BAB. IV. PARADIGMA TASAWUF AKHLAKI DAN RELEVANSINYA TERHADAP PENDIDIKAN MORAL MANUSIA MODERN A. KORELASI TASAWUF, MORALITAS DAN MODERNISASI Islam sebagai sistem ajaran keagamaan yang lengkap dan utuh, telah memberikan tempat kepada jenis penghayatan keagamaan, baik yang eksoterik maupun
yang
esoterik.
Ini
sebagai
upaya
pengembangan
kualitas
keberagamaan untuk menghayati Tuhan dalam agama Islam. Di samping itu Islam harus bisa memberikan jawaban dan solusi atas fenomena-fenomena kejadian yang terjadi di masyarakat, sehingga akan jelas fungsi dan perannya sebagai rohmatan lil’alamiin (kesejahteraan hidup). Untuk itulah ajaran dan tradisinya dituntut lebih fungsional, aplikatif serta membuka pemahaman, penafsiran dan penghayatannya yang fungsional pula, demi tercapainya citacita ideal agama yaitu kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Tasawuf sebagai ilmu keislaman adalah hasil dari kebudayaan Islam sebagaimana ilmu-ilmu keislaman lainnya. Di samping itu tasawuf juga sebagai bagian dari ajaran Islam, karena ia hasil perwujudan dari Ihsan yang merupakan salah satu dari tiga ajaran Islam. Tasawuf yang merupakan implementasi dari ajaran Islam pada saat sekarang dituntut untuk lebih menyentuh kebutuhan hidup riil manusia dan mampu memecahkan segala persoalan yang terjadi pada masyarakat sekarang. Tasawuf tidak hanya mengandalkan cinta sang sufi kepada Tuhannya, tetapi menjadi khalifah Allah sekaligus abdullah di muka bumi ini. Tasawuf sebagai dimensi esoterik Islam dalam rentangan sejarah telah mengalami pasang surut pemikiran, seperti pemikiran syi’i, sunni dan falsafi bahkan neo-sufisme telah terjadi dialektika yang dinamis serta memberikan sumbangan pemikiran yang dinamis, diharapakan akan datang pemikiranpemikiran dinamis pula dalam memahami tasawuf rasionalis-aplikatif. Oleh karena itu dalam tulisan ini sebelum membahas analisis tentang relevansi paradigma tasawuf akhlaki sebagai alternatif pendidikan moral manusia
modern, maka penting kiranya bagi penulis untuk mengemukakan “titik” korelasi antara tasawuf, moralitas dan modernisasi. 1. Tasawuf dan Modernisasi Tasawuf dan zaman mode rn adalah dua term yang tidak bisa dipisahkan dan harus dimiliki oleh manusia karena keduanya memiliki peran masingmasing dalam diri manusia yakni dalam mengemban amanat-Nya sebagai wakil Allah SWT di muka bumi. Oleh karena itu, usaha mengembangkan keduanya menjadi sesuatu yang harus kita optimalkan. Bagaimana bertasawuf tanpa meninggalkan aktifitas di zaman modern tanpa meninggalkan konsepkonsep tasawuf. Penulis yakin bahwa asumsi tentang peradaban zaman modern adalah bukan sesuatu yang “kotor”, apalagi tanpa “nilai” karena peradaban zaman modern (ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang merupakan ciri dari peradaban modern), dapat membimbing manusia kepada Allah beserta keagungan-Nya. Alam semesta yang sangat luas adalah ciptaan Allah dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dapat dijadikan instrumen manusia untuk menyelidikinya, mengungkapkan keajaiban-Nya dan berusaha memanfaatkan kekayaan alam yang melimpah ruah untuk kesejahteraan hidupnya. Dengan melihat peranan teknologi modern dan tasawuf yang sangat penting dalam kehidupan manusia, maka tidak selayaknya jika kita menempatkan keduanya pada posisi yang “antagonistik” (bertentangan satu dengan yang lain), tetapi hendaknya kita menempatkan keduanya pada posisi yang sejajar yakni sebagai mitra untuk membahagiakan manusia baik lahir maupun batin. Teknologi
modern
memenuhi
kepuasan
lahir
manusia
dengan
menampilkan seperangkat teknologi yang dapat memenuhi segala kebutuhan jasmani manusia, sedangkan tasawuf memenuhi kepuasan batin manusia dengan menampilkan seperangkat metodologi dalam mendekatkan diri pada
kesempurnaan Allah SWT sehingga dapat memenuhi kebutuhan batin manusia. Oleh karena itu agar kehidupan menjadi semakin bermakna dan tidak mengurangi eksistensi kemanusiaan manusia modern, maka perlu adanya penanaman benih kesufian melalui jalan diterimanya tasawuf di tengah-tengah masyarakat muslim yang sedang menikmati dan mendayagunakan teknologi modern, sehingga apa yang diharapkan manusia itu sendiri yakni terwujudnya hidup yang aman, damai, sejahtera baik lahir maupun batin dapat benar-benar terealisasikan. a. Aktualisasi Tasawuf Adalah Syed Ameer Ali sang pembaharu dari India yang mengecam tasawuf dalam karya magnum opus-nya, "Spirit of Islam", biang keladi kemunduran intelektualisme Islam adalah tasawuf. Tak kalah garangnya, para modernis Islam seperti Muhammad Abduh dan Zakki Mubarak juga menjadikan
tasawuf
sebagai
"kambing
hitam"
kemunduran
dan
kehancuran umat Islam, akibatnya citra tasawuf identik dengan kejumudan, tidak bertanggung jawab, irrasional, lari dari kenyataan, akhirat oriented dan stereotipe negatif lainnya. Namun menurut, Sayyed Hossein Nasr di dalam surveinya belum lama ini, menyimpulkan bahwa dalam beberapa dekade terakhir ini terjadi peningkatan signifikan dalam minat terhadap tasawuf, terutama di kalangan terdidik. Tasawuf mengalami kebangkitan di dunia muslim Syria, Iran, Turki, Pakistan sampai Asia Tenggara.1 Seperti di Indonesia sendiri dalam beberapa tahun terakhir, gejala munculnya tasawuf ke panggung kehidupan keagamaan juga terlihat lebih jelas. Tasawuf, diibaratkan Amin Abdullah sebagaimana dikutip M. Amin Syukur, bagaikan “magnet”. Dia tidak menampakkan diri ke permukaan, tapi mempunyai daya kekuatan yang luar biasa. Potensi ini dapat
Azyumardi Azra, “Neo Sufisme dan Masa Depannya”, dalam Muh.Wahyuni Nafis, (ed.), Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam , (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 286.
dimanfaatkan untuk apa saja.2 Dalam kehidupan modern yang serba materi, tasawuf bisa dikembangkan ke arah yang konstruktif, baik yang menyangkut kehidupan pribadi maupun sosial. Ketika suatu mayarakat sudah terkena apa yang disebut alienasi (keterasingan) karena proses pembangunan dan modernisasi, maka pada saat itulah mereka butuh pedoman hidup yang bersifat spiritual yang mendalam untuk menjaga integritas kepribadiannya. Buktinya, tasawuf yang dulu dimusuhi dan dianggap bid’ah, sekarang justru menjadi kebutuhan tersendiri bagi masyarakat kota. Meskipun penelitian ilmiah tentang hal ini belum pernah (masih terbatas) dilakukan, namun akhir-akhir ini media massa sering melaporkan bahwa literatur tasawuf termasuk di antara buku-buku terlaris (best seller) di pasaran. Bila kita berkunjung ke toko-toko buku dan mencoba mengamati jenis buku yang paling laris, maka akan kita buktikan bahwa buku tentang psikologi, spiritualitas, persoalan inner-self dan masalah hati (qalb) tergolong jenis buku yang menduduki ranking awal dalam penjualannya. Di samping fenomena itu, kursus, seminar dan pelatihan yang masuk kategori paling diminati oleh komunitas urban (kaum kota terdidik secara modern) adalah kursus-kursus kepribadian, tasawuf, meditasi dan sejenisnya. Kajian spiritual yang diselenggarakan oleh Tazkiya Sejati (pusat kajian tasawuf yang dipandegani oleh Dr. Jalaluddin Rakhmat), IIMaN (pusat pengembangan tasawuf positif yang dikomandani oleh Haidar Bagir dan Klub Kajian Agama (KKA) Paramadina (yayasan yang menekuni pengkajian persoalan Islam, termasuk tasawuf, yang dipimpin oleh Prof. Dr. Nurcholish Madjid) hampir tak pernah sepi peserta.3 Termasuk kursus-kursus tasawuf yang diselenggarakan lembaga semacam LSAF (Lembaga Studi Agama dan Filsafat) dengan tokohnya Prof. Dr. 2
M. Amin Syukur, Menggugat Tasawuf: Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 139. 3 Ahmad Najib Burhani, Sufisme Kota: Berpikir Jernih Menemukan Spiritualistik Positif, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2001), hlm. 1.
Harun Nasution atau dalam konteks lokal Jawa Tengah (Semarang), ada LEMBKOTA (Lembaga Bimbingan dan Konsultasi Tasawuf) Semarang yang diasuh oleh Prof. Dr. H.M. Amin Syukur, M.A., Guru besar Tasawuf IAIN Walisongo dan Forum Kajian tasawuf (FKT) yang dipimpin Ahmad Anas, Dosen IAIN Walisongo serta masih ada lagi di kota-kota lain di Indonesia.. Belum lagi kegiatan-kegiatan tasawuf amali (thariqah) juga masih dan tambah marak hingga kini berupa pengajian-pengajian, mujahadahan, khalwatan, istighotsah dan ritual-ritual lainnya di pondok-pondok pesantren, terutama pondok-pondok pesantren thariqah, sebut saja PP. AdDainuriyah 2 di Semarang dan PP. Nurul Huda di Kajen, Margoyoso, Pati, belum lagi ratusan pondok pesantren thariqah lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, di mana kegiatannya tersebut diikuti oleh ribuan bahkan jutaan pengikut/pengamal thariqah yang tersebar di seluruh tanah air. Bukan hanya lembaga keagamaan dan pondok pesantren, media massa nasional pun tak luput dari maraknya gejala tersebut. Ini bisa kita lihat, misalnya Harian Umum Republika atau Majalah Panji Masyarakat memiliki rubrik khusus tenang spiritualitas. Namun kita akan terhenyak bila melihat pers politik semisal Tabloid Adil memiliki kolom tentang tasawuf. Adapun media cetak lainnya semisal Kompas, Suara Pembaruan, The Jakarta Post, Indonesian Observer, Media Indonesia, Gamma, Gatra, SWA, Tempo pun acapkali mengulas masalah-masalah mistik. Sedangkan Suara Merdeka yang mengklaim sebagai ‘korannya Jawa Tengah’ juga ada rubrik tasawuf setiap hari sabtu. Begitu pun halnya, media elektronik, juga tak mau kalah dalam menurunkan program yang bertemakan spiritualitas, di samping acara agama yang masuk kategori “wajib”, semisal : “Di Ambang Fajar, Penyejuk Imani, Penyegaran Rohani”, kini beberapa stasiun televisi swasta menayangkan acara yang khusus membahas mistisisme, ANTeve lebih dulu menayangkan “Tasawuf”, disusul TPI yang memiliki “Cahaya
Hati” dan akhir-akhir ini SCTV dan TransTV juga sering bergantian menayangkan siaran langsung pengajian Manajemen Qalbu-nya AA Gym (sapaan KH. Abdullah Gymnastyar) dan Dzikir bersama KHM. Arifin Ilham dengan majlis adz-Dzikra-nya. Di samping itu media radio juga melakukan hal yang sama sebut saja Radio Rasika FM Ungaran, Citra FM Kendal dan Pas FM Pati sama-sama menyiarkan pengajian tarekat yang dipimpin KH. Asrori al-Ishaqi dari PP. Al-Fitrah, Kedinding Surabaya. belum lagi program-program acara semisal yang disiarkan TV ataupun radio lain di seluruh tanah air yang biasanya hasil reproduksi dari rekaman kaset atau CD dari acara-acara tersebut. Demikian pula halnya dalam bidang kehidupan lain, nuansa sufistik ini misalnya juga merambah ke dunia kepenyairan, terdapat seniman atau penyair
yang
akhir-akhir
ini
secara
tidak
malu-malu
turut
memproklamirkan diri sebagai “penyair sufistik”, sebut saja Cak Nun (sebutan populer Emha Ainun Nadjib) dan Gus Mus (sebutan akrab K.H. Musthofa Bisri). Selain yang disebutkan di atas, penulis sangat yakin masih banyak tokoh lain di bidang lain yang telah bersinggungan dengan dunia tasawuf, namun karena keterbatasan kemampuan penulislah semua itu tidak bisa penulis sebutkan satu persatu di sini. b. Urgensi Tasawuf Tasawuf jika ditelaah secara mendalam, sebenarnya memiliki aspekaspek strategis yang potensial dalam segala sendi kehidupan manusia, tetapi esensi tersebut akan sia-sia apabila umat Islam sendiri tidak mampu memanfaatkan “essence of values” dari tasawuf dengan sebaik-baiknya. Pada garis besarnya, tasawuf mempunyai peranan dan fungsi yang vital dalam pengembangan hidup manusia dengan segala amalan-amalan yang ada. Hal ini disebabkan karena umat manusia bukan hanya membutuhkan pemenuhan kebutuhan materi saja, tetapi juga memerlukan kebutuhan batin. Nasib agama Islam di zaman modern ini juga sangat ditentukan oleh sejauh mana kemampuan umat Islam merespons secara tepat tuntutan
dan perubahan sejarah yang terjadi di era modern. Sebagaimana pendapat Dadang Kahmad, bahwa fenomena munculnya tasawuf pada zaman modern ini merupakan salah satu usaha reinterpretasi dan reaktualisasi tertentu kepada ajaran agama Islam, dengan tujuan agar tidak saja menjadi relevan bagi kehidupan modern, tetapi juga untuk mengefektifkan fungsinya sebagai “sumber makna hidup” bagi pemeluknya.4 Pada masa sekarang makin lama makin disadari orang bahwa betapa besar pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi modern dalam memberi wujud dan arti kehidupan manusia. Pengaruh tersebut tidak “an-sich” berupa kebaikan saja, tetapi juga berupa keburukan yakni dapat membawa manusia ke arah malapetaka. Betapapun lengkap fasilitas modern yang disediakan tanpa pemuasan terhadap batin, maka terasa ada “something less” dalam diri manusia. Di sinilah maka peranan tasawuf sangat dibutuhkan,
melalui
tasawuf
kiranya
akan
mampu
melahirkan
keseimbangan antara kebutuhan lahiriah dan batiniah. Dan melalui kehidupan yang seimbang inilah maka akan menjanjikan kehidupan yang lebih harmonis. Di tengah-tengah situasi masyarakat yang cenderung mengarah kepada dekadensi moral seperti yang gejala-gejalanya mulai nampak saat ini dan akibat negatifnya mulai terasa dalam kehidupan, masalah tasawuf mulai mendapatkan perhatian dan dituntut peranannya untuk terlibat secara aktif mengatasi masalah-masalah tersebut. Terjadinya kebakaran hutan dengan segala akibatnya yang merugikan, praktek pengguguran kandungan (aborsi), pemerkosaan, pembunuhan, penipuan, penyalahgunaan obat-obat terlarang, pergaulan bebas yang mengarah pada perilaku penyimpangan seksual, penimbunan harta kekayaan dengan dampaknya yang menjurus pada kesenjangan sosial, disia-siakannya masalah keadilan dan lain sebagainya adalah bermula dari 4
Dadang Kahmad, Tarekat dalam Islam: Spiritualitas Masyarakat Modern, (Bandung: Pustaka Setia, 2002), hlm. 70.
kekotoran jiwa manusia, yaitu jiwa yang jauh dari bimbingan Tuhan, yang disebabkan ia tidak pernah mencoba mendekati-Nya. Untuk mengatasi masalah ini tasawuflah yang paling memiliki potensi dan otoritas, karena di dalam tasawuf dibina secara intensif tentang caracara agar seseorang selalu merasakan kehadiran Tuhan dalam dirinya. Dengan cara demikian. Ia akan malu berbuat menyimpang, karena merasa diperhatikan oleh Tuhan.5 Dengan mengimplementasikan ajaran-ajaran tasawuf, maka manusia akan sadar bahwa semua yang ada di dunia ini (termasuk eksistensi ilmu pengetahuan dan teknologi modern) tidak lain adalah milik Allah. Dengan demikian, maka eksistensi modernisasi harus dimanfaatkan dalam batasbatas kepentingan Ilahiyah yakni digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan manusia, bukan justru sebaliknya, membuat kerusakan di dunia. Dalam kaitannya dengan problematika masyarakat modern, maka secara praktis tasawuf mempunyai potensi besar karena mampu menawarkan pembebasan spiritual, ia mengajak manusia mengenal dirinya sendiri dan akhirnya mengenal Tuhannya. Tasawuf dapat memberi jawaban-jawaban terhadap kebutuhan spiritual mereka akibat pendewaan mereka terhadap selain Tuhan, seperti materi dan sebagainya.6 Oleh karena itu, peranan tasawuf dalam zaman modern sekarang ini, sangatlah dibutuhkan bagi setiap muslim, karena tasawuf dalam kehidupan modern adalah untuk memaknai arti ilmu pengetahuan dan teknologi modern sehingga tidak bersifat destruktif terhadap tatanan yang ada. Sementara itu IPTEK berperan dalam memberikan kemudahan-kemudahan hidup bagi manusia. Kemudahan yang dimaksud di sini adalah kemudahan dalam beribadah serta mendekatkan diri kepada Allah SWT. Modernisasi dapat mengantarkan 5 6
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 279. M. Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 179.
manusia ke tingkat religiusitas yang agung, yakni pencarian terus menerus bentuk-bentuk baru, baik lewat usaha kreatif maupun kemampuan penalaran. Kreatifitas tersebut menganjurkan manusia untuk memikirkan masalah modernisasi dan terus meningkatkannya. 2. Moralitas dan Modernisasi Esensi agama Islam adalah moral, yaitu moral antara seorang hamba dengan Tuhannya, antara seorang dengan dirinya sendiri, antara dia dengan orang lain, termasuk anggota masyarakat dengan lingkungannya. Moral yang terjalin dalam hubungan antar hamba dengan Tuhan menegasikan berbagai moral yang buruk, seperti tamak, rakus, gila harta, menindas, mengabdikan diri kepada selain khaliq, membiarkan orang yang lemah dan berkianat. Namun sebaliknya, mengedepankan moral kebajikan (terpuji) bisa menambah kesempurnaan iman seseorang, karena seorang mukmin yang sempurna adalah mereka yang paling sempurna moralnya. Tapi perlu diingat, bahwa dalam agama Islam hal tersebut bisa dicapai, setelah seseorang beriman-percaya pada rukun Iman dan juga menjalankan syariat Islam sebagaimana dalam rukun Islam. Jadi tiga komponen utama dari ajaran Islam, yakni Iman, Islam dan Ihsan harus seiring dan sejalan dalam kehidupan seorang muslim. Moral seseorang dengan sendirinya melahirkan tindakan positif bagi dirinya, seperti menjaga kesehatan jiwa dan raga, menjaga fitrah dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan ruh dan jasmani. Dengan demikian, krisis spiritual tidak akan terjadi padanya. Selanjutnya moral yang terjalin pada hubungan antara seorang dengan orang lain, menyebabkan keharmonisan, kedamaian dan keselarasan dalam hidup yang dapat mencegah, mengobati berbagai krisis (spiritual, moral dan budaya). Tercerabutnya akar spiritualitas dari panggung kehidupan, salah satunya disebabkan oleh pola hidup global yang serba dilayani perangkat teknologi yang serba otomat. Kondisi seperti ini kemudian menimbulkan berbagai kritik dan usaha pencarian paradigma baru yang diharapkan membawa kesadaran
untuk hidup bermakna. “Organized Religion” – yang dilihat sebelah mata hanya pada aspek formalnya – tidak selamanya dianggap dapat men-terapi kehampaan dan kegersangan hidup. Dari kondisi ini, kemudian timbullah gejala pencarian makna hidup dan pemenuhan diri yang sarat dengan spiritualitas. Upaya ini diharapkan dapat mengatasi derita alienasi manusia modern. Masalah alienasi adalah masalah kejiwaan. Manusia berperan sebagai penyebab munculnya alienasi dan sekaligus sebagai korban yang menanggung akibatnya. Dalam konteks ajaran Islam, untuk mengatasi keterasingan jiwa manusia dan sekaligus membebaskannya dari derita alienasi, justru dengan menjadikan Tuhan sebagai tujuan akhirnya (ultimate goal), karena Tuhan adalah Dzat Yang Maha Hadir (omnipresent) dan Maha Absolut. Segala eksistensi yang relatif dan nisbi akan lebur ke dalam eksistensi Yang Absolut. Keyakinan dan perasaan akan kemahadiran Tuhan inilah yang akan memberikan kekuatan, kemdali dan kedamaian jiwa seseorang sehingga yang bersangkutan merasa senantiasa berada dalam “orbit” Tuhan, yang selalu menjadi pegangan hakiki. Nilai kemanusiaan hanya bisa dipahami ketika semua perilaku lahir dan batin diorientasikan pada Tuhan, dan pada waktu yang bersamaan membawa dampak kongrit terhadap peningkatan nilai-nilai kemanusiaan. Umat manusia telah terbentuk, sebagaimana produk industri itu sendiri. Tak ada lagi keunikan; yang ada hanyalah kekakuan yang seragam sehingga secara sadar atau tidak sadar, manusia berangsur-angsur kehilangan asas kemerdekaannya. Padahal itulah yang dijadikan tumpuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Itikad dikembangkannya ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai pembebasan keterbatasan manusia, justru menghadirkan kerumitan hidup dan kegelapan ruang spiritual. Waktu yang berjalan telah dianggap terlampau cepat berlalu tanpa makna, tanpa membawa penyelesaian masalah hidup yang direncanakan. Manusia terpacu oleh situasi mekanistis yang telah diciptakannya sendiri sehingga kehilangan waktu untuk merenungkan ayat-ayat Allah dan makna
hidupnya. Manusia telah kehilangan kontak secara manusiawi dalam tata hubungan antar manusia karena manusia telah menjadi egoistis. Manusia kehilangan kontak dengan alam, sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan menjadi masalah utama dama hidup modern. Manusia telah kehilangan orientasi, tidak tahu ke mana arah hidup tertuju. Di sinilah manusia telah kehilangan segala-galanya.7 Dalam perjalanan umat manusia menuju masyarakat industrial seperti yang diuraikan terdahulu, proses yang menyertainya akan menimbulkan pergeseran nilai dan benturan budaya yang tidak dapat dielakkan karena memang budaya santai dari masyarakat agraris yang bertenaga hewani berlainan dengan budaya tepat waktu pada masyarakat industrial yang tenaganya serba mesin, dan nilai-nilai bergeser pada saat wanita, yang semula sangat terikat dengan rumah dan keluarga, merasa bebas menggunakan kendaraan bermesin sebagai sarana transportasi dan pesawat telpon sebagai alat komunikasi. Dengan keimanan dan ketakwaan dapatlah dipilih nilai-nilai baru dan budaya baru yang sesuai dengan ajaran agama.8 Inti budaya modern menurut M. Amin Syukur seperti dikutip Muallim adalah liberalisasi, rasionalisasi dan efisiensi. Secara konsisten terus melakukan pendangkalan kehidupan spiritual. Liberalisasi dalam berbagai lini kehidupan tak lain adalah usaha desakralisasi dan despiritualisasi tata nilai agama yang akhirnya berimbas pada semua aspek kehidupan manusia. Di mana masyarakat ini, pada umumnya melahirkan gejala, pertama, hilangnya visi keilahian dalam kehidupan sehari-hari. Mereka lebih mengedepankan hal-hal yang bersifat rasional dan empiris, serta menampik metafisis, yang tak bisa dijamah dengan panca indera. Kenyataan ini membuat agama yang sarat dengan nilai-nilai sakral dan spiritual perlahan tapi pasti tergusur dari berbagai aspek kehidupan masyarakat. Kedua, kehampaan 7
8
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 198.
Achmad Baiquni, Al-Qur’an; Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1995), hlm. 154.
spiritual. Hilangnya visi ilahiah telah mengakibatkan lunturnya nilai-nilai rohani pada diri manusia. Akibatnya, sebagaimana terlihat gejala umum masyarakat urban kehidupan rohani semakin kering dan dangkal. Muncul kegelisahan eksistensial, depresi, stress dan penyakit psikologis lainnya. Ketiga, munculnya krisis multidimensional yang mengelilingi setiap aspek kehidupan; kesehatan, liingkungan, hubungan sosial, politik, teknologi, ekonomi dan budaya. Lebih-lebih krisis moralitas.9 Keterkaitan manusia modern kepada dunia spiritual, pada intinya ingin mencari keseimbangan baru dalam hidup. Kaum eksistensialisme, misalnya memandang manusia pada dasarnya ingin kembali pada kemerdekaannya yang telah tereduksi dalam kehidupan modern. Kehidupan modern dalam perspektif tersebut dapat dicapai apabila manusia senantiasa melakukan transformasi di segala bidang kehidupan. 3. Tasawuf dan Moralitas Para ulama berbeda-beda pendapat dalam mendefinisikan tasawuf, meskipun demikian mereka sepakat bahwa tasawuf adalah moralitas yang berdasarkan Islam (adab). Karena itu sufi adalah mereka yang bermoral, sebab semakin ia bermoral semakin bersih dan bening (shafa) jiwanya. Dengan pengertian bahwa tasawuf adalah moral berarti tasawuf adalah semangat (spirit) Islam. Sebab ketentuan hukum Islam berdasarkan landasan moral islami. Sebabnya, hukum Islam tanpa tasawuf (moral) adalah ibarat badan tanpa nyawa atau wadah tanpa isi. Sebelumnya tidak ada istilah tasawuf dan memang kata tasawuf tidak terdapat baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah. Tetapi esensi tasawuf tetap ada apabila kita sepakati sebagai akhlak atau etika. Maka bagi orang yang tidakmau menerima tasawuf sebagai bagian dari Islam kata tasawuf itu tidak
9
Mu’allim, “Dari Kesadaran Spiritual ke Tasawuf Sosial”, dalam Surat Kabar Mahasiswa ‘AMANAT’ IAIN Walisongo, Semarang, Edisi 91/ Juni, 2002, hlm. 6.
perlu. Cukup menyebutnya sebagai akhlak atau etika Islam yang disepakati semuanya.10 Agaknya penulis berbeda pendapat dengan Fazlur Rahman, Ibn Taimiyah dan Ibnul Qayyim al-Jauziyah yang menyatakan bahwa tasawuf tak lebih dari etika Islam. Karenanya, tasawuf cukup saja disebut dengan moralitas Islam. Penulis lebih setuju pendapat Sayyed Hossein Nashr yang menyatakan tasawuf merupakan spirit of Islamic Religion. Tasawuf tidak lagi berbicara soal baik buruk, tapi berbicara tentang sesuatu yang indah. Ia selalu mengaitkan dengan jiwa, roh dan state of feeling, intuisi dan sensasi. Ia berusaha membangun dunia yang tidak hanya bermoral, tapi juga sebuah dunia yang indah dan penuh makna. Tasawuf tidak hanya berusaha menciptakan manusia yang hidup dengan benar, rajin beribadah, berakhlak karimah, tapi juga bisa merasakan indah dan manisnya hidup dan ibadah serta menjawab persoalan mengapa manusia berakhlak mulia. Penulis lebih setuju dengan pendapat Al-Ghazali seperti dikutip M. Amin Abdullah, bahwa tujuan manusia sebagai individu adalah mencapai kebahagiaan dan kebahagiaan yang paling utama harus ditemukan di kehidupan yang akan datang. Sarana utama kepada tujuan itu ada dua macam: amal baik lahiriah berupa ketaatan kepada aturan-aturan tingkah laku yang diwahyukan dalam kitab suci dan upaya batiniah untuk meraih keutamaan jiwa. Amal baik lahiriah bermanfaat karena ketaatan di samping dibalas secara langsung demi ketaatan itu sendiri, juga memberi dukungan terhadap perolehan keutamaan. Namun, kondisi hati secara batiniah lebih penting dalam pandangan tuhan daripada amal baik-lahiriah dan lebih mendatangkan pahala.11 Sehingga dalam hal ini ada satu asas tasawuf yang tidak
10
Alwi Sihab,”Akhlak Sebagai Sasaran Tasawuf”, dalam Haidar Bagir, (ed.), Manusia Modern Mendamba Allah: Renungan Tasawuf Positif (Jakarta: Kerjasama IIMaN dengan Hikmah, 2002), hlm, 288. 11
M. Amin Abdullah, Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 71.
diperselisihkan, yaitu bahwa tasawuf adalah moralitas-moralitas yang berdasarkan Islam. Dengan begitu, jelas pada dasarnya tasawuf berarti moral.12 Dengan pengertian begini, maka tasawuf juga berarti semangat Islam, sebab semua hukum Islam berdasarkan landasan moral. Dalam hal tersebut Hamka menyebutnya sebagai “tasawuf modern”, yaitu “keluar dari budi pekerti yang tercela dan masuk kepada budi pekerti yang terpuji”.13
Maksudnya
adalah
membersihkan
jiwa,
mendidik
dan
mempertinggi derajat budi, menekankan segala kelobaan dan kerakusan, memerangi syahwat yang berlebihan dari keperluan untuk kesentosaan diri. Kemudian tasawuf “moral” ini dari awalnya, dalam beberapa aspek utama, bahkan mengatur untuk mengikat doktrin al-Qur’an. Kenyataannya, untuk menyebutnya “moral” merupakan penyalahgunaan istilah. Moralitas menguasai hubungan intra-manusia dan moralitas al-Qur’an melakukan ini dengan sense of presence of God (rasa kehadiran Tuhan) yang kuat. Tetapi doktrin sufi terhadap perasaan berdosa dan pengangkatan diri yang bersifat asketis membalikkan moralitas positif al-Qur’an ini ke dalam perjuangan melawan diri. Manusia dituntut bergulat dengan dirinya. Dimensi hubungan intra-manusia, yang merupakan inti dari moralitas al-Qur’an, secara praktis dihapus. Jika ini tidak terjadi, tasawuf akan menjadi aset spiritual Islam yang sangat positif.14 Sebenarnya dalam wacana intelektual pun ada satu konsep paham tasawuf yang tetap mempertahankan esensi awal dari tasawuf, yaitu “moralitas” atau akhlak. Itu sebabnya dapat disebut ‘ tasawuf akhlaki’. Perlu ditegaskan di sini, mengapa “akhlak” disebut esensi awal dari tasawuf, karena arahnya adalah melaksanakan hidup “sederhana” dan sikap hidup ini pada akhirnya membuahkan tindakan akhlak.
12
Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman: Suatu Pengantar tentang Tasawuf, (Bandung: Pustaka, 1997), hlm. 10. 13 Hamka, Tasawuf Modern, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1996), hlm. 7. 14 Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan dalam Islam: Studi Fundamentalis Islam, terj. Aan Fahmia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 154.
Dalam paham tasawuf akhlaki ini orang yang menjalankan hidup kesufiannya berhenti sebatas tujuan :akhlak”, yaitu meluruskan jiwa, mengendalikan kehendak dan usaha-usaha yang dapat membuat manusia konsisten melakukan keluhuran moral atau akhlak. Jadi tasawuf jenis ini lebih bersifat mendidik sehingga coraknya cenderung praktis. B.
RELEVANSI PARADIGMA TASAWUF AKHLAKI SEBAGAI ALTERNATIF PENDIDIKAN MORAL MANUSIA MODERN Sebagaimana yang telah disebutkan dalam bab pendahuluan yakni pada pembatasan masalah, di mana penulis lebih mengfokuskan pembahasan pada tasawuf akhlaki, namun untuk lebih mempermudah penjelasan maka tasawuf akhlaki selanjutnya disingkat sebagai “tasawuf” saja. Tasawuf sebagai sebuah tradisi ‘kecil’ tak lebih hanyalah menawarkan jalan hidup menuju Tuhan. Sedangkan tasawuf sebagai sebuah tradisi ‘besar’ memunculkan sebuah sikap hidup yang dinamis, kritis dan menumbuhkan sebuah kecenderungan intelektual. Tasawuf di sini tidak hanya menawarkan jalan hidup menuju Tuhan yang penuh dengan cinta dan kehangatan, tetapi juga membuat prasangka terhadap dunia kekinian. Dalam hal ini tasawuf juga memasukkan konteks kemanusiaan sebagai bagian dari proses menuju Tuhan. Dengan mengacu kepada pokok pikiran tersebut maka tasawuf juga bisa dikatakan sebagai “paradigma” dalam mengatasi dampak yang ditimbulkan oleh modernisasi. Adapun relevansi tasawuf dengan kecenderungan kehidupan modern, antara lain bahwa perkembangan masyarakat modern sudah tidak memadai lagi untuk dipenuhi sekadar ibadah-ibadah pokok. Masyarakat modern memerlukan pengalaman keagamaan yang lebih intens dalam pencarian makna. Kecenderungan ini hanya dapat dipenuhi oleh esoterisme-tasawuf yang kini direpresentasikan oleh tasawuf. Kenyataan itu, dengan sendirinya, akan berimplikasi pada konsep dan metodologi pewartaan Islam (dakwah). Jika konseptor ataupun praktisi-dakwah mengharapkan pelaksanaan dakwah
yang efektif hendaklah mampu memproyeksikan diri dan menyesuaikan pesannya dengan konteks sosial masyarakat yang dihadapinya. Kondisi sebagaimana tersebut di atas adalah sangat niscaya, karena semua jawaban terhadap zaman modern ini tidak hanya ditentukan oleh peranan rasio saja tetapi juga mencari jawaban dengan menengok kembali pada aspek-aspek batiniah, mendasarkan penghayatan dan pengalaman esoteris. Di sini menunjukkan bahwa begitu pentingnya tasawuf dalam kehidupan manusia, di mana tugas tasawuf adalah untuk pendisiplinan watak serta penanaman adab spiritual. Dan ini menunjukkan betapa signifikannya sufisme dalam kehidupan manusia apalagi zaman sekarang yang sudah memasuki abad modern. 1. Pendidikan Moral – Spiritual Keterkaitan manusia modern kepada dunia spiritual, pada intinya ingin mencari keseimbangan baru dalam hidup. Paham eksistensialisme, misalnya memandang manusia pada dasarnya ingin kembali pada kemerdekaannya yang telah tereduksi dalam kehidupan modern. Kehidupan dalam perspektif tersebut dapat dicapai apabila manusia senantiasa melakukan transendensi terus menerus. Dalam proses transendensi, kehidupan ini tidak hanya berhenti pada realitas profan dalam konteks keterbatasan ruang dan waktu, tapi ditransendentasikan kepada realitas yang mutlak (ultimate reality). Keseimbangan hidup yang sempurna dan kemerdekaan yang hakiki, terletak dalam proses transendensi yang bisa ditempuh dengan spiritualisasi diri. Kebangkitan spiritualitas terjadi di mana-mana, baik di Barat maupun dunia Islam. Di dunia Barat, kecenderungan untuk kembali pada spiritualitas
ditandai
dengan
semakin
merebaknya
gerakan
fundamentalisme agama dan kerohanian, terlepas dari gerakan ini menimbulkan persoalan psikologis maupun sosiologis. Sementara di kalangan umat Islam ditandai dengan berbagai artikulasi keagamaan seperti fundamentalisme Islam, yang ekstrem dan menakutkan sampai
pada bentuk artikulasi esoterik seperti akhir-akhir ini menggejala, yaitu gerakan sufisme (tasawuf). Kebangkitan agama juga bisa ditandai dengan kebangkitan spiritual. Akibat proses modernisasi yang membawa dampak krisis batin manusia, maka orang cenderung mencari ketenangan dengan masuk ke dalam dunia sufi. Gejala bangkitnya sufisme itu bisa dilihat dalam hampir semua lapisan masyarakat muslim. Di negara-negara Barat, kelompok-kelompok tasawuf dan tarekat menjadi daya tarik orang memeluk Islam. Ketertarikan terhadap spiritualisme Islam itu bukan saja ditunjukkan oleh massa tetapi juga kalangan elit intelektual, seperti Sayyed Naquib Alatas, Sayyed Hossein Nasr, Martin Lings, Hamid Algar dan Mohammad Asad (Lepold Weiss).15 Masyarakat Barat kini bisa dijadikan contoh, mereka kini sedang meringkuk dalam penyakit jiwa. Penyakit akhlak yang penuh dengan dosa dan kerusuhan masyarakatnya yang materialistis di permukaan bumi penuh oleh kemarahan yang merupakan masyarakat celaka dan sengsara.16 Akan tetapi, pada kenyataannya, rasionalisme, materialisme, sekularisme, tidak menambah kebahagiaan hidup, justru menimbulkan dehumanisasi yang berakibat pada kegelisahan hidup. Lebih jauh, para ilmuwan menyebut era tercerabutnya nilai-nilai humanis sebagai the age anxiety (abad kecemasan). Gejalanya antara lain, munculnya krisis dalam setiap aspek kehidupan manusia. Mulai dari lingkungan akibat pencemaran industri, perubahan tata nilai, peperangan, lunturnya nilai-nilai tradisi dan penghayatan agama sebagai efek sampaing teknologi dan industri-modernisasi, serta munculnya berbagai penyakit yang mengerikan dan sulit disembuhkan. Semua gejala tersebut menjadi momok bagi masyarakat modern.
15
Syafiq A. Mughni, Nilai-nilai Islam : Perumusan Ajaran dan Upaya Aktualisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 258. 16 Kahar Masyhur, Membina Moral dan Akhlak, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hlm. 136.
Masyarakat modern dihantui akan kecemasan, kegelisahan, frustasi, depresi, kehilangan semangat hidup dan penyakit psikosomatis lainnya, khususnya di kota-kota besar. Di mana beban psikologis ini sudah begitu mewabah. Sehingga banyak orang modern menderita existensial vacuun (kehampaan hidup) yang diakibatkan oleh rasa hidup tak bermakna.17 Untuk menanggulangi penyakit tersebut banyak upaya yang mereka lakukan, antara lain, konsultasi dengan berbagai ahli; dokter, psikolog, psikiater dan sebagainya. Ada juga yang lari dari kenyataan dengan minum-minuman keras, mengkonsumsi obat-obat terlarang dan perilaku yang menyimpang dari norma-norma agama. Tetapi tak jarang pula, mereka kembali ke pangkuan agama, yang mereka wujudkan dengan mengikuti pengajian-pengajian dan menjalankan ajaran tasawuf. Di sini, kemudian tasawuf menjadi tempat berteduh bagi orang-orang modern. Tasawuf menawarkan kekayaan spiritual yang bernilai tinggi. Lantas tasawuf banyak diburu orang. Orang-orang baru sadar akan urgensi pemenuhan spiritualitas. Dari keterangan tersebut, jelaslah bahwa tasawuf mempunyai arti penting bagi manusia modern, di mana tasawuf mengingatkan manusia bahwa dirinya bukanlah sebuah robot, melainkan makhluk jasmaniah dan ruhaniah. Keduanya tidak bisa dipisahkan, sebagai makhluk dualitas ini, manusia mempunyai potensi untuk berhubungan dengan dunia materi dan dunia spiritual. Meminjam istilah Jalaluddin Rahmat sebagaimana dikutip Sulaiman al-Kumayi, manusia adalah “radio dua band” yang mampu menangkap gelombang panjang dan gelombang pendek. Ia mampu menangkap hukum-hukum alam di balik gejala-gejala fisik yang diamatinya, tetapi ia juga mampu menyadap isyarat-isyarat gaib dari alam yang lebih luas.18
17
Muallim, op. cit., hlm. 6. Sulaiman Al-Kumayi, “Urban Sufism: Cara Orang Kota Menemukan Dirinya yang Hilang”, dalam Surat Kabar Mahasiswa ‘AMANAT’ IAIN Walisongo, op. cit, hlm. 8. 18
Tasawuf bukanlah spiritualitas yang sekedar menjadi tempat pengasingan diri. Ia berusaha menampilkan visi religius otentik yang mengarahkan diri untuk melampaui diri. Sebuah visi yang tepat dalam menafsirkan dunia yang melingkupi seluruh realitas di dalamnya. Sebuah komitmen yang lebih besar dari sekedar tujuan perkembangan pribadi dan spiritualitas – an sich.
Sebuah obsesi yang lebih tinggi dari sekedar
pemahaman hidup di dunia dan materi. Dan karena tasawuf merupakan bentuk dari ajaran Islam itu sendiri, maka ia banyak menjanjikan untuk memenuhi
hasrat
hidup
manusia
seutuhnya
daripada
janji-janji
spiritualisme sekejap. Ia bukan hanya untuk memahami realitas alam, tetapi ia juga untuk memahami eksistensi dari tingkat yang paling rendah hingga yang paling tinggi, yaitu kehadiran Ilahiah.19 Lebih lanjut, tasawuf mampu berfungsi sebagai terapi krisis spiritual, sebab, pertama, tasawuf secara psikologis, merupakan hasil dari berbagai pengalaman spiritual dan merupakan bentuk dari pengetahuan langsung mengenai realitas-realitas ketuhanan yang cenderung menjadi inovator dalam agama. Pengalaman keagamaan ini memberikan sugesti dan pemuasan (pemenuhan kebutuhan) yang luar biasa bagi pemeluk agama. Kedua, kehadiran Tuhan dalam bentuk pengalaman mistis dapat menimbulkan keyakinan yang sangat kuat. Perasaan mistik mampu menjadi moral force bagi amal-amal shalih. Dan selanjutnya, amal shalih akan membuahkan pengalaman-penglaman mistis yang lain dengan lebih tinggi kualitasnya. Ketiga, dalam tasawuf, hubungan seorang dengan Allah dijalin atas rasa kecintaan. Allah bagi Sufi, bukanlah Dzat yang menakutkan, tetapi Dia adalah Dzat yang Sempurna, Indah, Penyayang dan Pengasih, Kekal, al-Haq, serta selalu hadir kapan pun dan dimana pun. Oleh karena itu, Dia adalah Dzat yang paling patut dicintai dan diabdi. Hubungan yang mesra
19
Ahmad Najib Burhani, op.cit., hlm. 166.
ini akan mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu yang baik, lebih baik bahkan yang terbaik.20 Di samping itu hubungan tersebut juga dapat menjadi moral kontrol atas penyimpangan-penyimpangan dan berbagai perbuatan yang tercela. Sebab, melakukan hal yang tidak terpuji berarti menodai dan mengkhianati makna cinta mistis yang telah terjalin, karena Sang Kekasih hanya menyukai yang baik saja. Dan manakala seseorang telah berbuat sesuatu yang positif saja, maka ia telah memelihara, membersihkan, menghiasi spirit yang ada dalam dirinya. Dengan kata lain, moralitas yang menjadi inti dari ajaran tasawuf dapat mendorong manusia untuk memelihara dirinya dari menelantarkan kebutuhan-kebutuhan spiritualitasnya. Sebab, menelantarkan kebutuhan spiritualitas sangat bertentangan dengan tindakan yang dikehendaki Allah. Di samping itu, hubungan perasaan mistis dan berbagai pengalaman spiritual yang dirasakan oleh sufi juga dapat menjadi pengobat, penyegar dan pembersih jiwa yang ada dalam diri manusia. Tasawuf mempunyai potensi besar karena mampu menawarkan pembebasan spiritual, mengajak manusia mengenal dirinya sendiri dan akhirnya mengenal Tuhannya. Dan ini merupakan pegangan hidup manusia yang paling ampuh, sehingga tidak terombang-ambingkan oleh badai kehidupan ini. Ia menjadi penuntun hidup bermoral, sehingga dapat menunjukkan eksistensi manusia sebagai makhluk termulia di muka bumi ini (ahsani taqwiim).. 2. Pendidikan Moral – Kepribadian Moral adalah adat kebiasaan dalam perbuatan manusia yang cenderung ke arah kebaikan, sehingga kondisi manusia tetap menjadi manusia yang utuh dan berwibawa. Sedangkan pendidikan moral saat ini 20
Abdul Muhayya, “Peranan Tasawuf dalam Menanggulangi Krisis Spiritual”, dalam M. Amin Syukur dan Abdul Muhayya’, (eds.), Tasawuf dan Krisis, (Yogyakarta: Kerjasama IAIN Walisongo dengan Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 26.
diperlukan untuk mengembalikan hakikat pendidikan yang sebenarnya yakni mencerdaskan kehidupan dan menanggulangi kemerosotankemerosotan moral yang terjadi pada lingkungan keluarga dan masyarakat. Karena moral merupakan sebuah tingkatan pencapaian pengalaman keagamaan (maqamat ad-din), yang terdiri dari 3 bagian pokok, yaitu: pengetahuan (ma’rifat), keadaan (ahwal) dan pada akhirnya akan teraktualisasikan melalui tindakan (amal). Ada yang menganggap bahwa tujuan tasawuf adalah untuk moral elaboration perfection, kesempurnaan etika. Karena tanpa kesempurnaan etika manusia tidak bisa beranjak maju lebih jauh lagi. Jadi salah satu landasan tasawuf adalah kesempurnaan etika sehingga kalau ditelusuri sejarah tasawuf maka akan terlihat bahwa tujuan-tujuan tasawuf ini pada dasarnya merupakan etika Islam. Berdasar bahwa suatu moral yang luhur merupakan dasar tasawuf dan akhlak dalam bentuknya yang paling tinggi adalah buah tasawuf. Tentu saja suatu moral yang utama merupakan semboyan sufi, di antara dasar dan buahnya. Maka moral akan selalu menyertainya (orang sufi). Namun bukan berarti bahwa moral tadi adalah tasawuf.21 Sebab tasawuf bukanlah satu-satunya sumber moral dalam kehidupan manusia, melainkan hanya salah satu sumber moral yang berasal dari ajaran Islam, khususnya bagi ahli tasawuf (sufi). Moralitas yang diajarkan oleh tasawuf untuk mengangkat manusia ke tingkatan shafa al-tauhid.
Pada tahap inilah manusia akan memiliki
moralitas Allah. Dan manakala seseorang dapat berperilaku dengan perilaku Allah, maka terjadilah keselarasan dan keharmonisan antara kehendak manusia dengan Iradah-Nya. Sebagai konsekuensinya, seorang tidak akan mengadakan aktivitas kecuali aktivitas yang positif dan membawa kemanfaatan, serta selaras dengan tuntutan Allah. 21
Abdul Halim Mahmud, Hal Ihwal Tasawuf: Analisa tentang Al-Munqidz Minadh Dhalal (Penyelamat dari Kesesatan) oleh Imam al-Ghzali, terj. Abu Bakar Basymeleh, (Jakarta: Daarul Ihya’, 1986), hlm. 210.
Menurut al-Ghazali, sebagaiman dikutip M. Amin Syukur, manusia dengan akalnya ibarat pengendara kuda, pergi berburu. Syahwat ibarat kuda, sedang marahnya seperti anjing. Manakala pengendali cerdik, kudanya terlatih dan anjingnya terdidik, dengan pasti akan memperoleh kemenangan. Dan sebaliknya apabila ia tidak pandai, kudanya tidak patuh, maka pasti akan mendapatkan kebinasaan, tak mungkin memperoleh sesuatu yang dicarinya. Demikian juga, apabila jiwa seseorang bodoh, syahwatnya keras, tidak bisa diarahkan dan nafsu amarahnya tak dapat dikuasai, maka niscaya akan mendapatkan kesengsaraan dalam hidup ini.22 Al-Ghazali memang begitu besar perhatiannya, sekaligus usahanya yang tidak pernah berhenti untuk mengarahkan kehidupan manusia menjadi berakhlak dan bermoral. Hampir seluruh hidupnya ia curahkan untuk berkampanye tentang “gerakan akhlak-moral”. Al-Ghazali-lah sebagai jagoan ilmu akhlak dan gerakan moral yang bersendikan ajaran relevasi (wahyu).23 Pandangan dan pemikirannya mengenai pendidikan akhlak-moral sangat luas dan mendalam sekali, sehingga hampir setiap kitab-kitab
yang
ditulisnya
dalam
berbagai
bidang,
selalu
ada
hubungannya dengan pelajaran akhlak-moral dan pembentukan budi pekerti manusia. Sebagai akibat modernisasi dan industrialisasi, kadang manusia mengalami degradasi moral yang dapat menjatuhkan harkat dan martabatnya. Kehidupan modern seperti sekarang ini sering menampilkan sifat-sifat yang kurang dan tidak terpuji, terutama dalam menghadapi materi yang gemerlap ini. Sifat-sifat yang tidak terpuji tersebut adalah hirsh, yaitu keinginan yang berlebih-lebihan terhadapa materi. Dari sifat ini tumbuh perilaku menyimpang, seperti korupsi dan manipulasi. Sifat kedua ialah al-hasud, yaitu menginginkan agar nikmat orang lain sirna dan
22
M. Amin Syukur, Metodologi Studi Islam, (Semarang: Bima Sakti, 2000), hlm. 122. Zainuddin dkk., Seluk-beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hlm. 102. 23
beralih kepada dirinya. Sifat riya’, yaitu sifat suka memamerkan harta atau kebaikan diri dan sebagainya dari berbagai sifat hati.24 Cara menghilangkan sifat-sifat tersebut ialah dengan mengadakan penghayatan atas keimanan dan ibadahnya, mengadakan latihan secara bersungguh-sungguh, berusaha merubah sifat-sifatnya itu dengan mencari waktu yang tepat. Karena kadang-kadang sifat tercela itu muncul dalam keadaan yang tidak tersadari, maka seyogyanya setiap muslim selalu mengadakan introspeksi (muhasabah) terhadap dirinya. Memang diakui bahwa manusia dalam kehidupannya selalu berkompetisi dengan hawa nafsunya yang selalu ingin menguasainya. Agar posisi seseorang berbalik, yakni hawa nafsunya dikuasai oleh akal yang telah mendapat bimbingan wahyu, dalam dunia tasawuf diajarkan berbagai cara, seperti riyadhah (latihan) dan mujahadah (bersungguhsungguh) dalam melawan hawa nafsu tadi. Dengan jalan ini diharapkan seseorang mendapatkan jalan yang diridlai Allah SWT.25 Dalam tasawuf terdapat prinsip-prinsip positif yang mampu menumbuhkan masa depan masyarakat, antara lain hendaknya selalu mengadakan introspeksi (muhasabah), berwawasan hidup moderat, tidak terjerat oleh nafsu rendah, sehingga lupa pada diri dan Tuhannya. Dalam menempuh jenjang kesempurnaan rohani, dikenal tahapan: takhalli, tahalli dan tajalli. Takhalli (membersihkan sifat-sifat tercela) seperti hasud (dengki), takabbur (sombong), tama’ (keinginan terhadap sesuatu), hirs (keinginan yang belebih-lebihan terhadap sesuatu), riya’ (pamer kebaikan), sum’ah (ingin didengar orang), ‘ujub (bangga diri) dan sebagainya. Takhalli sebagai langkah awal menuju manusia yang berkepribadian utuh itu dilengkapi dengan sikap terbuka. Artinya, orang yang bersangkutan menyadari betapa buruknya sifat-sifat yang ada pada dirinya, kemudian 24 25
M. Amin Syukur, Menggugat Tasawuf……………, op. cit, hlm. 114 –115. M. Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, op. cit., hlm. 181.
timbul kesadaran untuk memberantas dan menghilangkan. Apabila hal ini bisa dilakukan dengan sukses, maka akan tampil pribadi yang bersih dari sifat madzmumah. Jenjang kedua ialah tahalli, yakni menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji dan akhlak karimah. Untuk membangun benteng dalam diri masing-masing individu, terutama dalam menghadapi gemerlapnya materi ini perlu di bangun dan diperkokoh sifat qana’ah, tawakkal, zuhud, wara’, sabar, syukur dan sebagainya. Tahalli merupakan pengungkapan secara progresif nilai moral yang terdapat dalam Islam. Dalam struktur maqamat, mengandung beberapa karakteristik dasar yang seharusnya dimiliki oleh seorang sufi. Seorang yang ada pada maqam taubat memiliki kemampuan untuk mengontrol stabilitas nafsunya, menjauhkan nafsu dari kecenderungan jahat dan hanya melakukan yang baik dan bernilai. Seorang yang ada pada maqam wara’, secara tegas berupaya meninggalkan hal-hal yang belum jelas guna dan manfaatnya dan hanya memilih sesuatu yang jelas kemanfaatannya. Seorang sufi yang zuhud hanya akan memilih sesuatu berdasarkan pada nilai kemanfaatannya, baik bagi dirinya maupun orang lain. Ia tidak akan terpengaruh pada keindahan kulit luarnya atau kenikmatan yang bersifat sementara, karena seorang zuhud lebih melihat sesuatu dari substansinya. Kebahagiaan dan kepentingan material hanyalah bersifat sementara, karena kebahagiaan yang abadi baginya adalah kebahagiaan yang bersifat spiritual.26 Dengan demikian zuhud dapat dijadikan benteng untuk membangun diri dari dalam sendiri, terutama dalam menghadapi gemerlapnya materi. Dengan zuhud akan tampil sifat positif lainnya, seperti sifat qana’ah (menerima apa yang telah ada/dimiliki), tawakkal (pasrah diri kepada Allah SWT) dan syukur, yakni menerima nikmat dengan lapang dan mempergunakan sesuai dengan fungsi dan proporsinya. 26
Hasyim Muhammad, Dialog antara Tasawuf dan Psikologi, Dialog antara Tasawuf dan Psikologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 120.
Demikian juga halnya seorang sufi yang ada pada maqam faqr, segala tindakan dan gagasannya tidak dimotivasi oleh kepentingan pribadi tetapi dimotivasi oleh kepentingan umum dan bersifat jangka panjang. Karakterkarakter tersebut secara substansial memiliki beberapa kesamaan dengan karakter yang ada pada seorang yang mengaktualisasikan diri secara lebih efisien. Dalam pengertian, bahwa ia hanya akan melakukan sesuatu yang memang seharusnya dilakukan, bukan atas dasar kepentingan-kepentingan tertentu yang bersifat sesaat. Melihat realitas secara obyektif dan apa adanya.serta memilah secara tegas antara kebenaran dan kesalahan. Maqam sabr, tawakal dan ridla adalah juga karakter signifikan yang memiliki kerupaan dengan karakter aktualisasi diri. Seorang yang sabr, tawakal dan ridla akan senantiasa konsisten terhadap kecenderungan dasarnya yaitu kebenaran. Segala sesuatu yang terjadi dan menimpa pada dirinya akan diterima secara apa adanya, wajar, senang hati dan tidak ngoyo. Sehingga ia akan senantiasa merasa tenang, tenteram dan bahagia, meskipun hidup dalam kesusahan. Kebaikan dan keburukan yang menimpanya diterima sebagai wujud kecintaan Tuhan pada dirinya. Semua dihadapi dengan rasa syukur dan bahagia yang tak terhingga. Sikap sabr, tawakal dan ridla juga mengandung arti perasaan nyaman dan penuh kebahagiaan yang senantiasa segar dan berkelanjutan, jauh dari rasa bosan dan jenuh terhadap situasi yang dialami atau sesuatu yang dimiliki. Memiliki daya tahan yang luar biasa terhadap pengaruh lingkungan dan budaya yang ada di sekelilingnya. Ia merupakan pribadi yang otonom dan mandiri, memiliki gagasan-gagasan yang bebas tanpa dipengaruhi kepentingan-kepentingan atau tendensi-tendensi dari luar dirinya.27 Yang perlu diketahui bahwa sifat-sifat itu merupakan bekal menghadapi kenyataan hidup ini bukan menjadikan seseorang pasif, seperti tidak mau berusaha mencari nafkah, eksklusif dan menarik diri dari 27
Ibid, hlm.122.
keramaian dunia, tetapi sebaliknya, sebab seorang muslim hidup di dunia ini membawa amanah, yakni membawa fungsi kekhalifahan, yang berarti sebagai pengganti Tuhan, pengelola, pemakmur dan yang meramaikan dunia ini. Sifat-sifat tersebut merupakan sikap batin dalam menyikapi keadaan masing-masing individu. Setiap manusia diwajibkan berikhtiar untuk menjadikan dirinya berbudi-pekerti luhur, lebih baik dari keadaannya sekarang. Tahap terakhir, setelah seseorang telah mampu menguasai dirinya, dapat menanamkan sifat-sifat terpuji dalam jiwanya, maka sudah barang tentu hatinya menjadi jernih, ketenangan dan ketentraman memancar dari hatinya. Inilah hasil yang dicapai seseorang, yang dalam tasawuf disebut tajalli, yaitu sampainya Nur Ilahi dalam hatinya. Dalam keadaan yang demikian ini, seseorang bisa membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik, mana yang batil dan mana yang haq dan bisa mengenal (ma’rifat) Allah SWT. Di sinilah letak kesempurnaan manusia (insan kamil), tajalli sebagai kristalisasi nilai-nilai religio-moral dalam diri manusia yang berarti melembagakan nilai-nilai Ilahiyah yang selanjutnya akan direfleksikan dalam setiap gerak dan aktivitasnya. Pada tingkatan ini seseorang yang telah mencapai tingkat kesempurnaan (insan kamil) dapat merealisasikan potensi keilahiannya dalam wujud akhlak-budi pekerti yang luhur. 3. Pendidikan Moral – Sosial Tasawuf yang dipraktekkan masa kini harus juga memperhatikan bahwa masalah kemanusiaan dalam kehidupan sosial merupakan bagian dari keberagamaan para sufi. Tujuan yang dapat dicapai tetap sama yaitu ketenangan, kedamaian dan kebahagiaan intuitif tetapi kemudian dikembangkan bukan hanya untuk individu melainkan juga untuk dan dalam bentuk kesalehan sosial. Profil pengamal tasawuf sosial ini tidak semata-mata berakhir pada kesalehan individual melainkan berupaya untuk membangun kesalehan
sosial bagi masyarakat di sekitarnya. Mereka tidak hanya bermaksud memburu surga bagi dirinya sendiri dalam keterasingan, melainkan justru membangun surga untuk orang banyak dalam kehidupan sosial.28 Sebagaimana pendapat M. Amin Syukur dalam pengamalan tasawuf terdapat dua model, yaitu: Pertama, tasawuf yang berorientasi pada perubahan individu atau perubahan internal (internal shift). Di sini individu berusaha untuk membenahi jiwa dan batin. Tasawuf merupakan gerakan dan proses merubah dan menata hati, sehingga dalam diri dan perilaku individu berubah dari berakhlak buruk (akhlak sayyiah) menjadi berakhlak baik (akhlak karimah). Kedua, pada tahap berikutnya perubahan individu ditransformasikan pada aspek sosial. Mulai dari lingkungan terdekat, keluarga dan masyarakat sekitarnya. 29 Dengan begitu, gerakan tasawuf tidak hanya berkutat pada ritual yang bersifat vertikal, namun maju pada garda depan sebagai ritual sosial. Tasawuf membawa visi dan misi transformasi sosial, di mana tasawuf harus mampu menjadi solusi alternatif pemecahan problem-problem sosial untuk menuju era sosial baru. Sebab krisis yang menerpa negeri ini, bukan saja sebatas pada krisis moneter, ekonomi, politik, hukum, sosial dan seterusnya, tetapi berpangkal dan berujung pada krisis moral dan spiritual. Jika dirunut krisis tersebut adalah buah dari krisis spiritual keagamaan. Pentingnya esoterisme dalam Islam yakni tasawuf tak bisa dipungkiri. Hal ini sesuai dengan konsepsi al-Qur’an bahwa dunia ini riil, bukan maya. Beberapa ayat menegaskan agar manusia beriman kepada Allah, hari akhir dan amal shaleh. Ketiga term itu merupakan isyarat sekaligus formulasi yang menyatukan dimensi spiritual yang mengarah pada realitas transedental dan aktifitas kongrit dalam sejarah. Konsepsi amal saleh dalam al-Qur’an, selalu mengasumsikan tiga hal secara serasi dan serentak, yaitu: Pertama, amal saleh mengharuskan 28 29
Abdul Muhayya’, op. cit., hlm.126. Muallim, op. cit., hlm. 7.
adanya kesadaran spiritual suatu perjuangan dan pendakian spiritual yang berujung pada penyucian diri. Kedua, amal shaleh merupakan sarana menuju peningkatan dan perbaikan kualitas diri. Tidak ada amal shaleh dalam Islam yang jika ditaati akan merusak pelakunya, tetapi yang ada justru mnyehatkan pelakunya. Ketiga, amal shaleh selalu mengasumsikan munculnya dampak riil positif bagi perbaikan sosial.30 Tasawuf pada masa sekarang mempunyai tanggung jawab sosial lebih berat daripada masa lalu, karena kondisi dan situasinya lebih kompleks, sehingga refleksinya bisa berbeda. Misalnya tentang ancaman-ancaman terhadap lingkungan global dan ancaman-ancaman terhadap eksistensi kemanusiaan, maka persoalan yang sangat mendasar sesungguhnya adalah karakteristik yang mendominasi zaman sekarang bukanlah kearifan dan kebijaksanaan melainkan kesombongan atau takabbur dan keangkuhan manusia. Manusia merasa sombong bahwa dengan IPTEK maka segala sesuatunya akan dapat diselesaikan dan dengannya memuaskan segala keinginannya. Manusia dengan demikian lupa diri, sehingga prinsipprinsip kemanusiaan tidak diindahkan lagi. Hal lain yang ikut mewarnai dampak negatif dari yang ditimbulkan modernisasi adalah munculnya konsumerisme yang tidak pernah merasa puas, hedonisme dan materialisme yang cenderung menantang nilai-nilai spiritual. Semua itu harus dihadapi dan diimbangi dengan kebeningan hati. Melalui sudut pandang kesufian maka kiranya kehidupan yang bercorak materialistik dapat diatasi. Dengan demikian manusia tidak hanya telah kehilangan wawasan spiritualnya dalam memahami kekuatan-kekuatan alam, melainkan juga tidak mengembangkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern dengan mengindahkan nilai-nilai moral dan spiritual yang bersumber kepada keutuhan dan keseimbangan yang mencerminkan keagungan,
30
M. Amin Syukur, Menggugat Tasawuf………………, op. cit., hlm.139.
keindahan dan kesempurnaan Tuhan yang tidak menghendaki apapun kecuali kebaikan dan kebajikan bagi makhluknya. Jika manusia dalam hatinya selalu dipenuhi dengan nafsu duniawi, selalu menjadikan teknologi modern sebagai sesuatu yang paling berharga. Maka hatinya telah kotor, oleh karena itu hatinya tidak dapat menerima cahaya Tuhan (Nur Muhammad). Oleh karena itu agar dapat menerima cahaya Tuhan maka manusia harus menghilangkan moral yang negatif terhadap penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi modern dan mengarahkan yang dikuasainya kepada hal-hal yang konstruktif terhadap kehidupan manusia. Tentu saja, yang diperlukan adalah sikap istiqamah pada setiap masa dan mungkin lebih-lebih lagi diperlukan di zaman modern ini, karena kemodernan bercirikan perubahan. Istiqamah di sini bukan berarti statis, melainkan lebih dekat kepada arti stabilitas yang dinamis. Dapat dikiaskan dengan kendaraan bermotor; semakin tinggi teknologi suatu mobil, semakin mampu dia melaju dengan cepat tanpa guncangan. Maka disebut mobil itu memiliki stabilitas atau istiqamah. Dan mobil disebut stabil bukanlah pada waktu dia berhenti, tapi justru ketika dia melaju dengan cepat.31 Maka begitu pula dengan hidup di zaman modern ini. Manusia harus bergerak, melaju, namun tetap stabil, tanpa goyah. Ini bisa terwujud kalau manusia menyadari dan meyakini apa tujuan hidupnya dan dengan setia mengarahkan diri kepada-Nya, sama dengan mobil yang stabil terus melaju ke depan, tanpa terseot ke kanan-kiri. Lebih-lebih lagi, yang sebenarnya mengalami “perubahan yang terlembagakan“ dalam zaman modern ini hanyalah bidang yang bersangkutan dengan “cara” hidup saja, bukan esensi hidup itu sendiri dan tujuannya. Ibarat perjalanan JakartaSemarang, yang mengalami perubahan hanyalah alat transportasinya,
31
Nurcholish Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 175.
mulai dari jalan kaki, sampai naik pesawat terbang. Tujuannya sendiri tidak terpengaruh oleh “cara” menempuh perjalanan itu sendiri. Manusia haruslah sadar bahwa semua yang diciptakan oleh IPTEK tidak lain adalah karena kekuasaan Allah. Oleh karena itu lewat maqam syukur barangkali akan dapat mengantarkan manusia untuk senantiasa berbuat kebajikan. Sebab makna syukur yang sesungguhnya adalah mensyukuri nikmat Allah di dalam berbuat taat kepada Allah SWT. Jadi dari analisis di atas, maka dengan melihat gejala manusia modern yang penuh problematika tersebut, penulis menawarkan alternatif terapi agar manusia modern mendalami dan menjalankan praktik tasawuf akhlaki. Sebab tasawuf inilah yang cocok dan dapat memberikan jawaban-jawaban terhadap terhadap kebutuhan spiritual mereka. Dalam pandangan tasawuf, penyelesaian dan perbaikan keadaaan itu tidak dapat tercapai secara optimal jika hanya dicari dalam kehidupan lahir, karena kehidupan lahir hanya merupakan gambaran atau akibat dari kehidupan manusia yang digerakkan oleh tiga kekuatan pokik yang ada pada dirinya, yaitu akal, syahwat dan nafsu amarah. Jika ketiganya dapat diseimbangkan, maka hidup manusia akan menjadi normal, dengan kata lain perdamaian itu terletak pada perseimbangan. Tanggung jawab tasawuf akhlaki bukanlah dengan melarikan diri dari kehidupan dunia nyata, sebagai mana ditujukan oleh sementara orang yang kurang setuju terhadap tasawuf, akan tetapi ia adalah suatu usaha mempersenjatai diri dengan nilai-nilai rohaniah yang baru, yang akan membentengi diri saat menghadapi problema hidup dan kehidupan yang serba meterialistik, dan berusaha merealisasikan keseimbangan jiwa sehingga timbul kemampuan menghadapi beragam problem tersebut dengan sikap optimis. Kesimpulan sementara dari nilai-nilai pendidikan moral dalam tasawuf akhlaki tersebut, antara lain: Pertama, tasawuf akhlaki merupakan basis yang bersifat fitri pada setiap manusia. Tasawuf merupakan potensi ilahiyah yang ada dalam diri manusia yang berfungsi di antaranya untuk mendesain corak peradaban dunia, sehingga tasawuf dapat mewarnai segala aktivitasnya baik yang berdimensi sosial, politik, ekonomi maupun kebudayaan. Kedua, tasawuf
akhlaki bisa berfungsi sebagai alat pengendali dan pengontrol, agar dimensi kemanusiaan tidak ternodai oleh modernisasi yang mengarah pada dekadensi moral, kemanusiaan dan keislaman. Dengan demikian tasawuf akan menghantarkan manusia pada tercapainya “supreme morality” (keunggulan moral). Sehingga bisa mencapai insan kamil, mencontoh tokoh sufi ideal dan terbesar dalam sejarah Islam, yakni Nabi Muhammad Saw, karena beliaulah suri-tauladan terbaik bagi seluruh umat manusia, sebagaimana ditegaskan Allah SWT dalam firman-Nya:
! 5
" # $% &'
41 2 3 0 *+,
() - ./
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap rahmat Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (Q.S. alAhzab: 21).32 Hal ini juga sangat sesuai dengan misi kerasulan Nabi Muhammad Saw, seperti sabda beliau :
&
6 9 7 8 9 " #" :; " :; 6 9 $< # 5MN
=> 6
F (O P #0 LKIJ. C @ 8 & ABC D ,EF GH?
33
Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah Saw bersabda: Sesungguhnya saya diutus hanyalah untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak. (H.R. Ahmad Ibn Hambal) Apalagi Allah SWT juga telah menegaskan misi tersebut dalam firmanNya yang lain, yaitu :
670. 381.
32
Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Madinah: Mamlakah al-Arabiyah al-Suudiyah, 1415 H), hlm.
33
Imam Ibn Hambal, Musnad Ahmad Ibn Hambal, Jilid II, (Beirut: Daar al-Fikr, t. th.), hlm.
5
4UNG3 0 Q E R #3HS
#! T
Dan tidaklah kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (Q.S. al-Anbiya’: 108)34 Jadi beliau diutus Allah SWT sebagai Rasul, hanyalah untuk menyempurnakan akhlak-moral manusia, sekaligus sebagai rahmat bagi alam semesta. Begitupun dengan tasawuf akhlaki, pada dasarnya juga bertujuan sama, di mana pada akhirnya bisa menjadi dan menciptakan rahmat bagi seluruh alam semesta (rahmatan lil-‘alamiin). Sebab dalam tasawuf akhlaki terdapat prinsip-prinsip positif yang mampu mengembangkan masa depan manusia, seperti melakukan instrospeksi (muhasabah) baik dalam kaitannya dengan masalah-masalah vertikal maupun horisontal, kemudian meluruskan hal-hal yang kurang baik, selalu berdzikir (dalam arti yang seluas-luasnya) kepada Allah SWT sebagai sumber gerak, sumber kenormatifan, sumber motivasi dan sumber nilai yang dapat dijadikan acuan hidup. Dengan demikian seseorang, bisa selalu berada diatas sunnatullah dan shirat al-mustaqim.
34
Al-Qur’an dan Terjemahnya, op. cit., hlm. 508.