KAJIAN SANKSI PERBUATAN ZINA DALAM HUKUM ISLAM Joni Zulhendra, SH.I,MA Abstract Adultery is sexual intercourse performed by a man and a woman without a valid marriage according to Islamic law. Adultery is adultery halved muhsan and not muhsan. The main factor is the weak faith adultery rampant in our country, as well as the impact of technological advances. How to prevent most major adultery is married to hasten the already capable, as well as by developing the tenets of Islam in this country. the concept of Islamic education should be formulated and implemented. As a solution to the failures and weaknesses of the education system for not educating the young generation moral. There is no other choice, Islamic education has become a choice and priotitas as mandated in the strategic plan for education Canon is immediately applied and is also a moral solution to the problem of the generation. Keywords : Sanctions Adultery In Islamic Law
A. Pendahuluan Dalam menjalani kandungan ajaran Islam maka Allah SWT telah menjanjikan dua hal sebagai balasan atas apapun yang menjadi tindakan umat manusia. Pahala (balasan baik) adalah bagi mereka yang beramal shalih. Dan dosa (balasan buruk) akan berbuah siksa bagi mereka yang melakukan tindak kemaksiatan. Kedua konsekuensi tersebut adalah bukti bagi ke-Maha Adilan Allah SWT. Bagi umat Islam terdapat aktivitas yang menjadi larangan utama. Adapun balasan bagi semua dosa hanyalah satu, yaitu siksa yang sangat pedih. Neraka adalah suatu lembah isolasi bagi
mereka yang berdosa di dalam hidupnya Neraka adalah mimpi buruk bagi setiap manusia yang berlumuran dosa, seperti melakukan perbuatan zina. Zina merupakan perbuatan yang keji sehingga Allah melarang umat manusia untuk mendekatinya, seperti firman Allah SWT “ Dan janganlah kalian mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” Yang dimaksud perbuatan mendekati zina yang dilarang adalah berpacaran yang mengakibatkan pelakunya ingin melakukan zina. Mendekati sesuatu yang dapat merangsang nafsu sehingga mendorong diri kepada perbuatan zina juga termasuk perbuatan mendekati zina. Dalam hukum Islam perzinaan dianggap sebagai suatu perbuatan yang sangat terkutuk dan dianggap sebagai jarimah. Pendapat ini disepakati oleh ulama, kecuali perbedaan hukumannya. Menurut sebagian ulama tanpa memandang pelakunya, baik dilakukan oleh orang yang belum menikah atau orang yang telah menikah, selama persetubuhan tersebut berada di luar kerangka pernikahan, hal itu disebut sebagai zina dan dianggap sebagai perbuatan melawan hukum. Juga tidak mengurangi nilai kepidanaannya, walaupun hal itu dilakukan secara sukarela atau suka sama suka. Meskipun tidak ada yang merasa dirugikan, zina dipandang oleh Islam sebagai pelanggaran seksualitas yang sangat tercela, tanpa kenal prioritas dan diharamkan dalam segala keadaan.1 Anggapan seperti ini sangat jauh berbeda dengan pandangan hukum positif yang bersumber dari hukum Barat. Dalam hukum positif, zina tidak dianggap sebagai suatu pelanggaran 1
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, (Fiqh Jinayah) Untuk IAIN, STAIN, PTAIS, Bandung: Pustaka Setia, 2000, hlm. 69.
dan tentu tidak dihukum, selama tidak ada yang merasa dirugikan. Karena menyandarkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana hanya karena akibat kerugian semata, hukum positif mengalami kesulitan membuktikan, siapa yang merugi dalam kasus seperti ini.2 Sebagai salah satu jarimah kesusilaan, sangat sulit dibuktikan unsur kerugiannya apalagi kalau dilakukan dengan kerelaan kedua belah pihak. Perbuatan seks dalam pandangan Islam adalah sesuatu yang suci.3 Di sisi lain adanya perzinaan maka seks menjadi sesuatu yang kotor, menjijikkan dan menimbulkan berbagai penyakit yang membahayakan kehidupan manusia. Berdasarkan keterangan itu, pantaslah semua agama samawi mengharamkan dan memerangi perzinaan. Terakhir adalah agama Islam, yang dengan sangat keras melarang dan mengancam pelakunya. Yang demikian itu karena zina menyebabkan simpang siurnya keturunan, terjadinya kejahatan terhadap keturunan, dan berantakannya keluarga. Bahkan hingga menyebabkan tercerabutnya akar kekeluargaan, menyebarnya penyakit menular, merajalelanya nafsu, dan maraknya kebobrokan moral.4 Menariknya tulisan ini tentang perzinaan merupakan perbuatan terkutuk yang tetap terjadi, padahal dampaknya bukan hanya sebagai patologi sosial tetapi juga dapat menghancurkan ikatan perkawinan dan rumah tangga. Perbuatan zina dalam bentuk kerusakan yang paling besar serta perbuatan keji yang paling berbahaya yang akan menghancurkan 2
Leden Marpaung, Kejahatan terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya, Jakarta: Sinar Grafika, 1996, hlm. 42. 3 Quraish Shihab, Mistik, Seks, dan Ibadah, Jakarta: Republika, 2004, hlm. 2. 4 Yusuf Qardawi, al-Halal wa al-Haram fi al-Islam, Beirut: Dar al-Ma'rifah, 1986, hlm. 134
masyarakat sebagai hasil dari perbuatan ikhtilath (campur baur antara laki dan perempuan) serta bertabaruj, mereka mendapat peringatan keras B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dari kajian ini adalah bagaimana sanksi perbuatan zina yang terjadi dalam kehidupan masyarakat dalam konsep hukum Islam. C. Pembahasan Perbuatan Zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh seorang lelaki dengan seorang perempuan tanpa nikah yang sah mengikut hukum syarak (bukan pasangan suami isteri) dan keduaduanya orang yang mukallaf, dan persetubuhan itu tidak termasuk dalam takrif (persetubuhan yang meragukan). Jika seorang lelaki melakukan persetubuhan dengan seorang perempuan, dan lelaki itu menyangka bahawa perempuan yang disetubuhinya itu ialah isterinya, sedangkan perempuan itu bukan isterinya atau lelaki tadi menyangka bahawa perkahwinannya dengan perempuan yang disetubuhinya itu sah mengikut hukum syarak, sedangkan sebenarnya perkahwinan mereka itu tidak sah, maka dalam kasus ini keduadua orang itu tidak boleh didakwa dibawah kes zina dan tidak boleh dikenakan hukuman hudud, kerana persetubuhan mereka itu adalah termasuk dalam wati’ subhah iaitu persetubuhan yang meragukan. Mengikut peruntukan hukuman syarak yang disebutkan di dalam AlQur’an dan Al-Hadith yang dikuatkuasakan dalam undang-undang Qanun Jinayah Syar’iyyah bahawa orang yang melakukan perzinaan itu apabila sabit kesalahan di dalam mahkamah wajib dikenakan hukuman hudud, iaitu disebat sebanyak 100 kali sebat. Sebagaimana Firman Allah
Subhanahu Wa Ta’ala yang bermaksud: “ Perempuan yang berzina dan lelaki yang berzina, hendaklah kamu sebat tiap-tiap seorang dari kedua-duanya 100 kali sebat, dan janganlah kamu dipengaruhi oleh perasaan belas kasihan terhadap keduanya dalam menjalankan hukum Agama Allah, jika benar kamu beriman kepada Allah dan hari Akhirat, dan hendaklah disaksikan hukuman siksa yang dikenakan kepada mereka itu oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman”.(Surah An- Nur ayat 2) Media elektronik seperti televisi, internet, CD player, komputer dan sebagainya termasuk menjadi sebab utama krisis moral bangsa ini. Teknologi telah disalah gunakan. Pornografi dan pornoaksi sangat mudah diakses di internet. Tontonan film dan sinetron yang tidak syar’i dan tidak mendidik menghiasi chanel televisi kita. VCD/DVD porno beredar dimana-mana. Menjamurnya buku dan bacaan cabul sangat efektif menghancurkan moral pembacanya, baik novel, komik, maupun majalah yang mengandung pornografi dan pornoaksi. Semua sarana ini menjurus terjadinya zina. Pergaulan bebas di sepanjang jalan protokol ibu kota negeri syariat dengan dalih makan burger ikut mewarnai maksiat malam di lingkungan kita. Kafe-kafe yang menjamur tanpa ada pemisahan tempat duduk antara laki-laki dan perempuan yang non muhrim. Sementara Pemerintah hanya diam saja menjadi penonton budiman tanpa ada tindakan tegas, seakan “mengamini” kondisi maksiat ini. Tidak peduli, baik pelaku zina itu berstatus suami atau istri, mahasiswa, pejabat, dan sebagainya. Perbuatan zina nekad dilakukan hanya untuk
memuaskan nafsu birahi sesaat. Anehnya, pelaku maksiat ini masih berkeliaran di sekitar kita dengan tenang tanpa ada sanksi yang tegas terhadap mereka. Dengan dalih suka sama suka, merekapun terbebas dari jeratan hukum KUHP yang merupakan produk hukum kolonial Belanda. Hal ini dapat berefek negatif terhadap imej orang luar tentang penerapan syariat itu sendiri, dan membuka celah bagi orang “anti syariat” untuk menyerang syariat. Padahal yang salah adalah oknum (orang)nya, bukan sistem syariat yang berorientasi mendatangkan kemaslahatan bagi manusia dan menghilangkan kemudharatan dalam konteks individu maupun sosial. Zina terbagi menjadi dua : 1. Zina muhshan, yaitu zina yang dilakukan oleh seorang lakilaki atau perempuan yang sudah pernah menikah. Hukuman zina muhshan adalah harus dirajam sampai mati, jika memenuhi saksi sejumlah empat orang. 2. Zina ghairu muhshan, yaitu zina yang dilakukan seorang laki-laki atau perempuan yang belum pernah menikah atau masih perjaka/gadis. Bagaimana cara mengetahui seseorang telah melakukan perzinaan? Untuk mengetahui apakah seseorang telah melakukan perbuatan zina atau tidak, hukum Islam menetapkan dua cara, yaitu: 1. Membuktikan perbuatan zina dengan menghadirkan empat orang saksi. Syarat saksi-saksi yang diperbolehkan dalam
kasus perzinaan adalah lakilaki, adil, dan memberikan kesaksian yang sama tentang waktu, tempat, dan pelaku menjalankan perbuatan zina. 2. Terdapat pengakuan dari pelaku sendiri bahwa dirinya telah berzina. Pelaku yang membuat pernyataan berzina syaratnya harus sudah baligh dan berakal. Banyak faktor yang menyebabkan maksiat ini “tumbuh subur” di negeri kita ini. Faktor yang utama adalah lemahnya Iman masyarakat saat ini. Krisis iman ini disebabkan kita telah jauh dari pendidikan dan pengamalan nilainilai Islam. Pendidikan kita selama ini, sejak usia dini sampai tingkat universitas telah membentuk paradigma bahwa dunia adalah segala-galanya, tanpa ada prioritas terhadap agama (iman) dan moral (akhlak). Kita dididik untuk berlomba-lomba mengejar kemewahan dunia (harta, pangkat dan jabatan). Padahal Allah Swt telah mengingatkan kita: “Dan apa saja (kekayaan, jabatan dan keturunan) yang diberikan kepadamu, maka itu adalah kesenangan hidup duniawi dan perhiasannya, sedang apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. Tidakkah kamu mengerti? (QS. Al-Qashah: 60). Selain itu, faktor media elektronik seperti televisi, internet, CD player, komputer dan sebagainya termasuk menjadi
sebab utama krisis moral bangsa ini. Teknologi telah disalah gunakan. Pornografi dan pornoaksi sangat mudah diakses di internet. Tontonan film dan sinetron yang tidak syar’i dan tidak mendidik menghiasi chanel televisi kita. Begitu juga VCD/DVD porno beredar dimana-mana. Media cetakpun memberi andil yang besar terhadap pemikiran dan moral pembaca. Menjamurnya buku dan bacaan cabul sangat efektif menghancurkan moral pembacanya, baik novel, komik, maupun majalah yang mengandung pornografi dan pornoaksi. Semua sarana ini menjurus terjadinya zina. Selain itu, kita sendiri telah memberikan peluang untuk maksiat ini. Kita membiarkan remaja kita (yang belum menikah) berkhalwat dengan pacaran, jalan dua-duaan, dan berboncengan motor. Pergaulan bebas di sepanjang jalan protokol ibu kota negeri syariat dengan dalih makan burger ikut mewarnai maksiat malam di negeri ini. Kafe-kafe yang menjamur tanpa ada pemisahan tempat duduk antara laki-laki dan perempuan yang non muhrim. Pakaian para wanita pun mengundang birahi lawan jenisnya (ketat, tipis dan nampak aurat). Sementara Pemerintah hanya diam saja menjadi penonton budiman tanpa ada tindakan tegas, seakan “mengamini” kondisi maksiat ini. Dalam tulisan ini, sanksi bagi pelaku zina dalam hukum Islam adalah :
Pelaku zina ada yang berstatus telah menikah (alMuhshân) dan ada pula yang belum menikah (al-Bikr). Keduanya memiliki hukuman berbeda. Hukuman pezina diawal Islam berupa kurungan bagi yang telah menikah dan ucapan kasar dan penghinaan kepada pezina yang belum menikah (al-Bikr). Allah Azza wa Jalla berfirman : " Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya. Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang". [an-Nisâ`/ 4:15-16] Kemudian sanksi itu diganti dengan rajam (dilempar batu) bagi yang telah menikah (al-Muhshân) dan dicambuk seratus kali bagi yang belum menikah (al-Bikr) dan ditambah pengasingan setahun.5 a. Pezina al-Muhshân Pezina yang pernah menikah (al-Muhshân) dihukum rajam (dilempar dengan batu) sampai mati. Hukuman ini berdasarkan al-Qur`an, hadits mutawatir dan ijma’ kaum muslimin[7]. Ayat yang 5
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 2007, hlm 50.
menjelaskan tentang hukuman rajam dalam al-Qur`an meski telah dihapus lafadznya namun hukumnya masih tetap diberlakukan. Umar bin Khatthab Radhiyallahu 'anh menjelaskan dalam khuthbahnya : Sesungguhnya Allah telah menurunkan al-Qur`an kepada NabiNya dan diantara yang diturunkan kepada beliau adalah ayat Rajam. Kami telah membaca, memahami dan mengetahui ayat itu. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melaksanakan hukuman rajam dan kamipun telah melaksanakannya setelah beliau. Aku khawatir apabila zaman telah berlalu lama, akan ada orang-orang yang mengatakan: “Kami tidak mendapatkan hukuman rajam dalam kitab Allah!” sehingga mereka sesat lantaran meninggalkan kewajiban yang Allah Azza wa Jalla telah turunkan. Sungguh (hukuman) rajam adalah benar dan ada dalam kitab Allah untuk orang yang berzina apabila telah pernah menikah (al-Muhshân), bila telah terbukti dengan pesaksian atau kehamilan atau pengakuan sendiri". Ini adalah persaksian khalifah Umar bin al-Khatthâb Radhiyallahu 'anhu diatas mimbar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang dihadiri para sahabat sementara itu tidak ada seorangpun yang mengingkarinya. Sedangkan lafadz ayat rajam tersebut diriwayatkan dalam Sunan Ibnu Mâjah berbunyi : "Syaikh lelaki dan perempuan apabila keduanya berzina maka rajamlah keduanya sebagai balasan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Allah maha perkasa lagi maha bijaksana.
sempurna.6 Orang yang telah mendapatkan kenikmatan sempuna (lalu masih berbuat kriminal) maka kejahatannya (jinayahnya) lebih keji, sehingga ia berhak mendapatkan tambahan siksaan.
Sedangkan dasar hukuman rajam yang berasal dari sunnah, maka ada riwayat mutawatir dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam baik perkataan maupun perbuatan yang menerangkan bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah merajam pezina yang al-Muhshân (ats-Tsaib al-Zâni). Ibnu al-Mundzir rahimahullah menyatakan: Para ulama telah berijma’ (sepakat) bahwa orang yang dihukum rajam, terus menerus dilempari batu sampai mati. Ibnu Qudâmah rahimahullah menyatakan: Kewajiban merajam pezina al-muhshân baik lelaki atau perempuan adalah pendapat seluruh para ulama dari kalangan sahabat, tabi’in dan ulama-ulama setelah mereka diseluruh negeri islam dan kami tidak mengetahui ada khilaf (perbedaan pendapat diantara para ulama) kecuali kaum Khawarij.
Syarat al-Muhshân.
1.
2.
Meski demikian, hukuman rajam ini masih saja diingkari oleh orangorang Khawarij dan sebagian cendikiawan modern padahal mereka tidak memiliki hujjah dan hanya mengikuti hawa nafsu serta nekat menyelisihi dalil-dalil syar’i dan ijma’ kaum muslimin. Wallahul musta’an.
3. 4. 5.
Rajam tidak diwajibkan kecuali atas orang yang dihukumi alMuhshân. Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa seorang dihukumi sebagai al-Muhshaan apabila memenuhi kriteria sebagai berikut: Pernah melakukan jima’ (hubungan seksual) langsung di kemaluan. Dengan demikian, orang yang telah melakukan aqad pernikahan namun belum melakukan jima’ , belum dianggap sebagai al-Muhshân. Hubungan seksual (jima’) tersebut dilakukan berdasarkan pernikahan sah atau kepemilikan budak bukan hubungan diluar nikah Pernikahannya tersebut adalah pernikahan yang sah. Pelaku zina adalah orang yang baligh dan berakal. Pelaku zina merdeka bukan budak belian. Dengan demikian seorang dikatakan al-Muhshân, apabila kriteria diatas sudah terpenuhi.
Hukuman rajam khusus diperuntukkan bagi pezina almuhshân (yang sudah menikah dengan sah-red) karena ia telah menikah dan tahu cara menjaga kehormatannya dari kemaluan yang haram dan dia tidak butuh dengan kemaluan yang diharamkan itu. Juga ia sendiri dapat melindungi dirinya dari ancaman hukuman zina. Dengan demikian, udzurnya (alasan yang sesuai syara’) terbantahkan dari semua sisi . dan dia telah mendapatkan kenikmatan
b. Pezina Yang Tidak al-Muhshân Pelaku perbuatan zina yang belum memenuhi kriteria almuhshân, maka hukumannya adalah dicambuk sebanyak seratus kali. Ini adalah kesepakatan para ulama berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : "Perempuan yang berzina dan lakilaki yang berzina, maka deralah (cambuklah) tiap-tiap seorang dari 6
Ibid, h.51
keduanya seratus kali dera (cambuk)". [An-Nûr/24:2] Al-Wazîr rahimahullah menyatakan : “Para ulama sepakat bahwa pasangan yang belum almuhshân dan merdeka (bukan budak-red), apabila mereka berzina maka keduanya dicambuk (dera), masing-masing seratus kali. Hukuman mati (dengan dirajamred) diringankan buat mereka menjadi hukuman cambuk karena ada udzur (alasan syar’i-red) sehingga darahnya masih dijaga. Mereka dibuat jera dengan disakiti seluruh tubuhnya dengan cambukan. Kemudian ditambah dengan diasingkan selama setahun menurut pendapat yang rajah, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam "Ambillah dariku! ambillah dariku! Sungguh Allah telah menjadikan bagi mereka jalan, yang belum almuhshaan dikenakan seratus dera dan diasingkan setahun." [HR Muslim]. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan : “Apabila tidak muhshân , maka dicambuk seratus kali, berdasarkan al-Qur`an dan diasingkan setahun dengan dasar sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Oleh karena sanksi dalam hukum Islam begitu jelasnya, penulis menganjurkan untuk melaksanakan pernikahan yang merupakan bentuk penyaluran naluri seks yang dapat membentengi seorang muslim dari jurang kenistaan. Maka, dalam masalah ini nikah adalah solusi jitu yang ditawarkan oleh Rasulullah saw. Selain itu, penerapan syariat Islam merupakan solusi terhadap berbagai problematika moral ini dan penyakit sosial lainnya. Karena
seandainya syariat ini diterapkan secara kaffah (menyeluruh dalam segala aspek kehidupan manusia) dan sungguh-sungguh, maka sudah dapat dipastikan tingkat maksiat khalwat, zina, pemerkosaan dan kriminal lainnya akan berkurang drastic, seperti halnya di Arab Saudi. Survei membuktikan, kasus kriminal di Arab Saudi paling sedikit di dunia. Orang tua pun sangat berperan dalam pembentukan moral anaknya dengan memberi pemahaman dan pendidikan islami terhadap mereka. Orang tua hendaknya menutup peluang dan ruang gerak untuk maksiat ini dengan menyuruh anak gadisnya untuk berpakaian syar’i (tidak ketat, tipis, nampak aurat dan menyerupai lawan jenis). Memberi pemahaman akan bahaya pacaran dan pergaulan bebas. Dalam konteks kehidupan masyarakat, tokoh masyarakat dapat memberikan sanksi tegas terhadap pelaku zina sebagai preventif (pencegahan). Jangan terlalu cepat menempuh jalur damai “nikah”, sebelum ada sanksi secara adat, seperti menggiring pelaku zina ke seluruh kampung untuk dipertontonkan dan sebagainya. Selain itu, majelis ta’lim dan ceramah pula sangat berperan dalam mendidik moral masyarakat dan membimbing mereka. Begitu pula sekolah, dayah dan kampus sebagai tempat pendidikan secara formal dan informal mempunyai peran dalam pembentukan moral pelajar/mahasiwa. Dengan diajarkan mata pelajaran Tauhid, Al-Quran, Hadits dan Akhlak secara komprehensif dan berkesinambungan, maka para pelajar/mahasiswa diharapkan tidak hanya menjadi seorang muslim
yang cerdas intelektualnya, namun juga cerdas moralnya (akhlaknya). Peran Pemerintah dalam amal ma’ruf nahi munkar mesti dilakukan. Pemerintah diharapkan mengawasi dan menertibkan warnet-warnet, salon-salon, kafekafe dan pasangan non-muhrim yang berboncengan. Karena, bisa memberi celah dan ruang untuk maksiat ini. Mesti ada tindak pemblokiran situs-situs porno sebagaimana yang diterapkan di Negara Islam lainnya seperti Arab Saudi, Iran, Malaysia dan sebagainya. Pemerintah hendaknya bersungguh menegakkan syariat Islam di Bumi Serambi Mekkah ini, dengan membuat QanunQanun yang islami, khususnya Qanun Jinayat (hukum pidana) dengan sanksi yang tegas, demi terciptanya keamanan, kenyamanan dan ketentraman di negeri ini. Di samping itu, konsep pendidikan Islami mesti segera dirumuskan dan diterapkan. Sebagai solusi atas kegagalan dan kelemahan sistim pendidikan selama ini yang tidak mendidik moral generasi bangsa. Tidak ada pilihan lain, pendidikan Islami sudah menjadi pilihan dan priotitas seperti yang diamanatkan dalam renstra Qanun pendidikan untuk segera diterapkan dan juga merupakan solusi terhadap permasalahan moral generasi bangsa D. Kesimpulan Zina merupakan persetubuhan yang dilakukan oleh seorang lelaki dengan seorang perempuan tanpa nikah yang sah menurut hukum islam. Zina dibagi dua yaitu zina muhsan dan bukan muhsan. Faktor utama maraknya zina adalah lemah iman di Negara kita ini, serta pengaruh kemajuan teknologi. Cara mencegah
zina yang paling utama adalah menyegerakan menikah bagi yang sudah mampu,serta dengan mengembangkan syariat islam di negeri ini.
DAFTAR PUSTAKA Abdul Wahhab Khallaf Kaidah Hukum Islam Jakarta : Rajawali Press, 1996 Leden Marpaung, Kejahatan terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya, Jakarta: Sinar Grafika, 1996. Quraish Shihab, Mistik, Seks, dan Ibadah, Jakarta: Republika, 2004 Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, (Fiqh Jinayah) Untuk IAIN, STAIN, PTAIS, Bandung: Pustaka Setia, 2000. Yusuf Qardawi, al-Halal wa al-Haram fi al-Islam, Beirut: Dar al-Ma'rifah, 1986. Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 2007.