BAB II BIOGRAFI DJAGA DEPARI
Ada beberapa pandangan tentang asal-usul orang Karo. Menurut Ilmu akar kata, kata “Karo” berasal dari suku kata ha dan ro. Kata ka dihubungkan dengan alphabet pertama tulisan Karo adalah orang-orang pertama yang datang ke daerahdaerah yang didiami suku Karo sekarang. Tetapi kebalikan, jika kata ka dianggap sebagai kependekan dari kata Kalak sedangkan suku kata ro berarti datang (reh), maka dapat pula diartikan suku karo adalah kelompok yang kemudian datang kedaerah ini. Diduga, orang-orang ini berasal dari Asia Utara yakni dari perbatasan India, Birma dan Indo Cina yang memasuki Pulau Sumatera dari Pantai Timur sekitar Pangkalan Berandan dan Belawan. Semula mereka menduduki dataran rendah, akhirnya menuju pegunungan dan bercampur dengan suku penduduk asli atau bangsa Negrito. Mereka membawa pengetahhuan seperti membuat sawah, mengajarkan nama-nama hari seperti Aditia, Suma, Nggara, Pengetahuan tentang bangunan-bangunan, Gendang (Gondang) dan sebagainya. Di dalam buku pilar Budaya Karo yang ditulis oleh Sempa Sitepu dan kawan-kawan (1996), mengatakan bahwa keberadaan suku karo sudah ada sekitar 1250, itu ditandai dengan berdirinya suatu kerajaan Haru (Aru). Menurut riwayatnya Kerajaan ini pada zamannya cukup kuat dan wilayahnya sangat luas mulai dari Siak-Riau sampai ke Sei Wampu di Langkat. Di samping itu, menurut dokumen tua yang ada serta peninggalanpeninggalan yang ditemukan di Desa Seberaya Kecamatan Tiga Panah Kabupaten Karo, terlihat adanya pengaruh India, tidak hanya dalam bentuk upacara
Universitas Sumatera Utara
pembakaran jenazah dan menghanyutkannya kedalam sungai atau tari Gundalagundala (Topeng) sisa-sisa Hinduisme tersebut, tetapi juga dalam bentuk lain. Misalnya, bahwa tulisan Karo diperoleh dari Hindia maka dengan bukti bahwa banyak sekali-kali kata Sansekerta yang terdapat di dalamnya. Demikian juga nama-nama sub-Merga Sembiring seperti, Depari, Pandia, Colia, Muham, Meliala, Brahmana dan sebagainya. Dengan bukti-bukti peninggalan Hindu tersebut, nampak bahwa orang Karo sejak zaman dahulu kala, telah mempunyai hubungan erat dengan bangsa-bangsa asing, terutama bangsa-bangsa Asia dan Eropah. Di Desa Seberaya inilah, pada tanggal 5 Mei 1992, di sebuah rumah adat yang terbuat dari kayu bermutu, lahir seorang bayi mungil yang diberi nama Djaga, yang berarti bisa menjaga kesejukan dan ketentraman bagi hati semua orang. Ayahnya bernama Ngembar Sembiring Depari, seorang mandor besar Werbas elkawe (Pekerjaan) umum Deli Hulu, pada masa penjajahan Belanda. Ibunya bernama Siras Br Karo Sekali. Semenjak kecil, dalam pergaulan Djaga Depari sekalipun anak seorang mandor, ia tidak tinggi hati, menyatu dan membaur dengan anak-anak sebaya, ternayata pribadi Djaga Depari yang rendah hati, dicintai mereka. Djaga Depari yang di lingkungan keluarga, kerabat, teman dekat kerap dipanggil Djaga atau Depari saja, tumbuh berkembang sebagaimana anak sebaya. Sebagian besar teman satu permainan adalah anak-anak yang berasal dari kalangan rakyat biasa, orangorang kecil. Sungai Lau Biang dijadikan salah satu tempat favorit untuk berkumpul bersama teman-teman. Mereka bebas mandi, berenang, menyelam, dan terjun setiap hari di sungai yang airnya jernih, deras dan cukup dalam.
Universitas Sumatera Utara
Sebagai anak seorang mandor, maka Djaga Depari dapat langsung dimasukkan ke sekolah Belanda. Djaga Depari kecil pun kemudian tahun 1935, dimasukan ke Christelijk Hollandsch Inlandche School (Christelijk HIS), salah satu sekolah dasar “unggulan” di Kabanjahe. Lingkup pergaulan Djaga Depari pun luas, tidak lagi terbatas pada komunitas anak-anak pinggir Sungai Lau Biang. Dia mulai mengenal lebih jauh tabiat anak-anak Tapanuli, Jawa, Padang, dan lainlain suku bangsa teman satu sekolah. Dia mendapatkan banyak teman dengan latar belakang belakang berbeda-beda. Selain pandai menghafal ilmu bumi, Djaga Depari yang dikenal disiplin dan santun terhadap sesama kawan dan guru juga bisa menyanyikan dengan suara merdu beberapa lagu bahasa Belanda, diantaranya lagu kun je nog zingen, zing dan mee sehingga guru dan teman satu sekolah sering menyuruhnya bernyanyi di depan kelas. Ketika duduk di bangku HIS lanjutan tingkat inilah, Djaga Depari dan beberapa kawan sekolah membentuk kelompok musik. Dajaga memegang alat musik biola. Mereka sering kali mengisi pelbagai acara kesenian di sekolah itu. Kebanyakan yang dimainkan adalah lagu-lagu berbahasa bukan Indonesia yang sedang populer pada masa itu. Pada periode itulah, dia mulai mencoba mengarang beberapa buah lagu. Walaupun sebagian besar waktunya dicurahkan di bidang music, nilai beberapa mata pelajaran yang di peroleh Djaga Depari di sekolah itu tetap tinggi, bahkan nilai ujian untuk bahasa Belanda “lebih dari cukup” (ruim voldoende). Djaga menamatkan sekolah di HIS lanjutan ini pada tahun 1939. Bakat music Djaga memang terasah sejak dini. Penyemainya adalah ayahnya Ngembar Sembiring Depari orang yang sangat diseganinya. Ngembar Depari, sebagai seorang mandor tentu memiliki
Universitas Sumatera Utara
pergaulan yang cukup luas sehingga dia juga menyenangi berbagai aliran musik. Sejak dini dan secara tidak langsung benih musikalitas tertanam kuat di dalam diri putranya yang kelak sangat menyukai lagu-lagu Barat (Perancis, Spanyol, Italia), irama Melayu, rumba, tango, samba, habanera, dan lain-lain. Djaga Depari sendiri sanggup berdiri atau duduk berjam-jam di depan “mesin ngomong” (gramafon) hanya untuk menyimak lagu-lagu Barat dari koleksi piringan hitam yang di belinya dari uang saku pemberian sang ayah. Tidak jarang pula Djaga Depari mengundang beberapa kawan satu sekolah untuk membincangkan lagu-lagu Barat yang kebetulan sedang popular. Seluruh percakapan di antara mereka tentu menggunakan bahasa Belanda, bahasa pengantar di HIS dan MULO sekaligus menjadi bahasa pergaulan di kalangan terpelajar saat itu. Saat duduk di sekolah lanjutan, Djaga meminta hadiah alat music Biola, sebuah permintaan yang dikabulkan oleh sang ayah dengan berat hati. Di satu sisi, kehadiran alat musik cukup mengganggu pelajarannya di sekolah, namun di sisi lain serba salah jika sang ayah mengkhawatirkan apalagi melarang hobi bermusik Djaga Depari. Djaga Depari kembali dihadapkan pada sebuah pilihan yang teramat sulit yang harus diambil setelah tamat sekolah (1939). Dilema tersebut adalah tetap melanjutkan sekolah atau menekuni dunia musik yang menurut dia sama-sama penting dan menyenangkan. Namun Djaga harus tetap memilih salah satu diantaranya. Pada akhirnya, setelah mempertimbangkan dengan cukup matang segala konsekuensinya, Djaga Depari memutuskan berhenti dari sekolah. Hati sang Ayah yang bersikeras menginginkan Djaga Depari tetap meneruskan sekolah mampu “diluluhkannya”, tapi untuk tidak mengecewakan hati sang Ayah, Djaga
Universitas Sumatera Utara
Depari kemudian mengikuti kursus bahasa Inggris, Typen, Stenografies dan Administrasi. Di sela-sela kesibukannya mengikuti kursus inilah, pak Yusuf seorang pensiunan polisi berpangkat Mayor, mengajak Djaga Depari membentuk group musik yang diberi nama “Orkes Melati Putih”. Di group ini Djaga Depari memegang jabatan sebagai pemain biola. Group ini langsung populer di kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah di Medan. Mereka sering diundang untuk mengisi acara pesta perkawinan, sunatan dan lain-lain. ‘ Hubungan yang terjalin baik di antara Djaga Depari dengan sebagian penggemarnya perlahan-lahan berkembang tidak lagi sekedar pemain-pendengar tetapi lebih dari itu, bahkan tidak jarang mereka bersedia meluangkan waktu selama berjam-jam berdiskusi soal musik. Bermain Orkes Melati Putih ini, agaknya batu pijakan Djaga Deparu dalam meniti karier selanjutnya sebagai pemain musik, dan pencipta lagu. Melalui Orkes ini pulalah dia berjumpa kali pertama dan mengenal lebih dekat beberapa “orang” terpandang pada masa itu. Salah seorang di antaranya keturunan Sultan Deli Serdang yang gemar sekali menonton pertunjukan Orkes Melati Putih ini. Dengan berbekal Izasah yang dimiliki serta kemahirannya berbahasa Inggris dan bahasa Belanda (1942), Keluarga Sultan ini, mengajak Djaga Depari bekerja di kantor Wakil Kesultanan Deli Serdang di Bangun Purba. Dia bekerja sebagai valunteer dan mendapat gaji bersih 15 gulden setiap bulan, upah di atas rata-rata bagi seorang yang minim pengalaman kerja. Sementara itu keadaan ekonomi bangsa Indonesia semakin merosot terus. Jepang yang diharapkan dapat membebaskan bangsa Indonesia dari cengkraman
Universitas Sumatera Utara
penjajahan Belanda, malah sebaliknya membuat bangsa Indonesia semakin menderita. Demikian pula, Ngembar Depari, sangat mengkhawatirkan nasib putra kesayangannya di perantauan, dia menginginkan agar putranya itu cepat-cepat berumah tangga. Sebab menurut kebiasaan leluhur masyarakat Karo, dari mana Djaga Depari berasal, manakala dalam satu keluarga, seorang putra sudah berumur 20 tahun belum mendapatkan calon istri, orang tua berusaha keras agar putra mereka dikawinkan dengan Impal-Nya (anak perempuan dari paman, saudara laki-laki dari ibu putra tadi). Usia Djaga Depari pada saat itu (1943) sudah berumur 21 tahun, tapi belum juga berumah tangga, oleh masyarakat saat itu, ia mendapat panggilan “Anak Perana Pangke” (pemuda lajang karam). Panggilan seperti itu memalukan orang tua, muka mereka terasa tercoreng arang. Sebab dinilai anaknya tidak laku. Kehormatan dan harga diri menjadi tercemar karena seorang anak lelaki, kalau belum kawin, ia belum diakui sebagai anggota penuh masyarakat, sebab dinilai bekum berani bertanggung jawab sosial. Di kalangan masyarakat Karo, walau pun seorang putera – anak laki-laki lebih 20 tahunan, namun berumah tangga, dia dianggap anak yang belum bertanggung jawab. Oleh karena itu, dalam setiap acara peradatan Karo, pemuda itu belum diwajibkan hadir, kecuali dalam kelompok kerja, dinamakan Serayaan semata-mata dalam acara peradatan dimaksud. Dalam hajatan acara peradatan yang direncanakan, seperti perkawinan, memasuki rumah baru ataupun penguburan orang meninggal, kalau dibuatkan surat undangan disertai pencantuman nama-nama pengundang hajatan tadi, maka nama pemuda lajang karam tadi t idak tercantum. Sebaliknya, walaupun seorang anak laki-laki masih
Universitas Sumatera Utara
belia, katakanlah berusia 19 tahun, namun sudah beristri, namanya tercantum sebagai pengundang dalam surat undangan. Semua itu adalah zaman “normal” dulu, baik sebelum atau semasa penjajahan Belanda sampai datangnya penjajahan baru, militeris Jepang Maret 1942. Namun ketika keadaan serba darurat-genting selama penjajahan Jepang 1942-1945 dan perang kemerdekaan 1945-1949 dan tahun-tahun setelah itu, dalam kenyataannya, dikalangan masyarakat Karo, tidaklah lagi terlalu mempersoalkan masalah perkawinan seseorang anak setelah mencapai usia 20 tahunan. Terkecuali sang anak adalah anak tunggal semata wayang, sedang orang tua sudah uzur, hal perkawinan anaknya itu menjadi bahan pemikiran utama, sebab orang tua ingin sekali memiliki cucu laki-laki sebagai pelanjut keturunan. Mengenai anak perempuan dalam keluarga masyarakat Karo, dianggap layak berumah tangga, apabila sudah berusia 16 tahun pada saat dia sudah mulai turut dalam kelompok kerja “Aron Pulo-pulo” ke ladang atau ke sawah. Mampu membantu beberapa orang tuanya, misalnya menumbuk padi di Lesung dan membawa air untuk keperluan dapur dari pancuran atau sungai, jauh atau dekat dari kampung mereka. Mengenai tujuan perkawinan, bagi setiap dari suku bangsa-bangsa, Indonesia pada umumnya, Karo khususnya, prinsipnya adalah sama saja, walaupun bervariasi dalam penekanan utamanya. Khusus dalam masyarakat Karo, menurut berbagai sumber yang diserap dari berbagai seminar adat istiadat Karo tahun 1977 dan 1983, di Kabanjahe maupun dalam Kongres Kebudayaan Karo pada tahun 1995 di Berastagi, tujuan utama dalam perkawinan adalah : Pertama, mendapatkan keturunan terutama laki-laki sebagai pelanjut keturunan (menurut
Universitas Sumatera Utara
garis marga bapak) atau patrilineal, sehingga urutan kekeluargaan menurut garis bapak tetap berlanjut, di samping warisan leluhur dalam kelompok keluarga itu; Kedua, memperoleh pengakuan dan status dari masyarakat, keluarga dan kerabat bahwa adanya keluarga baru merupakan mata rantai generasi berikut, yang bertanggung jawab penuh dalam urusan keluarga dimaksud; Ketiga, memperkuat dan mengembangkan kekerabatan dan tali bathin antara sesama anggota masyarakat; Keempat, menciptakan kebahagian lahir dan bathin suami istri sebagai anugrah yang tak ternilai harganya dari sang pencipta, Tuhan Yang Maha Esa. Guna mencapai tujuan perkawinan semacam itu, tentunya membutuhkan beberapa persyaratan yang perlu menjadi perhatian adalah; Pertama, dalam hal pola kekerabatan, umpamanya tidak sembarangan seorang pemuda kawin dengan seorang gadis, karena ada norma larangan oleh adat untuk mengawininya, misalnya karena : Erturang Impal, Erturang Sipemeren, Erturang dan lain sebagainya; Kedua, sehat rohani dan jasmani; Ketiga, kerkemampuan, mampu memikul tanggung jawan rumah tangga. Semasa penjajahan Jepang di Indonesia, umur Djaga Depari antara 20-25 tahun. Dalam hati orang tua mereka mendambakan agar anaknya itu sudah berumah tangga, ingin menggendong cucu sebagai pelanjut keturunan. Keinginan itu pun disampaikan kepada Djaga Depari, mana kala dia pulang ke Seberaya untuk di jodohkan dengan Impalnya bernama Djendam Br Pandia, anak kedua dan lima bersaudara keturunan dari pamanya Dokan Pandia yang bekerja sebagai petani. Dalam adat Karo biasa orang tua menjodohkan anaknya sekalipun anak itu belum saling kenal siapa yang akan menjadi jodohnya. Persetujuan antara kedua
Universitas Sumatera Utara
orang tua itu akhirnya mempertemukan Djaga Depari dan Djendam Br Pandia. Mereka menikah pada tahun 1943 dan dikarunia tujuh orang anak, empat laki-laki dan tiga perempuan. Ketujuh anak mereka, semuanya telah berumah tangga dengan cucu berjumlah 18 orang. Anak Pertama, lahir pada tanggal 11 Desember 1944, di Seberaya dan diberi nama Sadarman Depari. Setelah dewasa ia kawin dengan Kartini Br Lubis, seorang gadis yang berasal dari Kota Pinang Labuhan Batu. Dari pasangan anak pertama ini, Djaga Depari memperoleh empt orang cucu yakni : 1. Prima Depari 2. Rospita Br Depari 3. Irma Br Depari 4. Juli Br Depari. Anak Kedua, lahir pada tanggal 24 November 1946, di Seberaya dan diberi nama Sutrisno Depari. Ia kawin dengan Muliana Br Kaban, seorang gadis yang berasal dari Desa Pernantin kecamatan Juhar. Dari anak keduanya ini, Djaga Depari memproleh dua orang cucu yakni : 1. Juliaman Depari 2. Fitrianai Br Depari. Anak Ketiga, lahir pada tanggal 14 Mei 1953, di Seberaya. Seorang anak perempuan yang diberi nama Maya Rita Br Depari. Kemudian setelah dewasa, gadis ini disunting oleh seorang pemuda yang berasal dari Desa Aji Jahe, bernama Sopan Sinuhaji. Dari pasangan ini, Djaga Depari diberi empat orang cucu yakni : 1. Ir. Aswin Sinuhaji 2. Ir. Amri Sinuhaji, MSI 3. AKP. Irsan Sinuhaji, SH 4. Ir. Andri Yosi Sinuhaji, MSI. Anak Keempat, lahir bertepatan dengan hari kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1959, di Seberaya, seorang perempuean diberi nama Agustina Br Depari. Setelah dewasa, Agustina disunting oleh seorang pemuda yang bernama Ali Asri Tarigan. Dari pasangan ini, Djaga Depari diberi tiga orang
Universitas Sumatera Utara
cucu yakni : 1. Ir. Iwan Iqbal Tarigan 2. Faisal Tarigan, SE 3. Al-Aini Br Tarigan, Amd. Mengenai putrinya yang keempat ini, dapat kami tambahkan bahwa bakat seni Ayahnya telah mengalir dan menyatu dengan kegiatannya sehari-hari. Agustina adalah generasi kedua, yang meneruskan bakat seni ayahnya dengan mendirikan Sanggar Gerga Piso Surit yang telah dikenal luas masyarakat Sumatera Utara bahkan tidak jarang mengisi acara kebudayaan ke Ibu Kota, Jakarta. Disamping melatih tari bagi generasi muda, Ia juga aktif mengurusi kegiatan Seni yang berhubungan dengan nama besar ayahnya. Anak Kelima, bernama Junita Br Depari lahir di Kabanjahe, pada tanggal 17 Juni 1960. kawin dengan pemuda yang berasal dari Sukadame, bernama Zul Afnan Tarigan. Dari pasangan ini, Djaga Depari memproleh satu cucu yakni : Sri Rezeki Emia Br Tarigan. Anak Keenam, lahir pada tanggal 10 Juni 1962, di Kabanjahe. Diberi nama Waktu Depari. Dia mnyunting Ratna Br Kaban, gadis yang berasal dari Desa Pernantin. Dari pasangan ini, Djaga Depari diberi dua orang cucu yakni : 1. Sry Wahyuni Br Depari 2. Arih Salsalina Br Depari. Sedangan anak bungsu Anak Ketujuh, lahir 17 Juni 1963, dua bulan sebelum Djaga Depari meninggal. Anak ini diberi nama Ngapuli Depari dan kawin dengan seorang gadis yang berasal dari Desa Bunga Baru, bernama Lusianna Br Ginting. Dari putra bungsunya ini, Djaga Depari dikaruniai dua orang cucu yakhi : 1. Irfansyah Putra Depari dan 2. Eidika Depari.
Universitas Sumatera Utara