BAB II KAJIAN TEORITAS DAN HIPOTESIS TINDAKAN 2.1
Belajar dan Hasil Belajar Banyaknya rumusan yang diberikan oleh para ahli psikologi pendidikan
mengenai pengertian belajar, walaupun belum dapat dipastikan mana rumusan yang tepat, namun pendapat yang satu berkaitan dengan pendapat yang lainnya. Secara psikologi belajar merupakan suatu proses perubahan yaitu perubahan tingkah laku sebagai aksi dan interaksi dalam lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Perubahan tersebut akan dinyatakan dalam seluruh aspek tingkah laku. Menurut Sudjana (2000:28) belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang, perubahan sebagai hasil proses belajar dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk seperti perubahan pengetahuan, pemahaman, sikap,dan tingkah laku ketrampilan, kecakapan, kebiasaan, serta perubahan aspek – aspek yang ada pada diri individu yang belajar. Sedangkan menurut Jhon Dewey (dalam Jihad, 2009) belajar merupakan bagian interaksi manusia dengan lingkungannya. Bagi Jhon Dewey, pelajar harus dibimbing kearah pemanfaatan kekuatan untuk melakukan berfikir reflektif. Slameto (2003) merumuskan belajar sebagai suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Sedangkan menurut Jihad (2009) Belajar adalah kegiatan berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental dalam penyelenggaraan
6
7
jenis dan jenjang pendidikan, hal ini berarti keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan sangat tergantung pada keberhasilan proses belajar siswa di Sekolah dan lingkungan sekitarnya. Hasil
dari
proses
belajar
itu
berupa
bertambahnya
pengetahuan
(pengalaman), kecakapan, ketrampilan, sikap yang baik dan benar. Hasil belajar juga merupakan hasil usaha yang diperoleh peserta didik melalui proses belajar yang
mewujudkan
tingkat
penguasaanya,
pengetahuannya,
sikapnya,
ketrampilannya dalam suatu bidang ilmu (keahlian) tertentu, dan kemudian hasil belajar ini diukur berdasarkan yang telah ditentukan. Belajar menurut W.S. Winkel (dikutip Sutadi, 1996: 2) adalah suatu aktivitas mental atau psikis, yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat relatif konstan dan berbekas. Berdasarkan pendapat di atas, dapat simpulkan belajar adalah suatu pproses yang dilakukan perseorangan atau diri sendiri (individu) dalam interaksi dengan lingkungan, dengan ditandai dengan adanya perubahan tingkah laku seseorang sebagai hasil dari pengalaman-pengalaman untuk memperolah pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan nilai sikap. Cara dan kemampuan siswa untuk mencapai tujuan belajar berbeda-beda, masing-masing siswa bersifat unik, artinya kondisi fisik, mental dan sosial mereka berbeda satu sama lain. Perbedaan ini menyebabkan hasil belajar mereka tidak sama. Sutadi (1996: 62) mengemukakan bahwa untuk mengetahui sejauh mana
8
siswa mencapai tujuan belajarnya, guru tidak hanya melihat sepintas karena tidak akan diperoleh gambaran yang obyektif, untuk itu diperlukan kegiatan evaluasi yang lebih menyeluruh, berkesinambungan dan obyektif. Hasil Belajar adalah pernyataan dari pelajar tentang apa yang diharapkan diketahui, dipahami dan mampu berdemonstrasikan pada setiap akhir mata pelajaran. Hasil belajar dapat terlihat pada siswa diakhir pelajaran, hasil belajar ini meliputi pengetahuan, keterampilan, kemampuan, sikap dan pengalaman. Untuk suksesnya pada pengalaman diperguruan tinggi nantinya, akan tetapi pelajar tidak mencapai kesuksesan tersebut. maka perlu dilakukan perbaikan instrumen seperti pendekatan metodologis tertentu untuk ekspresi dan uraian tentang kurikulum (Adam, 2010: 2) Mengukur adalah membandingkan sesuatu dengan satu ukuran dimana pengukuran bersifat kuantitatif, sedangkan menilai adalah mengambil suatu keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik buruk dimana menilai bersifat kualitatif (Arikunto, 1998: 3). Pengukuran dan penilaian dalam penelitian ini meliputi:a) kemampuan penguasaan kognitif, b) kemampuan penguasaan psikomotor. Penelitian ini tidak mengambil data dari ranah afektif, namun demikian peneliti tetap mengadakan pengamatan terhadap keaktifan siswa pada saat mengikuti proses pembelajaran. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar secara garis besar ada dua faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa, yaitu faktor intern dan faktor ekstern (Dimyati, 1994: 276); faktor intern adalah segala faktor yang bersumber dari dalam diri individu, yang termasuk faktor intern antara lain faktor fisiologis
9
dan faktor psikologis. Faktor fisiologis adalah faktor yang disebabkan oleh keadaan jasmani atau fisik individu, termasuk dalam faktor ini adalah; kondisi panca indera, seperti penglihatan dan pendengaran, kondisi fisiologis, yaitu kesegaran jasmani, keletihan, kekurangan gizi, kurang tidur atau kesakitan yang diderita. Dengan kata lain, kondisi fisiologis pada umumnya mempengaruhi proses belajar, oleh karena itu perlu dipertimbangkan juga dalam pemilihan strategi belajar dan faktor psikologis adalah pengaruh yang timbul oleh keadaan kejiwaan seseorang, dalam pembelajaran biasanya berkaitan erat dengan motifmotif anak dalam melakukan aktivitas belajar. Sedangkan faktor ekstern adalah faktor yang berasal dari luar individu. Faktor ekstern meliputi faktor lingkungan dan faktor instrumenta, faktor lingkungan berperan penting dalam membentuk individu siswa baik secara langsung maupun tidak langsung, pada faktor lingkungan tersebut ditemukan adanya kedudukan dan peranan tertentu. Apabila kedudukan dan peranan diakui oleh sesama siswa, maka seorang siswa dengan mudah menyesuaikan diri dan segera dapat belajar. Sebaliknya jika seseorang siswa ditolak, maka seseorang siswa tersebut akan merasa tertekan dan faktor instrumental sangat berpengaruh dalam proses belajar mengajar. Dimyati (1994: 237) mengemukakan bahwa proses belajar mengajar akan menjadi lebih baik apabila didukung oleh instrumen atau alat yang berupa program pembelajaran, meliputi; kurikulum, program belajar di sekolah mendasarkan diri pada suatu kurikulum yang disahkan oleh pemerintah atau yayasan pendidikan. Kurikulum sekolah berisi tujuan pendidikan, isi pendidikan,
10
kegiatan belajar mengajar dan evaluasi, program pengajaran, dibuat dan disiapkan sedini mungkin oleh guru dalam rangka untuk kegiatan belajar mengajar. Sehingga setelah kegiatan belajar mengajar berakhir diharapkan mendapat hasil yang memuaskan. Sarana dan prasarana, merupakan pendukung dalam proses kegiatan belajar mengajar, karena dengan adanya sarana dan prasarana di sekolah diharapkan kegiatan belajar mengajar semakin mudah dan diharapkan mendapatkan hasil sesuai dengan keinginan. Tenaga pengajar, merupakan pendukung dalam proses kegiatan belajar mengajar. Guru adalah pengajar yang mendidik. Guru memusatkan perhatian kepada kepribadian siswa, khususnya berkenaan dengan kebangkitan belajar. Sebagai guru yang mengajar, guru bertugas mengelola kegiatan belajar siswa di sekolah. Berdasarkan teori di atas maka belajar adalah suatu proses perubahan seseorang menjadi baik dan benar yang ditandai dengan perubahan tingkah laku, pengetahuan, pengalaman, kertampilan, serta yang aling penting adalah cara berpikir dari seseorang tersebut. Perubahan ini dapat dilihat dari hasil belajar yang meningkat yang diukur melalui tes evaluasi dan sebagainya. Serta faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar ada dua yaitu faktor eksternal yaitu dari luar seperti pengaruh dari teman-teman sebaya, lingkungan yang kurang mendukung, serta instrumen yang digunakan pada proses belajar. Sedangkan faktor input yaitu dari dalam diri seseorang yaitu fisik dan jasmani yang kurang mendukung seperti cacat fisik dan sebagainya, serta psikologis dari seseorang juga sangat berpengaruh yakni kejiwaan yang diderita oleh seseorang tersebut.
11
2.2
Model Pembelajaran Kooperatif tipe STAD Pembelajaran kooperatif adalah strategi mengajar yang mengelompokkan
siswa ke dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari siswa-siswa dengan tingkat kemampuan berbeda. Siswa akan menggunakan sejumlah kegiatan untuk mengembangkan pemahaman terhadap suatu konsep atau sub konsep.(Jhonson, dkk : 2000). Model pembelajaran kooperatif ada 4 yaitu : STAD (Student Teams Achievement Divisions), pembagian prestasi kelompok siswa dimana diberikan quis/tes dalam menjajaki belajar mereka. TGT (Teams Games Tournament), komponen sama dengan STAD, untuk tes dan perbaikan skor individu diganti dengan turnamen game akademik. JIGSAW, pada intinya dalam mempelajari sebuah materi pelajaran tertentu, materi tersebut diperoleh dengan cara menggabungkan sub-sub komponen yang dibagikan pada anggota kelompok. Group Investigation Merupakan teknik cooperation learning dimana para siswa bekerja di dalam kelompok-kelompok kecil untuk menangani berbagai macam proyek kelas. Dalam metode ini hadiah atau point tidak diberikan. (Ibrahim dkk:2000) Strategi pembelajaran Student Teams Achivement Divisions merupakan salah satu tipe strategi pembelajaran kooperatif atau suatu pembelajaran yang efektif dengan menggunakan kelompok-kelompok kecil heterogen yaitu berdasarkan kemampuan akademis berbeda, jenis kelamin, agama, ras dan suku yang berbeda-beda. Guru mengawali pembelajaran dengan penyampaian tujuan pembelajaran, penyampaian kuis, dan penghargaan kelompok serta memeberikan evluasi. (Chotimah, 2009: 7)
12
Gagasan utama strategi pembelajaran Student Teams Achivement Divisions yakni memotivasi peserta didik dan membantu siswa dalam menguasai meteri pembelajaran yang disampaikan oleh guru. Jika peserta didik ingin memperoleh penghargaan kelompok harus membantu peserta didik lain untuk mempelajarai meteri pembelajran yang sedang dipelajari. Peserta didik dalam kelompok yang sama diharapkan berusaha memperoleh skor terbaik diantara skor anggota kelompok yang lain. Peserta didik di dalam kelompok bekerja bersama, membandingkan jawaban dari setiap masalah, dan saling membantu sesama anggota kelompok terhadap meteri pembelajaran (Slavin, 2005: 143) Walaupun peserta didik belajar bersama dalam kelompok, tetapi pada saat pelaksanaan kuis harus dikerjakan sendiri oleh setiap anggota kelompok. Strategi pembelajaran STAD merupakan pembelajaran kooperatif yang paling sederhana. Ciri utama strategi pembelajaran ini yakni pemberian penghargaan kepada kelompok yang memiliki nilai kuis tertinggi. Strategi pembelajaran STAD merupakan
salah
satu
alternatif
pembalajaran
kontekstual
yang
dapat
meningkatkan proses dan hasil belajar peserta didik (Michael: 2012: 261) Penelitian ini yang akan digunakan adalah model pembelajaran kooperatif STAD. Adapun langkah-langkah pelaksanaan metode pembelajaran kooperatif; persiapan meliputi menciptakan kondisi belajar siswa dengan membagi siswa dalam kelompok secara heterogen. Memberikan lembar diskusi pada tiap kelompok (1 kelompok 1 lembar diskusi agar ada saling ketergantungan satu sama lain), pelaksanaannya guru memberikan informasi materi secara garis besar kepada siswa sesuai dengan kompetensi dasar dilanjutkan dengan diskusi sesuai
13
lembar diskusi yang diberikan. Pembahasan soal pada lembar diskusi secara bersama-sama
sampai
memperoleh
suatu
kesimpulan,
Evaluasi
berupa
mengerjakan tes individu setiap selesai diskusi, dimana satu sama lain tidak boleh saling membantu. Memperdalam materi dengan pembahasan tes individu sambil mengulang hal-hal yang dianggap sulit oleh siswa. Membuat skor/nilai perkembangan individu dari tes individu setiap selesai diskusi. Memberikan penghargaan bagi kelompok yang paling baik guna memotivasi belajar mereka, dapat disajikan pada Tabel berikut. Tabel 1. Ketentuan skor perkembangan pada evaluasi model pembelajaran kooperatif STAD (Ibrahim dkk, 2005 :57) No Keterangan Skor 1.
Skor terkini dari 10 poin di bawah skor dasar
0 poin
2.
Skor terkini dari 10 poin sampai 1 poin di bawah skor dasar
10 poin
3.
Skor terkini sama dengan skor dasar sampai 10 poin di atas 20 poin skor dasar
4.
Skor terkini lebih dari 10 poin di atas skor dasar
30 poin
5
Pekerjaan sempurna
40 poin
Skor kelompok diperoleh dengan cara mencari nilai rata-rata skor perkembangan yang diperoleh oleh masing-masing anggota. Tiap-tiap tim akan memperoleh penghargaan yang diperoleh oleh masing-masing anggota. Tiap-tiap tim akan memperoleh penghargaan sesuai dengan skor kelompok yang diperolehnya. Untk melihat msing-maing skor dari kelompok yang dapat dikelompok kan sesuai dengan perolehan poin yang telah didapat sebelumnya dapat dilihat pada Tabel 2.
14
Tabel 2. Ketetuan penghargaan kelompok pada model pembelajaran kooperatif STAD (Ibrahim dkk, 2000: 57) Skor rata-rata tim Penghargaan Kurang dari 15 poin
Tim Standar
15 poin – 19 poin
Tim Baik
20 poin – 24 poin
Tim Hebat
Lebih dari 25 poin
Tim Super
Slavin (2005: 144) Kelebihan dalam penggunaan metode pembelajaran kooperatif STAD : Mengembangkan serta menggunakan keterampilan berfikir kritis dan kerjasama kelompok, menyuburkan hubungan antara pribadi yang positif diantara siswa yang berasal dari ras yang berbeda, menerapkan bimbingan oleh teman, menciptakan lingkungan yang menghargai nilai-nilai ilmiah. Kelemahan dalam penggunaan metode ini adalah sejumlah siswa mungkin bingung karena belum terbiasa dengan perlakuan seperti ini, guru pada permulaan akan membuat kesalahan-kesalahan dalam pengolahan kelas, akan tetapi dengan sungguh-sungguh yang terus menerus, guru akan dapat terampil menerapkan metode ini. Pembelajaran kooperatif tipe STAD (Student Teams Achivement Divisions) merupakan strategi pembelajaran yang dipusatkan kepada peserta didik yang artinya siswa yang berperan aktif dalam proses belajar mengajar, sedangkan guru sebagai fasilitator kepada iswa jadi proses ini sangat baik digunakan karena siswa sebagai nara sumber dan pengetahuan lagi semakin lebih baik lagi. 2.3
Pendekatan Chemoenterpreneurship (CEP) Entrepreneurship berarti seseorang yang melakukan atau mengusahakan
suatu proyek atau aktivitas secara signifikan. Sedangkan chemoentrepreneurship
15
dapat dikatakan sebagai inovasi dalam penciptaan nilai-nilai baik ekonomi, sosial dan lainnya. Chemoentrepreneurship merupakan suatu pendekatan yang dilakukan pada proses belajar mengajar Satu pendekatan untuk menambahkan aktivitas bersifat usahawan dan perkembangan perusahaan di negara perkembangan adalah untuk menciptakan satu "perusahaan budaya" antara belia dari negara, dengan memfokuskan pada belia sementara mereka masih di sekolah, pendekatan ini mungkin sediakan satu solusi jangka panjang ke masalah dari perkembangan pekerjaan. Untuk capai satu lentang "budaya perusahaan" pada akhirnya, pendidikan dan pelatihan program di Kenya harus mengintegrasikan bisnis, teknologi, diri lapangan kerja,
dan
entrepreneurship ke dalam kurikulum. (Nelson, 1997: 9-10) Pendekatan entrepreneurship menekankan pada
pengetahuan dan
keterangan berlandaskan ilmu mendidik dari berbagai instasnsi keguruan. Salah satu pendekatan mungkin dipertimbangkan sesuai dengan konvensional MBA selama ini kecuali adalah cara berpikir yang lambat bagaimana cara belajar jadi pengusaha. Bisnis tradisional dan ilmu mendidik manajemen diadopsi oleh educationalists pada awal langkah dari Pendidikan entrepreneurship. Pendekatan ini, berlandaskan “ ide itu yang ketahui dapat ajari, digabungkan dengan dugaan dari murid sebagai wadah kosong ke dalam
yang instruktur menuangkan
kebijaksanaan mereka dan paradigma bidang pendidikan terus menarus akan berusaha sedemikian mungkin”. Perkembangan pada ketetapan dari Pendidikan entrepreneurship dan penerimaan dari praktek tradisional dideskripsikan di atas seseorang yang melakukanya. Antara lain, beberapa saran di situ adalah
16
overemphasis pada menghidupkan bisnis managerial dan baru keterampilan dan satu kekurangan fokus pada belajar untuk mengembangkan perilaku perusahaan, keterampilan dan atribut, kreatifitas, selfconfidence, motivasi (Leurenco, 2006: 115-116) Konsep pendekatan chemoentrepreneurship (CEP) adalah suatu pendekatan pembelajaran kimia yang kontekstual yaitu pendekatan pembelajaran kimia dikaitkan dengan objek nyata sehingga selain mendidik, dengan pendekatan CEP ini memungkinkan peserta didik dapat mempelajari proses pengolahan suatu bahan menjadi produk yang bermanfaat, bernilai ekonomi dan menumbuhkan semangat berwirausaha. Dengan pendekatan CEP ini pengajaran kimia akan lebih menyenangkan dan memberi kesempatan peserta didik untuk mengoptimalkan potensinya agar menghasilkan suatu produk (Supartono, 2006 ). Bila peserta didik sudah terbiasa dengan kondisi belajar yang demikian, tidak menutup kemungkinan akan memotivasi peserta didik untuk berwirausaha. Dari
keseluruhan
dari
Pendidikan
entrepreneurship
adalah
untuk
memberikan murid sikap, pengetahuan dan keterampilan untuk berulah pada satu cara bersifat usahawan. Pengetahuan entrepreneurship telah dipecah ke dalam berbagai kategori (melihat di bawah) sediakan yang kerangka untuk jangkauan luas dari hasil belajar spesifik diadopsi oleh Negeri Eropa. Model telah disesuaikan dari satu pendekatan yang masih bersifat sementara sebagai konsep hasil belajar didata bahwa di bawah pembangunan dan secara luas mendiskusikan, lebih lagi sangat pada area dengan lintang kemampuan seperti entrepreneurship. Figur berikut dan komentar memberikan satu ide pertama dari baik hasil belajar
17
serta berhubungan dengan entrepreneurship hal yang dapat dibandingkan di antara negara adalah terbatasnya pemahaman dan pengetahuan pelajar hasil ini membedakan seluruh negara. Satu pemahaman Orang Eropa umum dan pendekatan untuk belajar hasil untuk pendidikan entrepreneurship masih dikembangkan saat ini (Bourgeois, 2012: 19) Pendekatan pembelajaran kimia CEP juga memberi peluang kepada siswa untuk dapat mengatakan dan melakukan sesuatu. Jika pendekatan pembelajaran CEP diaplikasikan, maka siswa dapat mengingat lebih banyak konsep atau proses kimia yang dipelajari. Dampak dari penerapan CEP ini menjadikan belajar kimia bermakna, sehingga dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Hal demikian sesuai dengan kerucut pengalaman belajar bahwa siswa belajar 10% dari yang dibaca, 20% dari yang didengar, 30% dari yang dilihat, 50% dari yang dilihat dan didengar, 70% dari yang dilakukan, dan 90% dari yang dilakukan dan dikatakan (Supartono, 2005:5). Konsep pendekatan CEP adalah suatu pendekatan pembelajaran kimia yang kontekstual yaitu dikaitkan dengan objek nyata sehingga selain dididik, siswa dapat mempelajari proses pengolahan suatu bahan menjadi produk yang bermanfaat, bernilai ekonomi dan menumbuhkan semangat berwirausaha sehingga penggunaan pendekatan CEP pada mata pelajaran kimia akan lebih menyenangkan
dan
memberi
kesempatan
siswa
untuk
mengoptimalkan
potensinya agar menghasilkan suatu produk (Supartono, 2006: 3). Akan tetapi inti dari pendekatan CEP bukan membentuk siswa menjadi seorang wirusahawan atau pedagang, tetapi dengan pembelajaran dengan pendekatan CEP diharapkan akan
18
menumbuhkan semangat/jiwa kewirausahaan bagi siswa dalam proses belajar mengajar.
(Menurut
Sumarni
dalam
Rohmadi,
2012)
semangat/jiwa
kewirausahaan seseorang tercermin pada berbagai hal misalnya kemampuan, kemandirian (termasuk di dalamnya adalah kegigihan, kerjasama dalam tim, kreativitas dan inovasi). Pada proses belajar dan mengajar, harus banyak menekankan pada proses belajar mandiri. Tujuan belajar mandiri antara lain berfungsi untuk menumbuhkan kreativitas berfikir, menumbuhkan kepercayaan diri, memberi keterampilan memecahkan permasalahan dan mengambil keputusan, membiasakan menemukan peluang pada masa depan, menumbuhkan jiwa inovatif dan menumbuhkan sikap berani menanggung resiko (Rohmadi, 2001) Pendekatan pembelajaran kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan materi yang diajarkan dengan lingkungan sekitar siswa untuk menghubungkan antara pengetahuan yang mereka peroleh dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu dengan pendekatan CEP yang merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang kontekstual menjadikan pelajaran kimia lebih menarik, menyenangkan dan lebih bermakna. Pembelajaran dengan pendekatan CEP ini harus didukung dengan kemampuan berpikir yang memadai yaitu kemampuan generik. (Menurut Sumarni dalam Rohmadi, 2012) makna kemampuan generik adalah suatu kemampuan dasar yang bersifat fleksibel, multitugas dan berorientasi kreativitas lebih luas. Kemampuan generik meliputi beberapa kemampuan yaitu: Pengamatan langsung; yaitu kemampuan dalam mengamati objek secara langsung. Pengamatan langsung
19
dapat diperoleh melalui kejadian sehari-hari dan atau terjadi pada saat melakukan percobaan kimia. Untuk pengamatan tak langsung, keterbatasan panca indera menyebabkan gejala atau fenomena perilaku alam tidak dapat diamati secara langsung sehingga diperlukan suatu peralatan atau sifat dan gejala yang menunjukkan perilaku suatu zat. Pemahaman tentang skala; ilmu kimia adalah ilmu berdasarkan percobaan, oleh sebab itu siswa dituntut untuk mampu memahami skala atau ukuran kimia secara benar. Bahasa simbolik; ilmu kimia sangat kaya akan symbol-simbol yang digunakan untuk berbagai fungsi dan tujuan sebagai bahasa untuk menyatakan suatu besaran secara kuantitatif maupun kualitatif dan sebagai alat untuk mengungkapkan hukum atau prinsip kimia. Langkah berikut Logical frame; yaitu kemampuan untuk berpikir sistematis yang didasarkan pada keteraturan fenomena gejala alam. Konsistensi logis; yaitu kemampuan mengungkap adanya konsistensi logis mengenai data-data fisik dari beberapa senyawa kimia. Hukum sebab-akibat; yaitu kemampuan untuk memahami dan menggunakan hukum sebab akibat. Pemodelan; dalam mempelajari ilmu kimia beberapa materi kimia dipelajari secara abstrak. Misalnya bagaimana membayangkan bentuk atom yang yang ukurannya sangat kecil dan tidak dapat dilihat, Oleh karena itu diperlukan suatu model untuk mempermudah mempelajarinya. Selain itu tahapan selanjunya adalah Logical inference; yaitu kemampuan untuk dapat mengambil kesimpulan baru sebagai akibat logis dari hukum-hukum
20
terdahulu tanpa harus melakukan percobaan baru. Abstraksi; yaitu kemampuan siswa untuk menggambarkan hal-hal yang abstrak ke dalam bentuk nyata. Berdasarkan teori sebelumya maka pendekatan Chemoenterpreneurship merupakan pendekatan yang dilakukan secara berwirausaha, hal ini dimaksudkan pendekatan yang dilakukan pada pengatahuan kimia yang siswanya diajak untuk bagaimana bisa memikirkan bagaimana bisa bewirausaha agar nantinya siswa selesai sekolah bisa langsung berwirausaha. Pendekatan ini sebaikanga dilakukan dengan pengamatan atau pembelajaran yang dilakukan langsung membuat suatu produk yang bisa dijual nantinya. Adapun
implementasi
pendekatan
Chemoenterpreneurship
pada
Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD. Menurut Piaget dalam perkembangan peserta didik (2009), pada tahap poerasional formal, yaitu pada anak 11 tahun ke atas, interaksi dengan lingkungan sudah amat luas menjangkau teman sebayanya bahkan berusaha untuk dapat berinteraksi dengan orang dewasa. Pada usia ini, anak juga ingin diberikan kepercayaan untuk melakukan sesuatu yang diinginkannya. Dalam hal ini, pembelajaran kooperatiflah yang dianggap dapat memberikan suasana yang kondusif dalam tahapan perkembangan kognitif siswa. Dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD, siswa akan berusaha untuk bekerja sama dengan temannya dalam satu kelompok dan berinteraksi dengan siswa yang lain yang mungkin memiliki perbedaan suku, ras, agama ataupun kemampuan intelektual. Pada tahap operasional ini, anak seusia mereka memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar. Siswa lebih tertarik untuk mengamati hal yang menarik
21
baginya. Dalam hal ini, pembelajaran yang berorientasi Chemo-Entrepreneurship sangat membantu mengarahkan siswa untuk melakukan pembelajaran yang langsung dikaitkan dengan produk nyata. Dari kedua model dan pendekatan yang dilakukan dapat dilakukan dengan adanya STAD sebagai menumbuhkan semangat belajar mereka dengan kerja secara kelompok, sedangkan untuk CEP suatu pendekatan yang dilakukan secara langsung atau obyek yang nyata dengan berwirausaha. Dengan pendekatan yang kreatif dan model yang nyata ini diharapakan mampu dan dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap pelajaran kimia dan hasil belajar kimia siswa terlebih lagi kreatifitas siswa akan mudah mengerti, memehami, mengingat apa yang dipelajarinya secara langsung, dan bersemangat dalam pembelajaran menggunkan model yang berbeda dari yang biasanya seperti berupa metode ceramah saja Adapun langkah-langkah pembelajaran yang dilakukan pada pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan menggunakan pendekatan CEP: 1) tahap membuka pelajaran dengan mengucapakan salam dan mengapresepsikan apa yang dilakukan pada suatu obyek yang dilakukan pada penelitian ini pembuatan pakan untuk ternak ternak, 2) tahap penyajian materi diperkenalkan melalui penyajian kelas. Penyajian materi dilakukan secara langsung yaitu; menjelaskan tujuan pembelajaran yang kan dicapai, memberi motivasi pada siswa tentang berwirausaha dan disesuaikan dengan materi yang diajarkan, menyajikan kompotensi dasar dan indikator yang harus dicapai, memantau pemahaman materi yang disampaikan. 3) Tahap kegiatan kelompok, selama siswa pada kegiatan kelompok, masing-masing kelompok mempelajari materi yang disajikan oleh guru
22
dan membantu teman sekelompok menguasai materi tersebut, dengan membuat produk yang nyata atau yang bisa dijadikan wirausa nantinya. Guru memberikan lembar kegiatan siswa berupa modul cara pembuatan pakan untuk ternak, guru harus menekankan bahwa lembar kegiatan untuk dipelajari dan dipahami bukan hanya diisi atau diserahkan kepada guru. Jika ada pertanyaan sebaiknya didiskusikan atau ditanyakan terlebih dahulu kepada anggota kelompok baru ditanyakan kepada guru apabila tak terjawab. 4) Tahap penilan, tujuan utama penilaian adalah untuk mengetahui sebeapa besar pemahaman dan pengetahuan terhadap materi yang diajarkan. 2.4
Laju Reaksi Johari (2010: 163) sebagian reaksi kimia dalam kehidupan sehari-hari ada
yang berlangsung sangat cepat, dan ada yang berlangsung sangat lambat. Contohnya reaksi oksidasi kembang api yang berlangsung sesaat dan perkaratan besi di udara yang berlangsung secara bertahap bahkan selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Cepat atau lambatnya suatu reaksi kimia berlangsung inilah yang disebut laju reaksi. Dalam laju reaksi yang akan dibahas adalah konsep laju reaksi, hukum laju reaksi, hukum laju reaksi, faktor-faktor yang mempengaruhi laju reaksi. Partana (2003: 47) reaksi kimia berlangsung dengan laju tertentu, seperti reaksi ion, pada penetralan asam dan basa, berlangsung dengan sangat cepat sehingga sangat sukar untuk menentukan adanya hasil antara. Ada pula reaksi kimia yang sangat lambat, misalnya peluruhan
238
U yang memerlukan waktu
sekitar 5 x 109 tahun. Pada umumnya reaksi-reaksi kimia berlangsung di antara
23
kedua waktu yang ekstrem ini. Laju reaksi merupakan kecepatan berlangsungnya perubahan kimia, menurut definisi inilah, maka laju reaksi dapat dinyatakan sebagai laju pembentukan produk tiap satuan waktu. Laju suatu reaksi sangat berpengaruh pada beberapa faktor seperti sifat dan keadaan zat, konsentrasi, temperatur, dan katalisator. Konsep laju reaksi menurut Achmad (2001:152) laju reaksi atau kecepatan reaksi dinyatakan sebagai perubahan konsentrasi zat pereaksi atau produk reaksi tiap satuan waktu. Dapat dirumuskan Laju reaksi = perubahan konsentrasi/ waktu yang diperlukan untuk perubahan untuk reaksi A + B C, dapat ditentukan jika laju reaksi dinyatakan dalam bilangan positif Laju = ± ∆[X]/ ∆t, tanda negatif digunakan jika X adalah pereaksi (∆[X] negatif) dan tanda positif jika X adalah pereaksi (∆[X] positif). Pada umumnya konsentrasi dalam mol per liter dan waktu dinyatakan dlam detik, menit, jam atau hari bergatung lamanya dimensi dari laju reaksi. Untuk menentukan laju dari reaksi kimia yang diberikan, harus ditentukan seberapa cepat perubahan konsentrasi yang terjadi pada reaktan atau produknya. Secara umum, apabila terjadi reaksi A → B. Maka mula-mula zat A, dan zat B sama sekali belum ada, setelah beberapa waktu konsentrasi B akan meningkta sementara konsentrai zat A menurun. Secara kualitatif dapat dinyatakan bahwa laju pengurangan zat A, adalah vA= -d[A]/ dt, dan laju pembentukan zat B, adalah vB= -d[B]/ dt, sehingga secara stoikhimetri dapat dinyatakan bahwa v = -d[A]/ dt = -d[B]/ dt. Laju reaksi terukur seringkali sebanding dengan konsentrasi reaktan dengan suatu pangkat tertentu. Sebagai contoh misalnya laju yang sebanding
24
dengan konsentrasi dua reaktan A dan B, dapat ditulis sebagai: v = k [A][B] Koefisien k, disebut konstanta laju yang tidak bergatung pada konsentrasi (tetapi bergantung pada temperatur). Persamaan sejenis ini yang ditentukan sebagai hasil eksperimen disebut hukum laju, secara formal hukum laju adalah persamaan yang menyatakan laju reaksi v sebagai fungsi dari konsentrasi semua spesies yang menentukan laju reaksi (Partana, 2003: 47-48) Suatu reaksi kimia, pereaksi akan bereaksi dam membentuk produk reaksi. Jumlah pereaksi akan berkurang sedangakan jumlah prosuk reaksinya akan bertambah. Perubahan konsentarasi zat pereaksi atau produk reaksi persatuan waktu dinyatakan sebagai laju reaksi (v) = ∆ konsentrasi / periode waktu-1. Jumlah pereaksi atau produk reaksi umum dinyatakan menggunakan kelomlaran (molaritas) dengan satuan mol/L dan satuan periode waktu detik, yang memberikan satuan mol L-1 detik-1 untuk laju reaksi. Namun perhatikan untuk gas, laju reaksi terkadang dinyatakan sebagai cm3 detik-1 atau atm detik-1. (Johari, 2010:165) Selanjutnya berikut ini teori tentang hukum laju reaksi merupakan laju keseluruhan dari suatu reaksi kimia pada umumnya bertambah jika konsentraasi satu pereaksi atau lebih dinaikkan, hubungan antara laju dan konsentrasi dapat diperoleh dar data ekperimen. Untuk reaksi aA + bB → produk, dapat diperoleh bahwa laju reaksi kimia dapat ber banding lurus dengan [A] x dan [B]y. Dapat ditulis ungkapan tersebut: Laju = [A]x[B]y, dapat disebut dengan hukum laju atau peramaan laju, dengan k adalah tetapan laju x dan y dapat merupakan bilangan
25
bulat, pecahan atau nol. Reaksi adalah orde ke x terhadap A, sedangkan orde ke y terhadap B, dan (a + y) adalah orde keseluruhan (Achmad,2001: 161) Pengukuran laju reaksi dari berbagai eksperimen menunjukan bahwa laju reaksi merupakan fungsi dari konsentrasi pereaksinya. Hal ini dirumuskan sebagai hukum laju reaksi untuk rekasu sebagai contoh; aA + bB Produk reaksi, hukum laju reaksi dinyatakan dalam bentuk persamaan laju reaksi dapat dirumuskan v k A B . Dimana v merupakan laju reaksi keseluruhan (mol L-1 det-1), k m
n
adalah tetapan laju reaksi, sedangkan [A].[B] adalah konsentrasi pereaksi A dan B, m dan n yakni orde reaksi pada A dan B. Jumlah orde reaksi m terhadap A, orde reaksi n terhadap konsentrasi B seterusnya disebut orde reaksi keseluruhan. Orde reaksi keluruhan = Σ (m+n+...), orde reaksi keseluruhan inilah yang pada intinya merupakan orde reaksi dari suatu reaksi kimia (Johari, 2012: 171-172). Selanjutnya teori tentang faktor-faktor yang mempengaruhi laju reaksi, dari pengalaman sehari-hari, kita dapat mengetahui bahwa laju reaksi di pengaruhi oleh berbagai macam factor. Misalnya, kita dapat mengamati bahwa serpihan kayu terbakar lebih cepat dari pada balok kayu, pada matri akan dibahas factorfaktor
yang
mempengaruhi
laju
reaksi.
pengetahuan
tentang
hal
ini
memungkinkan kita dapat mengendalikan laju reaksi, yaitu melambatkan reaksi yang merugikan dan menambah laju reaksi yang menguntungkan. (Johari, 2012: 183) Disamping itu juga Partana (2003: 50) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi laju reaksi adalah sifat dan keadaan zat suatu senyawa,
26
konsentrasi, waktu paruh yang dapat dihitung dengan menentukan harga k dengan cara grafis, temperatu atau suhu, dan katalisator. Proses perubahan reaksi terjadi terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi laju reaksi yakni keadaan pereaksi dan luas permukan suatu jenis pereaksi, konsentrasi dari masing senyawa yang akan direaksikan, suhu pada saat percobaan, katalis dan pengaruh selajutnya adalah cahaya hal ini sering tiddak disinggung pada faktor-faktor yang mempengaruhi laju reaksi. (Achmad, 2001:158) Triyono (1994: 80) juga berpendapat bahwa adapun faktor-faktor yang mempengaruhi laju reaksi dalam larutan adalah melewati bebarapa tahap reaksi di dalam sistem seperti; difusi antar molekul untuk bergabung/tumbukan, transformasi/reaksi, difusi hasil menjauh antara satu molekul dengan yang lain. Meskipun reaksi yang berlangsung di dalam fasa gas secara teoteritis berlangsung lebih sederhana dibandingkan di dalam fasa yang lain (padat dan cair), tetapi kenyataan di dalam praktekna sebagian besar reaksi tidak dilakukan di dalam fasa gas melainkan berlangsung di dalam larutan atau yang lain. Jadi faktor-faktor yang mempengaruhi laju reaksi ada lima yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari yaitu faktor yang pertama yaitu luas sentuhan atau luas permukaan, konsentasi dari tiap pereaksi yang digunakan, tekanan pada saat proses pembentukan reaksi, suhu atau temperatur, dan katalis yang digunakan. Berikut ini yang merupakan teori tumbukan dari laju reaksi yang terjadi pada tumbukan yang menggambarkan bagaimana pertemuan antara partikel-
27
partikel pereaksi sebagai suatu tumbukan. Tumbukan yang dapat mengahasilkan partikel-partikel produk reaksi disebut tumbukan efektif. Ada dua faktor yang menentukan terjadinya suatu tumbukan efektif, yaitu orientasi atau arah partikel yang bertumbukan dan energi kinetik pertikel (atau energi kinetik molekul). Kedua peristiwa ini dapat mengakibatkan energi potensial sebagai Ep yang mencapai puncak sewaktu pengkomplesan teraktivitasi terbentuk. Kondisi ini disebut kondisi transisi. Selisih Ep pada kondisi transaksi dan Ep pereaksi ini dikenal sebagai energi pengaktifan (Ep). Pada posisi puncak ini, kompleks teraktivasi dapat berubah menjadi produk reaksi, atau kembali sebagai pereaksi. Dari penjelasan diatas, dapat diketahui bahwa laju reaksi, ditentukan oleh jumlah tumbukan efektif yang terjadi.(Partana, 2003: 57) Teori tumbukan ini juga dijelaskan Achmad (2003: 180) bagaimana konsentrasi pereaksi, luas permukaan sentuh, suhu, dan katalis dapat mempengaruhi laju reaksi; a) konsentrasi pereaksi, pengaruhnya berkaitan dengan jumlah partikel yang telibat dalam tumbukan. Apabila konsentasi bertambah, makaa jumlah pertikel-partikel akan bertambah pula, b) luas permukaan sentuh, pengaruhnya pada mudah atau tidaknya partikel-partikel pereaksi untk bertemu. Apabila luas permukaan sentuh bertemu sehingga jumlah tumbukan efektif akn meningkat, c) suhu, temperatur sangat berpengaruh terhadap laju reaksi terkait dengan nilai energi kinetik pertikel. Apabila suhu reaksi dinaikkan. Maka energi kinetik pertikel akan bertambah pula, dengan demikian, lebih banyak pertikel yang akan dimiliki energi kinetik minimum ≥ Ep akibatnya lebih banyak tumbukan efektif yang terjadi dan laju reaksi meningkat. Dan d) katalis, peran
28
katalis terkait dengan energi pengaktifan reaksi Ep, katalis yang digunakan untuk mempercepat reaksi memberikan suatu mekanisme/jalur reaksi alternatif dengan nilai Ep yang lebih rendah, maka lebih banyak pertikel yang memiliki energi kinetik yang cukup untuk mengatasi halangan Ep yang rendah. Hal ini menyebabakan jumlah tumbukan efektif akan bertambah, sehingga laju reaksi akan meningkat. (Johari, 2010: 193-201) Teori Tumbukan ini juga dijelaskan Mulyani (2003: 169) bahwa teoti tumbukan bola keras (Hard-Sphere) ini berdasarkan pada teori kinetika tumbukan. Untuk suatu gas tunggal (gas A), kerapatan tumbukan yaitu total jumlah tumbukan per satuan waktu per satuan volum dapat dirumuskan : ZAA =1/2 √2πd
2
ᶶN2A, dengan d adalah diameter molekul, NA adalah jumlah molekul per satuan volum, dan u (bar) adalah kecepatan molekul rata-rata. Selain itu juga teori tumbukan bola keras, merupakan jumlah tumbukan tersebut dikalikan dengan faktor Arrhenius e-E/RT memberikan laju pembentukan produk reaksi, dalam satuan molekul per satuan volume per satuan waktu. Jadi untuk reaksi antara A dan B pembagian dengan NA NB memberikan tetapan laju dalam satuan molekul (SI : M2 S-1), dan kita dapat mengubahnya ke dalam satuan molar dengan cara mengalikannya dengan bilangan avogadro L. Dari penertian diatas dapat disimpulkan bahwa laju reaksi adalah dimana perbandingan antara perubahan konsentrasi dibagi dengan persatuan waktu dapat disimbolkan mol L-1/detik, sedangkan hukum laju reaksi yaitu konstanta suatu laju reaksi kimia yang tidak bergantung pada konsentrasi akan tetapi bergatung pada suhu atau temperatur, faktor-faktor yang mempengaruhi laju reaksi adalah
29
konsentasi, luas permukaan sentuhan, tekanan, suhu, dan katalis. Begitu pula pada proses tumbukan atau pertemuan oleh dua pereaksi dipengaruhi oleh fakto-faktor tersebut. 2.5
Hasil Penelitian yang relevan Penelitian ini telah dilakukan oleh beberapa paneliti sebelumnya oleh
Haniatun pada 2007 dalam penelitian yang berjudul peningkatan hasil belajar siswa melalui model pembelajran kooperatif type STAD dengan berorientasi pada CEP menggunakan pratikum aplikatif bebasi life skill dengan menggunakan pendekatan ini memperoleh hasil untuk siklus 1 37%, pada siklus 2 meningakat 79% sedangkan pada siklus 3 menjadi 87%. Pada tahun 2009 Supartono juga dalam penelitiannya yang berjudul kajian prestasi belajar siswa SMA menggunakan metode STAD melalui pendekatan CEP dengan memeperoleh hasil 52,8%. sama dengan penelitian yang peneliti lakukan dengan menggunakan model pembelajran kooperatif tipe STAD dan menggunakn pendekatan CEP, akan tetapi berbeda dengan apa yang peneliti lakukan yakni materi yang disampaikan yaitu laju reaksi sedangkan apa yang dilakukan oleh Haniatun pada materi Koloid dengan melakukanya hanya materi hafalan saja dan Supartono pada materi titrasi asam dan basa. Selain itu juga kedua peneliti ini melakukan penelitianya secara kuantitafif sedangkan peneliti lakukan adalah materi penelitian kaji tindak atau penelitian tindakan kelas. 2.6
Hipotesis Tindakan Pada penelitian ini, penulis merumuskan hipotesis. “Jika guru dapat
mengimplementasikan
pendekatan
CEP
dengan
menggunakan
model
30
pembelajaran kooperatif tipe STAD dalam pembelajaran kimia pada materi laju reaksi. Maka hasil belajar siswa meningkat”. 2.7
Indikator Kinerja Sebagai dasar pengukuran jika hipotesis tindakan berhasil atau tidak dapat
dilihat dari terjadi peningkatan hasil belajar dengan ditunjukan dengan indikator pencapaian mencapai 80% yang memenuhi standar ketuntasan belajar siswa yakni sekitar 75%. Jika terjadi peningkatan terhadap pemahaman materi meningkat maka hipotesis tindakan berhasil, serta tidak terjadi kesalahan konsep terhadap meteri yang diajarkan dalam hal ini materi yang diajarkan yaitu laju reaksi.