BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Tentang Belajar 1. Pengertian Belajar Belajar menurut Slameto (2003:2) adalah suatu proses yang dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Pendapat ini selaras dengan Oemar Hamalik (2008: 36) yang mengartikan belajar adalah modifikasi atau memperkuat tingkah laku melalui pengalaman dan latihan. Sedangkan Wina Sanjaya (2007: 110), mengartikan belajar sebagai proses perubahan perilaku akibat dari pengalaman dan latihan. Selanjutnya belajar menurut pandangan kontruktivistik (Asri Budiningsih, 2005: 58), merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan yang dilakukan oleh siswa. Siswa harus aktif melakukan kegiatan, aktif berpikir, menyusun konsep dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Pemberian makna terhadap hal-hal yang dipelajari tersebut yang berupa objek dan pengalaman, tidak dilakukan secara sendiri-sendiri oleh siswa, melainkan dilakukan melalui interaksi sosial, yang terjadi di dalam kelas maupun di luar kelas. Kepekaan, berarti ketajaman baik dalam arti kemampuan berpikirnya, maupun kemudahan tersentuhan hati nurani didalam melihat dan merasakan segala sesuatu mulai dari kepentingan orang lain sampai dengan kelestarian lingkungan. Kemandirian, berarti kemampuan menilai proses dan hasil berpikir 9
sendiri di samping proses dan hasil berpikir orang lain,yang dianggap benar dan perlu. Tanggung jawab, berarti kesediaan untuk menerima segala konsekuensi keputusan serta tindakan sendiri. Kolaborasi, berarti disamping mampu berbuat yang terbaik bagi dirinya sendiri juga bekerjasama dengan individu lain dalam meningkatkan mutu bersama (Asri Budiningsih, 2005: 55). Secara konseptual, proses belajar jika dipandang dari pendekatan kognitif, bukan dari perolehan informasi dari satu arah dari luar kedalam diri siswa, melainkan sebagai pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara pada pemutaran struktur kognitifnya. Pemberian makna terhadap objek dan pengalaman oleh individu tidak dilakukan sendiri-sendiri oleh siswa, melainkan melalui interaksi dalam jaringan sosial yang unik, yang terbentuk baik dalam kelas maupun diluar kelas. 2. Prinsip-prinsip Belajar Banyaknya teori dan prinsip-prinsip belajar yang dikemukakan oleh para ahli pedagogi, namun terdapat beberapa prinsip yang berlaku umum yang dapat dipakai sebagai dasar dalam upaya meningkatkan aktivitas pembelajaran. Menurut Dimyanti
&
Mudjiono
(2002:
42-49)
dalam
bukunya
“Belajar
dan
Pembelajaran” setidaknya ada tujuh prinsip-prinsip belajar yang perlu diperhatikan, prinsip-prinsip tersebut diantaranya: a. Perhatian dan motivasi Perhatian mempunyai peranan penting dalam peranan belajar, tanpa adanya perhatian tidak mungkin terjadinya belajar. Di samping perhatian, motivasi juga mempunyai peranan penting. Ia adalah tenaga yang 10
menggerakkan dan mengarahkan aktivitas seseorang. Perhatian terhadap pelajaran akan timbul pada siswa apabila bahan pelajaran sesuai dengan kebutuhannya. Apabila bahan pelajaran itu dirasakan sebagai sesuatu yang dibutuhkan, diperlukan untuk belajar lebih lanjut dan akan membangkitkan motivasi untuk mempelajarinya. b. Keaktifan Belajar hanya mungkin terjadi apabila anak aktif mengalami sendiri karena belajar menyangkut apa yang harus dikerjakan siswa untuk dirinya sendiri, maka inisiatif harus datang dari siswa sendiri. Guru sekedar pembimbing dan pengarah. c. Keterlibatan langsung atau pengalaman Belajar melalui pengalaman langsung siswa tidak sekedar mengamati secara langsung tetapi ia harus menghayati, terlibat langsung dalam perbuatan, dan bertanggung jawab terhadap hasilnya. d. Pengulangan Belajar adalah melatih daya-daya yang ada pada manusia yang terdiri atas daya mengamat, menanggap, mengingat, mengkhayal, merasakan, berpikir, dan sebagainya. Dengan mengadakan pengulangan maka daya-daya tersebut akan berkembang. e. Tantangan Situasi belajar siswa menghadapi suatu tujuan yang ingin dicapai selalu terdapat hambatan yaitu mempelajari bahan belajar, maka timbullah motif untuk mengatasi hambatan itu yaitu dengan mempelajari bahan belajar 11
tersebut. Apabila hambatan itu telah diatasi, artinya tujuan belajar telah tercapai, maka ia akan masuk dalam medan baru dan tujuan baru, demikian seterusnya. f. Balikan dan penguatan Format sajian berupa tanya jawab, diskusi, eksperimen, metode penemuan, dan sebagainya merupakan cara belajar mengajar yang memungkinkan terjadinya balikan dan penguatan. Balikan yang segera diperoleh siswa setelah belajar melalui penggunaan metode-metode ini akan membuat siswa terdorong untuk belajar lebih giat dan bersemangat. g. Perbedaan individual Perbedaan individual akan berpengaruh pada cara dan hasil belajar siswa. Karenanya, perbedaan individu perlu diperhatikan oleh guru dalam upaya pembelajaran. 3. Proses Belajar Menurut Asri Budiningsih (2005: 59-61) aspek-aspek proses belajar dari pandangan konstruktivistik adalah peranan siswa, peranan guru, sarana belajar, dan evaluasi belajar. a. Peran siswa, proses pembentukan pengetahuan dilakukan oleh siswa, mereka harus aktif melakukan kegiatan, aktif berpikir, dan menyusun konsep dan memberi makna tentang hal-hal yang dipelajari. Jadi dapat dikatakan bahwa hakikat kendali belajar sepenuhnya ada pada siswa. b. Peran guru, peranan kunci guru dalam interaksi pendidikan adalah pengendalian, yang meliputi; 12
1) Menumbuhkan kemandirikan dengan menyediakan kesempatan untuk mengambil keputusan dan bertindak. 2) Menumbuhkan kemampuan mengambil keputusan dan bertindak dengan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan siswa. 3) Menyediakan sistem dukungan yang member kemudahan belajar agar siswa mempunyai peluang optimal untuk berlatih (Asri Budiningsih, 2005: 59) c. Sumber belajar, peran utama siswa dalam kegiatan belajar mengajar adalah aktifitas siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Untuk membantu pembentukan pengetahuan tersebut, maka perlu segala sesuatu seperti bahan, media, peralatan, lingkungan, dan fasilitas lainnya. Dengan demikian, siswa akan terbiasa dan terlatih untuk berpikir sendiri, memecahkan masalah yang dihadapi, mandiri, kritis, kreatif, dan mampu mempertanggung jawabkan pikirannya secara rational d. Evaluasi Belajar, bentuk evaluasi diarahkan pada tugas-tugas autentik, mengkonstruksi pengetahuan dan pengalaman siswa.
B. Kajian Tentang Hasil Belajar 1. Pengertian Hasil Belajar Menurut Nana Sudjana (2008: 28) hasil belajar adalah segala perubahan yang diperoleh berdasarkan pengalaman dan latihan, meliputi pengetahuannya, pemahamannya, sikap dan tingkah lakunya, kebiasaannya, keterampilannya, kecakapan dan kemampuannya, daya reaksinya, daya penerimaannya, daya pikir, dan aspek lain yang ada pada individu. Sedangkan menurut W. Gulo (2008: 8) hasil belajar pada hakikatnya merupakan refleksi dari tujuan yang hendak dicapai dari belajar itu sendiri, sebab tujuan itulah yang menggambarkan kemana arah pembelajaran akan dibawa. 13
Menurut Benyamin Bloom dalam Nana Sudjana (2009: 23-30) menjelaskan bahwa hasil belajar ranah kognitif memiliki enam tingkatan atau indikator yaitu:. a. Pengetahuan Mengacu pada kemampuan mengenal atau mengingat materi yang sudah dipelajari dari yang sederhana sampai pada teori-teori yang sukar yang penting adalah kemampuan mengingat keterangan dengan benar. b. Pemahaman Mengacu pada kemampuan memahami makna materi. Aspek ini satu tingkat di atas pengetahuan dan merupakan tingkat berpikir yang rendah. Kata-kata operasional yang dipergunakan dalam aspek pemahaman adalah menerjemahkan, menafsirkan, meramalkan dan memperhitungkan. c. Aplikasi Aplikasi adalah penerapan suatu yang umum sifatnya pada situasi yang khusus. Kemampuan menerapkan suatu abstraksi pada situasi konkrit. Abstraksi biasanya berupa prinsip atau generalisasi. Mengacu pada kemampuan menggunakan atau menerapkan materi yang sudah dipelajari pada situasi yang baru dan menyangkut penggunaan aturan, prinsip. Penerapan merupakan tingkat kemampuan berpikir yang lebih tinggi dari pada pemahaman. d. Analisis Mengacu pada kemampuan menguraikan materi ke dalam komponenkomponen atau faktor penyebabnya, dan mampu memahami hubungan di antara bagian yang satu dengan yang lainnya sehingga struktur dan aturannya 14
dapat lebih dimengerti. Analisis merupakan tingkat kemampuan berpikir yang lebih tinggi dari pada aspek pemahaman maupun penerapan. e. Sintesis Sintesis adalah menyatukan unsur-unsur atau bagian-bagian menjadi satu bentuk menyeluruh. Menyatukan kembali unsur-unsur dari analisis bukanlah sintesis, tetapi sintesis selalu memasukkan unsur baru dalam mengintegrasikan sesuatu. f. Evaluasi Pemberian keputusan tentang nilai sesuatu yang mungkin dilihat dari segi tujuan, gagasan, cara bekerja, pemecahan, metode, materi, dll. Evaluasi dikategorikan sebagai penentuan hasil belajar yang paling tinggi yang terkandung dari aspek kognitif, karena dari hasil belajar yang berbentuk evaluasi ini tekanannya pada pertimbangan suatu nilai, mengenai baik buruk, tepat tidaknya dan benar salahnya suatu persoalan berdasarkan pada kriteria tertentu. Proses belajar mengajar merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen yang saling berkaitan (interpendensi) dalam pencapaian tujuan pendidikan. Tolok ukur keberhasilan tujuan pendidikan karena adanya evaluasi, yaitu dijadikan sebagai umpan balik dari proses pembelajaran yang telah dilakukan. Pengukuran prestasi kognitif juga merupakan rangkaian dari evaluasi pembelajaran yaitu untuk meninjau sejauh mana kemajuan siswa telah diraih pada ranah kognitif. Sedangkan Matematika yang dimaksud di sini adalah mata pelajaran Matematika kelas V SD. Jadi, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan 15
hasil belajar matematika pada penelitian ini adalah hasil yang telah dicapai oleh siswa setelah melakukan kegiatan belajar yang dapat diketahui melalui pretes dan post tes dengan bentuk soal pilihan ganda yang mengandung ranah kognitif ingatan (C1), pemahaman (C2), dan penerapan (C3). 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar Muhibbin Syah ( 2002: 132-139 ) menyatakan bahwa, secara global faktor yang mempengaruhi hasil belajar dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu: a. Faktor internal siswa (faktor dari dalam siswa) yaitu keadaan/kondisi jasmani dan rohani siswa. Faktor yang berasal dari dalam diri siswa sendiri meliputi dua aspek sebagai berikut. 1) Aspek fisiologis (yang bersifat jasmaniah) Kondisi umum jasmani dan tonus (tegangan otot) yang menandai tingkat
kebugaran
organ-organ
tubuh
dan
sendi-sendinya
dapat
mempengaruhi semangat dan intensitas siswa dalam mengikuti pelajaran. Selain jasmani, panca indera juga mempengaruhi belajar anak. Panca indera yang berfungsi dengan baik merupakan syarat dapatnya belajar itu berlangsung dengan baik. 2) Aspek psikologi (yang bersifat rohaniah) Di antara faktor-faktor rohaniah siswa yang pada umumnya dipandang lebih esensial itu adalah sebagai berikut. a) tingkat kecerdasan/intelegensi siswa; b) sikap siswa; c) bakat siswa; d) minat siswa; e) motivasi siswa.
16
b. Faktor eksternal siswa Faktor eksternal siswa terdiri atas dua macam, yakni: faktor lingkungan sosial dan faktor lingkungan non sosial. Faktor lingkungan sosial dapat berupa: 1) lingkungan sosial sekolah seperti para guru, para staf administrasi sekolah, dan teman-teman sekolah; 2) lingkungan sosial siswa seperti masyarakat, tetangga juga teman-teman sepermainan; dan 3) lingkungan sosial yang paling banyak mempengaruhi kegiatan belajar yaitu orang tua dan keluarga siswa itu sendiri. Sedangkan faktor-faktor yang termasuk lingkungan nonsosial ialah gedung sekolah dan letaknya, rumah tempat tinggal keluarga siswa dan letaknya, alat-alat belajar, keadaan cuaca dan waktu belajar yang digunakan siswa. c. Faktor pendekatan belajar (approach to learning) Pendekatan belajar dapat dipahami sebagai cara atau strategi yang digunakan siswa dalam menunjang efektivitas dan efisien proses pembelajaran materi tertentu. Dalam hal ini, pendekatan juga sangat berpengaruh terhadap taraf keberhasilan proses pembelajaran siswa tersebut. Maka dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan suatu proses, sudah tentu harus ada yang diproses (masukan atau input), dan hasil dari pemrosesan (keluaran atau output). Oleh karena belajar merupakan suatu proses, maka proses maupun hasil belajar itu pasti dipengaruhi oleh beberapa faktor yang tidak boleh diabaikan.
17
C. Kajian Tentang Matematika 1. Hakikat Matematika Matematika sebagai salah satu ilmu dasar, dewasa ini telah berkembang cukup pesat baik materi maupun kegunaannya. Oleh sebab itulah, maka konsep konsep dasar matematika harus dikuasai siswa sejak dini. Penguasaan konsep tersebut diharapkan siswa terampil dan dapat menerapkan dalam kehidupan sehari-hari. Banyak definisi tentang matematika ada yang mendefinisikan bahwa matematika adalah ilmu pasti, ada yang menyatakan bahwa matematika merupakan bagian dari ilmu pengetahuan tentang bilangan dan kalkulasi, ada yang mendefinisikan matematika sebagai ilmu pengetahuan tentang penalaran logis dan masalah-masalah yang berhubungan dengan bilangan, dan ada juga yang menyatakan bahwa matematika adalah ilmu pengetahuan tentang kuantitas dan ruang (Prihandoko, 2006:6). Hal ini berarti bahwa matematika merupakan ilmu yang berkaitan dengan bilangan, jumlah dan keadaan isi suatu benda serta berhubungan dengan pemecahan masalah. Prihandoko (2006: 9) menyimpulkan bahwa hakekat matematika berkenaan dengan struktur-struktur, hubungan-hubungan dan konsep-konsep abstrak yang dikembangkan menurut aturan yang logis. Oleh karena itu matematika merupakan ilmu deduktif, karena kita ketahui bahwa baik isi maupun metode pencarian kebenaran dalam matematika berbeda dengan ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan umumnya. Menurut Sri Subardiyah (2006: 1), matematika merupakan ilmu pengetahuan yang memperlajari struktur yang abstrak dan pola hubungan yang 18
ada didalamnya. Ini berarti bahwa belajar matematika pada hakikatnya adalah belajar konsep, struktur konsep dan mencari hubungan antar konsep dan strukturnya. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa matematika adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari struktur yang abstrak dan pola hubungan yang ada didalamnya, disamping itu manfaat yang menonjol adalah matematika dapat membentuk pola pikir orang yang mempelajarinya menjadi pola pikir matematika yang sistematis, logis, kritis dengan penuh kecermatan. Oleh karena itu, proses dan hasil belajar matematika perlu mendapat perhatian dari guru. Dalam membantu siswa belajar matematika, guru perlu memperhatikan perkembangan pengetahuan dan pengalaman belajar yang telah diperoleh siswa. 2.
Tujuan dan Ruang Lingkup Pembelajaran Matematika Tujuan pembelajaran matematika merupakan sesuatu yang diharapkan
setelah kegiatan pengajaran matematika selesai dilaksanakan. Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (2006) disebutkan mata pelajaran matematika bertujuan agar siswa memiliki kemampuan sebagai berikut. a. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah. b. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat melakukan manipulasi matematika dalam generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan persyaratan matematika. c. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh. d. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel diagram atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. e. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian dan minat dalam mempelajari matematika serta sikap ulet dan percaya diri dalam memecahkan masalah. 19
Dengan demikian tujuan pendidikan matematika pada jenjang sekolah dasar tersebut memberi tekanan pada penataan nalar dan pembentukan sikap siswa serta pada keterampilan dan penerapan matematika. Mata pelajaran matematika pada satuan pendidikan SD/MI meliputi aspekaspek sebagai berikut: a. Bilangan; b. Geometri dan pengukuran; c. Pengolahan data. Matematika di SD diberikan sebagai mata pelajaran dari kelas I sampai kelas VI. Karena di dalam penelitian ini yang dikaji bahan mata pelajaran kelas V, maka di bawah ini materi-materi pengembangan pengetahuan matematika di kelas V semester antara lain: a. Bilangan Bulat b. Waktu c. Sudut d. Jarak dan Kecepatan e. Luas Trapesium dan Layang-layang f. Menghitung Volume g. Pecahan h. Sifat-sifat bangun datar 3. Pola Pembelajaran Matematika Kendala yang sering dialami dalam pembelajaran matematika dalam berkisar
pada
karakteristik
matematika
yang
abstrak,
masalah
media
pembelajaran, masalah siswa sendiri dan guru. Sedangkan guru sendiri untuk meminimalisir kendala tersebut, mereka harus dapat menciptakan suasana belajar yang kondusif, efektif, kooperatif, serta suasana yang memberikan kenyamanan, 20
kekeluargaan, di tengah-tengah kesulitan yang dialami siswa. Sehingga dapat menumbuhkan rasa senang dan cinta belajar matematika pada siswa (Asep Jihad 2008: 154-155). Untuk menciptakan kondisi tersebut, seorang guru dituntut untuk mencoba menggunakan model pembelajaran yang dapat menciptakan pengajaran yang berkesan, menyenangkan, memudahkan bagi siswa dalam belajar, sehingga siswa dapat
maksimal
dalam
belajar.
Oleh
karenanya
pembelajaran
yang
menyenangkan, menarik, mempermudah siswa untuk belajar sangat dianjurkan. Berikut pola pembelajaran yang dapat dicoba oleh guru untuk menciptakan suasana pembelajaran yang efektif: a. Mengaitkan pengalaman konsep sehari-hari ke dalam konsep matematika atau sebaliknya; b. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan pola, membuat dugaan, men-generalisasikan, membuktikan, mengambil keputusan, dan membuat keputusan; c. Membuat formulasi soal dengan teka-teki atau permainan; d. Mengembangkan metode yang bervariasi, memilih metode yang membuat siswa senantiasa terlibat dalam proses pembelajaran; dan e. Merumuskan tujuan pembelajaran secara riil, membangun suasana belajar yang menyenangkan, memberikan penghargaan pada setiap pekerjaan siswa.
21
4.
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Matematika Kelas V SD Standar kompetensi mata pelajaran matematika kelas V adalah:
a. Melakukan operasi hitung bilangan bulat dalam pemecahan masalah; b. Menggunakan pengukuran waktu, sudut, jarak, dan kecepatan dalam pemecahan masalah dengan waktu, jarak, dan kecepatan; c. Menghitung luas bangun datar sederhana dan menggunakannya dalam pemecahan masalah; d. Menghitung volume kubus dan balok dan menggunakannya dalam pemecahan masalah; e. Menggunakan pecahan dalam pemecahan masalah; f. Memahami sifat-sifat bangun dan hubungan antar bangun.
D. Kajian Tentang Pembelajaran Konvensional Menurut
Burrowes
dalam
(Wayan
Sukra:
2009),
pembelajaran
konvensional menekankan pada resitasi konten, tanpa memberikan waktu yang cukup kepada siswa untuk merefleksi materi-materi yang dipresentasikan, menghubungkannya dengan pengetahuan sebelumnya, atau mengaplikasikannya kepada situasi kehidupan nyata. Lebih lanjut dinyatakan bahwa pembelajaran konvensional memiliki ciri-ciri, yaitu: 1. Pembelajaran berpusat pada guru, 2. Terjadi passive learning, 3. Interaksi di antara siswa kurang, 4. kelompok-kelompok
kooperatif,
dan
5.
Penilaian
bersifat
Tidak ada sporadis.
Penyelenggaraan pembelajaran konvensional lebih menekankan kepada tujuan 22
pembelajaran berupa penambahan pengetahuan, sehingga belajar dilihat sebagai proses “meniru” dan siswa dituntut untuk dapat mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari melalui kuis atau tes terstandar. Model pembelajaran konvensional adalah model yang didalamanya meliputi berbagai metode yang berpusat kepada guru (Alim: 2011). Metodemetode itu meliputi ceramah, tanya jawab, dan diskusi. Metode ini senantiasa bagus bila penggunaanya betul-betul disampaikan dengan baik, didukung alat media serta memperhatikan batas-batas kemungkinan penggunannya. Metode ceramah merupakan metode yang saat ini sering digunakan oleh setiap guru dalam proses belajar mengajar. Guru biasanya belum merasa puas manakala dalam memberikan materi pelajaran tidak melakukan ceramah. Demikian juga dengan siswa, mereka akan belajar manakala ada guru memberikan materi pelajaran melalui ceramah, sehingga ada guru yang berceramah berarti ada proses belajar dan tidak ada guru berarti tidak belajar.
E. Kajian Tentang Pembelajaran Kooperatif 1. Pengertian Pembelajaran Kooperatif Pembelajaran kooperatif atau cooperative learning adalah sebuah group kecil yang bekerja sama sebagai sebuah tim untuk memecahkan masalah (solve a problem) melengkapi latihan (complete task), atau untuk mencapai tujuan tertentu. Nur Asma (2006:12) menyebutkan bahwa belajar kooperatif mendasarkan pada suatu ide bahwa siswa bekerja sama dalam belajar kelompok dan sekaligus masing-masing bertanggung jawab pada aktivitas belajar anggota kelompoknya, 23
sehingga seluruh anggota kelompok dapat menguasai materi pelajaran dengan baik. Sedangkan menurut Rusman (2011: 202) Pembelajaran kooperatif merupakan bentuk pembelajaran dengan cara siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari empat sampai lima anggota dengan struktur kelompok yang bersifat heterogen. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan pembelajaran kooperatif (Coopertive Learning) adalah pembelajaran yang dilakukan dengan memfokuskan kegiatan pada siswa secara berkelompok yang beranggotakan 4 sampai 5 siswa yang bersifat heterogen. Di dalam kelompok tersebut siswa dituntut untuk kerjasama antar anggota kelompok, jadi anggota kelompok memiliki tanggung jawab yang sama karena keberhasilan kelompok sangat dipengaruhi oleh kinerja setiap anggota kelompok itu sendiri. Menurut Wina Sanjaya (2007: 242) ada beberapa teknik pembelajaran kooperatif yang berbeda tetapi, kesemuanya memiliki dasar yang sama. Salah satu ciri dasar yang sama adalah siswa melakukan dengan saling bekerja sama. Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu strategi dari model pembelajaran kelompok, dimana didalamnya terdapat seorang kawan kegiatan belajar yang dilakukan oleh siswa dalam kelompok-kelompok tertentu untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan. 2. Tujuan Pembelajaran Kooperatif Dalam Nur Asma (2006: 12-14) pengembangan pembelajaran kooperatif bertujuan untuk pencapaian hasil belajar, penerimaan terhadap keragaman, dan
24
pengembangan keterampilan sosial. Masing-masing tujuan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Pencapaian Hasil Belajar Meskipun pembelajaran kooperatif meliputi berbagai macam tujuan sosial, pembelajaran kooperatif juga bertujuan untuk meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-tugas akademik. Beberapa ahli berpendapat bahwa model ini ungggul dalam membantu siswa memahami konsep-konsep yang sulit. Para pengembang model ini telah menunjukkan bahwa model struktur penghargaan kooperatif telah dapat nilai siswa dalam belajar akademik dan perubahan normal yang berhubungan dengan hasil belajar. Dalam banyak kasus, norma budaya anak sebenarnya tidak menyukai siswa-siswa yang ingin menonjol secara akademis. Robert Slavin (1984) dan pakar lainnya telah berusaha mengubah norma budaya ini melalui penggunaan pembelajaran kooperatif. Norma budaya tersebut misalnya: anak sering tidak menghargai temannya yang berhasil secara akademis, mereka lebih menghargai temannya yang berhasil dalam bidang olahraga karena lebih membawa keuntungan dalam kelompok. Untuk itu Slavin dan para ahli lain percaya bahwa memusatkan perhatian pada kelompok pembelajaran kooperatif dapat mengubah norma budaya anak dan lebih membuat budaya lebih dapat menerima prestasi menonjol dalam berbagai tugas pembelajaran akademik.
25
b. Penerimaan Terhadap Keragaman Efek penting yang kedua dari model pembelajaran kooperatif ialah penerimaan yang luas terhadap orang yang berbeda menurut ras, budaya, tingkat
sosial,
kemampuan,
maupun
ketidakmampuan.
Pembalajaran
kooperatif memberi peluang kepada siswa yang berbeda latar belakang dan kondisi untuk bekerja saling bergantung atas tugas-tugas bersama, dan melalui penggunaan struktur penghargaan kooperatif, serta belajar untuk menghargai satu sama lain. c. Pengembangan Keterampilan Sosial Tujuan penting ketiga dari pembelajaran kooperatif ialah untuk mengajarkan kepada siswa keterampilan kerjasama dan kolaborasi. Keterampilan ini sangat penting untuk dimiliki dalam masyarakat yang memiliki beragan budaya. Sementara itu banyak anak muda dan orang dewasa masih kurang dalam keterampilan sosial. Hal ini dibuktikan dengan sering terjadinya pertikaian kecil antar individu dapat mengakibatkan tindak kekerasan, atau sering orang menyatakan ketidakpuasan pada saat diminta bekerja dalam situasi kooperatif. Jadi selain unggul dalam membantu siswa memahami konsep yang sulit sehingga meningkatkan hasil belajar siswa, model ini sangat berguna untuk membantu siswa menumbuhkan kemampuan kerjasama. 3. Prinsip Pembelajaran Kooperatif Dalam pembelajaran kooperatif Nur Asma (2006: 14) mengemukakan setidaknya terdapat lima prinsip yang dianut, yaitu: 26
a. Belajar Siswa Aktif Proses
pembelajaran
yang
menggunakan
model
pembelajaran
kooperatif berpusat pada siswa. Dalam kegiatan kelompok, sangat jelas kegiatan sangat jelas aktivitas siswa dengan bekerjasama, melakukan diskusi, mengemukaan ide masing-masing dan mengujinya bersama-sama. Selain itu siswa juga menggali informasi yang berkaitan dengan topik yang menjadi bahan kajian kelompok yang kemudian didiskusikan pula dengan kelompok lainnya. b. Belajar Kerjasama Seperti namanya pembelajaran kooperatif, proses pembelajaran dilalui dengan kerjasama dalam kelompok untuk membangun pengetahuan yang tengah dipelajari. Prinsip inilah yang melandasi keberhasilan penerapan model pembelajaran kooperatif. Seluruh siswa terlibat aktif dalam kelompok. Diyakini bahwa pengetahuan yang diperoleh melalui penemuan-penemuan dari hasil kerjasama akan lebih bernilai permanen dalam pemahaman masingmasing siswa. c. Pembelajaran Partisipatorik Pembelajaran kooperatif juga menganut prinsip partisipatorik, sebab melalui model pembelajaran ini siswa belajar dengan melakukan sesuatu (learning by doing) secara bersama-sama untuk menemukan dan membangun pengetahuan yang menjadi tujuan pembelajaran.
27
d. Reactive Teaching Untuk
menerapkan
pembelajaran
kooperatif
ini
guru
perlu
menggunakan strategi yang tepat agar seluruh siswa mempunyai motivasi belajar yang tinggi. Apabila guru mengetahui bahwa siswanya bosan maka guru harus segera mencari cara untuk mengantisipasinya.. Berikut ciri-ciri guru yang reaktif: a) menjadikan siswa sebagai pusat pembelajaran, b) pembelajaran dari guru dimulai dari hal-hal yang diketahui dan dipahami siswa, c) selalu menciptakan suasana belajar yang menarik, d) mengetahui hal-hal yang membuat siswa menjadi bosan
dan segera
menanggulanginya. e. Pembelajaran yang Menyenangkan Pembelajaran harus berjalan menyenangkan. Tidak ada lagi suasana yang menakutkan bagi siswa atau suasana belajar yang tertekan. Suasana belajar yang menyenangkan harus dimulai dari sikap dan perilaku guru di dalam maupun di luar kelas. Guru harus memiliki sikap yang ramah dengan tutur bahasa yang menyayangi siswa-siswinya. Pembelajaran kooperatif tidak akan berjalan efektif jika suasana belajar yang ada tidak menyenangkan. 4. Unsur-unsur Dasar Pembelajaran Kooperatif Roger dan David Johnson, dalam Anita Lie (2007: 31) mengatakan bahwa tidak semua kerja kelompok bisa dianggap pembelajaran kooperatif, agar dalam proses pembelajaran dapat berjalan dengan efektif, maka perlu diterapkan lima unsur pembelajaran kooperatif.
28
a.
Saling ketergantungan positif, yaitu dalam pembelajaran kooperatif, keberhasilan dalam penyelesaian tugas tergantung pada usaha yang dilakukan oleh kelompok tersebut. Keberhasilan kerja kelompok ditentukan oleh kinerja masing-masing anggota kelompok. Oleh karena itu, semua anggota dalam kelompok akan merasakan saling ketergantungan.
b. Tanggung jawab perseorangan, yaitu keberhasilan kelompok sangat tergantung dari masing-masing anggota kelompoknya. Oleh karena itu, setiap anggota kelompok mempunyai tugas dan tanggung jawab yang harus dikerjakan dalam kelompok tersebut. c.
Interaksi tatap muka, yaitu berikan kesempatan yang luas kepada setiap anggota kelompok untuk bertatap muka melakukan interaksi dan diskusi untuk aling memberi dan menerima informasi dari anggota kelompok lain.
d. Komunikasi antar anggota, yaitu melatih siswa untuk dapat berpartisipasi aktif dan berkomunikasi dalam kegiatan pembelajaran. e.
Evaluasi proses kelompok, yaitu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerja sama mereka, agar selanjutnya bisa bekerja sama lagi dengan lebih efektif.
5.
Model Evaluasi Pembelajaran Kooperatif Menurut Anita Lie (2007: 88-89) dalam penilaian pembelajaran kooperatif
siswa mendapat nilai pribadi dan nilai kelompok. Mereka saling membantu dalam mempersiapkan diri untuk tes. Kemudian, masing-masing mengerjakan tes sendiri-sendiri dan menerima nilai peribadi. Nilai kelompok bisa dibentuk dengan beberapa cara. Pertama, nilai kelompok bisa diambil dari nilai terendah yang 29
didapat oleh siswa dalam kelompok. Kedua, nilai kelompok juga bisa diambil dari rata-rata nilai semua anggota kelompok dari “sumbangan” setiap anggota. Kelebihan kedua cara tersebut adalah semangat gotong royong yang ditanamkan. Dengan cara ini kelompok bisa berusaha lebih keras untuk membantu semua anggotanya dalam mempersiapkan diri untuk tes. Dalam penelitian ini model evaluasi yang digunakan adalah model evaluasi yang kedua yaitu nilai kelompok diambil dari nilai rata-rata semua anggota kelompok dari “sumbangan” setiap anggota. Sumbangan tersebut diperoleh dari nilai akhir dikurangi nilai awal dari masing-masing anggota. Maksud dari sumbangan pada evaluasi ini adalah setiap anggota menyumbangkan poin di atas nilai awal mereka sendiri. Misalnya, nilai awal si A adalah 60 dan kali ini dia mendapat 65, dia akan menyumbangkan 5 poin untuk kelompok. Ini berarti setiap siswa, pandai atau lamban, mempunyai kesempatan untuk memberikan kontribusi. Siswa lamban tidak akan merasa minder terhadap rekan-rekan mereka karena mereka juga bisa memberikan sumbangan.
F. Kajian Tentang Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT (Numbered Heads Together) 1. Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT Numbered Heads Together (NHT) merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang menekankan pada struktur khusus yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa dan memiliki tujuan untuk meningkatkan penguasaan
akademik.
Tipe
ini
dikembangkan 30
oleh
Spancer
Kagan
memperkenalkan model ini pada tahun 1992. Menurut Richard (2008: 16) NHT adalah pendekatan yang digunakan untuk melibatkan lebih banyak siswa dalam reviu berbagai materi yang dibahas dalam sebuah pelajaran dan untuk memeriksa pemahaman mereka tentang isi pelajaran itu. Menurut Anita Lie (2007: 59) NHT memberikan kesempatan kepada siswa untuk saling membagikan ide-ide dan mempertimbangkan jawaban yang paling tepat, selain itu teknik ini juga mendorong siswa untuk melaksanakan tanggung jawab pribadinya dalam saling keterkaitan dengan rekan-rekan kelompoknya. Teknik ini bisa digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkat usia anak didik. 2. Langkah-Langkah Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT Tahap-tahap model pembelajaran kooperatif tipe NHT menurut Richard (2008: 16) adalah sebagai berikut. a. Penomoran (numbering) siswa dibagi beberapa kelompok yang beranggotakan 3-5 orang setiap siswa dalam kelompok mendapat nomor sesuai jumlah kelompoknya; b. Pengajuan pertanyaan (Questioning). Pertanyaan yang berbeda diberikan untuk setiap anggota dalam kelompok berdasarkan nomornya. Pertanyaan bisa bervariasi dari yang bersifat yang spesifik hingga yang bersifat umum; c. Berpikir bersama (Heads Together). Para siswa berpikir bersama untuk menggambarkan dan meyakinkan bahwa tiap siswa mengetahui jawaban tersebut;
31
d. Pemberian jawaban (Answering). Guru menyebut satu nomor dan para siswa dari tiap kelompok dengan nomor yang sama mengangkat tangan dan menyiapkan jawaban untuk seluruh kelas; e. Guru membantu siswa dalam mengambil kesimpulan materi yang telah dipelajari. Langkah-langkah tersebut kemudian dikembangkan menjadi enam langkah sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan penelitian ini. Keenam langkah tersebut adalah sebagai berikut : 1) Langkah pertama: persiapan Dalam tahap ini guru mempersiapkan rancangan pelajaran dengan membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Lembar Kerja Siswa (LKS) yang sesuai dengan model pembelajaran kooperatif tipe NHT. 2) Langkah kedua. pembentukan kelompok Dalam pembentukan kelompok disesuaikan dengan model pembelajaran kooperatif tipe NHT. Guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok yang beranggotakan 4 sampai 5 orang siswa. Guru memberi nomor kepada setiap siswa dalam kelompok dan nama kelompok yang berbeda. Kelompok yang dibentuk merupakan percampuran yang ditinjau dari latar belakang sosial, jenis kelamin dan kemampuan belajar. Selain itu, dalam pembentukan kelompok digunakan nilai tes (pre-test) sebagai dasar dalam menentukan masing-masing kelompok.
32
3) Langkah ketiga: tiap kelompok harus memiliki buku paket dan buku panduan Dalam pembentukan kelompok, tiap kelompok harus memiliki buku paket atau buku panduan agar memudahkan siswa dalam mengerjakan LKS atau masalah yang diberikan oleh guru. 4) Langkah keempat: diskusi masalah Dalam kerja kelompok, guru membagikan LKS kepada setiap siswa sebagai bahan yang akan dipelajari. Dalam kerja kelompok, setiap siswa berpikir bersama untuk menggambarkan dan meyakinkan bahwa setiap orang mengetahui jawaban dari pertanyaan yang telah ada dalam LKS atau pertanyaan yang telah diberikan oleh guru. Pertanyaan dapat bervariasi, dari spesifik sampai yang bersifat umum. 5) Langkah kelima: memanggil nomor anggota atau pemberian jawaban Dalam tahap ini, guru menyebut satu nomor dan para siswa dari tiap kelompok dengan nomor yang sama mengangkat tangan dan menyiapkan jawaban kepada siswa di kelas. 6) Langkah keenam: memberi kesimpulan Guru memberikan kesimpulan atau jawaban akhir dari semua pertanyaan yang berhubungan dengan materi yang disajikan. 7) Langkah ketujuh: memberikan penghargaan Pada tahap ini, guru memberikan penghargaan berupa kata-kata pujian pada siswa dan memberi nilai yang lebih tinggi kepada kelompok yang hasil belajarnya lebih baik.
33
3. Manfaat, Kelebihan, dan Kekurangan Pembelajaran NHT a. Manfaat model pembelajaran NHT Ada beberapa manfaat pada model pembelajaran kooperatif tipe NHT terhadap siswa yang hasil belajar rendah yang dikemukakan oleh Lundgren dalam Herdian (2009), antara lain yaitu: 1) Rasa harga diri jadi lebih tinggi ; 2) Memperbaiki kehadiran ; 3) Penerimaan terhadap individu menjadi lebih besar; 4) Pemahaman yang lebih mendalam; 5) Meningkatkan kebaikan budi, kepekaan dan toleransi;dan 6) Hasil belajar lebih tinggi. b. Kekurangan model pembelajaran NHT 1) Kemungkinan nomor yang dipanggil guru dipanggil lagi; 2) Membutuhkan waktu yang lebih lama c. Kelebihan model pembelajaran NHT adalah: 1) Setiap siswa menjadi siap semua; 2) Dapat melakukan diskusi dengan sungguh-sungguh;dan 3) Siswa yang pandai dapat mengajari yang kurang pandai.
34
G. Kajian Tentang Materi Perkalian dan Pembagian Pecahan 1. Perkalian Pecahan a. Perkalian Pecahan a. Perkalian pecahan biasa dengan pecahan biasa Caranya adalah dengan mengalikan pembilang dengan pembilang dan mengalikan penyebut dengan penyebut (Sumanto, 2008: 111). Contoh:
disederhanakan menjadi
.
pembilang x pembilang dan penyebut x penyebut
. b. Perkalian pecahan biasa dengan pecahan campuran Caranya adalah dengan mengubah bentuk pecahan campuran menjadi pecahan biasa, setelah itu kalikan pembilang dengan pembilang dan penyebut dengan penyebut (Sumanto, 2008: 111). diubah menjadi pecahan biasa
Contoh: .
pembilang x pembilang dan penyebut x penyebut
. ..
c. Perkalian pecahan campuran dengan pecahan campuran Caranya yaitu dengan mengubah pecahan campuran ke bentuk pecahan biasa kemudian dikalikan seperti mengalikan dua pecahan biasa (Sumanto, 2008: 113). diubah menjadi pecahan biasa
Contoh:
.
diubah menjadi pecahan biasa pembilang x pembilang dan penyebut x penyebut
. 35
= 2. Pembagian Pecahan Menurut Arik Murwanto (2011: 10), pembagian pecahan dapat dilakukan dengan cara: Membagi pembilang dengan pembilang, jika penyebutnya sudah sama. Penyebut sudah sama
Contoh : . .
Menyamakan penyebutnya terlebih dahulu, kemudian pembilang dibagi pembilang. Contoh : penyebut disamakan menggunakan KPK dan nilai pembilang disesuaikan
= =
Mengubah operasi pembagian menjadi operasi perkalian caranya yaitu mengalikan dengan kebalikan dari bilangan pembaginya. Contoh : =
merupakan kebalikan dari
= Apabila pembagian dilakukan antara pecahan biasa dan pecahan campuran maka pecahan campuran diubah menjadi pecahan biasa baru dilakukan operasi pembagian. diubah dahulu menjadi pecahan biasa
Contoh : =
36
= a. Pembagian Pecahan Biasa dengan Pecahan Biasa Cara : Mengalikan dengan kebalikan dari bilangan pembaginya (Sumanto, 2008: 115). Rumus : Contoh
: merupakan kebalikan dari
b. Pembagian Pecahan Biasa dengan Pecahan Campuran atau sebaliknya Cara : Mengubah pecahan campuran menjadi pecahan biasa, kemudian membagi pecahan-pecahan tersebut (Khafid, 2006: 101) Contoh
:
diubah menjadi pecahan biasa
. c. Pembagian Pecahan Desimal dengan Pecahan Biasa atau sebaliknya Cara : Mengubah pecahan desimal menjadi pecahan biasa, kemudian membagi pecahan- pecahan tersebut (Sumanto, 2008: 116). diubah menjadi pecahan biasa
Contoh:
.
disederhanakan menjadi
=
37
d. Operasi hitung campuran berbagai bentuk pecahan Menurut Khafid (2006: 106), operasi hitung campuran adalah soal perhitungan
yang mengandung sekurang-kurangnya
dua
dari
empat
pengerjaan: perkalian, pembagian, penjumlahan, dan pengurangan pecahan. Perkalian ( x ) dan Pembagian ( : ) sama kuat Penjumlahan ( + ) dan Pengurangan ( - ) sama kuat Perkalian dan pembagian lebih kuat dari penjumlahan dan pengurangan 1) Untuk pengerjaan hitung campuran yang sama kuat, pengerjaan urut dari sebelah kiri ke kanan. + dan – sama kuat,
Contoh :
pengerjaan dari kiri ke kanan, maka (+) dikerjakan terlebih dahulu
= = . .
2) Untuk pengerjaan hitung campuran yang tidak sama kuat, maka yang lebih kuat harus didahulukan. lebih kuat dari terlebih dahulu
Contoh : .
, maka
harus dikerjakan
diubah menjadi
.
disederhanakan menjadi
.
38
3) Jika dalam pengerjaan hitung campuran terdapat tanda kurung
,
maka yang berada dalam tanda kurung, harus dikerjakan terlebih dahulukan. . berada dalam tanda kurung maka harus dikerjakan terlebih dahulu
Contoh : =
lebih kuat dari , maka harus dikerjakan terlebih dahulu
= =
H. Kajian Tentang Karateristik Anak Kelas V SD Masa usia sekolah adalah masa matang untuk belajar, maupun masa matang untuk sekolah. Disebut masa sekolah karena sudah menamatkan taman kanakkanak, sebagai lembaga persiapan bersekolah yang sebenarnya. Disebut masa matang untuk belajar, karena mereka berusaha untuk mencapai sesuatu yang bertujuan untuk mendapatkan kesenangan pada waktu melakukan aktivitasnya itu sendiri. Disebut masa matang untuk bersekolah, karena mereka sudah menginginkan kecakapan-kecakapan baru yang dapat diberikan oleh sekolah. Dalam usia sekolah ini, anak sudah siap menjelajahi lingkungannya. Ia ingin mengetahui lingkungannya, tata kerjanya, bagaimana perasaan-perasaan, dan bagaimana ia dapat menjadi bagian dari lingkungannya. Pada masa ini disebut pula masa intelektual atau keserasian sekolah. Artinya anak-anak lebih mudah dididik dari pada masa sebelumnya dan sesudahnya. Kemampuan intelektual pada masa ini sudah cukup untuk menjadi dasar diberikannya berbagai kecakapan yang dapat mengembangkan pola pikir dan daya nalarnya.
39
Untuk mengembangkan daya nalarnya dengan melatih anak untuk mengungkapkan pendapat, gagasan, atau penilaian tentang berbagai hal, baik yang dialaminya maupun peristiwa yang terjadi di lingkungan. Misalnya berkaitan dengan materi pelajaran, tata tertib sekolah, pergaulan yang baik dengan teman sebaya atau orang lain.Untuk mengembangkan kemampuan anak, maka sekolah dalam hal ini guru seyogyanya memberikan kesempatan pada anak untuk mengemukakan pertanyaan, memberikan komentar atau pendapatnya tentang materi pelajaran yang dibacanya atau dijelaskan guru, membuat karangan, ataupun menyusun laporan (Yusuf Syamsu, 2001:178-179). Piaget dalam C. Asri Budiningsih (2003:19-23) mengklasifikasikan tingkat perkembangan intelektual anak sebagai berikut : 1. Tahap sensorimotorik (0-2 tahun) 2. Tahap pra operasional (2-7 tahun) 3. Tahap operasional konkrit (7-11 tahun) 4. Tahap operasional formal (11-14 tahun lebih) Siswa SD kelas V dikategorikan pada usia 7-11 tahun dan merupakan tahap operasional konkrit. Siswa yang berada pada kelas V dapat digolongkan ke dalam kelompok kelas tinggi, yang pada umumnya memiliki usia 9 – 12 tahun atau duduk di kelas 4 – 6. Muslichach Asy’ari (2006:42) menyebutkan bahwa pada tahap usia ini anak memiliki kekhasan antara lain:
40
1. Dapat berpikir reversibel atau bolak-balik. Contoh, mereka dapat memahami bahwa operasi penambahan dapat dibalikkan dengan operasi pengurangan, sedang operasi perkalian dapat dibalikkan dengan operasi pembagian. 2. Dapat melakukan pengelompokkan dan menentukan urutan. 3. Telah mampu melakukan operasi logis tetapi pengalaman yang dipunyainya masih terbatas. Oleh karena itu mereka sudah dapat memecahkan masalah yang bersifat verbal atau formal. 4. Dengan melihat telah berkembangnya tingkat kemampuan berpikir anak kelas tinggi maka untuk pembelajarannya sebaiknya sudah diarahkan pada pelatihan kemampuan berpikir yang lebih kompleks. Misalnya dengan berdiskusi dalam kelompok untuk memprediksi, menginterpretasi data atau membuat kesimpulan dari hasil pengamatan yang dilakukan. Dari pendapat yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa siswasiswa kelas V SD termasuk dalam kelas tinggi sekolah dasar yang pada masa ini mereka memiliki karakter intetektual antara lain konkrit dalam berpikir, ingin tahu, ingin belajar, realistik, berminat pada mata pelajaran tertentu, lebih konsentrasi, keterbukaan dan keinginan untuk mendapatkan pengetahuan dan pengalaman, memiliki kemampuan mengingat dan kemampuan mengekspresikan yang lebih baik, memiliki kemampuan mengembangkan sesuatu hal.
I. Kerangka Pikir Belajar matematika merupakan suatu aktivitas mental untuk memahami arti dari hubungan dan simbol-simbol yang terkandung dalam matematika yang 41
sistematik, cermat, dan tepat, kemudian menerapkan konsep-konsep yang dihasilkan untuk memecahkan masalah dalam berbagai hal/situasi/keadaan nyata. Hasil belajar yang dicapai siswa ditunjukkan oleh perubahan-perubahan dalam bidang pengetahuan/pemahaman, ketrampilan, analisis, sintesis, evaluasi, serta nilai dan sikap. Perubahan yang dihasilkan dari belajar dapat berupa perubahan persepsi dan pemahaman, yang tidak selalu dilihat sebagai tingkah laku. Pembelajaran kooperatif tipe NHT dikembangkan untuk mencapai, setidaktidaknya tiga tujuan pembelajaran penting, yaitu hasil pembelajaran akademik, penerimaan terhadap perbedaan individu dan pengembangan ketrampilan sosial. Model NHT mempunyai keunggulan dalam membantu siswa memahami konsepkonsep yang sulit sehingga dapat membantu siswa meningkatkan penilaian pada belajar akademik dan perubahan norma yang berhubungan dengan hasil belajar. Untuk lebih jelasnya, penjelasan uraian di atas dapat dilihat pada
Hasil Belajar Siswa Awal
Model Pembelajaran Kooperatif tipe NHT
Hasil Belajar Siswa Meningkat
Gambar 1 Kerangka Berfikir
J. Hipotesis Berdasarkan kajian pustaka dan kerangka pikir di atas, maka hipotesis penelitian ini adalah“Terdapat pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe NHT terhadap hasil belajar siswa kelas V SD Negeri Keceme 1 Kecamatan Sleman”. 42