BAB II ANALISIS STRUKTUR ROMAN ANAK PERAWAN DI SARANG PENYAMUN
Karya sastra merupakan sebuah totalitas. Sebagai sebuah totalitas, karya sastra terdiri atas unsur-unsur, bagian-bagian, yang berkaitan satu dengan yang lain dan menjalin ketergantungan. Unsur-unsur pembangun karya sastra itu kemudian dikelompokkan menjadi dua bagian, unsur intrinsik dan ekstrinsik (Nurgiyantoro, 2005:23). Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra. Unsur intrinsik dapat dijumpai dengan membaca karya sastra. Dalam penelitian ini, unsur intrinsik berfungsi menguraikan isi roman secara sistematis ke dalam unsurunsur yang telah ditentukan dengan tujuan mempermudah pelaksanaan penelitian psikologi sastra sebagai fokus utama. Unsur intrinsik menjangkau banyak hal dan batasnya adalah seluas karya sastra sebagai objek. Penelitian ini secara khusus membatasi unsur-unsur yang dikaji dalam penokohan, alur, dan latar sebagai fakta cerita. Analisis unsur intrinsik ini menjadi signifikan terhadap analisis psikologi sastra yang dilakukan dalam bab selanjutnya.
2.1
Analisis Struktur Analisis struktur dalam penelitian ini merupakan kajian awal sebelum
melaksanakan analisis psikologi sastra. Teeuw (2015:119) berpendapat bahwa analisis struktur tidak mutlak harus dilakukan, tetapi memang penting dan perlu sebagai upaya menyistematikkan proses membaca dan memahami karya sastra. Pendekatan
struktural
terhadap
karya
17
sastra
pada
dasarnya
bertujuan
18
mempermudah penelitian terhadap karya sastra dengan mengelompokkan unsurunsur karya sastra secara eksplisit. Karya sastra berdasarkan analisis struktural terdiri atas unsur-unsur yang memiliki keterkaitan antarhubungan satu-sama lain. Kaitan antarhubungan itu memiliki pertalian yang erat. Meskipun terpisah dan mempunyai batasan masingmasing, unsur-unsur itu tidak otonom, melainkan merupakan bagian dari situasi rumit dan dari hubungannya dengan unsur lain. Dalam memahami karya sastra terlebih dahulu haruslah memperhatikan jalinan antarunsur sebagai bagian dari keseluruhan (Pradopo, 2011:142). Dalam penelitian ini diuraikan unsur-unsur intrinsik karya sastra yang mencakup: penokohan, alur, dan latar. Analisis struktural dilaksanakan sebagai upaya mempermudah pengungkapan nilai psikologis yang terdapat dalam roman Anak Perawan di Sarang Penyamun.
2.1.1
Penokohan Dalam pembicaraan fiksi, penokohan merupakan salah satu unsur yang
paling penting, khususnya karya sastra dengan medium roman, penokohan menjadi posisi strategis sebagai sebuah ide yang hidup. Penokohan atau secara khusus tokoh diaktualisasikan dalam plot dengan serangkaian insiden yang terjadi, dan latar menjadi penegas diimplementasikannya plot dalam cerita (Nurgiyantoro, 2005:164). Definisi mengenai penokohan sering membias karena pengertian perwatakan dan karakterisasi. Meskipun tidak menunjuk pada pengertian yang
19
terlalu berbeda, dalam penelitian ini digunakan istilah penokohan terhadap analisis
tokoh-tokoh
roman
dengan
rujukan
pernyataan
Jones
(dalam
Nurgiyantoro, 2005:165) yang berpendapat bahwa penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Menurut Lajos Egri (dalam Sukada, 1987:135) perwatakan memiliki tiga dimensi sebagai struktur pokoknya, yakni: fisiologis, sosiologis, dan psikologis. Ketiga dimensi tersebut dalam psikologi menjadi bagian dari “teori perkembangan” khususnya “teori konvergensi” di satu pihak, dan teori mengenai perasaan emosi, khususnya “teori kepribadian” di pihak lain. Wellek dan Warren menyebut ketiga dimensi tersebut dengan istilah block characterization. Pada penelitian ini secara khusus, analisis tokoh akan menggunakan tiga dimensi penokohan Lajos Egri. Dimensi fisiologis merupakan ciri-ciri fisik yang terdapat dalam tokoh. Hal ini merupakan aspek yang digambarkan dapat diobservasi secara indrawi. Dimensi sosiologis berhubungan dengan keadaan sosial seorang tokoh, di antaranya agama, pendidikan, pekerjaan, kedudukan sosial, suku, dan sebagainya. Dimensi psikologis adalah aspek mentalitas tokoh. Kondisi kejiwaan tokoh dipaparkan melalui dimensi psikologis dengan berdasarkan pada watak yang disandang tokoh tersebut. Nurgiyantoro (2005:176) mengelompokkan tokoh berdasarkan tingkat kepentingannya menjadi dua kelompok. Tokoh utama dan tokoh tambahan. Analisis penokohan di dalam penelitian ini menggunakan rujukan pernyataan Nurgiantoro dengan membatasi ulasan pada tokoh utama saja. Tokoh utama
20
adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian.
2.1.1.1 Sayu Sayu merupakan tokoh utama yang menjadi judul roman Anak Perawan Di Sarang Penyamun. Berdasarkan dimensi fisiologis, tokoh sayu digambarkan sebagai seorang gadis belia pada umur belasan, berparas cantik dan menawan. Perhatikanlah kutipan di bawah ini. Melihat api itu rupanya perempuan muda itu sangat cemas, sehingga ia berdiri dan berteriak minta tolong. Memandang perawan remaja itu, medasing raja penyamun yang tak tahu iba-kasihan usahakan kasih-sayang itu, terhenti sejurus tak dapat maju melangkah, laksana orang yang kena pesona. (hlm. 26) Sudut pandang penilaian kecantikan Sayu tidak objektif. Kecantikan sayu digambarkan melalui sudut pandang tokoh laki-laki, yakni Medasing dan Samad. Tokoh penyamun lain tidak menampakkan implikasi ketertarikan kepada Sayu. Ketertarikan dua tokoh laki-laki ini menyebabkan penggambaran tokoh Sayu berlebihan. Perhatikanlah sudut pandang Medasing di dalam kutipan berikut. Sinar ke-merah2an jatuh ke muka gadis yang kuning jelita itu, sehingga hampir menyerupai loyang yang baharu digosok. Rambutnya yang lebat, sebagai terurai kemuka melampaui bahunya dan sebahagian kebelakang sampai kebalik lututnya. (hlm. 26) Berdasarkan dimensi sosiologis, tokoh Sayu merupakan putri seorang saudagar asal kota Pagar Alam, Sumatera Barat. Predikat haji pada ayah Sayu mengindikasikan kuatnya keyakinan keluarga Sayu pada agama Islam. Sebagai seorang putri saudagar, Sayu mendapatkan pendidikan sebagaimana keturunan seorang pemuka masyarakat. Simaklah kalimat dibawah ini.
21
Sebagai seorang anak yang taat beribadat dari kecil, segala kewajiban agama itu telah menjadi darah dagingnya. Dan sekarangpun dalam perasingannya ditengah hutan, jauh dari kaum-kerabatnya dan segala manusia, taklah ia hendak meninggalkan pekerjaan yang dianggapnya kewajiban yang pertama (hlm.63) Sayu diimplikasikan menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan agama islam. Meskipun tinggal di sarang penyamun, Sayu digambarkan taat menjalankan ibadah. Keteguhan hati Sayu pada moral dapat dilihat di dalam interaksinya dengan Samad. Perhatikanlah kutipan di bawah ini. Sebagai seorang yang dari kecilnya diajar mengerjakan dan menghormati suruhan agama, pedih hati perawan itu mendengar laki2 itu bersumpah, sebab telah pasti di hatinya, bahwa bagaimana sekalipun, perkataan Samad tiada boleh dipercaya, bahwa sekaliannya itu, sampai ke sumpahnya, tak lain dari pada penutup sesuatu yang rendah, yang tak dikatakannya. (hlm. 61) Sayu secara psikis berwatak penyabar dan pasrah. Di tahap awal alur cerita, tokoh Sayu lebih sering meratapi kemalangan nasibnya, kemudian perlahan berkembang bersamaan dengan konfrontasinya dengan berbagai tokoh. Meskipun menyimpan dendam dan benci kepada para penyamun, perilaku Sayu cenderung pasif dan kooperatif. Perhatikanlah kutipan di bawah ini. Maka ter-sedu2lah ia; kalau diturutkannya hatinya hendak ia meraung sekuat2nya, tetapi ia takut jabalan yang tidur itu terbangun, datang memaksa ia menutup mulut. Gemetar dan mengigil pula badannya memikirkan tangan mereka yang kasar dan rupa mereka yang buas. Sekarang ia terserah kepada mereka, tiada dapat berbuat suatu apapun. (hlm. 31) Pada kutipan diatas digambarkan Sayu dalam kesedihannya. Reaksi Sayu terhadap penyamun ketika disandera awalnya menunjukkan penolakan. Ia merasa benci dan jijik kepada para penyamun yang menyanderanya, sebagaimana terdapat pada kutipan berikut.
22
Tiada beberapa jauh dari padanya terletak sebuah lembing dan iapun mengulurkan tangan akan mengambilnya. Tetapi saat itu juga ditariknya kembali tangannya itu; meremang bulu kuduknya melihat darah berlumur pada tangkai dan mata lembing itu. Selangkah2, amat hati2, penuh jijik dan benci pada manusia binatang itu, berjalanlah ia ke arah tangga. (hlm. 31) Kebencian Sayu kepada penyamun lama kelamaan menjadi pudar. Sayu mulai menerima kehidupannya di hutan. Ketabahan Sayu tercermin pada usahanya menempatkan diri dalam lingkungan sosial penyamun dengan membantu mereka. Perhatikanlah kutipan berikut. Hari itu pertama kali ia menyediakan makanan bagi kawan penyamun dan dengan hal yang demikian mulailah ia menyelakan dirinya di penghidupan raja2 rimba yang kukuh dan kuasa, buas dan ganas, yang sangat berlawanan dengan badannya yang lemah dan pekertinya yang lembut. (hlm. 64) Kebesaran hati Sayu membuat ia dapat menerima kehidupannya sebagai bagian dari para penyamun. Meskipun cara hidup penyamun bertentangan dengan moralnya, Sayu menerimanya dengan tulus. Hal ini tampak pada kutipan berikut. Sayu segera menutup pondok. Meskipun telah beberapa kali ia tinggal seorang diri ditengah rimba yang lebat itu, takutnya belum juga lenyap2 Pintu dan jendela dikuncinya erat2 dan iapun pergilah merebahkan dirinya di tempat tidur yang teruntuk baginya. (hlm. 70) Tokoh Sayu dibentuk dalam tiga dimensi penokohan yang kuat. Berdasarkan pada hubungan yang dimunculkan aspek sosiologis dan psikologis, penokohan tokoh Sayu dekat dengan realitas. Pengarang menempatkan Sayu pada posisi seorang putri saudagar, maka dengan sendirinya tokoh Sayu memiliki kecenderungan pada keterdidikan dan kemuliaan. Hubungan yang muncul antara tokoh dengan plot mengalami keterkaitan tanpa bisa dilepaskan satu dengan yang
23
lain, karena interaksi tokoh dalam cerita hanya mungkin terjadi akibat adanya kesenjangan antara golongan satu tokoh (penyamun) dengan yang lain (saudagar).
2.1.1.2 Medasing Medasing merupakan tokoh utama roman Anak Perawan di Sarang penyamun. Ia menjadi tokoh yang paling sering dijadikan sudut pandang cerita dari keseluruhan bab dalam roman ini. Berdasarkan dimensi fisiologis, Medasing digambarkan sebagai pria bertubuh besar dan kokoh. Diceritakan bahwa udara hutan yang bersih dan suasana yang damai menyuburkan pertumbuhan Medasing. Hal ini digambarkan dalam kutipan berikut. Dengan hal yang sedemikian besarlah ia didalam hutan yang sunyi ditengah perampok itu. Penghidupannya yang berat menyebabkan ia biasa akan sengsara dan kuat bekerja. Udara hutan yang segar seakan-akan menyuburkan badannya. Lambat-laun ia menjadi seorang bujang yang kukuh dan bidang dan masa itulah ia mulai pula menurut pergi menyamun. (hlm. 7) Tokoh Medasing digambarkan dengan kebugaran fungsi fisik dan mental. Medasing merupakan salah seorang penyamun dengan ciri-ciri yang mencolok, sebagaimana dijelaskan dalam kutipan berikut. Lama-kelamaan, oleh karena tak lain yang dilihat dan didengarnya, tak lain pula kerjanya, maka iapun menjadi seorang penyamun sejati pula. Pekerjaan menyamun yang mula2 amat ngeri pada matanya, kesudahannya menjadi biasa dan matilah per-lahan2 hasrat didalam hatinya untuk meninggalkan penghidupan yang tiada halal itu. Lambat laun iapun menjadi kejam dan ganas, seperti sekalian penunggu hutan yang dahsyat2 itu. Ketika itulah ia makin lama makin dihormati kawan2nya, karena badannya teguh, pikirannya tajam dan ia pandai berjuang dan berani, se-akan2 badan dan nyawanya tiada berharga sedikit juapun baginya. (hlm. 8)
24
Secara sosiologis Medasing merupakan kepala dari para penyamun. Meskipun ia cenderung asosial, para penyamun sebenarnya memiliki lingkungan sosialnya sendiri di dalam hutan. Medasing semula berasal dari tanah Pasemah. Ia diimplikasikan menganut agama Islam. Perhatikanlah kutipan di bawah ini. Ia berasal dari sebuah dusun kecil, jauh sebelah selatan tanah Pasemah. Dahulu dusun itu ternama kayanya dan pada suatu ketika ia diserang oleh sekawan penyamun gagah-perkasa. Sekalian penduduk itu melarikan dirinya, masing2 melindungkan diri supaya jangan dimusnahkan oleh kumpulan perampok yang kejam itu. (hlm. 7) Selain mengandalkan perbekalan yang dibawa oleh Samad secara teratur, para penyamun juga mencari makan dengan berburu di hutan. Medasing berburu rusa dan ikan. Perhatikanlah kutipan di bawah ini. Di dekat pondok dan terutama sekali dekat mereka menghidupkan api amat banyak tulang dan bekas kulit binatang. Untuk makan se-hari2 penyamun2 itu sering pergi berburu rusa, napuh dan binatang hutan yang lain. (hlm. 12) Sebagai seorang perampok, Medasing mempunyai mental yang berbeda dibandingkan dengan manusia pada umumnya. Berdasarkan dimensi psikologis Medasing diceritakan berwatak tidak mempunyai rasa takut, sombong, kejam, dan pemarah. Medasing mengangkat tangannya seketika dan senjatanya disusunnya di tanah; maka berkatalah ia sambil memandang ber-ganti2 kepada sekalian teman2nya itu: ,,Takutkah kita dibuat serupa itu? Boleh kubakar rumahnya di Pulau Pinang dan kubunuh sekalian anak-isterinya.” (hlm. 13) Kondisi psikis tokoh Medasing berubah sebagai persona yang berbeda pada bagian terakhir sebagai pesirah Karim. Ia diceritakan berbudi luhur, taat beragama, ramah, pemurah, dan penuh kasih-sayang. Siapakah yang tidak tahu akan pesirah Karim yang ramah2 kepada segala orang, baik kaya maupun miskin? Yang telah ber-tahun2 memerintah di
25
Pagar Alam dan sekitarnya, senantiasa memikirkan nasib rakyat yang terserah kepadanya, sebagai seorang bapa yang bersedih hati apabila anaknya bersedih hati, dan bersukacita apabila anaknya bersukacita. (hlm. 102) Watak tokoh Karim digambarkan berlawanan dengan wataknya sebagai Medasing. Karim berwatak luhur dan tersohor dengan kasih sayangnya, sebagaimana digambarkan kutipan di bawah ini. Dari sapinya itu pesirah karim berjalan per-lahan2 menuju ke balai yang ketika itu telah gelap oleh sebab pelita yang terletak di-tengah2nya hampir padam. Lantai bambu yang beralaskan tikar itu ber-derit2 diinjaknya, tetapi ketika ia ingat, bahwa di balai itu tempat anak buahnya tidur, ditahannyalah langkahnya, sebab ia tidak hendak membangunkan mereka. (hlm. 106) Pengarang menempatkan Medasing sebagai tokoh yang tidak terlalu banyak memberi pendapat, fungsinya memberikan sudut pandang yang jelas terhadap pembaca. Penokohan Medasing bertujuan agar pembaca menciptakan simpati dan empati terhadap tokoh utama, terlepas dari jarak realitas dengan bacaan.
2.1.1.3 Samad Samad merupakan salah satu aggota komplotan penyamun. Samad bekerja sebagai mata-mata bagi Medasing dengan menyediakan informasi untuk rombongan yang akan melalui jalur Lahat-Pasemah. Secara fisiologis, Samad digambarkan sebagai lelaki bertubuh besar dan kukuh, menyerupai kawannya, sebagaimana terdapat dalam kutipan di bawah ini. Se-konyong2 kedengaran diantara pohon2 kayu di sekeliling mereka bunyi orang melangkah dan tiada berapa lama antaranya, tampillah kemuka seorang laki2 memikul keruntung di belakangnya. Laki2 itu besar kukuh
26
pula seperti penyamun2 berlima itu dan dibahunya disandangnya sebuah senapan lantak yang tua.(hlm. 13) Samad tinggal di dusun Tanjung Pinang. Secara sosiologis, Samad tinggal di dua lingkungan sosial, yakni di kota dan di hutan. Di kota, ia bekerja sebagai pedagang hasil jarahan para penyamun. Sebagai bagian dari para penyamun, Samad dipercaya oleh kawannya menjadi mata-mata di kota, sekaligus bertugas membawakan komplotannya perbekalan untuk hidup di hutan. Perhatikanlah kutipan di bawah ini. SAMBIL berjalan menuju ke pondok, Samad tidak ber-henti2 memikirkan maksud yang timbul dihatinya, sejak mendengar cerita Sayu dan permintaannya akan pertolongan. Di dusun Pulau Pinang ia telah beristeri dan mempunyai dua orang anak. Tetapi hal itu tidaklah dapat menahan cinta-birahinya kepada Sayu yang amat cantik terpandang kepada matanya. (hlm. 36) Berdasarkan dimensi psikologis, tokoh Samad diceritakan berwatak pengecut, penuh tipu muslihat, dan ambisius. Oleh karena itu, Samad tidak pernah ikut dalam penyamunan, sebagaimana digambarkan dalam kutipan berikut. Maka sekejap bangkitlah pula sangkaan dalam hatinya, bahwa yang dilihatnya tadi itu tak benar, bahwa ia telah diperdayakan matanya: Dari mana pulakah yang datang seorang perempuan dalam pondok penyamun itu? Ketika itu bangkitlah takutnya, sebab ia teringat akan setan iblis, penunggu hutan yang sering didengar ceritanya, tetapi belum pernah ditemuinya selama ia selalu ber-ulang2 masuk rimba seorang diri. (hlm. 34) Ketertarikan Samad kepada Sayu berubah menjadi obsesi. Sejak pertamakali melihatnya, Samad berusaha melarikannya Sayu dari hutan. Perhatikanlah kutipan berikut. Ketika selesailah cerita Sayu, Keyakinannya telah pasti: Perawan yang secantik itu takkan dibiarkannya dengan kawan penyamun. Dengan segala usahanya akan dicobanya membawanya ke tempat yang lain. (hlm. 35)
27
Samad selalu berusaha bersikap manis pada Sayu untuk dapat mempengaruhi hatinya. Ketakutan Samad pada Medasing dan kecurigaan Sayu akhirnya membuat Samad melakukan segala cara untuk menyingkirkan kawan penyamunnya demi mendapatkan Sayu. Demikianlah sepanjang jalan Samad tak ber-henti2 mencari akal, bagaimana nanti ia akan menerangkan kepada Sayu, apa sebabnya maka ia tiada kembali menemuinya dibawah pohon akan memulangkannya kepada orang tuanya. Ia belum putus asa, perawan cantik yang telah percaya kepadanya itu, tidak akan mudah dilepaskan. (hlm. 43-44) Pengarang menempatkan samad dalam posisi tokoh antagonis. Hal yang menarik adalah ketidakmampuan Samad dalam melakukan kekerasan pada Sayu meskipun ia–boleh dituding sebagai–seorang kriminal. Samad dibangun sebagai individu yang tidak bertanggungjawab secara sosial, sehingga dalam masyarakat yang menjunjung adat, perilaku seperti Samad akan cenderung dijauhi. Pengarang berusaha mengambil kemampuan pembaca dalam mengasosiasikan dirinya terhadap Samad sebagai tokoh antagonis.
2.1.2
Alur Plot secara tradisional diartikan sebagai alur atau jalan cerita. Alur
sesungguhnya tidak sekadar cerita. Aristoteles (dalam Butcher, 1902:25) berpendapat bahwa plot adalah arrangement of incidents atau rangkaian peristiwa. Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2005:91) mengemukakan bahwa alur adalah sebuah urutan kejadian yang sederhana dalam urutan waktu. Atmaja (1986:48) mengemukakan bahwa plot mampu mengontrol kecepatan dan mengatur penekanan, serta memberikan pemahaman variasi yang
28
dimunculkan pengarang untuk pembaca. Plot menjadi aksi dari bahasa. Upaya memahami plot juga merupakan upaya memahami gagasan utama yang terdapat dalam keseluruhan cerita karya sastra. Untuk memeroleh keutuhan sebuah alur cerita, Aristoteles (dalam Nurgiyantoro, 2005:142) mengemukakan bahwa sebuah cerita harus terdiri dari tiga tahapan, yakni: tahap awal (beginning), tahap tengah (middle), dan tahap akhir (end). Ketiga tahapan ini menunjukkan keutuhan cerita. Petronius (dalam Fananie, 2002:93) juga mengemukakan pendapat yang searah. Ia membagi tahapan alur dalam tiga bahasan. Pertama, eksposisi (setting forth of the begining). Kedua, konflik (a complication that moves to climax). Ketiga, Peleraian atau Denouement (literally, “unknotting”, the outcome of the conflict; the resolution). Dalam penelitian ini akan digunakan sistematika alur cerita Aristoteles dalam mengurai keutuhan unsur alur roman Anak Perawan di Sarang Penyamun. Analisis alur cerita dalam penelitian ini membutuhkan uraian perkembangan tokoh bersamaan dengan berkembangnya cerita. Pembagian tahap cerita Aristoteles digunakan karena mampu mengungkapkan gradasi perkembangan tokoh di dalam cerita.
2.1.2.1 Tahap Awal Tahap awal merupakan tahap perkenalan dalam cerita. Dalam tahapan ini, terdapat banyak informasi tentang tokoh, latar belakang dan penyudutpandangan untuk membangun empati pembaca. Alur cerita tahap awal dimulai dengan ekposisi tentang tokoh komplotan penyamun yang tinggal di hutan. Pengetahuan
29
awal untuk dapat memahami latar, suasana, dan gagasan utama cerita muncul pada bagian ini. Perhatikanlah kutipan di bawah ini. Ditengah rimba yang lebat itu mengalir sebuah anak air, jernih dan deras diantara batu yang besar2. Sebelah hilir, sungai kecil itu melintas tebing dan disana ia jatuh ber-derai2 sebagai pecahan kaca, sambil menyerakkan bunyi yang gemuruh (hlm. 5) Kutipan di atas menggambarkan latar. Fungsinya mengenalkan pembaca pada latar tempat cerita terjadi. Dengan penggambaran yang rinci, pengarang berupaya membuat pembaca menghayati cerita. Penganalan pada tokoh dilakukan dengan asosiasi terhadap nilai-nilai kebuasan. Para penyamun digambarkan dengan kegagahannya, sebagaimana terdapat dalam kutipan di bawah ini. Didalam pondok itu terlentang lima orang laki2 , sekaliannya kukuh-besar, lebih dari manusia biasa. Ke-lima2nya tiada berbaju, hanya memakai secamping kain sampai hingga pinggang. Dari badan mereka mengalir peluh amat banyak, sebab hari itu tiada ter-kata2 panasnya. (hlm.5) Perkenalan tokoh dilakukan secara lebih rinci melalui perilakunya dalam cerita. Pada bagian awal muncul narasi yang mendeskripsikan rincian fisiologis atau perwatakan. Perhatikanlah kutipan ini. Sekalian penyamun yang lain melihat kepadanya. Teman2nya sekaliannya tahu, bahwa kadang2 agak sombong bunyi cakap kepalanya itu. Tetapi hal itu tiada terasa benar kepada mereka, sebab menilik kepada badannya, kepada ilmunya, Medasing sebenarnya bukan manusia biasa. (hlm. 13) Dalam roman Anak Perawan di Saarang Penyamun, yang terdiri atas 19 bab, 7 bab pertama merupakan tahapan perkenalan cerita. Masing-masing bab mempunyai penekanan. Meskipun tiap-tiap bab menggunakan sudut pandang karakter yang berbeda, tetapi hubungan kejadian-kejadian yang membentuk plot mengalir menuju arah yang jelas.
30
2.1.2.2 Tahap Tengah Tahap tengah disebut juga tahap pertikaian. Pada tahapan ini konflik meningkat dan berkembang sebagaimana telah diperkenalkan pada tahap sebelumnya. Pada tahap ini juga cerita banyak berkembang dan menjadi bagian penting dalam memberikan hubungan sebab akibat pada alur cerita. Konflik yang berkembang bermula pada saat Sayu berinteraksi dengan Samad. Ketidakpercayaan Sayu berkembang semakin kuat ketika Sayu melihat Samad mencoba mencurangi kawan penyamunnya. Sedangkan upaya Samad yang tidak menyerah untuk merayu Sayu malah memperkuat kecurigaan dan ketidakpercayaan. Waktu itu pulalah bangkit disisi benci dan dendam didalam hatinya perasaan takut. Samad senantiasa melihat kepadanya; lagi pula nyata benar ia selalu men-cari2 jalan akan bercakap, akan ber-ramah2 dengan dia. (hlm. 58) Upaya Samad yang senantiasa bersabar akhirnya tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Sayu yang semula takut pada kawanan penyamun mulai terbiasa dan menyesuaikan kehidupannya dengan mereka. Perhatikanlah kutipan berikut. Sementara itu bagi dirinya sendiri didalam pondok itu dibuatnya sebuah ruang, agar ia terpisah dari laki2 bertiga itu. Oleh pekerjaan yang tak habis2, yang tiap2 hari tetap memakai tenaga dan minatnya agak terlelanglah hatinya. (hlm. 67) Setelah lama tinggal di hutan, Sayu mulai merasa nyaman. Perlahan-lahan kebiasaan hidup di sarang penyamun menyebabkan Sayu menganggap dirinya sebagian dari komplotan penyamun, sebagaimana terdapat dalam kutipan di bawah ini.
31
Dalam ber-bulan2 itu makin lama makin biasalah terasa kepadanya penghidupan ditengah raja2 hutan dan kesunyian itu. Lambat-laun sesungguhnya dengan tiada diketahuinya dianggapnya dirinya sebahagian dari kawan penyamun itu. (hlm. 66) Samad yang kehabisan akal mencoba menjebak para penyamun. Di kota ia mendengar bahwa sepasukan tentara akan melalui jalur Lahat-Pasemah. Simaklah kutipan berikut. Pada suatu hari ia pergi pula ke Lahat. Disana didengarnya berita, bahwa dua hari lagi akan bertolak beberapa buah gerobak ke Pagar Alam membawa makanan, alat senjata dan keperluan lain. Gerobak itu akan diiringkan oleh sepasukan serdadu, sebab sekalian yang dibawanya ialah untuk keperluan militer di daerah Pasemah. (hlm. 68) Samad menunjukkan bahwa dalam memenuhi keinginannya ia rela melakukan segala cara. Dengan maksud menumbalkan kawan-kawannya, Samad membohongi Medasing dan menceritakan akan ada saudagar kaya melalui jalur Lahat-Pasemah. Perhatikanlah kutipan di bawah ini. Mendengar khabar itu terpikir sekali kepadanya sebuah akal yang pasti segera akan menyampaikan cita2 yang telah lama diidamkannya itu. Setelah ditimbangnya masak2, pergilah ia keesokan harinya ber-gesa2 ke rimba tempat pondok itu. Se-hari2an itu tiada ber-henti2 ia berjalan dan pada petang hari sampai pulalah ia pada kawan2nya. Diceritakannya, bahwa keesokan harinya akan bertolak dari Lahat seorang Pasemah yang kaya di rantau….. (hlm. 69) Tidak disangka oleh Samad, karena kekurangan tenaga, Medasing mengajak Samad menyamun. Penyamunan berakhir dengan kegagalan. Tusin mati tertembak dan Samad melarikan diri dari hutan. Setelah upaya perampokan gagal, Samad tidak pernah kembali dan salah satu di antara mereka meninggal tertembak. Tinggal Medasing, Sanip, dan Sayu yang tinggal di hutan. Perhatikanlah kutipan berikut.
32
SUNYI bertambah sunyi dalam pondok tempat penyamun itu; mereka yang dahulu berlima sekarang hanya tinggal berdua lagi. Pada suatu hari Medasing dan Sanip pergi berburu beberapa jauh, masing2 menyandang tombak dan pada pinggang mereka ter-buai2 parang dalam sarung kayunya. (hlm. 79) Konflik mengalami stagnasi. Ketiadaan Samad menurunkan intensitas konflik dalam cerita. Pada sebuah perburuan, Sanip meninggal dan Medasing terluka parah. Meskipun dengan susah payah Medasing berhasil kembali ke pondok, namun kehilangan kesadarannya. Terlepas dari kebenciannya kepada penyamun, Sayu merawat Medasing dengan tulus. Perhatikanlah kutipan di bawah ini. Selama ia mengerjakan pekerjaan itu, taklah ia ingat akan suatu apa. Yang tampak dimukanya hanya laki2 yang pingsan, yang segera harus ditolongnya. Sebab kalu laki2 itu mati apakah jadinya, seorang diri ditengah rimba yang lebat dan sunyi-senyap? (hlm. 86) Konflik meningkat kembali seiring dengan tumbuhnya keterikatan antara Medasing dengan Sayu. Rasa benci Sayu, bercampur dengan ketidakberdayaan Medasing mengarahkan plot pada bagian klimaks. Oleh sebab tiap2 hari merawati penyamun itu, lambat-laun hilang takut Sayu kepadanya. Demikianlah pada suatu hari diberanikannya hatinya bertanya kepada Medasing, dimana Sanip ditingalkannya. Ketika itulah didengarnya cerita perburuan yang sial itu dari mula sampai akhirnya. (hlm. 88) Meskipun telah lama tinggal di sarang penyamun diimplikasikan bahwa Sayu tetap membenci Medasing. Hal yang membuat sayu tinggal dan tetap merawat Medasing adalah keteguhannya pada moralitas, sebagaimana terdapat dalam kutipan berikut. Kalau ditinggalkannya medasing seorang diri di rimba itu, sebenarnya tak seorang juapun dapat menghalanginya. Tetapi apakah yang akan terjadi atas dirinya, sebab ia tiada tahu jalan sedikit juapun dalam hutan yang
33
lebat itu. Tentu akhirnya ia akan dimusnahkan oleh binatang hutan atau mati kelaparan seorang diri didalam sunyi-senyap. (hlm. 88) Ketulusan Sayu menyebabkan Medasing membuka diri. Medasing mulai menceritakan asal-usulnya ketika disandera oleh penyamun. Penilaian Sayu terhadap Medasing berubah, ia memutuskan membujuknya pergi dari sarang penyamun. Simaklah kutipan ini. Didalam hatinya terpikir kepadanya betapakah baiknya kalau ia dapat menggerakkan hati penyamun itu pulang ber-sama2 dengan dia ke Pagar Alam, ke rumah ayah-bundanya. Dengan jalan yang serupa itu akan terpisahlah ia dari kesunyian ditengah hutan yang jauh dari tempat kediaman manusia itu. (hlm. 89) Plot mengalami klimaksnya ketika Medasing memutuskan menyerah dari pekerjaannya sebagai penyamun. Sayu dan Medasing memutuskan untuk pergi dari hutan menuju Pagar Alam. Perhatikanlah kutipan berikut. Maka ujarnya pula menyambung kata yang mula2: ,,Baiklah kita meninggalkan hutan ini, kembali ke Pagar Alam, kalau tidak pastilah kita mati kelaparan. Sambil berkata, dengan tiada terasa kepadanya, mengalirlah di pipinya yang halus air mata tak ber-henti2. Dari matanya air yang jernih itu menyisi hidung sampai ke bibir dan ketika terasa kepadanya sayup2 suara segala orang yang mengelilinginya dari kecilnya. (hlm. 90) Sesampainya di Pagar Alam, Sayu dan Medasing menemuui Nyi haji Andun. Nyi Haji Andun meninggal ketika melihat Sayu. Medasing yang tersentuh oleh kematian Nyi Haji Andun memutuskan bertaubat dari kehidupan penyamun, sebagaimana terdapat pada kutipan di bawah ini. Berpuluh kali ia telahmenghadapi orang memutus nyawa . . . luka berlumur darah, hancur-remuk badannya, ber-teriak2 . . . . Tetapi belum pernah sesesak itu dadanya, ketika ia melihatperempuan, kulit melekat pada daging itu, menghembuskan napasnya yang penghabisan, tak bergerak, tak berbunyi, lemah-lembut seperti kanak2 yang terlelap. Jauh didalam hatinya menyayat dan membakar keinsyafan akan dosa yang tak ada bandingannya! (hlm. 100)
34
Bagian pertikaian ini terhitung berjumlah 10 bab dari keseluruhan 19 bab yang terdapat dalam roman. Klimaks cerita ditandai oleh perubahan nilai yang dianut oleh Medasing. Bagian klimaks sekaligus memberikan tendensi pada tema pokok yang dibangun perlahan dalam keseluruhan cerita, yakni pertaubatan.
2.1.2.3 Tahap Akhir Tahap akhir cerita merupakan bagian yang menampilkan sesuatu yang terjadi sebagai akibat dari klimaks. Aristoteles (dalam Nurgiyantoro, 2005:146) membagi bagian akhir sebuah cerita menjadi dua kemungkinan: akhir bahagia (happy end) dan akhir sedih (sad end). Roman Anak perawan di Sarang Penyamun mengarahkan penyelesaian ceritanya menuju akhir bahagia (happy end). Medasing muncul sebagai persona baru dengan nama Karim yang telah berupaya menebus dosanya sebagai penyamun. Gagasan yang hidup dalam Karim merupakan tema pokok dalam keseluruhan roman Anak Perawan di Sarang Penyamun, yakni nilai pertaubatan yang tanpa batas. Perhatikanlah kutipan di bawah ini. Tetapi bukan kekuatannya yang ditakuti orang, bukan pikirannya yang tajam dan bukanlah kekayaannya yang banyak yang menyebabkan orang senegerinya, sampai2 jauh di bahagian Pasemah yang lain, hormat, malu dan segan kepadanya, yang menyebabkan ia berbahagia dalam hidupnya. Dalam ketaatan akan ibadat, sifat pengasih dan pemurah dan budi yang halus, yang meninggalkan derajat ditengah manusia dan menetapkan tempat yang terpilih di akhirat yang esa, sekaliannya Sayulah yang membangkitkan didalam jiwanya. Sebab lain dari pada segala yang fana itu ada yang lebih berharga, yang tiada turut terkubur dengan bungkusan hayat. (hlm. 110)
35
Penyelesaian cerita menunjukkan bahwa Medasing dan Sayu telah menikah dan mempunyai keturunan. Setelah melaksanakan ibadah haji Medasing hendak pulang ke Pagar Alam. Ketika bermalam di Lembah Endikat ia bertemu dengan Samad. Merasa sepenanggungan, Medasing menawarkan bantuan hidup, Samad yang rendah diri menolak dan pergi, sebagaimana digambarkan dalam kutipan di bawah ini. Demikianlah mereka bertolak sama2 meninggalkan lembah Lematang, masing2 menurut arahnya! Tetapi seorang di mercu kebesaran dan kemuliaan hidup manusia, diiringkan oleh ber-puluh2 orang, penuh kegirangan dan bahagia dan yang seorang lagi lemah-letih, hina-miskin dan sebatang kara menuju harapan yang tak dapat diharapkan. (hlm. 112) Bagian akhir terdiri atas 2 bab. Keduanya menceritakan kehidupan baru Medasing sebagai Karim. Bagian ini mendefinisikan bagaimana masing-masing tokoh berperilaku setelah mengalami perubahan atas insiden yang terjadi dalam kehidupan mereka.
2.1.3
Latar Latar adalah lingkungan yang melingkupi peristiwa dalam cerita, semesta
yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang berlangsung (Stanton, 2012:35). Latar bisa berwujud tempat, waktu, suasana, lingkungan sosial, politik, ekologi, dan seterusnya. Meskipun tidak secara langsung, latar memberikan bingkai sebagai batasan ruang berlangsungnya cerita. Latar menjadi penting sebagai pijakan cerita dalam karya sastra. Proses penghayatan cerita akan lebih mudah jika pengarang mampu menghadirkan lingkungan yang khas. Atmaja (1986:52) mengungkapkan bahwa sesungguhnya
36
penggambaran adegan dalam sebuah cerita–yang membutuhkan kemampuan pelukisan latar–memerlukan intuisi yang tinggi, sehingga penggambaran latar yang baik akan mampu mendekatkan pembaca pada realitas karya sastra. Latar roman Anak Perawan di Sarang Penyamun diuraikan dalam tiga unsur berdasarkan pernyataan Nurgiyantoro (2005:227), yakni: latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Meskipun memiliki bagian masing-masing, ketiga unsur latar saling berkaitan satu sama lain.
2.1.3.1 Tempat Latar tempat mengacu pada lokasi terjadinya peristiwa. Latar tempat bisa merupakan lokasi dengan nama tertentu, atau bisa juga tempat imajinasi hasil ciptaan pengarang. Roman Anak Perawan di Sarang Penyamun berlatar tempat di Pulau Sumatera. Meskipun tidak disebutkan secara eksplisit, tetapi secara implisit terdapat beberapa lokasi yang pada kenyataannya berada pada wilayah Sumatera yakni Kota Pagar Alam, Bandar, Gunung Dempo, Lembah Endikat, Lembah Lematang, Palembang, Pulau Pinang, Pasemah, dan Lahat. Salah satu contohnya dapat dilihat dalam kutipan dibawah ini. Sesungguhnya mereka itu sekawan penyamun. Tiap2 saudagar berharta yang lalu diantara Lahat dan tanah Pasemah, tidak pernah dibiarkan mereka berjalan dengan sentosa. Orang perjalanan itu diperiksa dan sekalian yang berharga padanya dirampas mereka. (hlm. 5-6) Tidak hanya terbatas pada latar tempat yang disebutkan secara spesifik, tetapi juga terdapat latar tempat yang hanya dilukiskan tanpa lokasi spesifik. Latar tempat semacam ini memiliki nuansa yang khas. Dalam roman ini terdapat
37
beberapa
latar
yang
digambarkan
untuk
membangun
suasana
bacaan.
Perhatikanlah kutipan berikut. Jalan yang ditempuh penyamun berlima itu amat sempit; daun pohon dan perdu bertemu dan sebentar2 ber-desau2 bunyinya dilanggar mereka. Sekali2 mereka menyuruk, berjalan membungkuk dibawah semak yang rapat yang bertemu diatas kepala mereka sebagai atap yang rendah dan lengkung. (hlm. 16) Penggambaran
latar
di
atas
mengandalkan
kemampuan
medium
menghadirkan makna yang bersifat eksklusif pada karya sastra. Pembaca merasakan kengerian suasana hutan pada malam hari yang disusuri oleh kawanan penyamun. Pengarang berusaha menyampaikan keberanian para Penyamun, terlepas dari kerasnya medan kehidupan di hutan. Dari jalan rumah itu disembunyikan oleh pohon puding merah-kekuningan dan beberapa pohon sauh yang lebat buahnya. Tiba di pekarangannya barulah dapat melihat ke serambinya: Tangga yang lebar2 anaknya itu agak terlampau curam naik dari bawah. Kiri-kanannya ada terali tempat berpegang, yang berukir dan terbuat dari pada kayu yang indah. (hlm. 45) Dalam kutipan di atas, pengarang menggambarkan suasana rumah yang dikelilingi kebun. Tidak hanya pada kutipan ini, pengarang juga menunjukkan kemampuannya dalam menyajikan suasana latar secara rinci. Salah satu contohnya, dalam melukiskan latar hutan, pengarang mampu menyajikan kedamaian pada latar hutan siang hari dan mengundang kengerian pada latar hutan malam hari.
2.1.3.2 Waktu Latar waktu berhubungan dengan masalah ‘kapan’ terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam karya sastra (Nurgiyantoro, 2005:230). Latar waktu
38
biasanya dihubung-hubungkan dengan waktu secara faktual oleh pembaca sebagai upaya memahami realitas karya sastra. Terdapat implikasi bahwa peristiwa yang terjadi dalam roman Anak Perawan di Sarang Penyamun berlatar waktu pra-kemerdekaan Indonesia. Informasi ini dideduksikan dari keberadaan realitas yang berhubungan dengan apa yang terjadi pada cerita. Medasing mempunyai senapan tua, bukti dari keberadaan pengaruh bangsa Eropa (zaman kolonialisme). Simaklah kutipan di bawah ini. Kelima penyamun itu turun per-lahan2 dari pondok mereka, masing2 membawa senjata. Lembing di tangan dan parang di pinggang. Lain daripada itu Medasing membawa pistol tuanya. Hanya Samad yang tinggal tiada mengikut. (hlm. 16) Para penyamun menggunakan senjata lembing dan parang sebagai alat berburu dan merampok. Sanip dan Medasing menggunakan senjata tersebut ketika berburu rusa, sebagaimana tergambar pada kutipan berikut. SUNYI bertambah sunyi dalam pondo tempat penyamun itu; mereka yang dahulu berlima sekarang hanya tinggal berdua lagi. Pada suatu hari Medasing dan Sanip pergi berburu beberap jauh, masing2 menyandang tombak dan pada pinggang mereka ter-buai2 parang dalam sarung kayunya. (hlm. 79) Jejak kemajuan teknologi diimplikasikan dalam penggunaan senjata api dalam keperluan militer. Meskipun lingkungan penyamun tidak memberikan informasi mengenai kemajuan zaman, tetapi keberadaan senjata api memperjelas kemajuan teknologi militer, mengingat senjata api bukan senjata domestik. Seorang laki2 yang kukuh yang tak tidur, menjaga teman2nya, mengeluarkan kepalanya dari pondok seraya menyiapkan senjata apinya untuk memusnahkan binatang atau manusia yang telah berani mendekati tempat perhentian mereka. (hlm. 72)
39
Informasi selanjutnya memberikan gambaran teknologi yang berkembang pada latar waktu karya sastra. Penerangan yang digunakan berupa api, damar dan obor. Perhatikanlah kutipan di bawah ini. Akhirnya terpasang jualah pelita damar di tempat yang terlindung dari pada angin dalam pondok itu. Dalam cahayanya yang bertambah lama bertambah besar, tampaklah Haji Sahak mandi darah; isterinya tiada bergerak2 dan anaknya yang perawan bergelung di sudut dekat pertemuan dinding menyembunyikan muka, menanti apa yang akan terjadi atas dirinya. (hlm. 24) Alat transportasi jarak jauh belum berupa mesin otomatis, namun masih mengandalkan hewan tunggangan. Latar waktu menceritakan ketika pengaruh mesin-mesin belum terlalu besar serta penegakan hukum belum dapat dilakukan secara optimal. Perhatikanlah kutipan di bawah ini. TIGA PULUH pedati menurun tebing yang curam melalui liku jalan. Roda2 yang besar dan berlumpur, ter-hambung2, ber-degar2 diatas tahah yang ber-batu2, dalam aluran roda yang dalam. Sapi yang keletihan berbusa2 mulutnya, mengangkatkan kepala meng-angguk2, bersetumpu dengan kukunya yang berbelah di tanah dan batu, menahan dorong pedati yang berat dari belakang. (hlm. 102) Menurut keberadaan perusahaan dagang Belanda VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), terdapat implikasi bahwa latar waktu terjadi antara tahun 1602 sampai dengan 1942. Periode ini merupakan tahun aktif perusahaan dagang Belanda VOC. Perhatikanlah kutipan berikut. ,,Pada kompeni?!” Apa yang kita takutkan kepadanya? Ia takkan dapat mencahari tempat kita, selama masih Medasing namaku. Pagi lusa dapat kita pindah dari sini ke tempat yang lebih tersembunyi lebih sulit dicari.” (hlm. 13) Meskipun tidak terdapat pemaparan secara eksplisit, latar waktu diinduksikan berdasarkan beberapa informasi khusus yang terurai dalam cerita. Bukti-bukti yang muncul sebetulnya tidak mengarah pada spesifikasi waktu
40
tertentu, tapi keberadaan hubungan cerita dengan realitas fakta sejarah telah memberikan kaitan latar dengan periode waktu tertentu. Sebagaimana telah dikemukakan oleh Abrams (dalam Fananie, 2002:99), untuk mengetahui ketepatan latar dalam sebuah karya dapat dilihat dari tiga indikator. Pertama, general locale. Kedua, historical time. Ketiga, social circumstances.
2.1.3.3 Sosial Latar sosial mengacu pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam sebuah karya sastra (Nurgiyantoro, 2005:233). Latar sosial memberikan ciri khusus yang berhubungan dengan identitas suatu tempat. Kelebihannya adalah memberikan sanggahan pada kedua komponen unsur latar lain dan memberikan warna khas latar yang menunjang terjadinya sebuah cerita. Latar sosial yang muncul sebagai peristiwa dalam roman ini merupakan budaya migrasi darat yang dilakukan masyarakat Sumatera. Iring-iringan Haji Sahak
dari
Palembang,
merupakan
latar
sosial
masyarakat
Sumatera.
Perhatikanlah kutipan di bawah ini. ,,Ah, mengapa begitu? Jadi salah sangkaku?” tanya Samad dengan kecewa, sebab dari rumah telah di-harap2kannya akan mendapatkan bagainnya dari barang samunan. ,,Menurut perhitunganku ia sampai di lembah Endikat waktu senja . . . . , tetapi rupanya masih siang, sehingga dapat berjalan terus ke Bandar. Kalau begitu malam ini tentu ia bermalam di lembah Lematang. (hlm. 14) Dalam kutipan di atas, digambarkan bahwa Samad melakukan penghitungan jarak waktu tempuh perjalanan. Ia memperkirakan lokasi peristirahatan berdasarkan pengalamannya sebagai mata-mata.
41
Kemungkinan untuk memata-matai mengimplikasikan bahwa migrasi yang dilakukan membutuhkan persiapan waktu yang panjang. Mengacu pada premis sebelumnya maka jarak tempuh migrasi cenderung jauh, maka perjalanan panjang biasanya dilakukan bersama. Perhatikanlahlah kutipan berikut. Pada suatu hari ia pergi ke Lahat. Disana didengarnya berita, bahwa dua hari lagi akan bertolak beberapa buah gerobak ke Pagar Alam membawa makanan, alat senjata dan keperluan lain. Gerobak itu akan diiringkan oleh sepasukan serdadu, sebab sekalian yang dibawanya ialah untuk keperluan militer di daerah Pasemah. (hlm. 68) Latar sosial yang dihadirkan dalam roman Anak Perawan di Sarang Penyamun adalah masyarakat Sumatera. Pengarang menyajikan suasana masyarakat yang terkenal dengan adat istiadatnya dan keteguhannya pada agama. Pengarang mencoba mengekspos kontras antara penyamun dengan masyarakat yang religius.