BAB III
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
Bagian ini merupakan hasil penelitian yang langsung dianalisis. Pada bab ini penulis akan menjabarkan rentenir di Salatiga, permasalahan yang dialami perempuan rentenir, dan analisa terhadap permasalahan perempuan rentenir ditinjau dari konseling feminis.
3.1. Rentenir di Salatiga 3.1.1. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian adalah di Pasar Raya Jalan Sudirman Kota Salatiga, berada di kelurahan Kutowinangun Lor. Di kelurahan ini ada dua pasar, yaitu Pasar Blauran dan Pasar Raya Jalan Sudirman. Kedua pasar di atas berada di RW 04, Pancuran, kelurahan Kutowinangun Lor, kecamatan Tingkir, Kota Salatiga.118 Adapun alasan penulis untuk memilih lokasi ini adalah karena mayoritas perempuan rentenir yang beroperasi di pasar tersebut adalah warga jemaat HKBP Salatiga. Di wilayah pasar raya Jalan Sudirman ini terdapat sejumlah pedagang yang notabene pedagang kecil (pedagang bakul) yang membutuhkan kucuran dana cepat untuk dipakai sebagai tambahan modal. Di pasar ini didominasi oleh suku asli (Jawa) yang kegiatannya sebagai pedagang. Hal ini yang membuat 118
Sumber: Dahlan, Keterangan tertulis dari Lurah Kelurahan Kutowinangun Lor, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga, Oktober 2015.
43
para perempuan rentenir ini tertarik menjalankan bisnisnya di lokasi ini. Para pedagang atau nasabah ini tidak mempunyai agunan untuk meminjam modal ke bank, dan pedagang bakul ini hanya membutuhkan dana kecil. Untuk menjawab kebutuhan para pedagang ini, maka para perempuan rentenir ini pun tertarik menjalankan bisnis di pasar ini.
3.1.2. Gambaran Umum Rentenir di Salatiga Sektor informal, baik di bidang perdagangan maupun perkreditan telah memperlihatkan peranan yang penting. Hal ini terlihat semakin banyaknya jumlah rentenir di pasar Salatiga dan menimbulkan persaingan sesama rentenir yang berakibat semakin sulit untuk mencari nasabah.119 Rentenir yang beroperasi di pasar Salatiga didominasi oleh perempuan. Jenis kelamin tidak mempengaruhi profesi rentenir, baik perempuan maupun lakilaki dapat terjun dalam profesi ini. Perempuan lebih banyak rentenir jika dibandingkan laki-laki, hal ini berkaitan dengan nilai-nilai sosial yang berhubungan dengan pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin bahwa pada umumnya, perempuan yang bekerja untuk meningkatkan pendapatan ekonomi keluarga. Di samping itu, perempuan juga memiliki tugas untuk memutuskan penggunaan uang dalam keluarga. Laki-laki dianggap sebagai pencari nafkah utama, yang harus bertanggungjawab memberikan penghasilannya kepada para istri, untuk memenuhi kebutuhan hidup seharihari. Akibatnya secara psikologis perempuan lebih mampu dan berpengalaman dalam penggunaan
119
Wawancara dengan ibu Len.
44
uang. Pengetahuan dan pengalaman dalam mengatur keuangan tersebut juga diaplikasikan dalam bidang perdagangan dan hutang-piutang.120 Menurut penelitian penulis, di pasar Salatiga, kendatipun citra buruk dibangun oleh berbagai kebudayaan, profesi ini tidak surut, bahkan ada kecenderungan semakin berkembang sejalan dengan ekspansi perdagangan. Hal ini diakui oleh ibu Len sebagai narasumber yang menyatakan semakin sulitnya bersaing karena jumlah rentenir yang semakin banyak jumlahnya: 121 “Nunga lam godang be rentenir saonari, berbeda sian na jolo i, alani i gabe maol nuaeng mangalului nasabah jala godang saingan gabe susa mangula ulaon on.” Rentenir ini berkembang selain karena perkembangan pasar, juga reaksi terhadap sulitnya aturan–aturan kredit formal yang disediakan oleh institusi ini, banyak dimanfaatkan oleh lapisan bawah, yang pada umumnya kurang berpendidikan dan kurang mengetahui regulasi perbankan. 122 Sulit sekali untuk melacak kembali data statistik yang berkaitan dengan berapa besar jumlah rentenir yang beroperasi saat ini. Kesulitan ini mengacu pada sifat aktivitas rentenir itu yang tergolong dalam „ekonomi gelap‟, sehingga para ekonom dan ilmu sosial tidak banyak memperhitungkannya. 123 Seiring dengan pertambahan jumlah rentenir yang meningkat pesat, hal ini juga tantangan bagi sesama rentenir bahwa semakin sulit untuk mencari nasabah.
120
Yoserizal, Yessi, Ibid, 7. Wawancara dengan ibu Len. 122 Sumadiningrat, Gunawan (1990), “Peran dan Prospek Perkreditan Rakyat dalam Rangka Kebijakan Pakto”, Makalah Seminar, Jakarta, Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia, 6 Januari 1990, 6. 123 Hartono, Suwardi Prawiro, dan Pancawati, Neni, Ibid, 7. 121
45
Berbeda beberapa tahun sebelumnya, jumlah rentenir di pasar Salatiga masih sedikit; dengan demikian rentenir masih cepat mendapat nasabah dan keuntungan yang besar. Nasabah juga mudah mencari pinjaman ke beberapa orang rentenir di pasar, yang mana hal ini membuat nasabah sulit untuk mengembalikan pinjamannya, karena jumlah utangnya terlalu besar kepada beberapa rentenir, sementara barang dagangannya belum tentu terjual.124 Dari permasalahan di atas penulis melihat bahwa semakin banyak jumlah rentenir di pasar ini akan menjadi kesulitan bagi rentenir itu sendiri dalam hal mencari nasabah. Jumlah perempuan rentenir jemaat HKBP Salatiga saat ini berkisar 27 orang dan diperkirakan jumlah ini akan bertambah, karena semakin banyak saudaranya atau kerabatnya yang datang dari kampung ke Kota Salatiga ini untuk menjalankan bisnis ini.125 Pertambahan jumlah rentenir ini membuat pemerintah sampai saat ini sangat kewalahan mengatasi sistim ijon, rentenir tetap terorganisasi yang berlindung di balik operasi koperasi simpan-pinjam (KSP). Rentenir secara negatif tidak saja memberatkan masyarakat, tetapi pada dasarnya bagi bank sentral sendiri menjadi semakin menghambat proses monetisasi di negara-negara sedang berkembang, di lain pihak kebiasaan ini dapat menimbulkan ketidakberesan di sektor formal (perbankan) yang menjadi amat sulit memperbaikinya.126
124
Wawancara dengan ibu Len. Sumber: Data Statistik Jemaat 2014 Gereja HKBP, “Berich HKBP Salatiga Desember Tahun 2014“ (2014). 126 Ghate, P. B. (1986), “Some Issue for Regional Study on Informal Credit Markets”, A Background Discussion Paper for the Design Workshop, Manila, May 28 to 30, 1986, 5. 125
46
Kenyataannya, rentenir yang menikmati suku bunga rendah dari bank pemerintah dimana rentenir biasanya bila kekurangan modal meminjam dari orang-orang tertentu atau BPR (Bank Perkreditan Rakyat) dengan uang sebesar 5%; tetapi dengan kehadiran bank pemerintah, rentenir yang kekurangan modal meminjam uang ke bank pemerintah yang bunganya hanya 2%, kemudian dipinjamkan ke pedagang kecil dengan bunga sebesar 20% sehingga keuntungannya menjadi 18% per bulan.127 Rentenir untuk meminjamkan uangnya ke pedagang kecil dilakukan dini hari pukul 03.00 – 07.00 WIB, pada saat para pedagang menunggu barang-barang sayuran, ikan, daging yang turun dari gunung atau desa, dan pada saat itu ada barang sayur atau ikan atau daging yang akan dibeli, tetapi uang tidak cukup dan seketika itu langsung meminjam uang dari rentenir yang besarnya berkisar antara Rp.50.000 – Rp.200.000, dan biasanya rentenir sudah berada di tempat pada pagi/dini hari sekitar pukul 01.00 02.00 dan berdiri di samping para pedagang. Pedagang sudah mengerti orangorang yang pekerjaannya rentenir, dan uang yang dipinjam tersebut langsung dibagi 30 hari yang dibayar modal bersama bunga selama 1 bulan.128 Bunga yang ditetapkan oleh rentenir terhadap pedagang sekitar 20%, bunga ini cukup tinggi dan ini alasan yang membuat rentenir tergiur untuk menjalani bisnis ini.129 Di samping itu, pedagang kecil selalu membeli barang tertentu 127
Siahaan, Monang, Ibid, 17-18. Siahaan, Monang, Ibid, 19. 129 Wawancara dengan Ibu Len. 128
47
untuk memenuhi kebutuhan langganan, karena bila tidak ada barang yang biasa dijual langganan bisa beralih ke pedagang lainnya yang sulit menariknya kembali. Para rentenir sekitar pukul 09.00 WIB menagih setoran pinjaman sebelumnya dari peminjam yang dilakukan setiap hari. Sekitar pukul 15.00 WIB dilakukan menagih uang pinjaman sebelumnya dari peminjam.130 Di selang waktu jam kerja ini, rentenir (perempuan) dapat bekerja bergilir dengan suaminya. Dan perempuan rentenir ini dapat memakai waktu untuk mempersiapkan pekerjaan di rumah menunggu waktu tiba kembali ke pasar menagih setoran.131 Para perempuan rentenir ini memakai waktu luang untuk mempersiapkan pekerjaan rumah, menunggu tiba waktu kembali ke pasar untuk menagih.
3.1.3. Faktor-faktor yang Menyebabkan Perempuan Menjadi Rentenir Dari hasil penelitian ini perempuan rentenir ini melakukan pekerjaan ini karena faktor kebutuhan dan faktor suku bunga tinggi. a. Kebutuhan Para perempuan rentenir ini menjalankan bisnis ini adalah karena ingin memperbaiki taraf hidup. Mereka datang dari kampung masih belum memiliki harta benda, hidup pas-pasan, tetapi setelah menjalankan bisnis ini taraf hidup pun berubah dari yang tidak memiliki harta menjadi kaya dari hasil riba uangnya. Hal ini diakui oleh ibu HS:132
130
Siahaan, Monang, Ibid, 19. Wawancara dengan ibu JS. 132 Wawancara dengan ibu HS. 131
48
“Ro sian huta pogos do hami. Alai dung huula hami bisnis on gabe adong ma arta nami nuaeng. Boi ma terpenuhi sude kebutuhan hidup nami, mangan dohot biaya sikola ni dakdanak. Alani i hujou hami do tondongnami sian huta jala rap mangula rentenir dison.” Kondisi inilah yang menggiurkan pelaku untuk menjalankan bisnis rentenir, setelah mengalami kemajuan di bidang ekonomi, dan lambat laun pelaku ini mengajak saudaranya dari kampung untuk bergabung dalam menjalankan bisnis rentenir. Hampir seluruh waktu rentenir ini habis dipakai untuk mengejar para nasabah dan menagih mereka, serta merayu nasabah agar meminjam uang kepadanya. Inilah salah satu cara dari seorang rentenir dalam upaya melanggengkan hubungannya dengan nasabah. Hal ini terlihat dari cara kerja rentenir ini mulai pagi hari sampai sore hari.133 Menurut penulis, para perempuan rentenir yang menjalankan bisnis ini mengalami perubahan ekonomi ke arah yang lebih baik karena kegigihan yang luar biasa, beroperasi mulai dari pagi sampai sore, dan setelah mengalami kemajuan dan kesuksesan, maka mereka mengajak saudaranya dari kampung.
b. Suku Bunga Tinggi Seiring berjalannya waktu jumlah rentenir ini bertambah banyak. Dari hasil penelitian, para rentenir ini menyatakan selain faktor kebutuhan, mereka tergiur menjalankan bisnis ini karena faktor bunganya yang relatif tinggi. Para perempuan rentenir ini tidak perlu berlama-lama menunggu proses waktu, perubahan ekonomi langsung nyata dan relatif cepat. Mereka kini dapat membeli tanah serta rumah, mencicil kredit sepeda motor, dan
133
Siahaan,Monang, Ibid, 19.
49
memenuhi kebutuhannya. Bunga uang yang bisa mencapai 20% serta jumlah tagihan tergantung kesepakatan antara rentenir dan nasabah dengan tagihan secara harian atau mingguan. Hal ini diakui oleh ibu Len: 134 “Ahu gabe rentenir alana hubege do bungana timbo” Ibu Len ini tergiur menjadi rentenir dan meninggalkan pekerjaannya di Riau karena ibu Len ini mengetahui dari saudaranya yang telah lama menjalankan bisnis ini, bahwa bisnis ini cukup menjanjikan dengan bunga sangat tinggi. Ibu Len ini beranggapan hanya dengan menjalankan bisnis ini saja, maka kondisi ekonominya diyakini dapat lebih baik. Hal ini juga dialami oleh ibu JS yang sudah menjalankan bisnis ini selama 17 tahun. Menurut pengakuan responden: 135 “Nunga 17 taon ahu mandalani bisnis on, jala nunga godang dapothu sian bunga ini hepeng on. Nuaeng boi ahu marjabu, manuhor motor, jala pasikkolahon gellengku. Sudena i sian bunga ini hepeng on do.”
Ibu JS tidak merasa bersalah dengan bunga yang tinggi itu, dia beranggapan bahwa harta yang dimiliki itu semua pemberian Tuhan. Menurut pengakuan responden:136 “Mauliate ma di Tuhan, di pasu-pasuNa gabe boi denggan mulaulaon di ngolu on. Molo taringot tu balga ni bunga hepeng i, bah kesepakatan doi, olo sama olo do.”
Dari pernyataan ibu JS diketahui bahwa responden menagih suku bunga itu atas kesepakatan bersama antara nasabah dan responden. 134
Wawancara dengan ibu Len. Wawancara dengan ibu JS. 136 Ibid.. 135
50
Ironisnya, justru pedagang-pedagang kecil yang banyak meminjam pada perempuan rentenir meskipun bunga tinggi mencapai 20%. Bunga sebesar ini sangat tinggi bila dibandingkan dengan institusi finansial formal yang digelar pemerintah atau bank perkreditan rakyat yang bunganya berkisar antara 2,5 - 3%.137 Menurut penulis, bunga tinggi ini menjadi faktor pendukung bagi perempuan rentenir ini untuk menjalankan bisnis ini, sekalipun sudah memiliki pekerjaan sebelumnya. Dari hasil penelitian ini ada beberapa masalah yang dihadapi perempuan rentenir ini antara lain:
3.2. Permasalahan yang Dialami oleh Perempuan Rentenir 3.2.1. Kekerasan Verbal Semua orang tahu bahwa profesi meminjamkan uang dengan mendapatkan imbalan banyak adalah rentenir. Sebagai implikasinya, banyak pekerja rentenir sering mendapat citra buruk dari warga masyarakat. Dalam berbagai kebudayaan, profesi rentenir sering diidentifikasi sebagai pekerjaan sadis, sebab menarik riba atas uang yang dipinjamkan. Sebagaimana pengakuan dari responden ibu HS:138 “Didok jolma rentenir i jahat. Jala ndang pola heran/kagum jolma mamereng hamoraon ni rentenir, nang pe mamora manang sukses” Maksudnya bahwa masyarakat memberikan label konotasi buruk atas profesi rentenir. Masyarakat tidak kagum melihat kekayaan dari
137 138
Siahaan, Monang, ibid, 17. Wawancara dengan ibu HS.
51
si rentenir, sekalipun rentenir ini sukses dalam hal materi, sebagaimana yang telah dialami ibu HS selama ini. Menurut pengakuan ibu Len:139 “Molo adong nasabah na maol mambayar pintor hata kotor nama nidok.” Acap kali perempuan rentenir ini melontarkan kata-kata kasar jika nasabah sulit mengembalikan utangnya.140 Sementara Ibu JS berkata: “Molo ahu, lao do ahu tu jabuna lao martagih molo ndang jumpang di pasar. “ Responden terpaksa mendatangi rumah nasabahnya untuk menagih utang (diparani).141 Namun sedikit agak berbeda dengan ibu HS yang mengatakan:142 “Molo ahu, huelek do parjolo laho manjalo tu nasabah i, alai molo nga maol baru pe humakki ma”
Jika menghadapi nasabah yang sulit membayar utangnya, dia membujuk nasabah dulu, tapi jika tidak bisa lagi dengan membujuk, maka kata-kata kasar serta suara keras pun akan dilontarkannya. Ibu Len mengakui bahwa hal itu tidak baik, karena menjadi tontonan orang sekitar serta berakibat stres pada diri sendiri.143 Ibu Len sebenarnya dari rumah sudah berniat untuk tidak marah di pasar, tetapi jika berhadapan dengan nasabah yang sulit ditagih, maka kata-kata kasar pun terlontar.
139
Wawancara dengan ibu Len Ibid. 141 Wawancara dengan ibu JS. 142 Wawancara dengan ibu HS. 143 Wawancara dengan Ibu Len. 140
52
Menurut penulis konseli ini sebenarnya tidak ingin melakukan kekerasan verbal. Seperti yang dipaparkan oleh teori Galtung yaitu mengenai kekerasan psikis. Kekerasan yang dilakukan oleh konseli ini berdampak timbal balik antara konseli dan nasabah. Konseli yang melakukan kekerasan itu pun mengalami dampak yaitu stres. Konseli tidak nyaman melakukan kekerasan verbal itu. Di satu sisi konseli memiliki naluri keibuan, yang lembut, tetapi di sisi lain sesuai dengan pekerjaan maka konseli harus mampu untuk bertindak tegas dan keras.144
3.2.2. Eksploitasi Suku Bunga Tinggi Bentuk eksploitasi yang terjadi di pasar Salatiga adalah rentenir meraup keuntungan yang lebih besar sampai mencapai tingkat suku bunga 20%. Suku bunga yang tinggi ini juga membuat bisnis ini diminati perempuan jemaat HKBP Salatiga ini. Menurut pengakuan responden ibu Len:145 “Andorang so ro tu Salatiga on, nunga karejo di toko hian ahu di Riau, alai beralih ma au gabe rentenir ala hubege balga do bunga ni hepeng.”
Ibu Len sanggup meninggalkan pekerjaannya di Riau setelah ibu Len mendengar suku bunga tinggi yang menggiurkan dari bisnis ini, sehingga ibu Len tertarik melakukan pekerjaan ini hanya karena suku bunga yang cukup tinggi.
144
Hamka, Aldrin Ali & Danarti, Tyas, Ibid, 17. Wawancara dengan Ibu Len.
145
53
3.2.3 Masalah Peran Domestik Menurut ibu JS yang menjadi kendala baginya tidak memiliki waktu membimbing anak dan melihat perkembangan mental anak. Menurut wawancara dengan ibu JS: 145 “Ganup ari lao ahu tu pasar pukul 03.00 manogot, dakdanak modom dope, alani i, ndang sanga be hubereng toho do manang ndang dakdanak on laho tu sikola. Ndang adong tingkiku parade sipanganon dohot mamareso dakdanak. Amanta pe dohot do karejo tu pasar, jadi laos holan dakdanak i do di jabu.”
Responden berangkat ke pasar sekitar pukul 03.00 dini hari beserta suami, sehingga tidak punya waktu untuk mempersiapkan keperluan anak-anaknya ke sekolah, dan oleh karenanya kurang waktu untuk membina mental si anak.
3.2.4. Masalah Psikologis Anak Ibu JS punya anak 03.00 orang dan semuanya sudah sekolah. Anak pertama sekolah di tingkat SLTA, anak kedua dan ketiga sekolah di tingkat SLTP. Ketiga anak ibu JS sudah remaja dan beranjak dewasa. Ibu JS menceritakan kondisi psikologis anaknya yang terganggu dengan keadaan pekerjaannya itu. Anak-anak JS sebenarnya merasa malu dan minder di sekolah jika guru bertanya apa pekerjaan orang tuanya. Anaknya ini cenderung diam tidak menjawab apa status pekerjaan orang tuanya. Pernah anak-anak ibu JS tersebut memohon kepada ibunya agar berhenti dari pekerjaannya karena malu. Dari hasil penelitian ibu JS mengatakan:147 “Naeng maradi nama ahu na marpasar on secara bertahap. Nunga huorui be 145 147
Wawancara dengan Ibu JS. Ibid.
54
godang ni nasabah di pasar. Annon dung maradi ahu marpasar, naeng mambahen kursus senam nama, asa unang maila dakdanak on.”
Ibu JS berusaha untuk beralih dari profesi rentenir ini hanya demi kenyamanan dan perkembangan psikologis anak-anaknya. Sebenarnya ibu JS sulit untuk meninggalkan bisnis ini. Anak-anak ibu JS merasa malu dan minder tentang pekerjaan orang tuanya adalah karena stigma yang melekat pada rentenir ini, bahwa rentenir adalah pekerjaan yang sadis, kasar, eksploitasi, jauh dari kejujuran, ketidakadilan, serta kurangnya waktu untuk membina mental anak. Menurut pengakuan responden ibu HS:146 “Molo hami na marpasar on holan na margabus do tu nasabah i, mangotootoi. Nidok baru 10 hali dope dibayar nasabah, hape nunga 12 hali, ai so adong catatan ni nasabah i.”
Dari pengakuan ibu HS ini, bahwa pekerjaan rentenir itu pekerjaan yang selalu berbuat yang tidak jujur pada nasabah karena nasabah tidak punya catatan tersendiri. Dari kondisi pekerjaan inilah maka anak-anak perempuan rentenir ini merasa minder di lingkungannya dan malu untuk mengakui status pekerjaan orang tuanya.
3.3. Analisa Terhadap Permasalahan Perempuan Rentenir Ditinjau dari
146
Wawancara dengan ibu HS.
55
Konseling Feminis 3.3.1. Kekerasan Verbal Berdasarkan penelitian di atas, maka masalah kekerasan verbal yang dihadapi Konseli adalah kata-kata kasar dan keras. Inilah bentuk kekerasan yang terjadi di saat menjalankan bisnisnya. Kekerasan dilihat dari perspektif Coady, bahwa kekerasan tidak dapat dibatasi hanya pada fisik, sebab kekerasan itu juga mencakup kekerasan psikis.147. Jadi kekerasan tidak hanya fisik tetapi juga dengan kata-kata kasar. Sementara menurut pendapat Brunetta Wolfman, perempuan itu adalah perempuan yang lembut, perhatian, dan empati.150 Para perempuan rentenir ini berontak terhadap pekerjaannya karena streotipe yang melekat pada perempuan, yaitu perempuan itu lembut, namun kenyataannya perempuan rentenir ini melakoni sikap kasar dan keras. Karena itu, dari perspektif feminis rentenir ini tidak dapat dilakoni oleh seorang perempuan, karena secara naluri perempuan itu dianggap lemah lembut, keibuan dan emosional, seyogianya hanya pantas mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan merawat anak. Untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi perempuan rentenir dalam
menjalankan
peran
sebagai
rentenir,
maka
perlu
dilakukan
pendampingan konseling berbasis feminis; bahwa tujuan konseling feminis menurut Nurhayati adalah mendobrak kebekuan dan kekakuan epistemologi konseling dalam memahami kompleksitas masalah perempuan, serta memberi
147 150
Coady, C.A.J (1999), Ibid,35. Wolfman Brunetta, Ibid, 22.
56
bantuan untuk memanusiakan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya yang sama-sama luhur di sisi Tuhan.148 Menurut penulis konseli mengalami kompleksitas kejiwaan, di satu sisi, perempuan rentenir harus ramah/lembut sesuai dengan naluri keibuannya, tetapi di sisi lain, perempuan rentenir harus bersikap keras untuk menopang pekerjaannya. Maka dalam hal ini perlu pendekatan konseling feminis yang dapat memahami kompleksitas masalah perempuan rentenir ini. Melalui pendekatan konseling feminis yang dipaparkan oleh Nurhayati, diharapkan konseli mampu untuk melihat dan menghargai nasabah jauh dari ketidakadilan dan ketidakjujuran. Serta menghargai harkat dan martabat manusia dengan menjauhkan praktik kekerasan verbal. Dari pendekatan konseling di atas, penulis melihat bahwa teori konseling yang menekankan bagaimana perempuan rentenir itu untuk berperilaku dalam menjalankan bisnisnya sesuai dengan konsepsi feminis. Menurut John McLeod, perempuan disosialisasikan sebagai sosok yang memperhatikan orang lain, dan berpartisipasi dalam hubungan bahwa mereka memberikan empati meskipun perempuan itu sulit mendapatkan empati dari orang lain. Karena itu pengalaman mutualitas merupakan salah satu area yang diuji oleh model konseling feminis. Dalam mutualitas intersubjektif kita tidak hanya menemukan peluang untuk mengembangkan pemahaman terhadap orang lain, tetapi juga menajamkan kesadaran akan diri sendiri. Salah satu target kunci dalam konseling feminis adalah memungkinkan klien untuk lebih
148
Nurhayati, Eti, ibid, 353.
57
mampu berpartisipasi dalam hubungan yang ditandai dengan mutualitas yang tinggi. Mutualitas juga diekspresikan dalam hubungan konseling itu sendiri, bahwa konselor feminis ingin menjadi „nyata‟, dikenal dan membantu secara aktif dalam ruang konseling.149 Menurut penulis, melalui pendekatan konseling feminis ini diharapkan rentenir dalam menjalankan bisnisnya dapat menghargai nasabah itu sebagai manusia yang sama-sama ciptaan Tuhan. Dan hal ini yang perlu diterapkan melalui proses pendekatan konseling feminis, sehingga hubungan rentenir dengan nasabah dapat pulih kembali (reconciling) dan terhindar dari praktik kekerasan.
3.3.2. Eksploitasi Suku Bunga Tinggi Eksploitasi bunga yang tinggi adalah salah satu yang menjadi masalah rentenir dengan nasabahnya. Menurut Galtung, dalam Windhu I. Marsana mengatakan eksploitasi terjadi bila totalitas jumlah biaya dan keuntungan kegiatan dalam pertukaran ekonomi berbagai kelompok berbeda, sehingga beberapa kelompok memperoleh keuntungan lebih banyak daripada yang lain.150 Secara ringkas eksploitasi dilihat sebagai sumber pokok adanya ketimpangan (ketidaksamaan) di dunia ini.154 Menurut penulis rentenir mendapatkan keuntungan yang lebih dari bisnisnya ini. Ibu HS mengakui bahwa pada saat mereka (keluarga) datang ke
149
Nurhayati, Eti, Ibid, 242. Windhu, I. Marsana, Ibid, 42. 154 Ibid, 49.
150
58
Salatiga ini mereka belum memiliki apa-apa. Setelah menjalani bisnis ini selama 10 tahun, kehidupannya pun semakin makmur, punya rumah, ruko dan mobil dari hasil riba uangnya. Dari permasalahan yang dihadapi perempuan rentenir maka perlu pendekatan konseling feminis sesuai dengan teori Enns. Menurut Enns, beberapa tujuan konseling feminis ialah pemberdayaan, menghargai dan meneguhkan keragaman, berjuang untuk perubahan daripada penyesuaian, kesetaraan, kemandirian, dan persamaan ketergantungan, perubahan sosial, pengasuhan diri, membantu individu dalam melihat diri mereka sebagai agen aktif bagi kehidupan mereka maupun orang lain.151 Tujuan pendampingan adalah memberikan pelayanan kasih sebagai ungkapan iman sekaligus jawaban konkret atas pemanggilan hidup kristiani dengan kepedulian dan keprihatinan maupun perhatian kepada mereka yang menderita untuk meringankan beban psikisnya.152 Melalui pendekatan konseling feminis sesuai teori Enns ini, perempuan rentenir menghargai nasabah itu serta ada perubahan pada diri perempuan rentenir. Bahwa tujuan konseling feminis menurut Brown & Greene, lebih menyoroti ke arah perubahan sosial, karena perubahan individu tidaklah cukup untuk menyesuaikan diri dengan sistem yang berlaku, perlu perubahan yang lebih luas.153 Menurut penulis pendekatan konseling yang dibangun oleh teori 151
Corey G., Ibid, 235. Engel, J.D., Ibid, 84. 153 Williams, Elizabeth Nutt & Barber, Jill S. (2004), “Power and Responsibility in Therapy: Integrating Feminism and Multiculturalism”, Journal of Multicultural Counseling and Development, Extra 2004 Vol.32, 2004, 1. 152
59
Enns ini agar para rentenir ada perubahan yang lebih baik, jauh dari praktik eksploitasi, ketidakadilan dalam hal keuntungan, dan perubahan ini diharapkan secara menyeluruh.
3.3.3 Masalah Peran Domestik Ibu JS mengalami kesulitan dalam membina anak-anaknya karena suaminya juga turut pergi bekerja juga pada dini hari.154 Ibu ini tidak punya waktu memberangkatkan anak-anaknya ke sekolah pagi hari dan ibu ini tidak sempat memperhatikan perkembangan sekolah anak-anaknya. Sementara tugas dan tanggung jawab perempuan dalam mengasuh, membina, mendidik, dan membesarkan anak sehingga berwatak, berkepribadian dan berkelakuan serta bertindak sebagai manusia seutuhnya (Maftuchah Yusuf, 2000).155 Secara mendasar perempuan adalah ibu rumah tangga. Pria adalah pencari nafkah, perempuan adalah penjaga dan pembagi makanan. Dia adalah seseorang yang mengambil alih setiap persoalan. Seni mengasuh tunas bangsa merupakan tugas utama perempuan dan satu-satunya hak istimewa.156 Perempuan bertanggungjawab untuk mengasuh dan menjaga anak, dalam kehidupan keluarga di Indonesia terdapat anggapan umum yang menekankan soal pendidikan anak lebih menjadi tanggung jawab ibu daripada bapak. Bila
154
Wawancara dengan ibu JS. Sastriyani, Siti Hariti, Ibid, Hal 117. 156 Gandhi, Mahatma (Penerjemah: Siti Farida) (1933), “Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial”, Perpustakaan Nasional RI: Katalog dalam Terbitan (KDT), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, ISBN: 979-9483-58-1, Juni 2002), 48. 155
60
terjadi ketidakberhasilan pendidikan anak, pihak ibu yang harus bertanggung jawab.157 Kebanyakan perempuan telah mengetahui bahwa masyarakat mengharapkan mereka menjadi istri dan ibu dan hingga beberapa waktu yang lalu nilai-nilai yang dipegang kalangan kelas menengah mengharuskan perempuan mengurus rumah tangga. Peran umum ini dipertahankan oleh banyak orang yang berumur lebih tua dan berpegang teguh pada tradisi yang mempertahankan bahwa menjadi istri dan ibu yang baik membutuhkan seluruh tenaga seorang perempuan.158 Seorang ibu adalah yang paling banyak berperan di rumah dan bergaul dengan anak-anaknya. Berkaitan dengan tanggung jawab ini, seorang ibu mempunyai peran khusus, yaitu seorang istri pemelihara rumah tangga dan anak-anaknya. Jelaslah ibu sangat berperan sebagai pemimpin rumah tangga dan sebagai awal pembinaan karakter bangsa. Seorang ibu akan sabar dalam menghadapi aneka kendala dalam melaksanakan perannya.159 Kendalakendala yang paling umum dan paling sering dikemukakan kaum perempuan yang telah menikah ialah bahwa para suami tidak membantu dalam urusan rumah tangga dan anak-anak. Hal ini juga merupakan sumber pertentangan dan pertengkaran dalam keluarga. Khususnya kalau suami menganggap rumah dan anak-anak itu hanya tanggung-jawab istri, tidak peduli sifat pekerjaan istrinya atau berapa jam ia bekerja.164 Kendala yang dihadapi 157
Hadiz, Liza (Editor) (2004), “Perempuan dalam Wacana Politik Orde Baru”, (Jakarta: Pestaka LP3ES Indonesia, ISBN: 979-3330-19-8, 2004), 419. 158 Wolfman, Brunetta R., Ibid, 22. 159 Haikal, Husain, Prof. (2012), “Wanita dalam Pembinaan Karakter Bangsa”, Universitas Negeri 164 Yogyakarta, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, ISBN: 978-602-229-067-4, April 2012), 69. Wolfman, Brunetta R., Ibid, 84.
61
perempuan antara karier dan rumah tangga dapat teratasi jika suami dan istri sebagai sebuah tim dengan dukungan komunitas menangani, baik pengasuhan anak maupun pekerjaan rumah.160 Seperti yang dilakukan oleh responden ibu HS, bahwa saat ibu HS berada di pasar maka suaminya yang mengurus dan mempersiapkan keperluan anak-anaknya ke sekolah.161 Walaupun peranan penting dari perempuan itu hanya ada dalam keluarga, janganlah kita lupa bahwa justru rumah tangga itu merupakan inti yang terpenting daripada masyarakat. Khususnya pendidikan dari generasi yang sedang berkembang sebagian terbesar menjadi tugas perempuan, karena dialah yang membimbing si anak pada langkah-langkah pertama dalam jalan hidupnya.
Perempuanlah
yang
meletakkan
dasar
pertama
untuk
perkembangan selanjutnya dari akal dan budi si anak.162 Sementara perempuan dimana-mana mencurahkan tenaga untuk membina keluarga, mendidik anak-anaknya, merawat anggota keluarga yang sakit, bahkan di luar rumah
perempuan
memegang
peranan
dalam
usaha
kesejahteraan
masyarakat.163 Kewajiban perempuan dalam rumah tangga yaitu: perempuan harus rajin, perempuan harus cepat pada sekalian pekerjaan, perempuan harus bersih, harus sabar, harus tulus budinya, harus adil, sopan dan pintar dalam menyelesaikan pekerjaannya.164
160
Creegan, Nicola Hoggard; and Pohl, Christine D. (2005), “Perempuan di Perbatasan: Pergulatan Evanggelikalisme dan Feminisme”, InterVasity Press as Living on the Boundaries, Downers Grove, IL, 60515, USA, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, ISBN: 978-979-687-678-5, 2010), 67. 161 Wawancara dengan ibu HS. 162 Subadio, Maria Ulfah; dan Ihroni, T.O., Ibid, 36. 163 Sastriyani, Siti Hariti, Ibid, 133. 164 Blackburn, Susan (Penyunting: Monique Soesman) (2007), “Kongres Perempuan Pertama”, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia & KITLV-Jakarta, ISBN 979-461-610-9, 2007), 85.
62
Perempuan yang bekerja merasakan keuntungan yang didapat dari beberapa peran yang dijalankan, yaitu memperoleh ketrampilan, emosi yang positif, harga diri dan kepuasan hidup.165 Nilai positif perempuan yang bekerja digantikan sebagai bentuk peran ganda, peran dalam pekerjaan dan keluarga akan saling mempengaruhi. Nilai positif perempuan yang bekerja terjadi ketika peran yang dilakukan dalam pekerjaan dan peran yang dilakukan dalam keluarga saling memberi kontribusi positif.166 Hal ini juga dialami oleh ibu HS yang bekerja secara bergilir, suamiistri agar ada yang menjaga/mengurus anak di rumah. Ibu HS harus berangkat ke pasar Salatiga sekitar pukul 04.00 dini hari, sementara suami di rumah
mengurus
keperluan
anak-anak
ke
sekolah.167
Berdasarkan
pengamatan dan analisis Maftuchah membedakan kelompok perempuan dalam kategorikategori sebagai berikut:168 1. Kelompok perempuan yang sudah memiliki kemampuan dan kemauan serta fasilitas, kesempatan dan sarana yang cukup bagi perannya, jumlah kelompok ini sangat kecil. 2. Kelompok perempuan yang sudah memiliki kemampuan terbatas karena hasil pendidikan atau kedudukannya, namun masih memerlukan motivasi untuk mempertinggi kemauan kerjanya. Kemungkinan besar masih
165
Soeharto, Triana Noor Edwina Dewayani; Faturochman; dan Adiyanti M. G., Ibid, 2. Ibid, 3. 167 Wawancara dengan ibu HS; Wawancara dengan ibu Len. 168 Sastriyani, Siti Hariti, Ibid, 117. 166
63
memerlukan tambahan fasilitas, kesempatan dan sarana, jumlah kelompok ini cukup besar. 3. Kelompok perempuan yang tidak atau kurang memiliki kemampuan secara fasilitas, kesempatan, dan sarana untuk melaksanakan tugasnya, sebagian besar dari mereka semi buta huruf atau buta huruf, dan mereka menderita karena kekurangan, kemiskinan, keterbelakangan dan ketidaktahuan dalam hidupnya, jumlah kelompok ini lebih dari 50% dari jumlah perempuan di Indonesia. Dengan berkembangnya peran ganda perempuan maka terjadi perubahan besar dalam tata hidup dan nilai hidup masyarakat. Keakraban dalam keluarga melonggar. Perlu ditingkatkan kemahiran mengatur waktu para perempuan yang berperan ganda bertugas di luar rumah, agar anak dan suami tidak menjadi terlantar.169 Kemampuan perempuan membawakan peran gandanya (dual role) secara efektif merupakan kunci sukses yang penting bagi dirinya dalam masyarakat.170 Peranan perempuan harus dipandang sejalan dengan keluarga dan masyarakat, dan peranan perempuan harus diintegrasikan dalam pembangunan nasional.171 Seperti yang diungkapkan oleh Lois Hoffman (1989) menyatakan bahwa perempuan yang bekerja merupakan kenyataan yang dijumpai dalam kehidupan modern. Hal ini bukanlah kondisi yang menyimpang, namun merupakan suatu respons
169
Ridjal, Fauzie; Margiani Lusi & Husein, Agus Fahri (Editor) (1993), “Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia”, Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT), (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, ISBN: 979-8120-62-7, Desember 1993), 76. 170 Dhakidae, Daniel (Editor) (1994), “Perempuan, Politik dan Jurnalisme: Tujuh Puluh Tahun Toety Azis”, (Jakarta: Ikrar Mandiriabadi, Agustus 1994), 73. 171 Hadiz, Liza, Ibid, 394.
64
terhadap perubahan sosial lainnya.172 Perempuan dalam melaksanakan peran ganda harus dapat mengatur waktu antara pekerjaan dan keluarga.173 Menurut penulis pendekatan konseling feminis terhadap perempuan karier dalam menjalankan tugasnya mampu membagi waktu dan berbagi tugas terhadap suami. Dalam hal mengasuh anak dan pekerjaan rumah tangga itu dilakukan secara adil antara suami dan istri.
3.3.4. Masalah Psikologis Anak Dari pernyataan ibu JS, penulis melihat ada upaya dari ibu JS untuk beralih profesi ke usaha lain demi menjaga psikologis anaknya. Anak ibu JS ini minder dan malu terhadap pekerjaan orang tuanya sebagai rentenir. Anaknya tidak nyaman di sekolah kalau teman-temannya mengetahui pekerjaan orang tuanya sebagai rentenir yang dianggap menindas orang.174 Menurut pandangan Notosoedirjo ada beberapa hal yang perlu diperhatikan perempuan agar ia dapat mengasuh anaknya sebaik mungkin, yaitu:175 Pengertian dan kemampuan perempuan untuk mengasuh anaknya sesuai dengan prinsip-prinsip kesehatan mental serta kesadaran yang tinggi dalam tanggung jawabnya. Mampu mengatur waktunya untuk mengasuh anaknya dan ketenangan suasana rumah tangganya.
172
Santrock, John W. (2007), “Adolescence, Eleven Edition”, (Jakarta: Erlangga, ISBN: 978-007313372-0, April 2007), 37. 173 Baker, Oleda (1975), “Menjadi Wanita Idaman: Istri Bijaksana, Ratu Rumah Tangga”, (Yogyakarta: Kanisius, ISBN: 979-413-943-3, 1993), 165. 174 Wawancara dengan ibu JS. 175 Notosoerdirdjo, Moeljono & Latipun (1999), “Kesehatan Mental, Konsep dan Penerapan”, Katalog Dalam Terbitan (KDT), (Malang: UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, ISBN: 979-3021-10-1, Maret 2007), 210.
65
a. Keadaan-keadaan di luar lingkungan keluarganya. Kesadaran terhadap peranan dan tanggung jawab perempuan dalam mengembangkan mental anak sangat penting.
Penulis melihat Notosoedirjo menekankan seorang ibu itu tidak hanya merawat anak tetapi harus mampu melihat kondisi mental si anak dan ketenteraman rumah tangganya. Hal ini yang diupayakan oleh ibu JS. Dari kendala-kendala yang dihadapi konseli di tengah-tengah keluarga dalam hal menjalankan peran ganda, konseling feminis memberi pemahaman pada perempuan dan laki-laki dengan menyoroti persoalan sosialisasi gender dan sejauh mana peranan gender yang kaku itu menghalangi pertumbuhan klien dalam dunia pribadi dan profesional.176 Menurut penulis Rader menyoroti persoalan hal gender sehingga mampu untuk kebersamaan seirama serta senada dengan menjalankan tugasnya demi tercipta kesejahteraan keluarga itu sendiri.
3.3.5. Realita Perempuan Menurut Budaya dan Agama Versus Realita Perempuan Menurut Rentenir
Menurut budaya: perempuan itu lembut, penurut, perhatian, empati, dan ini merupakan stereotipe yang nyata dalam budaya terhadap perempuan.182
176
Rader, Jill; and Bilbert, Lucia Albino, Ibid, 427. Wolfman, Brunetta R., Ibid, 22.
182
66
Menurut agama: perempuan itu jangan melakukan kekerasan dan penindasan serta eksploitasi. Kitab Amos tegas menyatakan bahwa Allah tidak setuju terhadap perempuan yang memeras yang lemah dan menginjak orang miskin (bnd. Amos 4:1). Menurut perempuan rentenir: perempuan harus mampu untuk bersikap keras dan kasar demi mendukung jalannya bisnis
yang
dijalankannya. Para perempuan rentenir ini menjalankan bisnisnya dengan perilaku kekerasan verbal. Di dalam hal ini spritualitas ibu ini terganggu karena anak-anak tidak bangga terhadap pekerjaan orang tuanya yang selalu melakukan kekerasan serta penindasan dengan suku bunga tinggi terhadap orang lain. Anak-anak ini malu terhadap pekerjaan ibunya yang sehari-hari pekerjaannya menghisap orang lain. Spiritualitas perempuan rentenir: a. Rendah diri Perempuan rentenir ini rendah diri terhadap pekerjaannya yang selalu melakukan kekerasan verbal. b. Suku bunga tinggi Ada perasaan bersalah dalam diri perempuan rentenir ini terhadap tindakan yang dilakukannya yang bertentangan dengan norma agama yang selalu melakukan ketidakadilan terhadap orang lain. Tetapi karena tuntutan kebutuhan, perempuan rentenir ini terpaksa melakukan pekerjaan ini.
67
3.3.6. Peranan Gereja dalam Mengatasi Permasalahan Rentenir
Gereja melalui peranan dari pendeta berperan untuk mencari solusi atau alternatif pekerjaan jika para perempuan ini meninggalkan pekerjaannya. Antara lain dengan memberikan pelatihan-pelatihan pada perempuan rentenir ini
sehingga
dapat
mencari
alternatif
pekerjaan
selain
dari
pada
membungakan uang. Misalnya, membuka home industry yang dapat memberikan tambahan uang dan dapat mengurus anak-anak di rumah. Gereja harus mampu menjelaskan apa dampak dari pekerjaan sebagai rentenir yang berlawanan dengan Firman Tuhan dan yang menimbulkan ketidaknyamanan bagi rentenir itu sendiri. Gereja harus mampu menjelaskan bahwa Tuhan memberikan kebebasan kepada manusia untuk mengambil sikap dan memilih jalan yang lebih baik. Ada dua pilihan, jalan yang benar atau jalan yang tidak benar. Kalau mau selamat, memilih jalan yang benar (surga), namun jika ingin binasa pilihlah jalan yang tidak benar. Manusia yang menentukan ke arah mana tindakannya/sikapnya. Menurut Frankl, secara umum ada tiga aspek tragis yang mempengaruhi sikap kita, pertama: penderitaan, kedua: rasa bersalah dan ketiga: kematian. Mungkinkah manusia memiliki makna, di balik semua aspek-aspek tragis yang terkandung di dalamnya? Hidup punya potensi untuk memiliki makna, apa pun kondisinya, bahkan dalam kondisi yang paling menyedihkan sekalipun. Manusia memiliki kapasitas untuk mengubah aspekaspek hidup yang negatif menjadi sesuatu yang positif dan konstruktif.
68
Dengan kata lain, yang paling penting adalah memanfaatkan yang terbaik dari setiap situasi. Tetapi yang dimaksud terbaik disini adalah „terbaik‟ dalam Bahasa Latin diterjemahkan sebagai „optimum‟, yaitu optimisme untuk: pertama: mengubah penderitaan menjadi keberhasilan dan sukses; kedua: merasa bersalah menjadi kesempatan untuk mengubah diri sendiri ke arah yang lebih baik; ketiga: mengubah ketidakkekalan hidup menjadi dorongan untuk bertindak dengan penuh tanggung jawab; keempat: dapat mengembangkan evaluasi diri seimbang.177 Menurut penulis, bahwa kehendak bebas untuk menentukan sikap dalam mengambil tindakan perlu diserahkan kepada para perempuan rentenir jalan mana yang harus dipilih dan konsekuensi apa yang harus diterima terhadap keputusan yang dipilih.
177
Engel, Jacob Daan, (2014), “Model Logo Konseling untuk Memperbaiki Low Spiritual SelfEsteem”, (Yogyakarta: Penerbit PT. Kanisius, ISBN:978-979-21-4041-5, 2014), 71-72.
69