BAB II PANDANGAN ISLAM TENTANG PERBUATAN ZINA
A. Pengertian Zina Zina adalah 1) perbuatan bersenggama antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat oleh hubungan pernikahan (perkawinan). 2) Perbuatan bersenggama seorang laki-laki yang terikat perkawinan dengan seorang perempuan yang bukan isterinya, atau seorang perempuan yang terikat perkawinan dengan seorang laki-laki yang bukan suaminya.1 Menurut Abdur Rahman I. Doi , zina adalah hubungan kelamin antara seorang lelaki dengan seorang perempuan tanpa ikatan perkawinan. Tidak menjadi masalah apakah salah seorang atau kedua belah pihak telah memiliki pasangan hidupnya masing-masimg ataupun belum menikah sama sekali.2 S. Aminul Hasan Rizvi sebagaimana dikutip oleh Munawar Ahmad Anees (1989) mengetengahkan dua ungkapan, masing-masing : Mujarrad zina : persetubuhan di luar nikah dan zina ba’d ihsan: penyelewengan. Dengan acuan pada surah al-Nur (24): 2, pendapatnya adalah bahwa itu mengacu kepada pria dan wanita lajang yang telah melakukan tindakan di luar kehendak bebas mereka. Lebih jauh zina bi al-Jabr (perkosaan) adalah pelanggaran besar yang untuk itu pemerkosaannya harus dihukum kecuali bila pemerkosa tersebut tidak waras.3 Mengenai batas perbuatan zina, dapat kita pahami melalui hadits Nabi Muhammad SAW
1
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi. 3, Cet. I, Balai Pustaka, Jakarta, 2001, hlm. 1280 2 Abdur Rahman I. Do’i, Hudud dan Kewarisan (Syariah II), Zaimuddin dan Rusydi Sulaiman, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm.35 3 Munawar Ahmad Anees, Islam dan Masa Depan Biologis Ummat Manusia: Etika, Gender, Teknologi, Rahmani Astuti, Pentj. Cet. V, Mizan, Bandung, 1995, hlm. 224
15
16
ﻗﺎل ﻟﻪ. ﻟﻤﺎاﺗﻰ ﻣﺎ ﻋﺰ ﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ اﻟﻰاﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻌﻢ: ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺎس ﻗﺎل . ﻳﺎ رﺳﻮل اﷲ، ﻻ: اوﻧﻈﺮت ؟ ( ﻗﺎل، اوﻏﻤﺮت،)ﻟﻌﻠﻚ ﻗﺒﻠﺖ ()رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى Artinya: Dari Ibnu Abbas ia berkata: Tatkala datang Ma’iz bin Malik kepada Rasulullah (dan mengaku berzina), ia bersabda kepadanya: “Barangkali engkau cium atau engkau remas atau engkau lihat”. Ia jawab: Tidak, ya Rasulullah! (HR. Bukhori). 4 Menurut riwayat yang lengkap bahwa Ma’iz itu datang kepada Rasulullah SAW dan mengaku beberapa kali berzina. Di antara itu Rasulullah ada bersabda: “Barangkali engkau cium saja ?Barangkali engkau pegang saja ? Barangkali engkau lihat saja ?” sesudah ia menolak semua “Barangkali” itu baru Rasulullah SAW bertanya: “Apakah betulbetul engkau telah setubuhi dia?” Ia jawab: Betul-betul. Sabdanya:Apakah seperti masuknya batang celak di lobang cepunya dan seperti masuknya tali timba di perigi? Ia jawab: Betul. Sabdanya: “apakah engkau tahu apakah zina itu?” Jawabnya: Tahu, saya telah kerjakan terhadap perempuan itu dengan cara haram apa yang seseorang kerjakan terhadap isterinya secara halal. Sabdanya: Engkau mau apa? Jawabnya: Saya mau paduka tuan bersihkan saya. Maka Rasulullah SAW perintah supaya dia dirajam. Muhammad Ibrahim al-Badjuri dalam kitabnya, Khasyiyah alBadjuri sebagaimana dikutip oleh Syafiq Hasyim (2001), mendefinisikan zina sebagai memasukkan alat kelamin laki-laki yang sudah mukallaf (sudah terkena beban hukum) ke dalam lubang (alat kelamin perempuan) yang diharamkan. Definisi ini mengecualikan zina yang dilakukan oleh anak kecil dan orang gila. Secara fiqhiyah, apabila kedua orang ini berbuat
4
Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram, Jilid 1, A. Hassan, Pentj., Cet. XI, CV. Diponegoro, Bandung, 1985, hlm. 602
17
zina, tidak bisa disebut dengan zina, walaupun secara tersurat memang dilakukan zina.5 Pengertian zina menurut Islam, seperti dijabarkan dalam fiqh, ada tiga pendapat : 1. Menurut Syafi’iyah, zina adalah perbuatan lelaki memasukkan penisnya ke dalam liang vagina wanita lain (bukan isterinya atau budaknya) tanpa syubhat. 2. Menurut Malikiyah, zina adalah perbuatan lelaki menyenggamai wanita lain pada vagina atau duburnya tanpa subhat. 3. Menurut Hanafiyah, zina adalah persenggamaan antara lelaki dan wanita lain di vaginanya, bukan budaknya tanpa subhat.6 Ketiga ulama tersebut di atas merumuskan delik perzinaan dengan persetubuhan. Sedangkan yang dimaksud persetubuhan yaitu peraduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak. Jadi anggota laki-laki harus masuk ke dalam anggota perempuan, sehingga mengeluarkan air mani.7 Dengan demikian pengertian zina menurut para ahli dan fuqaha yang meskipun terdapat perbedaan redaksi namun prinsip pengertiannya sama, yaitu persenggamaan antara pria dan wanita tanpa terikat piagam pernikahan yang sah baik perbuatan itu dilakukan atas dasar suka sama suka, paksaan, oleh seseorang yang berstatus bujangan ataupun sudah menikah. B. Dasar dan Hukum Perbuatan Zina Al-Qur'an dan hadits Nabi Muhammad SAW telah memberi petunjuk tentang hal-hal yang diharuskan sebagai perbuatan terpuji dan 5
Syafiq Hasyim, Hal-hal yang Tak Terpikirkan tentang Isu-isu Keperempuanan dalam Islam, Mizan, Bandung, 2001, hlm. 232 6 K.H. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, LKiS dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1994, hlm. 95
18
hal-hal yang harus ditinggalkan sebagai perbuatan tercela. Dalam kenyataan, perbuatan tercela yang telah digariskan sering dilakukan dan perbuatan baik yang telah ditentukan kadang-kadang ditinggalkan. Perbuatan
melanggar
terhadap
kaidah-kaidah
tersebut
baik
yang
bersumber kepada al-Qur'an maupun hadits Nabi Muhammad SAW bukan hanya dilakukan oleh orang dewasa akan tetapi anak-anak remaja pun berperan di dalamnya misalnya fenomena yang sekarang ini banyak terjadi yaitu perzinaan (pelacuran, perkosaan, hubungan pria-wanita dan penyelewengan seksual). Hubungan seks di luar pernikahan dilarang. Sebagaimana dalam firman Allah :
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”. (Q.S. al-Isra’: 32)8 Para ulama menggarisbawahi kata “janganlah kamu mendekati zina”, yang berarti pelarangan dalam soal seks bukan sekedar koitus yang tidak sah, tetapi segala hal yang mengarah atau mendekati koitus juga terlarang.9 Banyak hadits lain yang menjelaskan masalah ini dengan pelarangan pada perbuatan-perbuatan khusus, seperti larangan berduaduaan antara pria dan wanita, berjabat tangan dengan bukan mahram, bertabarruj (berhias dengan berlebih-lebihan), menggunakan parfum yang menyengat bagi wanita, percampuran dalam pemandian dan lain-lain. 7
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Politeia, Bogor, 1980,
hlm. 181
8
Prof. R.H.A. Soenarjo, SH., Al-Qur'an dan Terjemahnya, CV. Al-Waah, Semarang, 1993, hlm. 429 9 Marzuki Umar Sa’abah, Perilaku Seks Menyimpang dan Seksualitas Kontemporer Umat Islam, UII Press, Yogyakarta, 2001, hlm. 2
19
Dengan demikian, seseorang dikatakan telah atau sedang mendekati zina adalah dengan mengetahui apa yang tersirat dalam bentuk sadarnya. Seks
dalam
seksualitas
manusia
normal
terwakili
oleh
rasa
“menyenangkan” yang berpuncak pada rasa puas, nikmat, damai dan tentram. Karena itu, seseorang dikategorikan sedang mendekati zina, adalah jika tersirat keinginan mendapatkan “kesenangan”, “kepuasaan” atau “kenikmatan” dari perbuatan yang jelas terlarang dalam Islam yang dilakukannya secara sadar serta dalam kondisi normal. Seseorang sedang atau telah berzina jika ia melakukan dengan sadar segala perbuatan seks di luar pernikahan.10 Menurut Fikih, orang yang melakukan zina bisa dikategorikan ke dalam dua macam, yaitu zina muhshan dan zina ghairu muhshan. Zina muhshan adalah perbuatan zina yang dilakukan oleh mereka yang belum menikah sedangkan zina ghairu muhshan adalah zina yang dilakukan oleh mereka yang sudah menikah. Perzinaan yang sering dilakukan oleh anak-anak delinkuen adalah zina ghairu muhshan. Perzinaan tersebut bisa berkombinasi antara remaja wanita dengan remaja laki-laki atau dengan laki-laki yang sudah kawin maupun pernah kawin. Islam telah melarang segala bentuk hubungan seksual di luar pernikahan, dan menetapkan hukum yang berat terhadap pelanggaran hukum-hukum yang telah ditentukan.11 Dosa perbuatan zina itu mempunyai tingkatan tersendiri. Pelaku zina muhshan akan dihukum rajam (dera) dengan batu yang tanggung sedangkan hukuman pelaku zina ghairu muhshan yaitu seratus kali cambukan (jilid) dan pengasingan selama setahun. Jarak pengasingan ini
10
Ibid., hlm. 3 Hakim Abdul Hameed, Aspek-aspek Pokok Agama Islam, Drs. M. Ruslan Shiddieq, Pentj., PT. Dunia Pustaka Jaya, Jakarta, 1981, hlm. 96 11
20
adalah sebatas jarak yang membolehkan orang meringkas (qashar) shalatnya.12 Akan tetapi para ulama berselisih pendapat mengenai keharusan untuk mengasingkan sang pelaku ini. menurut kalangan Syafi’iyah dan Hanabilah, pengasingan terhadap pelaku zina merupakan suatu keharusan. Kalangan Malikiyah berpendapat jika pelaku pria harus diasingkan sedangkan jika wanita maka tidak bolah diasingkan (karena khawatir terjadi hal-hal yang tidak diinginkan). Sedangkan menurut Hanafiyah hal itu sepenuhnya tergantung pada pertimbangan imam. Artinya pengasingan dilakukan jika memang dipandang membawa masalah. Jika tidak, maka imam boleh menggunakan cara lain misalnya dengan cara ditahan.13 Hukuman bagi zina ba’d ihsan (penyelewengan) tidak ditetapkan dalam al-Qur'an. Namun berdasarkan hadits, hukuman bagi pezina ini adalah dilempari batu hingga mati. Sebagaimana hadits Nabi :
، )ﺧﺬواﻋﻨﻰ. ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻌﻢ: ﻋﻦ ﻋﺒﺎدة ﺑﻦ اﻟﺼﺎﻣﺖ ﻗﺎل اﻟﺒﻜﺮ ﺑﺎﻟﺒﻜﺮ ﺟﻠﺪ ﻣﺎﺋﺔ وﻧﻌﻲ، ﻓﻘﺪﺟﻌﻞ ا ﷲ ﻟﻬﻦ ﺳﺒﻴﻼ،ﺧﺬواﻋﻨﻰ ()رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ
(ﺳﻨﺔ واﻟﺜﻴﺐ ﺑﺎ ﻟﺜﻴﺐ ﺟﻠﺪﻣﺎﺋﺔ واﻟﺮﺟﻢ
Artinya: “Ubadah bin Shamit ra berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda: Ambillah/laksanakanlah hukuman dari padaku. Sesungguhnya Allah telah menetapkan ketentuan kepada mereka. Seorang jejaka yang berzina dengan seorang perempuan didera seratus kali dan dibuang selama setahun. Seorang duda yang berzina dengan seorang janda didera seratus kali dan dilempari batu”. (HR. Muslim) 14
12
Syafiq Hasyim, Hal-hal yang tak Terpikirkan tentang Isu-isu Keperempuanan dalam Islam, Mizan, Bandung, 2001, hlm. 232 13 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Drs. Imam Ghazali Said, MA, dan Drs. A. Zaidun, Pentj. Pustaka Amani, Jakarta, 1995, hlm. 240 14 Hafidz bin Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram, Pustaka al-Alawiyah, Semarang, t.th., hlm. 256
21
Nabi menyetujui hukuman ini. Kasus Maiz ibn Malik Aslami, seorang pria beristri, dan ghamida, seorang wanita bersuami yang secara terpisah mengakui telah melakukan perzinaan dapat dijadikan contoh. Lebih-lebih Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Sayyidah Aisyah bahwa Nabi pernah mengatakan bahwa hanya dalam tiga hal sajalah maka pembunuhan terhadap seorang muslim diperbolehkan, dan salah satunya adalah terhadap pezina. Dari situ, Rizvi menyimpulkan bahwa hukuman bagi zina ba’d ihsan adalah dilempari batu hingga tewas.15 Orang yang diperkosa tidak berdosa, karena ia melakukan dalam keadaan terpaksa dan tidak ada had baginya, yakni tidak ada hukuman yang dijatuhkan kepadanya. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam Q.S. al-Baqarah: 173 yang berbunyi :
Artinya: “Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Q.S. al-Baqarah: 173) Di dalam Q.S. an-Nur ayat 2 yang berbunyi :
Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman”. (Q.S. an-Nur: 2) 15
Munawar Ahmad Anees, Op. Cit., hlm. 225
22
Ditegaskan bahwa hukuman kepada para pezina harus dilakukan dan tidak boleh dikendurkan karena merasa belas kasihan atau tanggung menanggung. Hanya saja satu hal yang harus diperhatikan bahwa hukuman-hukuman di atas adalah berlaku bagi pelaku zina yang merdeka. Sedang bagi pezina budak maka hukumnya separuh dari hukum orang yang merdeka. Dan barang siapa yang berzina ketika belum kawin kemudian sesudah kawin juga berzina maka dihukum pukul seratus, kemudian dirajam.16 Hukuman dalam Islam dimaksudkan untuk kepentingan tertibnya kehidupan individu maupun masyarakat sebagai orang yang telah melanggar
akan
merasakan
hukuman
yang
sebanding
dengan
perbuatannya, tertanam perasaan jera dan takut melakukan kesalahan berikutnya sehingga akan timbul sifat kehati-hatian dalam berperilaku agar tidak sampai melanggar atau melampaui batas. Demikian halnya terhadap perbuatan zina seperti tersebut di atas, terlihat secara jelas legalitas hukum serta ancaman hukuman di dunia yang dinyatakan oleh syari’at yaitu berupa hukuman dera ataupun rajam, sehingga timbul kehati-hatian dan tercegah untuk melakukan perbuatan yang menyimpang lagi. Tarkait dengan hukuman, bahwa hukuman terkadang diambil dari hukum agama (dari Allah) maupun hukuman yang dibuat manusia. Misalnya orang yang berzina dihukum rajam dan sekaligus mendapatkan hukuman akhirat kelak. Begitu juga hukuman yang dibuat oleh manusia, misalnya adanya ketetapan hukum tindak pidana pemerkosaan dengan hukuman penjara atau denda. Rapuhnya aturan hukum yang mengatur perzinaan di Indonesia saat ini karena tidak tumbuh dari akar nilai sosial budaya masyarakat, maka banyak pelaku perzinaan yang lolos dari sanksi hukum. Bahkan sanksinya sangat ringan apalagi dalam praktik penerapan hukumnya, kendatipun 16
Ibnu Rusyd, Op. Cit., hlm. 240
23
terhadap kejahatan perkosaan yang secara yuridis ancaman hukum maksimalnya dua belas tahun. Kondisi hukum yang semacam ini mengundang
simptom-simptom
patologi
sosial
yang
lain
seperti
banyaknya anak yang lahir tanpa ayah, abortus provocatus, dan sejenisnya. Bahkan secara implisit melegalisir diskriminasi di mana pihak wanita akan selalu terpojok sebagai “korban” yang tidak tersantuni oleh hukum pidana kita.17 KHU Pidana yang kita pakai sekarang adalah hasil konstruksi masyarakat Barat di abad yang lampau. Dalam masyarakat Barat yang individualis, masalah kesusilaan atau seks adalah masalah individu. Sehingga dalam masalah “semen leven” dianggap sepenuhnya menjadi urusan pribadi, yang tak perlu diatur dalam hukum publik. Dalam hal ini wanita selalu menjadi korban aturan hukum yang tidak adil. Dan derita korban kesusilaan dan atau ingkar janji untuk kawin yang dialami wanita Indonesia akan terus bertambah, terutama dalam hal salah satu pihak atau keduanya tidak terikat perkawinan, karena masalah perbuatan pidana perzinaan adalah merupakan delik aduan mutlak dan tak ada ancaman hukum pidana bagi laki-laki yang mengkhianati pacarnya. Dalam kasus perkosaan misalnya, posisi wanita selalu berada pada pihak yang dilematis, karena kalau menuntut melalui jalur hukum pidana, mengundang konsekuensi selain sering berbelit-belit juga dia merasa malu kalau terpublikasikan atau diketahui oleh tetangga dan masyarakat banyak. Selain itu, sistem perpidanaan KUHP Indonesia tidak menyediakan ganti rugi bagi korban perkosaan. Jadi, posisi wanita tetap berada pada posisi yang tak diuntungkan sebagai korban kejahatan.18
17
Eko Prasetyo dan Suparman Marzuki, Perempuan dalam Wacana Perkosaan, PKBI, Yogyakarta, 1997, hlm. 157-158 18 Ibid., hlm. 166-167
24
C. Bentuk-Bentuk Perzinaan dan Bahayanya 1. Perkosaan Perkosaan adalah hubungan seks yang dilakukan seorang lelaki dengan wanita dengan jalan paksaan yang kadang-kadang disertai ancaman bila wanita tidak mau melayaninya.19 Perkosaan telah dikenal dan diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana Indonesia dalam bab XIV tentang kejahatan kesusilaan. Perkosaan tersebut diatur dalam pasal 285 KUHP, yang berbunyi : “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia, dihukum karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun”.20 Dengan demikian, suatu perbuatan disebut perkosaan apabila memenuhi unsur-unsur : 1. Pelaku, adalah laki-laki yang dapat melakukan persetubuhan. 2. Korban, adalah perempuan yang bukan isterinya. 3. Adanya kekerasan atau ancaman kekerasan. 4. Terjadinya persetubuhan. Unsur-unsur tersebut berlakunya secara kumulatif. Suatu perbuatan dapat disebut sebagai perkosaan apabila memenuhi keempat unsur tersebut. Perempuan sebagai korban perkosaan merupakan pihak yang sangat dirugikan sebab dia mempunyai dua masalah. Pertama, dari segi fisik sudah pasti akan mengalami penderitaan fisik yang serius, seperti luka atau terjadinya kerusakan pada organ reproduksi untuk korban yang mengalami kekerasan seksual. Kedua, dari segi psikis para korban
19
Drs. M. Ali Chasan Umar, Kejahatan Seks dan Kehamilan di luar Nikah dalam Pandangan Islam, Cet.1, CV. Panca Agung, Semarang, 1990, hlm. 102 20 R. Soesilo, Op. Cit., hlm. 182
25
akan merasa malu dan merasa sangat terhina baik dalam hubungannya di masyarakat atau keluarga di mana si korban bertempat tinggal. 21 Dalam keadaan sakit dan terganggu jiwanya ini, ia berusaha melapor kepada polisi. Pelayanan waktu melapor pun ada yang kurang memuaskan. Mereka ada yang ditertawakan oleh polisi, ketika menceritakan kembali peristiwa yang menimbulkan trauma tersebut bahkan digoda dengan ucapan “tapi enak kan ?”. selanjutnya, ia harus berobat sendiri atas biaya tanggungan sendiri. Selain itu masih adanya praktik-praktik dair oknum aparat hukum dimana korban suatu kejahatan masih harus dibebani biaya penyidikan (salah satu alasan oknum
aparat adalah untuk biaya transport aparat yang menangani
perkara tersebut). Sampai di rumah korban menjadi tontonan dan omongan serta dikucilkan tetangga. Adanya stigma dari masyarakat terhadap korban perkosaan sebagai orang yang buruk laku membuat korban semakin terpuruk dalam penderitaannya.22 Dari sini kita pahami bahwa korban perkosaan mengalami stress yang langsung terjadi dan stress yang sifatnya jangka panjang. Stress yang langsung terjadi adalah reaksi pasca perkosaan seperti kesakitan secara fisik, rasa bersalah, takut, cemas, malu, marah, dan tidak berdaya. Sedangkan stress jangka panjang adalah gejala psikologis tertentu yang dirasakan korban sebagai trauma yang menyebabkan korban memiliki rasa tidak percaya diri, konsep diri yang negatif, menutup diri dari pergaulan dan juga reaksi somatis seperti jantung berdebar atau keringat berlebihan.23 Mengenai motif kejahatan perkosaan, Felson dan Tedeschi, seorang peneliti AS, pada tahun 1993 menemukan bahwa ada lima motif kejahatan perkosaan yaitu :
21
Buletin Tekad, Edisi Perdana, Juni, 2001, hlm. 12 Marzuki Umar Sa’abah, Op. Cit., hlm. 184-185 23 Ibid., hlm. 237 22
26
1. Motivasi kekuasaan. Motivasi ini banyak terjadi pada kasus kejahatan perkosaan oleh seseorang majikan atau atasan terhadap karyawan atau seorang bapak terhadap anaknya. 2. Motivasi seksual. Hal ini dapat terjadi antara kawan pacaran. 3. Motivasi
sosio-seksual.
Pelakunya
menginginkan
pengakuan
identitas diri di tengah masyarakat, misalnya karena ingin disebut jagoan di dalam kelompok pergaulannya. 4. Motivasi menyakiti korban. Dilakukan oleh orang yang merasa pernah disakiti korban. 5. Motivasi kepuasan seksual melalui pemaksaan pelakunya adalah orang yang mengalami kelainan jiwa.24 Jenis perkosaan berdasarkan tipe dan sifat perkosaan di Indonesia dapat dikategorikan ke dalam lima macam, antara lain : 1. Sodistic Rape, yaitu perkosaan dimana pelaku menikmati kesenangan erotik bukan melalui hubungan seksualnya melainkan melalui serangan yang mengerikan atas kelamin dan tubuh korban. 2. Anger Rape, yaitu perkosaan sebagai pelampiasan kemarahan atau sebagai sarana menyatakan dan melepaskan perasaan geram dan amarah yang tertahan. 3. Domination Rape, yaitu perkosaan karena dorongan keinginan pelaku menunjukkan kekuasaan atau superioritasnya sebagai lelaki terhadap wanita dengan tujuan utama penaklukan. 4. Seductive Rape, yaitu perkosaan karena dorongan situasi merangsang yang diciptakan kedua belah pihak. 5. Explotation Rape, yaitu perkosaan karena diperolehnya keuntungan atau situasi di mana wanita bersangkutan dalam posisi tergantung padanya secara ekonomi dan sosial.25 Tindakan perkosaan tersebut bukanlah tindakan yang berdiri sendiri dan muncul begitu saja. Tindakan ini lebih merupakan produk 24
Aries Margono, Mereka Terdorong Memperkosa, 5 Agustus 1995, hlm. 27
27
dari proses kehidupan yang berlangsung sehari-hari, yang karenanya menunjukkan kualitas kehidupan masyarakat secara umum.26 Tindakan itu biasanya beriringan dengan kebebasan seks, narkotika dan alkohol, dampak media, televisi dan bioskop yang pornografis, bahkan busana perempuan yang menggiurkan.27 Perkosaan itu sendiri adalah basis materi yakni aspek perwujudan
pada
tindakan
yang
memaksa
orang
lain
untuk
menyerahkan kehormatannya. Namun basis materi tak dapat berdiri sendiri, lepas tanpa basis kognisi yang ada dalam pikiran. karena itu, perkosaan akan ada karena ada pemikiran untuk memperkosa. Baik basis
kognisi
maupun
tindakan,
keduanya
merupakan
budaya.
Perkosaan tidak mungkin akan ada jika pemikiran untuk memperkosa tidak pernah hadir.28
25
Eko Prasetyo dan Suparman Marzuki, Op. Cit., hlm. 103 Dr. Irwan Abdullah, Seks, Gender dan Reproduksi Kekuasaan, Tarawang, Yogyakarta, 2001, hlm. 58-59 27 Dr. Abdullah Nashih Ulwan dan Dr. Hassan Hathout, Pendidikan Seks, Cet. II, PT. Remaja Rosda Karya, Bandung, 1996, hlm. 143 28 Eko Prasetyo dan Suparman Marzuki, Op. Cit., hlm. 55-56 26
28
Dalam situasi Chaos (misalkan kerusuhan atau peperangan), perkosaan pada kaum
wanita juga menjadi kebiasaan. Perkosaan
massal pada peristiwa kerusuhan Mei, DOM (Daerah Operasi Militer) di Aceh, Timtim dan sebagainya merupakan contohnya. Meski begitu, masyarakat awam sampai sekarang masih mempercayai mitos-mitos tentang sebab-sebab terjadinya perkosaan, utamanya seputar “rok mini dan kegenitan korban”. Agaknya hal ini merupakan suatu bukti betapa di dalam benak sebagian besar seorang perempuan menjadi korban perkosaan adalah karena penampilan atau sikapnya yang mengundang atau menggoda. Perempuan dipotret sebagai makhluk penggoda, sebagaimana diajarkan, bahwa rusaknya lelaki (seperti yang terjadi pada Adam) disebabkan oleh godaan perempuan (Hawa). Padanan lain hanya bisa ditemukan pada “godaan syetan”. Mitos ini di satu sisi mengikis kesadaran kritis masyarakat terhadap andil “kejahatan si pemerkosa”, dan di sisi lain justru menguatkan bias atas peran gender perempuan. Mitos-mitos lain yang banyak diyakini adalah perkosaan selalu dilakukan di luar rumah, di tempat yang sepi atau dilakukan oleh orang asing atau belum dikenal. Memang ada benarnya bahwa peristiwaperistiwa perkosaan lazim terjadi di –atau bermula dari- kawasankawasan kumuh yang berada di luar jangkauan pengawasan sosial keluarga atau pelaksana-pelaksana kontrol sosial yang lain. Kawasankawasan kumuh tersebut dinamakan “zone-zone netral” seperti misalnya jalan-jalan raya, terminal-terminal, pasar-pasar, jalur-jalur raya, terminal-terminal, pasar-pasar, jalur-jalur kosong sepanjang sungai atau rel kereta api. Perkosaan selalu menimbulkan trauma. Sementara persoalannya, masyarakat senantiasa mengembangkan mitos dan ideologis yang justru tidak membantu menghentikan perkosaan. Akan tetapi dalam banyak kejadian, mitos-mitos ini jelas terbukti keliru, sebab banyak perempuan
29
diperkosa di dalam rumah, dimana pelakunya adalah kerabat dekat mereka sendiri. Tidak jarang ada peristiwa paman menggagahi keponakan, kakek memakan cucu atau anak menggagahi ibunya, hingga trauma dan persoalan yang berbelit banyak muncul dalam masyarakat. Proses berlangsungnya incest tersebut bisa jadi akibat pembatas pergaulan yang terlalu dekat, tidur bersama satu kamar/ranjang atau kondisi rumah yang terlalu sepi dan mencegah orang lain mengetahui perbuatan mereka (kamar terlalu berjauhan, rumah terlalu besar). Pada kondisi ini terjadinya incest tidak terencana atau malah terencana dengan matang. Incest dapat terjadi disebabkan karena adanya akumulasi dari ketidakmampuan individu mengendalikan diri akibat penanaman nilai-nilai moral yang rendah, kesalahan pembatasan pola pergaulan, dan intensnya rangsangan seks yang dihadapi. Untuk itulah kewaspadaan kehadiran laki-laki atau perempuan dalam lingkungan rumah harus ditingkatkan.29 Persepsi orang bahwa korban perkosaan pastilah seorang wanita muda dan perbadan sintal serta berpenampilan seksi. Perlu kita ketahui bahwa anggapan tersebut tidak seluruhnya benar karena ada juga korban perkosaan adalah perempuan tua bahkan seorang gadis kecil yang lugu, pucat dan sama sekali jauh dari polesan make-up.30 Mitos-mitos yang beredar di kalangan masyarakat sebenarnya merupakan hasil cipta dan rekayasa masyarakat sendiri. Selama ini perempuan selalu dianggap sebagai makhluk yang lemah dan berfungsi sebagai objek seks. Karenanya wajar saja kalau terjadi perlakuan buruk terhadap diri wanita.
29 30
Marzuki Umar Sa’abah, Op. Cit., hlm. 136 Eko Prasetyo dan Suparman Marzuki, Op. Cit., hlm. 323
30
Perkosaan sebagai salah satu bentuk kejahatan kesusilaan sudah lama berlangsung. Hampir setiap hari berita tentang perkosaan menghiasi lembaran surat kabar, baik perkosaan terhadap anak di bawah umur, perkosaan terhadap wanita remaja putri, wanita dewasa maupun lanjut usia. Pelaku perkosaan dalam keluarga pun juga meningkat, seperti perkosaan terhadap anak kandung, saudara kandung bahkan ibu kandung. Memang pelaku dan korban perkosaan ini tidaklah pandang bulu. Siapapun dari berbagai kelas sosial manapun dapat menjadi pelaku maupun korban perkosaan. Perkosaan selalu menimbulkan trauma. Sementara persoalannya, masyarakat senantiasa mengembangkan mitos dan ideologis yang justru tidak membantu menghentika perkosaan. Oleh karena itu kita harus mengubah pola pandang dan berfikir kita. Perkosaan adalah penghinaan paling biadab terhadap integritas diri perempuan. Semestinya kita memperjuangkan suatu sistem yang lebih adil.31 Korban perkosaan, mereka kehilangan kehormatan dan harga diri yang tidak mungkin diganti, dibeli atau disembuhkan sekalipun mencincang pelaku hingga mati berkali-kali. Perjalanan penderitaan yang panjang dalam proses peradilan pidana, lebih banyak berakhir dengan kepedihan. Berat hukuman yang dijatuhkan hakim atas perilaku perkosaan terlampau ringan jika dibandingkan dengan trauma yang diakibatkan oleh perkosaan itu dalam kehidupan korban sepanjang hayat. Ancaman hukuman maksimal 12 tahun hanya sederetan kata-kata sederhana di dalam KUHP, karena dalam pelaksanaannya rata-rata berkisar lima bulan hingga dua tahun penjara. Hal tersebut dikhawatirkan akan membuat pelaku tidak jera untuk melakukan kejahatan perkosaan lagi.
31
Ibid., hlm. 239
31
Karena akar persoalan pemerkosaan adalah karena keyakinan dan ideologi, maka untuk menghentikannya selain usaha melalui perubahan atau penciptaan undang-undang dan hukuman yang berat pada pemerkosa, juga harus disertai dengan usaha yang bersifat struktural dan kultural. Maksudnya adalah berbagai usaha yang melibatkan proses penyadaran dan pendidikan kritis bahwa perkosaan adalah berakar pada ketidakadilan gender. Sejauh-jauh kejahatan perkosaan hanyalah bisa diberantas atau dikurangi saja sampai ke tingkat yang boleh ditenggang. Manakala sudah diketahui bahwa perkosaan itu mudah terjadi di zona-zona netral yang kumuh dan bersuasana kemiskinan yang kronis, membasmi perkosaan haruslah juga dibarengi dengan membasmi kekumuhan dan kemiskinan yang tak dapat dilenyapkan karena sifat hakekatnya yang struktural.32 Jika kita memang menginginkan kejahatan pemerkosaan hapus dari muka bumi ini, maka haruslah diadakan perombakan terhadap pola pikir dan tingkah laku kita selama ini. Upaya-upaya preventif berupa penumbuhan
kewaspadaan
dan
self
defence
melalui
perbagai
pendekatan sosial, edukasi dan keagamaan dalam keluarga, sekolah dan masyarakat harus segera dilakukan. 2. Prostitusi/ pelacuran Lacur menurut bahasa ialah 1) malang, celaka, sial. 2) buruk laku.
Pelacuran
persundalan.
32
adalah
perihal
menjual
diri
sebagai
pelacur;
33
Ibid., hlm. 34 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi 3, Cet. I, Balai Pustaka, Jakarta, 2001, hlm. 623 33
32
M. Ali Chasan Umar mendefinisikan pelacuran sebagai berikut : “Pelacuran merupakan prostitusi, membiarkan diri berbuat cabul dan melakukan perzinaan secara bebas, ia merupakan gejala kemasyarakatan di mana wanita menjual diri melakukan hubungan seks dengan lelaki liar sebagai mata pencaharian. Para wanita yang menjadi pelacur itu berorientasi untuk mendapatkan bayaran setelah menyerahkan dirinya bulat-bulat kepada lelaki muda maupun tua”.34 Sedangkan Drs. Hasan Basri mendefinisikan Pelacuran/prostitusi adalah: “Melakukan hubungan kelamin dengan wanita yang bukan isterinya atau dengan pria yang bukan isterinya atau dengan pria yang bukan suaminya. Biasanya dilakukan di tempat-tempat khusus, misalnya di lokasi pelacuran, tempat-tempat rekreasi, hotel-hotel, atau di rumah tempat tinggal dan sebagainya”.35 Menurut Abraham Fiexner, seperti yang dikutip oleh Syamsudjin dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Kelamin dalam Islam, mendefinisikan tentang pelacur sebagai berikut : “Yang disebut pelacur itu ialah, seorang perempuan yang secara tetap atau berkala mengadakan hubungan seksual dengan lakilaki dengan tidak menurut aturan perkawinan yang sah, untuk memperoleh uang atau berdasarkan pertimbangan-pertimbangan memperoleh keuntungan lainnya”.36 Dari definisi di atas dapatlah disimpulkan bahwa pelacur ialah : a) Seorang wanita yang menjual diri dengan cara melakukan hubungan seks dengan orang laki-laki tanpa ikatan perkawinan yang syah. b) Wanita tersebut berorientasi mendapatkan uang atau keuntungan lainnya. c) Hubungan seks tersebut bagi wanita sebagai mata pencaharian baik tetap atau berkala.37
34
M. Ali Chasan, Op. Cit., hlm. 37 Drs. Hasan Basri, Op.Cit., hlm. 7-9 36 Syamsjuddin, Pendidikan Kelamin dalam Islam, Ramadhani, Solo, 1987, hlm. 101 37 Akhmad Azhar Abu Miqdad, Pendidikan Seks bagi Remaja menurut Hukum Islam, Cet. III, Mitra Pustaka, Yogyakarta, 2001, hlm. 91 35
33
Pelacuran
adalah
salah
satu
mata
pencaharian
yang
diperbolehkan di negara-negara Barat dengan diberikannya izin dengan syarat si pelakunya harus memberikan jaminan hak-hak mereka. Begitu juga situasi ini pernah berlaku pada zaman dahulu sampai datanglah Islam untuk menghapus itu semua. Islam tidak memperkenankan seseorang bebas untuk menyewakan kemaluannya. Sebagaimana orang jahiliyah ada yang menetapkan upah pekerjaan harian hamba-hambanya dengan jalan apapun. Sering kali menjurus kepada berbuatan zina supaya dia dapat membayar apa yang telah ditetapkan atas dirinya itu. Bahkan sebagian mereka ada yang sampai memaksa semata-mata untuk mencari keuntungan duniawi yang rendah itu dan bekerja yang jijik dan murahan.38 Maka setelah Islam datang seluruh anak-anak, putra maupun putri diangkat dari perbuatan yang hina itu kemudian turunlah ayat yang melarang keras terhadap pelacuran yang berbunyi :
Artinya: “Jangan kamu kamu paksa hamba-hambamu untuk melacur jika mereka menginginkan dirinya terjaga, lantaran kamu hendak mencari harta untuk hidup di dunia”. (Q.S. an-Nur: 33)39 Ibnu Abbas meriwayatkan, sesungguhnya Abdullah bin Ubai kepala munafiqin datang datang kepada Nabi sambil membawa seorang hamba perempuan yang cantik jelita, namanya Mu’adzah, kemudian ia berkata: Ya Rasulullah ini adalah hamba milik anak yatim, apakah tidak
38
Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam, H. Mua’ammal Hamidy, Pent., PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1993, hlm. 179-180 39 Prof. R.H.A. Soenarjo, SH., Op. Cit., hlm. 549
34
tepat kalau kau suruh dia untuk melacur supaya anak-anak yatim itu dapat mengambil upahnya ? maka jawab Nabi. “tidak”.40 Dengan
demikian,
maka
Nabi
melarang
mencari
mata
pencaharian dengan usaha yang kotor ini, betapapun tingginya bayaran yang dikatakan karena terpaksa, karena kepentingan atau untuk mencapai sesuatu tujuan. Motifnya supaya masyarakat tetap bersih dari kotoran-kotoran yang sangat membahayakan ini. Menurut prinsip Islam, pelacuran termasuk dalam kategori perzinaan. Maka Islam mengutuk perbuatan itu dan mengancam dengan hukuman yang berat bagi pelakunya. Dalam hal ini dijelaskan dalam hadits Nabi SAW yang terjemahannya sebagai berikut :
، )ﺧﺬواﻋﻨﻰ. ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻌﻢ: ﻋﻦ ﻋﺒﺎدة ﺑﻦ اﻟﺼﺎﻣﺖ ﻗﺎل اﻟﺒﻜﺮ ﺑﺎﻟﺒﻜﺮ ﺟﻠﺪ ﻣﺎﺋﺔ وﻧﻌﻲ، ﻓﻘﺪﺟﻌﻞ ا ﷲ ﻟﻬﻦ ﺳﺒﻴﻼ،ﺧﺬواﻋﻨﻰ (ﺳﻨﺔ واﻟﺜﻴﺐ ﺑﺎ ﻟﺜﻴﺐ ﺟﻠﺪﻣﺎﺋﺔ واﻟﺮﺟﻢ( )رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ Artinya: “Dari ‘Ubadah bin Shamit ia berkata : Telah bersabda Rasulullah SAW ambillah (hukum) dari pada-ku! Ambillah (hukum) dari pada-ku! karena sesungguhnya Allah telah bukakan jalan bagi mereka (yaitu) perawan dan teruna (bujang) dera seratus dan pengasingan setahun; dan yang sudah berkawin dengan yang sudah berkawin dera seratus dan rajam”. (HR. Muslim).41 Pekerjaan wanita pelacur ialah menyewakan badannya kepada orang lain untuk pelampiasan nafsu. Jadi, kehormatan alat kelaminnya diperjualbelikan untuk penawar syahwat kepada kaum laki-laki, siapa saja yang mau membayar harganya. Tidak perlu ada ikatan batin, cinta kasih dan pertanggungan jawab. Tegasnya melulu cara hewani, boleh
40
Lihat Tafsir Razi 23: 220 Hafidz bin Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram, Pustaka al-Alawiyah, Semarang, t.th., hlm. 256 41
35
disewa silih berganti tanpa pilih-pilih pembelinya apakah ia sehat atau mengidap penyakit kelamin dan lain-lain. Ditilik dari namanya saja pelacur, berarti seseorang yang melacurkan diri. Dan karena profesinya yang tidak susila itu, maka oleh masyarakat disebut “tuna susila” atau wanita tuna susila, alias wanita P. Konon kalau pria melacurkan diri, disebut gigolo. Orang yang hidupnya melacurkan diri ini, karenanya sudah kehilangan kehormatan dirinya yang paling berharga sebagai manusia, bahkan lebih rendah derajatnya dari pada binatang sehingga dianggap sebagai sampah masyarakat bahkan penyakit masyarakat. Jatuhnya nilai manusia itu bukankah sudah diperingatkan oleh Tuhan bahwa manusia memang diciptakan-Nya dalam bentuk yang paling baik, akan tetapi bilamana ia berbuat dosa, maka Tuhan menetapkan dalam firman-Nya :
Artinya: “Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendahrendahnya (neraka)”. (Q.S. at-Tiin: 5)42 Wanita
tuna
susila
tidak
mudah
membedakan
laki-laki
partnernya itu sehat atau tidak, sebab penderita penyakit kelamin dalam taraf permulaan atau sesudah berobat sekedarnya tampak sehat-sehat saja walaupun sebenarnya belum sembuh dengan sempurna dan masih bisa dipindahkan kepada para partnernya. Jika seorang pelacur sudah menderita penyakit kelamin, maka ia bisa menjadi sumber penularan penyakit tersebut. Hal tersebut merupakan peringatan dari Tuhan agar manusia hidup teratur sebagai suami isteri, agar laki-laki dan perempuan tidak menyeleweng dan tidak 42
Prof. R.H.A. Soenarjo, SH., Op. Cit., hlm. 1076
36
melacurkan diri. Camkanlah peringatan dari Tuhan dalam al-Qur'an surat al-Isra’ : 32 yang terjemahannya sebagai berikut :
Artinya: “Dan janganlah kamu dekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan jalan yang salah”. (Q.S. al-Isra: 32)43 Terkait dengan bahaya yang ditimbulkan oleh pelacuran, dr. R.H. Su’dan, MD, mengemukakan ada tiga bahaya, yaitu : bahaya bagi kesehatan jasmani, rohani dan sosial.44 1. Bahaya pelacuran bagi kesehatan jasmani, misalnya penyakit kelamin yang termasuk didalamnya penyakit sypilis ,gonorhoe, , juga AIDS yang mematikan dan tidak ada obatnya. Sekarang penyakit ini telah mewabah ke seluruh dunia termasuk Indonesia. Penyakitpenyakit tersebut merupakan siksa yang telah diberikan Allah karena ulah manusia itu sendiri. Hal ini pun sebenarnya telah diantisipasi oleh Baginda Nabi Muhammad SAW, sabdanya :
اذا ﻇﻬﺮاﻟﺰﻧﺎ واﻟﺮﺑﺎ ﻓﻰ ﻗﺮﻳﺔ ﻓﻘﺪ اﺣﻠﻮا ﺑﺄﻧﻔﺴﻬﻢ ﻋﺬاب اﷲ ()رواﻩ اﻟﻄﺒﺮاﻧﻰ واﻟﺤﺎآﻢ Artinya: “Apa bila perzinaan dan riba telah melanda suatu negeri, maka mereka (penghuninya) sudah menghalalkan atas mereka sendiri siksaan Allah”. (H.R. Ath-Thabrani dan alHakim)45 2. Bahaya pelacuran bagi kesehatan rohani
43
Ibid., hlm. 429 Dr. R. H. Su’dan, MD., SKM, Al-Qur'an dan Panduan Kesehatan Masyarakat, PT. Dana Bhakti Primayasa, Yogyakarta, 1997, hlm. 163 45 Imam Jalaluddin bin Abi Bakar as-Suyuthi, al-jami’ al-Shaghier fi Ahaditsi Basyirin Nadhir, Juz I, Darul Kutub Ilmiyah, Beirut, Libanon, 1990, hlm. 52 44
37
Bahaya ini yang jelas melanda bagi orang yang mengidap penyakit sypilis stadium empat. Dalam stadium ini kuman sypilis menyerang otak dan mengakibatkan penyakit jiwa yang dinamakan dementia paralityca (dementia : bodoh, paralityca : lumpuh). Penyakit jiwa ini sangat khas karena penderitanya tidak tahu malu. Makin lama otaknya makin tumpul sehingga penderitanya menjadi sangat tolol. Selain itu pelacuran juga dapat menyebabkan penyakit jiwa insania moralis (tidak sehat akhlaknya) dan penyakit jiwa psikomotorik. 3. Bahaya pelacuran bagi kesehatan sosial Bahaya kejahatan dan keburukan pelacuran itu bukan saja menghukum bagi yang melakukannya, tetapi juga menjalar ke keluarganya yang dimulai dari isteri atau suaminya, kemudian menurun kepada anak-anak keturunannya yang tak berdosa, dan selanjutnya ke seluruh masyarakat. Selain itu, pelacuran juga sangat berbahaya bagi penderita lemah jantung. Sudah banyak kejadian dan sudah sering pula kita baca di surat-surat kabar bahwa seorang bapak telah mati dalam kamar pelacur, seorang laki-laki meninggal ketika sedang bersenggama dengan seorang perempuan yang bukan isterinya dan lain-lain. Mereka itu semua mati dengan wajar, artinya bukan karena pembunuhan melainkan terbukti berdasarkan pemeriksaan adalah karena menderita lemah jantung. Menurut Dr. Zbynek yang pernah mengepalai bagian penyakitpenyakit jantung. Organisasi kesehatan dunia (WHO) sebagaimana dikutip oleh Salim Sahly dalam bukunya sex education mengatakan bahwa semua hubungan seks adalah berbahaya bagi pasien-pasien jantung. Suatu peristiwa perzinaan bisa melipatgandakan saat-saat berbahaya itu bagi petualang cinta karena denyutan dari seorang pasien jantung sewaktu berhubungan seks bisa meningkat sampai 120. Tetapi
38
bila ia melakukan indehoi di luar perkawinannya, denyutan nadinya rata-rata dapat melonjak menjadi 610.46 Melacur bukan sekedar pekerjaan golongan ekonomi lemah dan tidak berpendidikan. Banyak pelacur yang dikenal sebagai pelacur kelas atas, merupakan orang-orang yang berpendidikan tinggi. Bahkan di Indonesia
dikenal
“ayam-ayam
kampus”,
yaitu
sebutan
untuk
mahasiswi-mahasiswi yang menggeluti perkuliahan. Ada beberapa sebab mengapa wanita menenggelamkan diri ke lembah hitam pelacuran antara lain : 1. Hubungan keluarga yang berantakan, terlalu menekan dan juga adanya penyiksaan seksual yang dialami dalam keluarga. 2. Jauhnya seseorang dari kemungkinan hidup secara normal akibat rendahnya pendidikan yang dimiliki, kemiskinan dan gambaran jaminan pekerjaan dan masa depan yang jelas. 3. Hasrat berpetualang dan kemudahan meraih uang. 4. Hubungan seks terlalu dini, keterlibatan pada satu pergaulan yang selalu merongrongnya dan mungkin juga dikombinasikan oleh pengaruh obat dan alkohol. 5. Ada juga yang memandang bahwa perasaan benci terhadap ayah yang diletupkan dengan cara melacurkan diri dari satu pelukan lelaki ke pelukan lain. 6. Paduan antara kemiskinan, kebodohan dan tekanan penguasa. 7. Keluarga yang gagal memfungsikan perannya sebagai pembina nilainilai
keagamaan,
atau
nilai-nilai
agama
memberikan dasar untuk menolak pelacuran.
yang
dianut
tidak
47
Dengan alasan apapun, pelacuran tetap tidak diperbolehkan. Apalagi pelarangan tersebut mengandung manfaat yang sangat besar. Pepatah mengatakan, “jika tidak ingin basah, jangan main air”. 46
Salim Sahly, Sex Education; Membina Cinta Kasih dalam Hidup Perkawinan, Yayasan Arafah Abadi dan Yayasan Keluarga Sejahtera, Semarang, 1975, hlm. 172-173 47 Marzuki Umar Sa’abah, Op. Cit., hlm. 75
39
Maksudnya: jika tidak ingin susah jangan main pelacur”. Sudah menjadi rahasia umum bagi orang yang terbiasa jajan seks, selesai hasrat terpuaskan, uang melayang, kecemasan datang berupa cemas terhadap anak dan isteri, mungkin juga tersisa rasa berdosa, kondisi emosi seksual yang meminta pelayanan seks yang terus minta variasi dan kecemasan penyakit kelamin yang ditularkan dari hubungan seks (sexuality transmitted diseases, STD). Beberapa kecemasan barangkali malah menjadi kenyataan, keluarga berantakan , kelainan tingkah laku seks, dan derita fisik dari bermacam-macam penyakit seks. Dengan kondisi seperti itu, hidup terasa jauh dari kenyataan.48 Menghapus
pelacuran
sama
sulitnya
dengan
menghapus
kejahatan dalam masyarakat, karenanya ia akan tetap ada selama masih ada kaum laki-laki yang membutuhkan dan menerimanya. Melarang sepihak saja hanya kepada wanita adalah sia-sia tanpa melarang kaum pria yang mau membayarnya. Fenomena sosial tersebut benar-benar suatu lingkaran setan yang amat besar. Pelacuran ibarat kanker raksasa yang sulit disembuhkan, dianggap penyakit tapi masyarakat enggan, bahkan menolak untuk menghilangkannya. Hanya usaha-usaha pencegahannya yang dapat mengurangi atau memperkecil jumlah pelacur yaitu melalui pendidikan sekolah, bimbingan seks semenjak kecil, memperluas lapangan pekerjaan dan terutama menggiatkan dan membina kehidupan beragama, sehingga tiap-tiap mereka yakin bahwa Allah selalu mengasihi hamba-Nya yang bertaqwa dan akhirnya mencari jalan hidup yang halal yang diridhai oleh Allah.49 3. Hubungan pria-wanita Menurut Umar Hasyim sebagaimana yang dikutip oleh Drs. Sudarsono, SH dalam bukunya Etika Islam tentang Kenakalan Remaja, 48 49
Ibid., hlm. 103-104 Salim Sahly, Op. Cit., hlm. 101
40
hubungan pria dan wanita adalah hubungan seks di luar nikah yang dilakukan oleh sepasang remaja.50 Hubungan pria-wanita dinilai termasuk merusak atau melanggar nilai-nilai etika Islam karena hubungan pria-wanita menodai kesucian hidup keluarga dan dipandang tidak memelihara kesucian yang oleh etika diperintahkan agar selalu dipelihara. Di samping itu hubungan pria-wanita menghilangkan nilai ihsan sebagai salah satu dari sifat-sifat utama dalam moralitas Islam.51 Islam melarang keras terjadinya hubungan pria-wanita. Oleh karenanya Islam mengajarkan untuk memiliki daya tangkal dan daya cegah terhadap pelanggaran tersebut dan Islam juga telah memberikan hak untuk memenuhi hasrat naluriahnya yang berkaitan dengan penyaluran nafsu biologis, yaitu lewat perkawinan. Namun apabila belum mampu persiapan dan persyaratan untuk menikah, maka dianjurkan untuk berpuasa, sebagaimana sabda Nabi:
ﻳﺎ ﻣﻌﺴﺮاﻟﺸﺒﺎب ﻣﻦ اﺳﺘﻄﺎع ﻣﻨﻜﻢ اﻟﺒﺎء ة ﻓﻠﻴﺘﺰوج ﻓﺎﻧﻪ اﻏﺾ ﻟﻠﺒﺼﺮ واﺣﺼﻦ ﻟﻠﻔﺮج وﻣﻦ ﻟﻢ ﻳﺴﺘﻄﻊ ﻓﻌﻠﻴﻪ ﺑﺎﻟﺼﻮم ﻓﺎﻧﻪ ﻟﻪ .وﺟﺎء Artinya: “Wahai para pemuda, barang siapa telah mampu di antara kamu untuk kawin, maka kawinlah. Karena dengan perkawinan itu dapat memejamkan pandangan mata dan memelihara farji. Dan barangsiapa yang belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena berpuasa itu sebagai obat baginya”.52
50
Drs. Sudarsono, SH., Etika Islam tentang Kenakalan Remaja, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1989, hlm. 60 51 Ibid., hlm. 62 52 Imam Taqiyudin Abi Bakr, Kifayatul al-Ahyar, Juz II, al-Ma’arif, Bandung, t.th., hlm. 37
41
Secara biologis, kenakalan remaja di bidang hubungan priawanita agak sulit diatasi sebab di samping pengaruh lingkungan yang begitu kuat juga merupakan tuntutan biologis bagi pria wanita. Masalah hubungan pria-wanita semakin menonjol sejak telah diketemukannya alat-alat dan obat anti hamil, alat-alat dan obat-obat penggugur kandungan serta obat pencegah penyakit kelamin, lebihlebih sesudah alat-alat dan obat-obat tadi mulai memasuki pasaran bebas. Selain itu juga gejala-gejala merosotnya lembaga-lembaga pendidikan dan organisasi-organisasi keagamaan dalam menangani masalah kepemudaan. Juga karena timbulnya gejala-gejala mengejar hidup mewah. Hubungan pria-wanita ini rawan terjadi pada sepasang pemuda yang sedang menjalin hubungan cinta. Pemenuhan rasa cinta bukan sekedar ingin mengasihi dan dikasihi, seks juga masuk dalam bumbunya orang jatuh cinta. Meskipun pada setiap kota dan kelompok masyarakat berbeda-beda dalam menyikapi persoalan seks bebas, tetapi telah banyak terjadi perubahan nilai-nilai moral pada masyarakat. Hal ini terlihat pada diterimanya percumbuan sebagai hal biasa dalam berpacaran. Biasanya, pihak wanita mendapatkan janji-janji indah akan dikawini dan ditanggung nasibnya. Atau wanita tersebut mendapatkan tekanan-tekanan tertentu dengan ucapan sebagai berikut : “Bila kamu betul-betul mencintai saya, buktikanlah cinta itu dengan bersenggama!” atau: “Relasi seksual atau coitus merupakan bentuk cinta yang besar dari seorang wanita; buktikanlah hal ini, kalau kamu tidak mau berarti engkau tidak cinta pada saya !53 Hal ini akan sangat berbahaya bila dituruti. Banyak kasus seorang yang menyebut diri memiliki latar belakang keluarga yang taat beribadah, baik itu pria maupun wanita , namun ketika sedang terjerat asmara, cinta dan percumbuan, mereka 53
Ibid.
42
tidak mampu mengontrol diri hingga mereka melakukan perbuatan yang lebih jauh lagi yaitu perzinaan. Persetubuhan dengan pasangan cintanya dapat membawa trauma yang dalam, rasa bersalah, dosa, tidak suci, hingga mengutuk diri serta membenci diri sendiri seringkali menjangkiti orang seperti ini. Jika
hasil
hubungan
itu
hanyalah
meninggalkan
pihak
perempuan, ia berada di pihak yang salah. Jika ia hamil dan mengalami abortus, ia juga berada di pihak yang rugi. Jika ia akhirnya melahirkan anak tanpa ayah, ia juga merugi. Dan jika ia menyerahkan anaknya untuk diadopsi, ia juga kalah. Sungguh merupakan nasib perempuan yang tidak beruntung. Walaupun secara logis kesalahan harus ditujukan lebih banyak kepada si pemuda sebab dia umumnya yang merayu dan mengajak berbuat demikian, namun akibatnya lebih besar terpikul di pundak si gadis sendiri. Si pemuda tersebut bisa saja berkata di kemudian hari, bahwa segala apa yang terjadi di masa lalu harap dianggap saja sebagai tidak pernah ada tetapi, bagaimana dengan keadaan si gadis sendiri terutama pada hari perkawinannya dengan lelaki lain. Sebab pada malam pertama akan tersingkap tabir selaput daranya dengan segala akibatnya. Sang suami sudah dapat menduga apakah isterinya masih suci ataukah sudah ternodai sebelumnya, kecurigaan mengenai hal itu sering meninggalkan konflik yang amat dalam.54 Para pemuda dan pemudi perlu mengerti sifat-sifat seksual manusia, bukan hanya dari pihaknya sendiri, melainkan juga dari pihakpihak yang lain. Sebagai seorang pemuda bisa mengetahui apa yang dirasakan oleh seorang pemudi. Sebagai seorang pemudi harus hati-hati, bahwa nafsu birahi seorang pemuda cepat meluap. Maka jangan mencoba mengipasi api itu sekedar untuk bermain-main atau bercanda. Dan janganlah seorang pamuda mengumbar janji yang manis-manis 54
Salim Sahly, Op. Cit., hlm. 138
43
sekedar untuk merayu si gadis, untuk kemudian melupakannya atau hanya dianggap iseng. Sebab tiap-tiap bisikan dari seorang pemuda yang kebetulan dapat menarik hatinya, akan selalu diingatnya. Menciptakan pergaulan yang wajar dalam batas-batas susila dan agama sangatlah penting. Boleh juga bertunangan yang dilandasi hubungan batin yang jujur serta keserasian jiwa yang dan i’tikad yang baik. Batas-batas hubungan dalam pergaulan harus selalu dijaga. Ingatlah bahwa dengan alasan dan dalih apapun, walaupun dengan ancaman pertunangan akan diputuskan, seorang gadis jangan sekali-kali memberi kelonggaran kepada pemuda atau tunangannya untuk berbuat seperti suami isteri, sebab bukan saja hal itu berdosa besar dari sudut agama akan tetapi sangat berbahaya, terlebih jika perkawinan tidak jadi diwujudkan. Tentang fungsi biologis dan selaput dara masih merupakan tekateki bagi para ahli. Tetapi yang sudah pasti ia mempunyai arti lebih penting dari pada sebagai lambang sosial dan moril dari pada sebagai alat kelamin. Mungkin oleh Tuhan memang dijadikan sebagai tanda peringatan agar para gadis sebelum menikah benar-benar menjaga kehormatan dan kesucian dirinya dari jamahan laki-laki (berzina). 4. Penyelewengan seksual atau adultery Penyelewengan seksual merupakan relasi seksual antara seorang laki-laki yang sudah kawin dengan wanita bukan partner legal (isteri orang lain, gadis atau janda binal) atau sebaliknya.55 Dalam berbagai rubrik majalah, perempuan mengeluh terhadap tindakan suaminya yang melakukan hubungan seks ketika sang suami memaksa berhubungan seksual meskipun isteri sedang tidak siap melakukannya. Belum lagi keluhan tentang hubungan seks yang tidak dapat dinikmati oleh perempuan. Dalam berbagai hal perempuan juga
44
tidak mendapatkan haknya sebagai satu-satunya orang yang digauli suami mereka, karena perselingkuhan yang dilakukan oleh suami. Demikian pula praktik “jajan” yang dalam berbagai laporan dinilai sebagai kebiasaan laki-laki.56 Perbuatan seorang tersebut merupakan penyakit rumah tangga yang sulit disembuhkan dan selalu menampakkan bekas, dan terkadang malah menyebabkan terjadinya perceraian. Penyelewengan seksual dari suami dapat dilatar belakangi oleh kurangnya perhatian dari pihak istri, misalnya selalu menolak atau menghindari hasrat batin suaminya, bersikap dingin atau acuh tak acuh, dan lain-lain. Demikian pula dengan hal istri menyeleweng, dapat disebabkan oleh kurang adanya perhatian dari pihak suami, misalnya jarang tidur di rumah atau sering terlambat pulang malam, atau suka bergaul dengan wanita-wanita lain.57 Oleh karenanya, untuk seorang istri haruslah waspada dan berhati-hati dalam bersikap terhadap suami. Untuk mencegah kemungkinan terjadinya penyelewengan seks, maka penting juga bagi kedua belah pihak untuk memahami masalah kehidupan seksual dan memiliki kesadaran tinggi, hingga tak mudah bagi keduanya untuk menyeleweng. Hubungan kelamin menurut frekuensi yang sesuai dengan kesanggupannya sesungguhnya dapat membantu memelihara keseimbangan lahir dan batin bagi suami maupun istri. Dilihat dari sudut perkembangan jasmaniah adalah normal untuk menyalurkan libido sexsualnya daripada mengekang atau menindasnya dengan berpantang.58 Upaya pencegahan terjadinya penyelewengan seksual dapat dilakukan dengan memberikan pendidikan seks dengan pendekatan 55
Dr. Kartini Kartono, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual… Op. Cit.,
hlm. 235
56
Dr. Irwan Abdullah, Seks, Gender dan Reproduksi Kekuasaan, Tarawang Press, Yogyakarta, 2001, hlm. 48 57 Salim Sahly, Op. Cit., hlm. 57 58 Ibid., hlm. 111
45
keagamaan. Dari situ akan terbukti bahwa banyak terdapat cara-cara lain dalam segala tehniknya yang halal dalam menerima dan memberi kepuasan bagi kedua belah pihak. Akan
tetapi
anehnya
ada
juga
keluarga-keluarga
yang
“hypermodern” dan bersifat radikal menganut seks bebas justru mengizinkan atau menganjurkan isterinya melakukan penyelewengan seksual (seks-ekstramarital), agar isterinya mendapatkan tambahan pengalaman, dan memperoleh tambahan kepuasan seks.59 Upaya pengobatan bagi mereka adalah memberikan penyadaran, bahwa penyelewengan seksual (berzina) dilarang keras oleh agama, karena merupakan jalan yang terburuk sebagai mana yang difirmankan Allah dalam Q.S. al-Isra’ ayat 32.
59
Dr. Kartini Kartono, Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual… Op. Cit.,
hlm. 236
46
Artinya: “Dan janganlah kamu menghampiri zina, sesungguhnya zina itu perbuatan keji dan jalan yang terburuk”. (Q.S. al-Isra’: 32) D. Sebab-sebab Dilarangnya Perzinaan Berhubung manusia mempunyai berbagai macam keinginan, tentu mungkin terjadi kesimpangsiuran yang menimbulkan pertentangan sesamanya agar tidak terjadi hal-hal yang merugikan manusia, maka perlu peraturan yang menentukan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, atau dilarang. Apabila setiap orang yang berlalu lintas menempuh jalan yang disukai saja, tentunya akan banyak terjadi kecelakaan dan membawa akibat yang ringan dan berat, dan malahan ada yang sampai meninggal dunia. Jadi, agar manusia atau selamat dalam pergaulan, maka diperlukan aturan.60 Untuk menjaga manusia atau melindunginya dari kemerosotan dan kemunduran, dari kehancuran dan kebinasaan, dari ketidak senonohan dan godaan, oleh karenanya Islam telah menetapkan beberapa larangan, misalnya dalam perzinaan. Tindakan pelarangan ini diadakan oleh Allah SWT adalah untuk memperbaiki mental dan spiritual manusia sebagaimana Dia membentuk kepribadian seorang manusia baik dari segi moral maupun mental. Tindakan
ini
bukanlah
merupakan
sewenang-wenang
dari
Allah.
Sebaliknya hal ini malah merupakan pertanda bagi adanya perhatian Allah terhadap perwujudan kesejahteraan manusia dan merupakan petunjuk yang
60
hlm. 25
Dr. Kahar Masyhur, Membina Moral dan Akhlak, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1994,
47
jelas tentang tanggung jawab dan kasih sayang Allah kepada umat manusia.61 Bila Allah melarang suatu persoalan bukanlah berarti bahwa Allah ingin menghalangi manusia untuk mendapatkan hal-hal yang baik dan berguna baginya. Tapi larangan itu diadakannya adalah karena dia ingin melindungi manusia dan selanjutnya mengembangkan kebaikan yang ada didalam dirinya, sebagai suatu usaha pembersihan perasaannya untuk mendapatkan hal-hal yang lebih baik dalam hidupnya, dan sebagai kelanjutan dari besarnya perhatian Allah bagi terciptanya moral yang tinggi dan terpuji bagi manusia. Dalam Islam, makna nilai diperluas tidak hanya menguntungkan bagi orang yang menjalankannya serta tidak merugikan orang lain, tetapi juga berpengaruh positif terhadap semua aspek disekitar orang tersebut, dalam hal ini lingkungan tempat tinggal, dan yang jelas selalu berhubungan dengan Tuhan pencipta dirinya dan alam semesta. Sebagai contohnya adalah bagaimana nilai dan moral Islam berpengaruh positif pada diri, lingkungan serta Tuhannya adalah pelarangan zina yang diatur dalam hukum nikah dan dibungkus dalam ajaran akhlak terhadap sesama manusia, karena nilai-nilai seks tidak melulu dipandang sebagai urusan menyenangkan atau tidak merugikan antara pasangan seks, tetapi juga dilihat harus melalui mekanisme ikatan yang resmi (pernikahan). Penyalah gunaan
seks merupakan salah satu pemicu kejahatan lain, selain
keserakahan uang, alkohol, dan obat-obatan.62 Pelarangan zina oleh Allah difirmankan dalam Q.S. al-Isra’ ayat 32 sebagai berikut :
61
Mahmudah Abdalati, Islam suatu Kepastian, Nasmal Lofita Anas, MTA, Pentj. Cet. I, Media Da’wah, Jakarta, 1983, hlm. 94 62 Marzuki Umar Sa’abah, Op. Cit., hlm. 232-233
48
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk”. (Q.S. al-Isra’ :32)63 Ayat tersebut memberikan tuntunan agar kita jangan terperosok kepada dosa yang besar dan yang keji itu, yaitu dengan jalan menjauhi dan jangan mendekati. Disuruh menjauhinya karena kalau sudah dekat kepadanya, sangatlah sukar melepaskan diri. Oleh karenanya Islam melarang seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang perempuan kecuali dengan isteri sendiri, karena kalau sudah berdekat, samalah artinya dengan mendekatkan minyak bensin dengan api menyala.64 Dalam kaitannya dengan penyakit HIV AIDS dan juga penyakitpenyakit kelamin lainnya, zina dikatakan sebagai perbuatan keji dan sejahat-jahat perjalanan. Karena perzinaan, manusia akan menularkan virus ini dari satu orang ke orang lain, kemudian orang yang ditular itu dalam jangka waktu 5-10 tahun kemudian, ia akan meninggal. Betapa tanpa disadari manusia saling membunuh sesamanya.65
Ini merupakan
satu contoh saja dan masih banyak contoh lainnya tentang kekejian dari perbuatan zina, sebagaimana yang telah penulis jelaskan dalam bab sebelumnya. Sesungguhnya perzinaan itu hanya secara lahiriah tampaknya memberi kesenangan pada orang-orang yang tak pernah merasa puas karena telah diperbudak oleh nafsunya sendiri. Akan tetapi di baliknya, penderitaanlah yang ditimbulkan bagi umat manusia. Hal ini dapat dipahami karena zina merusak keharmonisan rumah tangga, tindakan yang tidak bertanggung jawab, kacaunya kehidupan masyarakat dan pendidikan
63
Prof. R.H. Soenarjo, SH., Op. Cit., hlm. 429 Prof. Hamka, Tafsir al-Azhar, Juzu’ XXVII, Cet. I, PT. Pustaka Panji Mas, Jakarta, 1987, hlm. 113 65 Prof. Dr. H. Dadang Hawari, Konsep Agama (Islam) Menanggulangi HIV/AIDS, Dana Bhakti Primayasa, Jakarta, 2002, hlm. 20 64
49
anak-anak, serta menimbulkan berbagai macam penyakit rohani dan jasmani.66 E. Moralitas Seksual dalam Islam Islam sebagai agama fitrah juga memandang seksualitas sebagai suatu aspek kehidupan manusia yang sangat penting, karena banyak mempengaruhi aspek kehidupan manusia. Bahkan Allah menciptakan manusia dengan dilengkapi nafsu seksual atau syahwat, sebagaimana ditegaskan Allah dalam al-Qur'an surat Ali Imron ayat 14 :
Artinya: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatangbinatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Q.S. Ali Imron : 14)67 Seks merupakan sarana reproduksi, sekaligus sumber kesenangan dan sesungguhnya juga merupakan pusat keberadaan manusia. Kebutuhan akan seks mempunyai manfaat atau madlarat, membahagiakan atau membencanai, konstruktif atau deskriptif tergantung dari mental orangnya. Sudah banyak terjadi skandal seks yang menyangkut kehidupan orangorang yang menduduki jabatan tinggi dalam pemerintahan negara, yang membawa kepada kehebohan dan kejatuhannya karena mentalnya telah 66
Dr. Bustanuddin Agus, MA., Al-Islam, Ed. I, Cet. I, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993, hlm. 121 67 Prof. R.H.A. Soenarjo, SH., Op. Cit., hlm. 77
50
ditunggangi oleh nafsu syahwatnya sendiri dan tidak bisa mengendalikan atau mengaturnya. Tetapi kalau kebutuhan seks berjalan secara wajar, niscaya dapat menentramkan jiwanya, memiliki prestasi dan mencapai prestasi serta besar rasa tanggung jawabnya terhadap kehidupan berumah tangga, bermasyarakat dan bernegara.68 Agama dapat menjamin kebahagiaan dalam kehidupan umat manusia, keruntuhan moral di bidang seks bagi anak-anak muda bagi orang-orang yang sudah beristeri atau bersuami adalah disebabkan karena mengesampingkan tuntunan agama. Tanpa dasar iman orang mudah diperbudak oleh nafsunya. Sebagaimana hadits Nabi
"ﻻ ﻳﺰﻧﻰ اﻟﺰا: ﻋﻦ اﺑﻲ هﺮﻳﺮة رﺿﻰﷲ ﻋﻨﻪ ان رﺳﻮ ل اﷲ ﺻﻠﻌﻢ وﻻﻳﺴﺮق اﻟﺴﺎ رق وهﻮ ﻣﺆﻣﻦ وﻟﻜﻦ اﻟﺘﻮﺑﺔ،ﻧﻰ وهﻮ ﻣﺆﻣﻦ ."ﻣﻌﺮوﺿﺔ Artinya: “Dari Abu Hurairah ra. Bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “Tidak akan berzina orang yang berzina pada waktu akan berzina dia itu mukmin (beriman), dan tak jadi mencuri pencuri pada waktu dia akan mencuri dia itu mukmin, dan tak jadi minum khamar ketika ia akan meminumnya dia itu mukmin dan akan tetapi taubatlah sebagai penghalangnya”. (HR. Bukhari Muslim)69 Demikianlah salah satu ajaran dalam Islam bahwa iman dan ibadah seseorang itu dapat menginsafkan hati dan mencegah ia dari berbuat jahat, dalam hal ini zina. Islam mensyariatkan kesucian. Seks di luar pernikahan dilarang baik bagi laki-laki maupun perempuan, yang sudah maupun yang belum
68
Salim Sahly, Op. Cit., hlm. 36 Imam Hafidz Abi Isa Muhammad bin Isa bin Shurah at-Turmudzi, Jami’ asShahih, Juz II, Abdul Wahhab Abdul Lathif, Toha Putra, Semarang, t.th., hlm. 127 69
51
berkeluarga. Contoh utama kesucian dalam al-Qur'an adalah perawan Maryam, ibu Nabi Isa as.
Artinya:
“Dan (ingatlah kisah) Maryam yang telah memelihara kehormatannya, lalu kami tiupkan kedalam (tubuh) nya ruh dari kami dan kami jadikan dia dan anaknya tanda (kekuasaan Allah) yang besar bagi semesta alam”. (Q.S. al-Anbiyaa’ : 91)70
Apabila kesucian adalah lambang perasaan batiniah dalam perilaku lahiriah, keperawanan adalah ciri anatomis yang menunjukkan keutuhan selaput dara, karena selaput dara ini hanya sobek bila penis dimasukkan ke dalam vagina (penyobekan ini disebut deflorasi). Selaput dara yang utuh diharapkan terdapat pada setiap wanita yang tak pernah mengalami hubungan seksual kecuali jika terjadi kecelakaan traumatis yang langka pada selaput dara walaupun virgo intacta (keutuhan selaput dara) tidak sama dengan kesucian (yang tentu saja mempunyai makna moral yang lebih komprehensif), akan tetapi ia biasanya harus menyertai kesucian.71 Di beberapa negara, konsep tentang kehormatan seringkali menstimulasi terjadinya kekerasan terhadap wanita.
Bagi suatu
masyarakat, kehilangan keperawanan hanya dapat ditebus dengan darah. Di Mesir misalnya sekalipun hal ini terjadi karena perkosaan, kehormatan keluarga dianggap lebih penting dari pada keadilan individual wanita. Di Bangladesh dan India, korban perkosaan seringkali dipaksa kawin dengan pemerkosanya. Di Pakistan perkosaan dianggap sebagai zina (extra marital sex). Atas dasar hukum Islam wanita harus membuktikan atas
70
Prof. R.H.A. Soenarjo, Op. Cit., hlm. 506 Prof. Dr. Hassan Hathout, Revolusi Seksual Perempuan,Obstetri dan Ginekologi dalam Tinjauan Islam, Tim Penerjemah Yayasan Kesehatan Ibnu Sina, Cet. IV, Mizan, Bandung, 1997, hlm. 82 71
52
dasar keterangan empat saksi laki-laki, kalau tidak dapat dipidana karena zina.72 Islam tidak membolehkan begitu saja seseorang memenuhi tuntutan biologisnya karena Islam telah meletakkan batas-batas syari’at ada yang halal dan ada yang haram. Pengharaman ini tidak berarti mematikan sumber
syahwat,
tetapi
mengarahkannya
kepada
hal
yang
tidak
diharamkan. Hal ini menguatkan bahwa mematikan syahwat tidak ada dasarnya dalam ajaran pendidikan Islam siapapun yang masih membujang jika sudah dikuasai syahwat, ia dibolehkan memilih jalan lain yang bahayanya lebih ringan dengan dasar kaidah ushul “Hendaklah dipilih yang lebih ringan bahayanya dari kedua bahaya dan pilihlah yang lebih rendah keburukannya dari kedua keburukan”. Karena itulah para ahli fikih berpendapat bahwa onani pada dasarnya haram, tetapi dalam keadaan tertentu, jika sudah terdesak bahkan sudah mendorongnya untuk berzina bila tidak onani maka onani tidak berdosa. Oleh karenanya tidak benar jika ada pendapat yang mengatakan bahwa Islam adalah agama pembunuh syahwat dan agama kerahiban.73 Sudah menjadi kodrat alam bahwa manusia dengan jenis kelamin yang berbeda mempunyai daya tarik antara satu dengan lainnya. Hal ini disebabkan oleh kematangan seksual dari individu tersebut. Islam telah menunjukkan jalan keluar yang alami dan terhormat untuk penyalurannya. Jalan keluar tersebut yaitu melalui perkawinan. Dalam al-Qur'an juga telah disebutkan bahwa perkawinan juga ditunjukkan untuk menjaga diri dari perbuatan yang keji yaitu zina. Keterangan ini dapat ditemukan dalam Q.S. an-Nisa’ ayat 25 sebagai berikut :
72
Eko Prasetya dan Suparman Marzuki, Op. Cit., hlm. 138
53
Artinya: “…. Dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari wanita-wanita merdeka yang bersuami. (kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orangorang yang takut kepada kemasyarakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antaramu, ..” (Q.S. an-Nisa’: 25)74 Orang
biasanya
menamakan
bagian
alat
kelamin
dengan
“kemaluan”, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Itu tidak berarti bahwa kita malu mempunyai alat vital ini, justru sebaliknya kita bersyukur kepada Tuhan akan pemberian-Nya yang begitu sangat sempurna. Itulah sebabnya disebut “kemaluan” dengan maksud agar selalu ditutupi atau diamankannya dari kemungkinan cedera.Alat kelamin itu penting tidak hanya bagi kita saja, tetapi juga bagi keturunan kita bahkan generasi yang akan datang. Oleh karenanya alat kelamin itu harus dijaga kebersihan dan kesehatannya.75
73
Dr. Abdullah Nashih Ulwan dan Dr. Hassan Hathout, Pendidikan Seks, Cet.II, PT. Remaja Rosdakarya, Bandug, 1996, hlm. 108 74 Prof. R.H.A. Soenarjo, SH., Op. Cit., hlm. 121 75 Salim Sahly, Op. Cit., hlm. 66