BAB II Pertimbangan Hukum Penuntut Umum memilih Bentuk Dakwaan Alternatif Dalam Perkara Tindak Pidana Kesusilaan Terhadap Anak (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor 27/Pid.Sus/2013)
A. Tinjauan Pustaka 1. Tugas dan Wewenang Jaksa Menurut Undang-Undang Kejaksaan dan KUHAP a. Tugas dan Wewenang Jaksa Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia Dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 Pasal 1 angka (1) dijelaskan pengertian jaksa sebagai berikut: “Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undangundang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang”.
Maksud dari Jabatan fungsional dapat dilihat dalam Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 : “Jabatan Fungsional Jaksa adalah jabatan yang bersifat keahlian teknis dalam organisasi kejaksaan yang karena fungsinya memungkinkan kelancaran pelaksanaan tugas kejaksaan.”
Di dalam Pasal 30 ayat 1 undang-undang nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dijelaskan tugas dan wewenang dari kejaksaan antara lain adalah : Dalam bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang : 1). Melakukan penuntutan;
2). Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; 3). Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; 4). Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang; 5). Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. Sedangkan yang dimaksud Jaksa didalam KUHAP terdapat dalam Pasal 1 angka (6) huruf a adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Maka Yang menjadi tugas jaksa adalah, sebagai berikut : 1). Sebagai penuntut umum 2). Pelaksana putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (eksekutor) b. Tugas dan Wewenang Penuntut Umum Menurut KUHAP Pasal 1 angka (6) huruf b KUHAP menjelaskan mengenai pengertian tentang penuntut umum sebagai berikut: “Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.”
Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili (Pasal 137 jo. 84 ayat 1 KUHAP).1 Penuntut umum mempunyai wewenang (Pasal 14 KUHAP) sebagai berikut : 1). menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau pembantu penyidik; 2). mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada penyiclikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 Ayat (3) dan
Ayat
(4),
dengan
memberi
petunjuk
dalam
rangka
menyempurnakan penyidikan dari penyidik; 3). memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik; 4). membuat surat dakwaan; 5). melimpahkan perkara ke pengadilan; 6). menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan; 7). melakukan penuntutan;
1
H.M.A Kuffal, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, Penerbit Universitas Muhammadiyah, Malang, 2002, hlm 318
8). menutup perkara demi kepentingan hukum; 9). mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut undang-undang; 10). melaksanakan penetapan hakim. Sedangkan yang menjadi Tugas dan Wewenang Penuntut Umum berdasarkan UU No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan seperti yang tertuang dalam Pasal 1 angka (2) dan (3) adalah melakukan penuntutan dengan melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang serta melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum.
c. Dasar Hukum Pembuatan Surat Dakwaan
Mengenai dasar hukum pembuatan surat dakwaan tidak disebutkan secara tegas di dalam UU No 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan tetapi di jelaskan di dalam KUHAP yaitu, sebagai berikut :
1). Penuntut Umum mempunyai wewenang membuat Surat Dakwaan (Pasal 14 huruf d KUHAP);
2). Penuntut Umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu Tindak Pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke Pengadilan,yang berwenang mengadili (Pasal 137 KUHAP);
3). Pembuatan Surat Dakwaan dilakukan oleh Penuntut Umum bila ia berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan (Pasal 140 ayat 1 KUHAP).
2. Surat Dakwaan a. Pengertian Surat Dakwaan Pada periode HIR surat dakwaan disebut surat tuduhan atau acte van beschuildiging. Seperti yang ditegaskan pada Pasal 140 ayat (1) KUHAP, diberi nama “surat dakwaan”. Atau dimasa yang lalu surat dakwaan lazim disebut acte van verwijzing, dalam istilah hukum Inggris disebut imputation atau indictmen.2 Definisi tentang surat dakwaan tidak diberikan dalam KUHAP namun mengatakan secara umum dikatakan bahwa Surat dakwaan adalah
Surat
dakwaan adalah surat yang dibuat oleh jaksa penuntut umum atas dasar berkas acar pemeriksaan dari penyidik yang memuat uraian secara cermat, jelas dan lengkap tentang rumusan tindak pidana yang telah dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang. Surat dakwaan tersebut disertai uraian mengenai hubungan antara tindak pidana tersebut dengan suatu peristiwa tertentu dengan cara menguraikan unsur-unsur dari rumusan tindak pidananya dalam
2
M. Yahya harahap, Op.Cit., hlm 386
hubungan dengan peristiwa tertentu yang dijadikan dasar pemeriksaan di sidang pengadilan.3
Beberapa definisi tentang surat dakwaan dari para ahli hukum, antara lain : 1). Harun M. Husein, merumuskan surat dakwaan sebagai berikut , “Surat Dakwaan ialah suatu surat yang diberi tanggal dan ditandatangani oleh penuntut umu, yang memuat uraian tentang identitas lengkap terdakwa, perumusan tindak pidana yang didakwakan yang dipadukan dengan unsurunsur tindak pidana sebagaimana dirumuskan dalam.ketentuan pidana yang bersangkutan, disertai uraian tentang waktu dan tempat tindak pidana dilakukan oleh terdakwa. Surat mana menjadi dasar dan batas ruang lingkup pemeriksaan di sidang pengadilan.”4 2). Yahya Harahap, menyatakan bahwa pada umumnya surat dakwaan diartikan oleh para ahli ilmu hukum berupa pengertian: surat/akte yang memuat perumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa, perumusan mana ditarik dan disimpulkan dari hasil pemeriksaan penyidikan dihubungkan dengan rumusan pasal tindak pidana yang dilanggar dan didakwakan pada terdakwa, dan surat dakwaan tersebutlah yang menjadi dasar pemeriksaan bagi hakim dalam sidang pengadilan.5 3). A.Soetomo, merumuskan surat dakwaan sebagai berikut, surat dakwaan adalah surat yang dibuat atau disiapkan oleh penuntut umum yang dilampirkan pada waktu melimpahkan berkas perkara kepengadilan yang memuat nama dan identitas pelaku perbuatan pidana, kapan dan dimana perbuatan dilakukan serta uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai perbuatan tersebut yang didakwakan telah dilakukan oleh terdakwa yang memenuhi unsur-unsur pasal-pasal tertentu dari undangundang yang tertentu pula yang nantinya merupakan dasar dan titik tolak pemeriksaan terdakwa di sidang pengadilan untuk dibuktikan apakah benar perbuatan yang didakwakan itu betul dilakukan dan apakah betul
3
Adami Chazawi, Kemahiran Praktik Hukum Pidana, Laboratorium Hukum FH-UB, Malang, 2005, hlm 26 4 Harun M Husein, Surat Dakwaan( teknik penyusunan,fungsi, dan permasalahanya), PT Rineka Cipta,Jakarta, 2005, hlm 44 5
M. Yahya Harahap, Op. Cit.,hlm 387
terdakwa adalah pelakunya yang dapat dipertanggung jawabkan untuk perbuatan tersebut.6 Berdasarkan dua pengertian dari ahli hukum tersebut dapat disimpulkan, pengertian surat dakwaan adalah: a) Surat dakwaan merupakan akta. Suatu akta harus mencamtumkan tanggal pembuatan dan tanda tangan pembuatnya. Apabila suatu akta tidak memiliki dua hal tersebut, maka tidak memiliki kekuatan akta, meskipun secara umum dapat dikatakan sebagai surat. b) Adanya perumusan tindak pidana yang didakwakan beserta waktu dan tempat dilakukannya tindak pidana. c) Dalam merumuskan tindak pidana yang didakwakan terhadap terdakwa, haruslah dilakukan secara cermat, jelas dan lengkap, sebagaimana disyaratkan dalam ketentuan peraturan perundangundangan. d) Surat dakwaan merupakan dasar pemeriksaan perkara di sidang pengadilan.7
b. Syarat-syarat Surat Dakwaan Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam menyusun surat dakwaan dapat dilihat pada Pasal 143 ayat 2 KUHAP. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut: 1). Syarat Formal a). Surat dakwaan diberi tanggal dan ditandatangani oleh penuntut umum/jaksa
6
7
Harun M Husein, Loc.Cit. https://yeremiaindonesia.wordpress.com/tag/pengertian-dakwaan/
b). Nama lengkap, tempat tanggal lahir, umur, atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka 2). Syarat Materiil Uraian cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakandengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana dilakukan (tempus delicti dan locus delicti)8 Dalam KUHAP tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan uraian secara cermat, jelas, dan lengkap. Tetapi diperoleh penjelasan yang dikemukakan oleh Harun M. Husein sebagai berikut : Cermat : Yang dimaksudkan adalah ketelitian Jaksa Penuntut Umum mempersiapkan surat dakwaan yang didasarkan kepada Undang-Undang yang berlaku bagi terdakwa serta tidak terdapat kekurangan dan atau kekeliruan yang akan mengakibatkan batalnya surat dakwaan atau tidak dapat dibuktikan. Pada pokoknya kepada penuntut umum dituntut untuk bersikap teliti dan waspada dalam semua hal yang berhubungan dengan keberhasilan penuntutan dimuka sidang.
Jelas : Yang dimaksudkan adalah jaksa penuntut umum harus mampu merumuskan unsur-unsur delik yang didakwakan sekaligus memadukan dengan uraian perbuatan materiil (fakta) yang dilakukan oleh terdakwa dalam surat dakwaan. Lengkap : Yang dimaksudkan dengan lengkap uraian surat dakwaan harus mencakup semua unsur-unsur yang ditentukan Undang Undang secara lengkap. Jangan sampai terjadi ada unsur delik yang tidak dirumuskan secara lengkap atau tidak diuraikan perbuatan materiilnya secara tegas dalam
8
M. Yahya harahap, Op. Cit.,hlm 391
dakwaan, sehingga berakibat perbuatan itu bukan merupakan tindak pidana menurut Undang- undang.9 Dengan demikian dapat diformulasikan bahwa syarat formil adalah syarat yang berkenaan dengan formalitas pembuatan Surat Dakwaan, sedang syarat materiil adalah syarat yang berkenaan dengan materi/substansi Surat Dakwaan.Untuk
keabsahan Surat Dakwaan, kedua syarat tersebut harus
dipenuhi. Tidak terpenuhinya syarat formil dan syarat materiil mengandung konsekwensi yuridis sebagai berikut : a) Tidak terpenuhinya syarat formil Konsekwensi yuridisnya yaitu maka surat dakwaan penuntut umum dapat dibatalkan (vernietegbaar). Dengan kata dibatalkan, bukan berarti harus dibatalkan melainkan jika para pihak (terdakwa atau penasehat hukumnya dan penuntut umum) menyetujui maka kesalahan yang bersifat formil tersebut dapat diperbaiki dalam persidangan oleh hakim, karena tidak menimbulkan suatu akibat hukumyang dapat merugikan terdakwa. b) Tidak terpenuhinya syarat materiil Konsekwensi yuridisnya yaitu surat dakwaan penuntut umum Batal Demi Hukum (Van rechtwege nietig atau “null and void”) hal ini diatur dalam Pasal 143 ayat 3 KUHP.10
9
M. Haryanto, Op.Cit., hlm 66-67
10
Ibid., hlm 67-68
c. Fungsi Surat Dakwaan Surat Dakwaan menempati posisi sentral dan strategis dalam pemeriksaan perkara pidana dipengadilan, karena itu Surat Dakwaan sangat dominan bagi keberhasilan pelaksanaan tugas penuntutan. Tujuan utama surat dakwaan adalah bahwa undang-undang ingin melihat ditetapkannya alasan-alasan yang menjadi dasar tuntutan tindak pidana yang telah dilakukan itu harus dicantumkan dengan sebaik-baiknya. Terdakwa dipersalahkan karena telah melanggar suatu aturan hukum pidana, pada suatu saat dan tempat tertentu serta dinyatakan pula keadaan-keadaan sewaktu melakukan tindak pidana.Menyebutkan waktu (tempus) dan tempat (locus delicti) serta keadaan menunjukan kepada dakwaan terhadap peristiwaperistiwa
dan
perbuatan-perbuatan
tertentu,
yang
dispesialisasi
dan
diinduvidualisasi.11 Ditinjau dari berbagai kepentingan yang berkaitan dengan pemeriksaan perkara pidana, maka fungsi Surat Dakwaan dapat dikategorikan : 1). Bagi Pengadilan atau Hakim, Surat Dakwaan merupakan dasar dan sekaligus membatasi ruang lingkup pemeriksaan, dasar pertimbangan dalam penjatuhan keputusan; 2). Bagi Penutut Umum, Surat Dakwaan merupakan dasar pembuktian atau analisis yuridis, tuntutan pidana dan penggunaan upaya hukum;
11
Martiman Prodjohamidjojo, Teori dan Teknik Membuat Surat Dakwaan, Ghalia Indonesia, Bogor, 2002, hlm 32
3). Bagi terdakwa atau Penasehat Hukum, Surat Dakwaan merupakan dasar untuk mempersiapkan pembelaan.12 d. Bentuk Surat Dakwaan Mengenai bentuk dan susunan surat dakwaan tidak ada pengaturan didalam undang-undang baik dalam KUHAP maupun PP No.27 tahun 1983, tetapi dalam kenyataannya ditemukan berbagai bentuk surat dakwaan yang dapat dipilih oleh penuntut umum.13Bentuk surat dakwaan berkembang didalam praktek sehari-hari. Dikenal beberapa macam bentuk dakwaan, yaitu : 1). Surat Dakwaan Tunggal Surat dakwaan hanya berisi satu saja dakwaan, umumnya perumusan dakwaan tunggal dijumpai dalam tindak pidana yang jelas serta tidak mengandung faktor-faktor penyertaan (mededaderschap) atau faktor concursus maupun faktor alternatif atau faktor subsidair. Jadi surat dakwaan ini disusun secara tunggal jika seorang atau lebih terdakwa melakukan hanya satu perbuatan pidana saja. Penyusunan dakwaan tunggal merupakan penyusunan surat dakwaan teringan jika dibandingkan dengan penyusunan surat dakwaan lainnya,
12
Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor 004/J.A/11/1993 tentang Pembuatan Surat Dakwaan 13 M. Haryanto. Op. Cit., hlm 67
karena penuntut umum hanya memfokuskan pada sebuah permasalahan saja.14 2). Surat Dakwaan alternative Dalam menyususn surat dakwaan secara alternative, dibuatkan beberapa dakwaan, tetapi perbuatannya hanya satu saja. Biasanya dakwaan ini dibuat jika penuntut umum ragu-ragu menerapkan pasal mana dari perbuatan yang dilakukan terdakwa paling tepat atas kesalahannya.Dalam dakwaan alternative ini masing-masing dakwaan bersifat saling mengecualikan. Hakim akan memilih
salah
satu
dakwaan
yang
didakwakan
terbukti
menurut
keyakinannya. Oleh karena itu dakwaan alternative disebut juga dakwaan pilihan (keuze telastelgging). Tujuan yang hendak dicapai bentuk surat dakwaan alternative :15 a).
Untuk
menghindari
pelaku
terlepas
atau
terbebas
dari
pertanggungjawaban hukum pidana (crime liability) b). Memberi pilihan kepada hakim menerapkan hukum yang lebih tepat 3). Surat Dakwaan Subsidair Bentuk surat dakwaan subsidair bentuk dakwaan yang terdiri dari dua atau beberapa dakwaan yang disusun dan dijejerkan secara berurutan, mulai dari dakwaan tindak pidana “yang terberat” sampai kepada dakwaan tindak pidana 14
15
A. Hamzah dan Irdan Dahlan. Surat Dakwaan, Loc.Cit. M. Yahya Harahap. Op.Cit., hlm 400
“yang teringan”.Ciri utama dari dakwaan ini adalah disusun secara berlapislapis yaitu di mulai dari dakwaan terberat sampai yang ringan, berupa susunan secara primer, subsider, lebih subsider, lebih-lebih subsider dan seterusnya atau dapat pula disusun dengan istilah terutama, penggantinya, penggantinya lagi dan seterusnya. Ditinjau dari teori dan praktek bentuk dakwaan subsidair diajukan, apabila peristiwa tindak pidana yang terjadi : a). Menimbulkan suatu akibat, b). Akibat yang timbul itu meliputi atau bertitik singgung dengan beberapa ketentuan pasal pidana yang hamper saling berdekatan cara melakukan tindak pidana tersebut.16 4). Surat Dakwaan Kumulatif Bentuk surat dakwaan kumulatif disebut juga dakwaan yang berbentuk multiple, yakni surat dakwaan yang disusun berupa rangkaian dari “beberapa dakwaan”
atas
kejahatan
atau
pelanggaran.
Atau
ada
mengartikannya “gabungan” dari beberapa dakwaan sekaligus. Bentuk surat dakwaan ini akan dipilih oleh penuntut umum jika :17 a). Terjadi penyertaan atau mededaderschap
16
Ibid., hlm 402
17
M. Haryanto, Op.Cit., hlm 71
juga
yang
b). Terjadi perbarengan tindak pidana atau concursus c). Terjadi perbuatan berlanjut atau vorgezette Handelling Semua dakwaan ini harus dibuktikan oleh penuntut umum, dakwaan yang dapat dibuktikan digunakan sebagai dasar menjatuhkan pidana kepada terdakwa, sedang terdakwa harus dibebaskan. Sebagai tanda bahwa surat dakwaan tersebut berbentuk kumulatif, maka antara dakwaan pertama kedakwaan selanjutnya dipisahkan atau disambung dengan menggunakan kata “DAN”. 5). Surat Dakwaan Kombinasi Dalam dakwaan kombinasi atau gabungan ini terdapat beberapa dakwaan yang merupakan gabungan dari dakwaan yang bersifat alternative maupun dakwaan yang berisifat subsidair.Dakwaan bentuk ini dipergunakan dalam hal terjadinya kumulasi dari pada tindak pidana yang didakwakan. Pembuktian dakwaan kombinasi ini dilakukan terhadap setiap lapisan dakwaan,
jadi
setiap
dakwaan
harus
ada
tindak
pidana
yang
dibuktikan.pembuktian pada masing-masing lapisan dakwaan tersebut dilaksanakan sesuai dengan bentuk lapisannya. pembuktian dakwaan ini tidak semudah pembuktian dakwaan dalam bentuk-bentuk lainnya, karena bentuk dakwaan ini erat kaitannya dengan bentuk tindak pidana yang disebut concursus maupun dengan deelneming.
e. Teknik Pembuatan Surat Dakwaan Sebelum kepada teknik pembuatan surat dakwaan terdapat proses prapenuntutan dimana sebelum menyusun surat dakwaan Penuntut Umum mempelajari berkas perkara dari penyidik. Dimana dalam kasus ini adalah kasus tindak pidana kesusilaan terhadap anak maka Penuntut Umum memperhatikan Surat Edaran Jaksa Agung RI. Nomor : SE 02/JA/6/1989 tanggal 10 Juli 1989 tentang Penuntutan Terhadap Anak. Surat Edaran Jaksa Agung RI. Nomor : SE 02/JA/6/1989 tanggal 10 Juli 1989 tentang Penuntutan Terhadap Anak sebagai berikut : 1 Prapenuntutan a. Segera setelah menerima SPDP agar diperhatikan usia dari tersangka. b. Apabila usia tersangka masih di bawah 16 tahun segera pastikan kepada penyidik tentang usia tersangka dengan mencari bukti bukti authentik seperti akte kelahiran atau akte kenal lahir, data di Sekolah, Kelurahan dan lain lain. c. Setelah usia tersangka dapat diketahui secara pasti berdasarkan alat bukti yang syah maka dilakukan kegiatan sebagai berikut : 1) Melaporkan secara hirarchis tentang identitas tersangka, kasus posisi, ketentuan yang dilanggar dan hal hal yang dipandang perlu. 2) Apabila tersangka belum berumur 10 tahun pada saat melakukan perbuatan tersebut agar Jaksa Peneliti (calon Penuntutan Umum) melakukan pendekatan kepada penyidik untuk tidak melanjutkan penyidikan tetapi cukup diberikan bimbingan/penerangan secara bijaksana kepada tersangka maupun kepada orangtua/walinya sehingga perkaranya tidak perlu dikirimkan ke Kejaksaan (SE 02/JA/6/1989). 3) Apabila tersangka ditahan, hendaknya disarankan supaya segera dibebaskan melalui Prosedur penangguhan/pengalihan penahanan. sedangkan kalau masih dipandang perlu Untuk melakukan penahanan, disarankan agar tempat penahanan pada Rutan/lembaga tidak disatukan dengan tahanan dewasa.
d. Mengikuti secara aktif setiap perkembangan penyidikan untuk menghindari penyelesaian yang berlarut larut. e. Dalam penyerahan tahap pertama agar disamping meneliti syarat formal dan materiil juga disarankan memeriksa hasil penelitian Prayuwana (Bispa) setempat. f. Pendapat Prayuwana (Bispa) benar benar diperhatikan dan dimanfaatkan dalam penyelesaian perkara. g. Apabila tersangka anak dibawah umur tersebut melakukan tindak pidana bersama sama dengan orang dewasa agar penuntutan terhadap masing masing terdakwa dilakukan secara terpisah (pasal 142 KUHAP). h. Dalam penyerahan tahap kedua supaya Jaksa benarbenar meneliti dan mempertimbangkan kesehatan, masa depan anak dan penggunaan kewenangan untuk menahan atau tidak menahan tersangka anak dibawah umur. 2. Penuntutan a. Perkara yang tersangkanya anak dibawah umur supaya diprioritaskan penyelesaiannya. b. Tata tertib sidang anak dibawah umur harus sesuai dengan Peraturan Menteri Kehakiman Nomor : M06-UM.01 06 tahun 1983 tentang Tata Tertib Persidangan dan Tata Ruang sidang c. Tuntutan terhadap anak dibawah umur dilakukan sebagai berikut: 1) Apabila terdakwa anak dibawah umur tersebut tidak ditahan, supaya mengajukan tuntutan agar anak tersebut dikembalikan kepada orangtua/ wall untuk dididik dan kalau orang tua/wali menolak hendaknya dituntut untuk diserahkan kepada pemerintah sebagai anak negara atau diserahkan kepada organisasi/suatu badan tertentu untuk mendapat pendidikan sebagaimana mestinya tanpa, pidana apapun (pasal 45 dan pasal 46 KUHP) atau 2) Dalam hal tersangka ditahan, agar Jaksa Penuntut Umum menuntut pidana penjara minimum sama dengan masa selama dalam tahanan atau 3) Dalam hal Jaksa Penuntut Umum memandang perlu menuntut pidana penjara, agar mempedomani Surat Edam Jaksa Agung R 1. Nomor :SE001/JA/4/1995 tentang pedoman Tuntutan Pidana
Untuk menyusun surat dakwaan terdapat teknik pembuatan Surat Dakwaan berkenaan dengan pemilihan bentuk Surat Dakwaan dan redaksi yang dipergunakan dalam merumuskan Tindak Pidana yang didakwakan berdasarkan Surat Edaran Jaksa Agung No SE-004/J.A/11/1993 mengenai pembuatan surat dakwaan, yaitu : Surat
Edaran
Jaksa
Agung
Republik
Indonesia
Nomor
004/J.A/11/1993 tentang Pembuatan Surat Dakwaan, sebagai berikut : I. Pendahuluan Menurut hasil eksaminasi perkara terutama perkara-perkara yang diputus bebas atau dilepas dari segala tuntutan hukum dan hasil pembahasan permasalahan Surat Dakwaan dalam Rapat Kerja Kejaksaan Tahun 1993, ternyata kelagaian penuntutan pada umumnya bermula pada kekurangcermatan Jaksa Penuntut Umum dalam pembuatan Surat Dakwaan, dan pada sisi lain membawa konsekuensi berupa timbulnya berbagai kendala dalam upaya pembuktian dakwaan. Jaksa Penuntut Umum perlu menyadari bahwa Surat Dakwaan merupakan mahkota baginya yang harus dijaga dan dipertahankan secara mantap. Mengingat bahwa peranan Surat Dakwaan menempati posisi sentral dalam perneriksaan perkara pidana di Pengadilan dan Surat Dakwaan merupakan dasar sekaligus membatasi ruang lingkup pemeriksaan, dituntut adanyakemampuan/kemahiran Jaksa Penuntut Umurn dalam penyusunan Surat Dakwaan. Menyadari betapa pentingnya peranan Surat Dakwaan, maka kemampuan Jaksa Penuntut Umum dalam menyusun Surat Dakwaan perlu terus ditingkatkan dan sehubungan dengan itu diperlukan bimbingan serta pengendalian agar para Jaksa Penuntut Umum mampu menyusun Surat Dakwaan secara profesional, efektif dan efisien guna mengoptimalkan keberhasilan tugas kejaksaan dibidang penuntutan. II. Fungsi Surat Dakwaan Surat Dakwaan menempati posisi sentral dan strategis dalam pemeriksaan perkara pidana di Pengadilan, karena itu Surat Dakwaan sangat dominan bagi keberhasilan pelaksanaan tugas penuntutan. Ditinjau dari berbagai kepentingan yang berkaitan dengan pemeriksaan perkara pidana, maka fungsi Surat Dakwaan dapat dikategorikan :
a. Bagi Pengadilan/Hakim, Surat Dakwaan merupakan dasar dan sekaligus membatasi ruang lingkup pemeriksaan, dasar pertimbangan dalam penjatuhan keputusan; b. Bagi Penutut Umum, Surat Dakwaan merupakan dasar pembuktian/analisis yuridis, tuntutan pidana dan penggunaan upaya hukum; c. Bagi terdakwa/Penasehat Hukum, Surat Dakwaan merupakan dasar untuk mempersiapkan pembelaan. III. Dasar Pembuatan Surat Dakwaan 1. Penuntut Umum mempunyai wewenang membuat Surat Dakwaan (pasal 14 huruf d KUHAP); 2. Penuntut Umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu Tindak Pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke Pengadilan,yang berwenang mengadili (pasal 137 KUHAP); 3. Pembuatan Surat Dakwaan dilakukan oleh Penuntut Umum bila iaberpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan (pasal 140 ayat 1 KUHAP). Surat Dakwaan merupakan penataan konstruksi yuridis atas fakta-fakta perbuatan terdakwa yang terungkap sebagai hasil penyidikan dengan cara merangkai perpaduan antara fakta-fakta perbuatan tersebut dengan unsurunsur Tindak Pidana sesuai ketentuan Undang-Undang Pidana yang bersangkutan. III. Syarat-syarat Surat Dakwaan Pasal 143 (2) KUHAP menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pembuatan Surat Dakwaan, yakni syarat-syarat yang berkenaan dengan tanggal, tanda tangan Penuntut Umum dan identitas lengkap terdakwa.Syarat-syarat dimaksud dalam praktek disebut sebagai syarat formil. Sesuai ketentuan pasal 143 (2) huruf a KUHAP, syarat formil meliputi : a. Surat Dakwaan harus dibubuhi tanggal dan tanda tangan Penuntut Umum pernbuat Surat Dakwaan; b. Surat Dakwaan harus memuat secara lengkap identitas terdakwa yang meliputi : nama lengkap, tempat lahir, umur/tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan.
Disamping syarat formil tersebut ditetapkan pula bahwa Surat Dakwaan harus memuat uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai Tindak Pidana yang didakwakan dengan menyebutkan tempat dan waktu Tindak Pidana itu dilakukan.Syarat ini dalam praktek tersebut sebagai syarat materiil. Sesuai ketentuan pasal 143 (2) huruf b KUHAP, syarat materiil.meliputi : a. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai Tindak Pidana yang didakwakan; b. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai waktu dan tempat Tindak Pidana itu dilakukan. Uraian secara cermat, berarti menuntut ketelitian Jaksa Penuntut Umum dalam mempersiapkan Surat Dakwaan yang akan diterapkan bagi terdakwa. Dengan menempatkan kata "cermat" paling depan dari rumusan pasal 143 (2) huruf b KUHAP, pembuat Undang-Undang menghendaki agar Jaksa Penuntut Umum dalam membuat Surat Dakwaan selalu bersikap korek dan teliti. Uraian secara jelas, berarti uraian kejadian atau fakta kejadian yang jelas dalam Surat Dakwaan, sehingga terdakwa -dengan mudah memahami apa yang didakwakan terhadap dirinya dan dapat mempersiapkan pembelaan dengan sebaik-baiknya. Uraian secara lengkap, berarti Surat Dakwaan itu memuat semua unsur (elemen) Tindak Pidana yang didakwakan.Unsur-unsur tersebut harus terlukis didalam uraian fakta kejadian yang dituangkan dalam Surat Dakwaan. Secara materiil.suatu Surat Dakwaan dipandang telah memenuhi syarat apabila Surat Dakwaan tersebut telah memberi gambaran secara bulat dan utuh tentang : 1) Tindak Pidana yang dilakukan; 2) Siapa yang melakukan Tindak Pidana tersebut; 3) Dimana Tindak Pidana dilakukan; 4) Bilamana/kapan Tindak Pidana dilakukan; 5) Bagaimana Tindak Pidana tersebut dilakukan; 6) Akibat apa yang ditimbulkan Tindak Pidana tersebut (delik materiil). 7) Apakah yang mendorong terdakwa melakukan Tindak Pidana tersebut (delik-delik tertentu); 8) Ketentuan-ketentuan Pidana yang diterapkan.
Komponen-komponen tersebut secara kasuistik harus disesuaikan dengan jenis Tindak Pidana yang didakwakan (apakah Tindak Pidana tersebut termasuk delik formil atau delik materiii). Dengan demikian dapat diformulasikan bahwa syarat formil adalah syarat yang berkenaan dengan formalitas pembuatan Surat Dakwaan, sedang syarat materiil adalah syarat yang berkenaan dengan materi/substansi Surat Dakwaan.Untuk keabsahan Surat Dakwaan, kedua syarat tersebut harus dipenuhi. Tidak terpenuhinya syarat formil, menyebabkan Surat Dakwaan dapat dibatalkan (vernietigbaar), sedang tidak terpenuhinya syarat materiil.menyebabkan dakwaan batal demi hukum (absolut nietig).
IV. Bentuk Surat Dakwaan Undang-Undang tidak menetapkan bentuk Surat Dakwaan dan adanya berbagai bentuk Surat Dakwaan dikenal dalam perkembangan praktek, sebagai berikut: 1. Tunggal Dalam Surat Dakwaan hanya satu Tindak Pidana saja yang didakwakan, karena tidak terdapat kemungkinan untuk mengajukan alternatif atau dakwaan pengganti lainnya.Misalnya hanya didakwakan Tindak Pidana Pencurian (pasal 362 KUHP). 2. Alternatif Dalam Surat Dakwaan terdapat beberapa dakwaan yang disusun secara berlapis, lapisan yang satu merupakan alternatif dan bersifat mengecualikan dakwaan pada lapisan lainnya.Bentuk dakwaan ini digunakan bila belum didapat kepastian tentang Tindak Pidana mana yang paling tepat dapat dibuktikan. Meskipun dakwaan terdiri dari beberapa lapisan, tetapi hanya satu dakwaan saja yang akan dibuktikan. Pembuktian dakwaan tidak perlu dilakukan secara berurut sesuai lapisan dakwaan, tetapi langsung kepada dakwaan yang dipandang terbukti.Apabila salah satu telah terbukti maka dakwaan pada lapisan lainnya tidak perlu dibuktikan lagi. Misalnya didakwakan Pertama : Pencurian (pasal 362 KUHP), atau Kedua : Penadahan (pasal 480 KUHP).
3. Subsidair. Sama halnya dengan dakwaan alternatif, dakwaan subsider juga terdiri dari beberapa lapisan dakwaan yang disusun secara berlapis dengan maksud lapisan yang satu berfungsi sebagai pengganti lapisan sebelumnya.Sistematik lapisan disusun secara berurut dimulai dari Tindak Pidana yang diancam dengan pidana tertinggi sampai dengan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana terendah. Pembuktiannya dilakukan secara berurut dimulai dari lapisan terates sampai dengan lapisan yang dipandang terbukti.Lapisan yang tidak terbukti harus dinyatakan secara tegas dan dituntut agar terdakwa dibebaskan dari lapisan dakwaan yang bersangkutan. misalnya didakwakan : Primair : Pembunuhan berencana (pasal 340 KUHP), Subsidair : Pembunuhan (pasal 338 KUHP), lebih Subsidair : Penganiayaan yang menyebabkan matinya orang (pasal 351(3)KUHP). 4. Kumulatif. Dalam Surat Dakwaan kumulatif, didakwakan beberapa Tindak Pidana sekaligus, ke semua dakwaan harus dibuktikan satu demi satu.Dakwaan yang tidak terbukti harus dinyatakan secara tigas dan dituntut pembebasan dari dakwaan tersebut.Dakwaan ini dipergunakan dalam hal terdakwa melakukan beberapa Tindak Pidana yang masingmasing merupakan Tindak Pidana yang berdiri sendiri. Misalnya didakwakan : Kesatu : Pembunuhan (pasal 338 KUHP), dan Kedua : Pencurian dengan pernberaten (363 KUHP), dan Ketiga : Perkosaan (pasal 285 KUHP). 5. Kombinasi Disebut dakwaan kombinasi, karena di dalam bentuk ini dikombinasikan/digabungkan antara dakwaan kumulatif dengan dakwaan alternatif atau Subsidair.Timbulnya bentuk ini seiring dengan perkembangan dibidang kriminalitas yang semakin variatif baik dalam bentuk/jenisnya maupun dalam modus operandi yang dipergunakan.
Misalnya didakwakan Kesatu : Primair : Pembunuh berencana (pasal 340 KUHP) Subsidair : Pembunuhan biasa (pasal 338 KUHP); lebih subsidair : Penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang (pasal 351 (3) KUHP); Kedua : Primair : Pencurian dengan pemberatan (pasal 363 KUHP); Subsidair : Pencurian (pasal 362 KUHP), dan Ketiga : Perkosaan (pasal 285 KUHP).
V. Teknik Pembuatan Surat Dakwaan Teknik pembuatan Surat Dakwaan berkenaan dengan pemilihan bentuk Surat Dakwaan dan redaksi yang dipergunakan dalam merumuskan Tindak Pidana yang didakwakan. 1. Pemilihan Bentuk. Bentuk Surat Dakwaan disesuaikan dengan jenis Tindak Pidana yang dilakukan oleh terdakwa.Apabila terdakwa hanya melakukan satu tindak pidana, maka digunakan dakwaan tunggal.Dalam hal terdakwa melakukan satu Tindak Pidana yang menyentuh beberapa perumusan Tindak Pidana dalam UndangUndang dan belum dapat dipastikan tentang kualifikasi dan ketentuan pidana yang dilanggar, dipergunakan dakwaan alternatif atau subsidair.Dalam hal terdakwa melakukan beberapa Tindak Pidana yang masing-masing merupakan Tindak Pidana yang berdiri sendiri-sendiri, dipergunakan bentuk dakwaan kumulatif. 2. Teknis Redaksional Hal ini berkenaan dengan cara merumuskan fakta-fakta dan perbuatan terdakwa yang dipadukan dengan unsur-unsur Tindak Pidana sesuai Perumusan ketentuan pidana yang dilanggar, sehingga nampak dengan jelas bahwa fakta-fakta perbuatan terdakwa memenuhi
segenap unsur Tindak Pidana sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan pidana yang bersangkutan.Perumusan dimaksud harus dilengkapi dengan uraian tentang waktu dan tempat Tindak Pidana dilakukan. Uraian kedua komponen tersebut dilakukan secara sistematis dengan menggunakan bahasa yang sederhana dan kalimat-kallimat efektif
f. Perubahan Surat Dakwaan Surat dakwaan harus disusun secara cermat, jelas, dan lengkap sesuai dengan syarat-syarat menyusun surat dakwaan sesuai Pasal 143 KUHAP. Namun Jaksa Penuntut Umum dapat juga melakukan kesalahan dalam yang menyusun surat dakwaan. Namun penuntut umum dalam hal ini diberi kesempatan
untuk
mengubah
surat
dakwaan
apabila
terjadi
ketidaksempurnaan pada pembuatan surat dakwaan. 1). Dasar Hukum Perubahan Surat Dakwaan Ketentuan mengenai perubahan surat dakwaan diatur dalam Pasal 144 KUHAP seperti berikut : a). Penuntut Umum dapat mengubah surat dakwaan sebelym pengadilan menetapkan hari sidang, baik dengan tujuan untuk menyempurnakan
maupun
untuk
tidak
melanjutkan
penuntutannya b). Pengubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu kali selambat-lambatnya tujuh hari sebelum sidang dimulai c). Dalam hal penuntut umum mengubah surat dakwaan ia menyampaikan tutunannya kepada tersangka atau penasihat hukum dan penyidik.
2). Obyek Perubahan Surat Dakwaan dan Tujuannya Perubahan surat dakwaan meliputi hal-hal sebagai berikut : a). Perubahan dengan maksud untuk menyempurnakan perumusan yang menyangkut syarat-syart formil, contoh : memperbaiki kesalahan dalam merumuskan nama dan identitas lengkap terdakwa b). Perubahan dengan maksud untuk melengkapi uraian yang berhubungan dengan syarat materiil, yaitu uraian tentang tindak pidana yang didakwakan beserta waktu dan tempatnya. c). Perubahan dengan tujuan untuk menyempurnakan redaksi surat dakwaan, maksudnya ialah penyempurnaan pada kalimatkalimat yang memuat uraian syarat formil maupun materiil, agar redaksi surat dakwaan itu menjadi cermat, jelas dan lengkap serta mudah dimengerti oleh terdakwa. d). Perubahan pada bentuk atau sistimatik surat dakwaan, contoh saja surat dakwaan yang semula disusun dalam bentuk alternative diubah menjadi dakwaan berbentuk kumulatif, misalkan dengan pertimbangan kurang tepat bentuk/sistimatik dakwaan dengan corak/ bentuk tindak pidana yang didakwakan. e). Perubahan tersebut tidak boleh mengakibatkan timbulnya perumusan tindak pidana baru yang semula tidak pernah didakwakan.
Dengan
perkataan
lain,
meskipun
terjadi
perubahan perbuatan yang didakwakan harus tetap sama dengan
perbuatan yang semula didakwakan. Perbuatan yang sama disini dalam arti perbuatan yang sama menurut Pasal 76 KUHP.18 Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa maksud dan tujuan perubahan surat dakwaan ialah untuk menyempurnakan surat dakwaan, sehingga surat dakwaan itu terhindar dari kelemahan, kekurangan maupun kesalahan. Serta yang menjadi tujuan paling utama dari perubahan surat dakwaan adalah mencegah terjadinya pembatalan surat dakwaan. Dalam hal surat dakwaan telah dinyatakan batal demi hukum
tujuan perubahan adalah untuk
memperbaiki surat dakwaan agar surat dakwaan tersebut diterima sebagai dasar pemeriksaan sidang setelah perkara itu dilimpahkan kembali ke pengadilan. 3. Tindak Pidana Kesusilaan a. Pengertian Tindak Pidana Kesusilaan terhadap Anak Tindak Pidana Kesusilaan adalah tindak pidana yang berhubungan dengan masalah kesusilaan.Tindak pidana ini merupakan salah satu tindak pidana yang paling sulit dirumuskan.Walaupun demikian ada pula bagian tindak pidana kesusilaan yang bersifat universal. Universal dalam arti seragam bukan saja dalam batas-batas negara, tetapi ke seluruh negara-negara yang beradab. Menurut Oemar sana Adji, delik susila menjadi ketentuan universal apabila : 1) Apabila delik tersebut dilakukan dengan kekerasan 2) Yang menjadi korban adalah orang dibawah umur
18
Harun M. Husein, Op. Cit., hlm 120-121
3) Apabila delik tersebut dilakukan dimuka umum 4) Apabila korban dalam keadaan tidak berdaya dan sebagainya. 5) Terdapat hubungan tertentu antara pelaku dan obyek delik, misalnya guru terhadap muridnya.19 Jadi kesusilaan disini pada umumnya diartikan sebagai rasa kesusilaan yang berkaitan dengan nafsu seksual, karena yurisprudensi memberikan pengertian melanggar kesusilaan sebagai perbuatan yang melanggar rasa malu seksual.20Hal ini tidak pernah dibantah oleh para sarjana. Simon misalnya mengatakan bahwa kriterium eer boarheid (kesusilaan) menuntut bahwa isi dan pertunjukkan mengenai kehidupan seksual dan oleh sifatnya yang tidak senonoh dapat menyinggung rasa malu atau kesusilaan orang lain. Kesusilaan (zedelijkheid) adalah mengenai adat kebiasaan yang baik dalam hubungan antar berbagai anggota masyarakat, tetapi khusus yang sedikit banyak mengenai kelamin (seks) seorang manusia, sedangkan kesopanan (zeden) pada umumnya mengenai adat kebiasaan yang baik. Ketentuan tentang tindak pidana kesusilaan terhadap anak terdapat pada Pasal 81 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Adapun Bunyi dari sebagai berikut : Ayat (1) Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 ( tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
19
http://hukumpidana1.blogspot.com/2012/04/pengertian-tindak-pidana-kesusilaan.html
20
(HR 1 desember 1970, NJ No. 374)
Adapun Unsur-unsur dalam Tindak Pidana Kesusilaan Pasal 81 ayat (1) UndangUndang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yaitu : “setiap orang” adalah menunjukkan subyek atau pelaku atau siapa yang didakwa melakukan tindak pidana yang dimaksud. “ dengan sengaja” adalah sama dengan kesengajaan (dollus) artinya meghendaki terjadinya suatu perbuatan atau tindakan-tindakan beserta akibat-akibatnya “melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan” adalah tindak pidana yang dilakukan dengan cara kekerasan atau ancaman kekerasan untuk melakukan persetubuhan dengannya atau orang lain. “memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain” adalah ada suatu pemaksaan dari pelaku atau orang lain untuk bersetubuh dengan seseorang anak (korban). Mengenai apa yang dimaksudkan dengan melakukan kekerasan tidak disebutkan dalam UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, namun di dalam Pasal 89 KUHP telah menunjukkan apa yang dimaksudkan dengan kekerasan yaitu : yang disamakan melakukan kekerasan itu membuat orang menjadi pingsan atau tidak berdaya lagi (lemah). Menurut Soesilo pengertian dengan kekerasan adalah : Melakukan kekerasan “ artinya : “ mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secar tidak syah “ misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepat, menendang. Yang disamakan dengan
melakukan kekerasan menurut Pasal ini adalah membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya. “Pingsan” artinya tidak ingat atau tidak sadar akan dirinya “umpamanya member kecubung atau lain-lain obat, sehingga orangnya tidak ingat lagi.” Orang yang pingsan itu tidak dapat mengetahui apa yang terjadi akan dirinya. “ tidak berdaya” artinya tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali, sehingga tidak dapat mengadakan perlawanan sedikitpun, misalnya mengikat dengan tali kaki dan tangannya, mengurungi dalam kamar, memberikan suntikan, sehingga orang itu lumpuh. Orang yan tidak berdaya itu masih dapat mengetahui apa yang terjadi atas dirinya. Perlu di ingat bahwa mengancam orang dengan akan membuat orang itu pingsan atau tidak berdaya itu tidak boleh disamakan dengan “mengancam dengan kekerasan” sebab dalam pasal ini hanya mengatakan tentang melakukan kekerasan bukan membicarakan tentang kekerasan atau ancaman kekerasan.21 Pengertian diatas dapat disimpulkan “melakukan kekerasan” itu bukan usaha seseorang dengan kekuatan yang dimliki secara melawan hukum, ditujukan kepada orang lain yang mengakibatkan orang itu menjadi pingsan atau tidak berdaya dan berada dalam kekuasaannya. b.
Pengaturan Delik kesusilaan diatur dalam Bab XIV buku II KUHP dengan judul
“kejahatan terhadap kesusilaan” yang dimulai dengan Pasal 281 KUHP sampai dengan Pasal 297 KUHP. 1) Kesusilaan dimuka umum (Pasal 281sd Pasal 283) 2)Perzinahan (Pasal 284); 3) Perkosaan (Pasal 285); 4) Persetubuhan dengan wanita di bawah umur (Pasal 286 sd 288); 5) Percabulan (Pasal 289 sd. 294); 6) Penghubungan percabulan (Pasal 295 sd. 297)
21
R. Soesilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana Peratuaran Umum dan Delik-delik, Politeka,Bogor, 1984, hlm 72-73
Sedangkan mengenai pengaturan Delik Kesusilaan di dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak terdapat didalam Pasal 81 sd Pasal 82.
4. Lex Spesialis derogate Lex generalis Dalam hukum terdapat suatu asas penting, yang dikenal dengan “specialis derogat legi generali”.Secara sederhana hal ini berarti aturan yang bersifat khusus (specialis) mengesampingkan aturan yang bersifat umum (generali). Apabila dihubungkan dengan pandangan Dworkin , dengan asas ini maka aturan yang bersifat umum itu tidak lagi sebagai hukum ketika telah ada aturan yang bersifat khusus. Dengan kata lain, aturan yang khusus itulah sebagai hukum yang valid, dan mempunyai kekuatan mengikat untuk diterapkan terhadap peristiwa-peristiwa konkrit. Beberapa pendapat para ahli mngenai definisi asas lex specialis derogate lex generalis, sebagai berikut : a. Menurut teori sistem hukum dari Hart, asas “lex specialis derogate legi generali' termasuk kategori rule of recognition. Mengingat asas ini mengatur aturan hukum mana yang diakui absah sebagai suatu aturan yang berlaku. Dengan demikian, asas ini merupakan salah satu secondary rules, yang sifatnya bukan mengatur perilaku sebagaimana primary rules, tetapi mengatur (pembatasan) penggunaan kewenangan (aparat) negara dalam mengadakan suatu represi terhadap pelanggaran atas aturan tentang perilaku tersebut.
b. Menurut teori tentang criminal law policy dari Ancel, asas 'lex Specialis derogat legi generali" merupakan asas hukum yang menentukan dalam tahap aplikasi (application policy). Artinya, persoalannya bukan berkenaan dengan perumusan suatu kebijakan tentang hukum (formulation policy), tetapi berkenaan dengan game-rules dalam penerapan hukum22. Dalam hukum pidana Indonesia asas ini terkandung dalam Pasal 63 ayat (2) KUHP."Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka yang khusus itulah yang diterapkan."Pasal ini menegaskan keberlakuan (validitas) aturan pidana yang khusus ketika mendapati suatu `perbuatan' yang masuk baik kedalam aturan pidana yang umum dan aturan pidana yang khusus. Untuk dapat mengetahui, suatu ketentuan pidana itu secara lebih khusus telah mengatur suatu perilaku, yang sebenarnya telah diatur di dalam suatu ketentuan pidana yang lain, sehingga ketentuan tersebut dapat disebut sebagai suatu bijzondere strafbepaling atau ketentuan pidana yang bersifat khusus, tidak ada suatu kriterium yang dapat dipergunakan sebagai pedoman.Terdapat doktrin cara memandang suatu ketentuan pidana, yaitu: a. Cara memandang secara logis ataupun juga yang disebut logische beschouwing.
22
http://taxandcorruption.blogspot.com/2008/12/eksistensi-asas-lex-spesialis-derogat.html
Suatu ketentuan pidana itu dapat dianggap sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, jika ketentuan pidana tersebut di samping memuat unsur-unsur yang lain, juga memuat semua unsur dari suatu ketentuan pidana yang bersifat umum. b. Cara memandang secara yuridis atau secara sistematis ataupun yang juga disebut jurisdische atau systematische beschouwing. Suatu ketentuan pidana itu walaupun tidak memuat semua unsur dari suatu ketentuan yang bersifat umum, ia tetap dianggap sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, yaitu apabila dengan jelas dapat diketahui, bahwa pembentuk undang-undang memang bermaksud untuk memberlakukanketentuan pidana tersebut sebagai suatu ketetentuan pidana yang bersifat khusus.23 Menurut P.A.F. Lamintang, untuk dapat disebut sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, suatu ketentuan pidana itu tidak selalu harusmemuat semua unsurdari suatu ketentuan pidana yang bersifat umum. Ketentuan pidana yang sama sekali tidak memuat satu unsur pun dari suatu ketentuan pidana yang bersifat umum, bahkan juga tidak menyebutkan kualifikasi kejahatan-kejahatan yang telah dimaksudkan di dalam ketentuan pidana tersebut, melainkan hanya menyebutkan pasal-pasal dari kejahatan-kejahatan yang telah dimaksudkan, akan tetapi ketentuan pidana tersebut harus juga dipandang sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus.24
23
Alvi Syahrin, http://alviprofdr.blogspot.com/2013/07/asas-lex-specialis-derogat-lege.html
24
Alvi Syahrin, http://alviprofdr.blogspot.com/2013/07/asas-lex-specialis-derogat-lege.html
Hasil Penelitian 1. KronologisKasus Kejadiannya berawal dari MEI VERA ERVIANA bersama temannya ANGGIE SURYA PRAMESTI berkunjung ditempat kost GUNAWAN yang juga menjadi tempat kost FAISAL dan TRI SUYARSOdi Banyuanyar, Banjarsari, Surakarta, pada hari kamis tanggal 10 Januari 2013 sekitar pukul 20.00 Wib. Pada saat sedang berada didalam kamar GUNAWAN, ANGGIE dan MEI VERA mereka mengobrol kemudian MEI VERA keluar dari kamar dan masuk ke dalam kamar TRI SUYARSO dan MEI VERA merasakan sakit kepala/ pusing, lalu kemudian MEI VERA meminta obat kepada TRI SUYARSOdan diberikan setengah butir pil yang kemudian diminum oleh MEI VERA, kemudian MEI VERA masuk lagi kedalam Kamar GUNAWAN yang pada saat itu ANGGIE sudah pulang akan tetapi MEI VERA masih merasakan pusingnya tidak hilang kemudian minta obat lagi kepada GUNAWAN. Ternyata setelah meminum obat tersebut MEI VERA tambah pusing, sempoyongan, dan perasaan mau tidur.Kemudian MEI VERA tertidur dikamar GUNAWAN yang ketika itu waktu menunjukkan sekitar pukul 01.00 Wib. Ketika MEI VERA tertidur FAISAL melihat bagian tubuh (payudara) dari MEI VERA sehingga timbul nafsu birahinya kemudian FAISAL
menyetubuhi MEI VERA dengan cara menurunkan celana pendek dan celana dalam milik MEI VERA hingga batas lutut serta menyingkap baju dan BH MEI VERA sebatas dada, kemudian FAISAL mencium dan mengulum puting susu MEI VERA dan ketika kemaluan /penis sudah tegang dimasukkan kedalam kemaluan/vagina MEI VERA dan ketika FAISAL merasa akan orgasme penis dicabut dari vagina MEI dan sperma dikeluarkan dipaha kiri MEI, hal tersebut disaksikan oleh TRI SUYARSO. Setelah FAISAL selesai menyetubuhi MEI VERA, FAISAL pergi ke kamar mandi setelah itu gantian TRI SUYARSO menindih MEI VERA kemudian mencium bibir dan payudara MEI setelah penisnya tegang dimasukkan ke dalam vagina MEI selang 10 menit spermanya keluar dan dikeluarkan di muka MEI VERA.Setelah selesai FAISAL dan TRI SUYARSO keluar kamar dan GUNAWAN yang berada diluar kamar kemudian masuk kekamar langsung membuka pakaiannya dan langsung menindih MEI VERA dan menyetubuhi MEI VERA. Akhirnya MEI VERA dalam keadaan setengah sadar memanggil-manggil nama FAISAL. Karena mendengar MEI memanggilmanggil nama FAISAL kemudian FAISAL dan TRI SUYARSO masuk kedalam kamar dan melihat GUNAWAN yang sedang memakai pakaiannya dan MEI VERA masih dalam kondisi lemas dengan pakaian berantakan yang kemudian MEI VERA kembali tertidur selanjutnya FAISAL dan TRI SUYARSO ikut tidur mengapit MEI VERA. Ketika FAISAL melihat MEI VERA dengan kondisi pakaian yang masih berantakan akhirnya FAISAL terangsang timbul birahinya kemudian
menindih MEI VERA setelah penisnya tegang dimasukkan kedalam vagina MEI selang 10 menit spermanya keluar dan dikeluarkan ditangan kiri MEI VERA, setelah itu TRI SUYARSO yang menyaksikan persetubuhan itu merasa terangsang dan timbul birahinya kemudian menidih korban saat penisnya sudah tegang dimasukkan kedalam vagina MEI VERA dan pada saat akan orgasme penis dicabut dan sperma dikeluarkan di atas vagina MEI VERA. Setelah TRI SUYARSO selesai menyetubuhi MEI kemudian TRI SUYARSO keluar kamar dan bertemu dengan GUNAWAN yang menyuruh TRI SUYARSO membangunkan FAISAL yang sedang tertidur bersama MEI VERA.Akhirnya FAISAL dan TRI SUYARSO keluar kamar dan kemudian GUNAWAN masuk kedalam kamar dan mengunci pintu kamarnya.Tak berapa lama kemudian dengan keadaan setengah sadar MEI VERA berteriakteriak dan akhirnya FAISAL dan TRI SUYARSO masuk kedalam kamar lewat jendela karena pintu kamar dikunci dari dalam oleh GUNAWAN. Pada saat itu GUNAWAN sedang memakai celananya akhirnya keluar kamar, setelah itu FAISAL dan TRI SUYARSO ttidur bersama MEI VERA, namun ketika TRI SUYARSO sudah tidur, FAISAL menyetubuhi MEI untuk ketiga kalinya denganmenindih MEI VERA lagi serta mencium bibir MEI dan mengulum payudara MEI setelah kemaluannya tegang dimasukkan kedalam vagina MEI selang 10 menit spermanya keluar dan dikeluarkan ke baju MEI. Hingga akhirnya Ketiga nya tertidur dan bangun pada pukul 11.00 Wib.Pada Saat tersebut MEI VERA tidak merasakan apapun karena MEI VERA dalam
kondisi tidak berdaya dan tidak sadarkan diri akibat meminum obat Pil Koplo yang diberikan TRI SUYARSO dan GUNAWAN. Setelah MEI VERA sadar ia memaki-maki FAISAL dan TRI SUYARSO
kemudian
MEI
VERA
tertidur
lagi
dan
ANGGIE
membangunkan MEI VERA yang kemudian MEI VERA minta dimandikan oleh ANGGIE. Pada saat dimandikan ANGGIE melihat bercak noda merah dan sperma di celana dalam MEI VERA, dan MEI VERA mengeluh sakit pada vaginanya saat buang air kecil.Setelah selesai mandi MEI VERA mengirim sms kepada temannya yaitu JANUAR untuk datang ketempat kost GUNAWAN. Akhirnya JANUAR
dan DIMAS datang dan MEI VERA
menceritakan tentang kejadian yang dialami kemudian MEI VERA mengajak DIMAS dan JANUAR keluar membeli air kelapa muda, setelah itu MEI VERA, DIMAS, dan JANUAR berangkat kewarnet
Solo Baru. DIMAS,
JANUAR pamit membeli es teh dan datang lagi bersama temannya DIMAS OMPONG dan WAWAN dengan membawa FAISAL dan menanyakan tentang kejadian yang dialami MEI VERA kepada FAISAL. Kemudian DIMAS, JANUAR, WAWAN, dan DIMAS OMPONG berangkat ke AUB, Cengklik, Surakarta untuk menjemput GUNAWAN dan TRI SUYARSO, tetapi hanya TRI SUYARSO yang dapat ditemui sedangkan GUNAWAN melarikan diri. Setelah itu teman-teman MEI VERA menanyakan tentang perbuatan yang dilakukan oleh FAISAL dan TRI SUYARSO dan mereka berdua mengakui telah menyetubuhi MEI VERA bersama dengan
GUNAWAN, kemudian ANGGIE disuruh DIMAS dan JANUAR untuk mencari GUNAWAN namun tidak bertemu. Kemudian MEI VERA diantar Pulang oleh DIMAS OMPONG, JANUAR dan WAWAN. Sesampainya dirumah MEI VERA ditanyai ibunya dan akhirnya dengan menangis MEI VERA menceritakan kejadian yang terjadi padanya. Mendengar anaknya telah disetubuhi yang saat itu berumur 14 tahun, kemudian ibunya MEI VERA mengajak JANUAR, DIMAS OMPONG, WAWAN untuk mencari FAISAL, TRI SUYARSO dan GUNAWAN.Ternyata GUNAWAN sudah melarikan diri atas kejadian tersebut Ibunya MEI VERA melaporkan ke Polsek Banjarsari.
Berdasarkan
Laporan
Polisi
No.
Pol
:
LP/B/11/1/2013/Jateng/res/Ska/Sek. Bjs, tgl. 12 Januari 2013 dilakukan penyidikan oleh Pihak Kepolisian Polsek Banjarsari Surakarta. Hasil Penyidikan pihak Kepolisian Polsek Banjarsari Surakarta, sebagai berikut : Diduga dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dan atau melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan bersetubuh dengan dia dan atau bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya, sedang diketahuinya atau harus patut disangkanya umur perempuan itu belum cukup 15 tahun kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa perempuan itu belum masanya untuk dikawin, yang dilakukan oleh tersangka
RIDWAN FAISAL als GEMPIL bin SURAMTO dan tersangka TRI SUYARSO als YOSO Bin SARDIMAN AL TEGUH serta tersangka GUNAWAN als BOLO (belum tertangkap) terhadap diri korban Nn. MEI VERA ERVIANA als VERA yang dilakukan sebelumnya korban diberi obat (pil) koplo sebanyak 1,5 butir setelah korban tidak berdaya kemudian oleh ke 3 (tiga) tersangka disetubuhi secara bergantian yang mengakibatkan kemaluan korban sakit kalau buang air kecil serta terasa perih dan diketahui oleh ke 3 (tiga) tersangka kalau korban baru berumur 14 tahun yang masih duduk di kelas III smp dan belum masanya untuk dikawin terjadi pada hari jum’at tanggal 11 Januari 2013 sekira pukul : 01.00 Wib ada dikamar kost Jln Tarumanegara Dalam 2Kp. Banyuanyar RT 02 Rw VIII Kel Banyuanyar Kec. Banjarsari Surakarta sebagaimana dimaksud dalam pasal 81 ayat (1) dan (2) UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan atau pasal 285 yo 287 ayat (1) KUHP. Kemudian dilakukan Penelitian Kemasyarakatan oleh Balai Pemasyarakatan (BAPAS) Surakarta. Hasil Penelitian Kemasyarakatan dapat diuraikan, sebagai berikut : Hasil
Laporan
Penelitian
Kemasyarakatan
PEMASYARAKATAN (BAPAS) Surakarta No. Register : 15 / PA / I / 2013 Perkara
: PERKOSAAN ( Pasal 285 KUHP dan atau 287 Ayat (1) KUHP)
Identitas
dari
BALAI
Nama
: RIDWAN FAISAL
Tempat/Tanggal Lahir
: Surakarta, 11 Agustus 1998
Jenis kelamin
: laki-laki
Agama
: islam
Bangsa/suku/kewarganegaraan : Indonesia/Jawa/WNI Pendidikan
: SMP
Pekerjaan
: Pelajar
Status Perkawinan
: Belum Kawin
Alamat
: Kp. Kadipiro RT 01/04 Banjarsari, Surakarta
Ciri-ciri khusus
: -
Kesimpulan -
Pada saat kejadian, klien masih berumur 14 tahun lebih 3 bulan, sehingga masih dikategorikan sebagai anak yang masih membutuhkan asuhan, bimbingan dan pengawasan dari orang tua.
-
Klien merupakan anak pertama dari dua bersaudara, tinggal bersama kedua orang tuanya, keadaan ekonomi keluarga yang kurang mampu, ayah klien bekerja sebagai sopir bus dan ibu klien sebagai ibu rumah tangga dari penghasilan itu yang digunakan untuk biaya sekolahklien dan adiknya serta mencukupi kebutuhan sehari-hari.
-
Klien berstatus sebagau pelajar SMP Negeri 23 Surakarta kelas 7
-
Klien belum pernah dihukum dan baru pertama kali ini berurusan dengan pihak yang berwajib, dimana klien menjadi sebagai tersangka, dalam perkara tindak pidana perkosaan sebagaimana dimaksud dalam rumusan Pasal 285 KUHP dan atau Pasal 287 ayat (1) KUHP, sehubungan dengan Laporan Polisi No. Pol : LP/B/11/2013, tanggal 12 Januari 2013. Perbuatan yang dilakukan klien, disebabkan adanya beberapa faktor : 1 Minimnya pendidikan yang dimiliki serta kurangnya keimanan dan mental yang kuat sehingga klien mudah melakukan perbuatan yang melanggar hukum 2. Sebelum kejadian klien melihat bagian dada korban terbuka sehingga payudara milik korban terlihat sehingga klien timbul nafsu untuk menyetubuhinya selain itu klien sering melihat film blue di HP milik Sdri. Anggie sehingga nafsu birahinya sudah tidak bisa terkontrol lagi 3. Pribadi klien tergolong masih labil, sehingga dalam melakukan tindakannya, tidak memikirkan akibat yang akan terjadi 4. Kurangnya pengawasan dan kasih sayang dari orang tua hal ini terlihat selama klien tidak pulang sebagai orang tua tidak berusaha untuk mencari keberadaan klien
-
Pihak korban dan keluarganya secara lisan telah memaafkan perbuatan klien berhubung
masalah ini telah ditangani oleh yang berwajib maka hal ini
diserahkan kepada pihak berwajib untuk diproses secara hukum.
-
Sewaktu wawancara dengan korban adanya peluang/kesempatan dari korban sehingga membuat perkosaan terjadi terbukti korban telah beberapa hari tidur (menginap) di kost-kostan klien oleh karena itu pihak korban perlu penanganan tersendiri.
-
Klien telah menyesali atas perbuatannya serta berjanji tidak mengulangi lagi perbuatan yang melanggar hukum. Serta akan merubah perilakunya yang kurang baik yang dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain.
-
Orang tua klien menyatakan masih sanggup untuk menerima, mengasuh, mendidik, dan mengawasinya agar klien menjadi anak yang baik dan tidak mengulangi lagi perbuatan yang melanggar hukum.
-
Pemerintah setempat juga masih sanggup menerima kembali ditengah-tengah masyarakat dan akan memberikan pembinaan agar tidak mengulangi lagi perbuatan yang melanggar hukum. Saran Berdasarkan kesimpulan diatas dan rekomendasi sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan Balai Pemasyarakatn Surakarta (TPP – BAPAS Surakarta), tanggal 29 Januari 2013, merekomendasikan sebaiknya klien diputus “ PIDANA BERSYARAT”, dengan pertimbangan dan harapan sebagai berikut : 1. Pertimbangan :
a. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997, tentang Pangadilan Anak, Pasal 23 ayat (2) berbunyi “ Pidana Pokok yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal, ialah : -
Pidana Penjara
-
Pidana kurungan
-
Pidana Denda, atau
-
Pidana pengawasan Selanjutnya, Pasal 29 ayat (1) berbunyi : “ Pidana bersyarat dapat dijatuhkan oleh hakim, apabila pidana penjarayang dijatuhkan paling lama 2 (dua) tahun”. Ayat (7), berbunyi : “ Selama menjalani masa pidana bersyarat, jaksa melakukan
bimbingan
pengawasan,
dan
Pembimbing
Kemasyarakatan melakukan bimbingan agar anak nakal menepati persyaratan yang telah ditentukan”. Ayat (8), berbunyi : “ Anak nakal yang menjalani pidana bersyarat dibimbing oleh Balai Pemasyarakatan dan berstatus sebagai klien Pemasyarakatan Ayat (9), berbunyi : “ selama anak nakal berstatus sebagai klien pemasyarakatan dapat mengikuti pendidikan sekolah”.
b. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002, tentang Perlindungan Anak, Pasal 16 ayat (3), berbunyi : “ Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak, hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir”. Berdasarkan konvesi Hak Anak, Pasal 37, berbunyi : “ Penangkapan, penahanan, atau penghukuman anak akan disesuaikan dengan undang-undang dan digunakan hanya sebagai langkah terakhir dan untuk masa yang paling singkat dan layak”. c. Klien telah menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatan yang melanggar hukum. d. Orang tua klien menyatakan bahwa pada dasarnya masih sanggup mengasuh, membimbing/ mendidik serta mengawasi anak tersebut di atas, agar tidak mengulangi lagi perbuatan yang melanggar hukum dan menjadi anak yang baik. 2. Harapan : a. Klien dapat terhindar dari cap / label atau stigmatisasi sebagai anak pidana b. Agar klien dapat melanjutkan sekolah (pondok) dengan baik. c. Agar klien masih dapat dididik dan diawasi ke dua orang tuanya sendiri dengan lebih baik.
d. Agar klien dapat mendapatkan pembimbingan dari BAPAS Surakarta atau instansi terkait, guna mengubah perilakunya untuk mengembalikan dan mengantar klien menuju masa depan yang cemerlang. Hasil
Laporan
Penelitian
Kemasyarakatan
dari
BALAI
PEMASYARAKATAN (BAPAS) Surakarta No. Register : 14 / PA / I / 2013 Perkara
: PERKOSAAN ( Pasal 285 KUHP dan atau 287 Ayat (1) KUHP)
Identitas Nama
: TRI SUYARSO
Tempat/Tanggal Lahir
: Surakarta, 3 Juli 1995
Jenis kelamin
: laki-laki
Agama
: islam
Bangsa/suku/kewarganegaraan : Indonesia/Jawa/WNI Pendidikan
: SMK Muhammadiyah 3 Surakarta, kelas 1 Jrs
Elektro Pekerjaan
: Pelajar
Status Perkawinan
: Belum Kawin
Alamat
: Tegal Mulyo, RT 5 RW 1, Kal. Nusukan, Banjarsari, Ska
Ciri-ciri khusus
: -
Kesimpulan -
pada saat kejadian klien masih berumur 16 tahun lebih 6 bulan, sehingga masih dikategorikan sebagai anak yang masih membutuhkan asuhan, bimbingan dan pengawasan dari orang tua.
-
Klien merupakan anak ketiga dari empat bersaudara, masih tinggal bersama kedua orang tuanya, keadaan ekonomi keluarga dikategorikan mampu, ayah klien bekerja berwiraswasta (jual beli rongsokan dan makelar mobil) dan ibu klien bekerja jualan kelontong dirumah dari penghasilan itu dapat digunakan untuk biaya sekolah klien dan kakaknya serta mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
-
Klien berstatus sebagai pelajar SMK Muhammadiyah 3 Surakarta, kelas 1 Jurusan Elektro.
-
Klien belum pernah dihukum dan baru pertama kali ini berurusan dengan pihak yang berwajib, dimana klien menjadi sebagai tersangka, dalam perkara tindak pidana perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 285 KUHP dan atau Pasal 287 ayat (1) KUHP, sehubungan dengan Laporan Polisi, No. Pol. : LP/B/11/2013, tanggal 12 januari 2013.
-
Perbuatan yang dilakukan klien, disebabkan adanya beberapa factor 1. Karena terbawa nafsu melihat temannya Faisal dengan korban berhubungan intim layaknya suami istri sehingga timbul niat untuk ikut-ikutan menyetubuhi
korban dan selain itu klien sering melihat film BF di HP sehinnga nafsunya tidak bias terkontrol lagi.. 2. Kurang atau lemahnya dasar-dasar keagamaan dalam diri klien, sehingga mengabaikan norma-norma yang ada. 3. Pribadi klien tergolong masih labil, sehingga dalam melakukan tindakannya, tidak memikirkan akibat yang akan terjadi. 4. Kurang adanya pengawasan dari orang tua. -
Pihak korban dan korban secara lisan telah memaafkan perbuatan klien berhubung masalah ini telah ditangani oleh yang berwajib maka hal ini diserahkan kepada pihak berwajib untuk diproses secara hukum, agar klien menjadi jera dan tidak mengulangi lagi dan tidak ada korban lain selanjutnya.
-
Sewaktu wawancara dengan korban adanya peluang / kesempatan dari korban, sehingga membuat perkosaan terjadi, terbukti korban telah beberapa hari tidur (menginap) dikos-kosan klien oleh karena itu pihak korban perlu penanganan tersendiri.
-
Klien telah menyesali atas perbuatannya serta berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatan yang melanggar hukum. Serta akan merubah perilakunya yang kurang baik yang dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain.
-
Orang tua klien menyatakan masih sanggup untuk menerima, mengasuh, mendidik dan mengawasinya agar klien menjadi anak yang baik dan tidak mengulangi lagi perbuatan yang melanggar hukum.
-
Pemerintah setempat juga masih sanggup untuk menerima kembali ditengahtengah masyarakat dan akan memberikan pembinaan agar tidak mengulangi lagi perbuatan yang melanggar hukum.
Saran Berdasarkan kesimpulan diatas dan rekomendasi sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan Balai Pemasyarakatan Surakarta (TPP- BAPAS Surakarta), tanggal 29 januari 2013, merekomendasikan sebaiknya klien diputus “ PIDANA BERSYARAT”, dengan pertimbangan dan harapan sebagai berikut 1. Pertimbangan a. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 tahun 1997, tentang Pengadilan Anak, Pasal 23 ayat (2) berbunyi “ Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal ialah : - Pidana Penjara - Pidana kurungan - Pidana Denda, atau - Pidana pengawasan Selanjutnya, Pasal 29 ayat (1) berbunyi : “ Pidana bersyarat dapat dijatuhkan oleh hakim, apabila pidana penjarayang dijatuhkan paling lama 2 (dua) tahun”.
Ayat (7), berbunyi : “ Selama menjalani masa pidana bersyarat, jaksa melakukan
bimbingan
pengawasan,
dan
Pembimbing
Kemasyarakatan melakukan bimbingan agar anak nakal menepati persyaratan yang telah ditentukan”. Ayat (8), berbunyi : “ Anak nakal yang menjalani pidana bersyarat dibimbing oleh Balai Pemasyarakatan dan berstatus sebagai klien Pemasyarakatan Ayat (9), berbunyi : “ selama anak nakal berstatus sebagai klien pemasyarakatan dapat mengikuti pendidikan sekolah”. b. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002, tentang Perlindungan Anak, Pasal 16 ayat (3), berbunyi : “ Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak, hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir”. Berdasarkan konvesi Hak Anak, Pasal 37, berbunyi : “ Penangkapan, penahanan, atau penghukuman anak akan disesuaikan dengan undang-undang dan digunakan hanya sebagai langkah terakhir dan untuk masa yang paling singkat dan layak”. c. Klien telah menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatan yang melanggar hukum.
d. Orang tua klien menyatakan bahwa pada dasarnya masih sanggup mengasuh, membimbing/ mendidik serta mengawasi anak tersebut di atas, agar tidak mengulangi lagi perbuatan yang melanggar hukum dan menjadi anak yang baik.
2. Harapan a. Klien dapat terhindar dari cap / label atau stigmatisasi sebagai anak pidana b. Agar klien dapat melanjutkan sekolah kembali dengan baik. c. Agar klien masih dapat dididik dan diawasi ke dua orang tuanya sendiri dengan lebih baik. d. Agar klien dapat mendapatkan pembimbingan dari BAPAS Surakarta atau instansi terkait, guna mengubah perilakunya untuk mengembalikan dan mengantar klien menuju masa depan yang cemerlang.
Kemudian atas berkas Penyidikan kepolisian yang dilimpahkan kepada Kejaksaan Negeri Surakarta serta Hasil Penelitian dari Balai Penelitian (BAPAS) Surakarta untuk dibuat Dakwaan oleh Penuntut Umum sebagaimana berikut :
2. Dakwaan
Berdasarkan Pelimpahan perkara dari Penyidik Polsek Banjarsari Surakarta, Penuntut Umum menyusun surat dakwaan kedalam bentuk dakwaan Alternatif, sebagai berikut : KESATU Bahwa Ia Terdakwa I RIDWAN FAISAL Als GEMPIL Bin SURAMTO, terdakwa II TRI SUYARSO als YOSO Bin SARDIMAN AL TEGUH dan GUNAWAN Alias BOLO (DPO) pada hari jum’at tanggal 11 Januari 2013 sekira pukul 01.00 atau setidak-tidaknya pada waktu-waktu lain masih dalam bulan januari tahun 2013, bertempat dikamar kost Jl. Tarumanegara Dalam 2 Kp. Banyuanyar Rt.02 Rw. VIII Kel. Banyuanyar, Kec. Banjarsari, Kota Surakarta, atau setidak-tidaknya pada suatu tempat tertentu yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Surakarta, dengan maksud melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Perbuatan Para terdakwa tersebut tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 81 ayat (1) UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau, KEDUA Bahwa Ia Terdakwa I RIDWAN FAISAL Als GEMPIL Bin SURAMTO, terdakwa II TRI SUYARSO als YOSO Bin SARDIMAN AL TEGUH dan GUNAWAN Alias BOLO (DPO) pada waktu dan tempat sebagaimana tersebut dalam Dakwaan Kesatu, Bersetubuh dengan seseorang wanita diluar
perkawinan, padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya. Perbuatan para terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 286 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau KETIGA Bahwa Ia Terdakwa I RIDWAN FAISAL Als GEMPIL Bin SURAMTO, terdakwa II TRI SUYARSO als YOSO Bin SARDIMAN AL TEGUH dan GUNAWAN Alias BOLO (DPO) pada hari dan tempat sebagaimana tersebut dalam Dakwaan Kesatu, bersetubuh dengan seseorang wanita diluar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas bahwa belum waktunya untuk dikawin Perbuatan para terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
3. Dasar Pemilihan Bentuk Dakwaan Hasil wawancara dengan ibu Ana May selaku Jaksa Pembimbing di Kejaksaan Negeri Surakarta mengemukakan, dalam rangka proses penuntutan terkait dalam Perkara Nomor 27/Pid.Sus/2013 tentang tindak pidana kesusilaan terhadap anak memperhatikan Surat Edaran Jaksa Agung RI.
Nomor : SE 02/JA/6/1989 tanggal 10 Juli 1989 tentang Penuntutan Terhadap anak.25 Berdasarkan Surat Edaran Jaksa Agung tentang Penuntutan Anak, Sebelum kepada proses penuntutan terdapat proses pra penuntutan yaitu penuntut umum mempelajari berkas perkara yang dilimpahkan oleh penyidik kepada jaksa penuntut umum yang kemudian penuntut umum mencari kepastian tentang identitas tersangka, kasus posisi, ketentuan yang dilanggar( memastikan syarat formil dan materiil sudah lengkap). Setelah menerima SPDP dan diketahui jelas dengan alat bukti authentic seperti akte kelahiran dan data dari sekolah bahwa tersangka masih dibawah umur maka penuntut umum harus melaporkan secara hirarchiskepada Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan
Negeri
Surakarta
dan
Kepala
Kejaksaan
Negeri
Surakarta.Selanjutnya dipandang perlu dilakukan penahanan maka dalam hal penahanan penuntut umum menempatkan pada Rutan/lembaga yang tidak menjadi satu dengan tahanan dewasa.Penuntut Umum juga telah meneliti dan mempertimbangkan
kesehatan,
masa
depan
anak
dan
penggunaan
kewenangan untuk menahan. Setelah proses pra penuntutan mulailah penuntut Umum mempelajari kasus untuk menyusun surat dakwaan, dengan memperhatikan Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor 004/J.A/11/1993 tentang Pembuatan
25
Wawancara dengan Ibu Ana May Jaksa Pembimbing di Kejaksaan Negeri Surakarta, Surakarta, 17 April 2014
Surat Dakwaan. Dimana didalam surat edaran jaksa tersebut terdapat beberapa ketentuan untuk memilih dan menyusun surat dakwaan. Berdasarkan Surat Edaran Jaksa Agung tentang Pedoman Pembuatan Surat Dakwaan, penuntut umum menyusun dakwaan melihat syarat-syarat dakwaan mengenai kelengkapan identitas korban serta posisi kasus pada akhirnya penuntut umum memilih bentuk dakwaan Dakwaan Alternatif karena terdapat keraguan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa. 4. Pertimbangan Penuntut Umum dalam menyusun surat dakwaan Setelah melakukan wawancara dengan Ibu Ana May selaku Jaksa Pembimbing dari Kejaksaan Negeri Surakarta. Mengenai perkara
Nomor
27/Pid.Sus/2013 tentang tindak pidana kesusilaan terhadap anak, Ibu Ana May mengemukakan pertimbangannya untuk menyusun surat dakwaan dalam perkara ini menjadi bentuk dakwaan Alternatif, yaitu sebagai berikut : Berdasarkan berkas perkara penyidikan dari pihak kepolisian, pelaku diancam pidana dalam Pasal 81 ayat (1) dan (2) UU PerlindunganAnak No. 23 Tahun 2002 jo Pasal 285 jo Pasal 287 ayat (1) KUHP. Setelah mempelajari kasus tersebut Penuntut Umum berpendapat lain bahwa para terdakwa diduga diancam pidana Pasal 81 ayat (1) dan (2) UU PerlindunganAnak No. 23 Tahun 2002 jo Pasal 286 jo Pasal 287 ayat (1) KUHP. Karena Korban disetubuhi dalam keadaan tidak sadar atau tidak berdaya maka Penuntut Umum Menggunakan Pasal 286 bukan 285 KUHP.
Sebelum penuntut umum menyusun delik yang akan didakwakan, penuntut umum perlu melihat kwalifikasi delik untuk menentukan unsur-unsur dari setiap delik yang didakwakan dipastikan terpenuhi. Setelah mempelajari kasus tersebut penuntut umum melihat kwalifikasi delik yang berbeda mengenai kesusilaan dalam Pasal 81 ayat (1) UU Perlindungan anak yang menyebutkan harus adanya unsur ancaman atau kekerasan sedangkan dalam Pasal 286 KUHP tidak menyebutkan adanya ancaman atau kekerasan. Namun berdasarkan fakta kejadian penuntut umum tidak menemukan adanya ancaman ataupun kekerasan dalam kasus tindak pidana kesusilaan tersebut. Mengenai unsur-unsur yang terpenuhi dan tidak terpenuhi dari Pasal 81 UU Perlindungan Anak akan dijabarkan sebagai berikut : “Unsur setiap orang” Setiap orang adalah siapa saja atau subyek atau pelaku yang didakwa melakukan tindak pidana tersebut. Berdasarkan perkara Nomor, bahwa Terdakwa I RIDWAN FAISAL Als GEMPIL Bin SURAMTO, terdakwa II TRI SUYARSO als YOSO Bin SARDIMAN AL TEGUH dan GUNAWAN Alias BOLO (DPO) pada hari jum’at tanggal 11 Januari 2013 sekira pukul 01.00 atau setidak-tidaknya pada waktu-waktu lain masih dalam bulan januari tahun 2013, bertempat dikamar kost Jl. Tarumanegara Dalam 2 Kp. Banyuanyar Rt.02 Rw. VIII Kel. Banyuanyar, Kec. Banjarsari, Kota Surakarta telah telah menyetubuhi korban yang bernama MEI VERA ERVIANA Als VERA yang kemudian korban
menjadi kehilangan kesadaran dan Secara Bergantian para terdakwa menyetubuhi korban. Hal tersebut diatas menunjukkan bahwa terdakwa I RIDWAN FAISAL, terdakwa II TRI SUYARSO, terdakwa III GUNAWAN (DPO) orang yang melakukan atau pelaku tindak pidana kesusilaan terhadap korban VERA. “Unsur dengan sengaja” Perbuatan sengaja adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan kesadaran dari perbuatan tersebut diketahui serta dikehendaki oleh pelaku. Berdasarkan Perkara Nomor No.27/Pid/2013 tentang Tindak Pidana Kesusilaan terhadap Anak terdakwaI RIDWAN FAISAL Als GEMPIL Bin SURAMTO, terdakwa II TRI SUYARSO als YOSO Bin SARDIMAN AL TEGUH dan GUNAWAN Alias BOLO (DPO) pada hari jum’at tanggal 11 Januari 2013 sekira pukul 01.00 atau setidak-tidaknya pada waktu-waktu lain masih dalam bulan januari tahun 2013, bertempat dikamar kost Jl. Tarumanegara Dalam 2 Kp. Banyuanyar Rt.02 Rw. VIII Kel. Banyuanyar, Kec. Banjarsari, Kota Surakarta. Memberikan pil koplo kepada korban VERA yang membuat korban merasa pusing, sempoyongan dan berasa mau tidur kemudian para terdakwa menyetubuhi korban secara bergantian. Hal tersebut menunjukkan adanya unsur sengaja dengan terdakwa memberikan pil koplo yang diketahui secara sadar akibat daripada obat tersebut yaitu membuat korban tak sadar dan dapat memperlancar perbuatannya menyetubuhi korban.
“Unsur Melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain” Kekerasan adalah mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara melawan hukum. Berdasarkan Perkara Nomor No.27/Pid/2013 tentang Tindak Pidana Kesusilaan
terhadap AnakterdakwaI RIDWAN FAISAL Als GEMPIL Bin SURAMTO, terdakwa II TRI SUYARSO als YOSO Bin SARDIMAN AL TEGUH dan GUNAWAN Alias BOLO (DPO) pada hari jum’at tanggal 11 Januari 2013 sekira pukul 01.00 atau setidak-tidaknya pada waktu-waktu lain masih dalam bulan januari tahun 2013, bertempat dikamar kost Jl. Tarumanegara Dalam 2 Kp. Banyuanyar Rt.02 Rw. VIII Kel. Banyuanyar, Kec. Banjarsari, Kota Surakarta telah melakukan persetubuhan dengan korban yang diawali dengan memberikan obat pil koplo kepada korban yang pada saat itu pusing yang kemudian membuat korban menjadi tidak sadarkan diri.Melihat korban sudah tidak sadar kemudian para terdakwa menyetubuhi korban secara bergantian. Menurut Penuntut Umum bahwa mengenai unsur melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan tidak terpenuhi karena tidak ada paksaan ataupun tekanan fisik dari para Terdakwa kepada korban. Kemudian Jaksa penuntut melihat identitas korban dan pelaku yang dimana sama-sama dibawah umur.Dengan begitu penuntut umum harus menggunakan Undang-Undang Perlindungan Anak untuk menyelesaikan perkara tersebut. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 63 ayat (2) KUHP yang terkandung asas
Lex specialis derogat legi generalis yang merupakan suatu asas hukum yang mengandung
makna
bahwa
aturan
yang
bersifat
khusus
(specialis)
mengesampingkan aturan yang bersifat umum (general). Untuk hanya menerapkan lex specialis (aturan yang khusus) dalam hal ini UU Perlindungan Anak mengalami kendala karena terdapat salah satu unsur yang tidak terpenuhi dari kwalifikasi delik dalam pasal 81 UU Perlindungan Anak yaitu tidak adanya unsur kekerasan atau ancaman kekerasan dalam fakta kejadian kasus tersebut. Namun jika tidak diterapkan aturan khususnya sedang diketahui bahwa pelaku adalah anak dibawah umur penuntut umum akan menyalahi ketentuan yang terdapat dalam pasal 63 ayat (2) KUHP mengatur bahwa: Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka yang khusus itulah yang diterapkan.Selain menyalahi ketentuan pasal 63 ayat (2) KUHP, jika hanya aturan umum yang digunakan oleh penuntut umum yaitu hanya menerapkan Pasal 286 atau dengan Pasal 287 jika tidak terbukti didalam persidangan akan berakibat bebasnya terdakwa atau pelaku dari hukuman pidana.26 Disini penuntut umum mengalami keraguan dalam menyusun dakwaan yang tepat dengan tindak pidana yang dilakukan oleh para pelaku dalam kasus kesusilaan ini. Keraguan yang dialami penuntut umum yaitu dalam hal terdapat
26
Wawancara dengan Ibu Ana May Jaksa Pembimbing di Kejaksaan Negeri Surakarta, Surakarta, 17 April 2014
perbedaan unsur dalam kwalifikasi delik dalam kasus tindak pidana kesusilaan terhadap anak dalam kasus tersebut dalam Pasal 81 ayat (1) UU Perlindungan anak No. 23 Tahun 2002 dan Pasal 286 KUHP. Serta Penuntut Umum berpendapat bahwa dalam fakta kejadian unsur melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan daripada Pasal 81 Ayat (1) tidak terpenuhi. Untuk menghindari lolosnya pelaku dari hukuman pidana dan agar tidak menyalahi ketentuan pasal 63 ayat (2) KUHP karena dalam kasus kesusilaan ini pelaku masih dibawah umur maka penuntut umum harus tetap menggunakan UU Perlindungan anak, maka dari itu penuntut umum menyusun surat dakwaan kedalam bentuk dakwaan alternative, yaitu : Kesatu, ancaman pidana dalam pasal 81 ayat (1) UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau ; Kedua, ancaman pidana dalam pasal 286 KUHP jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau; Ketiga, ancaman pidana dalam pasal 287 ayat (1) KUHP jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
B. Analisa Setiap berkas perkara yang dilimpahkan oleh Penyidik kepada Kejaksaan dan diterima serta telah dirasa lengkap oleh Jaksa Penuntut Umum, kemudian Penuntut Umum mempelajari berkas perkara dari penyidik untuk kemudian penuntut umum menyusun surat dakwaan. Hal tersebut adalah proses pra penuntutan hingga Penuntutan dengan memperhatikan Surat Edaran Jaksa Agung tentang Penuntutan Anak. Namun dalam hasil penelitian menunjukkan bahwa
penuntut umum telah menerapkan apa yang menjadi aturan daripada Surat Edaran Jaksa Agung tentang Penuntutan Anak. Kemudian dilanjutkan dengan pembuatan surat dakwaan dimana peranan dari surat dakwaan seperti yang dijelaskan didalam Surat Edaran Jaksa Agung Nomor 004/J.A/11/1993 tentang Pembuatan Surat Dakwaan yaitu Surat Dakwaan menempati posisi sentral dalam perneriksaan perkara pidana di Pengadilan dan Surat Dakwaan merupakan dasar sekaligus membatasi ruang lingkup pemeriksaan oleh karena itu dituntut adanya kemampuan /kemahiran Jaksa Penuntut Umurn dalam penyusunan Surat Dakwaan. Maka kemampuan Jaksa Penuntut Umum dalam menyusun Surat Dakwaan perlu terus ditingkatkan dan sehubungan dengan itu diperlukan bimbingan serta pengendalian agar para Jaksa Penuntut Umum mampu menyusun Surat Dakwaan secara profesional, efektif dan efisien guna mengoptimalkan keberhasilan tugas kejaksaan dibidang penuntutan. Didalam fakta nya dalam kasus tindak pidana kesusilaan terhadap anak ini Penuntut Umum kurang memperhatikan Surat Edaran Jaksa Agung tentang Pembuatan Surat Dakwaan.Hal
tersebut
dapat
dilihat
dimana
Penuntut
Umum
hanya
memperhatikan syarat formil daripada surat dakwaan. Dalam Perkara Nomor 27/Pid.Sus/2013 tentang Tindak Pidana Kesusilaan terhadap Anak.Dimana dalam kasus tersebut korban dan pelaku masih dibawah umur.Penuntut umum menyusun surat dakwaan dalam bentuk dakwaan alternative seperti berikut : Kesatu, ancaman pidana dalam Pasal 81 ayat (1) UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau ;
Kedua, ancaman pidana dalam Pasal 286 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP atau; Ketiga, ancaman pidana dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
Dasar Pertimbangan Penuntut Umum menyusun surat dakwaan dalam bentuk dakwaan alternative yaitu 1. Bahwa berdasarkan berkas perkara dari penyidik diketahui bahwa dalam kasus tindak pidana kesusilaan ini korban dan pelaku masih dibawah umur maka penuntut umum harus menggunakan UU Perlindungan Anak dan mengesampingkan KUHP. Pelaku dijerat dengan Pasal 81 ayat (1) UU Perlindungan anak. 2. Bahwa terdapat kwalifikasi delik yang berbeda yaitu dalam Pasal 286 KUHP tidak adanya unsur kekerasan atau ancaman kekerasan sedangkan Pasal 81 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengharuskan adanya kekerasan atau ancaman kekerasan. Bahwa Berdasarkan kronologis kasus tersebut tidak ditemukannya unsur pasal 81 ayat UU Perlindungan Anak yaitu adanya unsur kekerasan atau ancaman kekerasan. Oleh karena itu Penuntut Umum ragu menerapkan UU Perlindungan anak saja, karena untuk menghindari lolosnya terdakwa dari hukuman jika dalam fakta persidangan unsur pasal yang didakwakan tidak terbukti. Tetapi jika diterapkan KUHP saja akan menyalahi ketentuan Pasal 63 ayat (2)
mengenai asas lex specialis derogate lex generalis serta jika tidak terbukti dalam persidangan terdakwa dapat terbebas dari hukuman. Maka untuk itu Penuntut Umum menyusun dakwaan kedalan bentuk dakwaan Alternatif. Tetapi jika dilihat bahwa dalam kasus tindak pidana kesusilaan tersebut pelaku masih dibawah umur seharusnya penuntut umum dapat memilih menyusun surat dakwaan tunggal yaitu dengan menggunakan Undang-Undang Perlindungan Anak saja sebagai aturan khususnya dan mengesampingkan KUHP sebagai aturan umumnya dengan melihat ketentuan dalam Pasal 63 ayat (2) KUHP tentang asas lex specialis derogate lex generalis. selain daripada itu Surat Edaran Jaksa Agung Nomor 004/J.A/11/1993tentang Pembuatan Surat Dakwaan menyatakan didalam bagian teknik pembuatan Surat Dakwaan, bentuk surat dakwaan harus disesuaikan dengan jenis tindak Pidana yang dilakukan oleh terdakwa. Apabila terdakwa hanya melakukan satu tindak pidana, maka digunakan dakwaan tunggal maka secara eksplisit dapat diartikan bahwa jika tindak pidana yang dilakukan terdapat aturan khusus (lex specialis) dan terdapat aturan umum (lex generalis) haruslah Penuntut Umum menggunakan Aturan khususnya (lex specialis) saja. Namun dalam menyusun surat dakwaan penuntut umum harus berhati-hati untuk menghindari lolosnya pelaku dari hukuman pidana. Untuk itu dengan memperhatikan Surat Edaran Jaksa Agung tentang Pembuatan Surat Dakwaan mengenai teknik pembuatan surat dakwaan secara redaksional Penuntut umum harus merumuskan fakta-fakta dan perbuatan terdakwa yang dipadukan dengan
unsur-unsur Tindak Pidana sesuai. Hal tersebut menjadi penting karena memperhatikan Surat Edaran Jaksa Agung Nomor 004/J.A/11/1993 tentang Pembuatan
Surat
Dakwaan
Penuntut
Umum
dituntut
memiliki
kemampuan/kemahiran dalam penyusunan Surat Dakwaan serta kecermatan, Jelas dan Lengkap dalam merumuskan surat dakwaan yang menjadi syarat materiil dalam surat dakwaan. Cermat dalam rumusan pasal 143 (2) huruf b KUHAP yang berarti Ketelitian Jaksa Penuntut Umum dalam Penuntut umum harus diteliti dalam mempersiapkan surat dakwaan yang didasarkan kepada undang-undang yang berlaku bagi terdakwa serta tidak terdapat kekurangan dan atau kekeliruan yang akan mengakibatkan batalnya surat dakwaan atau tidak dapat dibuktikan. Jelas yang berarti Jaksa Penuntut Umum harus mampu merumuskan unsure-unsur delik yang didakwakan sekaligus memadukan dengan uraian perbuatan materiil (fakta) yang dilakukan oleh terdakwa dalam surat dakwaan. Lengkap yang berarti Uraian surat dakwaan harus mencakup semua unsur-unsur yang ditentukan Undang Undang secara lengkap. Jangan sampai terjadi ada unsur delik yang tidak dirumuskan secara lengkap atau tidak diuraikan perbuatan materiilnya secara tegas dalam dakwaan, sehingga berakibat perbuatan itu bukan merupakan tindak pidana menurut undang-undang. Memahami semua unsur-unsur daripada Pasal 81 UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak secara cermat, jelas, dan lengkap yang menjadi syarat materiil surat dakwaan sesuai dengan Pasal 143 ayat (2) akan membuktikan semua unsur terpenuhi atau tidaknya. Mengenai keraguan penuntut umum dalam kasus tindak pidana kesusilaan terhadap anak ini mengenai tidak terpenuhinya dikarenakan memahami secara sempitnya yaitu tidak adanya tekanan fisik dari pelaku kepada korban.Unsur melakukan kekerasaan tidak hanya memiliki arti sempit dengan melihat Pasal 89 KUHP yang menegaskan bahwa yang dapat disamakan dengan melakukan kekerasan adalah membuat orang pingsan atau
tidak berdaya. Maka penuntut umum seharusnya dapat menyusun dakwaan tunggal dengan yaitu UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Keraguan Penuntut Umum terkait perbedaan kwalifikasi delik yang yang diterapkan yaitu antara Pasal 81 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang berbunyi “ Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah), ” sedangkan dengan Pasal 286 KUHP yang berbunyi “ Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinan, padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun”. Yang menjadikan Penuntut Umum menyusun dakwaan kedalam Bentuk Surat Dakwaan Alternatif yang memberikan kelonggaran pada hakim untuk memilih atau tidak memilih Undang-Undang Perlindungan Anak, dimana jelas dalam kasus tindak pidana kesusilaan ini pelaku dan korban masih dibawah umur. Perbedaan kwalifikasi delik mengenai unsur daripada pasal-pasal tersebut yaitu dalam Pasal 81 ayat (1) UU Perlindungan Anak terdapat unsur kekerasan atau ancaman kekerasan sedangkan dalam Pasal 286 KUHP tidak terdapat unsur tersebut.
Perbedaan kwalifikasi delik tidak dapat dibenarkan Penuntut Umum menyusun Dakwaan Alternatif dengan memperhatikan Surat Edaran Jaksa Agung Nomor 004/J.A/11/1993 tentang Pembuatan Surat Dakwaan mengenai pemilihan bentuk dakwaan tunggal, secara eksplisit dapat diartikan jika terdakwa hanya melakukan satu tindak pidana serta terdapat aturan umum dan aturan khususnya, Penuntut Umum harus menyusun dakwaan tunggal dengan menggunakan aturan khususnya saja (lex specialis). Hal tersebut dikuatkan pula dengan berpedoman pada ketentuan Pasal 63 ayat (2) tentang Asas Lex Specialis derogate lex generalis tidak menjadikan masalah jika diterapkannya UU Perlindungan Anak sebagai lex specialisnya dari KUHP. Ketentuan pasal 63 ayat (2) KUHP mengenai asas Lex specialis derogat legi generalis yang merupakan suatu asas hukum yang mengandung makna bahwa aturan yang bersifat khusus (specialis) mengesampingkan aturan yang bersifat umum (general). Mengenai ketentuan pidana dapat dikatakan aturan khusus tidak memiliki kriteria yang jelas. Namun berdasarkan pendapat dari P.A.F. Lamintang mengenai suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus tidak selalu harus memuat semua unsur dari apa yang ada dalam aturan umum tetapi memuat unsur lain juga dari aturan umum. Melihat pendapat diatas mengenai menentukan termasuk aturan khusus atau tidaknya suatu peraturan. Undang-Undang Perlindungan Anak masuk menjadi lex specialis dari KUHP karena ketentuan pidana dalam Undang-Undang Perlindungan Anak memuat unsur-unsur yang lain, juga memuat semua unsurdari suatu ketentuan pidana daripada KUHP yang bersifat umum.
Berdasarkan asas lex specialis derogate lex generalis serta terpenuhinya unsur-unsur daripada Pasal 81 ayat (1) UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak diatas seharusnya penuntut umum dalam kasus tindak pidana kesusilaan harus menyusun dakwaan tunggal yaitu dengan mendakwakan pasal 81 UU Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002 sebagai lex specialis dari KUHP.