BAB II BAHAN RUJUKAN 2.1
Pajak Secara Umum
2.1.1
Definisi Pajak Para ahli di bidang perpajakan mendefinisikan pengertian pajak dengan
berbagai pendapat yang berbeda antara lain : Menurut Prof. Dr. Rahmat Soemitro, yang ditulis oleh Mardiasmo (2008:1) menjelaskan: “Pajak adalah Iuran rakyat pada kas negara berdasarkan undangundang (yang dapat dipaksa) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.” Menurut R. Santoso Brotodihardjo, SH. antara lain menyitir definisi dari Prof. DR. P.J.A. Adriani yang dikutip oleh Untung Sukardji (2005;1), menjelaskan: “Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturanperaturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.”
Menurut Erly Suandy (2006:1), menyatakan bahwa definisi pajak adalah sebagai berikut : “Pajak merupakan pungutan berdasarkan Undang-Undang oleh pemerintah yang sebagian dipakai untuk penyediaan barang dan jasa publik.”
8
2.1.2
Unsur-unsur Pokok Pajak Dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri
yang melekat pada pengertian pajak, adalah: 1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksanaannya yang sifatnya dapat dipaksakan; 2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah; 3. Pajak dipungut oleh negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah; 4. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari
pemasukannya
masih
terdapat
surplus,
dipergunakan
untuk
membiayai public investment; 5. Pajak dapat pula mempunyai tujuan selain budgeter, yaitu mengatur.
2.1.3
Fungsi Pajak Menurut Siti Resmi (2009:3), menjelaskan terdapat dua fungsi pajak,
yaitu: 1. Fungsi Budgetair (Sumber Keuangan Negara). Pajak mempunyai fungsi budgetair, artinya pajak merupakan salah satu sumber penerimaan pemerintah
untuk
membiayai
pengeluaran
baik
rutin
maupun
pembangunan. Sebagai sumber keuangan negara, pemerintah berupaya memasukkan uang sebanyak-banyaknya untuk kas negara. 2. Fungsi Regularend (Pengatur). Pajak mempunyai fungsi pengatur, artinya pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi, serta mencapai tujuantujuan tertentu di luar bidang keuangan.
9
2.1.4
Asas Pemungutan Pajak Menurut Erly Suandy (2005:41), asas pemungutan pajak yaitu:
1. Asas Domisili (Tempat Tinggal) Dalam asas ini pemungutan pajak berdasarkan pada domisili atau tempat tinggal Wajib Pajak dalam suatu negara. Negara di mana Wajib Pajak bertempat tinggal berhak memungut pajak terhadap Wajib Pajak tanpa melihat darimana pendapatan atau penghasilan tersebut diperoleh, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri dan tanpa melihat kebangsaan/kewarganegaraan Wajib Pajak. 2. Asas Sumber Dalam
asas
ini
pemungutan
pajak
didasarkan
pada
sumber
pendapatan/penghasilan dalam suatu negara. Menurut asas ini, negara yang menjadi sumber pendapatan/penghasilan tersebut berhak memungut pajak tanpa memperhatikan domisili dan kewarganegaraan Wajib Pajak. 3. Asas Kebangsaan (Nationaliteit) Dalam asas ini, pemungutan pajak didasarkan pada kebangsaan atau kewarganegaraan dari Wajib Pajak, tanpa melihat darimana sumber pendapatan/penghasilan tersebut maupun di negara mana tempat tinggal (domisili) dari Wajib Pajak yang bersangkutan.
2.1.5
Sistem Pemungutan Pajak Menurut Waluyo (2008:17), menjelaskan terdapat tiga sistem pemungutan
pajak, yaitu: 1. Official Assessment System Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang.
10
Ciri-ciri Official Assessment System: a) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang berada pada fiskus; b) Wajib Pajak bersifat pasif; c) Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus. 2. Self Assessment System Sistem ini merupakan pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. 3. Withholding System Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
2.1.6
Pengelompokkan Pajak Menurut Erly Suandy (2005:38), pengelompokkan pajak terdiri dari:
1. Berdasarkan golongannya a) Pajak langsung, yaitu pajak yang bebannya harus ditanggung sendiri oleh WP yang bersangkutan dan tidak dapat dialihkan kepada pihak lain. Contoh: Pajak Penghasilan (PPh). b) Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang bebannya dapat dialihkan atau digeserkan kepada pihak lain. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM).
11
2. Berdasarkan wewenang pemungutnya a. Pajak Pusat/Pajak Negara Adalah pajak yang wewenang pemungutannya ada pada pemerintah pusat yang pelaksanaannya dilakukan oleh Departemen Keuangan melalui Direktorat Jendral Pajak. Pajak pusat/pajak negara yang berlaku saat ini adalah: 1) Pajak Penghasilan (PPh), diantaranya: a) PPh Migas
PPh Minyak Bumi
PPh Gas Alam
b) PPh Non Migas
PPh Pasal 21
PPh Pasal 22 PPh Pasal 22 Non-impor PPh Pasal 22 Impor
PPh Pasal 23
PPh Pasal 24
PPh Pasal 25/29 PPh Pasal 25/29 Pribadi PPh Pasal 25/29 Badan
PPh Pasal 26
2) Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM) 3) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) 4) Bea Materai 5) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) b. Pajak Daerah Adalah pajak yang wewenang pemungutannya ada pada Pemerintah Daerah yang pelaksanaannya dilakukan oleh Dinas Pendapatan
12
Daerah. Menurut Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 1) Pajak Daerah Tingkat I (Propinsi), terdiri dari:
Pajak Kendaraan Bermotor
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
Pajak Air Permukaan
Pajak Rokok
2) Pajak Daerah Tingkat II (Kabupaten/Kota), terdiri dari:
Pajak Hotel
Pajak Restoran
Pajak Hiburan
Pajak Reklame
Pajak Penerangan Jalan
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
Pajak Parkir
Pajak Air Tanah
Pajak Sarang Burung Walet
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, dan
Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
3. Berdasarkan sifatnya a.
Pajak Subjektif, yaitu pajak yang memperhatikan kondisi/keadaan Wajib Pajak. Dalam menentukan pajaknya harus ada alasan-alasan objektif yang berhubungan erat dengan keadaan materialnya, yaitu gaya pikul. Gaya pikul adalah kemampuan Wajib Pajak memikul pajak setelah dikurangi biaya hidup minimum. Contoh: Pajak Penghasilan (PPh).
13
b.
Pajak Objektif, yaitu pajak yang pada awalnya memperhatikan objek yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar, kemudian baru dicari subjeknya baik orang pribadi maupun badan. Jadi dengan kata lain pajak objektif adalah pengenaan pajak yang hanya memperhatikan kondisi objeknya saja. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM).
2.2
Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
2.2.1
Dasar Hukum Pajak Pertambahan Nilai Dasar hukum Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak atas Penjualan Barang
Mewah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1983 berikut revisinya, yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1994, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2000 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2009.
2.2.2
Subjek Pajak Pertambahan Nilai Menurut Erly Suandy (2005:59), mengatakan Subjek PPN adalah
Pengusaha Kena Pajak (PKP). Pengertian Pengusaha Kena Pajak menurut UU N0.42 Tahun 2009 PPN Ketentuan Umum Pasal 1, yaitu: a) Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, megekspor barang melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.
14
b) Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini. Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010, batasan yang termasuk Pengusaha Kecil adalah Pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah).
2.2.2.1Kewajiban Pengusaha Kena Pajak Menurut Mardiasmo (2008:258), Pengusaha Kena Pajak berkewajiban, antara lain untuk: a) Melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi PKP; b) Memungut PPN dan PPnBM yang terutang; c) Membuat faktur pajak atas setiap penyerahan kena pajak; d) Membuat nota retur dalam hal terdapat pengambilan BKP; e) Melakukan pencatatan atau pembukuan mengenai kegiatan usahanya; f) Menyetor PPN dan PPnBM yang terutang; dan g) Menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa PPN.
2.2.2.2Pengecualian Kewajiban Pengusaha Kena Pajak Pengusaha yang dikecualikan dari kewajiban sebagai Pengusaha Kena Pajak adalah: a) Pengusaha Kecil. b) Pengusaha yang semata-mata menyerahkan barang atau jasa yang tidak dikenakan PPN.
15
2.2.2.3Termasuk Pengusaha Kena Pajak Menurut Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton (2001:73), menjelaskan bahwa yang termasuk pengusaha kena pajak adalah: a) Pabrikan; b) Importir; c) Indentor; d) Agen utama atau penyalur utama; e) Pengusaha pemegang hak atau menggunakan paten atau merk dagang Barang Kena Pajak; f) Pedagang besar; g) Eksportir; h) Pedagang besar eceran; i) Pemborong atau Kontraktor; j) Pengusaha jasa bidang telekomunikasi; k) Pengusaha jasa angkutan udara dalam negeri; dan l) Pengusaha Lain yang ditetapkan oleh Direktur Jendral Pajak.
2.2.3
Objek Pajak Pertambahan Nilai Menurut Undang-Undang PPN No. 42 Tahun 2009 Pasal 4 ayat (1), yang
termasuk objek PPN adalah: 1. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha; 2. Impor Barang Kena Pajak; 3. Penyerahan Jasa Kena Pajak yang dilakukan di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha; 4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; 5. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; 6. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
16
7. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan 8. Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
2.2.4
Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP)
Definisi dari UU No. 42 Tahun 2009, menjelaskan bahwa: “Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau tidak bergerak, dan barang tidak berwujud. Barang Kena Pajak (BKP) adalah barang yang dikenakan pajak berdasarkan UndangUndang ini”. “Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesanan. Jasa Kena Pajak (JKP) adalah jasa yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang ini”.
2.2.5 Pengecualian BKP dan JKP Menurut Undang-Undang PPN No.42 Tahun 2009 Pasal 4A ayat (2) dan ayat (3) jenis barang dan jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah: 1. Barang Kena Pajak (BKP), meliputi: a) Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya; b) Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak; c) makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering; dan d) uang, emas batangan, dan surat berharga.
17
2. Jasa Kena Pajak (JKP), meliputi: a) Jasa pelayanan kesehatan medik; b) Jasa pelayanan sosial; c) Jasa pengiriman surat dengan perangko; d) Jasa keuangan; e) Jasa asuransi; f)
Jasa keagamaan;
g) Jasa pendidikan; h) Jasa kesenian dan hiburan; i)
Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan;
j)
Jasa angkutan umum di darat dan air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri;
k) Jasa tenaga kerja; l)
Jasa perhotelan;
m) Jasa yang disediakan oleh Pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum; n) Jasa penyediaan tempat parkir; o) Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam; p) Jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan q) Jasa boga atau katering.
2.3
Mekanisme Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Menurut Untung Sukardji (2005:34), UU PPN 1983 menganut Credit
Method/ Invoice Method/ Indirect Substraction Method. Dalam metode ini Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP). Metode ini hasilnya lebih akurat karena dimungkinkan komponen harga beli terdapat komponen yang tidak terutang PPN. Dalam hal metode pengkreditan menggunakan substraction method yang menghasilkan pajak atas nilai tambah secara tidak langsung, disebut indirect substraction method. Untuk melakukan
18
pengkreditan pajak masukan, sarana yang digunakan adalah faktur (metode faktur pajak). Mekanisme pengenaan PPN dapat digambarkan sebagai berikut:
Pada saat membeli/memperoleh BKP/JKP, akan dipungut PPN oleh PKP.
Pada saat menjual/menyerahkan BKP/JKP kepada pihak lain, wajib memungut PPN. Bagi penjual, PPN tersebut merupakan Pajak Keluaran. Sebagai bukti telah memungut PPN, PKP penjual wajib membuat faktur pajak.
Apabila dalam suatu Masa Pajak yang jangka waktunya sama dengan suatu bulan takwim jumlah Pajak Keluaran lebih besar dari pada jumlah Pajak Masukan, selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor oleh Pengusaha Kena Pajak.
Apabila dalam suatu Masa Pajak yang jangka waktunya sama dengan suatu bulan takwim jumlah Pajak Keluaran lebih kecil dari pada jumlah Pajak Masukan, selisihnya merupakan kelebihan pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 9 ayat (4) UU No. 42 Tahun 2009 yang dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.
Pelaporan perhitungan PPN dilakukan setiap Masa Pajak dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN).
2.3.1
Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Menurut Undang-Undang PPN No. 42 Tahun 2009 Pasal 1 mengenai
Ketentuan Umum, yang dimaksud Dasar Pengenaan Pajak (DPP) adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau Nilai Lain yang dipakai dasar untuk menghitung pajak yang terutang.
19
Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak, atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh penerima jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud karena
pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam perundangundangan yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut menurut Undang-Undang ini.
Nilai ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir.
2.3.2
Tarif Pajak Pertambahan Nilai Menurut Undang-Undang PPN No. 42 Tahun 2009 Pasal 7, tarif Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) adalah sebagai berikut: 1. Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen) 2. Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas: a.
ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
b.
ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan
20
c.
ekspor Jasa Kena Pajak
3. Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen) yang perubahan tarifnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2.3.3 Cara Menghitung Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Cara menghitung PPN adalah sebagai berikut: PPN = Dasar Pengenaan Pajak x Tarif Pajak Contoh: Pengusaha Kena Pajak PT. X menjual tunai Barang Kena Pajak (BKP) kepada PT. Y dengan total penjualan Rp 10.000.000,00 PPN yang terutang:
PPN = Dasar Pengenaan Pajak x Tarif Pajak PPN = Rp 10.000.000,00 x 10% PPN = Rp 1.000.000,00
2.3.4 Tata Cara Pemungutan PPN Menurut Keputusan Menteri Keuangan Nomor 563/KMK.03/2003, Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran PPN sebagai berikut: a) PKP Rekanan Pemerintah membuat Faktur Pajak dan SSP pada saat menyampaikan tagihan kepada Bendaharawan Pemerintah atau KPPN untuk sebagian maupun seluruh pembayaran; b) SSP sebagaimana dimaksud pada huruf a diisi dengan membubuhkan NPWP dan identitas PKP Rekanan Pemerintah yang bersangkutan, tetapi penandatanganan SSP dilakukan oleh Bendaharawan Pemerintah atau KPKN sebagai penyetor atas nama PKP Rekanan Pemerintah; c) Dalam hal penyerahan BKP tersebut terutang PPnBM maka PKP Rekanan Pemerintah mencantumkan jumlah PPnBM yang terutang pada Faktur Pajak;
21
d) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a dibuat dalam rangkap 3 (tiga):
Lembar ke-1 untuk Bendaharawan Pemerintah atau KPPN sebagai pemungut PPN.
Lembar ke-2 untuk arsip PKP Rekanan Pemerintah.
Lembar ke-3 untuk KPP melalui Bendaharawan Pemerintah atau
KPPN. e) Dalam hal pemungutan oleh Bendaharawan Pemerintah, SSP sebagaimana dimaksud pada huruf a dibuat dalam rangkap 5 (lima). Setelah PPN dan atau PPnBM disetor di Bank Persepsi atau Kantor Pos, lembar-lembar SSP tersebut diperuntukkan sebagai berikut:
Lembar ke-1 untuk PKP Rekanan Pemerintah.
Lembar ke-2 untuk KPP melalui KPPN.
Lembar ke-3 untuk PKP Rekanan Pemerintah dilampirkan pada SPT Masa PPN.
Lembar ke-4 untuk Bank Persepsi atau Kantor Pos.
Lembar ke-5 untuk pertinggal Bendaharawan Pemerintah.
f) Dalam hal pemungutan oleh KPPN, SSP sebagaimana dimaksud pada huruf a dibuat dalam rangkap 4 (empat) yang masing-masing diperuntukkan sebagai berikut:
Lembar ke-1 untuk PKP Rekanan Pemerintah.
Lembar ke-2 untuk KPP melalui KPPN.
Lembar ke-3 untuk PKP Rekanan Pemerintah dilampirkan pada SPT Masa PPN.
Lembar ke-4 untuk pertinggal KPPN.
g) Pada lembar Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf d oleh Bendaharawan Pemerintah yang melakukan pemungutan wajib dibubuhi cap “Disetor tanggal ............” dan ditandatangani oleh Bendaharawan Pemerintah;
22
h) Pada setiap lembar Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf d dan SSP sebagaimana dimaksud pada huruf f oleh KPPN yang melakukan pemungutan dicantumkan nomor dan tanggal advis SPM; i) SSP lembar ke-1 dan lembar ke-2 sebagaimana dimaksud pada huruf f dibubuhi cap “TELAH DIBUKUKAN” oleh KPPN; dan j) Faktur Pajak dan SSP merupakan bukti pemungutan dan penyetoran PPN dan atau PPnBM. 2.3.4.1 Surat Setoran Pajak (SSP) Menurut Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Tahun 2011 Pasal 1, Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Sehubungan dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor PER38/PJ./2009 tanggal 23 Juni 2009 jo. PER-23/PJ./2010 tanggal 22 April 2010, maka diberitahukan hal-hal sebagai berikut : 1. Pada SSP bentuk baru, Kode Mata Anggaran Penerimaan (MAP) berubah namanya menjadi Kode Akun Pajak; 2. Ada penambahan untuk keperluan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yaitu NOP dan Alamat OP; 3. Sesuai dengan Pasal 6 Peraturan Menteri Keuangan Nomor PER-38/PJ./2009 maka Wajib pajak masih dapat menggunakan formulir SSP bentuk lama hingga tanggal 31 Desember 2009 dengan menggunakan Kode Akun Pajak dan Kode Jenis Setoran baru.
23
TABEL 2.1 KODE MAP LAMA DENGAN KODE AKUN PAJAK BARU YANG BERLAKU SEJAK 1 JULI 2009 Kode Akun
MAP No.
Uraian
Pajak
(Lama) 1
(Baru)
411121 Untuk
Jenis
Pajak
411121
PPh Pasal 21 2
411122 Untuk
Jenis
411123 Untuk
Jenis
Pajak
411122
411124 Untuk
Jenis
Pajak
411123
Pajak
411125 Untuk PPh
Jenis Pasal
411124
411126 Untuk PPh
Jenis Pasal
Pajak
411125
25/29
Pasal
25/29
Orang Pribadi Pajak
411126
25/29
Untuk Jenis Pajak PPh
Pasal
25/29
Badan
411127 Untuk
Jenis
Pajak
411127
PPh Pasal 26 8
Untuk Jenis Pajak PPh
Badan 7
Untuk Jenis Pajak PPh Pasal 23
Orang Pribadi 6
Untuk Jenis Pajak PPh Pasal 22 Impor
PPh Pasal 23 5
Untuk Jenis Pajak PPh Pasal 22
PPh Pasal 22 Impor 4
Untuk Jenis Pajak PPh Pasal 21
PPh Pasal 22 3
Uraian
411128 Untuk
Jenis
Untuk Jenis Pajak PPh Pasal 26
Pajak
411128
PPh Final dan Fiskal
Untuk Jenis Pajak PPh Final
Luar Negeri 9
411129 Untuk PPh
Jenis Non
Pajak
411129
Migas
PPh
Lainnya 10
-
Untuk Jenis Pajak Non
Migas
Lainnya -
411131
Untuk Jenis Pajak Fiskal Luar Negeri
24
11
411111 Untuk
Jenis
Pajak
411111
PPh Minyak Bumi 12
411112 Untuk
Jenis
Pajak
PPh Minyak Bumi 411112
PPh Gas Alam 13
411113 Untuk PPh
Jenis
Untuk Jenis Pajak
Untuk Jenis Pajak PPh Gas Alam
Pajak
Lainnya
-
-
411119
Untuk Jenis Pajak
dari
Minyak Bumi 14
411119 Untuk
Jenis
Pajak
PPh Migas Lainnya 15
411211 Untuk
Jenis
Pajak
PPh Migas Lainnya 411211
PPN Dalam Negeri 16
411212 Untuk
Jenis
Pajak
PPN Dalam Negeri 411212
PPN Impor 17
411219 Untuk
411221 Untuk
Jenis
Jenis
PPnBM
Pajak
411219
411222 Untuk
Pajak
411221
Dalam
411229 Untuk
Untuk Jenis Pajak PPnBM
Dalam
Negeri Jenis
Pajak
411222
PPnBM Impor 20
Untuk Jenis Pajak PPN Lainnya
Negeri 19
Untuk Jenis Pajak PPN Impor
PPN Lainnya 18
Untuk Jenis Pajak
Jenis
Untuk Jenis Pajak PPnBM Impor
Pajak
411229
PPnBM Lainnya
Untuk Jenis Pajak PPnBM Lainnya
21
411611 Untuk Bea Meterai
411611
Untuk Bea Meterai
22
411612 Untuk
411612
Untuk
Penjualan
Benda Meterai 23
-
-
Penjualan
Benda Meterai 411613
Untuk
Pajak
Penjualan Batubara 24
411619 Untuk Pajak Tidak Langsung Lainnya
411619
Untuk Pajak Tidak Langsung Lainnya
25
25
411621 Untuk
Bunga
411621
Penagihan PPh 26
411622 Untuk
Penagihan PPh Bunga
411622
Penagihan PPN 27
411623 Untuk
411624 Untuk
Untuk Bunga/ Denda Penagihan PPN
Bunga
411623
Penagihan PPnBM 28
Untuk Bunga/ Denda
Untuk Bunga/ Denda Penagihan PPnBM
Bunga
411624
Penagihan PTLL
Untuk Bunga/ Denda Penagihan PTLL
TABEL 2.2 KODE JENIS SETORAN PPN DALAM NEGERI Kode Jenis
Jenis Setoran
Keterangan
Setoran 100
Setoran Masa PPN Dalam untuk pembayaran pajak yang masih Negeri
harus dibayar yang tercantum dalam SPT Masa PPN Dalam Negeri.
101
Setoran PPN BKP tidak untuk pembayaran PPN terutang atas berwujud dari luar Daerah pemanfaatan BKP tidak berwujud dari Pabean
102
luar Daerah Pabean.
Setoran PPN JKP dari luar untuk pembayaran PPN terutang atas Daerah Pabean
Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean.
103
Setoran Kegiatan Mem- untuk pembayaran PPN terutang atas bangun Sendiri
Kegiatan Membangun Sendiri.
Setoran Penyerahan Aktiva untuk pembayaran PPN terutang atas yang 104
semula
menurut tidak
diperjualbelikan
tujuan penyerahan aktiva yang menurut tujuan untuk semula tidak untuk diperjualbelikan.
26
Setoran Atas Pengalihan untuk pembayaran PPN yang terutang Aktiva
Dalam
Rangka atas pengalihan aktiva dalam rangka
Restrukturisasi Perusahaan restrukturisasi perusahaan. 199
Pembayaran Pendahuluan untuk skp PPN Dalam Negeri
pembayaran
pajak
sebelum
diterbitkan surat ketetapan pajak PPN Dalam Negeri.
300
STP PPN Dalam Negeri
untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam STP PPN Dalam Negeri.
310
SKPKB
PPN
Dalam untuk pembayaran jumlah yang masih
Negeri
harus dibayar yang tercantum dalam SKPKB PPN Dalam Negeri.
311
SKPKB PPN Pemanfaatan untuk pembayaran jumlah yang masih BKP tidak berwujud dari harus dibayar yang tercantum dalam luar Daerah Pabean
SKPKB PPN atas pemanfaatan BKP tidak
berwujud
dari
luar
Daerah
Pabean. 312
SKPKB PPN Pemanfaatan untuk pembayaran jumlah yang masih JKP
dari
luar
Daerah harus dibayar yang tercantum dalam
Pabean
SKPKB PPN atas pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean.
313
SKPKB
PPN
Kegiatan untuk pembayaran jumlah yang masih
Membangun Sendiri
harus dibayar yang tercantum dalam SKPKB
PPN
atas
Kegiatan
Membangun Sendiri. 314
SKPKB Pemungut PPN untuk pembayaran jumlah yang masih Dalam Negeri
harus dibayar yang tercantum dalam SKPKB PPN yang menjadi kewajiban pemungut.
27
320
SKPKBT
PPN
Dalam untuk pembayaran jumlah yang masih
Negeri
harus dibayar yang tercantum dalam SKPKBT PPN Dalam Negeri.
321
SKPKBT
PPN untuk pembayaran jumlah yang masih
Pemanfaatan BKP tidak harus dibayar yang tercantum dalam berwujud dari luar Daerah SKPKBT PPN atas pemanfaatan BKP Pabean
tidak
berwujud
dari
luar
Daerah
Pabean. 322
SKPKBT faatan
PPN
JKP
Peman- untuk pembayaran jumlah yang masih
dari
Daerah Pabean
luar harus dibayar yang tercantum dalam SKPKBT PPN atas pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean.
323
SKPKBT
PPN
atas untuk pembayaran jumlah yang masih
Kegiatan
Membangun harus dibayar yang tercantum dalam
Sendiri
SKPKBT
PPN
atas
Kegiatan
Membangun Sendiri. 324
SKPKBT Pemungut PPN untuk pembayaran jumlah yang masih Dalam Negeri
harus dibayar yang tercantum dalam SKPKBT PPN Dalam Negeri yang menjadi kewajiban pemungut.
390
Pembayaran
atas
Keputusan
Pembetulan, harus dibayar yang tercantum dalam
Surat
Keputusan Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keberatan, Banding,
Surat untuk pembayaran jumlah yang masih
Putusan Keputusan atau
Putusan Banding,
Peninjauan Kembali 500
atau
Keberatan,
Putusan
Putusan
Peninjauan
Kembali.
PPN Dalam Negeri atas untuk kekurangan pembayaran pajak pengungkapan
yang
masih
harus
disetor
yang
ketidakbenaran
tercantum dalam SPT Masa PPN
28
Dalam
Negeri
atas
pengungkapan
ketidakbenaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) atau Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang KUP. 501
PPN Dalam Negeri atas untuk kekurangan pembayaran pajak penghentian
penyidikan yang
tindak pidana
masih
harus
disetor
yang
tercantum dalam SPT PPh Pasal 21 atas penghentian penyidikan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) Undang-Undang KUP.
510
Sanksi administrasi berupa untuk pembayaran sanksi administrasi denda atau kenaikan atas berupa denda atau kenaikan, atas pengungkapan
pengungkapan
ketidakbenaran
ketidakbenaran
pengisian pengisian SPT Masa PPN Dalam
SPT Masa PPN Dalam Negeri sebagaimana dimaksud dalam Negeri
Pasal 8 ayat (3) atau Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang KUP.
511
Sanksi denda administrasi atau berupa
denda
penghentian
untuk
atas administrasi
pembayaran berupa
denda,
sanksi atas
penyidikan penghentian penyidikan tindak pidana
tindak pidana di bidang di perpajakan
bidang perpajakan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) Undang-Undang KUP.
900
Pemungut Negeri
PPN
Dalam untuk penyetoran PPN dalam negeri yang dipungut oleh Pemungut.
29
2.3.4.2 Faktur Pajak Menurut Undang-Undang PPN No. 42 Tahun 2009 Pasal 1, Faktur Pajak merupakan bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak. Tata cara penyajian kode dan nomor seri faktur pajak sesuai dengan PMK38/PMK.03/2010 jo. PER-13/PJ./2010 adalah sebagai berikut: •
Kode Transaksi
–.
Kode Cabang
•
Tahun Penerbitan
Nomor Urut
Kode Status Contoh:
010.000–09.00000001 kode transaksi 01 digunakan untuk penyerahan kepada selain pemungut PPN.
020.000–09.00000001 kode transaksi 02 digunakan untuk penyerahan kepada pemungut PPN Bendahara Pemerintah.
030.000–09.00000001 kode transaksi 03 digunakan untuk penyerahan kepada pemungut PPN lainnya (selain Bendahara Pemerintah).
040.000–09.00000001 kode transaksi 04 digunakan untuk penyerahan yang menggunakan DPP Nilai lain kepada selain pemungut PPN.
050.000–09.00000001 kode transaksi 05 ini sudah tidak digunakan sejak 1 April 2010.
060.000–09.00000001 kode transaksi 06 digunakan untuk penyerahan lainnya kepada selain pemungut PPN, dan penyerahan kepada orang pribadi pemegang paspor luar negeri (turis asing).
30
070.000–09.00000001 kode transaksi 07 digunakan untuk penyerahan yang PPN atau PPN dan PPnBM-nya tidak dipungut kepada selain pemungut PPN, ditanggung pemerintah (DTP), dan penyerahan ke kawasan bebas/ Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
080.000–09.00000001 kode transaksi 08 digunakan untuk penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan PPN atau PPnBM kepada selain pemungut PPN.
090.000–09.00000001 kode transaksi 09 digunakan untuk penyerahan aktiva Pasal 16D kepada selain pemungut PPN.
2.3.5
Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010 Pasal 2
ayat (13), ayat (13A), ayat (14), ayat (14A), ayat (15), dan Pasal 2A, penyampaian Pelaporan PPN ditentukan sebagai berikut:
PPN yang terutang atas kegiatan membangun sendiri harus disetor oleh orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
PPN yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean harus disetor oleh orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak.
PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran sebagai Pemungut PPN, harus disetor paling lama tanggal 7 (tujuh), bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar sebagai Pemungut PPN, harus disetor pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran kepada
31
Pengusaha Kena Pajak Rekanan Pemerintah melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara.
PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Pemungut PPN selain Bendahara Pemerintah yang ditunjuk, harus disetor paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang dalam satu Masa Pajak harus disetor paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa PPN disampaikan.
2.3.5.1 Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN) Menurut Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Tahun 2011 Pasal 1, Surat Pemberitahuan Masa adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan untuk suatu Masa Pajak. Menurut Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-2/PJ./2011 tentang Tata Cara Penerimaan dan Pengolahan SPT Masa PPN, PKP atau Pemungut PPN menyampaikan SPT dengan kelengkapan sebagai berikut: 1. Bagi PKP yang tidak menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan, SPT terdiri dari: a) Induk SPT Masa PPN 1111 - Formulir 1111 (F.1.2.32.04); b) Formulir 1111 AB - Rekapitulasi Penyerahan dan Perolehan (D.1.2.32.07); c) Formulir 1111 A1 - Daftar Ekspor BKP Berwujud, BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP (D.1.2.32.08); d) Formulir 1111 A2 - Daftar Pajak Keluaran atas Penyerahan Dalam Negeri dengan Faktur Pajak (D.1.2.32.09);
32
e) Formulir 1111 B1 - Daftar Pajak Masukan yang Dapat Dikreditkan atas Impor BKP dan Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud/JKP dari Luar Daerah Pabean (D.1.2.32.10); f)
Formulir 1111 B2 - Daftar Pajak Masukan yang Dapat Dikreditkan atas Perolehan BKP/JKP Dalam Negeri (D.1.2.32.11); dan
g) Formulir 1111 B3 - Daftar Pajak Masukan yang Tidak Dapat Dikreditkan atau yang Mendapat Fasilitas (D.1.2.32.12). 2. Bagi PKP yang menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan pajak masukan, SPT terdiri dari: a) Induk SPT Masa PPN 1111 DM - Formulir 1111 DM (F.1.2.32.05); b) Formulir 1111 A DM - Daftar Pajak Keluaran atas Penyerahan Dalam Negeri Dengan Faktur Pajak (D.1.2.32.13); dan c) Formulir 1111 R DM - Daftar Pengembalian BKP dan Pembatalan JKP
oleh
PKP
yang
Menggunakan
Pedoman
Penghitungan
Pengkreditan Pajak Masukan (D.1.2.32.14). 3. Bagi Pemungut PPN, SPT terdiri dari: a) Induk SPT - Formulir 1107 PUT (F.1.2.32.02); b) Lampiran 1 Daftar PPN dan PPnBM Yang Dipungut Oleh Bendaharawan Pemerintah - Formulir 1107 PUT 1 (D.1.2.32.03); dan c) Lampiran 2 Daftar PPN dan PPnBM Yang Dipungut Oleh Selain Bendaharawan Pemerintah - Formulir 1107 PUT 2 (D.1.2.32.04).
2.4
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22
2.4.1
Dasar Hukum Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 Dasar hukum Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 diantaranya:
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. 2. Peraturan
Menteri
Keuangan
Nomor
154/PMK.03/2010
tentang
Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sehubungan dengan pembayaran
33
atas penyerahan barang dan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain. 3. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-57/PJ./2010 tentang tata cara dan prosedur pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang dan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.
2.4.2
Pengertian Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 Menurut Siti Resmi (2009:283), menjelaskan: “Pajak Penghasilan Pasal 22 merupakan pajak yang dipungut oleh bendaharawan pemerintah baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan lembagalembaga negara lain, berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang; dan badan-badan tertentu baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.”
2.4.3
Pemungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 tantang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 36 Tahun 2008, pemungut PPh Pasal 22 adalah: 1. Bank devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, atas impor barang; 2. Bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau lembaga Pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang; 3. Bendahara pengeluaran untuk pembayaran yang dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP); 4. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi delegasi oleh KPA, untuk pembayaran kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan mekanisme pembayaran langsung (LS);
34
5. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja, dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri; 6. Produsen atau importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas atas penjualan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas; 7. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul. 2.4.4
Subjek Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 Menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 Tahun 2008 Pasal
22 ayat (1), yang termasuk subjek Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 adalah: 1. Bendahara pemerintah untuk memungut pajak sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang (bendahara pemerintah, termasuk bendahara pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, dan lembaga-lembaga lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang, termasuk juga dalam pengertian bendahara adalah pemegang kas dan pejabat lain yang menjalankan fungsi yang sama); 2. Badan-badan tertentu untuk memungut pajak dari Wajib Pajak yang melakukan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain (badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta, berkenaan dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain, seperti kegiatan usaha produksi barang tertentu antara lain otomotif dan semen); 3. Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah (Wajib Pajak badan tertentu untuk memungut pajak dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah. Pemungutan pajak oleh Wajib Pajak badan tertentu ini akan dikenakan terhadap pembelian barang yang memenuhi
35
kriteria tertentu sebagai barang yang tergolong sangat mewah baik dilihat dari jenis barangnya maupun harganya, seperti kapal pesiar, rumah sangat mewah, apartemen, dan kondominium sangat mewah, serta kendaraan sangat mewah). 2.4.5
Objek Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 Menurut Siti Resmi (2009:284), menjelaskan yang termasuk objek Pajak
Penghasilan Pasal 22 adalah: 1. Impor barang; 2. Pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Anggaran, Bendaharawan Pemerintah baik di Tingkat Pusat maupun Tingkat Daerah yang melakukan pembayaran atas pembelian barang; 3. Pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), yang dananya bersumber dari belanja negara (APBN) dan/atau belanja daerah (APBD); 4. Pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI), PT. Perusahaan Pengelola Aset (PPA), Perun Badan Urusan Logistik (Bulog), PT. Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT. Garuda Indonesia, PT. Indosat, PT. Krakatau Steel, PT. Pertamina, dan bank-bank BUMN yang melakukan pembelian barang yang dananya bersumber baik dari APBN maupun non-APBN; 5. Penjualan hasil produksi dalam negeri yang dilakukan oleh badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja, dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak; 6. Penjualan hasil produksi oleh produsen atau importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas; 7. Pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor pedagang pengumpul oleh industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor
36
perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak. 2.4.6
Pengecualian Objek Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 Menurut Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor :
154/PMK.03/2010 Pasal 3 ayat (1), menjelaskan: Dikecualikan dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22: 1.
Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan;
2.
Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan atau Pajak Pertambahan Nilai: a) barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia berdasarkan asas timbal balik; b) barang untuk keperluan badan internasional beserta pejabatnya yang bertugas di Indonesia dan tidak memegang paspor Indonesia yang diakui dan terdaftar dalam peraturan menteri keuangan yang mengatur tentang tata cara pemberian pembebasan bea masuk dan cukai atas impor barang untuk keperluan badan internasional beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia; c) barang kiriman hadiah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial, kebudayaan atau untuk kepentingan penanggulangan bencana; d) barang untuk keperluan museum, kebun binatang, konservasi alam dan tempat lain semacam itu yang terbuka untuk umum; e) barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan; f)
barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan penyandang cacat lainnya;
g) peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah; h) barang pindahan;
37
i)
barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan barang kiriman sampai batas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
j)
barang yang diimpor oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang ditunjukkan untuk kepentingan umum;
k) persenjataan, amunisi, dan perlengkapan militer, termasuk suku cadang yang diperuntukan bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara; l)
barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara;
m) vaksin Polio dalam rangka pelaksanaan program Pekan Imunisasi Nasional (PIN); n) buku-buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku pelajaran agama; o) kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau, kapal angkutan penyebrangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal tongkang, dan suku cadang serta alat keselamatan pelayaran atau alat keselamatan manusia yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional
atau
perusahaan penangkapan ikan nasional; p) pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan atau alat keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Angkatan Udara Niaga Nasional; q) kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan serta prasarana yang diimpor dan digunakan oleh PT. Kereta Api Indonesia; r)
peralatan yang digunakan untuk penyediaan data batas dab foto udara wilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia; dan/atau
38
s)
barang untuuk kegiatan hulu Minyak dan Gas Bumi yang importasinya dilakukan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama.
3.
Impor sementara, jika pada waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor kembali;
4.
Impor kembali (re-impor), yang meliputi barang-barang yang telah diekspor kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang sama atau barang-barang
yang telah diekspor untuk
keperluan
perbaikan,
pengerjaan dan pengujian, yang telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; 5.
Pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b, huruf c , dan huruf d, berkenaan dengan: a) Pembayaran yang jumlahya paling banyak Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah; b) Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, pelumas, air minum/PDAM dan benda-benda pos.
6.
Pembayaran untuk pembelian gabah dan/atau beras oleh Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (BULOG);
7.
Emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas untuk tujuan ekspor;
8.
Pembayaran untuk pembelian barang sehubungan dengan penggunaan dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
2.4.7
Tarif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 Menurut Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor :
154/PMK.03/2010 Pasal 2 ayat (1), menjelaskan: Besarnya Pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 ditetapkan sebagai berikut: 1. Atas impor: a.
Yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API), sebesar 2,5% (dua setengah persen) dari nilai impor, kecuali impor kedelai, gandum, dan tepung terigu sebesar 0,5% (setengah persen) dari nilai impor;
39
b.
Yang tidak menggunakan Angka Pengenal Impor (API), sebesar 7,5% (tujuh setengah persen) dari nilai impor; dan/atau
c.
Yang tidak dikuasai, sebesar 7,5% (tujuh setengah persen) dari harga jual lelang.
2. Atas pembelian barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b, huruf c, dan huruf d sebesar 1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian. 3. Atas penjualan bahan bakar minyak, gas, dan pelumas oleh produsen atau importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas adalah sebagai berikut: a.
Bahan Bakar Minyak sebesar: a)
0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai untuk penjualan kepada SPBU Pertamina;
b) 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai untuk penjualan kepada SPBU bukan Pertamina dan Non-SPBU; b.
Bahan Bakar Gas sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai;
c.
Pelumas sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.
4. Atas penjualan hasil produksi di dalam negeri oleh badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja, dan industri otomotif: a.
Penjualan kertas di dalam negeri sebesar 0,1% (nol koma satu persen) dari dasar pengenaan pajak Pajak Pertambahan Nilai;
b.
Penjualan semua jenis semen di dalam negeri sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari dasar pengenaan pajak Pajak Pertambahan Nilai;
c.
Penjualan semua jenis kendaraan bermotor beroda dua atau lebih di dalam negeri sebesar 0,45% (nol koma empat puluh lima persen) dari dasar pengenaan pajak Pajak Pertambahan Nilai;
40
d.
Penjualan baja di dalam negeri sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) dari dasar pengenaan pajak Pajak Pertambahan Nilai.
5. Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor oleh badan usaha industri atau eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan yang ditunjuk sebagai pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 dari pedagang pengumpul sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari harga pembelian tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.
2.5
Mekanisme Pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22
2.5.1
Cara Menghitung PPh Pasal 22
Cara menghitung PPh Pasal 22 adalah sebagai berikut: 1.
Contoh Pembelian Barang oleh Instansi Pemerintahan: Dinas Pendidikan Kota A membeli peralatan mebel dan peralatan kantor dari Perusahaan Furniture B senilai Rp 220.000.000,00 (termasuk PPN 10%). PPh Pasal 22 = 100% x 1,5 % x Jumlah Pembayaran 110% PPh Pasal 22 = 100% x 1,5% x Rp 220.000.000,00 110% PPh Pasal 22 = Rp 3.000.000,00
2.5.2
Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran PPh Pasal 22 Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010, tata
cara pemungutan dan penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 22 adalah: 1. Pemungut pajak wajib memungut dan menyetorkan PPh Pasal 22 ke kantor pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Ketentuan pemungutan dan penyetoran tersebut adalah sebagai berikut:
41
PPh Pasal 22 atas impor, dipungut dan harus disetor sendiri oleh importir ke bank devisa pada saat pembayaran bea masuk.
PPh Pasal 22 atas impor oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dipungut pada saat pembayaran bea masuk atau pada saat penyelesaian dokumen Pemberitahuan Impor Untuk Dipakai (PIUD).
PPh Pasal 22 atas pembelian barang oleh pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b, huruf c, dan huruf d, wajib setor oleh pemungut ke kas negara melalui Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak yang telah diisi atas nama rekanan serta ditandatangani oleh pemungut pajak.
PPh Pasal 22 atas penjualan bahan bakar minyak, gas dan pelumas, dan penjualan hasil produksi industri semen, industri kertas, industri baja dan industri otomotif, wajib disetor oleh pemungut ke kas negara melalui Kantor Pos, bank devisa, atau bank lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak.
PPh Pasal 22 atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor oleh badan usaha industri atau eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan wajib disetor oleh pemungut ke kas negara melalui Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak.
PPh Pasal 22 atas impor barang, pembelian barang oleh pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf b, huruf c, dan huruf d, penjualan hasil produksi industri semen, industri kertas, industri baja, dan industri otomotif dan pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor bersifat tidak final dan dapat diperhitungkan sebagai pembayaran Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan bagi Wajib Pajak yang dipungut.
PPh Pasal 22 atas penjualan bahan bakar minyak, gas dan pelumas kepada:
42
- penyalur/ agen bersifat final; - selain penyalur/ agen bersifat tidfak final. 2. Pelaksanaan penyetoran PPh Pasal 22, ditentukan sebagai berikut: a) Penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 22 oleh importir, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 hurf b, huruf c, dan huruf d, menggunakan formulir Surat Setoran Pajak yang berlaku sebagai Bukti Pemungutan Pajak. b) Pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf e, huruf f, dan huruf g, wajib menerbitkan Bukti Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 dalam rangkap 3 (tiga), yaitu:
Lembar ke-1 untuk Wajib Pajak (pembeli/pedagang pengumpul);
Lembar ke-2 sebagai lampiran laporan bulanan kepada Kantor Pelayanan Pajak (dilampirkan pada Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 22); dan
Lembar ke-3 sebagai arsip pemungut pajak yang bersangkutan.
3. Pemungut pajak wajib melaporkan penyetoran tersebut ke Kantor Pelayanan Pajak dengan menggunakan formulir Surat Pemberitahuan (SPT) Masa. Penyampaian laporan tersebut ditentukan sebagai berikut:
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebagai pemungut pajak, harus melaporkan hasil pungutannya secara mingguan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah batas waktu penyampaian pajak berakhir.
Bendaharawan Pemerintah (Pusat maupun Daerah), BUMN/BUMD sebagai pemungut pajak, harus melaporkan hasil pemungutannya paling lambat 14 (empat belas) hari setelah Masa Pajak berakhir.
Badan usaha industri tertentu, Pertamina/badan usaha sejenis, badan usaha industri/eksportir tertentu sebagai pemungut pajak, harus menyampaikan SPT Masa paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.