BAB II BENTUK-BENTUK SYIQAQ DAN NUSYUZ DALAM KONFLIK RUMAH TANGGA
A. Pengertian Syiqaq dan Nusyuz 1. Pengertian Syiqaq Syiqaq adalah perselisihan, percekcokan, dan permusuhan. Perselisihan yang berkepanjangan dan meruncing antara suami istri. Kamal Muchtar, peminat dan pemerhati hukum Islam dari Indonesia, pengarang buku asas-asas hokum Islam tentang perkawinan, mendefinisikan Sebagai perselisihan suami istri yang diselesaikan oleh dua orang hakam (juru damai).1 Syiqaq merupakan perselisihan yang berawal dan terjadi pada kedua belah pihak suami dan istri secara bersama-sama. Dengan demikian, syiqaq berbeda dengan Nusyuz, yang perselisihannya hanya berawal dan terjadi pada salah satu pihak, suami atau istri. Untuk mengatasi kemelut rumah tangga yang meruncing antara suami dan istri agama Islam memerintahkan agar diutus dua orang hakam (juru damai). Pengutusan hakam ini bermaksud untuk menelusuri sebab terjadinya syiqaq dan berusaha mencari jalan keluar guna memberikan penyelesaian terhadap kemelut rumah tangga yang dihadapkan oleh kedua suami istri tersebut. 2. Pengertian Nusyuz Secara etimologi lafad Nusyuz adalah akar (Masdar) dari lafad Nusyaza, Yansyuzu, dalam arti: terangkat, lafad Nusyuz diambil dari lafad Nasyzi, yang berarti sesuatu yang terangkat dari Bumi.2 Abu Ubaid berkata “Nusyuz atau Nasyazi” adalah sesuatu yang tebal dan keras.” 1
Dahlan Abdul Azis, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), hlm. 1708. 2 Shalih bin Ghonim As-Sadlan, Kesalahan-Kesalahan Istri, (Jakarta : Pustaka Progresif, 2004), Hlm. 3.
12
13
Nusyuz secara terminologi adalah suatu fenomena yang sebenarnya berasal dari perempuan, tetapi ada kalanya juga ditimbulkan dari laki-laki, walaupun bisa jadi berawal dari keduanya dengan saling menuduh dan saling menghujat terhadap salah satunya. Ulama Fiqh mengartikulasikan Nusyuz dengan pengertian yang lebih umum, mereka berpendapat bahwa Nusyuz kemungkinan bisa dari pihak istri atau suami dengan melihat konteks ayat diatas. Nusyuz adalah konklusi yang tidak bisa dihindari dari pertikaianpertikaian besar yang menimpa pasangan suami istri. Telah diketahui, bahwa manakala pertikaian-pertikaian berjalan cukup lama, ia pun akan menjadi semakin gawat dan melahirkan suasana kebencian serta permusuhan
yang
kadang
kala
pada
klimaksnya
sampai
pada
keberpalingan. Dari kasus semacam ini yang kemudian muncul adalah kata Nusyuz, yaitu keluarnya suami istri atau salah satunya dari tugas dan kewajibannya, dan dia tidak melaksanakannya karena keengganan dan tidak mau patuh.3 B. Bentuk-Bentuk Dan Ciri-Ciri Nusyuz Nusyuz mempunyai ciri-ciri dan keadaan-keadaan yang telah dijelaskan oleh Allah dalam Al Qur’an. Keadaan Pertama, pendurhakaan yang dilakukan istri : Al Qur’an menyebutkan keadaan seperti ini dan menjelaskan bagaimana menyikapi dan sekaligus pula penyelesaiannya. Keadaan Kedua, bentuk Nusyuznya suami. Keadaan Ketiga, adalah Nusyuz dari kedua belah pihak. a. Nusyuz dari Seorang Istri Nusyuz dari pihak istri adalah bahwa sang suami terlepas dari tanggung jawabnya, dan bahwa istrinyalah yang keluar dari bingkai kepatuhan, atau melakukan sesuatu yang dibenci.4 Dan dialah yang
3
Ra’d Kamil Al-Hayali, Memecahkan Perselisihan Keluarga Menurut Qur’an dan Sunnah, (Yogyakarta : Mitra Pustaka, 2004), hlm. 64. 4 Kamil Al-Hayali, Solusi Islam Dalam Konflik Rumah Tangga, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 40.
14
kemudian akan menanggung akibat Nusyuznya, bukan suaminya, sebagai firman Allah Surat An Nisa’ ayat 34 diatas. Ibnu Taimiyah sebagai mana dikutip oleh Shalih bin Ghanim dalam kesalahan-kesalahan istri berpendapat bahwa Nusyuz adalah bentuk pendurhakaan istri terhadap suami kemudian lari dari suami dengan arti tidak taat padanya ketika sang suami menginginkannya untuk melakukan persetubuhan, atau keluar dari rumah tanpa seizinnya maupun perbuatan yang lain, karena kesemuanya itu berarti ketidakmauan istri untuk melakukan kewajibannya untuk taat pada suami.5 Dengan melihat definisi yang dipaparkan Ibnu Taimiyah, para ahli fiqh mengklasifikasikan Nusyuznya isteri pada empat poin. 1. Meninggalkan
berhias
di
hadapan
suami
sedangkan
suami
menginginkannya. 2. Melakukan
pisah
ranjang
dan
menolak
untuk
menanggapi
panggilannya. 3. Keluar dari rumah tanpa seijin suami atau tanpa hal Syar’i. 4. Meninggalkan kewajiban-kewajiban agama atau sebagainya seperti Shalat, Puasa Ramadhan.6 b. Nusyuz dari Pihak Suami. Nusyuz dari pihak suami adalah sesuatu yang sangat frontal dan berbahaya. Paling tidak, ia akan berpengaruh buruk terhadap kebahagiaan rumah tangga dan bahkan bisa meruntuhkannya. Dan bahwa, peristiwaperistiwa yang tidak di inginkan dan yang ditimbulkannya lebih banyak dari pada yang di timbulkan oleh Nusyuz istri.7 Sebagai Firman Allah Q.S. An Nisa’ : 128. Hal ini benar, mengingat suami seperti yang kita ketahui, adalah kepala dan tiang penyangga rumah tangga. Dialah yang mengatur roda keluarga dan di tangan suamilah tanggung jawab tergenggam. Nusyuz dari suami bisa berbentuk ucapan maupun perbuatan ataupun kedua-duanya 5
Shalih bin Ghonim As-Sadlan, op .cit., hlm. 8. Ibid, hlm. 9. 7 Ra’d Kamil Al-Hayali, op.c it., Hlm. 94. 6
15
secara bersamaan. Sebagai contoh, suami memutuskan pembicaraan dan komunikasi terhadap istri tanpa alasan yang jelas. Dari uraian diatas dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa Nusyuz dari suami mempunyai beberapa dimensi pembahasan dalam istilah syara’: -
Perlakuan congkak, sombong, dan acuh tak acuh yang ditonjolkan oleh suami terhadap istrinya.
-
Memusuhi dengan memukul, menyakiti, menyakiti dan melakukan hubungan yang tidak baik.
-
Tidak melaksanakan kewajibannya memberi nafkah.
-
Memperlakukan istri dengan keras dengan melakukan pisah ranjang dan menolak berbicara, dll.8
c. Nusyuz dari kedua pihak suami dan istri Pendurhakaan, perpecahan, perselisihan dan interaksi yang buruk dari kedua belah pihak baik suami maupun istri bisa membawa pada persengketaan dan kehancuran. Hal itu mengakibatkan dampak negatif yang tidak hanya terhadap suami maupun istri, namun juga menjalar terhadap keluarga, anak-anak dan komunikasi masyarakat dalam skala yang lebih jelas. Contohnya kebencian yang berasal dari salah satu diantara mereka untuk melakukan komunikasi terhadap pasangannya.9 Kejadian ini digambarkan dengan bentuk penganiayaan yang dilakukan keduanya seperti congkak terhadap suami dengan melawan perintah-perintahnya dan menolak permintaannya serta sang istri berusaha keluar dari jeratan pengaruh suaminya. Adapun bentuk-bentuk konflik dalam rumah tangga yang bias menghancurkan bahtera kehidupan rumah tangga adalah sebagai berikut :
8 9
Shalih bin Ghonim As-Sadlan, op .cit., hlm.10. Ibid., hlm 24
16
1. Konflik antara suami dan istri. Sering kali dalam membangun kehidupan rumah tangga yang sakinah antara suami dan istri belum terjalin visi yang jelas. Biasanya, istri selalu meminta sang suami untuk menuruti setiap kehendaknya. Namun ironisnya, sang istri selalu menolak apa yang diperintahkan suami terhadapnya. Kesalahan inilah yang berujung pada perbuatan Nusyuz, yaitu durhakanya istri terhadap suami atau sebaliknya yaitu durhakanya suami terhadap isteri. a. Istri tidak memenuhi kewajiban suami. Standar utama mencapai keharmonisan dan cinta kasih serta sayang adalah kepatuhan istri dalam rumah tangganya. Allah menggambarkan perempuan yang sholeh dengan perempuan yang patuh terhadap suaminya serta menjadi wali bagi suaminya.10 Dalam hal ini seorang istri harus menta’ati perintah dari seorang suami, asalkan perintah tersebut tidak melenceng dari jalan Islam. Adapun yang termasuk istri tidak memenuhi kewajiban suami adalah : 1) Meninggalkan
berhias
dihadapan
suami,
sedangkan
suami
menginginkannya (tidak berpenampilan menarik). Bagaimana mungkin suami akan merasa nyaman jika bersanding dengan istrinya yang berpenampilan tidak menarik, dengan baju dan badan yang kotor karena belum mandi sehingga muncul bau badan yang kurang sedap. Ini juga menjadi salah satu penyebab
suami
gampang
berpaling
kewanita
lain,
yang
11
membuatnya lebih nyaman dan senang disampingnya.
Wajah yang sedap saat dipandang merupakan magnet utama kenyamanan lawan jenis. Wajah ceria dan penuh senyum sangatlah
penting
pada
saat
menyambut
teman-temannya,
keluarganya dan khususnya ketika berinteraksi dengan suami. Bahkan senyum seorang istri terhadap suami dan orang lain adalah 10
Muhammad M. Dlori, Dicintai Suami (Istri) Sampai Mati, (Yogya, Kata Hati, 2005),
11
Ibid, hlm. 93.
hlm. 87.
17
termasuk ibadah.12 Sebagai mana sabda Nabi “Bahkan senyummu ketika melihat saudaramu dianggap sebagai ibadah” 2) Tidak memuaskan hasrat seksual suami (melakukan pisah ranjang dan menolak untuk menanggapi panggilannya. Seks adalah kebutuhan pria dan wanita, karena itu mereka (para istri) adalah pakaian bagi kamu (suami) dan kamupun adalah pakaian bagi mereka.13 Hubungan seks dalam rumah tangga ternyata bukan sebatas sarana melainkan sebagai satu tujuan. Terpenting yang harus dijaga oleh kaum perempuan agar kepuasan seks suaminya tetap terjaga. Dari ungkapan itu istri wajib memuaskan seks suami selagi masih dalam batas-batas kewajaran dan tidak menyalahi hukum syariat Islam. Istri wajib memenuhi tugas seksualnya terhadap suami. Istri tidak boleh menolak kecuali karena alasan-alasan yang dapat diterima atau dilarang hukum.14 3) Keluar dari rumah tanpa seijin suami atau tanpa hak syar’i. Keluarnya istri dari rumah tanpa seijin suami walaupun untuk menjenguk orang tua adalah merupakan kedurhakaan istri terhadap suami, karena hal itu bias menyebabkan kerusakan dan kehancuran rumah tangga. 4) Tidak mampu mengatur keuangan. Disamping istri wajib memelihara dan mendidik anakanaknya, istri juga wajib memelihara harta suaminya. Dengan kata lain tidak boros, berlaku hemat demi masa depan anak-anaknya dan belanja secukupnya tidak hura-hura. Kalau istri boros, itu merupakan kesalahan istri dalam mengatur keuangan keluarga, karena hal itu sama halnya dengan seorang istri yang tidak dapat menjaga harta kekayaan suami yang 12
Fatimah Umar Nasif, “Hak dan Kewajiban Perempuan Dalam Islam,” (Bandung : Cendikiawan, 1999), hlm. 236. 13 M. Quraish Shihab, “Tafsir Al-Misbah Vol I,” (Jakarta, Lentera Hati, 2000), hlm.384. 14 Muhammad M. Dlori, op .cit, hlm. 91.
18
dipercayakan kepadanya. Bila hal ini dilakukan terus maka akan mengakibatkan munculnya keretakan dalam rumah tangga. 5) Meninggalkan
kewajiban-kewajiban
agama
atau
sebagainya
seperti: Shalat, puasa, ramadhan dan zakat serta kewajiban yang lain.15 b. Seorang Suami tidak memenuhi kewajiban istri. Dalam rumah tangga tidak hanya istri yang selalu memenuhi kewajibannya sebagai istri, suami pun harus memenuhi kewajibannya sebagai suami terhadap istri. Karena kedua belah pihak sudah melakukan ikatan pernikahan. Maka kedua-duanya harus menjalankan kewajibannya masing-masing. Kita tidak langsung boleh menyalahkan seorang istri yang telah berkianat dengan berlaku serong bersama laki-laki lain. Boleh juga kita menyalahkan suami karena penganggurannya dan tidak mau berusaha sungguh-sungguh. Adapun hal yang termasuk suami tidak memenuhi kewajiban istri adalah sebagai berikut: 1) Ketidakmampuan suami menafkahi keluarganya Setiap suami harus memahami bahwa istri adalah amanah yang dibebankan di pundak suami dan merupakan keharusan baginya untuk memberikan nafkah sejauh kemampuannya. Suami harus memberikan nafkah lahir batin pada istrinya dengan kemampuannya, suami memberi makan, minum dan pakaian serta menggaulinya dengan sebaik mungkin dan dengan kemampuannya asalkan tidak mendholimi istrinya.16 Ulama mazhab imamiyah berpendapat bahwa, nafkah itu diukur berdasarkan kebutuhan istri yang terdiri dari pangan, lauk pauk, pakaian, tempat tinggal, pelayan, dan alat-alat rumah tangga,
15
Salih Bin Ghonim As Sadlan, “Kesalahan-Kesalahan Istri”, (Jakarta : Pustaka Progresif, 2004), hlm. 236. 16 Adil Fathi Abdullah, Ketika Suami Istri Hidup Bermasalah, (Jakarta: Gema Insani, 2005), hlm. 20.
19
yang semuanya itu sesuai dengan tingkat kehidupan daerahnya. Bagaimanapun, dalam hal memberi nafkah ini kita harus mempertimbangkan kondisi suami terlebih dahulu. Hal ini dijelaskan Allah SWT dalam Al Qur’an.
ﻩ ﺍﻟﻠﱠﻪ ﺎﺎ ﺁﺗﻖ ِﻣﻤ ﻨ ِﻔﻴ ﹶﻓ ﹾﻠﺯﻗﹸﻪ ﻴ ِﻪ ِﺭﻋﹶﻠ ﺭ ﻦ ﻗﹸ ِﺪ ﻣ ﻭ ﻌِﺘ ِﻪ ﺳ ﻦ ﻌ ٍﺔ ِﻣ ﺳ ﻖ ﺫﹸﻭ ﻨ ِﻔﻴِﻟ ﺮﹰﺍﻳﺴ ﺴ ٍﺮ ﺪ ﻋ ﻌ ﺑ ﻪ ﻌﻞﹸ ﺍﻟﱠﻠ ﺠ ﻴﺳ ﺎﺎﻫﺎ ﺁﺗﻧﻔﹾﺴﹰﺎ ِﺇﻟﱠﺎ ﻣ ﻪ ﻒ ﺍﻟﱠﻠ ﻳ ﹶﻜﻠﱢ ﻟﹶﺎ “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya, Allah tidak memikulkan beban kepada orang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya.” (At Thalaq : 7).17 Dengan firman diatas, seorang suami tetap wajib menafkahi istrinya meski dalam kondisi sulit. Dalam hal ini, posisi suami termasuk lemah dalam menafkahi istrinya.18 2) Suami tidak pengertian kepada istri. Banyak sang suami yang tidak mengetahui gangguangangguan kodrati yang dialami istri, seperti sedang hamil, haid, nifas, dan lain-lain. Apalagi disaat istri sedang mengidam sang suami harus pengertian pada sang istri. Mengidam adalah keinginan sang istri yang sangat mendesak terhadap sesuatu disaat dalam keadaan hamil. Boleh jadi mengidam itu diingini oleh semangat ketidaksukaannya terhadap sesuatu, sehingga ia tidak bisa melihat atau menciumnya, kadang juga membenci sang suami dan rumah. Dalam keadaan ini suami istri harus mengerti kondisi yang dialami sang istri.19Untuk
17
Soenarjo, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: Toha Putra, 1989), hlm. 946. Muhammad Tawad Mughaiyah, Fiqih Lima Mazhab : Ta’fari Hanafi, Maliki, Syafi’I, Hambali, (Jakarta: Penerbit Lentera, 1996), hlm. 432. 19 Muhammad Bin Ibrahim Al-Hamd, Kesalahan-Kesalahan Suami, Surabaya, (Pustaka Progresif, 2004), hlm. 76. 18
20
memahami kondisi seperti ini, suami harus faham terlebih dahulu tentang keberadaan istri yang terkadang kurang terbuka dan sering merugikan diri sendiri pada kondisi-kondisi tertentu dimana kekurangan-kekurangan yang berhubungan dengan rumah tangga tidak terpenuhi. Karena itu alangkah baiknya jika suami lebih faham dan pengertian tentang kekurangan yang dihadapi oleh istri. Kedua belah pihak harus menjaga perasaan. Jika tidak ada rasa pengertian dan perasaan yang terjaga maka akibatnya timbul gejolak dalam rumah tangga. 3) Suami tidak mampu memuaskan hasrat seks istri. Ejakulasi dini merupakan bentuk seks dimana suami tidak dapat memuaskan istri, karena sperma keluar terlalu cepat sehingga membuat istri tidak mencapai orgasme. Dari sana kemudian muncul depresi seks yang tidak sampai pada puncaknya ketika berhubungan badan.20 Kaum perempuan akan renta sekali mengalami friqiditas, yang berarti tidak gampang puas atau sulit mencapai orgasme. Inilah yang harus diperhatikan suami, karena itu suami harus mempunyai strategi seks yang bisa sama-sama puas dan seimbang. Seperti yang sudah dijelaskan buku kamasutra (kama : keinginan dan sutra : tujuan). 4) Suami kurang peduli terhadap pendidikan agama istri. Diantara meremehkan
kewajiban
hak-haknya
suami untuk
terhadap
diberikan
istri,
adalah
pengajaran
dan
pendidikan serta pemahaman agama. Boleh jadi, suami adalah seorang saleh, alim, terpelajar, akan tetapi tidak peduli terhadap agama istri dan keluarganya.21 Penyair mengatakan: “Ada orang yang peduli terhadap orang-orang jauh, tetapi dia sangat berat untuk membimbing dan mendidik orang-orang paling dekat yang selalu mendidik orang20 21
Muhammad M. Dlori, op. cit, hlm. 111. Ibid., hlm. 33.
21
orang paling dekat yang selalu mendidik orang-orang paling dekat yang selalu mengelilinginya.” Sikap semacam ini tidak diragukan lagi. Sebab kebodohan adalah penyakit yang membahayakan, dan kebodohan akan mengerikan. Apabila istri tidak memahami agama, ia tidak akan memahami hak-hak suami, tidak akan mampu mendidik puteraputeri, dan tidak akan memelihara rumah tangganya, bahkan tidak akan melaksanakan perintah-perintah Allah. 2. Cara Penyelesaiannya Apabila pasangan suami istri saling bermusuhan, dan terjadi perselisihan antar mereka semakin mengkristal (mengeras), keduanya saling mengaku bahwa dirinyalah yang telah memenuhi hak-hak dan kewajiban
atas
pasangannya.
Ataupun
suami
tidak
memenuhi
kewajibannya terhadap istri atau sebaliknya. Sehingga, hal ini mengakibatkan semakin kacaunya kondisi keluarga, sementara salah satunya tidak ada kemauan dan keinginan untuk berupaya melakukan suatu pendekatan dan melakukan perbaikan. Maka suasana yang sedemikian rupa bisa mengancam kelangsungan rumah tangga hancur. Sehingga dibutuhkan pertolongan dan campur tangan dari pihak luar agar bisa membantu keduanya dan melakukan intervensi guna proses perdamaian bagi kedua pasangan tersebut. Dalam hal demikian yang berhak pertama kali untuk mendamaikan keduanya adalah seorang hakim muslim, yang bisa merekatkan kembali hubungan rumah tangganya. Adapun dalam menyelesaikannya dibutuhkan tiga tahap dalam menyelesaikan proses perdamaian.22 Pertama, menasihati dan mengingatkan keduanya dengan akibat dan dampak yang bisa ditimbulkan dan di dapati keduanya, sekaligus menjelaskan bahwa apa yang dilakukan keduanya adalah suatu kesalahan.
22
Sri Suhandjati sukri, Perempuan Menggugat (kasus dalam Al Qur’an dan Dialitas Masa Kini), (Semarang : pustaka Adnan, 2005) hlm. 183-184.
22
Kedua, melakukan pukulan terhadap keduanya suami dengan ijtihadnya. Ketiga, mengkarantina (menjauhkan) keduanya diantara orangorang shalih yaitu orang-orang yang bisa diterima kesaksiannya, atau dari orang muslim yang dipercaya akan keadilan serta dihormati oleh kedua pasangan tersebut. Usaha semacam ini diharapkan mampu melihat akar permasalahan dan menemukan siapa yang sebenarnya melakukan kezaliman dan akhirnya mengambil sebuah sikap solusi. C. Pengertian Nikah dan Rumah Tangga Islam dalam Al Qur’an 1. Pengertian Nikah Secara bahasa pada mulanya kata nikah digunakan dalam arti “berhimpun penggabungan dan pencampuran”. Dalam kamus besar bahasa Indonesia mengartikan kata “Nikah” sebagai, Pertama : perjanjian antara laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi); Kedua : Sebagai pernikahan.23 Sedangkan menurut istilah syariat, nikah berarti akad antara laki-laki dan wali perempuan yang karenanya hubungan badan menjadi halal.24 Menurut ulama’ fiqih arti nikah adalah “Suatu akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim dan menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya. Dalam pengertian yang luas, pernikahan adalah merupakan suatu ikatan lahir antara dua oaring laki-laki dan perempuan, untuk hidup bersama dalam satu rumah tangga dan keturunan yang dilangsungkan menurut ketentuan-ketentuan syariat Islam.25 Pernikahan merupakan dasar pembentukan sebuah keluarga yang merupakan proses pelestarian nilai-nilai kemanusiaan secara terhormat
23
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta : Balai Pustaka, 1994), hlm. 752. 24 Hasbi Indra, MA., Potret Wanita Solehah, (Jakarta : Penamadani, 2005), hlm. 78. 25 H. Moh. Rifai, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, (Semarang : Toha Putra, 1978), hlm. 453.
23
untuk menciptakan kehidupan yang bahagia, sejahtera. Pernikahan juga mengharuskan sepasang suami istri menuju kesempurnaan moral dan mental serta kesejahteraan jiwa dan raga. Allah telah menjadikan pernikahan sebagai sunnah-Nya dalam upaya menjamin keberlangsungan makhluk. Sepasang suami istri talah melakukan pernikahan akan memiliki keturunan. Setiap generasi itu pasti akan mempunyai keturunan kembali. Proses ini akan menjamin kelangsungan kehidupan yang merupakan bukti kekuasaan dan kebesarannya. Pernikahan dalam Islam merupakan perjanjian, akad atau perjanjian yang tidak bisa tercapai apabila dua pihak tidak saling mengenal.26 Sedangkan pengertian rumah tangga Islami adalah rumah tangga yang didalamnya ditegakkan adab-adab Islam, baik menyangkut individu maupun keseluruhan anggota rumah tangga. Rumah tangga Islami adalah sebuah rumah tangga yang didirikan diatas landasan ibadah. Mereka bertemu dan berkumpul karena Allah, saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran, serta saling menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar, karena kecintaan mereka kepada Allah.27 Rumah tangga Islam adalah rumah tangga teladan yang menjadi panutan dan dambaan ummat. Mereka betah tinggal didalamnya karena kesejukan iman dan kekayaan ruhani. Mereka berkhidmat kepada Allah SWT. Dalam suka maupun duka, dalam keadaan senggang maupun sempit. Rumah tangga Islami adalah rumah yang didalamnya terdapat iklim sakinah (tenang), mawaddah (penuh cinta), dan rohmah (surat kasih sayang). Perasaan itu senantiasa melingkupi suasana rumah setip harinya. Seluruh anggota keluarga merasakan suasana Surga didalamnya “Baiti Jannati”. Demikian selogan mereka sebagaimana yang diajarkan Rasulullah SAW. Dalam Firman Allah Q.S Ar Rum : 21
26
Badan Penasehat Perkawinan, Perselisihan dan Perceraian, (BP4) Pusat, Membina Keluarga Bahagia, (Jakarta : Pustaka Antara, 1996), hlm. 47. 27 Cahyadi Rakariyawan, Keakhwatan III Bersama Tarbiyah Mempersiapkan Tegaknya Rumah Tangga Islami, (Solo : Era Inter Media, 2004), hlm. 21.
24
ﻌ ﹶﻞ ﺟ ﻭ ﺎﻴﻬﻮﺍ ِﺇﹶﻟﺴﻜﹸﻨ ﺘﺍﺟﹰﺎ ِﻟﺯﻭ ﻢ ﹶﺃ ﺴﻜﹸ ِ ﻧﻔﹸﻦ ﹶﺃ ﻢ ِﻣ ﻖ ﹶﻟ ﹸﻜ ﺧﹶﻠ ﺎِﺗ ِﻪ ﹶﺃ ﹾﻥﻦ ﺁﻳ ﻭ ِﻣ ﻭ ﹶﻥﺘ ﹶﻔ ﱠﻜﺮﻳ ﻮ ٍﻡ ﺕ ِﻟ ﹶﻘ ٍ ﻚ ﻟﹶﺂﻳﺎ ﻤ ﹰﺔ ِﺇﻥﱠ ﻓِﻲ ﹶﺫِﻟ ﺣ ﺭ ﻭ ﺩ ﹰﺓ ﻮ ﻣ ﻢ ﻨ ﹸﻜﻴﺑ ”an di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.28 Hal itu terjadi Karena Islam telah mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik yang berskala individu maupun kelompok, hubungan antar individu, antar kelompok masyarakat bahkan antar negara. Demikian pula, dalam keluarga terdapat peraturan-peraturan baik rinci maupun yang global, yang mengatur individu maupun keseluruhannya sebagai satu kesatuan. Jelasnya, Pernikahan itu sebagai sarana penyaluran kebutuhan biologis manusia secara terhormat dalam rangka menciptakan kehidupan yang beradab menuju terwujudnya masyarakat yang beradab yang akan menjadi landasan bagi kokohnya sebuah bangunan negara.29 Selain sebagai sarana untuk mengembangkan keturunan, pernikahan dalam Islam juga merupakan sarana untuk mengabdikan diri kepada Allah. Pernikahan merupakan suatu yang sangat suci dan luhur dimana perikatan antara seorang laki-laki dan perempuan akan menetapkan tanggung jawab dan kelanggengan atas hubungan mereka. kondisi seperti ini pada akhirnya akan memunculkan suatu komitmen untuk hidup bersama sesuai dengan ajaran Islam. Suami dan istri harus berhati-hati terhadap tanggung jawab dan kewajiban mereka kepada Allah dalam segala aspek interaksi. Firman Allah SWT :
28
Soenardjo dkk.,
Al Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang : Toha Putra, 1989),
hlm. 644. 29
Maulana Muhammad Ali, Islamologi (Dinul Islam), Terj. R. Kelani dan HM. Bachrum, (Jakarta : Ikhtisar Baru Van Moeve), 1980, hlm. 406.
25
ﺎﻨﻬﻖ ِﻣ ﺧﹶﻠ ﻭ ﺪ ٍﺓ ﺍ ِﺣﺲ ﻭ ٍ ﻧ ﹾﻔ ﻦ ﻢ ِﻣ ﺧﹶﻠ ﹶﻘﻜﹸ ﻢ ﺍﱠﻟﺬِﻱ ﹸﻜﺭﺑ ﺗﻘﹸﻮﺍﺱ ﺍ ﺎﺎ ﺍﻟﻨﻳﻬﺎ ﹶﺃﻳ ﺎ َﺀﻟﹸﻮ ﹶﻥ ِﺑ ِﻪﺗﺴ ﻪ ﺍﱠﻟﺬِﻱ ﺗﻘﹸﻮﺍ ﺍﻟﻠﱠﺍﺎ ًﺀ ﻭﻭِﻧﺴ ﺎ ﹰﻻ ﹶﻛﺜِﲑﹰﺍﺎ ِﺭﺟﻬﻤ ﻨﺑﺚﱠ ِﻣﻭ ﺎﺟﻬ ﻭ ﺯ ﺭﻗِﻴﺒﹰﺎ ﻢ ﻴ ﹸﻜﻋﹶﻠ ﻪ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ ﻡ ِﺇﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠ ﺎﺭﺣ ﺍﹾﻟﹶﺄﻭ “Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan istri-istrinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (Q.S. An-Nisa : 1)30 Pernikahan sebagai suatu yang suci dan mulia maka janganlah disiasiakan. Upaya membentuk dan menciptakan keluarga yang bahagia perlu adanya persiapan yang matang dan perencanaan yang mantap, baik dari segi fisik, mental maupun ekonomi. Islam menganjurkan kepada siapa saja (pemuda) yang telah mempunyai kesiapan untuk segera menikah dalam rangka menghindari fitnah. Beberapa langkah penting yang harus ditempuh dan diperhatikan dalam mempersiapkan Pernikahan antara lain sebagai berikut :31 1. Menentukan calon istri/suami. Islam menegaskan bahwa dalam masalah memilih jodoh itu hendaknya ahklak dan agamanya menjadi prioritas utama meski tidak harus mengenyampingkan yang lainnya, seperti kecantikan, kekayaan, keturunan, maupun yang lainnya. Islam juga menekankan pentingnya persamaan agama antar suami dan istri. Hal ini sangat penting sekali untuk mewujudkan keharmonisan dalam rumah tangga (keluarga).
30 31
Soenarjdo dkk., op . cit., hlm. 114. Maskuf Zuhdi, Studi Islam, Jilid III, (Jakarta : Rajawali Press, 1993), hlm. 15
26
Firman Allah:
ﺎِﺋ ﹶﻞﻭﹶﻗﺒ ﻮﺑﹰﺎﻌﻢ ﺷ ﺎ ﹸﻛﻌ ﹾﻠﻨ ﺟ ﻭ ﻧﺜﹶﻰﻭﹸﺃ ﻦ ﹶﺫ ﹶﻛ ٍﺮ ﻢ ِﻣ ﺎ ﹸﻛﺧﹶﻠ ﹾﻘﻨ ﺎﺱ ِﺇﻧ ﺎﺎ ﺍﻟﻨﻳﻬﺎ ﹶﺃﻳ ﲑ ﺧِﺒ ﻢ ﻋﻠِﻴ ﻪ ﻢ ِﺇﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠ ﺗﻘﹶﺎ ﹸﻛﺪ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﹶﺃ ﻨﻢ ِﻋ ﻣﻜﹸ ﺮ ﺭﻓﹸﻮﺍ ِﺇﻥﱠ ﹶﺃ ﹾﻛ ﺎﺘﻌِﻟ “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsabangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. Al Hujarat : 13).32 Ayat ini menegaskan bahwa orang yang bertaqwaklah orang yang paling baik dalam pertimbangan pemilihan pasangan hidupnya sebagai prioritas utama. Sebagaimana hadits nabi Muhammad saw yang memberikan nasehat:
(ﻓﺎﻧﻈﺮ ﺍﻟﻴﻬﺎ ﻓﺎﻧﻪ ﺍﺣﺮﻯ ﺍﻥ ﻳﺆﺩﻡ ﺑﻴﻨﻜﻤﺎ ) ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺑﻦ ﳎﻪ “Lihatlah terlebih dahulu perempuan itu sebab yang demikian akan lebih menentukan bagi kebaikan hidupmu selanjutnya” (HR: Ibnu Majjah) 2. Meneliti keadaan calon suami atau istri melalui khitbah. Pada kesempatan ini kedua calon mempelai dapat bertemu muka dan berdialog tentang pribadi masing-masing. Hal ini dapat dilakukan dengan harapan akan dicapai persesuaian dan permufakatan. Akan tetapi meskipun khitbah telah diterima kedua belah pihak, calon suami istri tersebut tidak berarti bebas bergaul sebelum mereka melangsungkan perkawinan (akad). Seseorang yang akan melamar harus benar-benar mengetahui jelas bahwa wanita (calon istri) yang akan dilamarnya bukan merupakan lamaran atau yang sedang dilamar oleh orang lain. Mekanisme peminangan seorang pemuda kepada perempuan boleh juga dilakukan 32
Soenarjdo dkk., op. cit., hlm. 847.
27
dengan sendirian, hal ini telah di jelaskan oleh Allah SWT. dalam surat Al Baqarah ayat 235, yang berbunyi :
... ﻢ ﺘﻨﻨﻭ ﹶﺃ ﹾﻛ ﺎ ِﺀ ﹶﺃﻨﺴﺒ ِﺔ ﺍﻟﻦ ِﺧ ﹾﻄ ﻢ ِﺑ ِﻪ ِﻣ ﺘﺿ ﺮ ﻋ ﺎﻢ ﻓِﻴﻤ ﻴ ﹸﻜﻋﹶﻠ ﺡ ﺎﺟﻨ ﻻﻭ “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu.” (Q.S. Al Baqarah : 235).33 Seperti sabda Rasulullah saw;
ﺍﺫ ﺍﺍﻟﻘﻰ ﺍﷲ ﰱ ﻗﻠﺐ ﺍﻣﺮﺉ ﺧﻄﺒﺔ ﺍﻣﺮﺃﺓ ﻓﻼﺑﺄﺱ ﺍﻥ ﻳﻨﻈﺮ ﺍﻟﻴﻬﺎ “Apabila Allah telah memberikan ke dalam hati seseorang keinginan untuk meminang perempuan, maka tidak mengapa dia melihat kepada perempuan itu (HR: Ibnu Majjah) 3. Adanya persetujuan dari calon suami istri. Dalam hal ini adalah perlu adanya musyawarah dalam keluarga untuk mendapatkan persetujuan calon mempelai dan juga orang tua masing-masing. Pernikahan disebut juga dengan ikatan, karenanya sebelum mengadakan ikatan hendaknya kedua belah pihak merasa senang (cinta) dan bahwa keduanya akan membina keluarga seumur hidup.34 Hal ini telah dijelaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya sebagai berikut :
…ﻉ ﺎﺭﺑ ﻭ ﺙ ﻭﺛﹸﻼ ﹶ ﻰﻣﹾﺜﻨ ﺎ ِﺀﻨﺴﻦ ﺍﻟ ﻢ ِﻣ ﺏ ﹶﻟ ﹸﻜ ﺎ ﻃﹶﺎﻮﺍ ﻣﻧ ِﻜﺤ…ﻓﹶﺎ “ …, Maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi,……..” (Q.S. An Nisa : 3)35
33
Ibid., hlm. 57. Biro Bina Mental Spiritual DKI Jakarta, Tema-Tema Pokok Al Qur’an, (Jakarta : LBIQ, T. th) hlm. 188. 35 Soenarjdo dkk., op .cit., hlm.115 34
28
Musyawarah
perlu
dilakukan
agar
tidak
terjadi
unsur
keterpaksaan dalam perkawinan. Dan untuk mencapai kesepakatan antara orang tua/wali dan calon mempelai, karena keridho’an orang tua pasti juga diridloi Allah, begitu pula sebaliknya jika orang tua murka maka Allah juga akan murka. 4. Calon suami hendaknya Kufu (pantas/seimbang) dengan calon istri. Kriteria kafa’ah ini lebih ditemukan kepada calon suami agar suami bisa menjalankan tugasnya sebagai pemimpin dalam rumah tangga dengan baik tanpa terjadi hambatan psikologis. Kriteria kafa’ah ini yang lebih pokok adalah agama dan akhlak, akan tetapi faktor lainnya pun tidak ada larangan untuk mempertimbangkannya seperti kekayaan, status sosial, pendidikan, keturunan dan sebagainya. Seperti firman Allah dalam surat al-Hujarat ayat 13.
ﺎِﺋ ﹶﻞﻭﹶﻗﺒ ﻮﺑﹰﺎﻌﻢ ﺷ ﺎ ﹸﻛﻌ ﹾﻠﻨ ﺟ ﻭ ﻭﺃﹸﻧﺜﹶﻰ ﻦ ﹶﺫ ﹶﻛ ٍﺮﺎﻛﹸﻢ ﻣﺧﹶﻠ ﹾﻘﻨ ﺎﺱ ِﺇﻧ ﺎﺎ ﺍﻟﻨﻳﻬﺎ ﹶﺃﻳ ﺮ ﺒِﻴﻢ ﺧ ﻋﻠِﻴ ﻪ ﻢ ِﺇﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠ ﺗﻘﹶﺎ ﹸﻛﺪ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﹶﺃ ﻢ ﻋِﻨ ﻣﻜﹸ ﺮ ﺭﻓﹸﻮﺍ ِﺇﻥﱠ ﹶﺃ ﹾﻛ ﺎﺘﻌِﻟ “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seseorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsabangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujarat: 13) Adapun haditsnya yang artinya: “Semua manusia sama, sebagaimana gigi sisir: tiada ketaqwaan bagi orang Arab atas orang luar kecuali dengan ketaqwaan”36 5. Mahar atau maskawin sebagai salah satu syarat perkawinan. Mahar adalah suatu pemberian, baik pakaian, perhiasan, perkakas rumah tangga, uang atau barang lainnya. Mahar merupakan hak istri
36
Ra‘d Kamil al-Hayali, Memecahkan Perselisihan Keluarga Menurut Qur’an dan Sunnah (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2004),cet.1, hlm. 32-33
29
sebagai konsekuensi dari akad nikah, sebagai mana telah ditegaskan dalam Al Qur’an sebagai berikut :
ﻧﻔﹾﺴﹰﺎ ﻨﻪﻲ ٍﺀ ِﻣ ﺷ ﻦ ﻋ ﻢ ﻦ ﹶﻟ ﹸﻜ ﺒﺤﹶﻠ ﹰﺔ ﹶﻓِﺈ ﹾﻥ ِﻃ ﻦ ِﻧ ﺪﻗﹶﺎِﺗ ِﻬ ﺻ ﺎ َﺀﻨﺴﻮﺍ ﺍﻟﺁﺗﻭ ﻣﺮِﻳﺌﹰﺎ ﻫﻨِﻴﺌﹰﺎ ﻩ ﹶﻓ ﹸﻜﻠﹸﻮ “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan (keikhlasan). Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu yang sedap lagi baik akibatnya.” (Q.S. An Nisa : 4).37 Islam tidak menempatkan batas maksimal atau minimal dan Islam tidak menyetujui maskawin yang terlalu berat karena dapat menghambat proses Pernikahan. Cara penentuan mahar dapat ditetapkan sebagai berikut : a. Ditentukan oleh hakim (Pemerintah). Cara ini dilaksanakan apabila seorang suami tidak mau menentukan maskawinnya, maka pemerintah yang menentukan, dengan syarat pemerintah mengetahui yang sebenarnya. b. Ditentukan oleh calon suami istri. Apabila suami istri telah mengetahui ukuran maskawin (yang sesuai untuk dirinya) tidak ada soal lagi, tetapi apabila keduanya atau salah satu tidak mengetahui menurut jumhur pernikahannya syah dengan maskawin yang ditentukan keduanya, baik tunai maupun dihutang, baik lebih atau kurang (dari ukuran yang tepat), dan kalau bercerai sebelum berkumpul diharuskan membayar jumlah yang telah ditentukan oleh berdua. c. Ditentukan (diberikan ketika kumpul). Kalau akan berkumpul padahal belum ada maskawin, baik yang ditentukan hakim atau keduanya, suami terlebih dahulu harus
37
Ibid, hlm. 115.
30
memberi maskawin yang sesuai (dengan keadaan istri). Sebab yang boleh berkumpul tanpa maskawin hanya Nabi sendiri.38 Banyak sedikitnya mahar tidak ada ketentuan dari agama, dan boleh memberi maskawin dengan jasa (berupa jasa) Abu Tsaur membatasi mahar pada lima dirham sedangkan Abu Hanifah membatasi pada sepuluh dirham.39 Beberapa pendapat fuqoha tentang kualitas mahar yang diwajibkan atas suami kepada istri disitu tidak didapati batasan maksimal maupun minimal kualitas mahar, apalagi kondisi sosial yang selalu berubah sehingga menimbulkan perubahan kelayakan dari kualitas mahar. Hal ini sesuai dengan Islam, karena Allah tidak menentukan batas kualitas mahar, bahkan membolehkan membayar mahar dengan jasa. Perlu ditekankan dalam pemberian mahar ini menurut penulis adalah sebagai berikut : 1) Adanya kewajiban membayar mahar bagi suami disikapi sebagai tanggungjawabnya kelak dalam memberikan nafkah keluarga, sehingga tidak menganggap ringan untuk menjalani perkawinan. Adapun mengenai tidak ditentukannya batas minimal ataupun maksimal mahar adalah Islam tidak mempersulit umatnya untuk melaksanakan pernikahan. 2) Kualitas mahar yang disepakati harus didasari pada kerelaan masingmasing. Kerelaan inilah yang lebih diutamakan dari kualitas mahar itu sendiri karena dalam perkawinan disitu didapati keadaan untuk saling memberi dan menerima dengan keikhlasan. Kaitannya dengan kriteria dan persiapan perkawinan, Rasulullah bersabda :
38
Imam Taqyudin Abu Bakar Ibn Muhammad, Kifayatul Akhyar, Juz I, (Damascus : Darul Kutub, tth.), hlm. 21 39 Ibid., hlm. 25
31
ﻋﻦ ﺃﰉ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﻋﻦ ﺍﻟﻨﱮﺻﻠﻰﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ ﺗﻨﻜﺢ ﺍﳌﺮﺍﺓﻻﺭﺑﻊ ﳌﺎ ﳍﺎﻭﳊﺴﺒﻬﺎﻭﳉﻤﺎﳍﺎﻭﻟﺪ ﻳﻨﻬﺎﻓﺎﻇﻔﺮﺑﺬﺍﺕ ﺍﻟﺪ ﻳﻦ ﺗﺮﺑﺖ ﻳﺪﺍﻙ )ﺭﻭﺍﻩ (ﻟﺒﺤﺎﺭﻱ ﻣﺴﻠﻢ “Perempuan dinikahi karena empat alasan 1) karena hartanya, 2) karena keturunannya, 3) karena kecantikannya, dan 4) karena agamanya, pilihlah wanita yang beragama engkau pasti akan selamat.” (HR. Bukhori Muslim)40 Beberapa deskripsi tentang perkawinan dalam Al Qur’an penulis memandang bahwa dalam Pernikahan itu terdapat dua hal, yaitu antara Ibadah dan Mu’amalah Ibadah, karena perkawinan merupakan perintah Allah kepada hamba-Nya dan melaksanakannya adalah refleksi dari ketaatan manusia kepada Allah, sedangkan muamalah, karena dalam perkawinan didapati aturan-aturan dalam hubungan sesama manusia untuk menjaga hasrat manusia dalam posisi mahluk yang mulia. Hal-hal yang perlu dipersiapkan dalam pernikahan, pandangan penulis itu meliputi dua hal, yaitu kesiapan lahir dan batin. Kesiapan lahir ini meliputi kesiapan suami istri dalam hal ekonomi, fisik (kedewasaan secara fisik) dan hal-hal lain yang bersifat materi. Kesiapan batin ini meliputi kedewasaan psikis, kemantapan calon pasangan hidup, saling menerima. 2. Kedudukan Pernikahan Dalam Al Qur’an. Islam telah jelas memposisikan pernikahan sebagai suatu yang sangat mulia demi menempatkan manusia sebagai mahluk Allah dalam statusnya sebagai “Khalifatullah.” Kemuliaan yang dimaksud disini adalah bahwa dalam rangka melangsungkan keturunan, Islam memberikan syari’at perkawinan yang membedakan dengan mahluk hidup lainnya. 40
116.
Imam Abi Abdillah Muhammad Bin Ismail Bin Ibrahim, Shoheh Bukhori, Juz V, hlm.
32
Kedudukan atau posisi Pernikahan dalam Islam adalah sebagai berikut: 1) Pernikahan merupakan Sunnah Rasulullah dan juga sunnah para Nabi terdahulu. Pernikahan adalah fitrah manusia normal, dimana manusia memiliki hasrat seksual kepada lawan jenisnya sebagai sunatullah yang tidak bisa dihapuskan. Menyadari sebuah realita ini. Islam mengarahkan pemenuhan hasrat itu kejalan yang susila, yaitu lewat pernikahan. Begitu pentingnya Pernikahan dalam Islam, ia mempunyai kedudukan sebagai sunnah yang harus dilaksanakan. Maka jika umatumat Muhammad tidak melaksanakannya maka ia tidak termasuk dalam golongan umat Muhammad, hal ini diungkap pula dalam Al Qur’an :
... ﹰﺔﻳﻭ ﹸﺫﺭ ﺍﺟﹰﺎﺯﻭ ﻢ ﹶﺃ ﻬ ﺎ ﹶﻟﻌ ﹾﻠﻨ ﺟ ﻭ ﻚ ﺒِﻠﻦ ﹶﻗ ﻼ ِﻣ ﹰﺳﺎ ﺭﺳ ﹾﻠﻨ ﺭ ﺪ ﹶﺃ ﻭﹶﻟ ﹶﻘ “Dan sesungguhnya kami telah mengutus beberapa rasul sebelum kamu dan kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.” (Q.S. Ar Ra’d : 38).41 2) Pernikahan merupakan penyempurna agama yang termasuk dari bagian ibadah dan pengabdian kepada Allah SWT. Para ulama ahli hukum menafsirkan, bahwa Al Qur’an menilai perkawinan sebagai kewajiban agama, dimaksudkan untuk menjaga keselamatan moral dan juga untuk kepentingan sosial. Kepentingan atau kewajiban agama dalam rangka beribadah, dengan demikian tentu saja semua orang harus memenuhinya karena seorang yang telah menikah berarti telah menyempurnakan separuh agamanya.42 Secara moral manusia tidak mungkin dapat menahan secara terus menerus gejolak seksualnya. Manusia saat kehilangan kontrol diri, maka agama telah memerintahkan perkawinan pada pemeluknya sebagai salah
41
Soenarjdo dkk., op. cit., hlm. 376. Hammudah Abdul Al Ati, Keluarga Muslim, Terjemahan Ansori Toyyib, (Surabaya, Bina Ilmu, 1984), hlm. 71. 42
33
satu bentuk pengabdian (ibadah) manusia kepada Tuhannya dan dalam upaya mencari keridhoan Allah SWT, sebagaimana firman-Nya :
ﲔ ﺎﹶﻟ ِﻤﺏ ﺍﹾﻟﻌ ﺭ ﺎﺗِﻲ ِﻟﻠﱠ ِﻪﻣﻤ ﻭ ﻱ ﺎﺤﻴ ﻣ ﻭ ﺴﻜِﻲ ﻧﻭ ﻼﺗِﻲﹸﻗ ﹾﻞ ِﺇﻥﱠ ﺻ “Katakanlah sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku semuanya bagi Allah tuhan semesta alam.” (Q.S. Al An’am : 162).43 3) Pernikahan merupakan nikmat dan amanah yang dianugerahkan kepada manusia yang harus disyukuri dan harus dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT. Nikmat (pemberian) pernikahan harus disyukuri karena hal ini merupakan kesempatan yang diperoleh seorang untuk mengarungi bahtera rumah tangga, dimana orang lain belum tentu memiliki kesempatan ini karena belum adanya kesiapan, padahal sudah sangat menginginkan-Nya. Pernikahan ini merupakan nikmat yang secara pasti setiap orang menginginkannya dan juga sebagai amanah Allah yang harus dijaga karena akan dipertanggungjawabkan dihadapan-Nya. 4) Pernikahan merupakan ujian hidup dan penyelamat manusia dari dosa. Hidup di dunia ini penuh dengan ujian dan pernikahan merupakan salah satunya. Orang yang berkeluarga sering menghadapi persoalan. Seorang harus menghadapi dirinya sendiri dan juga menjalankan keluarganya (anak dan istrinya). Orang yang sudah berkeluarga akan lebih banyak godaannya seorang mu’min yang sudah menikah akan mempunyai nilai lebih ketika ia mampu menghadapi ujian hidup yang menimpanya. Pernikahan juga berkedudukan sebagai penyelamat manusia dari dosa (Zina) dan lainnya. Sebelum menikah mungkin saja seorang akan berlaku tidak baik karena kebutuhan mendesak sedangkan ia tidak atau belum memiliki isteri. Maka anjuran agama hendaklah ia segera menikah. 43
Soenarjdo dkk., op cit., hlm. 216.
34
5) Pernikahan merupakan media Silaturahmi, media Dakwah dan penyebar Islam. Pernikahan akan mempertemukan manusia yang tidak saling mengenal menjadi saling kenal maka terjalinlah silaturahmi antar keluarga dari dua keluarga besar. Pernikahan juga merupakan sarana dakwah menyebarkan Islam. Mengawini perempuan yang bukan Islam, seorang laki-laki muslim dianjurkan mengajaknya untuk masuk Islam. 6) Pernikahan merupakan pembuka rizki dan forum pendewasaan dan pembentukan diri. Secara nyata, seseorang yang sudah memiliki keluarga akan mencari nafkah dengan sungguh-sungguh untuk menghidupi diri dan keluarganya, berbeda dengan mereka yang masih sendiri, seorang yang telah
berkeluarga
akan
memaksakan
sesuatu
(nafkah)
ketika
kesempatan
untuk
kebutuhannya tersebut meningkat. Adanya
dorongan
tersebut,
maka
memperoleh rizki atau nafkah akan selalu terbuka, yang berarti menjadikan seorang bertambah dewasa dan menjadi dirinya sendiri. Penulis memandang bahwa tujuan-tujuan pernikahan dengan melihat pendapat yang dikemukakan di atas, mengklasifikasikan dalam tiga hal, yaitu : sebagai sunnah Nabi, jalan untuk mencapai kebahagiaan dan media pembentuk masyarakat yang beradab. Sunnah Nabi, karena perintah nikah itu disampaikan sejak Nabi pertama sampai Nabi Muhammad, sehingga menjalankannya adalah mengikuti sunnah Nabi dan itu berarti ibadah kepada Allah SWT. Pernikahan juga merupakan jalan untuk mencapai kebahagiaan, karena dengan pernikahan akan didapati kehidupan keluarga sebagai tempat berbagi suka duka serta penenang jiwa dan spiritual. Selain dari dua tujuan tersebut pernikahan juga merupakan media untuk membentuk masyarakat yang beradab yang diridha’i Allah SWT.
35
3. Tujuan Pernikahan dalam Al Qur’an Pernikahan bukanlah suatu perbuatan yang tanpa tujuan, tetapi ia adalah amanah dan sunnah Allah yang bisa menempatkan manusia benar-benar pada posisinya sebagai mahluk yang paling sempurna. Dengan pernikahan berarti manusia menghormati nilai-nilai sebuah kehormatan yang dilakukan oleh mahluk Allah yang mempunyai cipta, rasa, dan karsa. Islam membuka pintu pernikahan seluas-luasnya bagi mereka yang sudah mampu melaksanakannya, karena pernikahan akan meningkatkan derajat manusia dari segi sosial. Tujuan pernikahan telah disebut dalam buku Kompilasi Hukum Islam di Indonesia tentang dasar-dasar pernikahan pasal 3, yaitu “Pernikahan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah dan rahmah.44 Sementara itu pernikahan dalam syari’at Islam telah dirumuskan oleh Dr. Abdullah Nashih’ulwan sebagai berikut.45 1) Melestarikan keturunan. Sesuai fitrahnya setiap mahluk hidup mempunyai keinginan untuk menciptakan generasi penerus, begitu pula halnya dengan manusia. Perkawinan merupakan satu-satunya cara yang efektif untuk mengembangkan jenis keturunan yang merupakan jaminan pemeliharaan
dan
sunatullah
dalam
masalah
pemeliharaan
kelangsungan jenis manusia, sebagaimana dijelaskan dalam Firman Allah :
ﻢ ﺍ ِﺟ ﹸﻜﺯﻭ ﻦ ﹶﺃ ﻢ ِﻣ ﻌ ﹶﻞ ﹶﻟ ﹸﻜ ﺟ ﻭ ﺍﺟﹰﺎﺯﻭ ﻢ ﹶﺃ ﺴﻜﹸ ِ ﻧﻔﹸﻦ ﹶﺃ ﻢ ِﻣ ﻌ ﹶﻞ ﹶﻟ ﹸﻜ ﺟ ﺍﻟﻠﱠﻪﻭ ﺕ ِ ﺎﻴﺒﻦ ﺍﻟ ﱠﻄ ﻢ ِﻣ ﺯﹶﻗﻜﹸ ﺭ ﻭ ﺪ ﹰﺓ ﺣ ﹶﻔ ﻭ ﲔ ﺑِﻨ 44
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Akademika Pressindo, 1995), hlm. 114. 45 Abdullah Nashih’ulwan, Pengantin Islam, (Jakarta : Al-Ishlahy Press, 1993), hlm. 511.
36
“Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istrimu itu anak-anak dan cucu-cucu yang akan memberikan rizki-rizki yang baik.” (Q.S. An Nahl : 72 ).46 2) Memelihara nasab (keturunan). Anak-anak yang dilahirkan melalui jalan pernikahan merupakan keturunan yang berharga karena ia lahir dari orang tua yang sah dan terhormat. Seandainya tiada syari’at ini, penghalalan segala cara akan menimpa manusia dan manusia sebagai mahluk mulia tidak lagi memiliki kehormatan, yang ada hanyalah kerusakan dan kebejatan moral. 3) Menyelamatkan masyarakat dari degradasi moral dan ancaman berbagai penyakit. Pernikahan
yang
syah,
manusia
dapat
menyalurkan
kebutuhan biologisnya secara halal dan ini akan menyelamatkan masyarakat dari akhlak yang buruk, memelihara manusia dari keretakan hubungan dan menjauhkan manusia dari perzinahan dan pergaulan bebas yang akan mendatangkan berbagai penyakit. Sebagaimana Firman Allah;
ﻤﻠﹸﻮ ﹶﻥ ﻌ ﺗ ﺎﻪ ِﺑﻤ ﻮﹾﺍ ِﺇﻧ ﻐ ﺗ ﹾﻄ ﻭ ﹶﻻ ﻚ ﻌ ﻣ ﺏ ﺎﻦ ﺗﻭﻣ ﺕ ﺮ ﺎ ﺃﹸ ِﻣﻢ ﹶﻛﻤ ﺘ ِﻘﺳ ﻓﹶﺎ ﺎﻭﻣ ﺭ ﺎ ﺍﻟﻨﺴﻜﹸﻢ ﻤ ﺘﻮﹾﺍ ﹶﻓﻦ ﹶﻇﹶﻠﻤ ﻮﹾﺍ ِﺇﻟﹶﻰ ﺍﱠﻟﺬِﻳﺮ ﹶﻛﻨ ﺗ ﻭ ﹶﻻ (112) ﲑ ﺼ ِ ﺑ ﻭ ﹶﻥﺼﺮ ﻨ ﹶﻻ ﺗﺎﺀ ﹸﺛﻢﻭِﻟﻴ ﻦ ﹶﺃ ﻭ ِﻥ ﺍﻟﹼﻠ ِﻪ ِﻣﻦ ﺩﹶﻟﻜﹸﻢ ﻣ “Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim, yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolongpun selain dari Allah, 46
Soenarjdo dkk., op. cit., hlm. 412.
37
kemudian kamu tiada akan diberi pertolongan. (QS: Hud: 112113).47 4) Membentuk rumah tangga (keluarga) yang ideal. Melalui pernikahan sebuah keluarga terbentuk yang akan menimbulkan kerjasama antara setiap anggotanya (suami-istri) dalam upaya mewujudkan rumah tangga yang ideal. Membina dan menjaga keluarga dengan sebaik-baiknya akan menimbulkan cinta kasih.
ﺎﻴﻬﻮﺍ ِﺇﹶﻟﺴ ﹸﻜﻨ ﺘﺍﺟﹰﺎ ﻟﱢﺯﻭ ﻢ ﹶﺃ ﺴﻜﹸ ِ ﻦ ﺃﹶﻧﻔﹸ ﻣ ﻖ ﹶﻟﻜﹸﻢ ﺧﹶﻠ ﺎِﺗ ِﻪ ﹶﺃ ﹾﻥﻦ ﺁﻳ ﻭ ِﻣ
َﻭﻥﺘ ﹶﻔﻜﱠﺮﻳ ﻮ ٍﻡ ﺕ ﱢﻟ ﹶﻘ ٍ ﺎﻚ ﻟﹶﺂﻳ ﻤ ﹰﺔ ِﺇﻥﱠ ﻓِﻲ ﹶﺫِﻟ ﺣ ﺭ ﻭ ﺩ ﹰﺓ ﻮ ﻣ ﻨﻜﹸﻢﻴﺑ ﻌ ﹶﻞ ﺟ ﻭ “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dan jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di antara mu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda babi kaum yang berfikir. (QS. R-Rum: 21)48 5) Untuk ketenangan jiwa dan spiritual. Tahap berikutnya diantara suami istri akan muncul hubungan kasih sayang dan ketenteraman dan ketenangan jiwa. Masingmasing akan merasa damai dibawah lindungan yang lain. Satu sama lain merasa memiliki tempat pengaduan keluhan hati dan mempunyai teman untuk berbagi rasa dan penderitaan. 6) Menumbuhkan kasih sayang orang tua terhadap anaknya. Pernikahan akan menumbuhkan rasa kasih sayang orang tua terhadap anak-anaknya dan merasa tanggung jawab terhadap mereka dibandingkan dengan anak yang dilahirkan tanpa orang tua yang halal. Dan pernikahan sebagai sunatullah merupakan jembatan menuju tercapainya sebuah keluarga dimana adanya perjanjian 47 48
Ibid., hlm. 344. Ibid., hlm. 644
38
suami istri akan memikul tanggung jawab bersama dalam upaya menciptakan keluarga yang sakinah, mawadah dan rahmah. Melihat
deskripsi
pendapat
tersebut,
maka
penulis
memandang tujuan disyari’atkannya pernikahan secara sistematik dapat diklasifikasikan dalam tiga dimensi, yaitu dimensi diri, moral dan sosial. Dimensi diri berkaitan dengan pemenuhan diri sebagai manusia normal, dimensi moral berkaitan dengan pemeliharaan nilai-nilai moral manusia yang mempunyai etika. Sedangkan dimensi sosial berkaitan dengan pemeliharaan tatanan masyarakat sebagai Khalifatullah fil Ardl. Bentuk dan dimensi diri, meliputi pemenuhan penyaluran kebutuhan biologis, kasih sayang, menyambung nasab. Dimensi moral pernikahan akan menempatkan harkat manusia pada tempat yang mulia, menyelamatkan manusia dari kebobrokan moral, yaitu terjadinya
perzinahan
dimana-mana
yang
akibatnya
akan
memunculkan penyakit-penyakit yang ditimbulkan dari hubungan tersebut. Sedangkan dimensi sosial, pernikahan akan menciptakan masyarakat yang diridloi Allah SWT. Ini terjadi karena dengan pernikahan didapati kejelasan keturunan. Lain halnya ketika dalam satu masyarakat tidak ada kejelasan dalam keturunan, maka disitu tidak jelas siapa ibunya, saudaranya, anaknya, dan lain sebagainya.