BAB II CINTA DALAM PSIKOLOGI DAN TASAWUF
A. Cinta Dalam Perpektif Psikologi 1. Pengertian Cinta Melihat cinta sebagai salah satu bentuk sikap dan perilaku manusia, maka tidak bisa dimungkiri bahwa cinta merupakan salah satu lahan garapan bagi kajian psikologi. Secara psikologis cinta adalah sebuah perilaku manusia yang emosional di mana wujudnya adalah tanggapan atau reaksi emosional seseorang terhadap rangsangan tertentu. Dalam hal ini cinta dipengaruhi oleh interasi antara pecinta dengan lingkungannya, kemampuan pecinta tersebut, serta tipe dan kekuatan unsur pendorongnya.1 Dalam mendefinisikan cinta belum pernah ditemui satu rumusan tentang cinta yang singkat padat dan mewakili pemahaman akan cinta itu sendiri secara tepat. Ini dikarenakan bahwa pendefinisian itu merupakan suatu hasil pemahaman seseorang terhadap realitas yang dihadapinya, maka sangat mungkin jika definisi yang dilontarkan seseorang sangat tergantung latar belakang historis yang membuat definisi dan kondisi yang melingkupi ketika definisi tersebut dilontarkan. Jika melihat cinta sangat erat berkait dengan dimensi perasaan, maka sangat tidak mustahil jika pendefinisian tersebut juga dipengaruhi oleh pengalaman seseorang dalam cinta. Kata cinta dalam bahasa Indonesia dapat berarti: suka sekali, sayang benar, kasih sekali, terpikat (antara laki-laki dan perempuan), ingin sekali, berharap sekali, rindu, susah hati, (khawatir).2 Sedangkan dalam 1
Fahruddin Faiz, Filosofi Cinta Kahlil Gibran, Tinta, Yogyakarta, 2002, hlm. 16. Tim Penyusun Kamus, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, hlm. 168. 2
13
14
kamus psikologi, cinta adalah perasaan khusus yang menyangkut kesenangan terhadap atau melekat pada objek, cinta berwarna emosional bila muncul dalam pikiran dan dapat membangkitkan keseluruhan emosi primer, sesuai dengan emosi di mana objek itu terletak atau berada.3 Banyak
sekali
tokoh-tokoh
psikologi
yang
mencoba
mendefinisikan cinta, dan harus diakui bahwa definisi-definisi tersebut sangatlah beragam dan tidak senada. Diantaranya adalah Sigmund Freud, yang mengungkapkan bahwa cinta dan hal-hal lain yang sama sifatnya dengan cinta tidak lebih dari salah satu kemampuan psikis manusia. Sumber dan pusat pendorong yang paling utama dalam cinta dan hal-hal lain tersebut adalah libido seksual. Berbagai pandangan yang mulukmuluk tentang cinta sebenarnya bermuara pada cinta seksual dan bertujuan pada penyatuan seksual. Jika objek cinta yang dimaksud bukan lawan jenis, maka pusat yang sebenarnya tetap libido seksual, hanya saja itu diproyeksikan kepada hal lain. Apabila energi yang berpusat pada libido seksual itu diproyeksikan kepada hal lain atau aktifitas lain, energi tersebut akan mengalami perubahan dari kehendak mewujudkan tujuan seksual, menjadi bentuk lain yang kreatif.4 Freud adalah orang pertama yang mengajukan teori cinta koheren yang dilandaskan pada prinsip-prinsip ilmiah. Dia menyimpulkan bahwa kita jatuh cinta karena kita mengikuti aturan-aturan yang tertanam di alam bawah sadar kita.5 Erich Fromm, pakar Psikoanalisis, melihat adanya unsur-unsur mendasar dalam segala bentuk cinta sejati. Unsur-unsur itu mencakup kepedulian, tanggung jawab, rasa hormat dan pengetahuan. Rasa hormat hanya mungkin muncul pada individu yang merasa tidak perlu mendominasi, mengendalikan atau memanfaatkan orang lain. Cinta
3
James Drever, Kamus Psikologi, Terj. Nancy Simanjuntak dari The Penguin Dictionary of Psychology, Bina Aksara, Jakarta, 1998, hlm. 263. 4 Fahruddin Faiz, op.cit., hlm. 36. 5 Megan Tresidder, Risalah Cinta dan Nafsu, Kata Hati, Yogyakarta, 2005, hlm. 35.
15
adalah bocahnya kemerdekaan. Dan jelas, orang tidak bisa mencintai apa yang tidak diketahuinya.6 Sementara itu, tokoh psikologi Humanistik, Abraham Maslow, memiliki gagasan bahwa manusia dimotivasi oleh sejumlah kebutuhan dasar yang bersifat sama untuk seluruh spesies, untuk berubah, dan berasal dari sumber genetik atau naluriah. Kebutuhan dasar tersebut tersusun secara hirarkhis dalam lima strata yang bersifat relatif, yaitu : a. Kebutuhan-kebutuhan fisiologis (fa’ali) b. Kebutuhan akan keselamatan c. Kebutuhan akan rasa aman d. Kebutuhan akan rasa cinta dan memiliki e. Kebutuhan akan aktualisasi diri.7 Bagi Maslow, perasaan cinta dan memiliki tidak hanya didorong oleh kebutuhan seksualitas. Namun lebih banyak didorong oleh kebutuhan kasih sayang. Ia sepakat dengan definisi cinta yang dikemukakan oleh Karl Roger, bahwa cinta adalah “Keadaan dimengerti secara mendalam dan menerima dengan sepenuh hati”. Perasaan cinta yang sesungguhnya adalah perasaan saling percaya dengan hubungan sehat penuh kasih. Tanpa adanya perasaan saling percaya, maka hubungan cinta seseorang akan menjadi rapuh dan rusak. Kebutuhan cinta adalah meliputi cinta yang memberi dan cinta yang menerima.8 2. Macam-macam Cinta Beragam sekali orang di dalam mendefinisikan cinta, dan semua itu tergantung dari pengalaman mereka masing-masing. Ada
yang
mengatakan bahwa cinta ialah garam. Hidup tanpa cinta bagaikan sayur tanpa garam. Jadi, kalau orang dalam hidupnya tidak memiliki cinta, maka 6
Lynn Wilcox, Sufism and Psychology, terj. IG. Harimurti Bagoesaka, Ilmu Jiwa Berjumpa Tasawuf Sebuah Upaya Spritualisasi Psikologi, PT. Serumbi Ilmu Semesta, Jakarta, 2003, hlm. 282. 7 Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi Telaah atas Pemikiran Psikologi Humanistik Abraham Maslow, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta, 2002, hlm. 70-71. 8 Ibid., hlm. 76-77.
16
hidupnya tidak berarti. Supaya kita tidak condong dan hanyut pada ekstremitas tertentu, maka cinta perlu dibagi dalam beberapa jenis dan kategori. Muhidin M. Dahlan dalam bukunya “Mencari Cinta”, membagi cinta dalam empat kategori, yaitu cinta erotis (erotic love), cinta rasional (rational love), cinta romantis (romantic love), dan cinta agape (god love).9 a. Cinta Erotis Disebut cinta erotis atau cinta biologis, dikarenakan pada cinta ini daya tarik manusia antara satu dengan yang lain bersifat badaniah. Titik orientasi cinta ini berpusat pada kepuasan diri sendiri (egosentrisme). Seseorang dicintai sejauh ia dapat memenuhi kenikmatan seksual. Dalam hal ini, cinta dilihat sebagai suatu perbuatan biologis atau fisiologis. Cinta seperti ini akan cepat hilang manakala pasangannya sudah tidak menarik lagi. Cinta
erotis
hampir
sama
dengan
cinta
binatang.
Kesamaannya sama-sama bertumpu pada dorongan “instingtif”. Perbedaanya terletak pada cara mengendalikan unsur intingtif tersebut. Pada manusia masih memiliki kesanggupan untuk mengendalikan daya seksualnya sesuai dengan hakekat dan martabat kemanusiaannya. Maka bisa saja manusia akan sama dengan binatang apabila manusia tidak sanggup mengendalikan dorongan seksualnya itu. Megan Tresidder berpendapat bahwa cinta erotis pada esensinya adalah simfoni mempertentangkan impuls-impuls dan sensasi-sensasi.10 b. Cinta Rasional Jenis cinta semacam ini bersifat rasional atau dapat dipersepsi oleh nalar. Biasanya cinta rasional ini berbentuk material. Orang yang menganut cinta ini beranggapan bahwa apresiasi terhadap keindahan sebagai bentuk cinta yang merupakan perpaduan jiwa dan akal. Seperti 9
Muhidin M. Dahlan, Mencari Cinta, Melibas, Jakarta, 2004, hlm. 68. Megan Tresidder, op.cit., hlm. 30.
10
17
ucapan Pitirin Sorokin dalam pengantar bukunya The Ways and Power of Love: “Pikiran yang waras tidak mempercayai sama sekali kekuatan cinta. Bagi kita, cinta tampak sebagai suatu hal yang menyesatkan. Kita menyebutnya penipuan diri, merupakan candu yang meracuni pikiran manusia, omong kosong yang tidak ilmiah dan khayalan yang tidak ilmiah pula”.11 c. Cinta Romantis Cinta romantis adalah cinta yang tidak hanya difikirkan tetapi juga dirasakan. Bagi penganut cinta ini memandang bahwa cinta adalah untaian bait-bait puisi yang menepuk-nepuk jiwa yang sedang dilanda perindu. Cinta adalah pemilik rasa dan hanya rasa. Maka tibatiba saja orang yang mangalami cinta semacam ini berubah manjadi pujangga yang bisa mengubah kepedihan menjadi barisan kata-kata yang indah. d. Cinta Religius / Agape Cinta ini merupakan sebentuk ritus penyerahan diri total kepada sang kekasih. Penganut cinta seperti ini tidak pernah berkeluh kesah sedikitpun karena jenis cinta ini adalah lebih tinggi tingkatannya dari jenis cinta yang lain. Bahkan penganut cinta ini bebas menari di dalam kesadaran yang tanpa batas dan tanpa harus terganggu oleh batas ideologi, agama, ras, dan sebagainya. Sementara itu, Rollo May, menyebut empat jenis cinta dalam tradisi barat yang berasal dari khasanah budaya Yunani. Pertama adalah seks, yaitu cinta yang hanya mementingkan nafsu, libido. Kedua adalah eros, yaitu dorongan cinta untuk berkreasi atau dorongan ke arah bentuk-bentuk kehidupan dan hubungan yang lebih tinggi. Ketiga adalah cinta persaudaraan atau philia. Keempat adalah agape,
11
Muhidin M. Dahlan, op.cit., hlm. 74 – 75.
18
atau memberikan dengan tanpa pamrih, sebagai contoh adalah cinta Tuhan pada manusia.12 Sifat cinta memang misterius, karena cinta hanya dapat dirasakan dan hanya orang-orang yang mengalaminya saja yang merasakan nikmatnya cinta. Bahkan belum pernah seorang pun yang sungguh-sungguh merasa puas dengan definisi cinta. Oleh sebab itu, Scott membagi cinta ke dalam tiga kategori yaitu : eros (cinta birahi), philia (cinta kasih pada anak), dan agape (cinta kasih sejati).13 Erich Fromm, dalam bukunya The Art of Loving, membagi cinta berdasarkan objeknya,14 yaitu: a. Cinta Persaudaraan Jenis cinta paling fundamental yang mendasari semua tipe cinta adalah persaudaraan (brotherly love). Cinta persaudaraan maksudnya adalah cinta terhadap semua manusia. Ciri khas dari cinta ini adalah tidak adanya eksklusifitas. Jika cinta kita telah mengembangkan kemampuan untuk mencintai, berarti mau tidak mau kita harus mencintai saudara-saudara kita. Dalam cinta persaudaraan terdapat pengalaman kesatuan dengan sesama manusia, pengalaman perdamaian, dan solidaritas antara manusia. b. Cinta Keibuan Cinta ibu adalah suatu peneguhan tanpa syarat terhadap hidup dan kebutuhan-kebutuhan seorang anak. Hubungan antara ibu dan anak pada dasarnya merupakan hubungan yang tidak seimbang, di mana yang satu memerlukan segala bantuan, sedangkan yang lain memberikan semua. Karena inilah cinta ibu
12
DR. Lynn Wilcox, op.cit., hlm. 285. M. Scott Peck, Tiada Mawar Tanpa Duri, Psikologi Baru Tentang Cinta, Nilai Tradisional dan Pertumbuhan Spritual, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1990, hlm. 55 14 Erich Fromm, The Art of Loving, Fresh Book, Jakarta, hlm. 79-119. 13
19
dianggap sebagai jenis cinta yang tinggi dan ikatan emosional yang paling luhur. c. Cinta Erotis Cinta erotis adalah cinta yang mendambakan suatu peleburan secara total dan penyatuan dengan pribadi lain. Pada hakekatnya, cinta erotis bersifat eksklusif dan tidak universal. Cinta erotis bersifat eksklusif ketika ia hanya dapat meleburkan diri sepenuhnya dengan satu pribadi. Bagi penganut cinta ini, keintiman atau kemesraan ditentukan melalui hubungan seksual. d. Cinta Diri Bagi Fromm, mencintai diri sendiri adalah buruk. Ia menganggap bahwa selama kita mencintai diri sendiri, maka selama itu pula kita tidak mencintai orang lain. Karena cinta pada diri sendiri sama dengan mementingkan diri. e. Cinta Tuhan Ialah cinta yang tidak memohon atau mengharap apa-apa dari Tuhan. Orang yang benar-benar religius telah mencapai kerendahan hati untuk merasakan keterbatasan-keterbatasannya sampai pada tahap menyadari bahwa dia tidak mengetahui apa-apa tentang Tuhan. Bagi dirinya, Tuhan menjadi simbol pada dunia spritual, cinta, kebenaran dan keadilan. 3. Pengaruh Cinta Cinta sebagai klimaks perasaan dan hubungan sangatlah beragam dan ia menimbulkan pengaruh yang beragam pula pada pencinta. Secara umum, cinta menimbulkan pengaruh-pengaruh sebagai berikut : a. Cinta membuat orang lamban dan malas menjadi lincah dan terampil, bahkan membuat orang yang berfikir lamban menjadi gesit.
20
b. Cinta mengubah si kikir menjadi dermawan, si pemberang dan kaku menjadi penyabar dan penuh toleransi serta pengertian. c. Cinta dapat membawa seorang petani yang sendirian harus menghadapi lumpur di sawah pagi-pagi buta, atau mengurus saluran airnya tengah malam agar padi bisa hijau dan panen menguning. d. Cinta mampu membangunkan tenaga yang tidur, membebaskan daya kekuatan yang dirantai belenggu. Cinta berkobar dengan inspirasi dan membina pahlawan. Betapa banyak penyair, filsuf, dan seniman diciptakan oleh energi cinta yang gaib, kuat dan kuasa ini.15 Menurut Muhsin Labib, ada tujuh pengaruh yang ditimbulkan oleh cinta, 16 yaitu : 1. Menghilangkan kesombongan dari diri pencinta Cinta diri membuat lingkup pemikirannya terbatas, dan kecenderungan-kecenderungan pribadinya terkurung karena pikiran dan hatinya hanya terfokus pada dirinya sendiri sedemikian rupa sehingga ia menjadi kerdil. 2. Menciptakan daya dan kekuatan Konsistensi yang merupakan energi dan daya survive dan kesabaran dalam menghadapi tekanan dan menanggung derita adalah akibat dari cinta. 3. Mengkonsentrasikan semua daya Cinta telah menyatukan semua potensi manusia, karena pikiran, perilaku dan sepak terjang pecinta akan dikerahkan untuk mencari sesuatu yang tidak terjangkau oleh indra lahiriah. Karena itulah benaknya hanya terisi oleh pikiran tentang ma’syuq (yang dicinta).
15
Muhidin M. Dahlan, op.cit., hlm. 81-83. Muhsin Labib, Jatuh Cinta Puncak Pengalaman Mistis, Penerbit Lentera, Jakarta, 2004, hlm. 44-46. 16
21
4. Melembutkan hati dan menghindarkan jiwa dari kekerasan Manusia yang telah tertawan cinta, betapa pun berwatak keras, pasti akan merasakan kelembutan dalam batas-batas tertentu, minimal ia bisa lebih bersabar di depan kekasihnya, sehingga secara perlahan membuat hatinya menjadi lembut. Andaikan hatinya lembut, maka ia akan menjadi lebih lembut setelah menjadi pecinta. 5. Mencabut kebebasan dan memasung kreatifitas Seorang pecinta akan mengabaikan kepentingan dirinya demi kepentingan kekasihnya, bahkan ia tidak membedakan antara kepentingan dirinya dan kepentingan kekasihnya. 6. Membuat pecinta menjadi dermawan, tangkas dan cerdas Cinta telah membuat manusia keluar dari lingkaran egonya. Karena cinta, manusia menyandang sifat-sifat tertentu yang merupakan akibat cinta, seperti kedermawanan, ketangkasan dan kecerdasan. 7. Melupakan kekurangan kekasihnya dan membutakan matanya Karena
tengelam
oleh
kekaguman
pada
keindahan
kekasihnya, ia tidak melihat kekurangannya. Bahkan ia menganggap semua kelemahan sebagai keindahan dan kesempurnaan semata. Muhammad Muhyidin menambahkan bahwa pengaruh dari cinta bisa membuat si pecinta mengenali dirinya sendiri.17 Inilah cinta yang menjadikan si pecinta untuk bisa tampil sebaik-baiknya di depan kekasihnya. Dia akan selalu mengaca untuk menemukan kelemahan dan kekuatan yang ada di dalam dirinya. Dia akan membuat kekasihnya semangat dan bahagia. Pengaruh cinta memang luar biasa dahsyatnya. Bahkan tidak seorang pun yang bisa menghindarinya ketika si pecinta benar-benar berada dalam cinta yang tulus dan sejati. Pengaruh-pengaruh cinta yang
17
Muhammad Muhyadin, op.cit., hlm. 191.
22
kuat akan menggetarkan dan menyingkap dimensi-dimensi hati manusia yang paling menakjubkan. Megan Tresidder mengungkapkan bahwa ada gejala-gejala klasik yang dialami oleh orang yang tengah dimabuk cinta, diantaranya adalah tidak bisa tidur, bermimpi buruk, berhalusinasi, pucat, kurang konsentrasi dan kehilangan nafsu makan.18 Kebahagiaan yang meluap-luap yang dirasakan si pecinta bisa berubah atau diikuti oleh penderitaan yang luar biasa dalam perasaan tak berdaya ketika orang yang dicintai meninggalkannya atau berada jauh dari pecinta. Perubahan-perubahan yang dialami oleh pecinta tersebut bisa membawa dampak pada penyakit fisik, seperti sesak nafas, jantung berdegub cepat, perilaku lamban dan malas, serta keluh kesah.19 Namun, penyakit ini bisa hilang dan hanya bisa diobati ketika pecinta bertemu dengan kekasihnya. Menurut keterangan-keterangan orang yang memadu cinta, bila mereka sedang bersama pasangannya, mereka dapat menghayati kepribadian sendiri untuk berperilaku tulus. Tingkah laku yang tulus. itu juga termasuk membiarkan terjadinya kesalahan, kelemahan dan segala cacat fisik dan psikologis pasangannya.20
B. Cinta Dalam Perpektif Sufi 1. Pengertian Cinta Dalam estetika sufisme, cinta mempunyai makna luas. Cinta bukan dimaknakan secara umum, melainkan lebih pada keadaan dan 18
Megan Tresidder, The Hand book of Love, Bacaan Wajib Bagi Para Pecinta Untuk Meningkatkan Kualitas Cinta, Lotus, hlm. 59. 19 Ibid., hlm. 60. 20 Abraham Maslow, Motivasi dan Kepribadian - 2, LPPM dan PT. Pustakan Binaman Pressindo, 1993, hlm. 44.
23
tingkatan rohani yang membawa seseorang mencapai pengetahuan ketuhanan. Kita menemukan bahwa di dalam bahasa Arab cinta diungkapkan dalam berbagai macam kata, dengan pengertian yang berbeda-beda secara substansial dan kontekstual, diantaranya adalah : a. Mahabbah Secara etimologi, ‘al-hubb’ (cinta) adalah bentuk generik dari ‘al-habb’ yang berarti inti hati. Al-Hujwiri mengatakan bahwa kata mahabbah berasal dari kata habbah berarti “benih-benih yang jatuh di padang pasir”. Diartikan demikian karena memang cinta adalah sumber kehidupan.21 Ada
juga yang mengatakan bahwa kata mahabbah yang
berasal dari kata hubb berarti “tempayan yang berisi penuh dan tenang”. Dikatakan demikian karena cinta memenuhi hati dengan objek yang dicintai sehingga tidak memungkinkan hati gelisah terhadap objek yang lain.22 Al-Qusyairi berpendapat bahwa cinta (mahabbah) dapat dikatakan dengan kata hubab yang berarti gelembung-gelembung yang terbentuk di atas permukaan air ketika hujan besar. Jadi cinta (mahabbah) menggelembungkan hati ketika ia haus dan berputus asa untuk bertemu dengan kekasihnya. Dia juga mengatakan bahwa cinta berasal dari kata hibb (kendi air) karena ia berisi air, dan manakala ia penuh, tidak ada lagi tempat untuk sesuatu yang lain. Manakala hati penuh dengan cinta, tidak ada lagi tempat di dalamnya untuk apapun selain dari kekasih.23 Pendapat lain mengatakan, al-mahabbah adalah gerakan hati yang tiada henti mengingat sang kekasih dan ketenangannya tatkala
21
Muhammad Muhyidin, op.cit., hlm. 100. Ibid. 23 Asfari MS. Dan Otto Sukatno CR, Mahabbah Cinta Rabi’ah al-Adawiyah, Logung Pustaka, Yogyakarta, 2005, hlm. 57-58. 22
24
bersanding dengannya. Artinya berdampingan dengan orang yang dicintai selama-lamanya, seperti yang dikatakan dalam sebuah syair: “Aku merasa aneh terhadap diriku karena aku mencintai mereka kutanya setiap orang yang berlalu padahal mereka bersanding bersama mataku mencari-cari selalu padahal mereka tetap di tempatnya hatimu dirundung rindu padahal mereka ada di antara tulang iga”24 Ada tiga pengertian dasar dari kata mahabbah (cinta). Pertama, “kesenantiasaan dan ketetapan”. Kedua, “cinta terhadap sesuatu” (al-abbat min al-syai’). Ketiga, “sifat berkecukupan” (walk al-qitr). Pengertian dasar ini memberikan arti bahwa mahabbah, merupakan suatu wujud ketetapan arti yang tidak mau berpisah (alluzm) dengan sesuatu yang dicintainya, dan sesuatu yang dicintainya itu sudah cukup baginya sehingga ia tidak akan mungkin lagi mencintai yang lain.25 b. ‘Isyq Menurut Rumi, ‘isyq adalah mahabbah yang tidak terbilang banyaknya. Dalam literatur tasawuf, ‘isyq diilustrasikan sebagai “cinta majazi” yang diharapkan menjadi eskalator menuju tower “cinta sejati”. Menurut Ibn ‘Arabi, ‘isyq merupakan fase tertinggi dari jiwa manusia, sekaligus awal pencapaian kesempurnaannya, hingga kemudian cinta itu “lenyap” dan melebur dalam daya tarik Allah.26 c. Syauq Kata ini termasuk salah satu istilah cinta. Di dalam AshShahhah dikatakan, “Asy-Syauqu wal-Isytiyaq” adalah pergumulan 24
Ibnu Qayyim Al-jauziyyah, Taman Orang-orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu, Darul Falah, Jakarta, hlm. 7. 25 Eko Harianto, Mencari Cinta Sejati, Hakikat, Makna, dan Pencari Jati Diri, Saujana, Yogyakarta, 2005, hlm. 37. 26 Muhsin Labib, op.cit., hlm. 29-30.
25
jiwa terhadap sesuatu. Jika dikatakan “Syaqani asy-syai’u”, artinya Dia merindukanku dan aku merindukan-Nya. Jika dikatakan, “Tasyawwaqtu”, artinya kerinduan terhadap dirimu bergejolak.27 Kerinduan merupakan bara dan kobaran api cinta yang bersemayam di dalam hati orang yang mencinta. Kerinduan inilah yang mendorong seseorang untuk selalu berdekatan dan berhubungan dengan orang yang dicintai. d. Mawaddah Kata lain yang mendekati cinta adalah mawaddah. Ia berasal dari kata wudd yang berarti al-hubb al-katsir (cinta yang deras). Menurut pakar leksikografi28 Al-Qur’an ar-Raghib al-Ishfahani, bila mahabbah hanya sebatas kasih yang tersembunyi dalam lubuk hati seorang insan, maka mawaddah lebih dari itu.29 e. Rahmah Kata lain yang juga bersignifikasi dengan mahabbah adalah rahmah. Ia berasal dari kata rahm, yang berarti rasa kasih yang mendorong munculnya perbuatan baik terhadap yang dikasihi (objek kasih).30 f. Uns Uns berarti kenikmatan (kemesraan) karena bercumbu dengan kekasih, Allah swt. Imam Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Ketahuilah, Allah mempunyai hembusan di hari-harimu”. Itu berarti setiap hari, Allah memberikan hembusan kepada kita.31
27
Ibnul Qayyim, op.cit., hlm. 15-16. Leksikografi yaitu penyusunan kamus. 29 Muhsin Labib, op.cit., hlm. 32. 30 Ibid., hlm. 33. 31 Ibid. 28
26
g. Ulfah Kata ulfah berasal dari kata kerja alifa, yang berarti mencintai. Ia mewakili subjek (pecinta). Kata benda ilf mewakili objek (yang dicintai, kekasih). Sedangkan kata alafa berarti “memadukan”. Menurut ad-Dailami, kata kerja alafa lebih signifikan karena secara harfiah lebih mencakup kedua pihak, pecinta dan yang dicintai.32 Orang yang mempunyai rasa cinta pasti punya rasa rindu. Kerinduan untuk berjumpa dan kehendak melepaskan rasa kangen selalu hidup di dalam hati manusia. Sudah dijelaskan di atas bagaimana rasa rindu itu mendorong untuk cepat berjumpa dalam keadaan
tenang
dan
damai
di
dalam hati
seseorang
ingin
menyampaikan perasaan hatinya dan keluh kesah atau rasa gembira kepada yang dirindukannya. Orang yang mabuk dalam bercinta dengan asyik masyuk-nya, ia berada di dalam suasana tanpa batas. Dengan seluruh kerinduannya ia
menyampaikan
perasaan
dan
isi
hatinya,
bahagia
dan
kenikmatannya berjumpa serta memandang wajahnya sepenuh hati. Demikian halnya seorang mukmin yang sedang bercinta dengan Allah Al-khalik Rabbul ’Alamin, ketika ia bermuwajjahah (bertatap muka) dengan Rabb-nya itu, menyampaikan seluruh kerinduannya, lalu memandang-Nya dengan sepuas hati
tanpa ada satupun yang
menghalanginya. Karena ia berada dalam posisi berhadapan melalui ma’rifat yang sempurna. Makin besar kerinduannya, makin besar pula nikmat yang diperolehnya.33 Dalam mendefinisikan cinta, hingga saat ini tak seorang pun yang dapat mendefinisikannya secara tepat dan sempurna. Karena ketika
32
orang
mendefinisikan
cinta,
sesungguhnya
ia
Ibid., hlm. 33-34. Djamaluddin Ahmad Al-Buny, Menelusuri Taman-Taman Mahabbah Shufiah, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta, 2002, hlm. 41-42. 33
27
mendefinisikannya hanya dari sudut pandang yang mampu ia serap. Artinya, ada bagian dari “tubuh’ cinta yang tidak mampu mereka serap hingga tidak bisa mendefinisikannya. Seperti kata Ibn ‘Arabi, “Jika seseorang mengaku bisa mendefinisikan cinta, jelaslah ia masih belum mengenalnya. Jika ada orang yang berkata, “Aku sudah kenyang dengan cinta”, ketahuilah, ia masih buta tentang cinta, kerena tak seorangpun dikenyangkan oleh cinta”.34 2. Macam-macam Cinta Sayid Muhammad Husain Fadhlullah dalam bukunya yang berjudul “Dunia Wanita Dalam Islam”, membagi cinta menjadi empat macam, 35 yaitu: a. Cinta Spiritual Cinta ini bertitik tolak dari sifat-sifat yang berharga (mulia) yang terwujud dalam diri Kekasih (al-Mahbub). Kita terkadang mencintai seorang pahlawan, orang yang dermawan, orang yang alim, orang yang ikhlas, dan lain-lain. Cinta semacam ini adalah suatu perasaan yang berasal dari akal dan sampai ke hati, lalu ia bergerak dalam bentuk penghormatan dan hubungan emosional terhadap orang lain. b. Cinta Inderawi (al-hub al-hissy) Yaitu cinta yang dibangkitkan secara naluriyah oleh sifatsifat keindahan yang ada pada orang lain, persis sebagaimana keadaan cinta pria pada wanita, atau cinta wanita kepada pria. Cinta ini biasanya bertitik tolak dari nurani yang terkadang terjadi di bawah alam sadar, namun ia melepaskan perasaan ini secara ringan, yang terkadang tidak dirasakannya oleh keduabelah pihak (laki-laki dan perempuan).
34
Muhammad Muhyidin, op.cit., hlm. 109. Sayid Muhammad Husain Fadhlullah, Dunia Wanita Dalam Islam, Penerbit Lentera, Jakarta, hlm. 143. 35
28
c. Cinta Naluri (al-hub al-gharizy) Cinta ini ada pada keadaan ketidakseimbangan jiwa. Atau cinta yang menyimpang dari tempatnya yang alami ke jenis kelamin yang sama. Misalnya wanita akan mencintai sesama wanita, sebagaimana terjadi keadaan penyimpangan seksual antara sesama wanita (lesbian), atau lelaki yang mencintai sesama lelaki (homo). d. Cinta Rohaniah dan Emosional (al-hub ar-ruhy al-‘athify) Yaitu cinta ayah dan ibu kepada anak-anak mereka, serta cinta seseorang kepada temen-temannya dan kaum kerabatnya dan lain-lain. Cinta tersebut bersifat fitri, karena manusia akan tertarik dengan orang yang ada ikatan dengannya, seperti ikatan kebapakan, keibuan, kekeluargaan dan persahabatan. Sedang Ibn ‘Arabi membedakan cinta menjadi tiga macam,36 yaitu: a. Cinta Ilahiah (hibb Ilahi) Yaitu cinta Khalik kepada makhluk di mana Dia menciptakan diri-Nya, yaitu menerbitkan bentuk tempat Dia mengungkapkan diriNya, dan sisi lain cinta makhluk kepada Khaliknya, yang tidak lain adalah hasrat Tuhan yang tersingkap dalam makhluk, rindu untuk kembali kepada Dia, setelah Dia merindukan sebagai Tuhan yang tersembunyi, untuk dikenal dalam diri makhluk inilah dialog abadi antara pasangan Ilahi manusia. b. Cinta Spiritual (hibb ruhani) Cinta yang terletak pada makhluk yang senantiasa mencari wujud di mana bayangannya dia cari di dalam dirinya, atau yang didapati olehnya bahwa bayangan (citra, image) itu adalah dia sendiri. Inilah cinta yang tidak mempedulikan, mengarah, atau menghendaki apapun selain kekasih agar terpenuhi apa yang dia kehendaki. 36
187.
Henry Corbin, Imajinasi Kreatif Sufisme Ibn ‘Arabi, Lkis, Yogyakarta, 2002, hlm.
29
c. Cinta Alami (hibb tabi’i) Yaitu cinta yang berhasrat untuk memiliki dan mencari kepuasan hasratnya sendiri tanpa mempedulikan kepuasan kekasih. Dilihat dari segi subjek dan objeknya, cinta dapat dibagi menjadi dua macam,37 yaitu : a. Cinta Allah Kepada Hamba-Nya Yaitu kehendak-Nya untuk melimpahkan rahmat secara khusus kepada hambanya, sebagimana kasih sayang-Nya bagi hamba adalah kehendak pelimpahan nikmat-Nya. Jadi cinta lebih khusus daripada rahmat. Kehendak Allah dimaksudkan untuk menyampaikan pahala dan nikmat kepada si hamba. Inilah yang disebut rahmat. Sedangkan kehendak-Nya untuk mengkhususkan kepada hamba, suatu kedekatan dan ikhwal ruhani yang luhur disebut sebagai mahabbah. b. Cinta Hamba Kepada Allah Yaitu keadaan yang dialami dalam hati si hamba yang mendorong untuk ta’zhim kepada Allah, mempreoritaskan ridha-Nya, hanya memiliki sedikit saja kesabaran dalam berpisah dengan-Nya, merasakan kerinduan yang mendesak kepada-Nya, tidak menemukan kenyamanan dalam sesuatu pun selain-Nya dan mengalami keceriaan hatinya dengan melakukan dzikir terus-menerus kepada-Nya di dalam hatinya. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, seorang ahli hukum Islam dan psikolog yang pakar mengenai cinta, membagi mahabbah (cinta) menjadi empat macam, yaitu: a. Mencintai Allah Dengan mencintai Allah seseorang belum tentu selamat dari adzab Allah, atau mendapat pahala-Nya, karena orang-orang musyrik, penyembah salib, yahudi dan lain-lain juga mencintai Allah. 37
Syamsun Ni’am, Cinta Ilahi Perpestif Rabi’ah al-Adawiyah dan Jalaluddin Rumi, Risalah Gusti, Surabaya, 2001, hlm. 120.
30
b. Mencintai Apa Yang Dicintai Allah Cinta inilah yang dapat menggolongkan orang yang telah masuk Islam dan mengeluarkannya dari kekafiran. Manusia yang paling cinta kepada Allah adalah paling kuat dengan cinta ini. c. Cinta Untuk Allah Dan Kepada Allah Cinta ini termasuk perkembangan dari mencintai apa-apa yang dicintai Allah d. Cinta Bersama Allah Cinta jenis ini syirik, setiap orang mencintai sesuatu bersama Allah dan bukan untuk Allah, maka sesungguhnya dia telah menjadikan sesuatu selain Allah. Inilah cinta orang-orang musyrik.38 Menurut Ibnu Miskawaih, cinta dibagi menjadi empat jenis. Pertama, adalah cinta yang terjalin dengan cepat, tapi pupusnya juga cepat. Cinta ini timbul karena kenikmatan. Kedua, cinta yang terjalin dengan cepat tapi pupusnya lambat. Cinta ini timbul karena kebaikan. Ketiga, adalah cinta yang terjalin lambat, tapi pupusnya cepat cinta ini ditimbulkan karena manfaat. Keempat, adalah cinta terjalin lambat, dan pupusnya lambat. Cinta ini timbul karena panduan sebab-sebab di atas, dan paduan ini mencakup kebaikan.39 Dalam ajaran agama Islam juga dikenal dua cinta, yaitu cinta majazi dan cinta hakiki. Cinta majazi adalah cinta yang mendefinisikan dirinya sendiri dalam kesenangan dan kenikmatan badani, atau kenikmatan ragawi, atau kenikmatan jasadi. Tujuannya adalah “pemuasan” nafsu. Sedang cinta hakiki ialah apa yang sebaliknya dari cinta majazi. Pusat cinta hakiki bukan ego atau nafsu individual, tetapi pusat cinta tersebut adalah yang Ilahi.40
38
Ibid., hlm. 122. Ibnu Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, Trej, Helmi Hidayat, Mizan, Bandung, 1997, hlm. 133-134. 40 Muhammad Muhyidin, op.cit., hlm. 143-145. 39
31
Cinta majazi membuat si pecinta dalam kejenuhan. Sebaliknya, cinta hakiki akan menjadikan si pecinta kian bahagia dengan cintanya. Dalam cinta majazi, si pecinta berusaha agar objek yang dicintainya tergila-gila padanya. Artinya, bahwa ketertarikan itu harus terjalin secara mutlak. Apabila si pecinta memburu cinta kekasihnya., tetapi kekasihnya tidak peduli akan cintanya, atau sebaliknya, maka itulah pengkhianatan. Kalau sudah begitu, tali cinta akan terputus dan perpisahan pun tak akan terelakakan lagi. Namun, dalam cinta hakiki semua itu tidak berlaku. Pecinta tetap memburu cinta Tuhannya, dan semakin diburu, Sang Maha Pecinta akan menyambut cinta si pecinta dengan agungnya. Cinta pecinta kepada-Nya bukan tidak terbatas, tidak pula mengalami kepedihan dan kesedihan. Akibat penolakan atau kecemburuan, apalagi kehancuran. Namun cinta majazi bisa menjadi jalan untuk mencapai cinta hakiki, apabila si pecinta dengan kesaksiannya yang mendalam, mengetahui hakikat keindahan. Untuk mengetahui itu, ia harus kembali ke dalam dirinya dan menyaksiannya, karena pengenalan terhadap bentuk keindahan itu hanya mungkin dilakukan dalam dirinya. Dari kesaksian itu ia harus melanjutkan perjalanan cintanya pada keindahan maha tinggi Tuhannya. Dengan kata lain, manusia mampu menemukan cinta sejatinya lewat cinta majazinya. Metode ini memang sangat sulit untuk diterapkan, kecuali oleh insan-insan istimewa saja. 3. Pandangan Sufi Tentang Cinta Mahabbah adalah sebuah khasanah rohani yang sangat penting yang digali dari pengalaman mistik para pemuka sufi. Cinta makin berkembang dalam mistisme Islam, setelah muncul sejumlah sufi besar seperti al-Ghozali, Ibn ‘Arabi, Jailani, Rumi, Rabi’ah, dan lain sebagainya. Menurut para sufi, cinta adalah salah satu konsep yang sulit sekali untuk dipahami. Cinta hanya dapat dihayati dan tidak dapat disifati. Setiap
orang
mampu
merasakan
cinta,
mamun
mustahil
untuk
32
mendefinisikannya. Ibn ‘Arabi berkata. “Jika seorang mengaku bisa mendefinisikan cinta, jelaslah ia masih belum mengenalnya. Jika ada orang yang mengatakan ‘aku kenyang dengan cinta’, ketahuilah, ia masih buta tentang cinta, karena tak seorang pun dikenyangkan oleh cinta”.41 Di dalam dada sufi terdapat kata-kata yang menggoncangkan, “Tiada Tuhan selain cinta”. Bagi para sufi, Tuhan adalah cinta dan cinta adalah Tuhan. Seperti yang dikatakan Ibn ‘Arabi, bahwa Islam itu adalah agama cinta, sebagaimana Rosul Muhammad adalah yang dikasihi Allah.42 Menurut al-Ghazali, mahabbah adalah maqam paling tinggi, mengingat tujuan semua tingkat lainnya adalah demi mencapainya. Menyucikan diri dari tempat-tempat kotor, menyibukkan diri dalam mencintai Allah semata, taubat, zuhud, kesabaran, takut dan lainnya merupakan pengantar menuju maqam tertinggi ini. Cinta kepada Allah sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan. Al-Ghazali mengumpamakan cinta yang mensucikan ini sebagai “pohon yang baik, akarnya teguh dan batangnya menjulang ke langit, buahnya menampakkan dirinya di hati, di lidah dan di anggota badan.43 Buah itu adalah ketaatan akan perintah Tuhan, dan kenangan terus menerus pada kekasih yang memenuhi hati dan melimpah ke lidah. Hadrat Bayazid Bustami sering mengatakan bahwa mahabbah adalah melepaskan apa yang dimiliki seseorang (kepada kekasih), meskipun itu besar, dan menganggap besar apa yang diperoleh dari kekasih seseorang, meskipun itu sedikit.44 Begitulah ketika seseorang benar-benar merasakan nikmatnya cinta, maka apapun yang ia punya akan diberikan pada kekasihnya.
41
Ibid., hlm. 109. Reynold A. Nicholson, Mistik Dalam Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 2000, hlm. 86. 43 Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2000, 42
hlm. 171. 44
Faqir Zulfiqar Ahmad Naqshbandi, Cinta Abadi Para Kekasih Allah, Marja’, Bandung, 2002, hlm. 26.
33
Sementara itu, mahabbah menurut Al-Junayd adalah masuknya sifat-sifat yang dicintai (ke dalam diri yang mencintai), sebagai ganti dari sifat-sifat yang mencintai.45 Pengertian ini dapat dijelaskan bahwa apabila seorang sufi telah benar-benar jatuh cinta kepada Allah, maka seluruh perhatiannya hanya tertuju pada Allah. Tidak ada lagi perhatian yang tertuju pada hal-hal yang lain. Karena yang ada dihatinya hanyalah Allah semata. Syaikh Abu al-Hasan Kharqani, salah satu tokoh besar tariqat cinta, dalam sebagian ucapannya berkata, “Cinta adalah tetesan air samudera yang tidak dapat diarungi makhluk-Nya. Cinta adalah api. Siapapun tidak akan selamat bila berada di dalamnya. Cinta menghadirkan keyakinan. Bila seseorang berada di dalamnya, kabar tentang dirinya tidak akan kunjung datang. Siapa pun yang tersembunyi di dasar samudera ini tidak akan pernah tersingkap, kecuali oleh dua hal yaitu kesedihan dan rasa butuh. Setiap yang menjadi pecinta berarti telah menemukan Tuhannya; yang menemukan Tuhannya, pasti telah menjadikan dirinya sebagai permadani yang dibentangkan”.46 Syibli juga mengatakan bahwa “disebut cinta, karena ia menghapuskan segalanya dari hati kecuali sang kekasih” dan “ cinta adalah api dalam hati yang memusnahkan semuanya kecuali kehendak sang kekasih”. Orang menjadi fana dalam sang kekasih.47 Al-Qusyayri mendefinisikan cinta sebagai kecenderungan hati yang telah diracuni oleh cinta, pilihan sang kekasih terhadap hambahamba, kehormonisan dengan sang kekasih, penghapusan semua kualitas dari pecinta, penegakkan esensi Sang Kekasih (Allah), dan akhirnya terjalinlah hati sang pecinta itu dengan kehendak Ilahi.48
45
Hamdani Anwar, Sufi Al-Junayd, PT. Fikahati Aneska, Jakarta, 1995, hlm. 73. Muhsin Labib, op.cit., hlm. 121. 47 Lynn Wilcox, op.cit., hlm. 294. 48 Jamilah Baraja, Rabi’ah: Pergulatan Spiritual Perempuan, Risalah Gisti, Surabaya, 2001, hlm. 107. 46
34
Wanita sufi terbesar, Rabi’ah al-Adawiyah berdialog dengan Kekasihnya dalam sebuah syair: Kucintai kau dengan dua cinta Cinta untuk diriku, dan cinta sebab Kau patut dicinta Cinta untuk diriku ialah karena aku karam Di dalam ingatan kepada-Mu semata, membuang yang lain Cinta sebab Kau patut dicinta, karena Kau singkap Penghalang sehingga aku dapat memandang-Mu Segala pujian tidak perlu lagi bagiku Sebab semua pujian untuk-Mu semata Menurut Al-Ghazali, yang dimaksudkan Rabi’ah dengan “cinta untuk diriku” ialah cinta pada Allah disebabkan oleh kebaikan dan keindahan dan keagungan-Nya yang menyingkap rahasia diri-Nya”. Kedua cinta tersebut merupakan cinta paling luhur dan dalam, dan merupakan kelezatan dalam menyaksikan keindahan Tuhan.49 Sementara itu, cinta menurut Rumi adalah lenyapnya kedirian, yaitu kesatuan sempurna antara kekasih Tuhan dengan Tuhan. Dengan ketiadaan diri (fana) berarti terbuka bagi memencarnya cahaya Ilahi, dengan kata lain Tuhan adalah segala-galanya tak ada selain Dia.50 Oleh sebab itu, seorang sufi yang sudah benar-benar mencintai Tuhan, maka sepenuhnya hanya mengingat Dia yang dicintainya itu. Seluruh perhatiannya tidak pernah lepas dari-Nya. Semua perasaannya pada benda atau makhluk lain, akan terhapus dari hatinya hingga dalam keadaan yang demikian ini, dia tidak akan pernah melihat atau memikirkan sesuatu yang lain, kecuali Tuhan.
49 50
Muhsin Labib, op.cit., hlm. 197-198. Ibid., hlm. 200.