BAB. II. HAKIKAT TASAWUF AKHLAKI
Sebelum penulis membahas tentang hakikat paradigma tasawuf akhlaki, maka di sini akan diterangkan lebih dahulu karakteristik tasawuf secara umum. Tasawuf – kaum orientalis menyebutnya ”sufisme” – adalah ajaran yang khusus dipakai untuk mistik Islam dan tidak dipakai untuk agama-agama lain. Istilah yang biasa dipergunakan dalam agama lain adalah mistik atau mistisisme. Tasawuf atau sufisme adalah suatu cara untuk menyucikan diri yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk kepentingan diskusi, namun bertujuan untuk “menjadi”, sehingga tidak dapat dipelajari dari tangan kedua. Apa yang berkaitan dengan proses penyucian tersebut tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Seperti yang dikutip oleh Zainun Kamal dari ucapan sufi1 besar “apa yang dapat dikatakan, bukanlah tasawuf”. Atau seperti yang dikatakan oleh Jalalluddin Rumi, “apa pun yang aku katakan dan ungkapkan mengenai cinta, ketika aku mengalaminya sendiri, aku malu atas perkataan itu”.2 Barangkali benar apa yang disampaikan Mohammad Damami yang mengutip pendapat ulama dan tokoh Rabithah al-Sufiyah al-Misriyah yang sekarang menjadi guru besar bidang filsafat Islam di Universitas Kairo Abu al-Wafa’ alGhanimi al-Taftazani yang mengatakan bahwa untuk memberikan pengertian tentang apa sebenarnya tasawuf itu, maka pastilah orang harus mengkaitkannya dengan fase-fase yang dilewati tasawuf itu sendiri. Bahkan peneliti dari barat yang sangat terkenal dan telah berhasil menerbitkan bukunya yang berjudul “Mystical 1
Sufi adalah istilah yang digunakan untuk menyebut pengamal atau pelaku tasawuf. Dalam banyak literature tasawuf disebutkan bahwa sufi berlaku bagi semua orang yang telah mensucikan hatinya dengan mengingat Allah (dzikrullah), menempuh jalan kembali kepada Allah dan sampai pada pengetahuan yang hakiki (ma’rifat). Penempuh jalan spiritual ini juga disebut dengan salik, secara etimologis berarti orang yang mencari. Secara terminologis memiliki makna yang secara umum sama dengan sufi. Hanya saja istilah salik biasanya digunakan secara khusus untuk murid (pengikut thariqah) yang memiliki kualifikasi yang diperlukan untuk menempuh jalan spiritual dari jiwa rendahnya, melalui maqamat dan ahwal, menuju jiwa yang lebih tinggi. 2 Zainun Kamal, “Tasawuf dan Tarekat: Ajaran Esoterisme Islam”, dalam Haidar Bagir, (ed.), Manusia Modern Mendamba Allah: Renungan Tasawuf Positif, (Jakarta: Kerjasama IIMaN dengan Hikmah, 2002), hlm. 11.
Dimension of Islam”, Annemarie Schimmel, mengatakan bahwa gejala yang disebut tasawuf itu sangat luas dan wujudnya pun sangat besar, oleh karena itu dia berani memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang berani mencoba menggambarkannya secara utuh. Itulah sebenarnya, sehingga menurutnya, usaha untuk menggariskan beberapa pokok permasalahan dalam tasawuf, baik dilihat secara historis maupun fenomenologis, tidak akan menghasilkan sesuatu yang dapat memuaskan semua pihak, justru yang terjadi adalah mudah sekali mengabaikan beberapa segi dan terlalu mementingkan segi-segi yang lain.3 Sehingga praktis, berbicara soal tasawuf seakan-akan hendak memasuki lautan tak berpantai atau hendak mengukur ujung alam semesta ini, sebab berbeda dengan ilmu-ilmu yang tertata sistematika dan metodologinya, tasawuf tidaklah demikian. Meskipun begitu, maksud penulis mengutip beberapa pendapat di atas hanyalah untuk memberi dasar pengertian yang proporsional dalam usaha penelaahan tentang tasawuf secara umum, khususnya yang bersangkutan langsung dengan subyek bahasan dalam skripsi ini, yakni tasawuf akhlaki. Oleh sebab itu untuk mengetahui apa dan bagaimana tasawuf akhlaki tersebut ? A. DEFINISI DAN ESENSI TASAWUF Sebelum membahas lebih jauh tentang definisi dan esensi tasawuf, penulis akan mengemukakan tentang asal-usul istilah tasawuf. Sebab istilah ini belum dikenal pada masa Nabi Muhammad Saw dan khulafaurrasyidin. Dengan demikian, istilah tasawuf baru dikenal setelah periode tersebut. 1. Secara Etimologis Sebagaimana disampaikan di atas, secara bahasa para ahli berselisih pendapat tentang asal kata tasawuf, di antaranya ada yang berpendapat bahwa sufi hanyalah semacam gelar, sebab dalam bahasa Arab sendiri tidak terdapat akar katanya. Akan tetapi, pendapat tersebut jelas tidak memuaskan,
3
Mohammad Damami, Tasawuf Positif: Dalam Pemikiran Hamka, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2000), hlm. 157-158.
maka di sini perlu penulis sampaikan berbagai teori yang diajukan untuk melacak asal-usul kata kata tasawuf, antara lain: a. Tasawuf berasal dari kata saff yang artinya barisan dalam salat berjamaah. Alasannya, seorang sufi mempunyai iman yang kuat, jiwa yang bersih dan selalu memilih saf terdepan dalam salat berjamaah. Di samping alasan itu mereka juga djuga memandang bahwa seorang sufi akan berada di baris pertama di depan Allah SWT. b. Tasawuf berasal dari kata saufanah, yaitu sejenis buah-buahan kecil berbulu yang banyak tumbuh di gurun pasir Arab Saudi. Pengambilan kata ini karena melihat orang-orang sufi banyak memakai pakaian berbulu dan mereka hidup dalam kegersangan fisik, tetapi subur batinnya. c. Tasawuf berasal dari kata suffah yang artinya pelana yang dipergunakan oleh para sahabat Nabi Saw yang miskin untuk bantal tidur di atas bangku batu di samping Masjid Nabawi di Madinah. Versi lain dikatakan bahwa suffah artinya suatu kamar di samping Masjid Nabawi yang disediakan untuk para sahabat Nabi Saw dari golongan muhajirin yang miskin. Penghuni suffah ini disebut ahl as-suffah. Mereka mempunyai sifat-sifat teguh dalam pendirian, takwa, wara’ (taat kepada Allah), zuhud dan tekun beribadah. Adapun pengambilan kata suffah karena kemiripan tabiat nereka dengan sifat-sifat ahl as-suffah. d. Tasawuf (sufi) merujuk pada kata safwah yang berarti sesuatu yang terpilih atau terbaik. Dikatakan demikian, karena seorang sufi biasa memandang diri mereka sebagai orang pilihan atau orang terbaik. e. Tasawuf merujuk pada kata safa atau safw yang artinya bersih atau suci. Maksudnya, kehidupan seorang sufi lebih banyak diarahkan pada penyucian batin untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, Tuhan Yang maha Suci, sebab Tuhan tidak bisa didekati kecuali oleh orang yang suci. f. Tasawuf berasal dari bahasa Yunani, yaitu theosophi (theo = Tuhan; sophos = hikmat), yang berarti hikmat ketuhanan. Mereka merujuk pada
bahasa Yunani karena ajaran tasawuf banyak membicarakan masalah ketuhanan. g. Tasawuf berasal dari kata suf yang artinya wol atau kain bulu kasar. Disebut demikian, karena orang-orang sufi banyak yang suka memakai pakaian yang terbuat dari bulu binatang sebagai lambang kemiskinan dan kesederhanaan, berlawanan dengan pakaian sutera yang biasa dipakai oleh orang-orang kaya. 4 Di antara semua pendapat itu, pendapat terakhir banyak diterima sebagai asal kata tasawuf, jadi sufi adalah orang yang memakai wol kasar untuk menjauhkan diri dari dunia materi dan memusatkan perhatiannya pada alam rohani. Konon yang pertama kali memakai istilah ini adalah Abu Hasyim al-Kufi di Irak (wafat 250 H), dengan meletakkan as-shufi di belakang namanya. Dengan demikian dari segi kebahasaan tasawuf menggambarkan keadaan yang selalu berorientasi kepada kesucian jiwa, mengutamakan kebenaran dan rela berkorban demi tujuan-tujuan yang lebih mulia di sisi Allah, sikap demikian pada akhirnya membawa seseorang berjiwa tangguh, memiliki daya tangkal yang kuat dan efektif terhadap berbagai godaan hidup yang menyesatkan. 2. Secara Terminologis Seperti halnya menurut bahasa, pengertian tasawuf secara istilah juga diartikan bervariatif oleh para ahli. Hal ini menunjukkan betapa sulit menentukan sebuah definisi, menurut Ibnu Khaldun sebagaimana yang dikutip Hamka, Tasawuf itu adalah semacam ilmu syariah yang timbul kemudian di dalam agama. Asalnya ialah bertekun, beribadah dan memutuskan pertalian dengan segala selain Allah, hanya menghadap Allah semata. Menolak hiasan-hiasan dunia, serta membenci perkara-perkara yang
4
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid 5, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1993), Cet. I, hlm. 73-74.
selalu menperdaya orang banyak, kelezatan harta-benda dan kemegahan. Dengan menyendiri menuju jalan Tuhan dalam khalwat dan ibadah.5 Namun secara umum menurut Ibrahim Basyuni, seperti dikutip Abuddin Nata, pengertian tasawuf bisa diklasifikasikan menjadi tiga sudut pandang, yaitu: Pertama, al-Bidayah (tasawuf dalam tataran elementer), yaitu menurut sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas, maka tasawuf didefinisikan sebagai upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah. Kedua, al-Mujahadah (tasawuf dalam tataran intermediate), yaitu menurut sudut pandang manusia sebagai makhluk yang harus berjuang, maka tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber pada ajaran agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Ketiga, al-Madzaqat (tasawuf dalam tataran advance), yaitu menurut sudut pandang manusia sebagai makhluk yang ber-Tuhan, maka tasawuf dapat didefinisikan sebagai kesadaran fitrah (perasaan percaya kepada Tuhan) yang dapat mengarahkan jiwa agar selalu tertuju kepada kegiatankegiatan yang dapat menghubungkan manusia dengan Tuhan.6 Jika ketiga definisi tasawuf tersebut, satu dan lainnya dihubungkan, maka segera nampak bahwa tasawuf pada intinya adalah upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan diri manusia dari pengaruh kehidupan duniawi, selalu dekat dengan Allah, sehingga jiwanya bersih dan memancarkan akhlak mulia. Pada hakikatnya tasawuf itu dapat kita artikan mencari jalan untuk memperoleh kecintaan dan kesempurnaan rohani. Tasawuf menyangkut masalah ruhani dan batin manusia yang tidak dapat dilihat, karena itu amat sulit menetapkan definisi tasawuf. Pemahaman terhadap istilah ini bukan terletak 5 6
Hamka, Tasawuf Modern, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1996), hlm. 2. Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 240.
pada hakikatnya, melainkan pada gejala-gejala yang tampak dalam ucapan, cara dan sikap hidup para sufi. Sekalipun demikian, para ahli tasawuf tetap ada yang membuat definisi meski saling berbeda sesuai dengan pengalaman empirik masing-masing dalam mengamalkan tasawuf. Tasawuf sering disamakan dengan mysticism. Namun para pakar sepakat bahwa tasawuf/sufism adalah khusus bagi Islam. Ilmu tasawuf membahas tingkah laku manusia yang bersifat amalan terpuji maupun tercela, agar hatinya menjadi benar dan lurus dalam menuju Allah SWT sehingga ia dapat sedekat-dekatnya di hadirat-Nya.7 Seseorang tidak dapat memahami tasawuf kecuali sesudah ruh dan jiwanya menjadi kuat, demikian kuatnya sehingga ia dapat melepaskan dirinya daripada keindahan lahir, keindahan yang dapat diraba dengan pancaindera itu. Tatkala roh dan jiwa itu sudah matang, sudah meningkat lebih tinggi dan lebih sempurna dalam menilai, maka semua keindahan lahir itu menjadi kecil dan remeh, mereka melepaskan dunia yang kasar itu maju memikirkan suatu keindahan yang sesuai dengan perkembangan kekuatan dan kebersihan roh dan jiwa. Menurut Abu Bakar Aceh, tasawuf dapat diartikan mencari jalan untuk memperoleh kecintaan dan kesempurnaan rohani.8 Maksudnya yaitu untuk meningkatkan jiwa seorang manusia, secara moral, lewat latihan-latihan praktis tertentu dan untuk menyatakan pemenuhan fana dalam realitas yang tertinggi serta pengetahuan tentang-Nya secara intuitif, tidak secara rasional, yang buahnya ialah kebahagiaan rohaniah, yang hakikat realitasnya sulit diungkapkan dengan kata-kata, sebab karakternya bercorak intuitif dan subyektif. Garapan utama tasawuf adalah hati (qalbu) yakni mensucikan hati dari kotoran-kotoran dosa dan madzmumah (akhlak tercela). Bagaimana hati bisa 7
M. Ardhani, “Nilai-nilai Spiritualitas dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah”, dalam Haidar Bagir, (ed.), op. cit., hlm. 23. 8 Abu Bakar Aceh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, (Solo:Ramadhani, 1993), Cet. ke-7, hlm. 28.
bersih dari sifat-sifat tercela yang menodai kesucian jiwa manusia. Pada aspek inilah tasawuf menawarkan seni menata hati, seperti pendapat M. Amin Syukur yang menyatakan bahwa garapan utama tasawuf adalah hati, karena tasawuf bertujuan untuk mensucikan hati dari sifat-sifat yang tercela, sebab hati merupakan sumber segala aktifitas manusia.9 Sedangkan KH. A.A. Gymnastiar, menjelaskan bahwa inti yang dapat mengubah seseorang dari jahat menjadi baik, pemarah menjadi santun adalah hati, kesadaran hati. Agar orang menjadi jujur harus memperbaiki dirinya. Tidak ada perubahan tanpa diawali perbaikan diri sendiri. Dan pribadi tak akan berubah tanpa kita menata hati. Adapun cara untuk menata hati yaitu pertama, melalui suri tauladan, kedua, pelatihan sistematis dan berkesinambungan, ketiga, sistem yang kondusif dan keempat, membangun sistem ruhiyyah yang kuat dengan meningkatkan ibadah.10 Sehingga, inti tasawuf adalah kesadaran adanya komunikasi dan dialog “langsung” antara manusia dan Tuhannya, kapan dan di mana pun manusia berada. Kesadaran sufi bahwa ia senatiasa berhadapan dengan Tuhan menimbulkan sikap ikhlas, rela, tawadlu (rendah diri), sabar, tawakal, cinta kasih, sederhana dan sifat-sifat terpuji lainnya. Jadi pada hakikatnya tasawuf adalah tashfiyatul qalbi anis-shifatil madzmumah, yang berarti membersihkan hati dari sifat-sifat yang tercela. Oleh karena itu yang menjadi sasaran tasawuf adalah hati atau jiwa, atau ruhani, atau batin yang menjadi sumber segala sikap dan tingkah laku manusia untuk menuju kebersihan hati agar memperoleh keridlaan Tuhan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tasawuf adalah suatu ajaran dalam Islam yang mengajarkan bagaimana seharusnya seseorang bersikap mental dalam
9
Mu’allim, “Dari Kesadaran Spiritual ke Tasawuf Sosial”, dalam Surat Kabar Mahasiswa ‘AMANAT’ IAIN Walisongo, Semarang, Edisi 91/ Juni 2002, hlm. 7. 10 Ibid.
hubungannya dengan Tuhan, dengan sesama manusia dan dengan alam lingkungannya yang didasarkan petunjuk al-Qur’an dan al-Sunnah.11 Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa esensi tasawuf terletak pada pengejawantahan dari ajaran tentang Ihsan, salah satu dari tiga serangkai dari ajaran Islam yaitu Islam itu sendiri, Iman dan Ihsan. Esoterisme sufi adalah perwujudan dari sabda Nabi sendiri, bahwa Ihsan adalah keadaan dimana ketika kita menyembah Allah seolah-olah kita melihat-Nya dan kalupun kita tidak melihat-Nya, maka Dia yang melihat kita. Apa yang diajarkan tasawuf tidak lain adalah bagaimana menyembah Allah dengan suatu kesadaran penuh bahwa kita berada di dekat-Nya, sehingga kita “melihat”-Nya atau bahwa Dia senantiasa mengawasi kita dan kita senantiasa berdiri di hadapan-Nya. B. DASAR DAN SUMBER TASAWUF Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah dan batiniah. Pemahaman terhadap unsur kehidupan yang bersifat batiniah pada gilirannya nanti melahirkan tasawuf. Unsur kehidupan tasawuf ini mendapat perhatian yang cukup besar dari sumber ajaran Islam, al-Qur’an dan Al-Sunnah serta praktek kehidupan Nabi dan para sahabatnya. Secara terminologi perkataan tasawuf itu tidak diambil dari al-Qur’an dan al-Hadits. Tetapi meskipun demikian, sesungguhnya dasar-dasar dan esensi dari kajian tasawuf itu sendiri bersumber dari keduanya. 1. Al-Qur’an dan Al-Hadits Al-Qur’an adalah nash yang di dalamnya terdapat tuntunan segala aspek kehidupan umat manusia (muslim). Ketika ditanya oleh sahabat tentang akhlak Rasulullah, Aisyah menjawab “al-Qur’an”. Para sahabat beliau terkenal sebagai orang-orang yang banyak menghafal isi al-Qur’an dan kemudian menyebarkannya kepada yang lain dengan disertai
11
Nidlomun Ni’am, “Tasawuf Sebagai Sub-Kultur Pondok Pesantren” dalam M. Amin Syukur dan Abdul Muhayya’, (eds.), Tasawuf dan Krisis, (Yogyakarta: Kerjasama IAIN Walisongo Press dengan Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 170 -171.
pengamalan atau penjiwaan terhadap isinya. Mereka berusaha mencontoh akhlak Rasulullah yakni akhlak al-Qur’an.12 Al-Qur’an merupakan kitab Allah yang di dalamnya terkandung muatan-muatan ajaran Islam, baik aqidah, syari’ah maupun mu’amalah. Ketiga muatan tersebut banyak tercermin dalam ayat-ayat yang termaktub dalam al-Qur’an. Ayat-ayat al-Qur’an itu, di satu sisi memang ada yang perlu dipahami secara tekstual-lahiriah, tetapi juga ada yang perlu dipahami secara kontekstual-ruhaniyyah. Al-Qur’an antara lain berbicara tentang pertemuan dengan Allah di mana pun hamba-Nya berada. Sebagaimana ditegaskan dalam ayat :
! "# $ %"& $ ,
+(")* '
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya lagi maha Mengetahui. (Q.S. al-Baqarah: 115)13 Bagi kaum sufi, ayat di atas mengandung arti bahwa di mana saja Allah itu ada, sehingga manusia bisa beribadah kepada-Nya kapan pun, di mana pun dan bagaimana pun situasinya. Selain itu, Allah pun menjelaskan tentang kedekatan manusia dengannya, seperti disitir dalam firman-Nya :
- . / 0 ( - 1 23 1 "4 5678 56 9-* : ,
+(")* '
.
0;" <= 5> ?@$ 5 *ABC $
Jika hamba-hamba-Ku bertanya padamu tentang diri-Ku, Aku dekat, Aku mengabulkan seruan orang yang memanggil jika ia panggil Aku. (Q.S. al-Baqarah: 186) 14 12
M. Solihin dan Rosihon Anwar, Kamus Tasawuf ,(Bandung: Remaja Rosadakarya, 2002), hlm. 212. 13 Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Madinah: Mamlakah al-Arabiyah al-Suudiyah, 1415 H), hlm. 31. 14 Ibid, hlm. 45.
Kata da’a yang terdapat dalam ayat itu diartikan oleh kalangan sufi diartikan berseru dan memanggil. Berdasarkan ayat di atas, kebanyakan kalangan sufi berpendapat bahwa untuk mencari Tuhan, orang tak perlu pergi jauh-jauh. Ia cukup kembali kepada dirinya sendiri. Al-Qur’an pun mengingatkan manusia agar tidak diperbudak kehidupan duniawi dan kemewahan harta benda yang menggiurkan. Hal ini sebagaimana difirmankan Allah:
2D7"# E
7F0 2( G$ 2D7"# H IJK
0
L
, +"N ' M "#$
>
z
Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka sekalisekali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekalikali janganlah setan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah. (Q.S. al-Fathir: 5)15 Dalam pemahaman kalangan sufi, ayat di atas menjadi salah satu dasar unuk menjauhi kehidupan dunia yang penuh tipuan. Selanjutnya, kalau diteliti lebih mendalam semua tingkatan dan keadaan yang dilalui para sufi yang pada dasarnya merupakan obyek tasawuf, juga akan banyak ditemukan landasannya dalam al-Qur’an. Selain ayat-ayat al Qur’an tersebut, ada juga hadits Qudsi yang dijadikan oleh kaum sufi sebagai dasar sufisme, seperti :
+W = S V 4R [0
=
2X
S T U S V M V 4R O??3P3Q *K2 YK Z
> T ! ")B [0* 2V \ ?
[0 *$4 > J_ [0 7C
>"] * [0 ^"] > > C
R "] 7T7"] B
- B* 3T7 - -8 R >2Z)=
B_ T
,b c_ ^ M'aT `]
>[0* T70*= ? 1 K3
16
15
Ibid, hlm. 696. Muhammad Tajuddin bin Al-Manani Al-Hadiddah, 272 Hadits Qudsi, Terj. Salim Bahreisy, (Jakarta: Bina Ilmu, 1993), hlm. 78. 16
Hamba-Ku selalu mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah, sehingga Aku cinta kepadanya. Maka Aku-lah pendengarannya yang dia pakai untuk mendengar, penglihatannya yang dia pakai untuk melihat, lidahnya yang digunakannya berbicara dan hati yang digunakannya berpikir (yakni semua panca indera dan perasaannya selalu ingat pada Allah dalam segala gerak harkatnya), maka bila ia berdo’a Aku terima dan bila minta Aku beri dan mengharap pertolongan Aku tolong. Dan ibadah yang sangat Aku suka dilakukan oleh hamba-Ku, yang tulus ikhlas. (H.R. Thabrani) Demikianlah sebagian dalil naqli tasawuf dari ayat al-Qur’an dan alHadits yang dijadikan sebagai landasan kaum sufi dalam melaksanakan praktek-praktek kesufiannya. Jadi ajaran-ajaran tasawuf juga bersumber dan ada dasarnya dalam al-Qur’an dan al-Hadits. 2. Kehidupan Rohani Rasulullah Saw Kehidupan Rasulullah dapat dibagi menjadi dua fase. Fase sebelum diangkat menjadi Rasul dan fase kehidupan sesudah diangkat menjadi Rasul. Sebelum diangkat menjadi Rasul, beliau berhari-hari ber-khalwat di Gua Hira, terutama pada bulan Ramadhan. Di sana Nabi banyak berdzikir dan bertafakur dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Pengasingan diri Nabi ini merupakan acuan utama para sufi dalam melakukan khalwat. Kemudian puncak kedekatan Nabi dengan Allah tercapai ketika melakukan isra’ mi’raj. Di dalam peristiwa itu Nabi telah sampai ke Sidratul Muntaha (tempat terakhir yang dicapai Nabi ketika mi’raj ke langit ke tujuh), bahkan telah sampai ke hadirat Ilahi dan sempat berdialog dengan Allah SWT. Dialog itu terjadi berulang kali, dimulai ketika Nabi menerima perintah dari Allah tentang kewajiban salat lima puluh kali dalam sehari-semalam. Atas usul Nabi Musa As, Nabi Muhammad memohon agar jumlahnya diringankan dengan alasan bahwa umatnya nanti tidak akan mampu melaksanakannya. Kemudian Nabi terus berdialog dengan Allah SWT. Keadaan demikianlah merupakan benih-benih yang menumbuhkan sufisme di kemudian hari.
Selain itu Nabi juga dikenal sebagai orang yang paling tekun beribadah. Dalam satu riwayat dari Aisyah Ra disebutkan bahwa pada suatu malam Nabi mengerjakan salat malam, di dalam salat lututnya bergetar karena panjang dan banyak rakaat salatnya. Tatkala ruku’ dan sujud terdengar suara tangisnya, namun ia tetap melakukan salat sampai azan Bilal bin Rabah terdengar di waktu Subuh.17 Selain itu masih banyak contoh-contoh akhlak terpuji lainnya yang mencerminkan Nabi adalah suritauladan terbaik bagi umat manusia. 3. Kehidupan para Sahabat Bukan hanya Nabi yang berperlaku demikian, tetapi juga sahabatsahabatnya. Abu Bakar, yang sebelum Islam seorang saudagar yang kaya raya, sesudah berim an seluruh harta bendanya habis untuk dikorbankan di jalan Allah, sehingga seekor onta pun tak lagi dipunyainya. Sedangkan Umar bin Khattab terkenal kebeningan jiwa dan kebersihan kalbunya, sehingga Rasulullah pernah bersabda “Allah telah menjadikan kebenaran pada lidah dan kalbu Umar”, disamping itu Umar juga terkenal kesederhanaannya. Sebagaimana Abu Bakar, Usman juga demikian, dari seorang yang kaya raya sampai menjadi seorang miskin yang semiskin-miskinnya, saat menjabat Khalifah, tidak mempunyai makanan yang cukup di rumahnya. Contoh hidup sufi yang diberikan Usman bin Affan dalam kehidupan menderita adalah menggantungkan nasibnya semata-mata kepada Allah. Tentang Ali bin Abi Thalib, kita tidak usah berpanjang kata, karena dialah salah satu tokoh besar daripada sahabat-sahabat yang menjadi tiang penggerak bagi ajaran tasawuf itu. Dengan kata-katanya yang tajam Ali meninggalkan pandangan-pandangannya yang bersifat sufi, terhadap Tuhan, terhadap dunia dan terhadap manusia, ia sendiri pernah hendak hidup dengan tiga buah kurma sehari, sehingga hampir merusakkan
17
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, op. cit., hlm. 77.
kesehatannya.18 Ia meninggalkan anak dan meninggalkan cucunya, yang hidup dengan hidup sufi, bahkan oleh golongan Syi’ah sampai demikian tinggi diagung-agungkan, sehingga tidak ada sebuah kitab sufi dan tasawuf pun yang kita bertemu, dengan tidak berjumpa nama Ali bin Abi Thalib. 4. Kehidupan para Ahl as-Suffah Selain keempat khalifah di atas, sebagai rujukan para sufi dikenal pula para ahl as-suffah. Mereka ini tinggal di masjid Nabawi Madinah dalam keadaan serba miskin, teguh dalam memegang akidah dan senantiasa mendekati diri kepada Allah SWT. Diantara ahl-as-suffah itu adalah Abu Hurairah, Abu Dzar al-Ghiffari, Salman al-Farisi, Mu’az bin Jabal, Imran bin Hsin, Abu Ubaidah bin Jarrah, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas dan Huzaifah bin Yaman.19 Di antara mereka itu ada yang mempunyai keistimewaan tersendiri. Hal ini memang diwariskan oleh Rasulullah Saw kepada mereka, seperti Huzaifah bin Yaman yang telah diajarkan oleh Nabi Saw tentang ciri-ciri orang munafik, para sahabat yang lain senantiasa ingin mendapatkan ilmu yang belum diperolehnya dari Nabi Saw. Sedangkan Abu Dzar al-Ghiffari termasyhur sebagai orang sosial-dermawan. Ia tampil sebagai prototipe (tokoh pertama) fakir sejati. Abu Dzar tidak pernah memiliki apa-apa, tetapi ia sepenuhnya adalah milik Allah SWT dan akan menikmati hartanya yang abadi, bila ia diberi sesuatu berupa materi, maka materi tersebut dibagi-bagikannya untuk para fakir-miskin. 5. Kehidupan para Tabi’in Setelah periode sahabat, muncul periode tabi’in (sekitar abad ke-1 dan ke-2 H). Pada masa itu kondisi sosial-politik sudah mulai berubah dari masa sebelumnya. Konflik-konflik politik yang bermula dari masa Usman bin Affan berkepanjangan sampai masa-masa sesudahnya. Konflik politik
50.
18
Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat, (Solo: Ramadhani, 1996), Cet. ke-13, hlm. 49-
19
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, op. cit., hlm. 80.
tersebut ternyata mempunyai dampak terhadap kehidupan beragama, yakni munculnya kelompok-kelompok Bani Umayyah, Syi’ah, Khawarij dan Murji’ah. Dari perubahan-perubahan kondisi sosial tersebut sebagian masyarakat mulai melihat kembali pada kesederhanaan kehidupan Nabi Saw dan para sahabatnya. Mereka mulai merenggangkan diri dari kehidupan mewah. Sejak saat itu kehidupan zuhud menyebar luas di kalangan masyarakat. Para pelaku zuhud itu disebut zahid atau karena ketekunan mereka beribadah, maka disebut ‘abid. 20 Tokoh-tokoh tabiin yang terkenal sebagai ahli zuhud adalah Hasan alBasri dan Sufyan as-Sauri, serta masih banyak nama lainnya, seperti : Sa’id bin Musayyab, Salim bin Abdullah bin Umar bin Khattab, Malik bin Dinar, Rabi bin Khaisam, Sa’id bin Jubair, Tawus bin Kaisan al-Yamani, Jabir bin Hayyan dan Abu Hasyim. C. TINJAUAN UMUM PERKEMBANGAN DAN PEMBAGIAN ILMU TASAWUF Sebagaimana dasar tasawuf di atas, selanjutnya perkembangan tasawuf dalam Islam telah mengalami beberapa fase yang dapat penulis ringkas sebagai berikut : Fase pertama perkembangan tasawuf berlangsung pada abad I dan II Hijriyah yang disebut fase asketisme. Pada masa ini kalangan muslim, terdapat individu-individu yang lebih memusatkan dirinya pada ibadah, yaitu tidak memntingkan makanan, pakaian, maupun tempat tinggal. Mereka lebih banyak beramal untuk hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan akhirat, yang menyebabkan mereka lebih memusatkan diri pada jalur kehidupan dan tingkah laku yang asketis. Di antara mereka ialah Hasan al-Basri (wafat 110 H) dan Rabi’ah al-Adawiyah (wafat 185 H). Sejak abad III dan IV Hijriyah, tasawuf sudah mempunyai corak yang berbeda sama sekali dengan tasawuf abad sebelumnya. Pada abad ini tasawuf 20
Ibid, hal.82.
sudah bercorak kefanaan (ecstase) yang menjurus ke persatuan hamba dengan khalik. Orang sudah ramai membahas tentang lenyap dalam kecintaan (Ittihad bi al-Mahbub), kekal dengan Tuhan (baqa’ bi al-Mahbub), menyaksikan Tuhan (musyahadah), bertemu dengan-Nya (liqa’) dan menjadi satu denganNya (‘ain al-jama’), seperti yang diungkapkan oleh Abu Yazid al-Bustami (261 H), seorang sufi dari Persia yang pertama kali mempergunakan istilah fana’ (lebur atau hancurnya perasaan) sehingga dia dianggap sebagai peletak batu pertama dalam aliran ini. Setelah itu, muncullah Al-Hallaj (wafat 309 H) yang menampilkan teori al-Hulul (inkarnasi Tuhan). Menurutnya, manusia mempunyai dua sifat, yakni sifat kemanusiaan (nasut) dan sifat ketuhanan (lahut). Lalu pada abad V Hijriyah muncullah Imam Al-Ghazali yang sepenuhnya hanya menerima tasawuf yang bedasar al-Qur’an dan as-sunnah serta bertujuan asketisme, kehidupan sederhana, pelurusan jiwa dan pembinaan moral. Pengetauan tentang tasawuf dikajinya dengan begitu mendalam, sementara di sisi lain ia melancarkan kritikan tajam terhadapa para filosof, kaum Mu’tazilah dan batiniah. Al-Ghazali-lah yang berhasil memancangkan prinsip-prinsip tasawuf yang moderat, yang seiring dengan aliran Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan bertentangan dengan jenis tasawuf al-Hallaj dan Abu Yazid al-Bustami mengenanai soal karakter manusia. Sejak Abad VI Hiriyah, sebagai akibat pengaruh kepribadian Al-Ghazali yang begitu besar, pengaruh tasawuf Sunni semakin meluas dalam dunia Islam. Keadaan ini memberi peluang bagi munculnya para tokoh sufi yang terpengaruh tasawuf al-Ghazali dalam mengembangkan tariqat-tariqat dalam rangka mendidik para murid mereka, semisal Sayyid Ahmad al-Rifa’I (wafat 570 H) dengan tariqat Rifa’iyyah-nya dan Syekh Abdul Qadir al-Jailani dengan tariqat Qadiriyyah-nya(wafat 651 H). Akan tetapi, sejak abad VI ini pulalah muncul sekelompok tokoh sufi yang memadukan tasawuf dengan filsafat, dengan teori-teori mereka yang bersifat setengah-setengah. Artinya, disebut murni tasawuf bukan dan murni filsafat pun bukan. Tokoh-tokohnya ialah Ibn ‘Arabi dengasn teori Wahdat al-Wujud,
Suhrawardi al-Maqtul dengan teori Isyraqiyah (pancaran), Ibn Sabi’in dengan teori Ittihad, Ibn Faridh dengan teori Cinta, fana’ dan wahdat al-Syuhud-nya. Setelah masa itu, tasawuf pada masa-masa akhir ini (kurang lebih sejak abad VIII Hijriyah sampai saat ini) mengalami kemunduran. Para tokohnya hanya cenderung mengarah pada pemberian komentar dan ikhtisar atas karyakarya lama dan lebih menekankan perhatian pada berbagai bentuk ritus dan formalisme, yang terkadang membuat mereka menyimpang dari substansi ajarannya sendiri. Memang pada masa-masa mutakhir para pengikut tasawuf masih cukup banyak. Tetapi dari jumlah yang banyak ini tidak muncul pribadipribadi yang mencapai kedudukan rohaniah yang cukup terhormat, sebagaimana pernah dicapai pribadi-pribadi dari kalangan sufi angkatan pertama.21 Bersamaan dengan itu muncullah pendekar ortodoks, Ibn Taimiyah yang dengan lantang menyerang penyelewengan-penyelewengan para sufi tersebut. Dia terkenal kritis, peka terhadap lingkungan sosialnya, polemis dan tandas berusaha meluruskan ajaran Islam yang telah diselewengkan para sufi tersebut, untuk kembali kepada sumber ajaran Islam, al-Qur’an dan as-Sunnah. Kepercayaan yang menyimpang diluruskan, seperti kepercayaan kepada wali, khurafat dan bentuk-bentuk bid’ah pada umumnya.22 Adapun pada masa akhir-akhir ini, muncul ide neo-sufisme yang dikemukakan oleh Fazlurrahman dengan mencoba menampilkan kembali tasawuf yang cenderung untuk menimbulkan aktivitas ortodoks dan menanamkan kembali sikap positif terhadap dunia. Neo-sufisme ini merupakan
Lihat Abu Al-Wafa’ Al-Ghanimi Al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman: Suatu Pengantar Tentang Tasawuf, (Bandung: Pustaka, 1997), hlm. 16-20. Dan Lihat M. Amin Syukur, Menggugat Tasawuf: Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 28-43. Dalam artian ini Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim al-Jauziyah merupakan perintis-perintis kecenderungan baru yang memberikan wawasan bahwa kesufian ini terkait dengan syari’ah yang termaktub dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Lihat M. Amin Syukur, op.cit., hlm. 42.
pembaharuan tasawuf untuk menandai sintesa antara tasawuf metafisis dengan tasawuf ortodoks yang diawali oleh al-Ghazali.23 Demikian pula istilah tasawuf modern yang diungkapkan oleh Hamka, dengan bersungguh-sungguh telah meletakkan dasar-dasar bagi neo-sufisme di Indonesia dan memberikan apresiasi yang wajar kepada penghayatan esoteris Islam, namun sekaligus disertakan pernyataan bahwa esoterisme itu harus tetap terkendali oleh ajaran-ajaran standar syari’ah. Di samping itu juga berusaha untuk menegakkan kembali maksud semula dari tasawuf yaitu membersihkan jiwa, mendidik dan mempertinggi derajat budi, menekankan segala kelobaan dan kerakusan memerangi syahwat yang terlebih dari keperluan dan kesentosaan diri.24 Sementara tasawuf positif adalah tasawuf yang ingin menekankan pada apa-apa yang dianggap lebih sesuai dengan ajaran Islam yang lebih positif. Bukan tasawuf yang akhirnya menyebabkan kaum muslimin mundur menjadi anti dunia, menjadi orang-orang miskin, anti rasionalitas, anti sains, tidak mengurusi masyarakat dan hanya menyibukkan dirinya dengan dzikir dan berwirid di pojok-pojok masjid tanpamemeprdulikan keadaan sekelilingnya. Mereka dikatakan sebagai rahib di malam hari, tapi di siang haari mereka menjadi pejuang-pejuang sosial yang melakukan reformasi (amal shaleh) untuk memperbaiki kualitas masyarakat dengan menjadikan kegiatan duniawi sebagai wahana untuk mengabdi dengan Allah SWT.25 Setelah melihat perkembangan tasawuf di atas, maka terdapat perbedaan pendapat tentang pembagian ilmu tasawuf. Menurut Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani sebagaimana dikutip Robby H. Abror mengatakan bahwa terdapat dua aliran dalam tasawuf, yaitu aliran Sunni (religius) dan aliran filosofis. Dalam aliran pertama, para pengasasnya mengaitkan tasawuf tersebut dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Sementara dalam aliran kedua, di dalam tasawufnya 23
Fazlurrahman, Islam, (Bandung: Pustaka, 1994), hlm. 202. HAMKA, op. cit., hlm. 7. 25 Haidar Bagir, (ed.), op. cit., hlm. xx. 24
terkandung pendapat-pendapat mereka tentang penyatuan dengan Tuhan ataupun hulul yang dicapai seorang sufi, yang bertitik-tolakkan keadaan sirna (fana’).26 Di mana para sufi yang juga filosof ini mendapat banyak kecaman dari para fuqaha, yang justru semakin keras akibat pernyataan-pernyataannya yang panteistis. Di antara fuqaha yang paling keras kecamannya terhadap golongan sufi ini adalah Ibn Taimiyah (wafat 728 H). Sedangkan menurut Simuh, sebagaimana halnya “pembaharu” Islam lainnya seperti Muhammad Abduh, Iqbal, Fazlur Rahman, Hamka, Nurcholish Madjid dan lainnya, yaitu tasawuf yang bersendikan dengan al-Qur’an dan Sunnah serta berpangkal dari “tauhid murni” dan kembali kepada ajaran Nabi. Kaitannya dengan hal tersebut, Simuh membagi tasawuf menjadi dua bagian. Pertama, Tasawuf Islam. Tentang pengertian tasawuf Islam Simuh lebih dekat dengan pendapat Ibn Khaldun, yakni: ajaran yang mementingkan ‘abid dan zahid. Sikap hidup yang tekun beribadah dan tidak tamak terhadap kehidupan duniawi. Jadi tasawuf Islam ajarannya secara langsung mengacu pada al-Qur’an dan hadits sebagaimana dijalankan oleh nabi dan sahabatsahabatnya.27 Kedua, tasawuf murni atau tasawuf mistik, adalah suatu ajaran atau kepercayaan bahwa pengetahuan tentang hakikat Tuhan dapat dicapai dengan meditasi atau kesadaran spiritual yang bebas dari campur tangan akal dan panca indera.28 Robby H. Abror, Tasawuf Sosial: Membeningkan Kehidupan dengan Kesadaran Spiritual,(Yogyakarta: Kerjasama AK Group – Fajar Pustaka Baru, 2002), hlm. 9. Pelopor dari ajaran ini adalah Hasan Basri, Sofyan as-Syauri. Lebih lanjut Simuh menjelaskan kehidupan Hasan Basri menandai sebagai akhir dari tasawuf islami. Karena sesudah kehidupan Hasan Basri muncullah perintisan apa yang disebut tasawuf murni. Pada periode selanjutnya adalah Al-Ghazali, tokoh yang berusaha sekuat tenaga mengembalikan tasawuf mistik kepada tasawuf Islam dengan masih melihat dimensi syariat. Tetapi setelah Al-Ghazali tasawuf kembali kepada ajaran mistik yang kemudian pengaruh ini berkembang sampai di Indonesia kepada mistik kejawen dengan istilah manunggaling kawulo gusti. Simuh, Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa (Yogyakarta: Benteng Budaya, 2002), Cet. ke-4, hlm. 265. Ajaran ini pada awalnya dipelopori oleh Ibrahim bin Adam (wafat 777 M), Rabi’ah alAdawiyah (wafat 801 M), Harits bin Asad al-Muhasibi (wafat 857 M). Lihat Ibid, hlm. 266. Selanjutnya Simuh juga melihat perubahan “aqidah” yang mendasar dalam tasawuf, di mana masalah penciptaan alam semesta dalam ilmu kalam, dijelaskan bahwa alam diciptakan oleh Allah
Di mana dalam perjalanan sejarah, tasawuf telah memoles agama Islam dengan sesuatu yang sama sekali asing dalam hal ibadah dan ma’rifat. Sebagian besar ma’rifat di kalangan kaum sufi lebih bercorak filosofis atau iluminatif
(isyraqiyyah),29
dan
bukan
ma’rifat
religius
yang
dalam
penyingkapan (kasyf)-nya, berpijak pada al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw. Iluminasi filosofis (isyraq falsafi) adalah tujuan utama tasawuf yang bercorak filosofis. Sebelumnya konsep ini diperkenalkan oleh Socrates, Plato, Plotinus dan sebagainya dari kalangan filosof Yunani, India dan Persia. Jika seseorang ingin masuk ke dalam aliran ini, maka ia harus mengawalinya dengan menempatkan fase penanggalan-diri dari segenap keinginan duniawi (tajarrud), latihan spiritual (riyadhah) dan amalan ibadah hingga mencapai tahap penyingkapan hakiki (kasyf).30 Namun secara keseluruhan, menurut M.Amin Syukur ilmu tasawuf dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni tasawuf ilmi atau nadhari, yaitu tasawuf dari tidak ada menjadi ada, jadi bersifat baru (hadits). Dalam faham wujudiyah, tasawuf terdapat dua faham baru, yaitu: Pertama, adalah teori emanasi yang dikemukakan Al-Hallaj, memandang Allah sebagai sumber yang memancarkan cahayanya ke segala penjuru. Pancaran pertama dinamakan Nur Muhammad atau Haqiqat al-Muhammadiyah. Dan dari Nur Muhammad ini terpancar terciptanya alam semesta beserta isinya. Jadi alam dan manusia sebagai pancaran Nur Muhammad dan Nurullah adalah qadim. Kemudian berkaitan dengan teori pancaran tersebut, maka berarti Tuhan Imanent atau hulul dalam diri manusia. Maka manusia mempunyai dua unsur, unsur nasut (manusiawi) dan unsur lahut (unsur ke-Ilahi-an). Sehinga manusia yang bisa memancarkan unsur lahutnya akan menjadi manusia sempurna atau al-insan al-kamil. Kedua, adalah teori tajalliyat atau penampakan atau penampakan Tuhan, keluar atau menurun tanpa mengurangi sifat mutlaknya. Teori ini dikemukakan oleh Ibn ‘Arabi (1165-1240 M). Teori ini dibangun atas dasar hadits Nabi yang menerangkan bahwa Tuhan dalam keadaan mutlak tidak bisadikenal sedang Tuhan ingin dikenalnya, maka diciptakannya makhluk yang dengan bantuan Allah, manusia bisa mengenal Allah. (Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1996), hlm. 18. Iluminasi (al-isyraq) dalam terminologi filsafat tasawuf bermakana menerima ilmu gaib dan ma’rifat tentang Allah dari alam ruhani yang tinggi sesudah menempuh perjalanan spiritual (suluk) dalam tasawuf berupa latihan spiritual (riyadhah ruhiyyah) dan perjuangan sungguh-sungguh (mujahadah) jiwa guna membersihkan unsur-unsur kemanusiaan yang kotor. Ketika jiwa sudah bersih dari unsur kemanusiaan yang kotor. Ketika jiwa sudah bersih darui unsur kemanusiaan yang kotor, memancarlah sinar ilmu dan ma’rifat ke dalam hati sebagai cahaya yang terukir di alam ruhani yang tinggi dari para malaikat, akal dan jiwa-jiwa langit. Kaum Isyraqi adalah orang-orang yang berpandangan bahwa berbagai macam pengetahuan (al-ma’arif) bisa diraih dengan metode ini. Lihat Ibrahim Hilal, Tasawuf Antara Agama dan Filsafat: Sebuah Kritik Metodologis, Terj. Ija Suntana dan E. Kusdian, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), Cet. ke-1, hlm.20-21. Ibid.
yang bersifat teoritis, yang tercakup di dalam bagian ini adalah sejarah lahirnya tasawuf dan perkembangannya sehingga menjelma menjadi ilmu yang berdiri sendiri, termasuk di dalamnya adalah teori-teori tasawuf, menurut berbagai tokoh luar tasawuf yang berwujud ungkapan sistematis dan filosofis. Bagian kedua adalah tasawuf amali atau tathbiqi, yaitu tasawuf terapan yakni ajaran tasawuf praktis, tidak hanya sebagai teori belaka, namun membentuk adanya pengamalan dalam rangka mencapai tujuan. Orang yang menjalankan ajaran tasawuf ini, akan mendapat
keseimbangan dalam
kehidupannya, antara materiil dan spirituil, dunia dan akhirat.31 Di samping itu dalam menyusun konsep ajaran tasawufnya, kelompok sufi terbagi menjadi dua arus besar, yakni tasawuf sunni dan falsafi. Tokoh yang paling terkenal dalam tasawuf sunni adalah al-Ghazali, sedangkan tokoh tasawuf falasafi32 diwakili oleh Ibn al-‘Arabi. Perbedaan keduanya terletak pada kecenderungan dan minat terhadap pemikiran spekulatif filsafat. Tasawuf sunni kurang memperhatikan ide-ide spekulatif dan merasa puas dengan argumentasi yang bersifat naqli agamawi. Sedangkan tasawuf falsafi cenderung menekankan pada pemikiran spekulatif filsafat. Perbedaan tersebut kemudian melahirkan visi yang berbeda dalam mencapai hubungan dengan Tuhan, tasawuf falsafi memiliki visi pada metafisis, sedangkan tasawuf sunni terbagi dalam dua visi, yakni tasawuf akhlaki yang berorientasi pada etis, dan tasawuf amali yang berorientasi pada intensitas dan eksistensi ibadah agar mendapatkan penghayatan spiritual dalam beribadah. Dari berbagai keterangan di atas dapat penulis simpulkan, bahwa pengertian secara lebih lengkap dari ketiga tasawuf tersebut adalah sebagai berikut:
31
M. Amin Syukur, Pengantar Studi Islam, (Semarang: Bima Sakti, 2000), hlm. 153. Tentang tokoh dan ajaran-ajarannya dapat dilihat, dalam Usman Said, dkk., Pengantar Ilmu Tasawuf, (Medan: Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama IAIN Sumatera Utara, 1983), hlm. 155-171. 32
1. Tasawuf akhlaki adalah ajaran tasawuf yang membahas tentang kesempurnaan dan kesucian jiwa yang diformulasikan pada pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkah laku yang ketat guna mencapai kebahagiaan
yang
optimal,
manusia
harus
lebih
dahulu
mengidentifikasikan eksistensi dirinya dengan ciri-ciri ketuhanan melalui pensucian jiwa raga yang bermula dari pembentukan pribadi yang berformal paripurna dan berakhlak mulia. 2. Tasawuf amali adalah ajaran yang membahas tentang bagaimana cara mendekatkan diri kepada Allah. Dalam pengertian ini, tasawuf amali berkonotasi pada tarekat, di mana dalam tarekat dibedakan antara kemampuan sufi yang satu daripada yang lain, ada orang yang dianggap mampu dan tahu cara pendekatan diri kepada Allah dan ada orang yang memerlukan bantuan orang lain yang dianggap memiliki otoritas dalam masalah itu. Dalam perkembangan selanjutnya, para pencari penuntun semakin banyak dan terbentuklah semacam komunitas sosial yang sepaham dan dari sini muncullah strata-strata berdasarkan pengetahuan serta amalan yang mereka lakukan, kemudian muncullah istilah murid, mursyid, wali dan sebagainya. 3. Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional penggagasnya,. Terminologi filosofis yang digunakan berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya. Namun orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang, dengan demikian, tasawuf filosofis tidak bisa dipandang sebagai filsafat, karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (dzauq), dan tidak pula bisa dikategorikan pada tasawuf (yang murni) karena sering diungkapkan dengan bahasa filsafat. Perlu dimaklumi bahwa pembagian ini hanya sebatas dalam kajian akademik, ketiganya tidak bisa dipisahkan secara dikotomik, sebab dalam prakteknya ketiga-tiganya tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Namun pada intinya tujuan esensialnya sama yaitu bertasawuf untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, perbedaannya hanya pada penyusunan konsep perilaku
ajarannya. Selanjutnya sebagaimana pembagian di atas, penulis akan mengfokuskan pembahasan terhadap apa dan bagaimana tasawuf akhlaki itu. D. KARAKTERISTIK TASAWUF AKHLAKI Sebagaimana judul skripsi ini, maka penulis bermaksud mengfokuskan pembahasan hanya pada tasawuf akhlaki. Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa tasawuf akhlaki menekankan agar manusia mampu mengendalikan hawa nafsu yang menghalangi manusia dari kebaikan, sehingga tasawuf ini memiliki dimensi psiko-moral, berupa pengetahuan tentang psikologis manusia yang diarahkan untuk mencapai moralitas yang tinggi sesuai dengan tuntunan Tuhan. Dan untuk mengendalikan dan mengarahkan hawa nafsu tersebut, maka dibutuhkan tahapan-tahapan berupa takhalli, tahalli dan tajalli. 1. Takhalli Takhalli berarti membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, kotoran dan penyakit hati yang merusak. Langkah pertama yang harus ditempuh adalah mengetahui dan menyadari betapa buruknya sifat-sifat tercela dan kotorankotoran hati tersebut, sehingga muncul kesadaran untuk memberantas dan menghindarinya.33 Apabila hal ini bisa dilakukan dengan sukses maka kebahagiaanlah yang akan diperoleh. Adapun sifat-sifat tercela atau penyakit-penyakit hati yang perlu diberantas seperti:34 a. Hasud Hasud diartikan iri dan dengki, yang mengandung pengertian adanya keinginan hilangnya suatu nikmat dari tangan orang lain, agar berpindah kepada dirinya, atau meskipun dirinya tidak memperoleh apa-apa dari kenikmatan yang dimaksud. Intinya menginginkan agar nikmat orang lain itu terhapus.
33
M. Amin Syukur dan Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf: Studi Intelektualisme Tasawuf Al-Ghazali, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 45. 34 Sifat-sifat tercela yang meliputi penyakit hati
b. Hirshu Hirshu adalah suatu keinginan yang berlebih-lebihan terhadap masalah-masalah
keduniaan,
melebihi
batas
kewajaran
yang
diperbolehkan oleh agama, yaitu dalam rangka memenuhi kebutuhan primer seseorang sebagai sarana mempertahankan eksistensinya di dunia dan cara pemenuhannya pun dalam kerangka norma dan akidah yang berlaku. c. Ujub Ujub atau ta’jub adalah mengagumi diri sendiri atas kebaikan yang dilakukan dan kelebihan yang dimilikinya tanpa mengingat pemberi dan pendukungnya. Jadi dengan kata lain, ujub adalah sikap melihat diri sendiri sebagai “ajaib” dan “menakjubkan”. d. Takabbur Takabur biasa diartikan kesombongan, berarti sifat dan sikap merendahkan orang lain. Adapun sebab-sebabnya adalah merasa adanya kelebihan pada dirinya, seperti ilmu pengetahuan, amal dan ibadah, keturunan, harta kekayaan, kekuatan fisik, kedudukan, kecantikan, ketampanan dan sebagainya. e. Riya’ Riya’ adalah syirik kecil, ibadat bukan karena Allah SWT tetapi untuk dilihat orang lain. Jadi riya’ artinya mencari simpati dengan mempertahankan kebaikannya. Hal-hal kebaikan yang diperlihatkan ialah tubuh, perhiasan, ucapan, amalan lahir, pengikut atau teman dan sebagainya. Tanda-tanda orang yang riya’ ialah malas beramal ketika berada dalam kesendirian dan giat apabila dilihat orang banyak, serta menambah amalnya ketika dipuji orang dan menguranginya ketika dicaci orang. f. Ghadhab Ghadhab berarti marah. Sifat ini merupakan pembawaan setiap manusia, namun semua ini berbeda dalam kadarnya, ada yang berdarah dingin, hingga berdarah panas. Idealnya sebagai jalan tengahnya yaitu
berdarah sedang, maksudnya marah yang proporsional adalah marah pada situasi dan kondisi yang tepat, terutama untuk membela suatu kebenaran. Selain itu dilarang karena merupakan ungkapan emosionalhawa nafsu yang kurang stabil.35 g. Ghibah Ghibah artinya mengumpat atau menggunjing, maksudnya adalah menyebut dan memperkatakan seseorang dengan apa yang dibencinya, yaitu membicarakan seseorang menyangkut persoalan yang tidak disukai jika didengar olehnya, kendati yang dibicarakan itu benar, dengan maksud ingin mengurangi respek orang terhadap yang diumpat. h.Namimah Namimah
artinya
mengadu
domba,
maksudnya
adalah
menyampaikan perkataan seseorang atau mencari tahu keadaan seseorang atau mengabarkan pekerjaan seseorang kepada orang lain, dengan maksud mengadu domba antara keduanya atau merusakkan hubungan baik antara mereka. Keadaan ini mengakibatkan timbulnya kejahatan antara sesama, atau memutuskan tali silaturrahmi antara keluarga dan sahabat, menceraikan hubungan sesama dan sebenarnya hal ini berarti memperbanyak jumlah lawan. i. Khiyanah Khiyanah artinya kianat atau ingkar janji, maksudnya adalah jika dipercaya akan mengingkari kepercayaan dan jika berjanji akan mengingkari janjinya. Tindakan ini untuk sementara waktu tidak diketahui manusia, tetapi Allah SWT Maha Mengetahui. Orang seperti ini tidak segan-segan bersumpah palsu untuk memperkuat dan membenarkan keterangannya serta tidak punya rasa tanggung jawab
35
Sifat-sifat pada item a hingga f tersebut adalah beberapa jenis penyakit hati yang disarikan dari M. Amin Syukur, op. cit., hlm. 156-161.
sebab dikiranya dia akan memperoleh keuntungan dari tindakannya tersebut.36 Demikianlah beberapa contoh dari sifat-sifat tercela dan penyakitpenyakit hati yang perlu dihilangkan dari diri kita. Setelah menyadari betapa buruk dan bahayanya kotoran-kotoran dan penyakit hati, maka langkah berkutnya adalah berusaha menghilangkan sifat-sifat tersebut. Adapun cara-cara yang bisa ditempuh adalah : a. Menghayati
segala
bentuk
akidah
dan
ibadah,
sehingga
pelaksanaannya tidak sekedar apa yang terlihat secara lahir, tetapi lebih dari itu, yakni memahami makna hakikinya, sehingga semua bentuk akidah dan ibadah itu tidak hanya dilakukan sekedar formalitas, namun terhayati makna tersiratnya. b. Muhasabah (koreksi) terhadap diri sendiri dan apabila telah menemukan sifat-sifat yang tidak atau kurang baik, maka segera meninggalkannya. c. Riyadlah (latihan) dan Mujahadah (perjuangan), yakni berlatih dan berjuang membebaskan diri dari kekangan hawa nafsu dan mengendalikan serta tidak memperturutkan keinginannya. Menurut alGhazali riyadlah dan mujahadah itu ialah latihan dan kesungguhan dalam menyingkirkan keinginan hawa nafsu (syahwat) yang negatif dengan mengganti sifat-sifat lawannya yang positif. d.Berupaya mempunyai kemauan dan daya tangkal yang kuat terhadap kebiasaan-kebiasaan yang jelek dan menggantinya dengaan kebiasaankebiasaan yang baik. e. Mencari waktu yang tepat untuk merubah sifat-sifat yang jelek itu, dan f. Memohon pertolongan kepada Allah SWT dari godaan setan, sebab timbulnya sifatsifat tercela itu dikarenakan dorongan hawa nafsu, dan hawa nafsu itu karena desakan setan.37 36
Sifat-sifat pada poin i hingga g tersebut adalah beberapa jenis penyakit lisan yang disarikan dari Umary Barmawie, Materia Akhlaq, (Solo: Ramadhani, 1995), hlm. 56-65.
Jadi,
takhalli
sebagai
langkah
awal
menuju
manusia
yang
berkepribadian utuh itu dilengkapi dengan sikap terbuka. Artinya orang yang bersangkutan menyadari betapa buruknya sifat-sifat yang ada pada dirinya,
kemudian
timbul
kesadaran
untuk
memberantas
dan
menghilangkan. Apabila hal ini bisa dilakukan dengan sukses, maka akan tampil pribadi yang bersih dari sifat madzmumah. Orang yang ada dalam tingkat takhalli, amal sholehnya dinamakan ta’abbud, yaitu sikap melakukan ibadah karena takut pada neraka dan ingin mendapatkan surga, dalam arti ibadahnya masih dalam taraf ingin dipuji Tuhan.. 2. Tahalli Tahalli adalah upaya mengisi atau menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan sikap, perilaku dan akhlak terpuji. Tahapan tahalli dilakukan kaum sufi setelah jiwa dikosongkan demi akhlak-akhlak jelek. Pada tahap tahalli, kaum sufi berusaha agar dalam setiap perilaku selalu berjalan di atas ketentuan agama. Langkah-langkah yang diperlukan dalam tahalli adalah membina pribadi, agar memiliki akhlakul karimah dan senantiasa konsisten dengan langkah yang dirintis sebelumnya dalam takhalli dengan latihan-latihan kejiwaan yang tangguh untuk membiasakan diri dalam perbuatan baik, yang pada glirannya akan menghasilkan kepribadian dalam rangka terwujudnya manusia sempurna (insan kamil). Langkah ini perlu ditingkatkan dengan tahap mengisi dan menyinari hati dengan sifat-sifat terpuji (mahmudah). Dari sekian banyak sifat-sifat terpuji, maka yang perlu mendapat perhatian antara lain adalah sebagaimana dalam tingkatan maqam
37
38
yang dalam dunia tasawuf berarti
M. Amin Syukur dan Masyharuddin, op.cit., hlm, 46. Maqam atau dalam bentuk jamaknya maqamat, berarti tempat atau kedudukan (stations). Dalam SufiTerminology: The Mystical Language of Islam, maqam diterjemahkan sebagai kedudukan spiritual, karena sebuah maqam diperoleh melalui daya upaya (mujahadah) dan ketulusan dalam menempuh perjalanan spiritual. Namun sesungguhnya perolehan tersebut tidak lepas dari karunia yang diberikan oleh Allah SWT. Lihat Amatullah Armstrong, Khazanah Istilah 38
tempat atau kedudukan kualitas spiritual seorang hamba dalam wushul kepada-Nya dengan macam upaya yang diwujudkan dengan suatu tujuan pencarian dan ukuran tugas.39 Maqam-maqam tersebut meliputi :40 a. Taubah Makna taubah yang sebenarnya adalah penyesalan diri terhadap segala perilaku jahat yang telah dilakukan di masa lalu. Dalam tradisi tasawuf, taubah dikategorikan dalam tiga tingkatan, yaitu: Pertama, taubah bagi kalangan awam, yaitu menyesali segala perilaku kesalahan yang telah dilakukan dengan sepenuh hati, dan meninggalkan perilaku kesalahan tersebut untuk selama-lamanya, serta tidak akan mengulangi kesalahan sama. Dengan kata lain taubah pada tingkatan ini berarti kembali dari kemaksiatan atau kejahatan menuju kebaikan.
Sufi: Kunci Memahami Dunia Tasawuf, Terj. MS. Nasrullah & Ahmad Baiquni, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 175. Pada sisi lain dalam dunia tasawuf juga ada istilah hal atau jamaknya ahwal yang berarti keadaan atau situasi kejiwaan (state). Hal merupakan keadaan atau karakter spiritual yang diberikan oleh Tuhan ketika seseorang melakukan perjalanan kerohanian melalui maqam tertentu. Hal masuk dalam hati seseorang sebagai anugerah yang diberikan oleh Allah. Hal datang dan pergi dari diri seseorang dengan tanpa usaha atau perjalanan tertentu, karena ia dating dan pergi secara tiba-tiba dan tidak disengaja. Maka pada dasarnya maqam adalah upaya (makasib) sedangkan hal adalah karunia (mawahib). Terlepas dari semua pengertian dan karakteristik tersebut, banyak kalangan yang menyatakan bahwa jika dipahami lebih mendalam, pada intinya hal tidak lebih merupakan bagian dari manifestasi tercapainya maqam sesuai dengan hasil usaha spiritual yang sungguh-sungguh dengan amalan-amalan yang baik dan penuh kepasrahan kepada Allah. Sebab meskipun hal merupakan kondisi yang bersifat karunia (mawahib), namun seseorang yang ingin memperolehnya tetap harus melalui upaya dengan memperbanyak ibadah. Bahkan lebih jauh lagi dapat dikatakan bahwa pada dasarnya ahwal dan maqamat adalah satu kesatuan. Adapun perbedaan yang ada hanya ada dalam wilayah teoritis semata. 39 Imam Qusyairy an-Naisabury, Risalatul Qusyairiyah (Induk Ilmu Tasawuf, Terj. Luqman Hakim, (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), hlm. 23. 40 Literatur tasawuf tidak selamanya memberikan susunan yang sama tentang struktur maqamat. Al-Kalabadhi, misalnya dalam karyanya al-Ta’arruf li Madzhaib Ahl al Tashawuwuf, merumuskan menjadi : taubah – zuhud – shabar – faqir – rendah hati – taqwa – tawakkal – ridla – mahabbah dan ma’rifah. Al-Qusyairi dalam karyanya Risalah al-Qusyairiyyah, menjabarkan maqamat dalam taubah –wara’ – zuhud – tawakkal – shabar dan ridla. Namun dalam skripsi ini, penulis hanya menjelaskan tentang taubah –wara’ – zuhud – faqr – tawakka – shabar dan ridla. Lihat Hasyim Muhammad, Dialog antara Tasawuf dan Psikologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 28-46. Selain struktur yang berbeda, para ulama juga memberikan uraian yang berbeda satu sama lain tentang pengertian dari masing-masing maqam tersebut. Adapun tentang susunan struktur ahwal, sengaja tidak dijelaskan dalam tulisan ini. Lihat Hasyim Muhammad, op. cit., hlm. 47-57.
Kedua, taubah bagi orang khusus, artinya kembali dari yang baik menuju yang lebih baik. Adapun ketiga, taubah orang khusus dari yang khusus, artinya kembali dari yang terbaik menuju kepada Allah. Pada tingkatan ini seorang yang bertaubat akan berbuat yang terbaik tanpa motivasi apapun kecuali karena Allah.41 b. Wara’ Wara’ adalah meninggalkan apa pun yang syubhat yakni meninggalkan segala sesuatau yang meragukan, segala sesuatu yang tidak berarti dan apa pun yang berlebihan. Ada dua jenis wara’, pertama,
wara’
dalam
pengertian
dzahir,
yaitu
sikap
yang
mengisyaratkan bahwa tidak ada satu tindakan pun selain karena Allah SWT, dan kedua, wara’ dalam pengertian batin, yaitu sikap yang mengisyaratkan bahwa tidak ada sesuatu pun yang memasuki hati kecuali Allah SWT.42 c. Zuhud Zuhud adalah meninggalkan sesuatu yang bersifat keduniaan untuk beribadah kepada Allah SWT. Dengan kata lain berpaling dari sesuatu yang dibenci kepada sesuatu yang lebih baik. Maksudnya adalah tidak merasa berbangga terhadap kemewahan tadi dari tangannya. Ada tiga tahap zuhud, pertama, meninggalkan segala yang haram (zuhud orang awam), kedua, meninggalkan hal-hal yang berlebihan dalam perkara halal (zuhud orang khawash), ketiga, memalingkan apa saja yang memalingkan diri dari Allah (zuhud orang arif).43 d. Faqr Faqr
secara
menciptakannya
umum dan
yang
yaitu
hajat
menjaga
manusia
kepada
eksistensinya,
yang
maksudnya
membutuhkan kepada kemurahan Allah, tandanya adalah tidak adanya 41 42
Disarikan dari Hasyim Muhammad, op. cit., hlm. 29-31. Disarikan dari Imam Qusyairy an-Naisabury, op. cit., hlm. 103-104.
harta benda / apa-apa pada dirinya. Kehidupan sufi tidak melarang seorang faqr untuk menerima pemberian dan bantuan orang lain, baik yang berupa fasilitas maupun materi. Namun harus dijaga dan diperhatikan menegenai tiga hal, yaitu benda yang diberikan, tujuan pemberi dan tujuan orang yang menerima, sehingga bisa terhindar dari akibat negatif dari pemberian tersebut.44 e. Sabar Sabar adalah tegaknya dorongan agama berhadapan dengan dorongan hawa nafsu, maksudnya adalah suatu kekuatan, daya positif yang mendorong jiwa untuk menuanaikan kewajiban. Di samping sebagai suatu kekuatan yang menghalangi seseorang untuk melakukan kejahatan. Sabar dalam kenyataannya ada empat, yakni : Pertama, sabar dalam menahan diri dari segala perbuatan jahat dan dari menuruti dorongan hawa nafsu yang angkara murka, menghindarkan diri dari segala perbuatan yang mungkin dapat menjerumuskan diri ke jurang kehinaan dan merugikan nama baik. kedua, sabar dalam menjalankan suatu kewajiban, yaitu jangan sampai merasa berat atau merasa bosan dalam menjalankan ibadah, karena suatu ibadah itu membutuhkan suatu kesabaran. ketiga, sabar dalam membela kebenaran, melindungi kemaslahatan, menjaga nama baik bagi dirinya sendiri, keluarga dan bangsanya. keempat, sabar terhadap kehidupan dunia, yaitu sabar terhadap tipu daya dunia, tidak terpaut kepada kenikmatan tipu daya dunia, tidak terpaut kepada kenikmatan hidup di dunia dan tidak menjadikan kehidupan dunia sebagai tujuan, tetapi hanya sebagai alat untuk mempersiapkan diri menghadapi kehidupan yang kekal di akhirat nanti.45 f. Tawakkal 43 44
Disarikan dari M. Amin Syukur, op. cit., hlm. 164-165. Ibid, hlm. 169.
Tawakkal adalah menyerahkan segala perkara dan usaha kepada Allah SWT yang Maha kuat dan kuasa, sedangkan kita lemah dan tidak berdaya, maksudnya merupakan suatu sikap mental orang sufi yang merupakan hasil dari keyakinannya yang bulat kepada Allah. Maksudnya
adalah
seseorang
yang
tawakal
akan
merasakan
ketenangan dan ketentraman, ia senantiasa merasa mantap dan optimis dalam bertindak. Di samping itu juga ia akan merasakan kerelaan yang penuh atas segala yang diterimanya. Dan selanjutnya ia akan senantiasa memiliki harapan atas segala yang dikehendaki dan dicitacitakannya.46 g. Ridla Ridla adalah buah dari tawakkal, maksudnya yakni menerima tawakkal dengan kerelaan hati. Jadi ridla berarti menerima ketentuan Allah, di mana hatinya tetap senang menerima apapun ketentuan pada dirinya, sehingga bisa disimpulkan bahwa ridla merupakan kondisi kejiwaan atau sikap mental yang senantiasa menerima dengan lapang dada atas segala karunia yang diberikan atas cobaan yang ditujukan kepadanya, dengan senantiasa merasa senang dalam situasi apapun. Sikap mental semacam ini adalah merupakan maqam tertinggi yang dicapai oleh seorang sufi.47 Demikianlah sebagian dari sifat-sifat mahmudah yang seharusnya dimiliki oleh setiap orang muslim dalam rangka mencapai tingkatan yang lebih tinggi yakni tajalli. Jadi, tahalli merupakan tahap pengisian jiwa yang telah dikosongkan pada tahap takhalli. Dengan kata lain, sesudah tahap pembersihan diri dari segala sifat dan sikap serta perilaku yang tidak baik telah dapat dilalui dalam bentuk takhalli, maka usaha itu berlanjut terus ke
45
Disarikan dari Ibnu Athoillah as-Sukandari, Pembersihan Jiwa, Terj. Abu Jihaddudin alHanif, (Surabaya: Putra Pelajar, 2001), hlm. 89-97. 46 Disarikan dari Hasyim Muhammad, op. cit., hlm 45-46. 47 Ibid.
tahap berikutnya yang disebut tahalli. Apabila satu kebiasaan telah dilepaskan, maka perlu ada penggantinya. Dalam tahap pengisian ini tidak berarti jiwa harus dikosongkan lebih dulu dan kemudian diisi, akan tetapi harus secara bersamaan, ketika menghilangkan kebiasaan yang buruk, jiwa diisi dengan kebiasaan yang baik. Hal ini seperti mengobati suatu penyakit, hilangnya suatu penyakit pada seseorang karena adanya obat yang dimasukkan ke dalam tubuhnya.48 Dengan demikian, tahap tahalli merupakan tahap pengisian jiwa yang telah dikosongkan tadi. Apabila satu kebiasaan telah dilepaskan, tetapi tidak segera ada penggantinya, maka kekosongan itu dapat menimbulkan frustasi. Oleh karena itu, ketika kebisaan lama ditinggalkan, harus segera diisi dengan kebiasaan baru yang baik. 3. Tajalli Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui pada fase tahalli, maka rangkaian pendidikan mental itu disempurnakan pada fase tajalli. Tajalli berarti penampakan diri Tuhan yang bersifat absolut dalam bentuk alam yang terbatas. Istilah ini berasal dari kata tajalla atau yatajalla yang artinya menyatakan diri.49 Dengan kata lain setelah seseorang bisa melalui dua tahap takhalli dan tahalli (mengosongkan hati nurani dari sifat tercela dan mengisi atau menghiasi diri dengan sifat yang baik), maka dia akan mencapai tahap ketiga yakni tajalli yang berarti lenyap atau hilangnya hijab dari sifat kemanusiaan (basyariyah) atau terangnya atau terungkapnya nur ghaib (tersembunyi), atau fana’ segala sesuatu (selain Allah) ketika nampak wajah Allah. Konsep tajalli bertitik tolak dari pandangan bahwa Allah SWT dalam kesendiriannya (sebelum ada alam) ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya. Oleh karena itu dijadikan-Nya alam ini. Maka dengan demikian alam ini 48 49
Asmaran AS, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994), hlm. 70. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, op. cit., hlm. 40.
merupakan cermin bagi Allah. Ketika Ia ingin melihat diri-Nya, Ia melihat pada alam. Dalam versi lain diterangkan bahwa Tuhan berkehendak untuk diketahui, maka Ia pun menampakkan diri-Nya dalam bentuk tajalli. 50 50
Proses penampakan diri Tuhan itu diterangkan oleh Muhammad Ibn Fadhillah al-Burhanfuri al-Hindi (ulama India wafat 1620) dengan mendasarkan pada paham Ibn Arabi, dia memaparkan paham martabat tujuh, segala sesuatu pada hakikatnya berasal dari Tuhan. Dia baru bisa dikenali sesudah bertajalli sebanyak tujuh martabat. Tiga tajalli pertama, adalah martabat ahadiyat, wahdat dan wahidiyat. Dari ketiga martabat ini baru muncullah alam arwah, mitsal, dan ajsam. Kemudian dari ketiga martabat batin dan ketiga alam tersebut terkumpul dalam martabat alam insan. Tuhan menciptakan manusia melalui tajalli dzat-Nya sebanyak tujuh martabat, yakni sajaratu al-yakin, Nur Muhammad, mir’atul haya’i, roh idlofi, kandil, dharrah dan hijab. Ibn Fadhillah menerangkan bahwa dzat Tuhan merupakan wujud mutlak, tidak dapat diketahui oleh akal, khayal dan indera. Mengetahui dan menemui Tuhan dapat tercapai setelah bertajalli sebanyak tujuh martabat, yakni : a. Martabat Ahadiyah, yaitu martabat la-ta’yun dan ithlaq. Artinya masih dalam maujud mutlak, tidak bisa dikenal hakikatnya. Ahadiyat adalah martabat tertinggi, dia adalah kuhni al-haqq. Sebutan lainnya adalah Sajaratu al-yakin yang diartikan sebagai pohon kehidupan, dimana masih bersifat la ta’yun, yakni tidak dapat diketahui bagaimana keadaannya, tidak dapat diserupakan dengan apapun. b. Martabat Wahdat, yaitu martabat ta’ayun awal (awal kenyataan), hakikat keMuhammadan (Nur Muhammad). Ibarat ilmu Tuhan terhadap Dzat dan sifat-Nya, serta terhadap segala perwujudan secara ijmal (keseluruhan), belum ada pemisahan antara satu dengan lainnya. c. Martabat Wahidiyat, yaitu martabat ta’ayun kedua sebagai kesatuan yang mengandung kejamakan, tiap-tiap bagian telah jelas batas-batasnya. Sebagai hakikat manusia. Ibarat ilmu Tuhan terhadap segala sesuatu secara terperinci, sebagian terpisah dengan yang lain. Ketiga martabat di atas bersifat batin dan ilahi, qadim dan urutannya bersifat akal bukan perbedaan zaman. Dari ketiga martabat batin itu muncullah : d. Martabat Alam Arwah, Merupakan aspek lahir yang masih dalam bentuk mujarrad dan murni.Martabat ini juga dipersamakan dengan roh idlafi yang diartikan nyawa jernih. e. Martabat Alam Mitsal, Ibarat sesuatu yang telah tersusun dari bagian-bagian, tetapi masih bersifat halus, tidak dapat dipisah-pisahkan. Martabat ini juga dipersamakan dengan kandil (lampu yang tergantung tanpa kaitan). f. Martabat Alam Ajsam (tubuh). Yakni ibarat sesuatu dalam keadaan tersusun secara materiil telah menerima pemisahan dan dapat dibagi-bagi, yaitu telah terukur tepat tipisnya. Martabat ini dipersamakan dengan dharrah yang artinya permata yang merupakan hakikat budi. g. Martabat Insan. Mencakup segala martabat di atasnya, sehingga dalam manusia terkumpul tiga martabat yang bersifat batin dan tiga martabat lahir. Martabat ini dipersamakan dengan hijab yang artinya tabir yang menyekat antara mata hati manusia dengan dzat Tuhan. Apabila hijab terbuka, hati manusia atau qalbu manusia akan dapat langsung menerima cahaya Tuhan dan langsung ma’rifat pada Dzat Tuhan. Demikianlah martabat-martabat proses penampakan diri (tajalli) Allah SWT pada alam semesta. Wadah tajalli-Nya yang paling sempurna adalah insan yang paling sempurna yakni “insan kamil” dalam wujud Nabi Muhammad Saw. Lihat Zainul Milal Bizawie, Perlawanan Kultural Agama Rakyat : Pemikiran dan Pemahaman Keagamaan Syekh Ahmad Mutamakkin dalm Pergumulan Islam dan Tradisi, (Yogyakarta: Kerjasama SAMHA (Institut Studi Agama dan Hak Asasi Manusia) dengan
Tajalli Tuhan dalam insan kamil ini terlebih dahulu telah dikembangkan secara luas oleh Abdul Karim bin Ibrahim al-Jilli (13651428). Menurutnya wadah tajalli Tuhan yang paling sempurna adalah Nur Muhammad. Nur Muhammad ini telah ada sejak sebelum alam ini ada, ia bersifat qadim lagi azali dan berpindah dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam berbagai bentuk para nabi, sejak nabi Adam hingga nabi penutup, Muhammad Saw. Kemudian ia berpindah kepada para wali dan berakhir kelak pada wali penutup (khatam al-auliya’), yaitu nabi Isa As yang akan turun pada akhir zaman.51 Pencapaian tajalli tersebut melalui pendekatan rasa atau dzauq dengan alat qalb (hati nurani). Qalb menurut sufi mempunyai kemampuan lebih bila dibandingkan dengan kemampuan akal. Akal tidak bisa memperoleh pengetahuan yang sebenarnya tentang Allah, sedangkan qalb bisa mengetahui-Nya. Apabila Allah telah memberi dan menebus qalb dengan nur-Nya, maka terlimpahlah karunia. Ketika itu, cahaya hati nurani bercahaya terang benderang, teranglah tabir rahasia dengan karunia rahmat itu, tatkala itu jelaslah segala hakikat ketuhanan yang selama itu tertutup dan terahasiakan. Istilah lain dari tajalli adalah ma’rifah, yaitu mengetahui rahasiarahasia ketuhanan dan peraturan-peraturan-Nya tentang segala yang ada atau bias diartikan lenyapnya segala sesuatu dengan (ketika) menyaksikan Tuhan Yang Maha Esa.52 Ma’rifah merupakan pemberian Allah, bukan usaha manusia. Ia merupakan maqam tertinggi, yang datangnya sesuai atau sejalan dengan ketekunan, kerajinan, kepatuhan dan ketaatan seseorang. Dengan kata lain ma’rifah merupakan pencapaian tertinggi dan sebagai hasil akhir dari segala pemberian setelah melakukan mujahadah dan
Yayasan KERiS (Kajian Epistemologi dan Antropologi, Agama dan Budaya), 2002), hlm.184-185. 51 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, op. cit. hlm. 41. 52 M. Amin Syukur, op. cit. hlm.175.
riyadhah, dan ia dapat dicapai ketika terpenuhinya qalb (hati nurani) dengan cahaya Allah. Cahaya Tuhan akan diberikan kepada seseorang manakala ia telah terkendali, bahkan dilenyapkan sifat-sifat kemanusiaan (basyariyah) yang cenderung
mendorong
berbuat
maksiat
dan
terlepaskan
dari
kecenderungan kepada masalah keduniawian. Karena dosa dan cinta duniawi akan menjadi penghalang hati nurani untuk melihat hakikat sesuatu. Dengan demikian, bagi seseorang yang menginginkan terbukanya hijab (penghalang) tersebut, maka persyaratan ini pula yang harus dilaksanakan. Di sinilah letak kesempurnaan manusia atau insan kamil sebagai puncak tujuan dari tasawuf. Jalan kepada Allah menurut kaum sufi, terdiri dari dua usaha. Pertama, mulazamah, yaitu terus-menerus berada dalam zikr kepada Allah; kedua mukhalafah, yaitu terus menerus menghindarkan diri dari segala sesuatu yang melupakan-Nya. Keadaan ini dinamakan safar kepada Tuhan. Ia tidaklah merupakan suatu gerak dari satu pihak, tidak dari pihak yang datang (hamba) dan tidak pula dari pihak yang didatangi (Tuhan). Perumpamaan lain dikemukakan antara yang mencari (manusia) dan yang dicari (Tuhan) adalah seperti seseorang dengan cermin muka. Orang akan tergambar dalam cermin muka itu, tajalli, tidak usah dengan melenyapkan dirinya ke dalam cermin itu, tetapi cukup dengan menghadapinya, tidak dengan membawa gambar ke muka cermin atau memindahkan cermin ke muka gambar, tetapi dengan menghilangkan noda, kotoran atau tabir yang menjadi penghalang antara orang itu dengan cermin.53 Apabila jiwa telah terisi dengan sifat-sifat yang mulia dan organ-organ tubuh sudah terbiasa melakukan amal-amal saleh dan perbuatan-perbuatan luhur, maka untuk selanjutnya agar hasil yang sudah diperoleh itu tidak berkurang, perlu penghayatan rasa ketuhanan. Satu kebiasaan yang dilakukan dengan kesadaran yang optimal dan rasa kecintaan yang mendalam, akan menumbuhkan rasa rindu 53
Asmaran AS, op. cit., hlm. 73-74.
kepada-Nya. Orang-orang sufi berpendapat bahwa untuk mencapai tingkat kesempurnaan kesucian jiwa itu hanya dengan satu jalan, yaitu cinta kepada Allah dan memperdalam rasa kecintaan itu. Dengan kesucian jiwa ini, maka akan terbuka jalan untuk mencapai Tuhan. Tanpa jalan ini tidak ada kemungkinan terlaksananya tujuan itu dan perbuatan yang dilakukan tidak dianggap perbuatan baik atau amal saleh. Namun perlu dicatat, sebenarnya pengetahuan tentang tasawuf diperoleh bukan dengan pemahaman kognitif, bukan dengan pengalaman fisik, melainkan melalui penghayatan batin yang panjang. Dengan membaca atau belajar dari ceramah saja dipastikan seseorang tidak akan paham tentang konsep-konsep tasawuf, dengan mengamalkan ajaran tasawuf secara tidak intensif atau hanya sebentar, juga diragukan dapat memahami konsep-konsep tasawuf. Seseorang haruslah mengamalkannya dalam jangka panjang dan intensif, lalu berdoa agar diberi pemahaman tentang tasawuf.
Demikianlah gambaran tasawuf secara umum dan khususnya tentang nilainilai karakteristik tasawuf akhlaki. Dari uraian di atas, penulis dapat menggarisbawahi bahwa karakteristik dari tasawuf adalah moral education. Yakni berusaha untuk meningkatkan kualitas moral seseorang, untuk mendapatkan cahaya Ilahi. Dengan begitu tasawuf mampu membangkitkan semangat setiap muslim untuk menjadi makhluk yang bermoral, mengikuti jejak Nabi Muhammad sebagai suritauladan terbaik umat Islam, sekaligus sebagai sufi terbesar sepanjang masa.