ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
19
BAB II DASAR KEWENANGAN PENUNTUT UMUM DALAM MELAKUKAN PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) MENURUT KUHAP DAN UU NOMOR 16 TAHUN 2004 2.1.
Tugas dan Wewenang Jaksa Sebagai Penuntut Umum di Indonesia Untuk mempelajari lebih dalam kewenangan Penuntut Umum dalam
melakukan pemisahan berkas perkara (Splitsing), perlu dipelajari terlebih dahulu latar belakang atau sejarahnya.Pada era sebelum Kolonial Belanda menjajah Indonesia,negeri
ini
tidaklah
mengalami
kekosongan
hukum
dalam
masyarakat.Hukum Adat telah eksis dalam tubuh negeri ini.Terdapat pula lembaga-lembaga tata hukum dan negara dalam masyarakat adat. Lembaga Jaksa atau Penuntut Umum adalah lembaga baru.Tidak terdapat pada masyarakat primitif.Perancis biasa disebut orang sebagai tempat kelahiran lembaga itu.37Pada bab sebelumnya,telah penulis jelaskan istilah jaksa sendiri berasal dari bahasa Sanskerta yaitu Adhyaksa artinya sama dengan hakim pada dunia modern sekarang ini.Di belanda pun dahulu belum dikenal istilah officier van justitie.Istilah schout di sana yang khusus menuntut pidana.Begitu pula di Inggris,baru tahun 1986 diciptakan lembaga berdiri sendiri yang disebut
37
Jur.Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia,Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, h.47.
19 Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
20
CPS.Dahulu hanya ada Crown Prosecutor yang khusus menuntut jika ada kepentingan raja di dalam perkara.38 Di Indonesia pada era sebelum reformasi,istilah Kejaksaan sebenarnya sudah ada dan dikenal sejak lama di Indonesia. Kerajaan Majapahit mengenal istilah dhyaksa, adhyaksa, dan dharmadhyaksa yang sudah mengacu pada posisi dan jabatan tertentu di kerajaan. Istilah-istilah ini berasal dari bahasa Sansekerta.
Seorang peneliti Belanda, W.F. Stutterheim mengatakan bahwa dhyaksa adalah pejabat negara di zaman Kerajaan Majapahit, tepatnya di saat Prabu Hayam Wuruk tengah berkuasa (1350-1389 M). Dhyaksa adalah hakim yang diberi tugas untuk menangani masalah peradilan dalam sidang pengadilan. Para dhyaksa ini dipimpin oleh seorang adhyaksa, yakni hakim tertinggi yang memimpin dan mengawasi para dhyaksa tadi.39
Kesimpulan ini didukung peneliti lainnya yakni H.H. Juynboll, yang mengatakan bahwa adhyaksa adalah pengawas (opzichter) atau hakim tertinggi (oppenrrechter). Krom dan Van Vollenhoven, juga seorang peneliti Belanda, bahkan menyebut bahwa patih terkenal dari Majapahit yakni Gajah Mada, juga adalah seorang adhyaksa.40
Pada masa pendudukan Belanda, badan yang ada relevansinya dengan jaksa dan Kejaksaan antara lain adalah Openbaar Ministerie. Lembaga ini yang
38
Donald J. Newman,Introduction to Criminal Justice,h.190. Kejaksaan Republik Indonesia, Sejarah Kejaksaan Republik Indonesia, www.kejaksaan.go.id,2009, dikunjungi pada tanggal 8 Oktober 2014. 40 Ibid. 39
20 Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
21
memerintahkan pegawai-pegawainya berperan sebagai Magistraat dan Officier van Justitie di dalam sidang Landraad (Pengadilan Negeri), Jurisdictie Geschillen (Pengadilan Justisi ) dan Hooggerechtshof (Mahkamah Agung ) dibawah perintah langsung dari Residen / Asisten Residen.41
Pada masa itu,terdapat salah satu peraturan yang mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 1848 yaitu Inlands Reglement atau disingkat IR.Nama lengkap IR itu ialah Reglement op de uitoefening van de politie, de Burgerlijke Rechtspleging en de Strafvordering onder de Inlanders en de Vreemde Oosterlingen op Java en Madoera.IR dilahirkan dengan bentuk “ordonnatie” (undang-undang dari Gubernur Jenderal) yang bersandarkan pada suatu Firman Raja Belanda tanggal 16 Mei 1846 (ordonnatie met Koninklijke machtiging),dan termuat dalam Staatsblaad 1848 No.16. sedangkan sebutan Inlands Reglement secara resmi ditetapkan dalam Firman Raja Belanda dari Staatsblaad 1901 No.15.42 Selanjutnya,dengan adanya Sbld 1941 Nomor 44 diumumkan kembali perubahan
IR
(Inlands
Reglement)
menjadi
HIR
(Herziene
Inlands
Reglement).Yang terpenting dari perubahan IR menjadi HIR adalah dengan perubahan tersebut terbentuklah lembaga openbaar ministerieatau penuntut umum,yang dahulu ditempatkan di bawah pamongpraja.Dengan perubahan ini maka Openbaar Ministerie(OM) atau Parket itu secara bulat dan tidak terpisah-
41
Ibid. Moch.Faisal Salam, Op.Cit, h.178.
42
Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
22
pisahkan (een en ondeelbaar) berada di bawah Officier van Justitie dan Procureur Generaal.43 Pembentukan badan Penuntut Umum yang berdiri sendiri ini menurut Subekti dalam bukunya,merupakan hadiah dari pemerintah Belanda untuk orang Bumiputera berhubungan dengan keguncangan (Perang Dunia II yang baru pecah) di negeri Belanda.44Peranan Kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga penuntut secara resmi difungsikan pertama kali oleh Undang-Undang pemerintah zaman pendudukan tentara Jepang No. 1/1942, yang kemudian diganti oleh Osamu Seirei No.3/1942, No.2/1944 dan No.49/1944.
45
Eksistensi kejaksaan itu berada pada
semua jenjang pengadilan, yakni sejak Saikoo Hoooin (pengadilan agung), Koootooo Hooin (pengadilan tinggi) dan Tihooo Hooin (pengadilan negeri). “Pada masa itu, secara resmi digariskan bahwa Kejaksaan memiliki kekuasaan untuk :
1. Mencari (menyidik) kejahatan dan pelanggaran 2. Menuntut Perkara 3. Menjalankan putusan pengadilan dalam perkara kriminal. 4. Mengurus pekerjaan lain yang wajib dilakukan menurut hukum.”46
Pada era pemerintahan Jepang Raad van Justitie dihapuskan sehingga tidak ada lagi perbedaan antara orang bumi putra dengan orang Eropa.Semua warga diadili
oleh
Pengadilan
Negeri
(Tihoo
Hooin)
sebagai
kelanjutan
43
Jur.Andi Hamzah, Op.Cit., h.54. R. Subekti, Hukum Acara Perdata, BinaCipta, Jakarta, 1982, h.4. 45 Kejaksaan Republik Indonesia,Sejarah Kejaksaan Republik Indonesia,Loc. cit. 46 Ibid. 44
Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
23
Landraad.Ketentuan hukum acara pidananya diberlakukan ketentuan yang termuat dalam HIR
(
Herziene Inlands Reglement
),Landgerechtsreglement,dan
Rechtsreglement voor de Buitengewesten.47 Setelah Indonesia merdeka berdasarkan ketentuan Pasal II aturan peralihan, maka ketentuan yang sudah berlaku pada zaman Jepang yaitu ketentuan yang sudah berlaku pada zaman Jepang yaitu ketentuan hukum acara pidana yang diatur dalam HIR tetap berlaku.Di indonesia pada waktu itu terdapat dua macam peradilan yaitu “Landrechter” untuk semua orang dan “Appelraad” sebagai pengadilan dalam pemeriksaan tingkat kedua dari perkara-perkara pidana yang diputus oleh Pengadilan Negeri.48 Kedudukan jaksa merupakan kedudukan yang berdiri sendiri,yang mempunyai wewenang sebagai pengusut (Pasal 39 HIR) dan wewenang menuntut diatur dalam pasal 46 HIR.Pada tanggal 1 Januari 1981 diundangkanlah UndangUndang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang mencabut keseluruhan tentang Hukum Acara Pidana dalam HIR,maka Indonesia pada tahun 1981 memasuki era baru dalam bidang hukum acara pidananya. Kejaksaan sebagai pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang sebagai penuntut umum yang dilandasi oleh Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum,perlindungan
47
Ibid.h.180-181. Moch.Faisal Salam, Op.Cit, h.181.
48
Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
24
kepentingan umum,penegakkan hak asasi manusia,serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Mengingat sebelum adanya Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI yang menggantikan Undang-Undang No.5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan RI yang sebelumnya adanya Undang-Undang No. 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan RI,menurut Pasal 2 UndangUndang No. 15 Tahun 1961,tugas pokok kejaksaan sebagai berikut: 1) a.Mengadakan penuntutan dalam perkara-perkara pidana pada pengadilan yang berwenang; b. Menjalankan keputusan dan penetapan hakim Pidana. 2) Menadakan penyidikan lanjutan terhadap kejahatan dan pelanggaran serta mengawasi dan mengkoordinasikan alat-alat penyidik menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan lain-lain peraturan negara 3) Mengawasi aliran-aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara 4) Melaksanakan tugas-tugas khusus lain yang diberikan kepadanya oleh suatu peraturan negara. Wewenang Jaksa sebagaimana ditentukan dalam pasal 11 Undang-Undang No.15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan adalah sebagai berikut: 1) Jaksa untuk menyelesaikan suatu perkara pidana berwenang : a. Mengadakan penggeledahan badan dan penggeledahan tempattempat yang dipandang perlu; b. Mengambil tindakan-tindakan lain; a dan b menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana dan/atau lain peraturan negara. 2) Dalam melakukan kewajiban tersebut dalam ayat 1 diperhatikan norma-norma keagamaan,perikemanusiaan,kesopanan dan kesusilaan. Penuntut Umum sebagai organ dan wakil penguasa yang memiliki fungsi menuntut dan menetapkan ketentuan pidana yang dikenakan tersangka selanjutnya
Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
25
disusun menjadi surat dakwaan yang akan dilimpahkan ke pengadilan.Didalam KUHAP,wewenang jaksa tidak mendapat pengaturan yang jelas.Yang ada adalah wewenang penuntut umum.Hal ini dikarenakan pengertian jaksa dan penuntut umum memang berbeda,di mana pengertian jaksa menyangkut jabatan,sedangkan pengertian penuntut umum menyangkut fungsi. Menurut Pasal 13 KUHAP dinyatakan wewenang Penuntut Umum adalah melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.Selain itu diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang Pokok Kejaksaan (UU No. 15 Tahun 1961) menyatakan,Kejaksaan R.I. selanjutnya disebut Kejaksaan,ialah alat negara penegak hukum yang terutama bertugas sebagai penuntut umum.Menurut Pasal 14 KUHAP,penuntut umum mempunyai wewenang: a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau pembantu penyidik; b. Mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 Ayat (3) dan Ayat (4),dengan memberi petunjuk dalam rangka menyempurnakan penyidikan dari penyidik; c. Memberikan perpanjangan penahanan,melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik; d. Membuat surat dakwaan; e. Melimpahkan perkara ke pengadilan; f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan,baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan; g. Melakukan penuntutan; h. Menutup perkara demi kepentingan umum; i. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai Penuntut Umum menurut Undang-Undang; j. Melaksanakan penetapan hakim;
Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
26
Didalam penjelasan pasal tersebut dikatakan bahwa,yang dimaksud dengan “tindakan lain” ialah antara lain meneliti identitas tersangka,barang bukti dengan memperhatikan secara tegas batas wewanang dan fungsi antara penyidik, penuntut umum, dan pengadilan. Di dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI tidak terdapat suatu ketentuan yang mengatur tentang tugas dan kewenangan dari penuntut umum,hanya disebutkan dan diatur tentang tugas dan wewenang kejaksaan dalam Bab III Bagian Kesatu Pasal 30 sampai 34 Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI.49 Pasal 30 Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI,bahwa tugas dan wewenang kejaksaan adalah: 1) Di bidang pidana,kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang: a. Melakukan penuntutan;50 b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;51 c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;52
49
Andi Sofyan dan H. Abd. Asis, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Edisi Pertama, Kencana, Jakarta, 2014, h.96. 50 Ayat (1) Huruf a “Dalam melakukan penuntutan,jaksa dapat melakukan prapenuntutan.Pra-penuntutan adalah tindakan jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik,petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan.” 51 Ayat (1) Huruf b “Dalam melaksanakan putusan pengadilan dan penetapan hakim, kejaksaan memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat dan peri kemanusiaan berdasarkan Pancasila tanpa mengesampingkan ketegasan dalam bersikap dan bertindak. Melaksanakan putusan pengadilan termasuk juga melaksanakan tugas dan wewenang mengendalikan pelaksanaan hukuman mati dan putusan pengadilan terhadap barang rampasan yang telah dan akan disita untuk selanjutnya dijual lelang.” 52 Ayat (1) Huruf c yang dimaksud dengan “keputusan lepas bersyarat” adalah keputusan yang dikeluarkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pemasyarakatan.
Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
27
d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;53 e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahansebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.54 2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah. 3) Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan:55 a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat; b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum; c. Pengawasan peredaran barang cetakan; d. Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara; e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama; f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal. Kewenangan penuntut umum dalam melakukan penuntutan diatur dalam Bab XV tentang Penuntutan.Menurut Pasal 137 KUHAP menyatakan penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili.
Ayat (1) Huruf d “Kewenangan dalam ketentuan ini adalah kewenangan sebagaimana diatur misalnya dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. UndangUndang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.” 54 Ayat (1) Huruf e “Untuk melengkapi berkas perkara, pemeriksaan tambahan dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1) tidak dilakukan terhadap tersangka; 2) hanya terhadap perkara-perkara yang sulit pembuktiannya, dan/atau dapat meresahkan masyarakat, dan/atau yang dapat membahayakan keselamatan Negara; 3) harus dapat diselesaikan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah dilaksanakan ketentuan Pasal 110 dan 138 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun1981 tentang Hukum Acara Pidana; 4) prinsip koordinasi dan kerjasama dengan penyidik.” 55 Penjelasan ayat (3).Tugas dan wewenang kejaksaan dalam ayat ini bersifat preventif dan/atau edukatif sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan “turut menyelenggarakan“ adalah mencakup kegiatan-kegiatan bersifat membantu, turut serta, dan bekerja sama.Dalam turut menyelenggarakan tersebut, kejaksaan senantiasa memperhatikan koordinasi dengan instansi terkait. 53
Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
28
Menurut Pasal 138 KUHAP setelah penuntut umum menerima hasil penyidikan dari penyidik,haruslah segera mempelajari dan meneliti dan dalam waktu 7 hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum. 2.2. Proses Penuntutan Indonesia merupakan negara yang menganut sistem hukum Civil Law System.Dalam hal ini hukum acara pidana kita secara garis besar terdapat 5 (lima) tahapan,yaitu: 1. 2. 3. 4.
Tahap penyidikan ( opsporing ) dilaksanakan oleh penyidik; Tahap penuntutan ( vervolging ) dilaksanakan oleh penuntut umum; Tahap mengadili ( rechtspraak ) dilaksanakan oleh hakim; Tahap melaksanakan putusan hakim ( executie ) dilaksanakan oleh jaksa; 5. Tahap pengawasan dan pengamatan putusan pengadilan dilaksanakan oleh hakim pengadilan negeri.56
Tahapan-tahapan tersebut merupakan suatu proses yang kait mengkait antara tahap yang satu dengan tahap selanjutnya yang dilaksanakan oleh subyek pelaksana hukum acara pidana,yang akhirnya bermuara pada tahap pemeriksaan terdakwa dalam persidangan pengadilan (tahap mengadili).57 Dalam penelitian ini yang menjadi pembahasan dalam tahap penuntutan ( vervolging ) yang dilaksanakan oleh penuntut umum.Permasalahan yang akan dibahas terkait proses penuntutan yang mana dalam hal penuntut umum
56 Hasibuan, Idris Khalid,Tinjauan Hukum Tentang Pertimbangan Penuntut Umum Dalam Membuat Surat Dakwaan Secara Terpisah Terhadap Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh Beberapa Orang ( Surat Tuntutan NO.REG / PER:PDM – 190 /EP.1/Medan/2007,Skripsi,Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,Medan,2011,h.1 Bab III. 57 Ibid.
Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
29
melakukan pemisahan berkas perkara dalam delik yang dilakukan oleh beberapa orang pelaku.Dalam sub bab ini akan proses penuntutan dibagi menjadi tahap prapenuntutan dan tahap penuntutan. 2.2.1 Pra-penuntutan Tahap pra-penuntutan terjadi pada saat penyidik melimpahkan berkas perkara kepada penuntut umum.Dalam proses tersebut sangat terlihat hubungan sangat erat antara penuntut umum dan penyidik dalam hal fungsi penegakkan hukum di Indonesia.Berdasarkan Keputusan bersama Jaksa Agung Republik Indonesia dengan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia tanggal 6 Oktober 1981 tentang Peningkatan Usaha Pengamanan dan Kelancaran Penyidangan Perkara-Perkara Pidana di dalam diktum angka i menyatakan bahwa “meningkatkan kerja sama fungsional dan instansional yang sebaik-baiknya antara Kejaksaan dan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk menyelesaikan perkara-perkara dengan sempurna menurut hukum mulai dari penyidikan sampai kepelaksanaan putusan Hakim.” KUHAP telah meyebutkan tentang proses pra-penuntutan,namun tidak memberikan batasan batasan tentang proses pra-penuntutan.Demikian pula dalam Pasal 1 KUHAP yang memberikan definisi bagian hukum acara pidana, seperti penyidikan, penuntutan, dan seterusnya,namun tidak memberikan pengertian tentang pra-penuntutan.58 Dalam proses pra-penuntutan didefinisikan dalam pasal 14 KUHAP,yakni 58
Skripsi
Andi Sofyan dan H. Abd. Asis, Op. cit.,h.167.
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
30
Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan yang dilakukan penyidik menurut pendapat penuntut umum kurang lengkap,penuntut umum segera mengembalikan berkas tersebut kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi dan penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari penuntut umum (pasal 110 ayat (3) dan pra-penuntutan tidak dapat dilakukan kembali apabila dalam waktu 14 hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik (pasal 110 ayat (4)). ”Lengkap” artinya bukti-buktinya cukup dan berkasnya disusun menurut KUHAP.59 Dengan adanya Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan Menteri Kehakiman, menunjuk Pasal 14 KUHAP dengan dikaitkan Pasal 110 ayat (3) dan (4) serta Pasal 138 KUHAP sebagai pra-penuntutan.Perbedaan Pasal 110 KUHAPa dan 138 KUHAP adalah dalam Pasal 110 KUHAP mengatur wewenang penyidik dan dalam pasal 138 KUHAP mengatur wewenang penuntut umum. Dalam tahap pra-penuntutan yang diatur dalam KUHAP ternyata terjadi permasalahan dalam praktiknya.Tidak ada suatu ketentuan dalam Undang-undang No.8 Tahun 1981 yang mengatur berapa kali berkas perkara bolak-balik antara penyidik dan penuntut umum dalam hal perkara tersebut menurut pandangan penuntut umum belum lengkap.60 Istilah pra-penuntutan sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 huruf b KUHAP yaitu hanyalah tindakan penuntut umum untuk memberi petunjuk dalam
59 R.M. Surakhman dan Andi Hamzah,Jaksa di Berbagai Negara : peranan dan kedudukannya, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, h.35. 60 Moerad B.M, Pontang, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana, Alumni, Bandung, 2005, h.1995.
Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
31
rangka penyempurnaan penyidikan oleh penyidik.Istilah pra-penuntutan di dalam HIR adalah termasuk penyidikan lanjutan.61 Selain itu juga di jelaskan dalam penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI,sebagai berikut : Dalam melakukan penuntutan, jaksa dapat melakukan prapenuntutan. Prapenuntutan adalah tindakan jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik, mempelajari atau meneliti kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan yang diterima dari penyidik serta memberikan petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas perkara tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan.
2.2.2 Penuntutan (Vervolging) Pengertian penuntutan sebagaiamana diatur dalam Pasal 1 angka 7 KUHP,bahwa : “Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.” Wirjono perbedaanya
Pradjodikoro bahwa
KUHP
memberikan tidak
definisi
penuntutan,
menyebutkan
secara
namun tegas
“terdakwa”,sedangkan Wirjono Pradjodikoro disebutkan secara tegas, lebih-lebih lengkapnya, yaitu : “Menuntut seorang terdakwa di muka hakim pidana adalah menyerahkan perkara seorang terdakwa dengan berkas perkaranya kepada hakim
61
Skripsi
Andi Sofyan dan H. Abd. Asis, Loc. cit.
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
32
dengan permohonan supaya hakim memeriksa dan kemudian memutuskan perkara pidana itu terhadap terdakwa.”62 Singkatnya penuntutan adalah tindakan penuntut umum menyerahkan berkas perkara terdakwa ke pengadilan negeri agar hakim memberikan putusan terhadap terdakwa yang bersangkutan.63Kewenangan penuntut umum untuk melakukan penuntutan terlihat dalam Pasal 137 KUHAP yaitu “Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapa pun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili.” Daerah hukumnya dalam pasal diatas Menurut E. Bonn – Sosrodanukusumo, (pendapatnya masih berdasarkan HIR), seorang jaksa mempunyai daerah hukum masing-masing sesuai dengan daerah hukum kejaksaan negeri di mana dia diangkat.64 Penuntut umum juga berwenang dalam menentukan suatu perkara hasil penyidikan apakah sudah lengkap ataukah belum untuk dilimpahkan ke pengadilan negeri untuk diadili.Hal itu terdapat dalam pasal 139 KUHAP yang berisikan “Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan.”
62 Wirjono Prdjodikoro Prdjodikoro,R.Wirjono, Hukum Acara Pidana Di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, 1983, h.34. 63 Hari Sasangka dan Tjuk Suharjanto, Penuntutan Dan Teknik Membuat Surat Dakwaan, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1988, h.25. 64 E. Bonn – Sosrodanukusumo,Tuntutan Pidana,Siliwangi,Jakarta,tanpa tahun,h.100.
Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
33
Jika menurut penuntut umum perkara tersebut sudah cukup bukti dan lengkap,maka penuntut umum dapat melakukan penuntutan dengan membuat surat dakwaan.Hal tersebut diatur dalam Pasal 140 ayat (1) KUHAP yang berisi “Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan.” Jika menurut pertimbangan penuntut umum perkara tersebut kurang cukup bukti atau perkara tersebut bukan suatu delik pidana,maka penuntut umum membuat suatu ketetapan.Hal ini diatur dalam Pasal 140 ayat (2) butir a KUHAP yang berisi “Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan.”Isi surat ketetapan tersebut diberitahukan kepada tersangka dan bila ia ditahan,wajib dibebaskan.Hal ini diatur dalam Pasal 140 ayat (2) butir b KUHAP yang berisikan “Isi surat ketetapan tersebut diberitahukan kepada tersangka dan bila ia ditahan, wajib segera dibebaskan.” Ditentukan
selanjutnya
bahwa
turunan
ketetapan
tersebut
wajib
disampaikan kepada tersangka atau keluarga atau penasehat hukum, pejabat rumah tahanan negara,penyidik, dan hakim (Pasal 140 ayat (2) butir c KUHAP).Biasanya
disebut
SP3
(Surat
Perintah
Penghentian
Penuntutan).Kewenangan penuntut umum dalam menutup perkara demi hukum diatur dalam Pasal 140 ayat (2) butir a pedoman pelaksanaan KUHAP memberi penjelasan bahwa “perkaranya ditutup demi hukum” diartikan sesuai dengan
Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
34
Buku I KUHP Bab VIII tentang hapusnya hak menuntut tersebut dalam Pasal 76, 77 dan 78 KUHP,65 ( non bis in idem, terdakwa meninggal, dan lewat waktu). Namun menurut pasal 140 ayat (2) butir d KUHAP bahwa “Apabila kemudian ternyata ada alasan baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap tersangka”.Dalam hal ini bahwa ketetapan penuntut umum untuk menyampingkan suatu perkara (yang tidak didasarkan kepada oportunitas) tidak berlaku asas non-bis in idem.66 Selanjutnya Pasal 141 KUHAP penuntut umum dapat melakukan penggabungan berkas perkara dengan satu surat dakwaan.Penggabungan berkas perkara ( voeging ) dibatasi oleh syarat-syarat yang diatur dalam pasal tersebut.Selain menggabungkan berkas perkara,penuntut umum juga dapat memisahkan berkas perkara ( spitsing ) yang diatur dalam Pasal 142 KUHAP.Apabila hasil penyidikan oleh penyidik telah diterima oleh penuntut umum,maka menurut Pasal 143 ayat (1) KUHAP menyebutkan “Penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar segera mengadii perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan.” Syarat-syarat
surat
dakwaan
diatur
dalam
Pasal
143
ayat
(2)
KUHAP.Apabila tidak memenuhi syarat formil surat dakwaan yang diatur dalam Pasal 143 ayat (2) butir a akan berakibat dapat dibatalkan.Apabila tidak
65 Pedoman Pelaksanaan KUHAP,dikeluarkan oleh Departemen Kehakiman Republik Indonesia, cetakan ke-2,h.88. 66 Andi Sofyan dan H. Abd. Asis, Op. cit.,h.171.
Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
35
memenuhi syarat materiel surat dakwaan yang diatur dalam Pasal 143 ayat (2) butir b KUHAP akan berakibat batal demi hukum ( Pasal 143 ayat (3) KUHAP). Selanjutnya menurut Pasal 143 ayat (4) KUHAP,bahwa Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan kepada tersangka atau kuasanya atau penasihat hukumnya dan penyidik,pada saat yang bersamaan dengan penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan negeri.” 2.3. Surat Dakwaan Surat dakwaan menjadi sangat penting dan dianggap sebagai Mahkota dan kunci dari arah persidangan dan putusan berlangsung.Di Sistem peradilan pidana Indonesia,surat dakwaan akan menjadi dasar bagi pemeriksaan di persidangan dan sebagai dasar pengambilan putusan hakim.Surat dakwaan juga akan memperjelas aturan-aturan hukum mana yang dilanggar oleh terdakwa67.Surat dakwaan bisa dikatakan sebagai filter penyaring aturan hukum yang tepat dikenakan terdakwa.Dengan demikian,hakim tidak boleh memutuskan atau mengadili perbuatan pidana yang tidak didakwakan68. Dalam mengemukakan pengertian surat dakwaan,pada umumnya para ahli hukum,mengkaitkannya dengan hasil penyidikan dan fungsi surat dakwaan dalam pemeriksaan
sidang
pengadilan.Meskipun
banyak
definisi
yang
telah
dikemukakan,kita akui memang sulit untuk merumuskan suatu pengertian yang mencakup semua aspek yang bertalian dengan surat dakwaan.Surat dakwaan itu
67 Albert Aries, Surat Dakwaan Sebagai Dasar Putusan Hakim, www.hukumonline.com, 3 Mei 2013, h.1, dikunjungi pada tanggal 21 September 2014. 68 Ibid.
Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
36
sendiri mencakup beberapa aspek,antara lain aspek hukum pidana materiil dan aspek hukum pidana formiil.69 Dakwaan menjadi sangat penting dikarenakan melalui dakwaan itu pemeriksaan di persidangan dilakukan.Dakwaan menjadi salah satu filter ketentuan hukum yang dikenakan oleh tersangka sebelum persidangan dilakukan.Melalui surat dakwaan pula dalil dalil pembelaan Penasehat Hukum bersumber.Surat dakwaan menjadi arah kemana persidangan akan dibawa dan dikembangkan. Menurut H.Hamrat Hamid, S.H. dalam bukunya Pembahasan KUHAP Bidang Penuntutan Dan Eksekusi Dalam Bentuk Tanya Jawab menjelaskan fungsi surat dakwaan dalam pemeriksaan suatu perkara adalah: a. Bagi hakim: - Merupakan dasar dan sekaligus menentukan ruang lingkup pemeriksaan sidang; - Merupakan dasar penilaian/pertimbangan dan musyawarah majelis hakim dalam rangka mengambil keputusan tentang perbuatan dan kesalahan terdakwa. b. Bagi Penuntut Umum : - Merupakan dasar pelimpahan perkara; - Merupakan dasar pembuktian/pembahasan yuridis; - Merupakan dasar tuntutan pidana; - Merupakan dasar pengajuan upaya hukum. c. Bagi terdakwa/penasihat hukumnya: - Merupakan dasar pengajuan eksepsi; - Merupakan dasar pembelaan diri,karena itu dakwaan harus cermat, jelas dan lengkap agar dapat dimengerti oleh terdakwa.70 Hakim
tidak
dakwaan.Pemeriksaan
dapat
menjatuhkan
didasarkan
kepada
pidana
di
dakwaan
luar dan
batas-batas menurut
69 H. Hamrat Hamid dan Harun M.Husein, Pembahasan Permasalahan KUHAP Bidang Penuntutan Dan EksekusiDalam Bentuk Tanya Jawab, Sinar Grafika, Jakarta, 1992, h.19. 70 Ibid.h.68.
Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
37
Nederburg,pemeriksaan tidak batal jika batas-batas itu dilampaui tetapi putusan hakim hanya boleh mengenai peristiwa-peristiwa yang terletak dalam batas itu.71 Dengan demikian,terdakwa hanya bisa dipidana jika terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah sesuai yang didakwakan penuntut umum.Apabila penuntut umum salah mendakwa terdakwa maka akan berakibat bebasnya jeratan hukum terdakwa.Disinilah pentingnya surat dakwaan dan penyusunan surat dakwaan oleh penuntut umum.Penuntut umum sebagai wakil negara untuk mendakwa warga negara yang bersalah dan melanggar ketentuan pidana sebagai hukum publik. Menurut Pasal 143 ayat (1) KUHAP,”Penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan”.Dalam hal ini terlihat surat dakwaan sebagai syarat mutlak pelimpahan berkas perkara ke pengadilan agar diadili. Terdapat pula syarat-syarat surat dakwaan dalam Pasal 143 ayat (2) KUHAP berisikan : Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi: a. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka; b. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. Syarat surat dakwaan yang diatur dalam Pasal 143 ayat (2) butir a KUHAP merupakan syarat formil surat dakwaan,yang mencakup : 71
Skripsi
E. Bonn – Sosrodanukusumo,Tuntutan Pidana,Op. cit.,h.236.
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
38
1. Diberi tanggal. 2. Memuat identitas terdakwa secara lengkap, meliputi: a. Nama lengkap; b. Tempat lahir,umur/tanggal lahir; c. Jenis kelamin; d. Kebangsaan; e. Tempat tinggal; f. Agama;dan g. Pekerjaan 3. Ditandatangani oleh penuntut umum Jadi hakim dapat membatalkan dakwaan penuntut umum,karena tidak jelas dakwaan ditujukan kepada siapa.Tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya kekeliruan mengenai orang atau pelaku tindak pidana yang sebenarnya (error of subyektum).72 Syarat meteriel menurut Pasal 143 ayat (2) butir b KUHAP,bahwa surat dakwaan harus secara cermat, jelas,dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan berisikan waktu ( tempos delicti ) dan tempat ( locus delicti ) tindak pidana tersebut dilakukan. Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 143 ayat (2) butir b KUHAP ( Syarat materiel ) akan berakibatkan batal demi hukum (sesuai dengan Pasal 143 ayat (3) KUHAP).Sedangkan surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 143 ayat (2) butir a KUHAP ( Syarat formil ) akan berakibat dapat dibatalkan. Ada
dua
syarat
cara
merumuskan
surat
dakwaan
yang
harus
dipenuhi,yaitu: a. Harus mengandung lukisan dari apa yang senyatanya terjadi;
72
Andi Sofyan dan H. Abd. Asis, Op. cit., h.172.
Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
39
b. Dalam lukisan itu harus ternyatakan pula unsur-unsur yuridis dari tindak pidana yang didakwakan;73 Pembuatan surat dakwaan harus jeli dan teliti,baik syarat formil maupun materiilnya.Pembuat surat dakwaan harus terlebih dahulu menganalisis dengan seksama perbuatan yang telah dilakukan,serta menentukan pasal mana yang akan dikenakan.Pembuat surat dakwaan juga harus benar-benar berhati-hati sehingga semua unsur delik mencocoki unsur-unsur pasal yang didakwakan. Menurut Ansori Sabuan,S.H.,Sharifuddin Pettanasse,S.H., dan Ruben Achmad,S.H. dalam bukunya yang berjudul Hukum Acara Pidana, dalam hal teknis penyusunan surat dakwaan dapat dilakukan sebagai berikut: a. b. c. d. e.
Dakwaan tunggal; Dakwaan alternatif; Dakwaan subsidair; Dakwaan kumulatif; Dakwaan campuran;74
2.3.1. Dakwaan tunggal Dakawaan secara tunggal dapat digunakan apabila seseorang atau lebih terdakwa melakukan satu macam tindak pidana.Terdakwa didakwakan satu perbuatan saja,tanpa diikuti dengan dakwaan-dakwaan lain. Bentuk dakwaan ini biasanya digunakan dalam perkara pidana yang sederhana saja.Karena apabila digunakan dalam perkara pidana yang sifatnya
73 Ansori Sabuan,Sharifuddin Pettanasse dan Ruben Achmad, Hukum Acara Pidana, Cetakan ke-1, Angkasa, Bandung, 1990, h.123. 74 Ibid,h.127.
Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
40
tidak sederhana,maka akan menimbulkan resiko terdakwa bebas dari tuntutan JPU yang berarti terdakwa dibebaskan. 2.3.2. Dakwaan Alternatif Dakwaan secara alternatif,yaitu dakwaan yang saling mengecualikan antara satu dengan yang lain.Hakim dapat mengadakan pilihan dakwaan mana yang telah terbukti dan bebas untuk menyatakan bahwa dakwaan kedua telah terbukti tanpa memutuskan terlebih dahulu tentang dakwaan pertama.75Ditandai dengan kata “ATAU”... .Dengan menggunakan kata “ATAU” antara dakwaan satu dengan yang lain memberikan arti bahwa dakwaan itu alternatif tidak secara komulatif.Dakwaan secara alternatif bukan kejahatan Perbarengan. Dakwaan semacam ini dibuat jika hasil pemeriksaan penuntut umum masih ragu dalam menerapkan pasal dalam surat dakwaannya dikarenakan perbuatan yang dilakukan hampir sama unsur-unsur antara pasal satu dengan pasal yang lain. Misalnya penuntut umum yang akan membuat surat dakwaan berdasarkan berita acara Peyidikan ragu-ragu apakah suatu tindak pidana yang akan didakwakan merupakan :
75
Skripsi
Tindak pidana penipuan atau penggelapan.
Pembantuan atau turut serta.
Van Bemmelen,yang dikutip oleh Jur.Andi Hamzah, Op.Cit., h.186.
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
41
Konsekwensi dari surat dakwaan alternatif adalah jika salah satu tindak pidana sudah terbukti maka tindak pidana lainnya harus dikesampingkan.76 2.3.3. Dakwaan Subsidair Dakwaan subsidair penuntut umum tidak ragu-ragu tentang jenis tindak pidananya,tetapi yang dipermasalahkan adalah kualifikasi dari tindak pidana yang akan didakwakan apakah tindak pidana tersebut termasuk kualifikasi berat atau kualifikasi ringan.77 Surat
dakwaan
disusun
dalam
bentuk
bertingkat
mulai
dari
primer,subsidair, dan seterusnya dengan urutan pasal yang terberat ke pasal yang teringan ancaman pidananya. Dalam dakwaan subsidair yang didakwakan pertama adalah yang terberat ancaman pidananya,kemudian apabila dakwaan primernya tidak terbukti,baru membuktikan pada dakwaan subsidair,dan begitu seterusnya pada dakwaan terakhir yang paling ringan ancaman pidananya. 2.3.4. Dakwaan kumulatif Surat dakwaan kumulatif digunakan apabila ada beberapa tindak pidana yang tidak ada hubungan antara tindak pidana satu dengan tindak pidana yang lain dengan kata lain tindak pidananya berdiri sendiri-sendiri.Menurut Dr. Drs. Hendar Soetarna, S.H. dalam bukunya surat dakwaan kumulatif atau kumulasi bertitik
76
Hari Sasangka dan Tjuk Suharjanto, Op. cit., h.109. Ibid.,h.111.
77
Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
42
tolak pada adanya perbarengan (concursus) baik perbarengan tindak pidananya dan ataupun perbarengan pelakunya.78 Dakwaan kumulatif diatur dalam Pasal 141 KUHAP bahwa “Penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu suratdakwaan, apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas perkara dalam hal: a. Beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan kepentinganpemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya; b. Beberapa tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan yang lain; c. Beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut-paut satu dengan yang lain, akan tetapi yang satu dengan yang lain itu ada hubungannya, yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan. Dapat dirumuskan dakwaan kumulatif yaitu: Beberapa tindak pidana dilakukan satu orang sama; Beberapa tindak pidana yang bersangkut paut; Beberapa tindak pidana yang tidak bersangkutan.79 Dalam dakwaan kumulatif hakim harus memutuskan terbukti atau tidaknya setiap dakwaan satu demi satu,jika dakwaan yang satu terbukti harus dijatuhi pidana dan kalau dakwaan yang lain tak terbukti harus dibebaskan.Demikian pula kalau satu dari dakwaan tersebut dibatalkan,maka dakwaan mengenai perbuatan lainnya masih berlaku.80 2.3.5. Dakwaan campuran/kombinasi/gabungan
78 Hendar Soetarna, Hukum Pembuktian Dalam Acara Pidana, Cetakan ke-1, Alumni, Bandung, 2011, h.35. 79 Andi Sofyan dan H. Abd. Asis, Op. cit., h.178. 80 Ansori Sabuan, Sharifuddin Pettanasse dan Ruben Achmad, Op. cit., h.129.
Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
43
Dalam dakwaan campuran atau kombinasi atau gabungan lebih didasarkan kepada adanya berbagai bentuk dakwaan dalam satu surat dakwaan.Dalam surat dakwaan kombinasi didakwakan lebih dari satu tindak pidana dan setiap dakwaan berbeda bentuk dari yang lain.Surat dakwaan ini digunakan agar terdakwa tidak lolos dari jeratan hukum. Bentuk-bentuk surat dakwaan kombinasi adalah: 1. Kumulatif subsidair; 2. Kumulatif alternatif; 3. Subsidair kumulatif.81 2.4. Penyertaan (Deelneming) Penyertaan diatur dalam Pasal 55 dan 56 KUHP.Adapun Pasal 55 dan 56 KUHP berbunyi: Pasal 55 KUHP : (1) Dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana: 1. Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan, atau turut melakukan perbuatan itu; 2. Orang yang dengan pemberian, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau pengaruh, kekerasan, ancaman atau tipu daya atau dengan memberi kesempatan, daya upaya atau keterangan, sengaja membujuk untuk melakukan sesuatu perbuatan. (2)Tentang orang-orang yang tersebut dalam sub 2e itu yang boleh dipertanggungjawabkan kepadanya hanyalah perbuatan yang dengan sengaja dibujuk oleh mereka itu, serta dengan akibatnya. Pasal 56 KUHP : 81 Hari Sasangka, Lily Rosita, August Hadiwijono, Penyidikan,Penahanan,Penuntutan,Dan Praperadilan, Cetakan Pertama, Dharma Surya Berlian, Surabaya, 1996, h.117.
Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
44
Dihukum sebagai orang yang membantu melakukan kejahatan: 1. Barangsiapa dengan sengaja membantu melakukan kejahatan itu; 2. Barangsiapa dengan sengaja memberikan kesempatan, daya upaya, atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu. R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal menjelaskan mengenai apa yang dimaksud dengan “orang yang turut melakukan” (medepleger) dalam Pasal 55 KUHP. Menurut R. Soesilo, “turut melakukan” dalam arti kata “bersama-sama melakukan”. Sedikit-dikitnya harus ada dua orang, ialah orang yang melakukan (pleger) dan orang yang turut melakukan (medepleger) peristiwa pidana. Di sini diminta bahwa kedua orang itu semuanya melakukan perbuatan pelaksanaan, jadi melakukan anasir atau elemen dari peristiwa tindak pidana itu. Tidak boleh misalnya hanya melakukan perbuatan persiapan saja atau perbuatan yang sifatnya hanya menolong, sebab jika demikian, maka orang yang menolong itu tidak masuk “medepleger” akan tetapi dihukum sebagai “membantu melakukan” (medeplichtige) dalam Pasal 56 KUHP.
Sedangkan mengenai Pasal 56 KUHP, R. Soesilo menjelaskan bahwa orang “membantu melakukan” jika ia sengaja memberikan bantuan tersebut, pada waktu atau sebelum (jadi tidak sesudahnya) kejahatan itu dilakukan. Bila bantuan itu diberikan sesudah kejahatan itu dilakukan, maka orang tersebut melakukan perbuatan “sekongkol” atau “tadah” melanggar Pasal 480 KUHP, atau peristiwa pidana yang tersebut dalam Pasal 221 KUHP.
Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
45
Dalam penjelasan Pasal 56 KUHP ini dikatakan bahwa elemen “sengaja” harus ada, sehingga orang yang secara kebetulan dengan tidak mengetahui telah memberikan kesempatan, daya upaya, atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu tidak dihukum. “Niat” untuk melakukan kejahatan itu harus timbul dari orang yang diberi bantuan, kesempatan, daya upaya atau keterangan itu. Jika niatnya itu timbul dari orang yang memberi bantuan sendiri, maka orang itu bersalah berbuat “membujuk melakukan” (uitlokking).
Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H., dalam bukunya yang berjudul Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia (hal. 123), mengutip pendapat Hazewinkel-Suringa, Hoge Raad Belanda yang mengemukakan dua syarat bagi adanya turut melakukan tindak pidana, yaitu: Kesatu, kerja sama yang disadari antara para turut pelaku, yang merupakan suatu kehendak bersama di antara mereka; Kedua, mereka harus bersama-sama melaksanakan kehendak itu.82 Lebih lanjut, Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H.83, sebagaimana kami sarikan, menjelaskan mengenai perbedaan antara “turut melakukan” dan “membantu melakukan”. Menurutnya, berdasarkan teori subjektivitas, ada 2 (dua) ukuran yang dipergunakan: Ukuran kesatu adalah mengenai wujud kesengajaan yang ada pada di pelaku, sedangkan ukuran kedua adalah mengenai kepentingan dan tujuan dari pelaku.
82
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Eresco, Bandung, 1989,
83
Ibid, hal. 126-127
h.123.
Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
46
Ukuran kesengajaan dapat berupa; (1) soal kehendak si pelaku untuk benar-benar turut melakukan tindak pidana, atau hanya untuk memberikan bantuan, atau (2) soal kehendak si pelaku untuk benar-benar mencapai akibat yang merupakan unsur dari tindak pidana, atau hanya turut berbuat atau membantu apabila pelaku utama menghendakinya.Sedangkan, ukuran mengenai kepentingan atau tujuan yang sama yaitu apabila si pelaku ada kepentingan sendiri atau tujuan sendiri, atau hanya membantu untuk memenuhi kepentingan atau untuk mencapai tujuan dari pelaku utama.84
2.5. Pemisahan dan Penggabungan Berkas Perkara Oleh Pununtut Umum Didalam proses penyusunan dan pembuatan surat dakwaan terjadi 2 (dua) kemungkinan yang dilakukan penuntut umum yaitu penggabungan berkas perkara (Voeging) atau pemisahan berkas perakara (Splitsing).Penggabungan atau pemisahan berkas perkara tersebut haruslah didasarkan pada pertimbangan kepentingan pemeriksaan perkara itu sendiri di dalam sidang pengadilan.85 Pemisahan berkas perkara biasa dinamakan “pemecahan atau pemisahan perkara (Splitsing)” satu perkara menjadi beberapa penuntutan yang diuraikan dalam pasal 142 KUHAP.Bunyi Pasal 142 KUHAP adalah “Dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk dalam ketentuan
84
Letezia Tobing, Perbedaan Turut Melakukan Dengan Membantu Melakukan Tindak Pidana, www.hukumonline.com , 28 Juni 2013, h.1, dikunjungi pada tanggal 21 September 2014. 85
Skripsi
Hari Sasangka, Lily Rosita dan August Hadiwijono, Op. cit., h.118.
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
47
Pasal 141, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara terpisah.” Pemisahan berkas perkara (Splitsing) dilakukan oleh penuntut umum dengan cara membuat berkas perkara baru.Dalam hal ini para tersangka dapat menjadi saksi dalam pemeriksaan tersangka lain dalam suatu tindak pidana, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan baru baik terhadap saksi maupun tersangka. Hal ini dilakukan untuk menguatkan dakwaan penuntut umum. Dalam praktiknya seringkali suatu berkas hanya perlu digandakan dan sebagaian tersangka dijadikan saksi terhadap tersangka lainnya. Tersangka tersebut harus diperiksa lagi bukan sebagai tersangka tapi sebagai saksi bagi tersangka lainnya. Dalam memecahkan berkas perkara (Splitsing) merupakan kebijaksanaan penuntutan yang dilakukan penuntut umum berdasarkan kepada kepentingan pemeriksaan semata-mata. Pemecahan berkas perkara (Splitsing) dilakukan sehubungan dengan kurangnya saksi yang menguatkan dakwaan penuntut umum, sedangkan saksi lain sulit diketemukan sehingga satu-satunya jalan adalah mengajukan sesama tersangka sebagai saksi terhadap tersangka lainnya. 86 Untuk itu haruslah diadakan penambahan pemeriksaan terhadap tersangka yang dijadikan saksi. Pemeriksaan seperti ini dibenarkan oleh Mahkamah Agung dalam putusannya No. 66K/Kr/1967 tanggal 25-10-1967 dalam perkara: MASBURO DALIMUNTE,2.ABD.SANI,3.TOHIR MANURUNG.87
86
Ibid.,h.120-121. Ibid.
87
Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
48
Menurut komentar Pasal142 KUHAP yang ditulis M.Karjadi(Komisaris Besar Polisi pnw) dan R.Soesilo(Ajun Komisaris Besar Polisi pnw,Bekas Dosen AKABRI Bag. Kepolisian Sukabumi) menyatakan Pasal ini memuat tentang apa yang biasa disebut “pemecahan” perkara pidana yaitu yang menentukan bahwa apabila penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka maka penuntut umum dapat “memecah” perkara tersebut, yaitu terhadap masing-masing terdakwa dilakukan penuntutan yang terpisah.88Menurut catatan Pasal 142 KUHAP yang ditulis Martiman Prodjohamidjojo, S.H. menyatakan penggabungan atau pemisahan perkara, harus didasarkan kepada kepentingan pemeriksaan sematamata. Kelemahan dari pemeriksaan pemecahan berkas perkara (Splitsing) adalah sering mengakibatkan terjadinya keterangan palsu yang diatur dalam pasal 242 KUHP dikarenakan terdakwa yang menjadi saksi dalam pemeriksaan terdakwa lainnya dalam suatu tindak pidana yang sama tidak ingin kejahatannya terbongkar yang mengakibatkan terbuktinya dakwaan penuntut umum pada dirinya. Saksi yang diajukan seperti tersebut diatas sering disebut sebagai saksi kunci atau saksi mahkota atau kroongetuige. Saksi kunci atau saksi mahkota atau kroongetuige tidak didefinisikan secara jelas dalam KUHAP.Dalam alasan pemohon kasasi (kejaksaan) Putusan
88 M.Karjadi dan R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dengan Penjelasan Resmi Dan Komentar (Serta Peraturan Pemerintah R.I. No.27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaannya) , Bogor, Politeia, 1994, h.125.
Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
49
Mahkamah AgungNo. 2437 K/Pid.Sus/2011saksi mahkota didefinisikan sebagai berikut: Walaupun tidak diberikan suatu definisi otentik dalam KUHAP mengenai Saksi mahkota (kroongetuide), namun berdasarkan perspektif empirik maka Saksi mahkota didefinisikan sebagai Saksi yang berasal atau diambil dari salah seorang tersangka atau Terdakwa lainnya yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana, dan dalam hal mana kepada Saksi tersebut diberikan mahkota. Adapun mahkota yang diberikan kepada Saksi yang berstatus Terdakwa tersebut adalah dalam bentuk ditiadakan penuntutan terhadap perkaranya atau diberikannya suatu tuntutan yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke Pengadilan atau dimaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan. Menurut Prof. DR. Loebby Loqman, S.H., M.H., dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Saksi mahkota adalah kesaksian sesama Terdakwa, yang biasanya terjadi dalam peristiwa penyertaan.
Saksi kunci atau saksi mahkota atau kroongetuigetidak diatur secara tegas dalam perundang-undangan Indonesia.Sehingga terjadi pertentangan di dunia praktiknya.Menurutmantan Hakim Agung RI, Adi Andojo Soetjipto yang dalam bukunya “Menyongsong dan Tunaikan Tugas Negara Sampai Akhir: Sebuah Memoar” (hal. 167) menyatakan bahwa cara pembuktian dengan menggunakan saksi mahkota (kroongetuige) tidaklah dibenarkan dan dilarang menurut Ilmu Pengetahuan Hukum.
Tentangan mengenai penggunaan saksi mahkota ini juga ditemui dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung No.1174 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995 jo No.1592 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995 yang menyatakan bahwa pemeriksaan terhadap saksi mahkota sebaiknya tidak dilakukan karena hal itu bertentangan
Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
50
dengan hukum acara pidana yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip hak asasi manusia.89 Sebaliknya,selain pemisahan berkas perkara,PU berwenang melakuan penggabungan berkas perkara.Penggabungan berkas perkara (Voeging) adalah penggabungan berkas perkara dalam melakukan penuntutan,Penggabungan berkas perkara (Voeging) diatur dalam Pasal 141 KUHAP,yaitu Penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu suratdakwaan, apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas perkara dalam hal: a. beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan kepentinganpemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya; b. beberapa tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan yang lain; c. beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut-paut satu dengan yang lain, akantetapi yang satu dengan yang lain itu ada hubungannya, yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan. Dalam penjelasan Pasal 141 huruf b KUHAP yang dimaksud dengan “tindak pidana yang dianggap mempunyai sangkut paut satu dengan yang lain,apabila tindak pidana tersebut dilakukan: 1. Oleh lebih dari seorang yang bekerja sama dan dilakukan pada saat yang bersamaan; 2. Oleh lebih dari seorang pada saat dan tempat yang berbeda,akan tetapi merupakan pelaksanaan dari permufakatan jahat yang dibuat oleh mereka sebelumnya; 3. Oleh seorang atau lebih dengan maksud mendapatkan alat yang akan digunakan untuk melakukan tindak pidana lain atau menghindarkan diri dari pemidanaan,karena tindak pidana lain. Dapat disimpulkan dari penjelasan Pasal 141 huruf b KUHAP yaitu tindak pidana yang dianggap mempunyai sangkut paut satu dengan yang lain mengacu Ilman Hadi, “Definisi Saksi Mahkota”, www.hukumonline.com , 25 mei 2012 , dikunjungi pada tanggal 13 oktober 2014. 89
Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
51
dalam Pasal 55 dan 56 KUHP.Dalam Pasal 55 KUHP terdapat pembuat (dader) seperti mereka yang melakukan (plegen), menyuruh lakukan (doen plegen), dan turut serta melakukan (made dader), serta menjanjikan atau memberikan sesuatu (uit locking).Selain itu menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, ancaman atau penyesatan atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan dan sengaja menganjurkan perbuatan.Dalam Pasal 56 meliputi membantu melakukan atau pembantuan (medeplichtige), sengaja memberi bantuan pada waktu perbuatan dilakukan,sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan. Mengacu dalam Pasal 141 KUHAP terdapat unsur perbarengan atau concursus (samenloop).Perbarengan atau concursus (samenloop) dibedakan menjadi 3 (tiga) macam.Dalam bukunya, Hari Sasangka,Lily Rosita,S.H.,August Hadiwijono,S.H. menjelaskan 3 (tiga) macam perbarengan atau concursus (samenloop) yaitu : 1. Endaadse samenloop/concursus idealis/perbarengan peraturan. Yaitu dalam hal seseorang melakukan satu perbuatan, tetapi dengan melakukan perbuatan tersebut, orang tersebut telah melanggar beberapa peraturan pidana.Hal ini diatur dalam Pasal 63 KUHP. 2. Meerdaadse samenloop/concursus realis/perbarengan perbuatan Yaitu dalam hal seseorang melakukan beberapa perbuatan-perbuatan yang merupakan perbuatan sendiri-sendiri. Didalam KUHP concursus realis dibedakan dalam: a. Meerdaadse samenloop van misdrijven (perbarengan perbuatan atas kejahatan) yang diatur dalam Pasal 65 dan 66 KUHP. b. Meerdaadse samenloop van overtredingen (perbarengan perbuatan atas pelanggaran)yang diatur dalam Pasal 70 KUHP. 3. Voorgezette handeling atau perbuatan berlanjut
Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
52
Yaitu dalam hal seseorang melakukan beberapa perbuatan dan beberapa perbuatan itu merupakan perbuatan pidana yang masingmasing berdiri sendiri-sendiri,akan tetapi perbuatan-pebuatan tersebut ada hubungannya sedemikian rupa eratnya yang satu dengan yang lain,sehingga beberapa perbuatan tersebut harus dianggap sebagai satu berbuatan berlanjut.Hal ini diatur dalam Pasal 64 KUHP.90 Menurut komentar Pasal 141 KUHAP yang di tulis M.Karjadi (Komisaris Besar Polisi pnw) dan R.Soesilo (Ajun Komisaris Besar Polisi pnw,Bekas Dosen AKABRI Bag. Kepolisian Sukabumi) menyatakan penuntut umum menurut bunyi pasal ini dapat mengadakan penggabungan beberapa berkas perkara menjadi satu surat dakwaan apabila dalam waktu yang sama atau hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas perkara tentang beberapa tindak pidana yang sama atau yang bersangkut paut satu dengan yang lain, atau yang tidak,bersangkut-paut satu dengan yang lain akan tetapi yang satu dengan yang lain itu ada hubungannya,sedangkan penggabungan itu perlu untuk kelancaran pemeriksaan.91 Menurut Memorie van Toelichating (MvT) voorgezette handeling menurut J.M. van Bummelen (Hermien Hadijati Koeswadji dan Woerjaningsih 1977:18) harus memenuhi 3 (tiga) syarat yaitu: 1. Beberapa perbutan yang dilakukan seseorang itu harus timbul dari satu kehendak yang terlarang; 2. Diantara perbuatan-perbuatan yang dilakukan itu tidak boleh melampaui jangka waktu yang lama; 3. Beberapa perbuatan yang dilakukan oleh seseorang itu harus sama jenisnya. Menurut
Prof.
Simon
(Hermien
Hadijati
Koeswadji
dan
Woerjaningsih 1977:18) menentang penjelasan MvT ini,karena menurut Simons 90 91
Skripsi
Hari Sasangka, Lily Rosita dan August Hadiwijono, Op. cit, h.118-119. M.Karjadi dan R.Soesilo, Loc. cit.
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
53
syarat yang ketiga adalah tidak tepat,menurut dia tidak perlu merupakan perbuatan yang sejenis,sebab menurut simons,mungkin ada seseorang melakukan beberapa perbuatan dan juga perbuatan-perbuatan itu timbul dari satu kehendak yang terlarang dan masing-masing merupakan delik dan juga dilakukannya tidak dalam waktu yang lama,namun perbuatan itu tidak sejenis. Menurut Hari Sasangka,Lily Rosita,S.H.,August Hadiwijono,S.H. dalam bukunya pun menjelaskan syarat-syarat umum untuk dilakukan penggabungan penuntutan adalah : 1. Ada dua atau lebih tindak pidana sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang dilakukan; 2. Bahwa dua atau lebih tindak pidana tersebut dilakukan oleh satu orang,atau lebih dalam hal penyertaan; 3. Bahwa dua atau lebih tindak pidana tersebut belum ada yang diadili dan penuntut umum berkeinginan untuk diadili sekaligus.92 Penggabungan berkas perkara (voeging) dilakukan sesuai dengan asas cepat,sederhana dan biaya ringan yang mana merujuk pada Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Didalam Undang-Undang No.16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia tidak tersirat secara tegas wewenang Penuntut Umum (PU) dalam melakukan pemisahan berkas perkara (splitsing) maupun penggabungan berkas perkara (voeging).Wewenang Penuntut Umum (PU) secara garis besar terlihat dalam Pasal 1 huruf 2 Undang-Undang No.16 Tahun 2004 yang mana “penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.” 92
Skripsi
Hari Sasangka,Lily Rosita dan August Hadiwijono, Op. cit, h.120.
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
54
Terlihat secara lebih rinci dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 yang berisikan Tugas Dan Wewenang Kejaksaan di bidang pidana.Yang berisikan: Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang: a. melakukan penuntutan; b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang; e. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. Selain itu menurut Pasal 32 Undang-Undang No.16 Tahun 2004 menyebutkan “Di samping tugas dan wewenang tersebut dalam UndangUndang ini, kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang.”Sehingga kewenangan Penuntut Umum (PU) dapat merujuk pada kewenangan yang diatur dalam Undang-Undang lain.Dalam hal ini UndangUndang No. 16 Tahun 2004 bersifat terbuka yang mana dapat melihat ketentuanketentuan dari undang-undang lain apabila Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 sendiri tidak mengatur.Sehingga KUHAP lah yang lebih mengatur secara jelas kewenangan Penuntut Umum (PU) dalam melakukan pemisahan berkas perkara (splitsing) maupun penggabungan berkas perkara (voeging). 2.6. Fungsi Pemisahan Berkas Pekara (Splitsing) yang Dilakukan Oleh Penuntut Umum Beserta Akibatnya
Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
55
Pemisahan berkas perkara ( Splitsing ) yang diberikan kewenangan kepada Penuntut Umum (PU) berdasarkan Pasal 142 KUHAP dilakukan dalam hal kasuskasus pidana yang tidak memiliki alat bukti yang cukup dalam proses pembuktian.Terdapat beberapa pelaku yang melakukan satu perbuatan tindak pidana maupun beberapa tindak pidana yang saling berhubungan. Pemisahan berkas perkara (Splitsing) dilakukan oleh penuntut umum dengan cara membuat berkas perkara baru. Dalam hal ini para tersangka dapat menjadi saksi dalam pemeriksaan tersangka lain dalam suatu tindak pidana, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan baru baik terhadap saksi maupun tersangka. Hal ini dilakukan untuk menguatkan dakwaan penuntut umum. Dalam praktiknya seringkali suatu berkas hanya perlu digandakan dan sebagaian tersangka dijadikan saksi terhadap tersangka lainnya. Tersangka tersebut harus diperiksa lagi bukan sebagai tersangka tapi sebagai saksi bagi tersangka lainnya. Dalam memecahkan berkas perkara (Splitsing) merupakan kebijaksanaan penuntutan yang dilakukan penuntut umum berdasarkan kepada kepentingan pemeriksaan semata-mata.Sehingga fungsi dari pemisahan berkas perkara (Splitsing) adalah memunculkan saksi sebagai terdakwa kepada terdakwa lainnya dalam satu tindak pidana atau beberapa tindak pidana yang saling berhubungan dengan tujuan dapat membuka bukti-bukti di muka persidangan.Dalam hal ini,alat bukti pun kurang sehingga dengan pemisahan berkas perkara (Splitsing) dapat memunculkan alat bukti baru dikarenakan hanya saksi sebagai terdakwa lah yang mengetahui tindak pidana tersebut.
Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
56
Akibat dari pemisahan berkas perkara (Splitsing) adalah dilakukan kembali pemeriksaan baru baik terhadap saksi maupun tersangka. Hal ini dilakukan untuk menguatkan dakwaan penuntut umum.Pemeriksaan dimulai kembali dari proses pemeriksaan saksi-saksi pada proses penyelidikan hingga putusan akhir.Hal tersebut dikarenakan para saksi dalam berkas satu tidak dapat disamakan dengan berkas yang lain.Sehingga dalam pemisahan berkas perkara (Splitsing) dapat memunculkan beberapa berkas perkara dan beberapa proses persidangan. 2.7. Masalah-Masalah Penerapan Pemisahan Berkas Perkara (Splitsing) Penerapan Pemisahan berkas perkara (Splitsing) akan menimbulkan beberapa permasalahan salah satunya adalah permasalahan penerapan hukum yang dilakukan oleh para penegak hukum.Hakim seringkali bebeda pandangan dalam hal melihat peran dari masing-masing terdakwa.Pandangan hakim seringkali berbeda dalam menerapkan hukum dan memutus beberapa perkara pidana yang di Splitsing. Selain itu pun seolah-olah peran dari para pelaku pun menjadi kabur.Unsur-unsur deelnemingnya bahkan akan menjadi tidak jelas apabila salah memandang peran para pelaku.Padahal jika mengacu pada ketentuan Pasal 142 KUHAP, pemisahan perkara itu harus terdiri dari beberapa tindak pidana yang berbeda. Namun dilakukan oleh beberapa orang dalam waktu yang sama. Apalagi, biasanya ada terdakwa baru dalam kasus yang sama diajukan ke pengadilan setelah ada putusan dengan terdakwa lain. Otomatis terdakwa baru itu pasti dihukum. Sebab dalam putusan itu, terdakwa lama sudah dinyatakan melakukan tindak pidana bersama-sama dengan terdakwa baru.
Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
57
Menurut ahli hukum acara pidana, Chairul Huda splitsing di Pengadilan Tipikor tidak tepat. Bahkan bisa menutup siapa pelaku utamanya, tegasnya. Sebab pemisahan perkara menyebabkan unsur penyertaan tidak terbukti. Pasalnya, penentuan siapa pelaku (pleger) dan medepleger (turut serta) tidak jelas. Padahal, unsur penyertaan itu harus dibuktikan karena itu merupakan unsur delik. Jika tidak dibuktikan, berarti unsur dakwaan tidak terbukti.93 Hal senada juga disampaikan oleh Rudy Satrio, ahli hukum pidana Universitas Indonesia. Ia menjelaskan splitsing dapat menyulitkan jaksa dalam membuktikan hubungan pelaku satu dengan pelaku lainnya. Pasalnya, dalam tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang otomatis diperlukan pembuktian antara pelaku. Kalau perkaranya di-split bagaimana bisa mengetahui hubungan antar pelaku, terangnya. Akibat penentuan kualitas deelneming (penyertaan) yang tidak jelas mengakibatkan perbedaan penerapan hukum. Padahal tidak mungkin terbukti unsur penyertaan jika tindak pidana yang dilakukan berbeda.94 Chairul menerangkan semua atau salah satu unsur yang ada dalam dakwaan harus dilaksanakan secara bersama-sama. Kalau dia didakwa sendiri bagaimana membuktikan bersama-samanya, tandasnya. Terdakwa tunggal itu tidak mungkin terbukti melakukan tindak pidana bersama-sama orang lain. Inkonsitensi penerapan pasal menunjukan adanya dua delik yang berbeda. Padahal
93 Mon Ali, Splitsing Memungkinkan Pelanggaran Azas Hukum, www.hukumonline.com, 19 November 2007, h.1, dikunjungi pada tanggal 13 Januari 2015. 94 Ibid.
Skripsi
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
58
didakwa melakukan deelneming. Menunjukan ketidaktepatan dalam menerapkan pasal, terangnya.95 Dalam sub bab ini telah dijabarkan pemisahan dan penggabungan berkas perkara oleh Penuntut Umum(PU).Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa Penuntut Umum (PU) berwenang dalam melakukan pemisahan dan penggabungan berkas perkara yang diatur dalam Pasal 141 dan 142 KUHAP.Dalam praktiknya Penuntut Umum dapat melakukan pemisahan dan penggabungan berkas perkara demi kelancaran pemeriksaan dalam persidangan. Dalam melakukan pemisahan berkas perkara (Splitsing) merupakan kebijaksanaan penuntutan yang dilakukan penuntut umum berdasarkan kepada kepentingan pemeriksaan semata-mata.Didalam Undang-Undang No.16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia tidak tersirat secara tegas wewenang Penuntut
Umum
(PU)
dalam
melakukan
pemisahan
berkas
perkara
(Splitsing).Namun sesuai dengan Pasal 32 Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 yang mana di samping tugas dan wewenang tersebut dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang.
95
Skripsi
Ibid.
PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF
FADLI SATRIANTO