya terdakwa membawa pergi mobil Suzuki Swifi tersebut. Bahwa kemudian terdakwa menghubungi saksi ARIS SUTRISNO Bin UNTUNG PRIHONO melalui telepon untuk memperpanjang sewa mobil selama 3 (tiga) hari hingga tanggal 03 Januari 2013, sehingga harga sewa selama 3 (tiga) hari menjadi Rp 1.350.00,- (satu juta tiga ratus lima puluh ribu rupiah). Bahwa setelah terdakwa memperpanjang sewa mobil, pada hari Kamis tanggal 03 Januari 2013 terdakwa tidak mengembalikan mobil Suzuki Swift tersebut kepada saksi ARIS SUTRISNO Bin UNTUNG PRIHONO, akan tetapi terdakwa
dengan
bantuan
ARDI
Alias
BAGONG
(belum
tertangkap)
menggadaikan mobil tersebut kepada GUNAWAN (belum tertangkap) dengan harga Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah). Bahwa selanjutnya uang hasil gadai mobil, terdakwa bagi dengan ARDI als BAGONG dengan rincian terdakwa mendapat bagian sebesar Rp. 6.500.000,-
18
(enam juta lima ratus ribu rupiah) dan ARDI Alias BAGONG mendapatkan bagian sebesar Rp. 18.500.000,- (delapan belas juta lima ratus ribu rupiah). Bahwa uang hasil gadai yang terdakwa dapatkan tersebut sudah habis untuk membeli pakaian, tas, parfum, Handphone, menginap di Hotel, karaoke, dan membeli minuman keras. Bahwa mobil Suzuki Swift warna putih No.Pol H-9210FA beserta STNKnya sampai saat ini belum dikembalikan kepada sanksi ARIS SUTRISNO Bin UNTUNG PRIHONO maupun sanksi ASRONI, SH selaku pemilik. Bahwa perbuatan terdakwa Dian Putra Pradana Bin Riyanto tersebut mengakibatkan korban saksi Asroni, SH mengalami kerugian yang ditaksir sebesar Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah). b. Tuntutan. Berdasarkan hal-hal yang terungkap melalui proses pembuktian dalam persidangan, sertra fakta-fakta yang terungkap melalui alat-alat bukti dan barang bukti, maka menurut Penuntut Umum perkara tersebut dapat dibukti secara sah dan meyakinkan, oleh karena itu Penuntut Umum mohon kepada Majelis Hakim untuk memutuskan sebagai berikut : 1. Menyatakan terdakwa DIAN PUTRA PRADANA Bin RIYANTO terbukti bersalah melakukan tindak pidana “Penggelapan” sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sesuai dakwaan Jaksa Penuntut Umum. 2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa DIAN PUTRA PRADANA Bin RIYANTO dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan, dikurangkan selama terdakwa dalam tahanan sementara dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan.
19
3. Menyatakan barang bukti berupa: -
1 (satu) buah tas koper warna cokelat merk Mont Black.
-
2 (dua) buah kaos lengan pendek warna biru dan hitam.
-
1 (satu) buah celana pendek motif kothak-kothak warna hijau kombinasi merk Cardinal.
-
1 (satu) buah handuk warna merah.
-
2 (dua) buah celana dalam warna hijau dan biru muda.
-
1 (satu) buah parfum merk Bellagio.
Dirampas untuk diserahkan kepada saksi Asroni, SH. 4. Menetapkan agar terdakwa dibebani untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah). c. Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Pidana Sebelum
Majelis
Hakim
menjatuhkan
putusan,
Majelis
Hakim
mempertimbangkan dakwaan Penuntut Umum, Tuntutan pidana, serta fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan melalui alat-alat bukti dan barang bukti. Apabila setelah Majelis Hakim menganalisis dakwaan Penuntut Umum berdasarkan fakta yang terungkap dalam persidangan memperoleh kesimpulan bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa dapat dibuktikan secara sah dan meyakinkan dan terdakwa adalah orang yang bersalah melakukan tindak pidana tersebut, tidak ditemukan alasan pemaaf ataupun alasan pembenar pada diri terdakwa,
maka
sebelum
menjatuhkan
pidana
Majelis
Hakim
akan
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut : 1. Tujuan Pemidanaan :
20
Pertimbangan Majelis Hakim terkait dengan tujuan pemidanaan adalah berkaitan dengan manfaat yang akan diperoleh atau yang diharapkan baik bagi terpidana maupun masyarakat. 2. Hal-hal yang memberatkan: 1. Terdakwa pernah dihukum; 2. Perbuatan terdakwa tergolong perbuatan yang meresahkan masyarakat akhirakhir ini 3. Hal-hal yang meringankan: 1. Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya; 2. Terdakwa bersikap sopan dipersidangan;
3. Perkara Nomor : 52/Pid.B/2014/PN.Slt. a. Dakwaan. - Bahwa pada tanggal 13 April 2014 terdakwa meminta saksi Agus Wahono untuk meminjam/menyewa KBM Toyota Innova dirental Vino Car rental Grogol baru sidomukti untuk disewa mobil selama 10 (sepuluh) hari, lalu sekira jam 23.00 wib saksi Agus Wahono menyerahkan 1 (satu) unit KBM Toyota Innova No.Pol. H-9107-KB warna silver metalik beserta STNK dan kuncinya di Hotel Citra Dewi Bandungan kepada terdakwa; - Bahwa selanjutnya sekira tanggal 22 April 2014 jam 10.00 wib terdakwa SMS saksi Raden Anang berisi “Mas Aku butuh duit 10 juta, iso ngelboke Innova pora 3 dino wae ( Mas aku butuh uang Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) bisa masukkan innova apa tidak 3 hari aja) ‘ iso 3 dino tenan yo? ( Bisa 3 hari benaran ya ). Selanjutnya terdakwa pada hari kamis tanggal 24 April 2014
21
sekira pukul 14.00 wib mendatangi Rumah saksi korban Basuki Raharjo, SE di Randuares Rt. 01 Rw. 01 Kel. Kampung rejo Kec. Argomulyo Kota Salatiga untuk memperpanjang sewa mobil selama 3 (tiga) hari dan setelah diperbolehkan oleh saksi korban selanjutnya terdakwa membawa pergi 1 (satu) unit KBM Toyota Innova No.Pol H-9107-KB warna silver metalik beserta STNK dan kuncinya kemudian pada hari jum’at tanggal 25 April 2014 terdakwa meminta saksi Raden Anang menstransfer uang ke Rekening terdakwa dan sdr. Yahya . namun karena saksi Raden Anang tidak memiliki uang sebanyak Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan hanya sanggup sebesar Rp. 8.250.000,(delapan juta dua ratus lima puluh ribbu rupiah) lalu uang tersebut di transfer melalui Rekening terdakwa sebesar Rp. 6.250.000,- (enam juta dua ratus lima puluh ribu rupiah) dan ke Rekening sdr. Yahya sebesar Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah); - Bahwa pada hari Senin tanggal 28 April 2014 sekira pukul 11.00 wib terdakwa tanpa seizin dan sepengetahuan saksi korban telah menggadaikan 1 (satu) unit KBM Toyota Innova No.Pol. H-9107-KB warna silver metalik beserta STNK dan kuncinya kepada saksi Raden Anang di Taman Tabanas Gombel Kota Semarang dengan perantara sdr. Sanindra, yang selanjutnya di bawa Raden Anang sebagai jaminan gadai; - Bahwa perbuatan terdakwa tersebut mengakibatkan saksi korban Basuki Raharjdo, SE mengalami kerugian yang ditaksir sebesar Rp. 135.000.000,(seratus tiga puluh lima juta rupiah). b. Tuntutan. Berdasarkan hal-hal yang terungkap melalui proses pembuktian dalam persidangan, serta fakta-fakta yang terungkap melalui alat-alat bukti dan barang
22
bukti, maka menurut Penuntut Umum perkara tersebut dapat dibukti secara sah dan meyakinkan, oleh karena itu Penuntut Umum mohon kepada Majelis Hakim untuk memutuskan sebagai berikut : 1. Menyatakan terdakwa ARDY KURNIANTO DIRDJO SANYOTO Bin PRAMUDYANTO terbukti bersalah melakukan tindak pidana “Penggelapan” sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 372 Kitab Undang-undang Hukum Pidana sesuai dakwaan pertama Jaksa Penuntut Umum. 2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa ARDY KURNIANTO DIRDJO SANYOTO Bin PRAMUDYANTO, dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun dikurungkan selama terdakwa dalam tahanan sementara dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan. 3. Menyatakan barang bukti berupa: -
Uang tunai sebesar Rp. 20.000,-
-
1 (satu) celana panjang merk Able casual warna coklat;
-
1 (satu) buah ikat pinggang merk Levis’s;
-
1 (satu) buah kaos merk Afron warna biru;
Dirampas untuk diserahkan kepada Raden Anang; -
1 (satu) unit KBM Toyota Innova warna silver Metalik tahun 2005 No.Pol: H-9107-KB, No. Rangka:
MHFXW42G252057086, No Mesin :
1TR6196387, berikut STNK An. SRI WIDATI RUSMINI btt Jl. Yudistira 1/12 Rt 02 Rw 08 Dukuh Sidomukti Kota Salatiga, dan kunci kontaknya; Dikembalikan kepada pemiliknya yaitu Basuki Raharjo, S.E.
4. Menetapkan agar terdakwa dibebani untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah).
23
c. Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Pidana Sebelum
Majelis
Hakim
menjatuhkan
putusan,
Majelis
Hakim
mempertimbangkan dakwaan Penuntut Umum, Tuntutan pidana, serta fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan melalui alat-alat bukti dan barang bukti. Apabila setelah Majelis Hakim menganalisis dakwaan Penuntut Umum berdasarkan fakta yang terungkap dalam persidangan memperoleh kesimpulan bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa dapat dibuktikan secara sah dan meyakinkan dan terdakwa adalah orang yang bersalah melakukan tindak pidana tersebut, tidak ditemukan alasan pemaaf ataupun alasan pembenar pada diri terdakwa, maka sebelum menjatuhkan pidana Majelis Hakim akan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut : 1) Tujuan Pemidanaan Pertimbangan Majelis Hakim terkait dengan tujuan pemidanaan adalah berkaitan dengan manfaat yang akan diperoleh atau yang diharapkan baik bagi terpidana maupun masyarakat.
2) Hal-hal yang memberatkan : - Perbuatan terdakwa tergolong perbuatan yang meresahkan masyarakat akhirakhir ini. 3) Hal-hal yang meringankan: i. Terdakwa belum pernah dihukum; ii. Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya; iii. Terdakwa bersikap sopan dipersidangan;
24
Pertimbangan Hakim dalam penjatuhan pidana dalam 3 (tiga) kasus tersebut dapat di tabelkan sebagai berikut : Tabel 1.2. Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Pidana No
Pertimbangan Hakim
Putusan Pidana
Hal Yang Memberatkan
Hal Yang Meringankan
No. Perkara 1
Putusan Nomor
Menjatuhkan pidana penjara selama
01/Pid.B/2013/PN.Sal 1 (satu) tahun.
- Perbuatan terdakwa telah meresahkan masyarakat. - Terdakwa sudah pernah dihukum
- Terdakwa merasa menyesal dan tidak akan mengulanginya lagi. - Terdakwa bersikap sopan dan mengaku perbuatannya dalam persidangan.
2
Putusan Nomor
Menjatuhkan pidana penjara selama
25/Pid.B/2013/PN.Sal 2 (dua) tahun dan 6 (enam) bulan.
- Terdakwa pernah dihukum. - Perbuatan terdakwa tergolong perbuatan yang meresahkan
- Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya. - Terdakwa bersikap sopan dipersidangan.
masyarakat akhir-akhir ini. 3
Putusan Nomor
Menjatuhkan pidana penjara selama
52/Pid.B/2014/PN.Sal 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan.
Perbuatan terdakwa tergolong
- Terdakwa belum penah dihukum.
perbuatan yang meresahkan
- Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya dan berjanji
masyarakat akhir-akhir ini.
tidak akan mengulangi lagi perbuatannya. - Terdakwa bersikap sopan di persidangan
Sumber : 3 (tiga) Kasus Putusan Pengadilan Negeri Salatiga No. 01/Pid.B/2013/PN.Sal., No. 25/Pid.B/2013/PN.Sal., dan No. 52/Pid.B/2014/PN.Sal,. tentang Penggelapan.
37
Dari tabel di atas dapat dijelaskan sebagai bahwa, ketiga kasus tersebut terdakwa didakwa dengan Pasal yang sama oleh Penuntut Umum, yaitu Pasal 372 KUHP tentang penggelapan, tetapi apabila dilihat tentang pidana yang dijatuhkan ternyata bervariasi, yaitu masing-masing dijatuhi pidana penjara selama 1 (satu) tahun, 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan dan 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan. Sementara itu apabila dibaca terkait dengan hal-hal yang memberatkan ketiga kasus tersebut berbeda, dimana dua kasus ada 2 faktor yang memberatkan, tetapi pidana penjara yang dijatuhkan masing-masing 1 (satu) tahun dan 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan, sedangkan untuk kasus yang ketiga faktor yang memberatkan hanya satu, tetapi pidana penjara yang dijatuhkan adalah 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan. Sedangkan apabila dibaca faktor yang meringankan, ketiga kasus tersebut tidak berbeda, yaitu masing-masing terdiri dari dua faktor yang meringankan. Dari tabel di atas, secara khusus dapat diuraikan pertimbangan hakim untuk measing-masing perkara sebagai berikut : 1. Putusan Nomor 01/Pid.B/2013/PN. Sal Hal-hal yang memberatkan dalam putusan ini ada dua (2) point pertimbangan Hakim yaitu : Perbuatan terdakwa telah meresahkan masyarakat, dan Terdakwa sudah pernah dihukum sedangkan hal-hal yang meringankan dalam putusan ini juga memiliki dua (2) point pertimbangan Hakim yaitu : Terdakwa merasa menyesal dan tidak akan mengulanginya lagi, dan Terdakwa bersikap sopan dan mengaku perbuatannya dalam persidangan. Majelis Hakim dalam penjatuhkan pidana terhadap terdakwa dalam putusan ini tidak melihat tujuan pemidanaan yang akan dijatuhkan, tetapi hanya melihat halhal yang memberatkan dan meringankan, dan menjatuhkan pidana penjara selama satu (1) tahun.
2. Putusan Nomor 25/Pid.B/2013/PN. Sal Hal-hal yang memberatkan dalam putusan ini ada dua (2) point pertimbangan Hakim yaitu : Perbuatan terdakwa telah meresahkan masyarakat, dan terdakwa sudah pernah dihukum. Sedangkan hal-hal yang meringankan dalam putusan ini juga memiliki dua (2) point pertimbangan Hakim yaitu : terdakwa mengakui terus terang perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya, dan terdakwa bersikap sopan dipersidangan. Majelis Hakim dalam penjatuhkan pidana terhadap terdakwa dalam putusan ini telah melihat tujuan pemidanaan yang akan dijatuhkan serta melihat hal-hal yang memberatkan dan meringankan tersebut dan menjatuhkan pidana penjara selama dua (2) tahun enam (6) bulan. 3. Putusan Nomor 52/Pid.B/2014/PN. Sal Hal-hal yang memberatkan dalam putusan ini ada satu (1) point pertimbangan Hakim yaitu : Perbuatan terdakwa tergolong perbuatan yang meresahkan masyarakat akhir-akhir ini. Sedangkan hal-hal yang meringankan dalam putusan ini juga memiliki tiga (3) point pertimbangan Hakim yaitu : terdakwa belum penah dihukum, terdakwa mengakui terus terang perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi
lagi
perbuatannya
dan terdakwa bersikap sopan di
persidangandalam penjatuhan pidana. Majelis Hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dalam putusan ini telah melihat tujuan pemidanaan yang akan dijatuhkan serta melihat hal-hal yang memberatkan dan meringankan tersebut dan menjatuhkan pidana penjara selama satu (1) tahun enam (6) bulan.
C. Analisis Berdasarkan hasil penelitian dikaitkan dengan tinjauan pustaka, maka penulis dapat menjelaskan hal-hal sebagai berikut : Bahwa ketiga kasus tersebut, para terdakwa oleh Penuntut Umum didakwa telah melakukan tindak pidana penggelapan sebagaimana diatur dalam Pasal 372 KUHP, dimana untuk masing-masing terdakwa telah melakukan penggelapan mobil rental sebanyak 1 buah mobil rental, walaupun merek dan tipe mobilnya berbeda satu dengan yang lain. Berdasarkan proses pembuktian di depan sidang pengadilan melalui alat-alat bukti dan barang bukti ketiga terdakwa menurut Penuntut Umum dikatakan terbukti secara sah dan meyakinkan karena unsur-unsur pasal yang didakwakan telah telah terpenuhi pada diri para terdakwa, dan oleh karenanya Penuntut Umum mohon kepada Majelis Hakim untuk menyatakan para terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana yang didakwakan dan menjatuhkan pidana kepada para terdakwa. Berdasarkan tuntutan Penuntut Umum selanjutnya Majelis Hakim sebelum memutuskan perkara ini telah mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut : 1. Dakwaan yang diajukan oleh Penuntut Umum 2. Terdakwa telah mengerti dan tidak akan mengajukan eksepsi atas dakwaan dari Penuntut Umum 3. Keterangan para saksi 4. Barang bukti 5. Fakta hukum yang diperoleh dari alat bukti dan barang bukti 6. Keterpenuhan unsur pasal yang didakwakan 7. Pembelaan terdakwa
8. Tidak adanya alasan pemaaf dan alasan pembenar 9. Hal-hal yang memberatkan 10. Hal-hal yang meringankan Pertimbangan-pertimbangan tersebut sesuai dengan apa yang ditentukan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP, yaitu : surat pemidanaan disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan disidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa. Bahwa dari berbagai hal yang dipertimbangkan oleh Majelis Hakim tersebut, terkait dengan penjatuhan pidana, pertimbangan utama yang menjadi fokus penulis dalam skripsi ini adalah pertimbangan yang ke 9 dan ke 10, yaitu hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan. Dari ketiga kasus tersebut, seharusnya sebelum atau sesudah mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan atau hal-hal yang meringankan, tujuan pemidanaan juga harus dipertimbangkan, karena dengan mempertimbangkan tujuan pemidanaan kepada terdakwa, maka akan dapat diketahui maksud atau harapan Majelis Hakim terhadap terdakwa dengan pidana yang dijatuhkan tersebut. Dengan membaca ketiga putusan yang penulis teliti, ternyata Majelis Hakim yang mempertimbangan tujuan pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa hanya ditemukan dalam dua perkara, yaitu putusan nomor 25/Pid.B/2013/PN.Sal dan putusan nomor : 52/Pid.B/2014/PN.Sal., sedangkan untuk putusan nomor : 01/Pid.B/2013/PN.Sal., Majelis Hakim tidak mempertimbangkan Tujuan Pemidanaan. Dalam putusan nomor : 25/Pid.B/2013/PN.Sal., barang bukti tidak ditemukan dan tidak dikembalikan kepada pihak saksi, sehingga saksi korban mengalami kerugian materiel sebesar Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) ditambah dengan kerugian keuntungan yang diharapkan (sewa mobil selama digunakan oleh terdakwa),
oleh karena itu terdakwa dihukum penjara selama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan. Sedangkan dalam putusan nomor : 01/Pid.B/2013/PN.Sal., barang bukti ditemukan dan dikembalikan kepada pihak saksi korban dan saksi korban hanya mengalami kerugian keuntungan yang diharapkan (uang sewa mobil selama dibawa oleh terdakwa) sebesar Rp. 145.000.000,00 (seratus empat puluh lima juta rupiah), terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 1 (satu) tahun. Untuk putusan nomor 52/Pid.B/2014/PN.Sal,. barang bukti ditemukan dan dikembalikan kepada pihak saksi korban dan saksi korban hanya mengalami kerugian keuntungan yang diharapkan (uang sewa mobil selama dibawa oleh terdakwa) sebesar Rp. 135.000.000,00 (seratus tiga puluh lima juta rupiah), terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan. Dari putusan perkara penggelapan tersebut ditemukannya dan dikembalikannya barang bukti menjadi faktor yang meringankan terhadap pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa, sedangkan dengan tidak ditemukannya barang bukti dan tidak dikembalikannya menjadi pertimbangan hal yang memberatkan pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa. Hal ini adalah merupakan kewajaran, karena apabila barang bukti ditemukan dan dikembalikan kepada saksi korban, maka saksi korban hanya mengalami kerugian yang berupa keuntungan yang diharapkan saja, sedangkan apabila barang bukti tidak ditemukan dan tidak dikembalikan kepada saksi korban, maka saksi korban mengalami kerugian ganda, yaitu berupa kerugian kehilangan mobil yang disewa oleh terdakwa dan kerugian berupa keuntutngan yang diharapkan oleh saksi korban. Dikaitkan dengan tujuan pemidanaan, berarti hakim telah mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat sebelum menjatuhkan pidana, yaitu terhadap kerugian saksi korban yang nilainya lebih besar, maka kepada terdakwa dijatuhkan pidana lebih berat dibandingkan dengan kerugian saksi korban yang lebih sedikit. Namun jika dikaitkan dengan pertimbangan bahwa terdakwa yang recidivis dijatuhi pidana lebih ringan
dibandingkan dengan terdakwa yang bukan recidivis, hal tersebut tidak sejalan dengan tujuan pemidanaan, khususnya terkait dengan tujuan pemidanaan untuk mencegah agar pelaku tidak mengulangi perbuatannya lagi ataupun tujuan pemidanaan untuk menakutnakuti warga masyarakat agar tidak mengikuti perbuatan yang dilakukan oleh para terdakwa. Khusus bagi recidivis yang dijatuhi pidana lebih ringan dibandingkan dengan pidana yang terdahulu diterimanya, hal ini tidak sesuai dengan prinsip dalam hukum pidana bahwa kondisi recidivis tersebut seharusnya merupakan faktor yang memperberat pidana. Hal ini menunjukkan bahwa Majelis Hakim yang menjatuhkan pidana tersebut seolah-olah tidak memahami doktrin dalam hukum pidana, sehingga pidana yang dijatuhkan tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat ataupun tidak mendukung tujuan pemidanaan, khususnya tujuan pemidanaan menurut teori prevensi. Walaupun dalam kedua putusan yaitu putusan nomor 25/ Pid.B/2013/PN.Sal dan putusan nomor 52/Pid.B/2014/PN.Sal., Majelis Hakim telah mempertimbangkan tujuan pemidanaan, tetapi tidak secara tegas Majelis Hakim mengikuti teori tujuan pemidanaan yang mana yang akan dicapai dengan pemidanaan tersebut, apakah teori pembalasan, ataukan teori pencegahan atau teori campuran. Bahwa setelah mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan serta hal-hal yang meringankan ternyata Majelis Hakim menjatuhkan pidana secara bervariasi, yaitu 1 (satu) tahun, 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan dan1 (satu) tahun 6 (enam) bulan. Melihat pidana yang dijatuhkan dalam ketiga kasus tersebut nampak ada disparitas yang cukup mencolok, walaupun memang apabila diperhatikan kasusnya berbeda satu dengan yang lain. Pada putusan perkara nomor : 01/Pid.B/2013/PN.Sal., dijatuhi pidana penjara selama 1 (satu) tahun, padahal apabila diperhatikan hal yang memberatkan terdakwa
adalah perbutannya meresahkan masyarakat dan terdakwa pernah dihukum melakukan tindak pidana (recidive). Memperhatikan hal yang memberatkan ini seharusnya pidana yang
dijatuhkan
kepada
terdakwa
lebih
berat,
karena
recidive
seharusnya
dipertimbangkan sebagai faktor pemberat pidana. Memang dalam menimbang hal-hal yang memberatkan sudah dipertimbangkan, tetapi ternyata pemberatan pidananya tidak tercermin dalam putusan hakim tersebut, khususnya jika dibandingan antara putusan No. 52/Pid.B/2014/PN.Sal., dengan putusan No. 01/Pid.B/2013/PN.Sal. Apabila dibandingkan dengan putusan perkara nomor : 25/Pid.B/2013/PN.Sal., posisi terdakwa sebagai recidive juga dipertimbangkan dan nampaknya putusan Majelis Hakim mencerminkan recidive dipergunakan sebagai faktor pemberatan pidana, hal ini nampak dengan pidana penjara yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim, yaitu 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan. Dilihat dari putusan perkara nomor 01/Pid.B/2013/PN.Sal dan putusan perkara nomor 25/Pid.B/2013/PN.Sal tersebut terdapat disparitas antara keduanya, yaitu pidana penjara yang dijatuhkan terhadap terdakwa dalam putusan tersebut berbeda, padahal kedua terdakwa tersebut sama-sama seorang recidive. Dari kedua putusan perkara tersebut pertimbangan Majelis Hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap keduanya melihat dari barang bukti yang dikembalikan dipersidangan. Dari putusan nomor 25/Pid.B/2013/PN.Sal., barang bukti berupa 1 (satu) unit mobil Suzuki Swift tidak ditemukan sehingga atas perbuatan terdakwa kerugian yang diterima saksi korban Asroni, S.H ditaksir sebesar Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah), ditambah dengan kerugian yang berupa keuntungan yang diharapkan. Sedangkan pada putusan nomor 01/Pid.B/2013/PN.Sal., barang bukti berupa 1 (satu) unit mobil Daihatsu Luxio tahun 2011 dikembalikan kepada saksi Edy Sriyanto dan atas perbuatan terdakwa, saksi korban Edi Sriyanto pemilik mobil hanya mengalami kerugian atas keuntungan yang diharapkan,
yaitu sekitar Rp. 145.000.000,- (seratus empat puluh lima juta rupiah), sebagai akibat mobil tidak dapat disewakan kepada orang lain. Sementara
itu
apabila
diperhatikan
putusan
perkara
nomor
:
52/Pid.B/2014/PN.Sal., pada pertimbangan Majelis Hakim tidak muncul faktor pemberatan pidana sebagaimana dikemukakan dalam putusan perkara nomor : 01/Pid.B/2013/PN.Sal., dan 25/Pid.B/2013/PN.Sal., namun ternyata Majelis Hakim menjatuhkan pidana penjara selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan. Pidana ini lebih berat jika dibandingkan dengan putusan dalam perkara nomor : 01/Pid.B/2013/PN.Sal., yang hanya dijatuhi pidana penjara selama 1 (satu) tahun, padahal perkara nomor : 01/Pid.B/2013/PN.Sal., terdakwanya berstatus recidive. Dilihat dari putusan perkara nomor 01/Pid.B/2013/PN.Sal dan putusan perkara nomor 52/Pid.B/2014/PN.Sal tersebut terdapat disparitas antara keduanya, yaitu pidana penjara yang dijatuhkan terhadap terdakwa dalam putusan tersebut berbeda, dalam hal ini perkara nomor 01/Pid.B/2013/PN.Sal., adalah seorang recidivis dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun sedangkan perkara nomor 52/Pid.B/2014/PN.Sal., barang bukti berupa 1 (satu) unit Kbm Toyota Innova warna Silver Metalik tahun 2005 dikembalikan kepada saksi korban Basuki Raharjo, S.E dan atas perbuatan terdakwa tersebut saksi korban mengalami kerugian keuntungan yang diharapkan, yaitu sebesar Rp.135.000.000,(seratus tiga puluh lima juta rupiah) karena barang bukti yaitu mobil Kbm Toyota Innova Silver Metalik tahun 2005 tidak dapat disewakan kepada orang lain, dan terdakwa adalah bukan seorang recidivis dan oleh Majelis Hakim dijatuhi pidana penjara selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan. Ketiga putusan perkara penggelapan tersebut apabila ditinjau dari sisi yuridis (kepastian hukum) sudah tepat, karena dalam perkara tersebut menunjukkan bahwa sesuai dengan asas legalitas aturan hukum pidana berlaku bagi setiap orang yang telah
melakukan perbutan pidana, dalam hal ini setiap pelaku penggalapan dikenakan ketentuan KUHP sebagaimana diatur dalam Pasal 372, dan ini diterapkan untuk ketiga terdakwa dalam ketiga putusan perkara tersebut. Apabila ketiga putusan hakim tersebut ditinjau secara filosofis, yaitu dari sisi keadilan, maka putusan Majelis Hakim ternyata belum mencermainkan rasa keadilan bagi terdakwa, karena terdakwa yang pernah dihukum dijatuhi pidana lebih ringan (putusan nomor : 01/Pid.B/2013/PN.Sal.,) pernah
dihukum
dijatuhi
dibandingkan dengan terdakwa yang belum belum
pidana
lebih
berat
(putusan
perkara
nomor
:
52/Pid.B/2014/PN.Sal.). Agar diperoleh keadilan seharusnya putusan perkara nomor :01/Pid.B/2013/PN.Sal,. sama atau setidak-tidaknya mendekati putusan perkara nomor : 25/Pid.B/PN.Sal,.). Ditinjau secara sosiologis (kemanfaatan) mestinya tercermin dari tujuan pidana yang dipertimbangkan oleh Majelis Hakim. Dengan mempertimbangankan tujuan pemidanaan sesuai dengan teori pemidanaan tertentu, maka harapan Majelis Hakim dengan pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa akan diketahui, apakah pidana tersebut bermanfaat bagi masyarakat atau tidak dalam arti dapat menimbulkan ketertiban masyarakat karena perbuatan serupa tidak akan ditiru oleh warga masyarakat. Atau apakah pidana tersebut mampu menyadarkan terdakwa bahwa perbuatannya tersebut menimbulkan kerugian pada pihak lain, sehingga terdakwa tidak akan mengulangi perbuatannya itu. Dari penjelasan penulis di atas, maka dapat diketahui bahwa sebelum Majelis Hakim menjatuhkan pidana dalam ketiga kasus tersebut, maka Majelis Hakim terlebih dahulu melakukan tindakan mengkonstatir, yaitu membuktikan bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa tersebut adalah benar. Selanjutnya setelah perbuatannya ternyata benar, maka tugas Majelis Hakim adalah menemukan hukumnya, dalam hal ini
adalah menganalisis apakah perbuatan terdakwa tersebut memenuhi unsur pasal yang didakwakan oleh Penuntut Umum.
Dan yang terakhir Majelis Hakim memberikan
keputusan dengan menetapkan hukumnya dan memberi keadilan, yaitu : - menjatuhkan pidana apabila terdakwa terbukti bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan; - membebaskan terdakwa apabila perbuatan yang didakwakan tidak dapat dibuktikan; - atau melepaskan dari segala tuntutan hukum apabila perbuatan yang didakwakan terbukti tetapi bukan merupakan tindak pidana. Selanjutnya terkait dengan putusan Majelis Hakim yang menyangkut barang bukti, menurut penulis putusan Majelis Hakim untuk ketiga perkara tersebut sudah tepat, karena dalam ketika putusan perkara tersebut Majelis Hakim memerintahkan agar barang bukti dikembalikan kepada yang berhak.