BAB II ANALISIS ROMAN L’INGÉNU MELALUI PENDEKATAN STRUKTURALISME GENETIK 2.1 Pengertian Roman Roman merupakan salah satu ragam sastra yang melukiskan kehidupan beberapa orang sehingga terbentuklah satu cerita.
Mengenai roman, Boublil (online, website http://yael.boublil.free.fr) mengatakan :
“Le roman est une œuvre d'imagination en prose, assez longue, qui fait vivre des personnages présentés comme réels.” Roman merupakan suatu karya imajiner berbentuk prosa, yang cukup panjang, dan dihidupkan oleh pelaku (tokoh) seperti kehidupan nyata. Senada dengan pendapat Boublil, Aminuddin (2009: 66) mendefinisikan roman sebagai prosa fiksi yang mempunyai makna kisahan atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu (tokoh) dengan pemeranan (penokohan), latar serta tahapan dan rangkaian cerita (alur) tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga terbentuklah satu cerita Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa selain mempunyai makna kisahan, roman juga terbentuk dari beberapa struktur pembangun internal (intrinsik) seperti alur, tokoh, latar yang merupakan cerminan dari ideologi pengarang.
7
Seiring dengan berlalunya waktu diikuti dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, roman pun tak luput dari proses perkembangan. Roman dapat dibagi menjadi beberapa jenis diantaranya adalah roman filosofis atau roman pembelajaran. 2.2 Struktur Intrinsik Pembangun Roman Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dikatakan bahwa roman merupakan salah satu bentuk karya sastra berupa teks tulis yang terbentuk dari beberapa struktur pembangun internal (intrinsik) roman. Dalam sub bab ini peneliti membahas beberapa unsur pembangun struktur intrinsik roman yaitu segi alur, pengaluran, penokohan, dan latar. 2.2.1 Alur Mengenai alur, situs analisis literatur Perancis, www.espacefrancais.com menyebutkan : “L’intrigue est l'enchaînement des événements dans un récit de fiction ou dans une pièce de théâtre. Dans un récit de fiction, on peut mettre en évidence les phases successives de l'intrigue”, Alur merupakan urutan peristiwa dalam suatu karya fiksi atau drama. Dalam karya fiksi kita dapat mengungkap tahapan peristiwa penting dalam alur. Menurut Sundari (dalam Fananie, 2002: 93) plot atau alur diartikan sebagai keseluruhan rangkaian peristiwa yang terdapat dalam cerita. Kedua pernyataan di atas, diperkutat oleh pernytaan Aminuddin (2009: 83) yang mengatakan bahwa alur dalam karya fiksi adalah rangkaian cerita yang
8
dibentuk oleh tahapan peristiwa dan dihadirkan oleh para pelaku dalam cerita tersebut. Dari penjelasan-penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa alur merupakan rangkaian peristiwa yang saling berkaitan satu sama lain sehingga membuat suatu cerita menjadi satu kesatuan yang utuh. Terdapat dua jenis alur yang umum digunakan oleh pengarang, yaitu alur maju dan alur mundur. Satoto (1992: 27-28) mengatakan bahwa terdapat dua teknik pengaluran, yaitu: : a) Alur progresif (alur maju), yaitu dari tahap awal, tahap tengah atau puncak, dan tahap akhir terjadinya peristiwa; b) Alur regresif (alur mundur), yaitu bertolak dari akhir cerita, menuju tahap tengah atau puncak, dan berakhir pada tahap awal. Tahap progresif bersifat linear (bentuk garis) sedangkan tahap regresif bertahap non-linear. Pada umumnya roman petualangan menggunakan alur progressif (alur maju) yang juga disebut dengan skema naratif. Skema naratif ini tersusun atas tahapan
peristiwa
yang
berurutan,
seperti
yang
dijelaskan
oleh
situs
www.espacefrancais.com berikut. “Elle peut être représentée par un schéma appelé schéma narratif simple qui prend en compte la succession logique des événéments comme suit : 1. Un état initial qui définit le cadre de l’intrigue : il met en place le lieu l’époque, les personnages.. 2. Un événement pertubateur ou modificateur qui remet en cause l’état initial : rencontre, découverte, événement inattendu… 3. Une suite de transformatios modifie la situation des personnages : elles peuvent prendre la forme de péripéties, de rebondissements ou de coups de théâtre. 4. Un événement équilibrant ou élément de résolution qi annonce la résolution de l’intrigue 9
5. L’état final est celui, heureux ou malheureux, des personnages à la fin du récit. ” Alur dapat diuraikan dengan sebuah skema yang disebut skema naratif sederhana yang terdiri atas beberapa tahapan peristiwa seperti berikut: 1) Tahap inisial, tahap yang mendeskripsikan awal alur berisi penjelasan tempat dan waktu terjadinya peristiwa serta perkenalan tokoh; 2) Tahap masalah atau pengubah, tahap yang lebih berkembang dari tahap awal seperti peristiwa pertemuan, penemuan, dan peristiwa yang tidak terduga; 3) Tahap transformasi karakter dapat berupa petualangan dan kejutan ; 4) Tahap resolusi, tahap yang mendeskrpsikan resolusi alur; 5) Tahap final, tahap nasib akhir para tokoh, baik itu berakhir bahagia maupun sedih (tragedi). Senada dengan pendapat di atas, Loban dkk (dalam Aminuddin,2009: 84) menggambarkan gerak tahap alur cerita seperti halnya gelombang. Gelombang itu berawal dari (1) eksposisi; (2) komplikasi atau intrik-intrik awal yang akan berkembang menjadi konflik; (3) klimaks; (4) revelasi atau penyingkatan tabir suatu problema; dan (5) denouement, yakni penyelesaian yang membahagiakan, catastrophe, yakni penyelesaian yang menyedihkan; dan (6) solution, yakni penyelesaian yang masih bersifat terbuka karena pembaca sendirilah yang menentukan lewat daya imajinasinya. Alur yang baik adalah alur yang dapat membantu mengungkapkan tema dan amanat dari peristiwa-peristiwa serta adanya hubungan kualitas (sebab-akibat) yang wajar antara peristiwa yang satu dengan
10
yang lainnya. Tahapan plot berdasarkan pemikiran Loban dkk tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.
Klimaks Revelasi Komplikasi dan konflik Denouement Eksposisi
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, secara garis besar alur atau plot merupakan serangkaian peristiwa yang dialami tokoh sehingga terbentuk satu kesatuan cerita yang utuh, dan juga jenis alur dapat dibedakan berdasarkan urutan tahapan peristiwa. 2.2.2 Pengaluran Menurut Sudjiman (1984: 31) pengaluran adalah pengaturan urutan peristiwa pembentuk cerita. Cerita diawali dengan peristiwa tertentu, dan berakhir dengan peristiwa tertentu lainnya tanpa terikat urutan waktu. Jika kronologis peristiwa yang disajikan disela peristiwa yang terjadi sebelumnya, maka terjadilah apa yang disebut arah balik. Sorot balik ini ditampilkan di dalam dialog, dalam bentuk mimpi, atau sela lamunan tokoh yang menelusuri kembali jalan hidupnya, atau teringat kembali pada masa lalu. Jika kronologis atau peristiwa yang disajikan belum pernah terjadi atau dialami tokoh
11
maka terjadilah apa yang disebut bayangan/porspektif, artinya yang ditampilkan adalah peristiwa yang belum pernah terjadi. Di dalam pengaluran terdapat sekuen, sekuen adalah semua urutan teks. Les séquences ainsi définies peuvet etre chacune un élément d’une séquence plus grande, jusqu’au texte entier qui forme la séquence maximale (schmitt, M.P & Viala, 1982: 27) Kutipan di atas dapat diartikan bahwa sekuen dapat berupa bagian kecil dari sebuah sekuen yang lebih besar yaitu teks keseluruhan yang membentuk sekuen maksimal Menurut Zaimar (dalam Sylvana, 2011 : 25 ) untuk membatasi sekuen yang kompleks perlu diperhatikan kritertia berikut ini. 1. Sekuen haruslah terpusat pada satu titik perhatian (fokalisasi), yang diamati merupakan objek tunggal dan sama : peristiwa yang sama, tokoh yang sama, gagasan yang sama, dan bidang yang sama ; 2. Sekuen harus mengandung suatu kurun waktu dan ruang yang koheren, sesuatu yang terjadi pada suatu tempat atau waktu tertentu: dapat juga merupakan gabungan dari beberapa tempat dan waktu yang tercakup dalam satu tahapan, misalnya satu periode dalam kehidupan seorang tokoh, serangkaian contoh atau pembuktian untuk mendukung gagasan ; 3. Ada kalanya sekuen dapat ditandai oleh hal-hal yang luar biasa misalnya kertas kosong di tengah teks, tulisan, tata letak dalam penulisan teks dan lainlain.
12
2.2.3 Penokohan Penokohan merupakan gaya pengarang dalam melukiskan orang yang terdapat dalam karya fiksi (tokoh) berupa karakter, pemikiran, citra fisik dan ciriciri lain yang terdapat dalam sebuah roman. Aminuddin (2009: 79) mengatakan bahwa penokohan adalah sedangkan cara pengarang menampilkan pelaku. Mengenai penokohan, situs www.espacerancais.com menyatakan: “Dans un roman, le personnage est un être de fiction. Cependant, comme pour une personne, on peut indentifier son identité: nom, âge, sexe, origine, social, passé... Les informations sont données sous la forme de portraits, ou, au contraire, disséminées tout au long du récit.” Kutipan di atas mengatakan bahwa dalam roman, penokohan merupakan tokoh fiksi. Namun untuk tokoh ‘orang’ kita dapat mengetahuinya dari nama, umur, jenis kelamin, asal, latar belakang social dan lain-lain. Keterangan tersebut dapat ditampilkan dalam bentuk gambaran yang terdapat sepanjang jalan cerita roman. Pernyataan Aminuddin diperkuat oleh Jones (dalam Nurgiyantoro, 2002: 165) yang menyatakan bahwa penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita Terdapat beberapa cara pengarang dalam menggambarkan pelaku ceritanya. Lubis (1981: 17) mengatakan bahwa sedikitnya ada tujuh cara dalam menyajikan gambaran pelaku cerita (tokoh), yaitu : 1. melukiskan bentuk lahir tokoh;
13
2. melukiskan jalan pikiran tokoh-tokoh atau apa yang melintas dalam pikirannya, dengan ini pembaca dapat mengetahui watak pelaku itu; 3. bagaimana reaksi tokoh terhadap kejadian; 4. pengarang dengan langsung mengalisis watak tokoh; 5. melukiskan keadaan sekitar tokoh, misalnya melukiskan keadaan kamar tokoh, pembaca akan mendapat kesan apakah tokoh itu jorok, bersih, rajin atau malas; 6. bagaimana pandangan pelaku-pelaku lain terhadap pelaku utama; 7. dialog atau perbincangan dengan pelaku lain. Satoto (1992: 44-45) juga mengatakan bahwa penokohan dapat ditinjau dari tiga dimensi, yaitu dimensi fisiologis, sosiologi, dan psikologis. Dimensi fisiologis, yaitu ciri-ciri lahir, misalnya usia (tingkat kedewasaan), jenis kelamin, keadaan tubuh, ciri-ciri muka, ciri-ciri badan dan ciri fisik lainnya. Dimensi sosiologis, yaitu ciri-ciri kehidupan masyarakat misalnya status sosial, pekerjaan, jabatan, peranannya dalam masyarakat, tingkat kependidikan, kehidupan pribadi, pandangan hidup, agama, kepercayaan, ideologi, aktifitas sosial, organisasi, hobi, bangsa, suku, keturunan, dan lain-lain. Dimensi psikologis, mencakup latar belakang kejiwaan tokoh, misalnya mentalitas, moral, temperamen, keinginan, dan perasaan pribadi, sikap dan perilaku, tingkat kecerdasan, serta keahlian khusus dalam bidang tertentu.
14
2.2.4 Latar Sudjiman (1988: 44) dalam Kamus Istilah sastra mendefinisikan latar sebagai berikut: “Latar atau setting sebagai segala keterangan atau petunjuk yang berkaitan dengan ruang, waktu dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra.” Berdasarkan definisi latar di atas, dapat disimpulkan bahwa latar merupakan salah satu unsur pembangun cerita sebagai penunjuk informasi tempat dan waktu. Adapun fungsi latar dijelaskan oleh Wellek dan Austin (1989: 290) sebagai berikut: 1. Latar memberikan informasi situasi (ruang dan tempat) sebagaimana adanya dan berfungsi sebagai proyeksi keadaan batin para tokoh serta menjadi metafor baik dari keadaan emosional maupun spriritual tokoh; 2. Latar pada karya fiksi romantik dapat menciptakan dan mempertahankan mood pembaca karena ilusi-ilusi yang tercipta; 3. Latar juga dapat berfungsi sebagai penentu pokok karena lingkungan. Suatu kekuatan yang tidak dapat dikontrol oleh individu, dianggap sebagai penyebab terbentuknya suatu keadaan fisik dan sosial. Sedikitnya terdapat tiga indikator dalam membedakan latar, seperti yang diutarakan Abrams (dalam Fananie, 2002: 99) bahwa terdapat tiga indikator pembeda latar, yaitu : general locale (tempat secara umum), historical time (waktu historis), dan social circumtances (keadaan sosial).
15
Penjelasan Abrams di atas senada dengan Nurgiyantoro (2002: 227) yang juga mengklasifikasikan latar menjadi tiga kategori, antara lain: a. Latar tempat, yaitu menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi; b. Latar waktu, yaitu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwaperistiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi; c. Latar sosial, yaitu menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa latar merupakan salah satu unsur pembangun roman yang mempunyai fungsi sebagai pemberi informasi mengenai waktu, tempat, dan keadaan sosial. Dari latar itu sendiri dapat diketahui bagaimana tahap rangkaian dari suatu cerita. 2.3 Strukturalisme Genetik Abrams (dalam Faruk, 1988: 57) menyatakan bahwa : “Teori otonomi sastra mempunyai pemahaman yang berdasarkan pada asumsi bahwa karya sastra merupakan objek otonom, objek yang memenuhi dan mengatur dirinya sendiri. Sedangkan teori sosial sastra berdasarkan asumsi bahwa karya sastra merupakan objek yang terikat pada pengarang, realitas dan audiensinya” Dari pernyataan Abrams di atas, dapat dikatakan bahwa teori otonomi karya sastra tidak mengakui keterikatan pengarang, realitas dan audiensinya dalam memaknai karya sastra. Di sisi lain, teori sosial sastra tidak mengakui
16
bahwa karya sastra sebagai objek yang otonom. Teori ini memandang bahwa dalam pemaknaan karya sastra keterikatan itu perlu dikaji. Kedua teori tersebut mempunyai kelebihan maupun kekurangannya masing-masing. Dalam perkembangannya, terdapatnya kekurangan dari masingmasing teori tersebut memotivasi para ahli untuk lebih mengembangkan metode pendekatan yang mereka anut, sehingga lahirlah pemahaman-pemahaman baru guna memaknai karya sastra lebih sempurna lagi, dan salah satunya adalah metode pendekatan strukturalisme genetik. Mengenai metode pendekatan strukturalisme genetik, Faruk (1988: 69) mengatakan bahwa metode pendekatan strukturalisme genetik Lucien Goldmannn merupakan sintesis antara dua kecenderungan ekstrem dalam perkembangan teori otonomi sastra dan teori sosial sastra. Untuk menjelaskan pernyataan Faruk di atas, peneliti mengutip ungkapan Teeuw
mengenai
pemikiran
Lucien
Goldmann
sebagai
pencipta
teori
strukturalisme genetik. Teeuw (1984: 153) menjelaskan bahwa : “Goldmann mengemukakan bahwa setiap karya sastra yang penting mempunyai structure significative, yang menurut Goldmannn bersifat otonom dan imanen, yang harus digali oleh peneliti berdasarkan analisis yang cermat. Menurut Goldmann struktur kemaknaan itu mewakili pandangan dunia (vision du monde) penulis, tidak sebagai individu, tetapi sebagai wakil dari golongan masyarakat... kemudian atas dasar analisis vision du monde tersebut si peneliti dapat membandingkannya dengan data-data dan analisis keadaan sosial masyarakat yang bersangkutan. Dalam arti ini karya sastra dapat dipahami asalnya dan terjadinya (genetic) dari latar belakang struktur sosial tertentu.” Dari penjelasan Teeuw di atas terlihat hubungan yang jelas antara strukturalisme genetik dengan kedua teori pendekatan karya sastra tersebut. 17
Goldmann beranggapan bahwa karya sastra mempunyai struktur signifikan yang bersifat otonom dan imanen dilandasi oleh pemahaman teori otonomi sastra, sedangkan genetik dari karya sastra yang dianalisis dari data-data keadaan masyarakat yang bersangkutan dilandasi oleh pemaham teori sosial sastra. Pada bab ini peneliti membahas teori otonomi sastra dan teori sosial sastra dan perkembangannya. Penjelasan mengenai kedua teori pendekatan karya sastra tersebut dirasakan perlu untuk mengetahui posisi strukturalisme genetik di antara perkembangan kedua teori tersebut. 2.3.1 Teori Otonomi Sastra Teori otonomi sastra memandang karya sastra sebagai objek otonom, objek yang memenuhi dan mengatur dirinya sendiri. Oleh karena itu, objek yang menjadi kajian teori ini adalah karya sastra itu sendiri. Albrecht dkk (dalam Faruk, 1988 : 57) mengungkapkan bahwa teori yang berorientasi pada karya sastra sebagai objek yang otonom serta melahirkan kritik objektif ini, muncul pada akhir abad ke-19 dan dominan pada abad ke-20. Teeuw (1984: 128) menambahkan bahwa di bidang ilmu sastra penelitian struktural atau kritik objektif dirintis oleh peneliti Rusia. 2.3.1.1 Aliran Formalisme Rusia Kaum formalis merupakan kelompok peneliti sastra Rusia yang lahir pada tahun 1915 akan tetapi kemudian dilarang berkembang oleh pemerintahan Rusia pada tahun 1930 dikarenakan alasan politik. Mengenai pandangan dan tujuan
18
studi sastra kaum formalisme, peneliti mengutip penjelasan Ratna (2004: 82) beikut ini: “Dengan adanya divergensi subjek kreator, maka formalisme dengan demikian juga menolak karya sastra sebagai ungkapan pandangan hidup, sekaligus perbedaan secara dikotomis antara bentuk dan isi... formalisme juga menolak peranan karya sastra semata-mata sebagai sarana untuk memeahami hakikat kebudayaan yang lebih luas.. sebagai sistem komunikasi, berbeda dengan bahasa sehari-hari yang menyampaikan informasi melalui sarana-sarana di luar bahasa, formalisme menyampaikannya melalui tanda-tanda bahasa itu sendiri.” Abrams (dalam Faruk, 1988: 58) mengungkapkan pandangan kaum formalis yang menganggap bahwa kesastraan sebagai suatu kelas bahasa yang khusus dan mendasarkan diri pada asumsi bahwa terdapat perbedaan yang mendasar antara bahasa sastra dengan bahasa sehari-hari. Berdasarkan kedua penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penelitian kaum formalis terpaku pada teks sastra itu sendiri terlepas dari unsur-unsur di luar karya tersebut, dan tujuannya adalah mencari ciri khas yang membedakan antara bahasa sastra bahasa sehari-hari. Konsep dasar dari kaum formalis adalah konsep defamiliarisasi (penyimpangan
yang
wajar),
Ratna
(2004:
86)
mengatakan
bahwa
“Defamiliarisasi membuat yang sudah biasa menjadi luar biasa, menjadi baru, menjadi aneh, menyimpang.” Menurut Shklovsky (dalam Teeuw, 1984: 131) karya sastra itu sering kali dimanfaatkan sebagai sarana-saran untuk menjadikan jalan cerita yang wajar menjadi “aneh” atau “asing”. Sebagai contoh mungkin terdapat dalam sastra naratif yang memainkan alur dengan cara mengubah
19
susunan peristiwa, sehingga plot kalau dilihat sepintas menjadi ruwet, yang kemudian dikembalikan lagi pada urutan logika yang wajar. Teeuw (1984: 131) menyatakan bahwa konsep defamiliarisasi tersebut dianggap proses sastra yang mendasar oleh kaum formalis. Dalam hal ini kaum formalis menganggap bahwa sifat khas sastra itulah yang memperlihatkan perbedaan antara bahasa sehari-hari dan bahasa sastra. Di samping konsep defamiliarisasi yang dijelaskan di atas, Teeuw (1984: 130) mengatakan bahwa konsep yang penting dalam pandangan kaum formalis adalah konsep dominan, ciri menonjol atau utama. Ratna (2004: 82) mengungkapkan pandangan kaum formalis yang mengutamakan pola suara dan kata-kata formal daripada isi karya misalnya rima, ataupun matra, atau aspek apapun juga, sehingga dalam analisis dan interpretasi karya sastra aspek dominan itulah yang harus ditekankan, sedangkan aspek-aspek lain sering kali menyangga hal yang dominan itu. Dari pemikiran yang dikemukakan kaum formalis di atas mengenai konsep defamiliarisasi dan konsep dominan, Fokkema dan Kunne-Ibsch (dalam Faruk, 1988: 59) mengungkapkan bahwa kaum formalis belum memperhatikan prinsip keutuhan karya sastra yaitu prinsip hubungan antar unsur yang membangun karya tersebut. Hingga akhirnya pada tahun 1924 melalui tulisan Tynjanov dan 1927 melalui tulisan Eric mulai terlihat usaha kaum formalis untuk mempelajari hubungan antar unsur pembangun karya sastra. Sampai saat terakhir itu kaum formalis telah bergeser ke strukturalisme.
20
2.3.1.2 Strukturalisme Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, dapat diketahui bahwa pada intinya, penelitian pendekatan strukturalisme menolak keterikatan dari unsurunsur di luar karya sastra seperti data-data biografis, sosial, ekonomi, ataupun data-data di luar karya sastra lainnya. Perhatian mereka terpaku struktur-struktur kebahasaan yang membangun karya sastra tersebut serta hubungan antara struktur-struktur tersebut. Menurut Teeuw (dalam Faruk, 1988: 61) dari segi tertentu pendekatan struktural berhasil mengupas struktur karya sastra secara tuntas dan terpadu, namun pendekatan ini memiliki kelemahan pada penekanannya yang berlebihan terhadap otonomi karya sastra sehingga mengabaikan dua hal pokok yang sama pentingnya, yaitu kerangka sejarah sastra dan kerangka sosial budaya yang mengitasi karya sastra itu. Pada akhirnya kesadaran akan kelemahan tersebut melahirkan teori sistem sastra dan strukturalisme dinamik Chekoslovakia, teori semiotik Rusia dan Perancis. Dalam perkembangan teori strukturalisme, Faruk (1988: 62) mengatakan bahwa strukturalisme genetik juga merupakan salah satu reaksi terhadap kecenderungan strukturalisme murni yang memandang karya sastra sebagai objek otonom yang terlepas dari kenyataan yang ada di luar karya itu. 2.3.2 Teori Sosial Sastra Teori sosial sastra berasumsi bahwa karya sastra merupakan objek yang terikat pada pengarang, realitas dan audiensinya. Sedangkan objek penelitiannya 21
adalh hubunganantara karya sastra dengan pengarang, kenyataan yang terjadi, serta masyarakat pembaca. Damono (dalam Faruk, 1988; 63) mengemukakan bahwa teori sosial sastra mempunyai kecenderungan untuk menghubungkan karya sastra dengan faktorfaktor iklim, ras, dan kondisi politik. Dengan anggapan dasar bahwa karya sastra sebagai cermin segala aspek kehidupan dan alam, serta bahwa karya sastra merupakan produk dari faktor ras, waktu dan lingkungan. Anggapan dasar yang dikemukakan di atas sesungguhnya merupakan kelanjutan teori yang sudah ada sebelumnya yaitu teori mimetik. Oleh karena itu, pada sub bab ini penulis membahas teori mimetik terlebih dahulu yang menjadi teori landasan sosial sastra. 2.3.2.1 Teori Mimetik Teeuw (1984: 50) mengungkapkan bahwa istilah mimetik atau dalam bahasa
Yunani
disebut
mimesis,
yang
artinya
peneledanan,
peniruan,
pembayangan. Sejak dulu istilah ini dipakai untuk mendeskripsikan hubungan antara karya seni dan kenyataan. Pemikiran mengenai teori mimetik berdasarkan pemikiran Plato seorang filsuf Yunani. Teeuw (1984: 220) menjelaskan pandangan Plato mengenai mimesis (peneledanan, atau pembayangan, ataupun peniruan) bahwa seni itu terikat pada ide pendekatan, tidak menghasilkan kenyataan yang sungguhsungguh. Seni hanya dapat meniru dan membayangkan hal-hal yang ada dalam kenyataan yang tampak. 22
Pandangan Plato yang diutarakan oleh Verdenius (dalam Teeuw, 1984: 221) seni mempunyai dua segi sekaligus: “Art, therefore has a double aspects: in its visible manifestation it is a thing of the most inferior value, a shadow; yet it has an indirect relation to the essential nature of thing”, bahwa seni itu mempunyai aspek ganda: dalam perwujudannya seni adalah sesuatu yang sangat rendah nilainya, sebuah bayangan, namun seni juga memiliki hubungan yang tak langsung dengan sifat hakiki akan benda. Berorientasi pada pandangan Plato di atas, ungkapan bahwa seni yang merupakan mimetis terhadap kenyataan yang ada pada akhirnya mendasari teori sosial sastra yang kemudian berkembang dengan usaha untuk mengaitkan karya sastra dengan faktor iklim, ras, dan kondisi politik. Hingga pada abad ke-18, menurut Albrecht dkk (dalam Faruk, 1988: 63) pendekatan itu berkembang ke arah sosiologis dalam meneliti karya sastra 2.3.2.2 Pendekatan Sosiologi Sastra Dasar pemikiran teori mimetik yang menganggap karya sastra merupakan peniruan dari kenyataan pada akhirnya melahirkan metode pendekatan sosiologi dalam memberikan pemaknaan terhadap karya sastra atau lebih sering disebut pendekatan sosiologi sastra. Menurut Sudjiman (1984: 74) sosiologi sastra adalah karya para kritikus dan sejarahwan yang mengungkapkan bagaimana pengarang terpengaruh oleh status lapisan masyarakat dari mana ia berasal, ideologi politik dan sosialnya, kondisi ekonomi dan masyarakat yang dituju. 23
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa para ahli sosiologi sastra melakukan pemaknaan pada karya sastra dengan menganut prinsip bahwa karya sastra bukan murni hasil pemikiran pengarang itu sendiri, akan tetapi terpengaruh oleh lingkungan sosial dan masyarakat pembacanya. Dalam melakukan penelitiannya, Wellek dan Waren (1995: 109) menyimpulkan bahwa dalam pemaknaan karya sastra pendekatan sosiologi sastra mengaitkan sastra dengan situasi tertentu, misalnya, sistem politik, keadaan ekonomi atau sosial tertentu. Penelitian dilakukan untuk menjabarkan pengaruh masyarakat terhadap sastra dan kedudukan sastra dalam masyarakat. Namun pendekatan ini dirasa mempunyai beberapa kesulitan. Watt (dalam Faruk, 1988: 64-65) mengurai kesulitan dalam penelitian sosiologi seperti berikut: 1) Konteks sosial pengarang. Yang termasuk dalam masalah ini adalah masalah posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan hubungannya dengan masyarakat pembaca. 2) Sastra sebagai cerminan masyarakat. Masalah yang bersangkutan adalah sampai sejauh mana sastra bisa dianggap mencerminkan keadaan masyarakat. Di sini, pandangan sosial harus diperhitungkan jika kita menilai karya sastra sebagai cerminan masyarakat. 3) Fungsi sosial sastra. Pertanyaan yang berrsangkutan dengan masalah itu antara lainadalah seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial, dan sampai seberapa jauh nilai sastra dipengaruhi nilai sosial serta sampai seberapa jauh
24
sastra dapat berfungsi sebagai penghibur dan pendidikan bagi masyarakat pembaca. Sedangkan,
Damono
(1979:
2-3)
menyatakan
terdapatnya
dua
kecenderungan dalam penelitian sosiologi sastra: 1) Pendekatan yang cenderung beranggapan bahwa karya sastra merupakan cerminan proses sosial ekonomis belaka. Pendekatan ini hanya melihat sastra dalam kaitannya dengan apa-apa yang terjadi di luar sastra. Pendekatan tersebut bergerak dari faktor-faktor di luar sastra itu sendiri dan juga menganggap bahwa teks sastra bukanlah yang utama. Sastra hanya berharga terhadap kaitannya dengan yang ada di luar sastra itu sendiri. 2) Pendekatan yang cenderung mengutamakan teks sastra sebagai acuan utama dalam penelaahannya. Pendekatan ini menggunakan analisis teks untuk mengetahui struktur untuk kemudian dipergunakan dalam memahami gejala sosial sastra yang ada di luar sastra. Dalam perkembangan teori sosial sastra khususnya pendekatan sosiologi sastra, maka strukturalisme genetik adalah merupakan teori sosiologi yang lebih condong pada kecenderungan kedua yang dikemukakan oleh Damono. 2.3.3 Konsep-Konsep Strukturalisme Genetik Berdasarkan penjelasan-penjelasan pada bab sebelumnya, dikatakan bahwa pendekatan strukturalisme genetik termasuk dalam perkembangan teori otonomi sastra khususnya pendekatan strukturalisme, akan tetapi diketahui bahwa bentuk penelitian strukturalisme genetik berbeda dengan penelitian strukturalisme
25
murni. Agar lebih mudah dalam memahami teori strukturalisme genetik, maka pengetahuan mengenai konsep dasar yang menopang teori strukturalisme genetik perlu untuk dipahami. Lucien Goldmannn (dalam Faruk, 1988: 70) mengembangkan konsepkonsep dasar menopang teorinya adalah: strukturasi fakta kemanusiaan, struktur, pandangan dunia dan subjek kolektif 2.3.3.1 Strukturasi Konsep stukturasi adalah konsep dasar dalam teori strukturalisme genetik karena pada akhirnya, proses strukturasi itu menghasilkan konsep-konsep lainnya. Mengenai makna strukturasi, Faruk (1988: 74-75) menjelaskan bahwa “Strukturasi adalah konsep aktivitas kategorial dari pikiran atau perasaan suatu subjek tertentu.”. Dari pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa strikturasi merupakan konsep kegiatan pasti, positif dari pikiran atau suatu subjek tertentu. Deramaix (online, http//www.membres.lycos.com) menjelaskan pemikiran Goldmannn sebagai berikut : “Goldmann expose, dans... les principes fondamentaux du structuralisme génétique appliqué à l’analyse littéraire. Il part de l’hypothèse que ‘tout comportement humaine est un essai de donner une réponse significative à une situation particulière’ et tend par ce la même à créer un équilibre entre le sujet de l’action et de milieu” Prinsip dasar strukturalisme genetik yang diterapkan pada analisis kesusastraan, berangkat dari anggapan bahwa semua perilaku manusia merupakan sebuah ‘percobaan untuk memberikan respon/tanggapan yang nyata terhadap situasi
26
tertentu’ dan cenderung untuk menciptakan keseimbangan antara subjek pelaku dan lingkungannya. Maksud ‘percobaan’ di atas adalah proses strukturasi (kegiatan pasti dari pikiran atau perasaan subjek tertentu) itu sendiri. Goldmann berpandangan bahwa, strukturasi tersebut merupakan respon/tanggapan untuk membuat keseimbangan antara subjek pelaku dan lingkungannya. Bagi Goldmannn (dalam Faruk, 1988: 71) kecenderungan manusia yang selalu berusaha menciptakan keseimbangan antara dirinya sendiri dan lingkungan sosial tempat asalnya merupakan dasar psikologi perilaku manusia yang wajar pada umumnya. Pada akhirnya, proses strukturasi itu menghasilkan fakta kemanusiaan, struktur dan pandangan dunia. 2.3.3.2 Fakta Kemanusiaan Mengenai fakta kemanusiaan, Faruk mengatakan (1994: 12) bahwa fakta kemanusiaan merupakan segala hasil aktivitas atau perilaku manusia baik verbal maupun fisik, yang berusaha untuk dipahami oleh ilmu pengetahuan. Fakta itu dapat berupa aktivitas sosial politik , maupun kreasi kultural seperti filsafat, seni rupa, seni musik, seni patung, dan seni sastra. Dari pernyataan di atas, dapat dikatakan bahwa segala sesuatu yang dibuat manusia adalah fakta kemanusiaan, seperti pembentuka partai politik merupakan contoh aktivitas politik tertentu. Contoh yang lebih sederhana lagi seperti: lukisan, musik, patung atau karya sastra adalah fakta kemanusiaan.
27
Fakta kemanusiaan yang dijelaskan pada sub bab ini dikhususkan pada karya sastra agar tidak terjadi pemahaman yang terlalu umum mengenai bentuknya, karena fakta kemanusiaan bisa berarti apa aja, seperti musik, lukisan atau hal lain yang disebutkan di atas. Dalam konsep strukturalisme genetik, Goldmannn (dalam Deramaix, online http://www.membres.lycos.com) mengatakan : “Manifeste une ensemble d’attitude globales de l’homme face au monde et a la vie, de vision du monde qui résultee de la situation concrété des hommes dans les rapports sociaux.” Fakta kemanusiaan (karya sastra) merupakan perwujudan seluruh sikap manusia dalam menghadapi dunia dan kehidupannya dari pandangan dunia yang disebabkan situai tertentu yang dihadapi manusia dalam hubungannya dalam sosial. Penjelasan di atas dapat dipahami jika kita melihat kembali konsep strukturasi dalam pandangan strukturalisme genetik. Strukturasi adalah aktivitas pasti dari pikiran atau perasaan dari suatu subjek tertentu (pandangan dunia), pandangan dunia tersebut membentuk perilaku manusia dalam menghadapi dunia dan kehidupannya. Dalam membuat keseimbangan antara dirinya
dan
lingkungannya, perilaku itu mewujudkan fakta kemanusiaan (seperti: kampanye, pembentukkan partai politik dan pembentukkan karya sastra). Maka, dapat diambil kesimpulan bahwa dalam pandangan strukturalisme genetik, karya sastra itu merupakan wujud perilaku dan subjek tertentu.
28
Dalam konsep strukturalisme genetik, Goldmannn (dalam Faruk 1988: 71) memandang bahwa fakta kemanusiaan itu mempunyai struktur yang berarti. Maksud dari pernyataan di atas adalah bahwa fakta kemanusiaan itu mempunyai struktur tertentu dan arti (makna) tertentu, sehingga Goldmannn (dalam Faruk, 1994: 13) berpendapat bahwa pemahaman karya sastra harus mempertimbangkan struktur dan artinya. 2.3.3.3 Pandangan Dunia Berorientasi pada pendapat Goldmann yang mengatakan bahwa dalam pemahaman karya sastra perlu mempertimbangkan struktur, maka bab ini dilakukan pembahasan mengenai struktur, khususnya struktur karya sastra. Goldmann (dalam Faruk, 1994: 22-23) berpandangan bahwa struktur merupakan produk dari strukturasi yang berlangsung secara terus menerus dari subjek tertentu terhadap dunia dalam rangka menciptakan keseimbangan hubungan antara subjek itu dengan lingkungan sosial dan alamiahnya. Dari pernyataan Goldman di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa karena struktur merupakan hasil dari aktivitas pasti dari pikiran atau perasaan suatu subjek
tertentu
dalam
usaha
untuk
membuat
keseimbangan
dengan
lingkungannya, maka struktur tersebut berbentuk konseptual. Faruk (1988: 71) mengatakan bahwa “Goldman mempunyai konsep struktur tematik, yang menjadi pusat perhatiannya adalah relasi antara tokoh dengan tokoh dan tokoh dengan objek yang ada disekitarnya”
29
Pernyataan Faruk di atas berdasar pada pendapat Goldmann (dalam Faruk, 1988: 75) yang mengemukakan dua pendapat mengenai karya sastra pada umumnya. Pertama, bahwa karya sastra merupakan ekspresi pandangan dunia yang imajiner. Kedua, bahwa dalam mengekspresikan pandangan dunianya itu pengarang menciptakan semesta, tokoh-tokoh, objek-objek dan relasi yang imajiner. Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa menurut pandangan Goldmann struktur konseptual karya sastra dapat dilihat dalam hubungan tokoh dan tokoh dengan objek yang ada disekitarnya. Pandangan Goldmann mengenai struktur tidak berhenti hanya pada struktur internalnya saja, Goldmann mengungkapkan bahwa: “karya sastra baru dapat dipahami tidak hanya dengan memperhatikan struktur internalnya, tetapi harus juga memperhatikan tempatnya di dalam konteks strukturasi di atas, dalam kerangka genesisnya, dipertalikan dengan manusia yang menjadi subjek tersebut dan hubungan antara manusia-manusia dengan lingkungan sosialnya. Hubungan antara kedua hal tersebut tidak didasarkan pada kesamaan isi tetapi pada homologi strukturalnya”
Dari pandangan Goldmann di atas, dapat dipahami bahwa struktur internal (intrinsik) karya sastra hanya merupakan bagian struktur dari struktur yang lebih besar disebut struktur yang menjadi genetiknya yaitu subjek pencipta karya sastra, yang juga dipercaya mempunyai persamaan bentuk struktur dengan karya sastra. Dengan mengkorelasikan struktur karya sastra dengan struktur yang menjadi genetiknya maka karya sastra itu dapat dipahami, dan hal itulah yang membuat karya sastra itu mempunyai makna. 30
Adapun mengenai hubungan antara struktur karya sastra dan struktur subjek tertentu yang menjadi pencipta karya sastra, Faruk (1994: 15) mengatakan bahwa hubungan itu bukan hubungan determinasi langsung melainkan dimediasi oleh apa yang disebutnya sebagai pandangan dunia atau ideologi. Untuk penjelasan mengeani pandangan dunia, peneliti mengutip pernyataan Goldmann (dalam http//www.membres.lycos.com) sebagai berikut: “(...)toute grande oeuvre littéraire ou artistique est l’expression d’une vision du monde. Celle-ci un phénomène de conscience collective qui atteint son maximum de clarté conceptuelle ou sensible dans la conscience du penseur... une vision du monde, c’est précisement cet ensemble d’aspirations, de sentiments et d’idées qui reunit les membres d’un groupe (le plus souvent, d’un classe) et les oppose aux d’autre groupes... (...)”
Dari kutipan di atas, secara garis besar dapat dikatakan bahwa setiap karya sastra atau seni besar adalah ekspresi dari sebuah pandangan dunia, sebuah fenomena akan kesadaran dan pandangan dunia tersebut merupakan akumulasi dari kesadaran kolektif ataupun kepekaan para kaum pemikir. Pandangan dunia tersebut merupakan akumulasi dari gagasan, aspirasi-aspirasi dan perasaan dari anggota-anggota suatu kelompok (kelas) sosial tertentu dan berlawanan dengan pandangan kelompok lain. Menurut Goldman seperti yang diutarakan Damono (dalam Jabrohim, 2001: 61), pandangan dunia pengarang dapat terungkap melalui problematic hero. Pendapat Goldman tersebut berdasarkan kriteria karya sastra besar yang dapat dianalisis dengan pendekatan strukturalisme genetik, yakni mempunyai tokoh problematik yang menghadapi masalah dengan kondisi sosial (problematic hero)
31
kemudian menjadikan kehidupan sosialnya memburuk (degraded) dan pada akhirnya berusaha mendapatkan nilai hakiki (authentic value) agar hidupnya selaras dengan lingkungannya. 2.3.3.4 Subjek Kolektif Dari pada penjelasan di atas, terlihat bahwa strukturalisme genetik berpandangan bahwa karya sastra mempunyai struktur berbentuk konseptual. Pengkajian pada karya struktur tersebut pada akhirnya akan menemukan pandangan dunia dari subjek penciptanya (genetiknya). Penjelasan di
atas bukanlah kesimpulan
keseluruhuan
mengenai
strukturalisme genetik. Salah satu konsep dasar yang juga penting dalam pandangan strukturalisme genetik adalah subjek pencipta karya sastra tersebut. Deramaix (online, http//www.membres.lycos.com) menjelaskan bahwa: “Un des points importants qu’il faut garder à l’esprit lorsque Goldmann aborde la question de la création littéraire sous l’angle du groupe social, c’est que pour lui, le véritable sujet de la création culturelle n’est pas l’individu. En effet, la genèse du sujet historique doit être cherche dans les rapports qui lient l’individu à la collective”
Penjelasan di atas mempunyai arti bahwa dalam proses penciptaan karya sastra dipandang dari perspektif kelompok sosial, Goldmann berpandangan bahwa subjek nyata penciptaan budaya bukanlah subjek individu sehingga aspek historis subjek individu harus dicari dalam hubungan yang mengikatnya pada kolektif. Maksud pernyataan di atas adalah Goldmann tidak mengakui individu sebagai satu-satunya pencipta karya sastra tanpa dipengaruhi aspek di luar
32
individu. Dalam pandangan ini Goldmann lebih condong pada pandangan kaum sosiologi lainnya yang beranggapan bahwa pengarang terikat pada lingkungannya. Lebih khusus lagi mengenai subjek karya sastra Goldman (dalam Deramaix,online http//www.membres.lycos.com) menjelaskan bahwa: “L'œuvre est donc la résultante d'un rapport structurel entre l'auteur, le fond historique d'où il émerge et le public auquel il s'adresse. Plus que le simple produit d'une psychologie individuelle, elle doit être considérée comme la cristallisation cohérente d'une représentation du monde propre à un groupe social.” Bahwa karya sastra adalah perwujudan hubungan struktural antara pengarang, lingkungan sosialnya, dan masyarakat pembaca. Lebih dari sekedar produk dari psikologi individu, karya sastra harus dilihat sebagai pembentukkan yang berkaitan secara masuk akal dari sebuah pandangan dunia sebuah kelompok sosial. Menurut Goldmann (dalam Faruk, 1988: 73) subjek individual dalam dorongan libido tidak akan mampu menciptakan karya-karya kultural yang besar seperti revolusi sosial, politik, ekonomi maupun fakta seperti pembangunan jembatan dan pembangunan jalan. Sehingga Goldman berpendapat bahwa yang dapat menciptakan fakta kemanusiaan tersebut adalah hanya subjek kolektif atau subjek trans-individual. Mengenai subjek trans-individual, Faruk (1988: 73) mengatakan bahwa subjek trans-individu bukanlah subjek yang berdiri sendiri-sendir, namun merupakan satu kolektivitas.
33
Berdasarkan beberapa penjelesan di atas, maka dapat dikatakan bahwa subjek tertentu pencipta karya sastra dalam pandangan strukturalisme genetik adalah subjek kolektif atau dalam hal ini dapat dikatakan sebagai kelompok sosial. 2.4 Metode Dialektik Berorientasi pada penjelasan konsep-konsep pada sub bab sebelumnya, teori pendekatan strukturalisme genetik adalah pemberian makna karya sastra dengan cara memahami struktur karya sastra. Makna yang didapatkan tidak berarti jika tidak dikorelasikan dengan struktur sosial subjek penciptanya (genetiknya) yang diyakini oleh Goldmann bahwa keduanya mempunyai persamaan bentuk. Hubungan itu dihubungkan oleh pandangan dunia hingga pada akhirnya terlahir makna keseluruhan dari sebuah karya sastra. Untuk mendapatkan makna keseluruhan karya tersebut, Lucien Goldman mengembangkan teknik penelitian yang dia namakan teknik dialektik. Mengenai
arti
metodee
dialektik,
Deramaix
(online,
http//www.membres.lycos.com) mengatakan “En analyse littérarire, la méthode dialectique consistera à considérer l’oeuvre dans sa connexion avec la réel.” Metode dialektik adalah Metode yang menghubungkan karya sastra dengan kenyataan. Pemahaman lebih mendalam mengenai pernyataan di atas dapat dilihat melalui cara kerja teknik dialektik yang menggunakan dua pasangan konsep yaitu “Keseluruhan-Bagian” dan “Pemahaman-Penjelasan”.
34
2.4.1 Keseluruhan-Bagian dan Pemahaman-Penjelasan Konsep keseluruhan-bagian merupakan cara yang digunakan untuk meneliti struktur keseluruhan dari sebuah karya sastra yaitu struktur internal (intrinsik) dari karya itu sendiri. Mengenai konsep keseluruhan-bagian, Goldman (dalam Faruk, 1988: 105) mengatakan: “(...)the advance knowledge is thus to be considered as aperpectual movement to and from, from the whole to the parts and form the parts back to the whole again, a movement in the course of which the whole and parts trow light upon one another.” Bahwa pemahaman yang lebih sempurna dipandang sebagai gerak gerak terus menerus “to” dan “from”, dari ‘keseluruhan’ ke ‘bagian’ dan dari ‘bagian’ kembali lagi ke ‘keseluruhan’, sebuah pergerakan yang dalam prosesnya ‘keseluruhan’ dan ‘bagian’ tersebut saling menjelaskan satu sama lain. Konsep tersebut hanya diterapkan pada analisis struktur karya sastra. Goldman mengatakan (dalam Faruk, 1988: 105) bahwa yang dimaksud keseluruhan itu adalah struktur karya sastra sedangkan bagian adalah unsur-unsur dari struktur tersebut. Proses keseluruhan-bagian ini menurut Faruk (1988: 105) berlangsung melingkar-lingkar, tanpa diketahui tempat atau titik yang menjadi pangkal atau ujungnya, dari ‘keseluruhan’ ke ‘bagian-bagian’ kembali lagi ke ‘keseluruhan’ sampai ‘keseluruhan’ dan ‘bagian’ itu menjelaskna satu sama lain hingga didapatkan pengetahuan yang ingin dicari.
35
Setelah memperoleh hasil analisis dari proses keseluruhan-bagian maka proses selanjutnya dilakukan proses pemahaman-penjelasan. Goldman (dalam Faruk, 1994: 21) menjelaskan bahwa pemahaman adalah usaha pendeskripsian struktur objek yang dipelajari sedangkan penjelasan adalah usaha untuk menghubungkannya ke dalam struktur yang lebih besar. Dari pernyataan berikut dapat disimpulkan bahwa pemahaman merupakan langkah untuk mengidentifikasi ‘bagian’ (proses keseluruhan-bagian), sedangkan penjelasan adalah usaha menghubungkan hasil identifikasi tersebut dengan kenyataan. 2.4.2 Aplikasi Strukturalisme Genetik Berdasarkan metode dialektik yang diusung Goldmann dalam penelitian strukturalisme genetik maka semakin jelas kedudukan antara strukturalisme genetik dengan strukturalisme murni dan sosiologi sastra. Strukturalisme murni hanya meneliti struktur dan unsur-unsur pembangun karya sastra itu sendiri dalam pemaknaan, sedangkan strukturalisme genetik menambahkan asal-usul karya (genetika) dengan menghubungkannya dengan kenyataan yang ada. Adapun penjelasan kedudukan strukturalisme genetik pada sosiologi sastra sudah dipaparkan pada sub bab pendekatan sosiologi sastra. Junus (1988: 20) memberikan catatan terakhir pada bukunya bahwa penelitian Goldman pada dasarnya merupakan penelitian sosiologi sastra. Pada penelitian sosiologi sastra pada umummnya, Martin dkk (dalam Gardin, dkk, 1981: 149) memaparkan langkah penelitian sebagai berikut:
36
“La stratégie la plus répandue aujourd’hui consiste à procéder en trois étapes comme par exemple Goldman (1956) ou Mauron (1963): 1. Analyse de la ‘structure’ d’un texte ou d’un œuvre 2. Analyse de la ‘structure’ d’une conception du monde et ou d’une organisation sociale. 3. Mise en correspondance entre la structure littéraire d’un cote, et de l’autre les structure socio-économiques ou psychologiques grâce à la notion d’homologie de structure” Strategi yang digunakan pada saat ini terdiri dari tiga tahap, seperti yang dilakukan Goldman (1956) atau Mauron (1963): 1. Analisis struktur sebuah teks atau sebuah karya sastra 2. Analisis struktur konsep dunia atau sebuah kelompok sosial 3. Menghubungkan struktur karya sastra dengan struktur sosial-ekonomi atau psikologi berdasarkan pada satu persamaan bentuk struktur. Tahap penelitian di atas, digunakan juga pada penelitian strukturalisme genetik, namun pada langkah pertama Goldmann (dalam Faruk, 1994: 21) menggunakan pandangan dunia yang merupakan kesadaran kolektif tersebut lebih dahulu sebagai suatu hipotesis kerja yang konseptual (model) bagi pemaham mengenai koherensi struktur teks karya sastra. Langkah analisis pun diperjelas oleh pernyataan Endrasawara (2003: 62) sebagai berikut: “Secara garis besar, pelaksanaan analisis dialektik yang melingkar-lingkar mengikuti lagkah-langkah: pertama, peneliti membangun sebuah model yang dianggap memberikan tingkat probabbilitas tertentu atas dasar bagian. Kedua, ia melakukan pencekan terhadap model itu dengan membandingkannya dengan keseluruhan (paragraf demi paragraf untuk
37
kasus prosa, baris demi baris untuk puisi, ucapan per ucapan dalam drama)” Goldman (dalam Faruk, 1994: 26) membangun pandangan dunia sebagai kerangka sistem semantis global. Kerangka semantis global menurut Goldman adalah inti dari keseluruhan/penggabungan gagasan, pemikiran atau perasaan yang ada dalam pandangan dunia Setelah kerangka itu telah terbentuk terbangun, kerangka tersebut dijadikan model tersebut digunakan dalam analisis struktur karya dan unsurunsurnya. Adapun cara yang digunakan untuk melakukan analisis tersebut, Faruk mengatakan bahwa Goldman mengoperasikan konsep oposisi berpasangan yang menurut Faruk didapatkan Goldman dari Levi Strauss. Seperti yang dikutip dari pernyataan Endraswara (2008 : 62) dalam bukunya yang berjudul Metodologi Penelitian Sastra : “Secara sederhana, kerja peneliti strukturalisme genetik dapat diformulasikan dalam tiga langkah. Pertama, peneliti bermula dari kajian unsure intrinsik, baik secara parsial maupun dalam jalinan keseluruhannya. Kedua, mengkaji kehidupan social budaya (riwayat) pengarang, karena ia merupakan bagian dari komunitas tertentu. Ketiga, mengkaji latar belakang social dan sejarah yang turut mengkondisikan karya sastra saat diciptakan oleh pengarang. Setelah mendapatkan pemahaman dari karya sastra, maka dilanjutkan dengan proses penjelasan yaitu menghubungkan struktur karya sastra dengan fakta historis yang ada yang menjadi genetik (asal-usul) karya sastra tersebut.
38
2.5 Pandangan Dunia Kritisisme Pada sub bab ini, peneliti membahas mengenai pandangan dunia roman L’Ingénu yang akan digunakan sebagai penghubung antara struktur dan genetik dari roman L’Ingénu sebagai aplikasi langkah pertama penelitian strukturalisme genetik. Adapun pandangan dunia yang dipilih peneliti adalah pandangan dunia kritisisme yang didapatkan dari hasil membaca roman tersebut serta didasari oleh beberapa referensi mengenai roman L’Ingénu. Roman L’Ingénu karya Voltaire ini masuk kategori roman apolog atau roman pendidikan (roman d’apprentisage). Jenis roman ini mempunyai fungsi sebagai pembelajaran moral yang disampaikan secara lugas, “Un apologue est un récit a pour fonction d’illustrer une leçon morale qui peut être formulée explicitement” (online, www.bacdefrancais.net) Selanjutnya situs analisis sastra www.bacdefrancais.net menjelaskan bahwa : “Le conte philosophique ou roman d’apprentissage s’inscrit dans une réalité. Il raconte la formation d’une presonne à la découverte brutale du monde (souvent irréel et exotique), découverte amenant à acquérir une certaine sagesse. Il permet à l’écrivain de combattre les abus, le préjugés, l’intolérance et l’oppression. Exemple : Candide et L’Ingénu de Voltaire.” Kisah filosofis atau roman pendidikan merupakan bagian dari realita. Roman ini mengisahkan tentang perjalanan seseorang di dunia yang ‘buas’, menemukan suatu kearifan tertentu. Dalam roman ini penulis menuangkan idenya untuk mengkritisi perilaku pelecehan, intoleransi dan penindasan. Contoh roman yang termasuk dalam kategori ini adalah Candide dan L’Ingénu karya Voltaire.
39
Dari penjelasan yang telah terpapar di atas, terlihat bahwa roman L’Ingénu yang termasuk ke dalam kategori roman pendidikan memiliki gagasan kritisisme. Pendapat situs analisis sastra di atas diperkuat oleh pernyataan Mercroyol dalam buku Bibliotheque Major:La bibliotheque du litteraire (1998: 23): “(...) le récit (L’Ingénu) sert de prétexte au discours, fondé sur la pratique de l’ironie et sur des personnages qui s’apparentent à des personae (ces masques de la comédie latine), caricatures transparentes fonctionnant comme supports de la verve critique” Bahwa cerita berfungsi sebagai media wacana yang diilhami oleh perilaku ironi dan kepalsuan, sisi karikatur yang tersaji merupakan bentuk dari semangat kritisisme. Dari beberapa pandangan di atas, dapat diartikan bahwa roman L’Ingénu merupakan roman pendidikan yang sarat akan moral dan kritik itu menganut pandangan kritisisme. Gagasan krititisisme tersebut terlihat dari sudut pandang para tokoh roman sebagai respon terhadap fenomena yang mengitarinya. 2.6 Kerangka Sistem Semantis Global Pandangan Dunia Kritisisme Langkah selanjutnya adalah membentuk kerangka sistem semantis global dari pandangan dunia kritisisme sebagai model analisis struktur dari roman L’Ingénu karya Voltaire. Dalam pembentukan kerangka semantis dari pandangan dunia kritisisme, peneliti menggunakan kerangka sistem semantis global yang dibangun Faruk. Adapun kerangka sistem semantis global yang dibangun Faruk (2002: 113) adalah pertegangan antara yang ‘dunia ideal’ dan yang ‘dunia nyata’. Makna
40
‘dunia ideal’ meliputi gagasan mengenai persatuan dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan, dengan semesta, lingkungan alamiahnya maupun lingkungan sosialnya, sedangkan makna ‘dunia nyata’ adalah perpecahan unsurunsur yang membangun dunia tersebut. Faruk (2002: 45-46) mengatakan bahwa dunia ideal merupakan dunia yang utuh dan bebas dari segala hukum atau pembatasan material yang kuantitatif dan fragmentaris. Sedangkan dunia nyata adalah dunia yang dialami manusia yang takluk pada hukum-hukum material yang bersifat kuantitatif dan fragmentaris, dunia nyata dipandang sebagai sebuah dunia yang tidak memuaskan sebab didalamnya segala hal menjadi serba terpecah dan penuh pertentangan sehingga menjadi hampa dan tanpa makna. Untuk mendapatkan makna serta eksistensi di dunia nyata, maka dunia nyata harus ditempatkan kembali pada kerangka dunia ideal dimana semua perpecahan dan pertentangan disatukan kembali, keterbatasan dilimpahi oleh ketakterbatasan, kuantitas mendapatkan kembali kualitasnya. Untuk memudahkan dalam langkah penelitian, maka kerangka sistem semantis oposisi berpasangan tersebut digambarkan dalam bentuk tabel sebagai berikut.
41
2.1 Tabel Model Kerangka Sistem Semantis Oposisi Berpasangan Pandangan Dunia Kritisisme Dunia ideal Tempat persatuan dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan, dengan semesta, lingkungan alamiahnya maupun lingkungan sosialnya atau bahkan dengan dirinya sendiri. Dunia yang utuh dan bebas dari segala hukum atau pembatasan material yang kuantitatif. Dunia yang diinginkan.
Dunia nyata Tempat keterpisahan, perpecahan atau tidak adanya persatuan antara manusia dengan Tuhan, lingkungan sosial dan alamnya bahkan dengan dirinya sendiri Dunia yang dialami manusia yang takluk pada hukum-hukum material yang kualitatif dan fragmentaris.
(Faruk, 2002: 45-46)
2.7 Pembelajaran Sastra Perancis Penggunaan roman sebagai teks sastra dalam pembelajaran diharapkan dapat menjadi alat komunikasi antara penulis dan pembaca. Uhoda (dalam Sylvana, 2010 : 36) mengatakan bahwa teks sastra diantaranya roman, cerpen, puisi dapat menunjang pemerolehan berbagai kemampuan berbahasa Perancis baik bagi pembelajar bahasa Perancis sebagai bahasa kedua (français langue Seconde/FLS) maupun bagi pembelajar bahasa Perancis sebagai bahasa asing (français langue étrangere/FLE). Guru sastra bertugas untuk membuka semua katup-katup sastra. Dengan keberadaan seorang guru permainan kata-kata itu tidak harus sebagai teka-teki,
42
tetapi memberikan inspirasi yang membuat sastra berdaya. Sastra akan memotivasi bahkan menstimulasi manusia untuk bangkit, bekerja, berjuang dan mencapai targetnya. Guru sasta adalah seorang junir, seorang PR, seorang menejer,
seorang
agen
dan
seorang
penafsir.
(www.putuwijaya.wordpress.com/2007/11/03/pengajaran-sastra.) Maka dari pernyataan inilah peneliti merasa perlu untuk meniliti karya sastra roman L’Ingénu melalui pendekatan strukturalisme genetik untuk diajarkan pada mahasiswa sebagai salah satu bahan ajar yang menarik untuk diajarkan di kelas sastra Perancis.
43