BAB II DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Kecamatan Medan Sunggal berbatasan langsung dengan kecamatan Medan Selayang di sebelah selatan, kecamatan Medan Helvetia di sebelah utara, kabupaten Deli Serdang di sebelah barat, dan Kecamatan Medan Baru dan Medan Petisah di sebelah Timur. Kecamatan Medan Helvetia merupakan salah satu kecamatan di Kota Medan yang mempunyai luas sekitar 14.116 km2. jarak kantor kecamatan ke kantor walikota Medan yaitu sekitar 8 km. 2.9.Luas wilayah dirinci per Kelurahan di Kecamatan Medan Sunggal
Dari 6 kelurahan di kecamatan Medan Sunggal, kelurahan Sunggal memiliki luas wilayah yang terluas yaitu sebesar 4.93 km2 sedang kelurahan Simpang Tanjung mempunyai luas terkecil yakni 0,32 km2 28
Sumber : Google Map 28
Medan Sunggal Dalam Angka Tahun 2009
2.10.
Pemerintahan Kecamatan Medan Sunggal 29 Kecamatan Medan Sunggal yang dipimpin oleh seorang camat, saat ini terdiri dari 6
kelurahan yang terbagi atas 88 lingkungan, 85 RW, 263 RT dan 190 blok sensus
Tabel 2.1 Monografi Kecamatan Medan Sunggal NO
Kelurahan
Jumlah Lingkungan
Luas Area
1
Tanjung Rejo
24
3.50Km2
2
Simpang Tanjung
4
0.32 Km2
3
Sei Sikambing
22
28,4 Km2
4
Sunggal
14
4.93 Km2
5
Lalang
13
1.25 Km2
6
Babura
11
1.06 Km2
Jumlah
88
14.116 km2.
Sumber: Kecamatan Medan Sunggal Dalam Angka 2009
2.11.
Struktur Pegawai Negeri Kecamatan Medan Sunggal 30 Tahun 2008, kecamatan Medan Sunggal memiliki total 100 pegawai negeri yang
dialokasikan di Kantor Camat dan Instansi-instansi Pemerintah lainnya dimana alokasi pegawai terbesar ada di kantor kelurahan yakni sebanyak 32 pegawai dan puskesmas 32 pegawai. Sedangkan alokasi pegawai terkecil terdapat pada mantis kecamatan dan pertanian yang hanya berjumlah satu pegawai. Bila dirinci menurut golongan, pegawai negeri di kecamatan Medan Sunggal, ternyata sebagian besar pegawai negeri sudah bergolongan III yaitu sebanyak 69 pegawai.
29 30
Kecamatan Medan Sunggal Dalam Angka Tahun 2009 Kecamatan Medan Sunggal Dalam Angka Tahun 2009
Tabel 2.2
Jumlah Pegawai Negeri Sipil Kantor Camat dan Instansi-Instansi Pemerintah di Kecamatan Medan Sunggal
No
Instansi
Golongan I
Golongan II
Golongan
Golongan
III
IV
Jumlah
1
Kantor Camat
0
5
15
1
21
2
KUA
0
1
7
0
8
3
Mantis
0
0
1
0
1
4
Jupen
0
0
0
0
0
5
PPLKB
0
0
5
0
5
6
Pertanian
0
0
1
0
1
7
PSK (Sosial)
0
0
0
0
0
8
PD Kebersihan
0
0
0
0
0`
9
Puskesmas
0
11
19
2
32
10
Kelurahan
1
10
21
0
32
Jumlah
1
27
69
3
100
Sumber: Kecamatan Medan Sunggal dalam Angka 2008
2.12.
Jumlah penduduk, dirinci menurut Kelurahan di Kecamatan Medan Sunggal
Kecamatan Medan Sunggal dihuni oleh 130470 orang penduduk dimana penduduk terbanyak berada di Kelurahan Sunggal yakni sebanyak 38566 orang. Jumlah penduduk terkecil di Kelurahan Simpang Tanjung yakni sebanyak 2522 orang.
2.13.
Struktur Penduduk berdasarkan jenis kelamin dan kelompok umur di
Kecamatan Medan Sunggal Jumlah penduduk kecamatan Medan Sunggal sebanyak 130.470 penduduk terdiri dari 62.275 orang laki-laki serta 68.195 orang perempuan. Berdasarkan kelompok umur, distribusi penduduk kecamatan Medan Helvetia relatif lebih banyak penduduk usia produktif. Terdapat warga negara Asing cina berdomisili di kecamatan ini. Sebanyak 25 orang warga negara asing cina berdomisili di kecamatan Medan Sunggal
Tabel 2.3. Data Kependudukan Kecamatan Medan Sunggal No
Kelurahan
Jumlah
Jumlah
Jenis Kelamin
Jenis Kelamin
Penduduk
Penduduk
(LK)
(PR)
(Jiwa)
(KK)
1
Tanjung Rejo
333681
7590
16119
18407
2
Simpang Tanjung
2522
331
888
735
3
Sei Sikambing
21334
5213
9738
11541
4
Sunggal
38566
7467
18317
19994
5
Lalang
21553
3791
11005
11366
6
Babura
12814
2373
6208
6152
Jumlah
130470
26765
62275
68195
Sumber: Kantor Kecamatan Medan Sunggal 2008 Dari data diatas dapat dilihat bahwa jumlah penduduk terbanyak terdapat di tanjung Rejo. Hal ini dikarenakan bahwa daerah tersebut memang sangat potensial dijadikan lahan untuk berdagang atau sangat baik dari segi pembangunan ekonominya.
2.6.Struktur Penduduk berdasarkan Agama Kecamatan Medan Sunggal Jumlah penduduk kecamatan Medan Sunggal mayoritas beragama Islam dengan jumlah 69627 orang. Sedangkan Hindu merupakan agama minoritas dengan jumlah 6543 orang Tabel 2.4 Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama
No
Kelurahan
Islam
Kristen
Kristen
Protestan
Katolik
Hindu
Budha
1
Tanjung Rejo
17654
4142
5130
1720
800
2
Simpang Tanjung
522
174
77
81
577
3
Sei Sikambing
19630
2645
1404
1120
1783
4
Sunggal
12856
4501
7176
2934
50581
5
Lalang
13201
2292
695
642
4488
6
Babura
5764
4464
8815
46
76
Jumlah
69627
18218
23297
6543
12782
Sumber: Kecamatan Medan Sunggal 2008 Berdasarkan sumber dari keterangan warga disana bahwa memang mengapa islam menjadi mayoritas di daerah ini karena letaknya yang berdekatan dengan daerah atau banyak nya suku Melayu khususnya masa kerajaan Deli pada masa yang lalu. Hal ini akan tampak berbanding lurus dengan banyaknya jumlah suku Melayu di Kecamatan Medan Sunggal. Lalu kemudian masuk agama-agama lain seperti Kristen,Hindu , Budha akabat mobilitas penduduk dari waktu-ke waktu. Hanya di Babura penduduk Islam tidak lebih banyak dari penganut agama Kristen (Katholik atau Protestan).
2.7. Jumlah Penduduk Berdasarkan Pendidikan Terakhir Mayoritas penduduk Kecamatan Medan Sunggal memiliki tingkat pendidikan terakhir tamatam SMU dengan jumlah 59752. Ada juga penduduk dengan tamatan pendidikan terkahir S3 degan jumlah 55 Table 2.5 Jumlah Penduduk Berdasarkan Pendidikan Terakhir No
Kelurahan
SD
SMP
SMU
S-1
S-2
S-3
1
Tanjung Rejo
9872
8285
14439
1058
157
34
2
Simpang Tanjung
38
433
1074
392
9
-
3
Sei Sikambing
631
854
9583
6157
49
12
4
Sunggal
3415
7959
14812
10492
102
5
5
Lalang
3536
7880
10576
423
31
4
6
Babura
2335
6880
9268
611
69
-
Jumlah
19827
32291
59752
19133
417
55
Sumber: Kecamatan Medan Sunggal 2008 Namun jika dilihat dari persentase terbanyak dari tingkat pendidikan di Medan Sunggal adalah SMU. Jumlah ini menjadikan Medan Sunggal sebagai salah satu kontibutor terbesar di Medan dalam hal penyuplai tenaga kerja. Namun yang patut disayangkan adalah jumlah penduduk yang hanya tamatan SD dan SMP juga tergolong banyak yaitu ribuan. SD (19.827) sedang SMP (32.291). 2.8. Jumlah Penduduk Berdasarkan Pekerjaan Beragamnya penduduk di Kecamatan Medan Sunggal. Kebanyakan penduduk di Kecamatan Medan Sunggal adalah bekerja disektor swasta seperti karyawan swasta dengan jumlah 16245 orang dan disusul yang berprofesi sebagai pedagang 15351 orang. Selain itu jika dilihat dari data Kecamatan Medan Sunggal tahun 2008 banyak juga diantara penduduk Kecataman Medan Sunggal itu berprofesi tidak tetap atau dalam keadaan perekonomian yang
sulit yaitu berkisar 2950 orang yang banyak terdapat di kelurahan Lalalang dan yang sedikit di kelurahan simpang tanjung. Namun di kelurahan simpang tanjung tidak ada asrama TNI Polri tidka terdapat di daerah ini. Begitu juga dengan guru (PNS) juga tidak terdapat di daerah ini.buruh dan pedagang terdapati di kelurahan tanjung rejo. Yang juga berdekatan dengan daerah Tanjung Sari yang agak lebih deket pusat kota (Medan Baru). Untuk simpang tanjung didiami paling sedikit jumlah pegawainya, termasuk pedagang daan buruh.
2.9. Jumlah Penduduk Berdasarkan Suku Daerah Suku Melayu merupakan suku yang terbanyak yang tinggal di Kecamatan Medan Sunggal dengan jumlah 1700 jiwa. Sedangkan suku Dairi merupakan suku minoritas yang ada di Kecamatan Medan Sunggal. Di kecamatan ini tidak terdapat suku tionghoa yang mana jika melihat kecamtan lain di Medan suku tionghoa pasti terdaftar sebagai penduduk. Table 2.7 Jumlah Penduduk Berdasarkan Suku Daerah No
1
Kelurahan
Tanjung
Melay
Batak/Sim
u
alungun
Karo
Mandai
Dairi
Nias
ling
Mina
Aceh
Jawa
ng
3158
1514
3115
4153
1151
131
558
2170
10602
175
273
29
136
-
46
34
124
745
5171
3968
1621
1382
217
119
115
1657
4920
Rejo 2
Simpang Tanjung
3
Sei Sikambing B
4
Sunggal
4311
3016
2766
2300
-
1157
1211
1627
6703
5
Lalalang
2994
2367
884
1417
101
182
720
740
3941
6
Babura
1191
5566
982
3192
162
399
300
418
2924
Jumlah
17000
16704
9397
12580
162
399
300
478
2924
Sumber: Kecamatan Dalam Angka 2009
CAMAT Sekretaris
Sub Bagian Umum
Seksi Tata Pemerintahan
Seksi Pemberdayaan Masyarakat
Kelompok Jabatan Fungsional
Sumber: Kecamatan Medan Sunggal tahun 2009
Sub Bagian Keuangan
Seksi Ketentraman dan Ketertiban
Sub Penyusunan Program
Seksi Kesejahteraan Sosial
BAB III ANALISA DATA 3.1.Penyajian Data Penyajian data yang diperoleh merupakan hasil dari penelitian lapangan yang menyebar ke seluruh instansi pemerintahan yang ada di Kecamatan Medan Sunggal. Data diperoleh dari karakteristik berdasarkan golongan, jenis kelamin, tingkat pendidikan. Sehingga data ini merupakan data responden yang heterogen. Berikut ini adalah penyajian data lapngagan yang diperoleh peneliti: 1. Karaketristik Responden Berdasarkan golongan No
Golongan
Jumlah
Persentase
1
Golongan III
69
69%
2
Golongan II
27
27%
3
Golongan IV
3
3%
4
Golongan I
1
1%
Berdasarkan Golongan 3%
1%
27%
67%
Berdasarkan data di atas dapat dilihat bahwa mayoritas responden adalah Pegawai Negeri dengan golongan III dengan jumlah 67%. Sedangkan golongan II berjumlah 27%. Dan golongan I merupakan golongan sedikit dengan jumlah 1% Kesulitan peneliti adalah mendapatkan responden dengan golongan IV karena agak tertutupnya memberikan informasi terhadadap kuesioner yang dberikan. 2. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin No
Jenis Kelamin
Jumlah
Persentase
1
Pria
58
58
2
Wanita
42
42
Sekarang ini tidak ada lagi perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan. Dimana tidak hanya laki-laki saja yang dapat menggunakan hak pilihnya, tetapi perempuan juga memiliki hak yang sama sebagai warga negara Indonesia. Responden yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 42% sedangkan pria dengan jumlah responden 58%.
3. Distribusi Jawaban Responden Mengetahui Peraturan Pemerintah bahwa Pegawai Negeri Sipil harus netral dalam setiap pilkada No
PNS Harus Netral
Jumlah
Persentase
1
Mengetahui
79
79%
2
Tidak Mengetahui
13
13%
3
Tidak Menjawab
8
8%
Sumber: Hasil Penelitian Lapangan pada Kecamatan Medan Sunggal 2010
PNS Harus Netral 100% 80% 60%
79%
13%
8%
1
2
3
40% 20% 0%
Dari data yang diperoleh diatas dapat dilihat bahwa mayoritas responden menyatakan mengetahui Peraturan Pemerintah bahwa Pegawai Negeri Sipil harus netral dalam setiap pilkada dengan 79%. Sedangkan 13.% menyatakan bahwa tidak mengetahui peraturan pemerintah bahwa Pegawai Negeri Sipil harus netral dalam setiap pilkada. Sedangkan 8% tidak menjawab.Dari data di atas dapat dilihat bahwa PNS di Kecamatan Medan Sunggal sudah mengetahui tugas fungsi untuk melayani masyarakat bukan sebagai alat kepentingan politik. Tanpa adanya netralitas birokrasi, Pilkada yang kita harapkan menghasilkan pemimpin pilihan rakyat, justru, terbajak karena prilaku tamak dan rakus kuasa yang diidap birokrasi kita. Semoga praktik yang selama ini kurang netral, baik dalam pengaturan
kebijakan, penggunaan anggaran dan fasilitas publik-- dihentikan. Agar Kota Medan tidak menjadi kota tanpa peradaban, netralitas kaum birokrat dalam Pilkada menjadi pendorong dan harapan untuk Medan yang berkemajuan.
4. Distribusi Jawaban Peraturan Pemerintah kesanggupan Mengundurkan diri No
Harus Mengundurkan Diri
Jumlah
Persentase
1
Mengetahui
92
92%
2
Tidak Tahu
6
6%
3
Tidak Menjawab
2
2%
Kesanggupan Mengundurkan Diri 100%
92%
80% 60% 40% 20%
6%
0% 1
2
2% 3
Dari data diatas dapat dilihat bahwa dalam pemilihan Kota Medan 2010 Pegawai Negeri Sipil di Kecamatan Medan Sunggal mengetahui adanya peraturan pemerintah untuk mengundurkan diri dari pegawai negeri jika tebukti terlibat dalam Tim Sukses Calon Walikota. Hal ini dapat dilihat dari jawaban mayoritas responden yang menyatakan dengan 92% tahu tentang peraturan pemerintah yang menyatakan siap mengundurkan diri dari pegawai negeri sipil jika terbukti terlibat dalam tim sukses. Sedangkan 6% menyatakan tidak tahu tentang peraturan pemerintah yang menyatakan siap mengundurkan diri dari pegawai
negeri sipil jika terbukti terlibat dalam tim sukses calon walikota Medan. Sedangkan hanya 2% menyatakan tidak menjawab. Seorang PNS berfungsi sebagai abdi negara yang memiliki tiga peran : sebagai alat/aparatur negara, sebagai pelayan publik dan sebagai alat pemerintah. Untuk menyadarkan diri akan fungsi dan peran sebagai PNS sebaiknya seorang PNS memahami betul aturanaturan tentang PNS dan pilkada. Beberapa ketentuan yang terkait dengan eksistensi PNS dalam pilkada diantaranya : (1) Pasal 3 UU Nomor 43 tahun 1999 tentang Parubahan atas Undang-undang Nomor 8 tahun 1974 tentang pokok-pokok kepagawaian, dan (2) Pasal 66 PP 6/2005 dengan jelas pasangan calon dilarang melibatkan PNS. Dengan demikian, setiap PNS perlu mempertimbangkan secara cermat sebelum masuk ke salah satu partai politik. Hal itu mengingat resiko yang ditimbulkan adalah sangat berat yaitu diberhentikan sebagai PNS sesuai dengan surat penegasan Kepala BKN Nomor F.III.26-17/V.151-2/42 tanggal 15 Desember 2003. 5. Distribusi Jawaban Pelarang Menggunakan Anggaran Pemerintah Untuk Pemenangan Calon No
Pelarangan Mengunakan Anggaran
Jumlah
Persentase
1
Mengetahui
91
91%
2
Tidak Tahu
4
4%
3
Tidak Menjawab
5
5%
Pelarangan Menggunakan Anggaran 4% 5%
91%
Dalam pemilihan calon walikota Medan Tahun 2010 menyatakan ada pelarangan menggunakan anggaran pemerintah untuk kepentingan calon walikota Medan 2010. Hal itu juga terlihat dari jawaban responden yang menyatakan mengetahui pelarangan penggunaan anggaran untuk kepentingan calon walikota dengan 91%. Sedangkan 4% menyatakan tidak mengetahui adanya pelarangan menggunakan anggaran pemerintah untuk kepentingan salah satu calon. Sedangkan 5% tidak menjawab tentang pelarangan penggunaan anggaran pemerintah dalam mendukung calah satu calon.
Bagi parpol, keterlibatan PNS akan amat membantu dan mempermudah pelaksanaan kampanye yang sering terjadi melalui pemanfaatan fasilitas negara (mobil, gedung, dan kewenangan) secara diskriminatif, yang menguntungkan salah satu parpol. Selain itu, di pelosok pedesaan yang mayoritas penduduknya tidak terdidik, figur dan pilihan PNS akan menjadi referensi bagi pilihan masyarakat.
Pertukaran ekonomi politik antara partai/aktor politik dan PNS dalam pemilu tidak saja menguntungkan sisi politik, tetapi juga PNS sendiri. Keberpihakan PNS dalam pemilu kepada parpol/caleg dibutuhkan untuk promosi dan karier jabatan. Dalam sistem birokrasi di Indonesia kini, di mana promosi dan karier jabatan tidak ditentukan oleh kompetensi dan kinerja, tetapi oleh afiliasi politik, netralitas PNS sulit ditegakkan. Hal inilah yang dapat menyumbangkan terjadinya blunder dalam pelaksanaan pilkada.
6. Distribusi Jawaban Pelarangan Penggunaan Fasilitas Untuk Calon Walikota Medan No
Pelarangan Mengunakan
Jumlah
Persentase
Fasilitas Pemerintah 1
Mengetahui
78
78%
2
Tidak Tahu
14
14%
3
Tidak Menjawab
8
8%
Pelarangan Menggunakan Fasilitas Pemerintah 8% 14% 78%
3 2 1 0%
50%
100%
Penggunaan fasilitas yang terkait dengan jabatan untuk pemenangan calon kepala daerah tidak dilakukan oleh pegawai negeri sipil kecamatan Medan Sunggal. Itu terlihat dari mayoritas responden dengan 78% menyatakan mengetahui pelarangan menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya untuk Tim Sukses salah satu calon. Sedangkan 14% menyatakan tidak mengatahui adanya pelarangan menggunakan fasilitas pemeruntah untuk salah satu calon. Dan hanya 8% menyatakan tidak menjawab tentang pelarangan menggunakan fasilitas Negara yang terkait jabatannya untuk salah satu tim sukses. Biasanya calon incumbent memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan dirinya sendiri. Segala upaya yang dilakukan untuk memperkaya diri atau orang lain. Potensi korupsi calon incumbent bisa juga terlihat dari fasilitas yang digunakan untuk kepentingan kampanye. Sebut saja misalnya gedung yang digunakan serta fasilitas mobil. Itu merupakan fasilitas negara, yang tidak boleh lagi digunakan. Contoh lain soal fasilitas istimewa yang
diperlakukan bagi calon incumbent ini. Perlakuan demikian, merupakan titik awal terjadinya praktik perampokan uang haram tersebut. Selama masa kampanye, calon incumbent memiliki akses terhadap pelaksanaan regulasi, sehingga sulit membedakan di posisi mana calon incumbent tersebut sedang sebagai calon yang bertindak untuk kepentingannya sendiri, dan sedang melaksanakan tugasnya sebagai kepala daerah. Dari jawaban ini sekali lagi dapat menegaskan bahwa secara umum normative para PNS di Kec Medan Sunggal mengetahui dan memahami bahwa keikutsertaan termasuk didalammnya penggunaan fasilitas Negara untuk keperluan kampanye sangat dilarang.
7.Distribusi Jawaban Mengenai PNS tidak boleh ikut dalam kampanye No
Pelarangan Mengikuti
Jumlah
Persentase
Kampanye dan Menjadi Tim Kampanye 1
Mengetahui
77
77%
2
Tidak Tahu
24
24%
3
Tidak Menjawab
9
9%
Pelarangan Mengikuti Kampanye 9% 24% 77%
Pegawai Negeri Sipil memang tidak diperbolehkan mengikuti kampanye dengan menggunakan seragam dinas. Karena itu menunjukkan bahwa Pegawai Negeri Sipil tidak
berpihak kepada salah satu calon. Hal ini terlihat dari jawaban responden yang menyatakan mengeahui pelarangan tidak boleh mengikuti kampanye dan terlibat dalam tim kampanye salah satu calon dengan 77%. Sedangkan 24% menyatakan tidak mengetahui pelarangan pegawai negeri sipil mengikuti kampanye dan menjadi Tim Kampanye dalam pilkada Kota Medan tahun 2010. Sedangkan 9% tidak meyatakan pendapat tentang pelarangan mengikuti kampanye dan menjadi tim kampanye dalam pilkada Kota Medan 2010.
Penegasan mengingat hingga saat ini masih banyak pihak yang beranggapan bahwa kalangan
PNS
dapat
mengikuti
kegiatan
kampanye
sebagaimana
terjadi
pada
penyelenggaraan Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) lalu. “Berdasarkan UU Nomor 32 tahun 2004 tersebut, PNS, Polri dan TNI dilarang mengikuti kampanye Pilkada karena penyelenggaraan Pilkada tidak mengacu pada UU Nomor 10 tahun 2007 tentang Pileg dan Pilpres,” ungkap Puspaningrum ketika dimintai tanggapan wartawan terkait prokontra keterlibatan PNS dalam Pilkada. UU Nomor 10 tahun 2007 hanya mengatur tentang Pileg dan Pilpres yang membolehkan PNS mengikuti kegiatan kampanye.
Dalam UU Nomor 10 tahun 2007 tersebut memang tidak dilarang PNS mengikuti kampanye, karena dalam undang-undang itu hanya mengatur tentang penggunaan fasilitas negara untuk kampanye, tidak ada larangan secara spesifik PNS mengikuti kegiatan kampanye. Untuk Pilkada, digunakan UU Nomor 32 tahun 2004 pada pasal 79 ayat 4 yang menyebutkan dengan tegas bahwa PNS dilarang mengikuti kampanye pemililhan umum (Pemilu).
8. Distribusi Jawaban Memberikan Dukungan Kepada Calon dalam Kampanye No
Memberi Dukungan
Jumlah
Persentase
Kepada Calon Pilkada Dalam kampanye 1
Mengetahui
81
81%
2
Tidak Tahu
12
12%
3
Tidak Menjawab
7
7%
Memberikan Dukungan Kepada Calon 7% Dalam… 12% 81%
Pegawai Negeri Sipil memang harus dituntut netral dalam setiap pemilu. Karena Pegawai Negeri Sipil adalah pamong rakyat yang bertugas untuk melayani rakyat bukan melayani kepentingan politik. Dalam hal pilkada Kota Medan 2010, Pegawai Negeri Sipil sudah menyadari bahwa pentingnya netralitas birokrasi. Hal ini dapat dilihat bahwa mayoritas Pegawai Negeri Sipil Kecamatan Medan Sunggal
menyatakan tidak member dukungan
dalam kampanye Pilkada Kota Medan kepada salah satu calon dengaan 81%. Tetapi masih ada juga Pegawai Negeri Sipil yang member dukungan kepada salah satu calon dalam kampanye dengan 12%. Sedangkan 7% menyatakan tidak menjawab tentang dukungan kepada calon dalam kampanye Pilkada Kota Medan. Posisi PNS pada Pemilukada kali ini mempunyai nilai tawar yang sangat tinggi. Mendasari UU 32/ 2004 bahwa yang dilarang PNS menjadi tim dan pelaksanaan kampanye,
datang ditempat kampanye di saat jam kerja, mengenakan atribut PNS. PNS dilarang memberikan dukungan terhadap bakal calon . Hal itu mendasar Surat Edaran Men PAN, yang isinya antara lain melarang PNS terlibat aktif dalam penyelenggaraan pemilu.
9. Distribusi Jawaban Kebijakan Menguntungkan Calon Kepala Daerah Kota Medan No
Kebijakan Yang
Jumlah
Persentase
Menguntungkan 1
Tidak
88
88%
2
Ada
8
8%
3
Tidak Menjawab
4
4%
4
Memberikan Dukungan Kepada Calon Dalam… 8 88
Keuntungan dari kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh birokrasi kepada calon kepala daerah akan memberikan suatu kesan kepada masyarakat bahwa tidak terjadinya netralitas birokrasi. Tapi ini tidak terjadi di Pemerintahan kecamatan Medan Sunggal yang tidak memberikan suatu kebijakan yang menguntungkan kepada calon walikota. Hal ini terlihat dari jawaban responden yang mayoritas menyatakan tidak membuat kebijakan-kebijakan yang menguntungkan salah satu calon untuk memenangkan calon tertentu dengan 88%. Sedangkan 8% menyatakan membuat kebijakan-kebijakan yang menguntungkan calon kepala daerah. Dan hanya 8% menyatakan tidak tahu kebijakan-kebijakan yang menguntungkan salah satu calon dalam pemenangan pilkada Kota Medan.
Posisi incumbent diakui sangat menguntungkan bagi kandidat. Keuntungan bagi incumbent yang bisa digunakan secara idak sah atau (paling tidak) secara tidak etis pada pelaksanaan Pilkada adalah: 1. Kepala Daerah yang sedang berkuasa dapat memanfaatkan program-program dan
anggaran
pemerintah
(baik
dari
pusat
maupun
daerah
untuk
mengkapitalisasi popularitasnya. 2. Memanfaatkan relasi dengan pejabat pusat dan pejabat daerah serta dengan aparat birokrasi di bawahnya (termasuk kepala dinas, camat, hingga lurah/kepala desa). Jadi seluruh hubungan vertikal maupun horizontal bisa dijadikan modal. 3. Potensi penyimpangan menjadi demikian terbuka karena tidak tegasnya ketentuan mengenai kampanye (terutama mengenai kampanye sebelum waktunya) serta sanksi bagi pelanggarnya. Sebelum tahapan kampanye yang ditentukan KPUD, incumbent akan dengan leluasa melakukan berbagai kegiatan untuk “kampanye” dengan berbagai dalih. 4. Kurang memadainya ketentuan perundang- undangan akan membuat penyimpangan dalam perolehan dan penggunaan dana kampanye serta money politics menjadi semakin meluas.
10. Distribusi Jawaban Arahan ada untuk memilih calon tertentu No
Arahan Untuk
Jumlah
Persentase
Memenangkan 1
Ya
0
0%
2
Tidak
99
99%
3
Tidak Tahu
1
1%
Pegawai Negeri Sipil Kecamatan Medan Sunggal tidak mendapatan arahan atau perintah untuk mendukung atau memenangkan calon tertentu. Itu terlihat dari jawaban di atas yang menyatakan 99% menyatakan tidak mendapatkan arahan atau perintah untuk mendukung dan memenangkan calon tertentu baik langsung ataupun tidak langsung. Sedangkan 1% menyatakan tidak tahu apakah ada perintah atau larangan untuk memenangkan calon tertentu.
Analisa Data Netralitas birokrasi menjadi barang mahal dalam setiap pelaksanaan pilkada. Potensi pelanggaran atas netralitas birokrasi muncul dari ketentuan yang tidak tegas menyangkut para pejabat negara atau pemerintahan yang terlibat dalam pilkada. UU No. 32 Tahun 2004 tidak secara tegas melarang pejabat negara. Pasal 79 Ayat (1) menyebutkan pelarangan terhadap: hakim di semua jenis dan tingkatan peradilan; pejabat BUMN/BUMD; pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri; dan kepala desa. Tidak adanya aturan tegas mengenai keterlibatan pejabat negara dalam hal ini pimpinan lembagalembaga negara menyebabkan kampanye pilkada selalu menjadi ajang ketokohan figur nasional yang berafiliasi kepada partai politiknya masing- masing. Hal ini menyebabkan terjadinya bias profesionalisme dan independensi pejabat publik/ pejabatan negara di hadapan masyarakat. Padahal seyogiyanya mereka harus mengatasi segala perbedaan di dalam masyarakat. Mereka seharusnya telah menjadi milik masyarakat dan bertugas hanya untuk melayani masyarakat. Di samping itu, potensi pelanggaran netralitas birokrasi terdapat pada kondisi di suatu daerah yang kepala daerah menjabat (incumbent) ikut maju dalam pilkada. Berdasarkan beberapa data peluang incumbent untuk meraih kemenangan dalam pilkada sangat besar. Permasalahan tentu timbul jika ternyata kemenangan yang diraih para incumbent dilakukan dengan memanfaatkan jabatannya secara tidak adil dan amanah. Adalah sangat wajar jika pejabat yang sedang menjabat mengerahkan segenap daya upaya ternasuk dalam hal pengerahan unsur birokrasi yang berada di bawahnya untuk samasama memenangkan Pemilukada. Yang menjadi permasalahan adalah bila unsur pegawai di tingkat bawah misal pegawai kelurahan menolak perintah lurah maka tentu saja membahayakan posisi pegawai tersebut.
Posisi semacam ini sebenarnya menjadi rentan bila kita berbicara tentang pemilukada dan netralitas birokrasi tersebut. Akan sangat mustahil diharapkan munculnya netralitas birokrasi dengan situasi yang tidak mendukung terciptanya independensi birokrasi saat ini. Terkait dengan potensi pelanggaran calon incumbent damal Pemilu Menurut Topo Santoso, paling tidak, terdapat empat jalan potensi pelanggaran yang dapat dilakukan oleh para calon incumbent. Pertama, kepala daerah yang sedang berkuasa dapat memanfaatkan program-program dan anggaran pemerintah (baik dari pusat maupun daerah) untuk mengkapitalisasi popularitasnya. Memang program-program pembangunan itu sudah diatur. Jadi yang dilakukan hanya “mendompleng” secara cerdas sehingga rakyat memuji, ia berjasa memajukan daerahnya. Masyarakat yang kritis seharusnya tidak terpengaruh sebab bukankah sudah seharusnya pemerintah melakukan tugas-tugas menyejahterakan rakyat? Mengapa upaya itu tidak dilakukan sejak dulu? Pemanfaatan program dan anggaran daerah juga terlihat dari banyaknya poster, spanduk, dan iklan incumbent mengatasnamakan kepala daerah dengan dalih kampanye, publikasi atau sosialisasi program daerah. Dan tentu saja hal tersebut dilakukan dengan menggunakan kas APBD. Kedua, memanfaatkan relasi dengan pejabat pusat dan daerah serta dengan aparat birokrasi di bawahnya (termasuk kepala dinas, camat, hingga lurah/kepala desa). Jadi seluruh hubungan vertikal maupun horizontal bisa dijadikan modal. Hubungan berlandaskan administrasi pemerintahan seperti itu tidak dimiliki para pesaing. Ini akan diperparah jika sudah ada keberpihakan dari pejabat pusat dan daerah kepada sang kepala daerah.18 Penyimpangan harus lebih diperhatikan terjadi di daerah-daerah yang dominasi satu partai politik amat besar (meski bisa terjadi di daerah yang konfigurasi politik lebih seimbang). Termasuk dalam konteks ini adalah pemanfaatan (atau penyalahgunaan) hubungan melalui forum “muspida”. Banyak dugaan penyimpangan jenis ini sudah dan akan mewarnai tahapan pilkada, misalnya, pemilihan pelaksana teknis pemilihan, seperti anggota PPK, PPS, dan
KPPS. Potensi pelanggaran yang sering terjadi lainnya, meskipun sulit dibuktikan, adalah kesempatan incumbent untuk mempengaruhi proses pendaftaran pemilih. Di sejumlah pilkada, kasus semacam ini selalu mencuat karena proses pemutakhiran data pemilih dalam pilkada dilakukan oleh Dinas Kependudukan yang notabene adalah aparat birokrasi di bawah sang
incumbent
tersebut.
Potensi
incumbent
dalam
mempengaruhi
independensi
penyelenggara dimungkinkan terjadi juga karena penyelenggara pilkada telah secara intensif berhubungan dengan kepala daerah (incumbent) dalam rangka penyusunan anggaran pilkada bersama pemerintah daerah dan DPRD yang biasanya pengesahannya dilakukan sejak 6 bulan sebelum pilkada digelar. Ketiga, potensi penyimpangan menjadi terbuka karena tidak tegasnya ketentuan mengenai
kampanye
(terutama kampanye
sebelum
waktunya) serta sanksi
bagi
pelanggarnya.19 Ketentuan perihal kampanye pada pilkada dengan kampanye pemilu legislatif dan pilpres. Ketentuan tentang definisi kampanye dalam peraturan pemerintah, misalnya, justru membuat aneka penyimpangan kampanye pilkada menjadi sulit ditanggulangi secara hukum. Sebelum tahapan kampanye yang ditentukan KPUD, sang incumbent akan dengan leluasa melakukan berbagai kegiatan untuk “kampanye” dengan berbagai dalih. Keempat, kurang memadainya ketentuan perundang-undangan akan membuat penyimpangan dalam perolehan dan penggunaan dana kampanye serta money politics kian meluas. Untuk dana kampanye, mekanisme audit lebih sering melindungi ketidakbenaran materiil di lapangan. Betapa banyak kasus penyumbang fiktif yang ditemukan pemantau dan panwaslu pada Pemilu 2004 ternyata tidak bisa digunakan untuk memasalahkan sang kandidat, karena secara formal audit sudah memenuhi syarat. Betapa banyak, peserta pemilu tidak melaporkan dana kampanye dan tidak bisa dijatuhi sanksi.
Dari banyak permasalahan Pilkada, salah satu permasalahan yang paling sering disoroti adalah adanya calon kepala daerah yang tengah memerintah atau sering disebut sebagai calon incumbent yang ikut mencalonkan diri. Kepala daerah yang tengah memerintah (calon incumbent) mempunyai kesempatan mempergunakan fasilitas negara/pemerintah serta mencoba mempengaruhi kalangan pegawai negeri sipil agar ikut dan turut serta dalam proses mendukung dirinya dalam Pilkada. Penyimpangan kekuasaan yang dilakukan oleh incumbent dapat digolongkan sebagai “political corruption”, yaitu “setiap penggunaan kekuasaan pemerintahan yang tidak sah dan tidak etis untuk keuntungan pribadi dan keuntungan politik”. Korupsi ini untuk meraih dua tujuan: materi dan kekuasaan. Salah satu syarat agar pemilihan umum, khususnya pemilihan kepala daerah secara langsung dapat berlangsung adil sehingga mampu melahirkan pemimpin yang baik, mensyaratkan netralitas birokrasi (PNS). Ini menjadi prasyarat wajib karena birokrasi sangat rentan untuk dipolitisasi guna mendukung perolehan suara salah satu peserta Pilkada. Syarat ini ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (2) UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokokpokok Kepegawaian. Di situ dinyatakan pegawai negeri harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Untuk menjamin netralitas pegawai negeri, maka pegawai negeri dilarang menjadi anggota dan atau pengurus partai politik. Konsep netralitas pegawai negeri ini kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 1999 tentang Pegawai Negeri Sipil yang Menjadi Anggota Partai Politik, Pasal 3 menyebutkan, “Dalam kedudukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pegawai Negeri Sipil harus bersifat netral dan menghindari penggunaan fasilitas negara untuk golongan tertentu.”
Meski demikian ternyata ada responden yang menyatakan pernah terlibat secara langsung dalam kampanye mendukung salah satu kandidat peserta pemilihan kepala daerah. Bahkan ada oknum Pegawai Negeri Sipil Kecamatan Medan Sunggal pernah memberikan fasilitas pendukung milik pribadi untuk kepentingan pemenangan salah satu calon. Yang lebih mengkhawatirkan, menyatakan pernah memberikan dan atau meminjamkan fasilitas dinas untuk kepentingan pemenangan salah satu calon. Kekhawatiran ini masih bertambah mengingat ada responden menggunakan jabatan untuk kepentingan salah satu calon. Cara-cara yang umum dilakukan untuk menggerakkan dukungan birokrasi (PNS) untuk pemenangan salah satu calon kepala daerah, menurut responden, pernah melihat atau mendengar pimpinan memberikan perintah secara tegas untuk memilih salah satu pasangan calon dalam Pilkada. Biasanya dilakukan dengan memberikan arahan umum yang intinya bisa disimpulkan merupakan perintah untuk mendukung salah satu calon dalam pemilihan kepala daerah. Terkait dengan perintah tegas yang diberikan, biasanya diikuti dengan pemberian reward dan punishment. Responden
menyatakan perintah ini selalu diikuti
pemberian hadiah jika mengikuti perintah, dan responden mengaku menerima ancaman akan dijatuhi sanksi jika tidak mengikuti perintah. Tetapi umumnya responden yang lainnya menyatakan tidak pernah ada ancaman sanksi ataupun janji pemberian hadiah dalam hal melaksanakan atau tidak melaksanakan perintah untuk mendukung salah satu pasangan calon. Jika dilihat dari angka-angka tersebut, memang kecil sekali persentase PNS yang tidak menempatkan dirinya sesuai dengan tuntutan perundang-undangan. Tetapi angka kecil ini cukup kuat untuk memberikan dugaan bahwa pada kenyataannya PNS belum seratus persen menjaga netralitas birokrasi. Kecenderungan keberpihakan PNS ini dilakukan dengan berbagai alasan, antara lain harapan akan lancarnya karier ke-PNS-anya. Akibatnya, seperti yang diungkapkan oleh Hasan Aminuddin, Bupati Probolinggo, pola rekruitmen jabatan menjadi tidak objektif. Sebab pengangkatan jabatan tidak dilaksanakan berdasarkan
pertimbangan golongan kepangkatan, prestasi kerja dan senioritas, namun promosi jabatan berdasarkan mendukung atau tidaknya pejabat terhadap calon kepala daerah. Jika rekruitmen jabatan sudah dilaksanakan dengan tidak mempertimbangkan aspek prestasi dan profesionalitas, akibat yang muncul adalah terhambatnya pelayanan kepada masyarakat. Hal senada diungkapkan oleh pengamat politik Universitas Gadjah Mada, Ari Dwipayana, bahwa ketidak netralan itu akan berbahaya, yang akan mempengaruhi perilaku birokrasi menjadi cenderung partisan. Dalam mengambil posisi akan ada pihak yang cenderung pada kepentingan praktis, bukan strategis negara. Ujungnya, kondisi ini berimplikasi pada memburuknya pelayanan publik. Dengan demikian penegasan Ari Dwipayana seakan menjadi kenyataan, yaitu tidak ada birokrasi netral dan seolah-olah mengabdi pada kepentingan negara. Birokrasi sudah berpolitik dengan kekuatan yang dimilikinya. Birokrasi itu boleh berpolitik, yang dijamin adalah proses berpolitik dalam rangka balancing power yang ikut menentukan publik untuk menentukan birokrasi. Gairah pejabat-pejabat birokrasi untuk melibatkan diri dalam usaha dukungmendukung calon dalam pilkada sebetulnya sangat tinggi. Buktinya, jika tidak ada larangan secara tegas dalam perundang-undangan yang melarang PNS terlibat secara langsung dalam pemilihan umum atau Pilkada, maka PNS akan memberikan dukungan penuh, baik materiil maupun moril, untuk mendukung salah satu pasangan calon. Kehadiran partai politik dalam pemerintahan memang tidak bisa lagi dihindari. Akan tetapi kebutuhnan menciptakan sistem birokrasi pemerintahan yang netral, profesional, dan mantap tidak bisa juga dihindari. Keduanya merupakan kebutuhan yang esensial yang mestinya disadari oleh Presiden. Kelembagaan birokrasi pemerintah mestinya memperoleh perhatian yang pertama sebelum semuanya diperbaiki.
Selain kehadiran sistem politik yang berlainan dan keadaan krisis ekonomi dan anggaran yang belum nampak perbaikannya, maka faktor lain adalah rendahnya akuntabiliyas publik yang dilakukan oleh kelembagan birokrasi pemerintah. Keadaan seperti ini, bisa dipergunakan sebagai salah satu strategi perubahan atau reformasi birokrasi pemerintah. Strategi ini bisa diawali dengan perubahan kelembagaan birokrasi pemerintah. Lembaga birokrasi merupakan suatu bentuk dan tatanan yang mengandung struktur dan kultur. Struktur mengetengahkan susunan dari suatu tatanan, dan kultur mengandung nilai (values), sistem, dan kebiasaan yang dilakukan oleh para pelakunya yang mencerminkan perilaku dari sumberdaya manusianya. Oleh karena itu reformasi kelembagaan birokrasi meliputi reformasi susunan dari suatu tatanan birokrasi pemerintah, serta reformasi tata nilai, tata sistem, dan tata perilaku dari sumber daya manusianya. Pengamatan saya bahwa tidak adanya akuntabilitas publik, tidak adanya transparansi dan kurang adanya pertanggung jawaban selama pemerintahan yang lalu yang dilakukan oleh pemerintah terhadap tindakan publik, karena pendekatan kekuasaan sangat sentral. Jika kita menginginkan melakukan restrukturisasi dan reposisi birokrasi kita yang memungkinkan pertanggung jawaban publik bisa dijalankan, maka kondisi perubahan sistem politik ini hendaknya perlu memperoleh pertimbangan. Salah satu hal yang perlu dipertimbangkan dalam menyusun kelembagaan birokrasi pemerintah pusat mapun daerah ialah diubahnya mindset para pemimpin politik kita, dari mewarisi sikap dan perilaku orde baru yang single mayority dan otoritarian menjadi sikap demokratis yang multi partai. Perwujudan dari perubahan ini dalam kelembagaan pemerintahan disediakan dan dibedakan secara jelas akses politik dalam birokrasi pemerintah. Hal ini dimaksudkan agar partai politik tidak mempergunakan back street dalam bermain politik di birokrasi pemerintah. Ingin menguasai birokrasi pemerintah dengan mengeser jabatan karier birokrasi berpindah ke tangan orang-orang politiknya.
Menurut teori liberal bahwa birokrasi pemerintah itu menjalankan kebijakankebijakan pemerintah yang mempunyai akses langsung dengan rakyat melalui mandat yang diperoleh dalam pemilihan. Dengan demikian, maka birokrasi pemerintah itu bukan hanya didominasi oleh para birokrat saja, melainkan ada bagian-bagian tertentu yang diduduki oleh pejabat politik (Carino, 1994). 31 Demikian pula sebaliknya bahwa di dalam birokrasi pemerintah itu bukan hanya dimiliki oleh pimpinan politik dari partai politik saja melainkan ada juga pimpinan birokrasi karier yang profesional. Ketika keinginan memasukkan pejabat politik dalam birokrasi pemerintah itu timbul, maka timbul pulalah suatu pertanyaan tentang hubungan keduanya. Pertanyaan ini harus dijernihkan dengan jawaban yang tepat. Hubungan antara pejabat politik (political leadership) dan birokrasi merupakan suatu hubungan yang konstan (ajeg) antara fungsi kontrol dan dominasi (Carino, 1994). Dalam hubungan seperti ini maka akan senantiasa timbul persoalan, siapa mengontrol siapa dan siapa pula yang Bentuk solusi executive ascendancy diturunkan dari suatu anggapan bahwa kepemimpinan pejabat politik itu didasarkan atas kepercayaannya bahwa supremasi mandat yang diperoleh oleh kepemimpinan politik itu berasal dari Tuhan atau berasal rakyat atau berasal dari public interest.(The political leadership bases its claim to supremacy on the mandate of God or of the people, or on some notion of the public interest). Supremasi mandat ini diligitimatisasikan melalui pemilihan, atau kekerasan, atau penerimaan secara de facto oleh rakyat. Dalam model sistem liberal, kontrol berjalan dari otoritas tertinggi rakyat melalui perwakilannya (political leadership) kepada birokrasi. Kekuasaan untuk melakukan kontrol seperti ini yang diperoleh dari rakyat acapkali disebut sebagai “overhead democracy” (Redford, 1969). 32
31
Ledivina V Carino., 1994, Bureaucracy for Democracy, the dynamics of executive bureaucracy interaction during governmental transitions, College of Public Administration, University of the Philippines. 32 Emmette S Redford., 1969, Democrcay in the Administrative State, Oxford University Press, New York,
Rakyat yang mestinya memperoleh pelayanan dari birokrasi pemerintah, karena konstelasi kekuasaan seperti itu maka situasinya di balik, rakyat melayani birokrat. Rakyat yang seharusnya dilayani dan diperjuangkan kepentingannya oleh elite partai politik berbalik rakyat melayani pimpinan partai politik dengan memberikan suara dalam pemilu. Penggunaan kekuasaan seperti itu lebih memberikan penekanan pada sisi power dilihat dari perspektif capacity to act. 33 Oleh karena penekanannya pada kemampuan untuk melakukan tindakan, maka kekuasaan dijadikan sebagai sarana dominasi (an instrument of domination). Birokrasi pemerintah mendominasi rakyat melalui kekuasaan yang disandangnya, sehingga terbentang hubungan yang tidak imbang (unequal relation) antara birokrasi pemerintah yang berkuasa dengan rakyat yang dikuasai. Partai politik menggunakan rakyat untuk memenangkan pemilu dan menghantarkan elite pimpinannya menjadi pimpinan negara dan pemerintah, sementara itu setelah menang partai politik melupakan kepentingan rakyat dengan memperkaya dirinya sendiri. Selanjutnya dalam kajian ini dapat ditemukan bahwa adanya perubahan paradigma dalam pilkada tahun 2010 di Medan khususnya birokrasi di Kecamatan Medan Sunggal telah terjadi pula perubahan perilaku pemilih. Perubahan perilaku terjadi karena ada perubahan dasar hukum dalam pilkada, terutama yang mengatur hak-hak politik PNS dalam pilkada. Undang-undang No. 32 tahun 2004 sebagai revisi dari Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah serta Surat Edaran MENPAN RI No. SE/08/M.PAN/3/2005 menjadi dasar dalam memberikan kesempatan PNS untuk menggunakan hak-hak politiknya dalam pilkada, telah membuahkan perubahan perilaku PNS untuk bisa berpolitik tanpa mengurangi netralitasnya sebagai pilar birokrasi. Di Kota Medan pilkada langsung dua kali digelar, namun PNS Kecamatan Medan Sunggal sudah lebih cerdas dan dewasa dalam menentukan pilihannya terhadap calon
33
Larry B Hill.(Edt.) 1992,The State of Public Bureaucracy, ME Sharpe, Inc., Armonk, New York
pimpinan pemerintah daerah. Kekurangtahuan PNS terhadap figur-figur kandidat, isuisu/program politik kandidat dan partai-partai yang mengusung kandidat, mendorong PNS untuk secara aktif memburu media massa yang menyajikan informasi/berita tentang pilkada. Sedangkan untuk memahami secara mendalam dan lebih dekat/pribadi terhadap latar belakang kandidat, kemampuan, pendidikan, pengalaman, perilaku dan sikap pribadi kandidat-kandidat, para PNS berusaha mengembangkan berbagai informasi dari media massa melalui komunikasi interpersonal yaitu dengan perbincangan-perbincangan dengan sesama PNS, dengan masyarakat atau dengan keluarganya. Perubahan perilaku PNS dalam pilkada dapat dilihat pula dari orientasinya terhadap figur pasangan kandidat. Perilaku PNS dalam pilkada sudah lebih rasional, karena mereka sudah merasa bebas dari segala bentuk ancaman, tekanan dan sanksi dari lingkungan kerjanya karena tidak lagi diarahkan oleh pimpinannya untuk memilih pada salah satu kandidat yang dicalonkan dari partai politik tertentu. Figur kandidat yang intelek, memiliki kredibilitas, memiliki kemampuan dalam mengelola organisasi pemerintahan dan jujur serta tidak memihak pada salah satu golongan, menjadi dasar yang penting bagi PNS untuk menentukan pilihannya. Disamping itu, orentasi PNS terhadap isu-isu/ program politik kandidat yang lebih mengutamakan pada program pembenahan kedalam organisasi pemerintahan atau ”penyempurnaan birokrasi” menjadi isu-isu/ program politik yang paling menarik bagi PNS sebagai pemilih. Hal ini dengan alasan bahwa Kepala Daerah terpilih pada akhirnya akan menjadi manager dilingkunan kerjanya. Oleh karena itu pembenahan kedalam organisasi pemerintahan akan memberikan pengaruh pada pengembangan karir PNS serta peningkatan kinerjanya. Disamping juga adanya penegakan hukum dan keadilan yang bisa membuahkan tertatanya kembali mekanisme dan prosedur kerja yang jelas.
Kemudian orientasi PNS terhadap partai politik yang mencalonkan kandidat. Salah satu hal yang menjadi pertimbangan bagi PNS untuk memilih kandidat, tidak terlepas dari citra partai politik yang mengusungnya. Ada catatan penting bagi PNS sebagai pemilih, justru terhadap pendukung salah satu partai politik yang tidak siap menerima kekalahan. Pengalaman pahit dimasa lalu mesih menyisakan catatan buruk bagi PNS sehingga mendorong PNS untuk lebih berhati-hati dalam menentukan pilihannya. Namun yang menjadi tambahan adalah bahwa tidak bisa diketahui secara lebih jelas tentang bentuk keterlibatan PNS secara real dalam Pemilukada Medan. Namun satu hal yang bisa diambil adalah secara normatif para PNS di Kecamatan Medan Sunggal mengatahui setidaknya aturan normative tentang tidak bolehnya PNS terlibat dalam kegiatan politik baik sebagai pengurus partai politik,kampanye dan lain-lain seperti peraturan Undang-undang No. 32 tahun 2004 sebagai revisi dari Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah serta Surat Edaran MENPAN RI No. SE/08/M.PAN/3/2005.