BAB II KONSEP PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENGUNGKAP FAKTA (WHISTLEBLOWER) MENURUT UNDANG-UNDANG R.I NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
A. Pengertian dan kualifikasi pengungkap fakta (whistleblower)
Secara umum pengertian orang yang mengungkapkan fakta kepada publik mengenai sebuah skandal, bahaya, malpraktik, maladministrasi atau korupsi disebut : whistleblower (Inggris artinya : peniup peluit). 145 Berdasarkan kasus yang terjadi di beberapa negara, yang menjadi perhatian dalam konteks whistleblower (pengungkap fakta) terkait dengan perbuatan perbuatan yang melanggar hukum, perbuatan yang tidak pantas dan kelalaian yang mempengaruhi kepentingan umum, bahaya terhadap kesehatan dan keselamatan umum dan bahaya terhadap lingkungan. Konteks pengertian demikian, whistleblower ini tidak hanya mencakup masalah kriminal (pidana) tapi mencakup bidang yang lebih luas. Prakteknya, terdapat perbedaan antara whistleblower dengan para pelapor dan informan. Namun perbedaan utamanya adalah para whistleblower tidak akan memberikan kesaksiannya ke muka persidangan maka statusnya kemudian menjadi saksi. Kasus-kasus korupsi mereka biasanya disebut sebagai para pelapor (dikategorikan secara sederhana berdasarkan KUHAP).
145
Koalisi Perlindungan Saksi, Pengertian Saksi dan Perlindungan bagi Para Pelapor haruslah diperluas www.antikorupsi.org1, diakses terakhir kali tanggal 10 Oktober 2007
43 Universitas Sumatera Utara
Wacana
perbandingan
untuk
mendapatkan
pemahaman
pengertian
whistleblower dapat dilihat dalam Undang-Undang Perlindungan Whistleblower di Quennsland, 2000 pada Bab II Bagian No. 7 (a) menyebutkan bahwa undang-undang tersebut menyediakan suatu skema yang, demi kepentingan umum, memberi perlindungan khusus jika ada pengungkapan-pengungkapan tentang suatu perbuatan di sektor publik yang melanggar hukum, termasuk kelalaian, dan tidak pantas atau suatu bahaya terhadap kesehatan atau keselamatan umum atau bahaya terhadap lingkungan. 146 Perlindungan hanya diberikan terhadap pengungkapan demi kepentingan umum yang merupakan suatu pengungkapan yang khas dan dirumuskan dalam kaitan dengan orang yang mengungkapkan, jenis informasi yang diungkapkan dan pihak yang terhadapnya dilakukan pengungkapan (pihak yang semestinya). Pengungkapan fakta kepada publik dapat dilakukan melalui media ataupun laporan kepada pejabat publik yang berwenang (aparat penegak hukum). Pengungkap fakta kepada publik dapat disebut dengan istilah saksi, korban atau pelapor. Sejarah perkembangan para pengungkap fakta (whistleblower) di Amerika Serikat menunjukkan, tidak sedikit diantara mereka harus rela menanggung resiko kehilangan pekerjaan hingga beberapa tahun, bahkan beberapa di antara mereka kesulitan mendapat pekerjaan baru karena dipandang sebagai trouble maker (pembuat
146
Ibid
Universitas Sumatera Utara
kekacauan) yang dikhawatirkan akan melakukan hal yang sama pada perusahaan atau institusi yang akan ditempatinya. 147 Alasan utama para pengungkap fakta (whistleblowers) rela membayar ongkos begitu tinggi (resiko), menjadi amat menarik untuk dikaji. Glazer dan Glazer (1986) 148 melakukan studi terhadap 55 pengungkap fakta (whistleblower) untuk mengungkapkan
motif
mereka
menjadi
pengungkap
fakta
meski
mereka
(whistleblowers) sadar akan resiko yang harus dibayar. Hasilnya, mayoritas pengungkap fakta meyatakan bahwa mereka memutuskan untuk mengungkap fakta berdasarkan keyakinan individual. Pengungkap fakta (whistleblower) berasumsi suatu sistem yang korup hanya akan terjadi bila para individu yang menjalankan system itu juga korup. Diperhadapkan pada dua pilihan , menjadi bagian dari proses korupsi itu atau menjadi kekuatan yang menentangnya. Umumnya bisa dikatakan, keyakinan individual yang dimiliki para pengungkap fakta (whistleblower) bersumber pada tiga hal yakni : nilai-nilai keagamaan (religious value), etika professional (professional ethics) dan rasa tanggungjawab terhadap masyarakat (social responsibility). Penelitian ini mengungkapkan bahwa para pengungkap fakta (whistleblowers) adalah pribadi yang mencintai kebenaran, memiliki landasan moral dan etika yang baik dan ini tentunya (pembentukan dalam dirinya) adalah proses yang terbentuk sejak lama dan tentunya whistleblowers ini muncul dari pribadi-pribadi yang berlatarbelakang keluarga yang saleh. 147
Kompas, Artikel : Fenomena Whistleblower dan Pemberantasan Korupsi, Achmad Zainal Arifin, 30 April 2005 148 Ibid
Universitas Sumatera Utara
Ana Radelat (1991) 149 , memaparkan kajian menarik tentang fenomena para pengungkap fakta (whistleblowers). Berdasarkan survey terhadap 233 pengungkap fakta (whistleblowers), 90 persen dari mereka harus kehilangan pekerjaan setelah mengungkap fakta kepada publik dan hanya 16 persen yang menyatakan berhenti untuk menjadi whistleblower sementara sisanya mengungkapkan akan tetap menjadi whistleblower, tetapi mereka adalah para pegawai yang berprestasi, memiliki komitmen tinggi dalam bekerja dan rata-rata berangkat dari latar belakang agama yang kuat. Kajian ini juga menggambarkan beberapa tahap yang harus dijalani para pengungkap fakta. Terungkap tujuh tahap yang harus dijalani para pengungkap fakta, mulai dari penemuan kasus penyimpangan, refleksi terhadap langkah-langkah yang diambil, konfrontasi dengan atasan mereka, resiko balas dendam dari pihak yang dilaporkan, proses hukum yang panjang, berakhirnya kasus hingga tahap memasuki kehidupan yang baru setelah kehilangan pekerjaan. Keputusan untuk mengungkap fakta kepada publik akan membawa dampak (konsekuensi) yang akan dialami seseorang.
149
Ibid, disebut juga di Amerika Serikat, telah muncul berbagai institusi, baik dari kalangan pemerintah maupun professional yang memperjuangkan nasib para pengungkap fakta (whistleblowers). Salah satu institusi yang cukup lama memperjuangkan hak-hak para pengungkap fakta (whistleblowers) adalah Government Accountability Project (GAP) yang bermaskas di Washington DC. Kiprah GAP sebagai institusi independent cukup membantu para pengungkap fakta (whistleblowers) dalam menghadapi tingginya resiko yang harus mereka bayar, bahkan tidak sedikit para pengungkap fakta (whistleblowers) akhirnya memperoleh insentif dari kasus korupsi yang terungkap dan mendapat kembali pekerjaan yang sebelumnya harus mereka tinggalkan (whistleblowers) akhirnya memperoleh insentif dari kasus korupsi yang terungkap dan mendapat kembali pekerjaan yang sebelumnya harus mereka tinggalkan.
Universitas Sumatera Utara
Tidak semua tahap akan mudah dilalui para pengungkap fakta (whistleblower) bahkan terkadang karena terlalu panjangnya tahapan yang harus dilalui tidak jarang diantara mereka sampai harus mengalami pertolongan psikiatris maupun media akibat tekanan-tekanan psikis yang harus mereka tanggung.
B. Perlindungan para pengungkap fakta (whistleblowers) sebagai Good Governance
Pokok bahasan yang dibicarakan orang yakni tentang hak warga negara untuk dilindungi oleh negaranya sebagai imbalan dari kesetiannya. Menurut pendapat orang bahwa negara memiliki kesetiannya kepada negara dan berhak atas perlindungan negara. Kesetiaan dan perlindungan tidak menunjukakan apa-apa selain kewajibankewajiban yang dibebankan oleh tata hukum kepada warga negara yang menjadi subjeknya, sehingga hak warga negara in casu saksi dalam rangka penegakan hokum (mencari kebenaran materil) tidak mengandung isi selain kewajiban organ Negara terhadap warga negara yang dibebankan oleh tata hukum. Hak setiap warga Negara Indonesia untuk mendapat perlindungan hukum telah dijamin dalam konstitusi (Pasal 27 dan Pasal 28, 28A, 28B Ayat (2), 28C Ayat (2), 28D, 28E, 28F, 28G, 28H, 28I UUD 1945 Amandemen ke-4, ) 150 .
150
UUD’45 dan Amandemennya, (Bandung : Fokusmedia, 2007), hal 18-21
Universitas Sumatera Utara
Keliru untuk berpendapat bahwa individu mempunyai suatu tuntutan alami atas perlindungan kepentingan-kepentingan tertentu seperti kehidupan, kebebasan, harta kekayaan. Meskipun tata hokum berfungsi untuk melindungi kepentingankepentingan tertentu dari para individu menurut suatu cara tertentu namun lingkup kepentingan dan lingkup individu yang menikmati perlindungan semacam itu sangat berbeda-beda dari tata hokum yang satu dengn tata hokum lainnya. Banyak contoh Negara memperlakukan sebagian besar subjeknya sebagai budak. Itu berarti bahwa individu-individu ini sama sekali tidak dilindungi oleh tata hokum atau dilindungi tidak dalam derajat yang sama seperti orang-orang merdeka. Banyak negara yang tata hokumnya tidak mengakui sesuatu kebebasan pribadi atau sesuatu harta kekayaan pribadi. 151 Prinsip Good Governance sebagai asas-asas pemerintahan yang baik menawarkan partisipasi masyarakat dalam penegakan hukum dan perlindungan hakhak
asasi
manusia.
Menurut
Overseas
Development
Agency
(ODA)
152
mengidentifikasikan good governance ke dalam 4 (empat) unsur, yaitu : 1. Pemerintah atau pemerintahan yang memiliki legitimasi yang ditentukan oleh tingkat partisipasi dan dukungan dari rakyat.
151
Hans Kelsen, op.cit, hal 291 A.M Mujahidin, MH, Rubrik Pembinaan Akhlak dan Kepemimpinan : Good Governance Suatu Langkah Mewujudkan Peradilan yang Bersih dan Berwibawa Dalam Sistem Peradilan Satu Atap di Indonesia, Majalah Hukum Varia Peradilan, No. 269 Tahun ke XXIII (IKAHI, April 2008), hal 41
152
Universitas Sumatera Utara
2. Ada akuntabilitas, baik dari elemen politik ataupun penyelenggara pemerintahan yang akan diukur atau ditentukan oleh sistem informasi, kebebasan pers, keterbukaan dalam mengambil keputusan dan sistem pertanggungjawaban. 3. Pemerintah atau pemerintahan yang memiliki kompetensi/memiliki kecakapan merumuskan kebijakan yang tepat, mengambil keputusan yang tepat waktu, melaksanakan keputusan tersebut secara efektif dan mampu memberikan pelayanan yang baik, dan 4. Menghormati hak asasi dan rule of law untuk menjamin hak-hak dan ke amanan individu atau kelompok dan membiarkan serta mendorong partisipasi masyarakat. Deskripsi ODA tentang good governance tersebut masih juga belum lengkap bahkan dapat berubah, misalnya pada akhir tahun delapan puluhan sampai masa awal tahun sembilan puluhan, terdapat salah satu unsure penting good governance , yakni keharusan bergesernya peranan pemerintah diganti dengan mengutamakan peranan masyarakat. Segala sesuatu yang dapat diperankan masyarakat tidak perlu Negara atau pemerintah ikut campur mengaturnya. Dalam bidang ekonomi, misalnya : pengaruh neo-liberal menjelma sebagai konsep ekonomi pasar dan privatisasi. Tetapi dewasa ini menguat kembali pandangan bahwa masyarakat justru mengharap peran pemerintah yang kuat, baik di bidang ekonomi maupun dalam usaha mewujudkan good society. Penting untuk dipahami disini sehingga dimunculkan dalam tulisan ini perbedaan antara governance dan government. Meskipun governance mengandung
Universitas Sumatera Utara
muatan penyelenggaraan atau pengelolaan pemerintahan namun berbeda dengan government. Perbedaan itu paling tidak dapat dilihat dari 3 (tiga) hal, yakni : Pertama, dari aspek kelembagaan, governance mencakup beberapa hal sebagai berikut : 1. Keikutsertaan secara individual dalam aktivitas menunjang jalannya pemerintahan yang baik, dalam bentuk ketaatan pada hukum, kerukunan bertetangga dan kewajiban individual lainnya; 2. Keikutsertaan kolektif melalui perhimpunan atau organisasi untuk memcahkan persoalan yang dihadapi oleh masyarakat atau negara dan 3. pemerintah. Kedua, perbedaan kedua antara government dengan governance meliputi unsur-unsur yang harus ada sebagai sebagai syarat good governance. Ketiga, misi good governance antara lain adalah untuk mewujudkan kehidupan publik yang baik (public good). Mengenai misi mewujudkan public good bukanlah monopoli konsep good governance. Fungsi mewujudkan public good atau good society merupakan konsep lama. Sebagaimana konsep sebuah negara yang ideal menurut Plato adalah tidak lain dimaksudkan untuk membangun suatu pemerintahan yang berlaku adil pada setiap warga negara. Hal ini juga oleh John Locke sebagai pemikir kenegaraan dalam konsepnya menyebutkan : And all to be directed ; to no other end but the peace, safety, and public good of the people.
Universitas Sumatera Utara
Konsep good governance lebih diarahkan pada sistem pengelolaan atau manajemen pemerintahan, tidak hanya sebatas konsep abstrak. Pemahaman ini sebagaimana didefinisikan oleh Bank Dunia 153 : Good gonvernance : the means in wich power is exercided in the management of country’s economic and social resources for development, and good governance synnonimous with sound development management (artinya : good governance akan ada apabila kekuasaan dijalankan dalam rangka memanage sumber daya ekonomi dan social untuk pembangunan. Good governance tidak lain dari manajemen pembangunan) Baik-buruknya pemerintahan dapat diukur sejauh mana ia mentaati prinsipprinsip Good Governance berikut : 154 1. Terjaminnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan yang sah. 2. Tegaknya supremasi hukum. Pemerintahan diselenggarakan di atas landasan hukum bukan kekuasaan semata. 3. Terjaminnya transparansi berdasarkan arus informasi yang bebas. Siapapun bebas mengakses informasi yang dibutuhkannya terkecuali rahasia negara yang memang telah ditentukan undang-undang. 4. Seluruh anggota masyarakat mempunyai kesempatan yang sama untuk memperbaiki kesempatan yang sama untuk memperbaiki dan mempertahankan kesejahteraan mereka.
153 154
Ibid, hal 43 Krisna Harahap, op.cit, hal 24
Universitas Sumatera Utara
5. Proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin. 6. Para pengambil keputusan baik di pemerintahan maupun swasta dan organisasi masyarakat bertanggungjawab penuh baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan. 7. Para pemimpin memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia serta kepekaan tentang apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Prinsip-prinsip Good Governance tersebut sejalan dengan gambaran nyata dari suatu negara hukum yang pada dasarnya dilengkapi 4 (empat) unsur penting 155 , yakni : 1. bahwa pemerintah (dalam arti luas) dalam melaksanakan tugas kewajibannya harus berdasar atas hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis ; 2. adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (dan warga negara); 3. adanya pembagian kekuasaan (distribution of power); 4. adanya pengawasan peradilan (oleh badan-badan peradilan). Perlindungan bagi pengungkap fakta (whistleblower) merupakan tugas dan kewajiban dari negara dalam upaya penegakan hukum. Setiap warga negara berkewajiban untuk berperan serta dalam proses penegakan hukum sebagaimana undang-undang juga menjamin partisipasi publik untuk menegakkan dan mengawal 155
Ibid, hal 25
Universitas Sumatera Utara
proses hukum. Pengungkap fakta (whistleblower) baik sebagai pelapor atau saksi berkepentingan langsung dalam menegakkan kebenaran materil atas suatu peristiwa pidana dan negara dengan berlandaskan undang-undang wajib menjamin pengungkap fakta (whistleblower) dalam proses penegakan hukum tersebut yakni dengan cara memberikan perlindungan hukum dan perlindungan khusus dari segala bentuk ancaman, intimidasi dan atau ketakutan. Perlindungan bagi pengungkap fakta (whistleblower) termasuk perlindungan bagi setiap warga negara dari kejahatan yang dilakukan atas nama negara. Kewajiban negara untuk memperbaiki tindakan salah dari individu yang, sebagai
organ-organnya, diwajibkan untuk memenuhi
kewajibannya, lazim disebut tanggungjawab negara atas tindakan salah yang dilakukan oleh organnya, atau oleh individu dalam kapasitasnya sebagai organ negara atau oleh individu dalam menjalankan fungsinya sebagai pegawai negeri. Jika tindakan melawan hukum yang dilakukan olehnya ada dalam hubungannya dengan fungsinya sebagai organ negara maka negara dapat diwajibkan untuk memperbaiki kesalahan atau mengganti kerugian yang ditimbulkan oleh tindakan melawan hukum tersebut. 156
156
Hans Kelsen, Teori Umum Hukum dun Negara (Dcuur-dusar Ilmu Hukum Normutif sebugui Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik), Jakarta : BEE Media Indonesia, 2007, ha1247
Universitas Sumatera Utara
C. Kondisi Perlindungan Saksi di beberapa negara 1. Amerika Serikat
Sejarah perlindungan saksi di Amerika Serikat dapat dikatakan sebagai upaya perhatian negara (pemerintah) Amerika Serikat dalam memerangi kaum mafia yang sangat berpengaruh dalam berbagai aspek dalam lapangan sosial maupun pemerintahan pada masa tersebut. Mafia (Mafioso) tersebut umumnya sebagai pendatang (kaum imigran) dan terkenal berasal dari Italia, yang juga merupakan permulaan tumbuhnya kejahatan pencucian uang (money laundering). Pemerintah Amerika Serikat berpandangan bahwa para kelompok mafia tersebut sudah demikian berbahaya dan mengganggu stabilitas nasional namun untuk membawa atau menghadapkan para kelompok mafia tersebut bukan hal yang mudah. Para kelompok mafia tersebut, tidak ragu-ragu akan menghabisi (membunuh) saksi bahkan aparat xnegak hukum yang menangani kasus mereka.
Gerald Shur, yang berprofesi sebagai seorang jaksa memprakarsai perlindungan saksi di Amerika Serikat yang disebut WITSEC. 157
Amerika Serikat
membentuk program perlindungan saksi berdasarkan Witnes Protection Act 1984
157
Tempo, Opini : Merindukan Gerald Shur, 14 Oktober 2007 hal 22. bahwa gagasan Gerald Shur muncul pada akhir 1960-an, suatu ketika negara Amerika Serikat sengit memerangi kelompokkelompok mafia yang tak sedikit pun segan membunuh saksi kunci yang bisa menyeret mereka ke penjara. Sejak dibidani pada tahun 1970, program ini telah melindungi nyawa 7.500 saksi dan 9.500 anggota keluarga mereka. Ini memang kerja besar lagi berat tapi amatlah strategis. Hasil yang dipetik WITSEC ketika melindungi Philip Tolomeo, kolektor piutang Calabrese , kelompok mafia yang kebrutalannya terkenal di seantoro Chicago pada 1978 sampai 1988. Menggelapkan uang bosnya, Tolomeo kabur dengan menggondol setumpuk dokumen penting yang memerinci kegiatan illegal geng itu. Ia lalu masuk program WITSEC. Berkat kesaksian dan dokumen Tolomeo, dua gembong Calabrese yang lama tak tersentuh hukum akhirnya dapat dijebloskan ke penjara
Universitas Sumatera Utara
(Undang-Undang Reformasi Keamanan Saksi tahun 1984). Dalam undang-undang tersebut pelaksanaan perlindungan terhadap saksi berada dalam naungan Depatemen Kehakiman. Unit program perlindungan saksi itu masuk dalam divisi kriminal Departemen Kehakiman bernama kantor operasi penegakan unit khusus perlindungan saksi. Dalam pelaksanaannya unit kantor operasi penegakan unit perlindungan saksi itu memiliki hubungan kerja dengan lembaga-lembaga lainnya yakni Kejaksaan Agung, jaksa penuntut umum atau badan investigasi lainnya, US Marshal Service atau unit keamanan lainnya (FBI), Bureau of prison, pengadilan, kantor imigrasi dan naturalisasi dan pemerintahan negara bagian. Witnes Protection Act mengatur hubungan kerja antara unit khusus perlindungan saksi tersebut dengan institusi lainnya. Pola pengaturannya dengan memberikan fungsi pengawasan program atau fungsi kontrol oleh unit perlindungan saksi dengan mengintegrasikannya dengan tugas dan fungsi institusi lainnya yang telah ada. Kantor pusat unit program perlindungan saksi ini berada di Departement of Justice US. Amerika Serikat yang terdiri dari beberapa negara bagian maka sesuai dengan bentuk negaranya, kantor perwakilan unti program perlindungan saksi itu berada di masing-masing tiap negara bagian. Dalam jenis
saksi
Undang-Undang Reformasi Keamanan Saksi yang
masuk
kualifikasi
dalam
program
itu
juga diatur
perlindungan saksi.
Kualifikasi itu mempunyai beberapa implikasi dalam prosedur dan administrasinya.
Universitas Sumatera Utara
158
Saksi dalam status biasa, misalnya dibedakan menjadi saksi dalam lingkup federal
dan dalam lingkup lokal. Sedangkan lembaga yang terkait adalah US Marshals. Saksi yang berstatus tahanan berada dalam US Marshals Bureau of Prison. Sementara saksi yang berstatus orang asing dibawah naungan US Marshals Kantor Imigrasi. Saksi yang berstatus narapidana berada di US Marshals Bureau of Prison dan untuk saksi yang berstatus informan atau informan yang masuk dalam program di bawah naungan US Marshals. Unit perlindungan saksi di AS juga mempunyai beberapa lembaga beserta tugas dan kewenangannya. Unit khusus perlindungan saksi, misalnya bertugas dan berwenang mengatur, mengawasi dan melakukan persetujuan dan penetapan terhadap permohonan perlindungan saksi. misalnya bertugas dan berwenang mengatur, mengawasi dan melakukan persetujuan dan penetapan terhadap permohonan perlindungan saksi. Dengan demikian dalam program Perlindungan saksi di Amerika Serikat terdapat perbedaan istilah yang membawa konsekuensi perbedaan dalam hal prosedur dan administrasi (Lembaga yang kompeten untuk mengawasinya). Jaksa Penuntut Umum dan badan investigasi lainnya berwenang untuk melakukan permohonan perlindungan saksi dan mempersiapkan berkas administrasi.
Bureau of Prison
bertugas mengawasi dan mengatur para saksi dalam status tahanan atau narapidana dan mempersiapkan administrasi. Lembaga pengadilan bertugas melakukan penetapan dan perintah terhadap pembebasan tahanan yang ikut dalam program
158
Ibid hal 48
Universitas Sumatera Utara
perlindungan saksi. Kantor imigrasi dan naturalisasi mempunyai dua tugas, yakni mempersiapkan dokumen bagi perlindungan terhadap orang asing illegal dan memberikan persetujuan kepada badan investigasi. Pemerintahan negara bagian mempunyai kewenangan dalam hal membayar pembiayaan dalam hal perlindungan saksi lokal. Disamping itu, pemerintah negara bagian juga bertugas melakukan kerjasama dengan jaksa penuntut umum dalam menerapkan undang-undang perlindungan saksi. Lembaga US Marshal Service kebagian tiga tugas, yakni Pertama, melakukan penilaian terhadap saksi yang akan dimasukkan ke dalam program perlindungan. Kedua, melakukan perlindungan terhadap saksi. Ketiga, melakukan perlindungan dalam keadaan mendesak. Jaksa Agung diberi tugas untuk mendapatkan dan mengevaluasi semua informasi yang diberikan perihal pengikutsertaan saksi dalam program perlindungan. Jaksa Agung juga bertugas untuk membuat penilaian tertulis atas resiko yang mungkin diterima oleh suatu komunitas dimana saksi akan di relokasi. Gambaran perlindungan saksi di Amerika Serikat menunjukkan yakni: i. Status saksi yang berbeda membawa perbedaan pula dalam hal prosedur administrasi atau lembaga/instansi yang kompoten untuk menguasainya dalam memberikan perlindungan kepada saksi. ii. Adanya koordinasi/kerjasam diantara lembaga penegak hukumnya dalam upaya memberikan program perlindungan saksi yang merupakan suatu kesatuan (mata rantai) baik sejak di tingkat Negara bagian hingga berkoordinasi dengan Pemerintah pusat.
Universitas Sumatera Utara
iii. Lembaga/unit perlindungan saksi berada dibawah naungan Departemen Kehakiman.
2. JERMAN
Negara Jerman yang sering disebut juga negara Bavaria tidak mempunyai lembaga atau komisi khusus yang berwenang untuk menangani pemberian perlindungan saksi. Berdasarkan Undang-Undang Harmonisasi Perlindungan Saksi, pengaturan perlindungan saksi dilakukan oleh Zeugenschutzdienststelle atau Kantor Perlindungan Saksi. Kantor ini bertugas untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan bahaya. Praktek perlindungan saksi pada awalnya tidak dilakukan serentak di keseluruhan negara Jerman. Perlindungan saksi baru diterapkan di Jerman sejak tahun 1984 menyusul pelaksanaan perlindungan saksi maka Kantor Perlindungan Saksi pertama kalinya dibentuk di Hamburg sedangkan perlindungan saksi di Berlin baru diterapkan pada tahun 1984. Kantor Perlindungan Saksi di Berlin didirikan pada tahun 1989 sebagai bagian dari pemberantasan kejahatan di bidang kejahatan terorganisasi di kepolisian. 159 Kantor Perlindungan Saksi tersebut berada di bawah Inspektorat Jendral Kepolisian yang memiliki kewenangan yang cukup besar. Lembaga kepolisian di Jerman berwenang mengatur keanggotaan, prosedur pemilihan anggota dan pemberhentian anggota Kantor Perlindungan Saksi Jerman. Di Jerman dibedakan
159
Dina Zenita (Bidang Hukum dan Monitoring Peradilan, Indonesia Corruption Watch), Praktek Perlindungan Saksl di Jerman , www.anllkorupsi.org, diakses terakhir kali tanggal 10 Oktober 2007
Universitas Sumatera Utara
antara kantor penyidik dan kantor perlindungan saksi. Kantor yang melakukan penyidikan menerbitkan apa yang disebut dengan analisa bahaya terhadap saksi. Analisa bahaya ini kemudian diinformasikan kepada Kantor Perlindungan Saksi. Penilaian bahaya ini kemudian lagi dibuktikan dalam suatu persetujuan dengan kejaksaan, apakah suatu tindak permulaan program perlindungan saksi harus dimulai. Analisa bahaya dipisahkan keadaan pribadi dengan individu secara konkrit dimana yang dinilai dari saksi berdasarkan kriteria seperti keadaan psikis, keterlibatan saksi tersebut ke dalam kelompok tertentu atau berasal dari daerah tertentu atau juga kriteria ketergantungan saksi terkait dengan tersangka pidana. Penting diperhatikan pula adalah apakah telah berhasilnya dilakukan tekanan dan dari tekanan yang diadakan tersebut apakah memiliki bahaya. Penilaian subjektif yang disampaikan oleh
saksi mengenai bahaya yang mengancamnya juga masuk dalam penilaian
bahaya. Seorang saksi ketika mulai diikutkan dalam suatu perkara maka yang pertamakali dilakukan adalah "pembicaraan keamanan" dari diri saksi, kepada saksi akan dijelaskan : apa yang secara pribadi dapat dilakukan untuk melindungi dirinya
tanpa
bantuan
pihak
kepolisian.
Kebiasaan-kebiasaan
lama
harus
ditanggalkan, seperti tidak mengikuti arah lama yang biasa ditempuh ke tempat kerja, ke tempat tinggal atau berbelanja, begitu juga dengan keteraturan sehari-hari orang tersebut harus diubah. Tindakan-tindakan untuk perlindungan saksi dilakukan berdasarkan tingkat bahaya yang mengancam.
Universitas Sumatera Utara
Hak-hak saksi yang dimiliki pada saat proses persidangan terdiri atas 2 (dua), yaitu: 160 1. Pemeriksaan secara terpisah dari tersangka.
Saksi memiliki hak untuk menghadiri pemeriksaan tanpa harus menghadiri persidangan yang dihadiri tersangka. Pemeriksaan secara terpisah ini dapat dilakukan khususnya untuk saksi dan korban masih anak-anak berusia di bawah 16 tahun dan kaum perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual. Apabila dikhawatirkan kehadiran seorang saksi pada pemeriksaan yang dihadiri oleh tersangka akan menyebabkan saksi tidak dapat mengemukakan kebenarannya maka pemeriksaan tersebut
dapat
dilakukan
secara
terpisah
dari
tersangka.
Pengecualian
pemeriksaan secara terpisah tersebut terpenuhi jika kehadiran tersangka pada saat pemeriksaan saksi telah mengakibatkan saksi akan menggunakan hak untuk tidak memberikan kesaksiannya (right to refuse to give evidence) di persidangan. Selain itu juga harus dipastikan bahwa ada bahaya mengancam yang akan mengakibatkan kerugian bagi saksi j ika konfrontasi tersebut dilakukan. 2. Pemeriksaan dengan rekaman kamera.
Saksi diberikan kemungkinan untuk memberikan kesaksiannya di tempat yang terpisah dari tersangka dengan demikian kesaksiannya dapat diberikan melalui rekaman kamera atau video yang nantinya akan disiarkan ke ruang persidangan. Syaratnya, harus ada ancaman kerugian untuk keselamatan si saksi 160
Ibid
Universitas Sumatera Utara
yang apabila pemeriksaannya tidak dilakukan di ruangan tertutup atau dipisahkan dari tersangka. Biasanya pemeriksaan saksi seperti ini berlaku di pengadilan yang saksinya atau korbannya merupakan anak-anak yang berusia di bawah 16 tahun. Cara seperti ini juga dapat dilakukan untuk saksi yang merupakan korban korban dari perdagangan manusia (trafficking in person). Tugas dan wewenang lembaga perlindungan saksi di Jerman, yakni : 1. Menerima permohonan untuk perlindungan saksi berdasarkan pertimbangan derajat bahaya yang mengancam saksi tersebut. 2. Menjalankan program perlindungan saksi. 3. Membuat
perjanjian
yang
berkitan
dengan
tindakan-tindakan
terhadap
perlindungan saksi. Kerahasiaan perjanjian itu juga dijaga secara ketat. Hanya kantor non umum untuk tidak menyebarkan data pribadi saksi kepada pihak lain. 4. Melakukan kordinasi dengan instansi lain seperti kantor penuntut umum. 5. memiliki hak untuk tidak memberikan informasi tentang data pribadi saksi. 6. memerintahkan instansi lain seperti : kantor umum dan kantor non umum untuk tidak menyebarkan data pribadi saksi kepada pihak lain. 7. Memerintahkan kantor umum dan kantor non umum untuk membuat dokumen penyamaran identitas maupun dokumen identitas yang baru. 8. Mencabut dokumen penyamaran identitas dari saksi apabila tidak diperlukan lagi. 9. Memiliki wewenang untuk menentukan tempat dan waktu kediaman dari saksi yang terlibat pula dalam persidangan selain persidangan pidana.
Universitas Sumatera Utara
3. AFRIKA SELATAN
Lembaga perlindungan saksi di Afrika Selatan berada di bawah Departemen Kehakiman. Berdasarkan Undang-undang Perlindungan Saksi Tahun 1983, lembaga perlindungan saksi di negara Afrika Selatan itu dinamakan Jawatan Perlindungan Saksi. Pelaksanaan kegiatannya berdasarkan undang-undang Perlindungan saksi 1998, jawatan perlindungan saksi ini memiliki hubungan khusus dengan dan hubungan kerja dengan institusi lainnya itu antara lain komisi-komisi khusus. direktorat Pengaduan independent, Penuntut Umum, Departemen Lembaga Permasyarakatan, dan organisasi publik lainnya. Pejabat-pejabat keamanan juga berhubungan seperti, sekretaris bidang pertanahan, Komisioner Nasional kepolisian Afrika Selatan, Badan intelijen Nasional, Badan Rahasia Afrika Selatan, Komisioner Pelayanan masyarakat. Pengaturan hubungan itu antara lain dengan pola pemberian fungsi kontrol oleh unit perlindungan saksi dengan mengintegrasikannya dengan tugas dan fungsi instusi lainnya yang telah ada. Jawatan perlindungan saksi berkantor pusat di ibukota Negara dan pemerintah daerah juga dapat mendirikan kantor jawatan dalam rangka melaksanakan undangundang perlindungan saksi. Kantor cabang yang terdapat di daerah itu tidaklah permanen. Kantor Pusat Jawatan Perlindungan Saksi berhak untuk menutup kantor atau menggabungkan suatu kantor cabang dengan kantor cabang lainnya dan sekaligus penataan adminsitratif sejauh dianggapnya perlu. Jawatan perlindungan saksi mempunyai tugas, antara lain melindungi saksi, orang terkait lainnya dan layanan-layanan yang diperlukan, melaksanakan tugas
Universitas Sumatera Utara
administratif menyangkut perlindungan. Jawatan Perlindungan Saksi juga bertugas membuat perjanjian tentang bantuan yang akan di dilakukan, dan membuat kesepakatan dengan departemen lainnya. Jaksa penuntut Umum dan Badan Investigasi lainnya juga mendapat tugas dalam program perlindungan saksi. Tugas itu meliputi membuat permohonan perlindungan ke jawatan, dan mempersiapkan dokumen pendukung.
Menteri
Kehakiman mengemban tugas berupa meninjau keputusan Jawatan perlindungan saksi berdasarkan permohonan dari orang yang merasa dirugikan oleh program perlindungan. Pejabat keamanan ditugaskan untuk melakukan keamanan dan perlindungan bagi saksi, menjalankan kewenangan dan harus melaksanakan fungsi atau mengerjakan tugas-tugas yang diberikan, ditugaskan atau dibebankan kepadanya. Tugas lainnya adalah menerima laporan dari saksi dan meneruskannya ke jawatan perlindungan. Lembaga pengadilan mendapat tugas untuk penetapan bagi anak di bawah umur untuk ikut dalam program perlindungan. Pemerintah penundaan persidangan perdata lain yang dapat mengungkap identitas atau keberadaan saksi dalam program juga bagian tugas dari pengadilan. Demikian juga dengan pengeluaran pemerintah untuk melarang publikasi berupa lukisan, ilustrasi, foto, palmet, poster, bahan cetak lainnya yang dapat mengungkap identitas saksi dalam persidangan.
Universitas Sumatera Utara
4. MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL
Lembaga perlindungan saksi pada Mahkamah Pidana Internasional tidak permanen sifatnya dan akan berfungsi jika ada korban dan saksi yang menghadap ke mahkamah. Kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia dapat menjadi contoh bagaimana mahkamah itu melindungi para saksi dan korban dan korban oleh karena begitu sentralnya kedudukan saksi atau korban untuk mengungkap segala peristiwa. Berdasarkan Pasal 43 paragraf 6 Statuta Roma, pembentukan unit perlindungan saksi merupakan kewenangan panitera. Dengan demikian kedudukan Unit korban saksi ini berada di bawah kepaniteraan. Kepaniteraan sendiri merupakan salah satu organ dalam mahkamah yang mempunyai tanggungan jawab terhadap aspek-aspek non judicial dari administrasi dan pelayanan mahkamah. Kepaniteraan di Mahkamah Internasional merupakan pejabat administratif utama mahkamah. Panitera itu melaksanakan fungsi-fungsinya di bawah kekuasaan presiden mahkamah. Unit perlindungan korban dan saksi bertugas menyediakan jasa nasehat dan bantuan yang memadai lainnya kepada saksi, korban yang menghadap mahkamah dan pihak lain. Unit perlindungan itu bertugas untuk merencankan langkah-langkah perlindungan dan keamanan untuk para saksi dan korban. Pasal 68 ayat 4 Statuta Roma menyebutkan bahwa unit perlindungan saksi dan korban dapat memberikan masehat kepada jaksa penuntut dan mahkamah mengenai tindakan pearlindungan yang tepat, pengaturan keamanan, pemberiaan nasehat hokum dan bantuan sebagaimana disebut dalam pasal 43 ayat 6 Statuta Roma.
Universitas Sumatera Utara
Secara khusus, unit perlindungan saksi mesti menjamin perlindungan dan keamanan semua saksi dan korban yang menghadap mahkamah melalui tindakantindakan yang tepat. Tindakan itu berupa rencana jangka pendek dan jangka panjang untuk perlindungan para saksi dan korban. Unit itu juga harus membantu korban yang hadir di depan mahkamah. Penyediaan konsultasi dengan kantor jaksa penuntut merupakan tugas unit perlindungan saksi dan korban. Unit itu juga bertugas menjaga keamanan dan kerahasiaan bagi para penyidik mahkamah dan tim pembela dan semua organisasi pemerintahan maupun non pemerintahan yang bertindak atas permintaan mahakamah. Selain panitera, pengadilan dan kantor penuntut juga memiliki tanggung jawab untuk melindungi saksi dan korban. Tugas pengadilan adalah mengambil tindakan-tindakan yang sesuai untuk melindungi keselamatan, kesejahtaraan fisik dan psikologis, martabat dan privasi dari para korban dan saksi. Dalam melaksanakan hal tersebut, pengadilan berkewajiban memperhatikan seluruh factor-faktor yang relevan, termasuk usia, jender, dan kesehatan, serta jenis kejahatan, khususnya. Pengadilan juga harus menjamin bahwa seluruh dokumen yang harus dipublikasikan harus menghormati tugas untuk melindungi kerahasiaan persidangan dan keamanan korban dan saksi. Berdasarkan Pasal 68 Statuta Roma, Kamar Pengadilan harus memperhatikan kebutuhan dari seluruh korban dan saksi sesuai, khususnya, anak-anak, orang-orang berusia lanjut, orang-orang cacat, dan korban-korban dari kekerasan seksual dan kekerasan jender.
Universitas Sumatera Utara
Dalam memfasilitasi koordinasi perwakilan korban, Kepaniteraan dapat memberikan
bantuan,
dengan
cara
merujukkan
korban
kepada
sejumlah
pembimbingan, atau menyarankan satu atau lebih perwakilan hukum bersama. Jika Korban tidak dapat memilih wakil hukum atau wakil mereka dalam batas waktu yang ditentukan oleh Kamar Pengadilan, maka Kamar dapat meminta Panitera untuk memilihkan satu atau lebih wakil hukum bersama. Kamar pengadilan dan kepaniteraan dapat mengambil langkah-langkah dengan alasan untuk menjamin bahwa dalam pemilihan wakil hukum, kepentingankepentingan yang berbeda dari korban terwakili, dan setiap konflik kepentingan. Hukum Acara Mahkamah Internasional menyebutkan, sebuah kamar Pengadilan dapat melaksanakan pemeriksaan melalui kamera. Hal ini guna melindungi para saksi dan korban. Kesaksiannya dapat mencegah disiarkannya ke publik atau pers dan agen informasi tentang lokasi saksi, korban atau orang-orang bersiko akibat kesaksian yang diberikannya. Jika segala informasi yang berhubungan dengan para saksi dan korban yang dianggap terlarang, maka pengadilan akan menutupnya. Informasi itu mulai dari nama dari korban, saksi atau orang-orang beresiko akibat kesaksian yang diberikan oleh saksi atau informasi lainnya yang dapat mengarah kepada identifikasi mereka dapat dihilangkan dari catatan public kamar Pengadilan. Pelarangan itu berlaku juga bagi penuntut, pembela atau pihak lain dalam persidangan dilarang membuka informasi tersebut kepada pihak ketiga.
Universitas Sumatera Utara
D. Model Perlindungan Saksi (whistleblower) Mencermati praktek perlindungan saksi dan atau korban yang terjadi di beberapa negara, menurut ahli hukum tindak pidana pencucian uang, Yanti Gunarsih menyatakan ada 2 (dua) bentuk model perlindungan yang dapat diberikan kepada saksi dan korban, yakni : 161 I.
Procedural Right Model. (Model hak-hak Prosedural)
II. The Service Model (Model Pelayanan) Ad. Procedural Right Model. (Model hak-hak Prosedural) Model ini penekanan diberikan pada dimungkinkannya saksi dan atau korban (saksi korban, pelapor) untuk memainkan peranan aktif di dalam proses kriminal atau di dalam jalannya proses kriminal atau didalam jalannya proses peradilan. Korban kejahatan diberi hak untuk mengadakan tuntutan pidana atau untuk membantu jaksa atau hak untuk dihadirkan dn didengar di setiap tingkatan siding pengadilan yang kepentingannya terkait di dalammnya termasuk hak untuk diminta konsultasi oleh lembaga pemasyarakatan sebelum diberikan lepas bersyarat dan pada akhirnya hak untuk mengadakan perdamaian atau peradilan perdata. Di Prancis, hal ini disebut partie civile model (civil action system). 162 Pendekatan semacam ini melihat saksi dan atau korban (pelapor) sebagai seorang subjek yang harus diberi hak-hak yuridis yang luas untuk menuntut dan mengejar kepentingan-kepentingannya.
161
Pendampingan korban : Hakim terlalu berkutat pada KUHAP oleh Yanti Gunarsih, www.Hukumonline.com, diakses tanggal 17 Mei 2008 162 Drs. Dikdik M.Arief Mansur, SH, MH & Elistars Gultom, SH, MH, op cit, hal 85
Universitas Sumatera Utara
Keuntungan model semacam ini adalah bahwa model ini dianggap dapat memenuhi perasaan untuk membalas si korban maupun masyarakat. Selain itu, keterlibatan saksi dan atau
korban (saksi korban/pelapor) seperti ini akan
memungkinkan saksi dan atau korban (saksi korban/pelapor) untuk memperoleh kembali rasa percaya diri dan harga diri. Kemudian hak-hak yang diberikan pada korban kejahatan untuk mencampuri proses peradilan secara aktif tersebut dapat merupakan imbangan terhadap tindakan –tindakan yang dimungkinkan terjadi dalam tugas-tugas kejaksaan, misalnya : dalam hal menyusun rekuisitur yang dianggap terlalu ringan atau menyampingkan perkara demi kepentingan umum. Model ini juga dianggap dapat meningkatkan arus informasi yang berkualitas kepada saksi dan atau korban (saksi korban) sebab biasanya arus informasi ini didominasi oleh di terdakwa yang melalui kuasa hukumnya justru dapat menekan saksi dan atau korban (saksi korban) dalam persidangan. Model ini juga memiliki kelemahan dan kerugian yang cukup berarti. Model ini dianggap dapat menciptakan konflik antara kepentingan umum dan kepentingan pribadi. Partisipasi saksi dan atau korban (saksi korban/pelapor) dalam administrasi peradilan pidana dapat menempatkan kepentingan umum di bawah kepentingan pribadi. Padahal sistem peradilan pidana harus berlandaskan pada kepentingan umum. Disamping itu, dapat terjadi timbulnya beban berlebihan bagi administrasi peradilan pidana yang bertentangan dengan usaha untuk lebih menyederhanakannya. Kerugian lainnya adalah kemungkinan hak-hak yang diberikan pada si korban justru dapat menimbulkan beban mental bagi yang bersangkutan dan membuka
Universitas Sumatera Utara
peluang untuk menjadikannya sebagai sasaran tindakan-tindakan yang bersifat menekan dari sipelaku tindak pidana, dan bahkan pada gilirannya dapat menjadikan sebagai korban yang kedua kalinya (risk of secondary victimization). Secara psikologis, praktis dan financial hal ini kadang-kadang dianggap juga tidak menguntungkan. Kegelisahan, depresi dan sikap masa bodoh saksi dan atau korban tidak memungkinkan baginya berbuat secara wajar, terlebih lagi bila pendidikannya
rendah.
Jadwal
persidangan
yang
ketat
berkali-kali
akan
menggangunya baik secara praktis maupun financial. Selain itu, dapat juga dikatakan bahwa suasana peradilan yang bebas yang dilandasi asas praduga tidak bersalah dapat terganggu oleh pendapat korban tentang pemindanaan yang akan dijatuhkan dan hal ini pasti didasarkan atas pemikiran yang emosional dalam rangka pembalasan. Ad. 2. The Service Model (Model Pelayanan) Model ini penekanannya diletakkan pada perlunya diciptakan standar-standar baku bagi pembinaan korban kejahatan (saksi korban/pelapor), yang dapat digunakan oleh polisi. Contoh pembinaan disini yakni dalam bentuk pedoman dalam rangka notifikasi kepada korban atau kejaksaan dalam rangka penanganan perkaranya, pemberian kompensasi sebagai sanksi pidana yang bersifat restitutif dan dampak pernyataan-pernyataan korban sebelum pidana dijatuhkan. Pendekatan ini melihat korban kejahatan sebagai sasaran khusus untuk dilayani dalam kerangka kegiatan polisi dan para penegak hukum yang lain. Keuntungan model ini adalah bahwa model ini dapat
digunakan
sebagai sarana pengembalian apa yang dinamakan integrity of the system of
Universitas Sumatera Utara
institutionalized trust, dalam kerangka perspektif komunal. Saksi dan atau korban (saksi korban/pelapor) akan merasa dijamin kembali kepentingannya dalam suasana tertib sosial yang adil sehingga diciptakan suasana tertib, terkendali, dan saling memercayai. Keuntungan yang lainnya pada model ini dianggap dapat menghemat biaya sebab dengan bantuan pedoman yang baku, peradilan pidana dapat mempertimbangkan kerugian-kerugian yang diderita oleh saksi dan atau
korban
dalam rangka menentukan kompensasi bagi si korban. Kelemahan model semacam ini antara lain: kewajiban-keajiban yang di bebankan kepada polisi, jaksa dan pengadilan untuk selaku melakukan tindakantindakan tertentu kepada saksi dan atau korban, dianggap akan membebani aparat penegak hukum karena semuanya didasarkan atas sarana dan prasarana yang sama. Efisiensi dianggap juga akan tergangu, sebab pekerjaan yang bersifat profesional tidak mungkin digabungkan dengan urusan-urusan yang dianggap dapat menggangu efesiensi. Model ini menentukan standar baku tentang pelayanan terhadap korban yang dilakukan oleh polisi, jaksa dan hakim, misalnya : Pelayanan
kesehatan,
pendampingan, pemberian kompensasi dan ganti rugi serta restitusi. Masalah yang timbul dalam model ini adalah sulit untuk memantau, apakah pelayanan itu benarbenar diterima saksi dan korban. Selanjutnya Yanti Gunarsih berpendapat, sebaiknya untuk negara Indonesia dalam menentukan model perlindungan saksinya menetapkan model perlindungan
Universitas Sumatera Utara
saksi yang merupakan perpaduan (kombinasi) dari procedural right model (model hak-hak prosedural) dengan the service model (model pelayanan).
E. Konsep Protection of Cooperating Person
Whistleblower yang diartikan peniup peluit tidak hanya mencakup pengertian saksi dan atau korban sebagai pelapor namun dimaknai juga sebagai pelaku kriminal yang membongkar kejahatan. Polemik terjadi manakala ada upaya memperkenalkan kolaborasi antara pelaku kriminalitas dan penegak hukum yang dikenal sebagai pengungkap fakta (whistleblower). Negara-negara dengan sistem Anglo Saxon (Inggris dan Amerika) maupun Eropa Kontinental (Belanda dan Perancis), pemahaman demikian telah melekat dengan penegakan hukum untuk pemberantasan korupsi maupun kejahatan sistemik dan terorganisasi. Konsep protection of cooperating person telah diintrodusir dan dimasukkan Jalam Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006 yakni pasal 10 Ayat (2). Pasal 10 Ayat (2) Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006 menyebutkan : Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 10 Ayat (2) Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006 prinsipnya mirip dengan mekanisme plea bargaining 163 . Black's Law Ditcionary 164 memberikan pengertian plea bargaining : "The process whereby the accused and the prosecutor in a criminal case work out a mutually satisfactory disposition of the case subject court approval. It usually involves the defendant's pleading guilty to a lesser offense or to only one or some of the counts of a multi-count indictment in return for a lighter sentence than that possible for the graver charge ". Ide atau konsep perlindungan hukum bagi pelaku tindak pidana dengan modus operandi yang sitematis dan terorganisir, seperti : koruptor yang bekerjasama dengan penegak hukum adalah untuk pengembalian uang negara yaitu mengamankan keuangan negara yang berpotensi raib apabila proses peradilan berlanjut. Memberi perlindungan hukum bagi para koruptor yang bekerjasama dengan penegak hukum sebenarnya mendekati paradigma United Nations Conventions Against Corruption (2003) sebagai salah satu sumber hukum yang mengikat beberapa negara dan telah diratifikasi, termasuk Indonesia dengan Undang-Undang RI No. 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC). 165
163
www.antikorupsi.org, Pemberian Bantuan dalam Undang-Undang Perlindungan Suksi dun Korban, Sebuah Observasi Awal oleh Indonesia Corruption Watch, diakses terakhir kali tanggal 10 Oktober 2007 164 Ibid 165 Makalah kuliah hukum Money Laundring Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara atau dapat diakses www.hukum online, Senjata Baru Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (Ratifikasi UNCAC)
Universitas Sumatera Utara
Niat membongkar korupsi harus dihargai meski tidak berarti tidak dihukum. Jika ditambah dengan reward, diyakini akan banyak pengungkap fakta (whistleblower) keluar dari persembunyiannya. Wakil Direktur kebijakan Kordinasi dari Komisi Independen pemberantasan Korupsi Korea Selatan, Seon Yim mengatakan, di negerinya, Korea Selatan, whistleblower atau peniup peluit mendapat reward dua juta dollar AS, penghargaan lain : dijamin tak akan diberhentikan dari pekerjaan dan perlindungan khusus apabila mendapat ancaman. 166 Perlindungan kepada seseorang yang pada saat bersamaan adalah saksi dan juga sebagai terdakwa namun bekerjasama dengan penegak hukum adalah memberi kebebalan dari penuntutan dan pengurangan hukuman (migrating of punishment) tetapi harus sesuai dengan asas hukum nasional tiap negara peserta. Andi Hamzah berpendapat, konsep protection of cooperating person telah dilaksanakan di Eropa. Belanda dan Italia, telah menerapkan saksi mahkota (kroonngetuige) tersangka/terdakwa karena bekerjasama dengan aparat penegak hukum
membongkar
kejahatan
terorganisasi.
Imbalannya,
pelaku
tersebut
dikeluarkan dari daftar terdakwa dan dijadikan saksi. Tindak pidana korupsi di dalam lembaga perbankan yang dilakukan oleh pelaku dengan modus operandi yang sedemikian rapi oleh karena pelaku mengetahui benar seluk beluk lembaga tersebut dan tindak pidana ini dapat terungkap ke publik
166
Todung Mulya Lubis, Catatan Hukum (Mengapa Saya Mencintai Negeri Ini ?), Jakarta : Kompas, Hal 134
Universitas Sumatera Utara
atas laporan atau pengaduan dari saksi pengungkap fakta yang berasal dari orang dalam di lembaga perbankan tersebut. Jenis kejahatan sebagaimana disebut di atas, yakni terorganisir dan modus operandi yang cukup canggih tentunya hanya diketahui oleh orang dalam untuk mengungkapkan fakta perbuatan pidana dimaksud di persidangan atau kepada publik ketika proses hukum terjadi, misalnya : mengungkap dan membuktikan terjadinya tindak pidana korupsi tidaklah mudah karena kecerdikan dan kelihaian pelaku dalam memutarbalikkan fakta sebenarnya atau menghilangkan dokumen (surat-surat) sebagai barang bukti Pelaku kejahatan saat ini sudah sedemikian rapi dan terorganisir dalam melakukan perbuatannya bahkan akibat perkembangan kejahatan itu, kita mengenal stilah white collar crime (kejahatan kerah putih), kejahatan korporasi dan kejahatan secara terorganisir (berjamaah). Pelaku kejahatan itu dapat berasal dari individu yang memiliki intelektual dan memiliki strata sosial yang tinggi dimasyarakat, pejabat publik, badan hukum bahkan mafia yang paling ditakuti dan dihormati di masyarakat. Perubahan politik hukum pidana dalam pemberantasan korupsi ini memiliki akibat hukum yang tidak kecil karena sejak berlakunya Undang-Undang RI No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2001, perbuatan suap dalam KUHP telah kehilangan arti dan maknanya sebagai tindak pidana umum, melainkan harus diperhatikan sebagai tindak pidana khusus. Perbuatan suap harus diartikan sebagai mata rantai dari suatu tindak pidana korupsi atau dengan kata lain perbuatan suap adalah embrio dari korupsi sehingga suap dan korupsi merupakan kembar, yaitu
Universitas Sumatera Utara
perbuatan yang serupa tetapi tidak sama karena dengan suap maka penerima suap sudah barang tentu akan memberi imbalan untuk melakukan sesuatu di luar tugas dan wewenang yang diberikan undang-undang kepadanya atau sama sekali tidak melaksanakan tugas dan wewenangnya sesuai dengan kewajiban yang dibebankan undang-undang kepada yang bersangkutan. 167 Perubahan makna dan implikasi perbuatan suap sebagai mata rantai dari korupsi menyebabkan pemberian sanksi terhadap pemberi dan penerima suap tidak lagi seharusnya ditafsirkan secara kaku akan tetapi harus ditafsirkan dalam konteks yang lebih luas yaitu bagaimana memenangkan perang terhadap korupsi saat ini. Jika strategi ini akan tetap dipertahankan maka perlu ada perubahan taktik dalam menghadapi pelaku korupsi dan potensial koruptor sehingga tidak ada satupun koruptor yang lolos dari penuntutan. Perubahan taktik dalam strategi memenangkan perang terhadap korupsi ini antara lain, memberikan perlindungan hukum terhadap pelaku suap (penerima atau pemberi) yang pertama melaporkan kepada penegak hukum tentang terjadinya penyuapan dengan tujuan yang lebih besar yaitu mengungkapkan jaringan korupsi yang sudah sistematik dan meluas. Pemberian perlindungan hukum ini sudah tentu harus selektif dan penuh kehati-hatian sehingga hanya orang yang tepat termasuk track recordnya yang sudah teruji baik yang berhak menerimanya. 168
167
Romli Atmasasmita (Ketua Forum 2004), Artikel : Perlindungan Saksi dalam perkara Korupsi,www.antikorupsi.org, diakses terakhir kali tanggal 10 Oktober 2007 168 Ibid
Universitas Sumatera Utara
Tindak pidana korupsi terungkap setelah berlangsung dalam tenggang waktu yang lama. Tindak pidana korupsi pada umumnya melibatkan sekelompok orang ~ang saling menikmati keuntungan dari tindak pidana itu. Kekhawatiran akan keterlibatannya sebagai tersangka maka diantara mereka sekelompok orang tersebut akan saling menutupi. Demikian juga dengan rasa solidaritas kelompok, kebanggaan korps yang menimbulkan rasa malu bila kelompok atau institusinya dilanda korupsi, membuat mereka anggota kelompok sekalipun tidak terlibat, senantiasa akan berupaya menutupi atau membela temannya yang dituduh korupsi. 169 Konsep pendekatan yang telah diterapkan dalam Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006 hendaknya dapat diikuti dalam upaya pemberantasan tindak pidana dengan modus operandi yang dilakukan secara sistematis dan terorganisir lainnya (extra ordinary crime), misalnya : tindak pidana terorisme, perdagangan orang, pencucian uang dan lain-lain Menarik untuk dikaji putusan Majelis Hakim PN Denpasar yang memutus 3 (tiga) terpidana kasus Bom Bali I. Terpidana an. Imam Samudra dan Ali Gufron akhirnya dijatuhi pidana mati sementara terpidana Ali Imron 'hanya' dipidana seumur 169
Simon Crittle, The Last Good Father, Jakarta : Voila Books (Penerbit Hikmah), Sebagai kepala keluarga penjahat Bonanno, Joseph Massino merupakan sosok pria cerdas, penuh kewaspadaan dan licik. Dia menjalankan bisnis sampingan yang sukses berupa restoran di Kota New York. Menurut FBI, di dalamnya termasuk perjudian, peredaran narkoba, pembunuhan--- sebuah kerajaan kriminal yang akarnya bisa ditelusuri sampai Sisilia (Italia). Joey Massino, sebagaimana dalam dunia mafia sangat menghormati kode klasik yang disebut " Omerta" (bahasa Italia untuk "persekutuan bisu") yakni kepercayaan, kesetiaan dan tutup mulut. Oleh karena itu, sulit dipercaya, ketika akhirnya Joey Massino dikenai vonis atas tujuh pembunuhan brutal pada tahun 2004 dan Joey Massino ternyata bersedia buka mulut dan mengenakan penyadap agar bisa lolos dari hukuman mati. Kabar mengenai kerjsamanya mengirimkan gelombang kepnikan ke seluruh "dunia bawah" (kelompok mafia) dan sekali lagi menjadikannya mafia paling ditakuti yang masih hidup. Joey Massino, bos New York pertama yang melanggar sumpah tutup mulut mafia yang berumur seratus tahun
Universitas Sumatera Utara
hidup. Sebenarnya perkara ini termasuk sulit pembuktiannya mengingat saksi-saksi ~ ang diajukan dalam persidangan adalah saksi mahkota (terdakwa dalam berkas terpisah). Namun terpidana Ali Imron, sangat koperatif pada saat diajukan sebagai saksi dalam pemeriksaan di persidangan dimana terpidana Ali Imron mengungkapkan di persidangan jaringan organisasi teroris mereka, cara perakitan bom dan tempattempat dimana rencana peledakan bom dilakukan. Penerapan konsep protection of cooperating person sebagaimana terdapat dalam pasal 10 Ayat (2) Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006 merupakan kebijakan hukum pidana (penal policy) yang sudah sangat tepat mengingat untuk pembuktian suatu tindak pidana yang dilakukan dengan modus operandi yang sistematis dan terorganisir. Tugas yang dirasakan berat oleh penuntut umum atau polisi jikalau dalam suatu tindak pidana sangat sulit untuk mengumpulkan alat bukti berupa saksi ~,ang melihat sendiri, mendengar sendiri atau mengalami sendiri suatu tindak pidana dimana para pelaku melakukan perbuatannya dengan rapi dan terorganisir. Dibutuhkan pembocor atau 'orang yang bemyanyi' agar kejahatan yang dilakukan oleh pelaku terbukti secara sah dan meyakinkan, baik dalam berkas perkara maupun pemeriksaan di depan persidangan. Menggugah atau membuat pelaku agar dapat berceloteh atau mengungkapkan jaringan kejahatan dan modus operandi pelaku kejahatan tentunya dilakukan dengan teknik penyidikan tersendiri yang pada prinsipnya dengan menghormati hak-hak asasi manusia. Kronologis atau kejadian tersebut hanya dapat diungkap oleh pelaku yang merupakan bagian dari jaringan
Universitas Sumatera Utara
kejahatan tersebut dan untuk pelaku yang mau bekerjasama dengan aparat penegak hukum wajib diberikan perlindungan hukum meskipun pelaku yang berceloteh atau mengungkapkan kejahatan yang mereka lakukan tidak luput dari ancaman hukum. herjasama pelaku kejahatan dengan aparat penegak hukum untuk mengungkap kejahatan di depan persidangan dapat dijadikan majelis hakim nantinya dalam hat meringankan hukumannya. Politik hukum (criminal policy) dengan penerapan konsep protection of cooperating person merupakan mengadakan pemilihan dalam rangka mencapai hasil perundang-undangan pidana (in casu Undang-Undang RI No. 13 Tahun 2006) yang paling baik dengan memenuhi syarat keadilan dan daya guna. 170 Sebagaimana dikemukakan A. Mulder 171 secara rinci tentang ruang lingkup politik hukum pidana yang menurutnya bahwa politik hukum pidana adalah garis kebijakan untuk menentukan : (a) seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu dilakukan perubahan atau diperbaharui; (b) apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya kejahatan; (c) cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan. Penerapan konsep protection of cooperating person hendaknya sungguhsungguh memperhatikan dan mempertimbangkan kriteria atau acuan dalam hal apakah dan bagaimana konsep ini diberlakukan. Kriteria atau acuan itu dalam penerapan konsep ini misalnya dilakukan dalam hal peranan tersangka atau terdakwa 170
Mahmud Mulyadi, Membangun Paradigma Fhilosofis Tujuan Pemidanaan Indonesia, Materi Perkuliahan Pembaharuan Hukum Pidana Program S2 Ilmu Hukum SPS USU T.A 2007/2008, ha12 171 Ibid, hal 2-3
Universitas Sumatera Utara
tersebut tidak begitu penting dalam suatu tindak pidana, tersangka atau terdakwa mengakui terus terang perbuatannya atau menceritakan kronologis perbuatan pidana dan siapa saja pelaku yang terlibat, atau tersangka atau terdakwa mengembalikan uang kerugian negara dalam perkara tindak pidana korupsi. Acuan ini dimaksudkan agar nantinya penerapan konsep ini dalam suatu kasus yang modus operandi dan akibat yang ditimbulkan hampir sama tidak menimpulkan disparitas hukuman yang nantinya dijatuhkan oleh majelis hakim kepada pelaku kejahatan tersebut.
F. Keterangan Saksi Sebagai Salah Satu Alat Bukti 1. Sistem Pembuktian Menurut KUHAP Masalah hukum adalah masalah pembuktian di pengadilan. Oleh karena itu, peran dari pembuktian dalam suatu proses hokum di pengadilan sangatlah penting. Banyak riwayat, cerita ataupun sejarah hokum yang menunjukkan kepada kita betapa karena salah dalam menilai pembuktian, seperti karena saksi berbohong maka pihak yang sebenrnya tidak bersalah harus meringkuk di dalam penjara karena dinyatakan bersalah oleh hakim. Sebaliknya, banyak juga karena salah dalam menilai alat bukti atau tidak cukup kuat alat bukti, orang yang sebenarnya telah melakukan kejahatan, dapat diputuskan bebas oleh pengadilan. Kisah-kisah peradilan sesat seperti itu, selalu saja terjadi dan akan terus terjadi karena keterbatasan hakim, jaksa, advokat, hukum utamanya hukum acara dan hukum pembuktian. Guna menghindari atau setidak-
Universitas Sumatera Utara
tidaknya meminimalkan putusan-putusan pengadilan yang tersesat tersebut, kecermatan dalam menilai alat bukti dipengadilan sangat diharapkan in casu kasus pidana. Sebelum membahas lebih lanjut tentang berbagai seluk-beluk mengenai teori hokum pembuktian, ada baiknya terlebih dahulu kita melihat apa sebenarnya yang dimaksud dengan hokum pembuktian itu. Hukum pembuktian adalah seperangkat kaidah hukum yng mengatur tentang pembuktian. 172 . Selanjutnya menurut beliau, yang dimaksud dengan pembuktian dalam ilmu hukum adalah sutu proses, baik dalam acara perdata, acara pidana, maupun acra-acara lainnya, dimana dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah, dilakukan tindakan dengan prosedur khusus, untuk mengetahui apakah suatu fakta atau pernyataan, khususnya fakta atau yang dipersengketakan di pengadilan, yang diajukan dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam proses pengadilan itu benar atau tidak seperti yang dinyatakan itu. 173 Hukum pembuktian mengacu kepada alat bukti yang sah dimana masing-masing dalam hukum acara menempatkan prioritas nilai kekuatan pembuktian terhadap alat bukti. Sebagaimana telah disebutkan di atas, pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan. Pembuktian adalah ketentuanketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan 172
Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata), bandung : PT Citra Aditya bakti 2006, hal 1 173 Ibid, hal 2
Universitas Sumatera Utara
undang-undangyang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan. Persidangan pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan kesalahan terdakwa. 174 Arti pembuktian ditinjau dari segi hukum acara pidana antara lain : a. Bahwa proses persidangan di pengadilan adalam dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran. Hakim, penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum, semua terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan undang-undang. Tidak boleh leluasa bertindak dengan caranya sendiri dalam menilai pembuktian. Dalam mempergunakan alat bukti, tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Terdakwa tidak bisa leluasa mempertahankan sesuatu yang dianggapnya benar di luar ketentuan yang telah digariskan undangundang. Terutama bagi majelis hakim, harus benar-benar sadar dan cermat menilai dan mempertimbangkan kekuatan pembuktian yang ditemukan selama pemeriksaan persidangan. Jika majelis hakim hendak meletakkan kebenaran yang ditemukan dalam keputusan yang akan dijatuhkan, kebenaran itu harus diuji dengan alat bukti, dengan cara dan dengan kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti yang ditemukan.
174
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali), Jakarta : Sinar Grafika, 2002, hal 252
Universitas Sumatera Utara
b.Majelis Hakim dalam mencari dan meletakkan kebenaran yang akan dijatuhkan dalam putusan harus berdasarkan alat-alat bukti yang telah ditentukan undangundang secara limitatif, sebagaimana yang disebut dalam pasal 184 KUHAP. Cara mempergunakan dan menilai kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti, dilakukan dalam batas-batas yang dibenarkan undang-undang, agar dalam mewujudkan kebenaran yang hendak dijatuhkan, majelis hakim terhindar dari pengorbanan kebenaran yang harus dibenarkan. Maksudnya agar jangan sampai kebenaran yang diwujudkan dalam putusan berdasar hasil perolehan dan penjbaran yang keluar dari garis yang dibenarkan system pembuktian, yakni tidak berbau dan diwarnai oleh perasaan dan pendapat subjektif hakim. Ditinjau dari segi hukum acara pidana sebagaimana yang ditentukan dalam KUHAP, telah diatur beberapa pedoman dan penggarisan : -
Penuntut Umum bertindak sebagai aparat yang diberi wewenang untuk mengajukan segala daya upaya membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.
-
Terdakwa atau penasehat hukum (advokat) mempunyai hak untuk melumpuhkan pembuktian yng diajukan jaksa penuntut umum sesuai dengan cara-cara yang dibenarkan undang-undang, berupa sangkalan atau bantahan yang beralasan, dengan saksi yang meringankan atau saksi a decharge maupun dengan alibi.
-
Pembuktian ini juga bisa berarti suatu penegasan bahwa ketentuan tindak pidana lain yang harus dijatuhkan kepada terdakwa. Maksudnya, surat dakwaan penuntut umum bersifat alternative, dan dari hasil kenyataan pembuktian yang diperoleh
Universitas Sumatera Utara
dalam persidangan pengadilan, kesalahan yang terbukti adalah dakwaan pengganti. Berarti apa yang didakwakan pada dakwaan primair tidak sesuai dengan kenyataan pembuktian. Dalam hal seperti ini, arti dan fungsi pembuktian merupakan penegasan tentang tindak pidana yang dilakukan terdakwa serta sekaligus membebaskan dirinya dari dakwaan yang tidak terbukti dan menghukumnya berdasar dakwaan tindak pidana yang telah terbukti. Mencermati uraian diatas ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam masalah pembuktian yaitu : 1. Pengakuan tidak melenyapkan kewajiban pembuktian Proses pemeriksaan persidangan pengadilan dalam perkara perdata telah menggariskan prinsip pembuktian diperlukan sepanjang terhadap apa yang dibantah secara tegas dan apa yang dibantah oleh tergugat dengan sendirinya dianggap telah terbukti kebenarannya. Dalam perkara perdata, posita yang diakui dan dibenarkan tergugat, dianggap telah terbukti, karena itu tidak perlu lagi dibuktikan oleh penggugat. Apakah prinsip pembuktian yang demikian dapat diterapkan dalam pemeriksaan perkara pidana ? Tidak. Penerapan pembuktian perkara pidana yang diatur dalam hukum acara pidana, pemeriksaan pembuktian selamanya tetap diperlukan sekalipun terdakwa mengakui tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Seandainya terdakwa mengakui kesalahan yang didakwakan kepadanya, penuntut umum dan persidangan tetap berkewajiban membuktikan kesalahan terdakwa dengan alat bukti yang lain. Pengakuan bersalah (guilty) dari terdakwa, sama sekali tidak melenyapkan kewajiban
Universitas Sumatera Utara
penuntut umum dan persidangan untuk menambah dan menyempurnakan pengakuan itu dengan alat bukti yang lain. Baik berupa alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli, atau surat maupun dengan alat bukti petunjuk. Hal tersebut sesuai dengan penegasan yang dirumuskan dalam pasal 189 Ayat (4) KUHAP “Keterangan terdakwa saja atau pengakuan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yng didakwakan kepadanya melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.” Rumusan pasal 189 Ayat (4) KUHAP tersebut, mempunyai makna, pengakuan menurut KUHAP, bukan merupakan alat bukti yng mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna atau bukan volledig bewijs kracht. Juga tidak memiliki kekuatan pembuktian yang menentukan atau bukan beslissende bewijs kracht. Oleh karena pengakuan atau keterangan terdakwa bukan alat bukti yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan, penuntut umum dan persidangan tetap mempunyai kewajiban berdaya upaya membuktikan kesalahan terdakwa dengan alat bukti yang lain. Proses perkara pidana, kebenaran yang hendak dicari dan ditemukan, kebenaran yang harus ditemukan dan diwujudkan adalah “kebenaran sejati atau matriil
waarheid atau ultimate truth atau disebut juga absolute truth. Oleh
karena itu, pengakuan atau keterangan terdakwa belum dianggap sebagai perwujudan kebenaran sejati tanpa dikuatkan dengan alat bukti lain.
Universitas Sumatera Utara
2. Hal yang secara umum diketahui tidak perlu dibuktikan. Pasal 184 Ayat (2) KUHAP berbunyi : “hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.” Bunyi rumusan pasal 184 Ayat (2) KUHAP ini selalu disebut dengan istilah notoire feiten notorius (generally known) yang berarti setiap hal yang sudah umum diketahui, tidak perlu lagi dibuktikan. Pengertian hal yang secara umum diketahui ditinjau dari segi hukum, tiada lain daripada perihal atau keadaan atau omstandigheiden atau circumstance, yakni hal ikhwal atau peristiwa yang diketahui umum bahwa hl ikhwal atau peristiwa itu memang sudah demikian hal yang sebenarnya atau sudah semestinya demikian halnya. Arti lain dapat juga berupa perihal kenyataan dan pengalaman yang akan selamanya dan selalu akan mengakibatkan “resultan” atau kesimpulan yng demikian yaitu kesimpulan yang didasarkan pengalaman umum ataupun berdasar pengalaman hakim sendiri bahwa setiap peristiwa dan keadaan yang seperti itu senantiasa menimbulkan akibat yang pasti demikian, misalnya : api panas, adalah suatu keadaan yang secara umum diketahui oleh setiap orang dan lazimnya, umum sudah mengetahui, takaran minuman keras tertentu dapat memabukkan. Jika terjadi suatu peristiwa dimana seseorang meminum minuman keras dalam takaran tertentu, resultannya peminum akan mabuk. Dalam hal-hal seperti ini persidangan pengadilan tidak perlu lagi membuktikan karena keadaan itu dianggap merupakan hal yang secara umum sudah diketahui.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan pasal 184 Ayat (2) KUHAP dalam penerapan notoire feiten : -
Majelis hakim “dapat” menarik dan mengambilnya sebagai suatu “kenyataan” yang dapat dijadikan sebagai “fakta” tanpa membuktikannya lagi.
-
Kenyataan yang diambil hakim dari notoire feiten, “tidak bisa berdiri sendiri” membuktikan kesalahan terdakwa. Tanpa dikuatkan alat bukti yang lain, kenyataan yang ditarik dan diambil hakim dari notoire feiten “tidak cukup” membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Hal yang secara umum sudah diketahui hanyalah merupakan penilaian terhadap sesuatu pengalaman dan kenyataan tertentu saja. Bukan sesuatu yng dapat membuktikan kesalahan terdakwa secara menyeluruh. Sistem pembuktian yang dianut dalam KUHAP (Undang-Undang RI Nomor 8
Tahun 1981 tentang KUHAP) dapat dibaca dari bunyi pasal 183 KUHAP. Pasal 183 KUHAP berbunyi : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Berdasarkan bunyi pasal 183 KUHAP sistem pembuktian dalam hukum acara pidana menganut sistem pembuktian undang-undang secara negatif. Penekanan system pembuktian menurut Pasal 183 KUHAP, yakni pada syarat pembuktian menurut cara dan alat bukti yang sah, Hal ini dapat dibaca dalam kalimat : ketentuan pembuktian yang memadai untuk menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa “sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.” Ketentuan Pasal 183 KUHAP
Universitas Sumatera Utara
mengatur, untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa, harus : -
kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya “dua alat bukti yang sah.”
-
Dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim “memperoleh keyakinan” bahwa tindak pidana benr-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Pasal 183 KUHAP ini sangat berhubungan erat dengan pasal 184 Ayat (1)
KUHAP yang menyebutkan secara rinci atau limitatif alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yaitu : 1. keterangan saksi ; 2. keterangan ahli ; 3. surat ; 4. petunjuk dan 5. keterangan terdakwa. Ketentuan pasal 184 Ayat (1) KUHAP menentukan lima jenis alat bukti yang sah dan diluar ini, tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah. Perkembangan teknologi dan informatika memiliki korelasi yang kuat dengan modus operandi kejahatan (kualitas kejahatan) terutama tindak pidana yang termasuk extra ordinary crime. Pasal 29 Undang-Undang RI No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Traffiking) menyebutkan, alat bukti selain
Universitas Sumatera Utara
sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dapat pula berupa : 175 a. informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan b. data, rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan atau di dengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas atau yang terekam secar elektronik, termasuk tidak terbatas, atau pada : 1. tulisan, suara atau gambar ; 2. peta, rancangan, foto atau sejenisnya ; 3. huruf, tanda, angka, symbol atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya. Jelasnya, untuk membuktikan kesalahan terdakwa dalam system pembuktian yang dianut dalam KUHAP harus merupakan : a. penjumlahan dari sekurang-kurangnya seorang saksi ditambah dengan seorang ahli atau surat maupun petunjuk, dengan ketentuan penjumlahan kedua alat bukti tersebut harus saling bersesuaian, saling menguatkan dan tidak saling bertentangan antara satu dengan yang lain ; b. atau dapat juga, penjumlahan dua alat bukti itu berupa keterangan dua orang saksi yang saling bersesuaian dan saling menguatkan, maupun penggabungan antara keterangan seorang saksi
dengan keterangan terdakwa asal keterangan saksi
dengan keterangan terdakwa jelas terdapat saling persesuaian.
175
Undang-Undang RI No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007), hal 12
Universitas Sumatera Utara
2. Keterangan Saksi dan Kekuatan Pembuktian Menurut Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. 176
Tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi. Sekurang-kurangnya di samping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi. 177 Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan pembuktian atau “degree of evidence”, keterangan saksi agar keterangan saksi atau kesaksian memppunyai nilai serta kekauatan pembuktian, perlu diperhatikan beberapa pokok ketentuan yang harus dipenuhi oleh seorang saksi, artinya : agar keterangan seorang saksi dapat dianggap sah sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian harus dipenuhi aturan ketentuan sebagai berikut : 1. Harus mengucapkan sumpah atau janji Masalah ini diatur dalam pasal 160 Ayat (3) KUHAP yang menegaskan, sebelum saksi memberi keterangan : wajib mengucapkan sumpah atau janji dan sumpah atau janji terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan :
176 177
M. Yahya Harahap, op.cit, hal 265 Ibid, hal 265
Universitas Sumatera Utara
-
dilakukan menurut cara agamanya masing-masing
-
lafal sumpah atau janji berisi bahwa saksi akan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan tiada lain dari pada yang sebenarnya. Segala hal atau apa yang diterangkan/dinyatakan saksi pada saat pemeriksaan
ditingkat penyidikan dengan cara disumpah nantinya juga akan dilakukan dengan cara disumpah pada saat akan memberikan keterangannya didepan persidangan. Pada prakteknya, keterangan yang diberikan seorang saksi dengan cara disumpah terlebih dahulu sangat kuat nilai pembuktiannya. Pasal 160 Ayat (3) KUHAP mewajibkan sumpah atau janji diucapkan sebelum saksi memberi keterangan. Akan tetapi pasal 160 Ayat (4) KUHAP memberi kemungkinan untuk mengucapkan sumpah atau janji setelah saksi memberikan keterangan. Dengan demikian, saat pengucapan sumpah atau janji: - pada prinsipnya wajib diucapkan sebelum saksi memberi keterangan, - tapi dalam hal yang dianggap perlu oleh pengadilan, sumpah atau janji dapat diucapkan sesudah memberi keterangan. Saksi yang menolak mengucapkan sumpah atau janji, sudah diterangkan yakni terhadap saksi yang menolak untuk mengucapkan sumpah atau janji tanpa alas an yang sah: - dapat dikenakan sandera, - penyanderaan dilakukan berdasar penetapan hakim ketua sidang, - penyanderaan dalam hal seperti ini paling lama empat belas hari (Pasal 161).
Universitas Sumatera Utara
2. Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti. Tidak semua keterangan saksi yang mempunyai nilai sebagai alat bukti. Keterangan saksi yang mempunyai nilai ialah keterangan yang sesuai dengan apa yang dijelaskan Pasal 1 angka 27 KUHP: - yang saksi lihat sendiri, - saksi dengar sendiri, - dan saksi alami sendiri, - serta menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Apa yang saksi sendiri, dengar sendiri, alami sendiri sangat penting untuk menilai kekuatan pembuktian keterangan saksi dan hal ini yang menjadi dasar pengetahuannya dalam menyampaikan kronologis terjadinya suatu peristiwa pidana dan
mengetahui
pelakunya.
Dasar
pengetahuan dari seorang saksi yang
memmberikan keterangannya didepan persidangan sering kali menjadi dasar perdebatan antara Penuntut Umum dengan Penasehat Hukum (Advokat) sehingga menurut penulis, melihat latar belakang atau dasar pengetahuan seorang saksi dalam memberikan keterangan didepan persidangan, pembuat undang-undang (legislasi) menempatkan keterangan saksi pada posisi utama dalam hirarki alat bukti dalam KUHAP. Penegasan bunyi Pasal 1 angka 27 dihubungkan dengan bunyi penjelasan Pasal 185 ayat (1), dapat ditarik kesimpulan: a. setiap keterangan saksi diluar apa yang didengarnya sendiri dalam peristiwa pidana yang terjadi atau di luar yang dilihat atau dialaminya dalam peristiwa
Universitas Sumatera Utara
pidana yang terjadi, keterangan yang diberikan di luar pendengaran, penglihatan, atau pengalaman sendiri mengenai suatu peristiwa pidana yang terjadi, tidak dapat dijadikan dan dinilai sebagai alat bukti. Keterangan semacam itu tidak mempunyai kekuatan nilai pembuktian, b. testimonium de audiut atau keterangan saksi yang ia peroleh sebagai hasil pendengaran dari orang lain, tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti. Keterangan saksi di sidang pengadilan berupa keterangan ulangan dari apa yang didengarnya dari orang lain, tidak dapat dianggap sebagai alat bukti c. pendapat atau rekaan yang saksi peroleh dari hasil pemikiran, bukan merupakan keterangan saksi. Penegasan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (5). Oleh karena itu, setiap keterangan saksi yang bersifat pendapat atau hasil pemikiran saksi, harus dikesampingkan dari pembuktian dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Keterangan yang bersifat dan berwarna pendapat dan pemikiran pribadi saksi, tidak dapat dinilai sebagai alat bukti. Hal seperti ini misalnya dapat dilihat dalam putusan Makamah Agung tanggal 15 Maret 1984 Reg. No. 20 PK/Pid/1983. Putusan MA ini ditegaskan bahwa: orang tua terdakwa, polisi, dan jaksa hanya menduga, tapi dugaan itu semua hanya merupakan kesimpulan sendiri-sendiri yang tidak didasarkan pada alat-alat bukti yang sah. 3. Keterangan saksi harus diberikan disidang pengadilan. Keterangan saksi dapat dinilai sebagai alat bukti, keterangan itu harus yang dinyatakan di sidang pengadilan (Pasal 185 ayat 1). Keterangan saksi yang berisi penjelasan tentang apa yang didengarnya sendiri, dilihatnya sendiri atau
Universitas Sumatera Utara
dialaminya sendiri mengenai suatu peristiwa pidana, baru dapat bernilai sebagai alat bukti apabila keterangan itu saksi nyatakan di sidang pengadilan. Keterangan yang dinyatakan di luar sidang pengadilan (outside the court) bukan alat bukti, tidak dapat dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. 4. Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup. Keterangan saksi agar dapat dianggap cukup membuktikan kesalahan seorang terdakwa harus dipenuhi paling sedikit atau sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti. Keterangan seorang saksi saja, baru bernilai sebagai satu alat bukti yang harus ditambah dan dicukupi dengan alat bukti lain. Jadi, bertitik tolak dari ketentuan Pasal 185 ayat (2), keterangan seorang saksi saja belum dapat dianggap sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa, atau unus tetis nullus testis.
Jika alat bukti yang dikemukakan penuntut umum hanya
terdiri dari seorang saksi saja tanpa ditambah dengan keterangan saksi yang lain atau alat bukti yang lain kesaksian tunggal yang seperti ini tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa sehubungan dengan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Walaupun seandainya keterangan saksi tunggal itu sedemikian rupa jelasnya, tetapi terdakwa tetap mungkir serta kesaksiaan tunggal itu tidak dicukupi dengan alat bukti lain, kesaksiaan ini harus dinyatakan tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian atas alasan unus testis nullus testis. Tidak demikian halnya jika terdakwa memberikan keterangan yang mengakui kesalahan yang didakwakan kepadanya. Kondisi seperti ini seorang saksi sudah cukup membuktikan kesalahan terdakwa, karena
Universitas Sumatera Utara
disamping keterangan saksi tunggal itu, telah dicukupi dengan alat bukti keterangan/pengakuan terdakwa. Telah terpenuhinya ketentuan minimum pembuktian dan the degree of evidence, yakni keterangan saksi ditambah dengan alat bukti keterangan terdakwa. Memperhatikan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan, bahwa persyaratan yang dikehendaki oleh Pasal 185 ayat (2) adalah: - untuk dapat membuktikan kesalahan terdakwa paling sedikit harus didukung oleh dua orang saksi - atau kalau saksi yang ada hanya terdiri dari seorang saja maka kesaksian tunggal itu harus dicukupi atau ditambah dengan salah satu alat bukti yang lain. Keterangan saksi tunggal mempunyai nilai pembuktian yang dapat dipergunakan hakim membuktikan kesalahan terdakwa, harus dilengkapi atau dicukupi dengan salah satu alat bukti yang lain baik berupa keterangan ahli, surat petunjuk maupun dengan keterangan/pengakuan terdakwa. Akan tetapi, seperti apa yang dijelaskan terdahulu, ketentuan ini hanya berlaku dalam proses pemeriksaan perkara acara biasa. Dalam pemeriksaan perkara acara cepat, keyakinan hakim cukup didukung oleh satu alat bukti yang sah, seperti yang ditegaskan dalam penjelasan pasal 184. Pemeriksaan perkara dengan acara cepat, keterangan seorang saksi saja sudah cukup mempunyai nilai pembuktian. Bagaimana biasanya praktek peradilan menghadapi kasus seperti ini? Apabila hakim menghadapi masalah seperti ini biasanya hakim ataupun penuntut umum mencoba mencukupi keterangan saksi tunggal dengan alat bukti petunjuk. Petunjuk mana dapat ditarik atau digali dan
Universitas Sumatera Utara
dijabarkan hakim atau penuntut umum dari keterangan terdakwa atau dari kejadian maupun dari keadaan yang ada persesuaiannya antara yang satu dengan yang lain. Akan tetapi, tidak mudah mencari suatu petunjuk sebagai alat bukti, karena agar petunjuk dapat dinilai sebagai alat bukti, karena agar petunjuk dapat dinilai sebagai alat bukti, harus terdapat persesuaian antara perbuatan, kejadian atau keadaan dengan peristiwa pidana. 5. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri. Sering terdapat kekeliruan pendapat sementara orang yang beranggapan, dengan adanya beberapa saksi dianggap keterangan saksi yang banyak itu telah cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Pendapat yang demikian keliru, karena sekalipun saksi yang dihadirkan dan didengar keterangannya disidang pengadilan secara kuantitatif telah melampau batas minimum pembuktian, belum tentu keterangan mereka secara kualitatif memadai sebagai alat bukti yang sah membuktikan kesalahan terdakwa. Tidak ada gunanya menghadirkan saksi yang banyak, jika secara kualitatif keterangan mereka saling berdiri sendiri tanpa adanya saling hubungan antara yang satu dengan yang lain; yang dapat mewujudkan suatu kebenaran akan adanya kejadian atau keadaan tertentu. Berapapun banyaknya saksi yang diperiksa dan didengar keterangannya disidang pengadilan, hanya pemborosan waktu jika masing-masing keterangan mereka itu berdiri sendiri tanpa hubungan antara yang satu dengan yang lain. Putusan Makamah Agung tanggal 17-4-1978, No. 28 K/Kr/1977 yang menegaskan keterangan saksi satu saja, sedang terdakwa memungkiri kejahatan yang dituduhkan kepadanya dan keteragan saksi-saksi
Universitas Sumatera Utara
lainnya tidak memberi petunjuk terhadap kejahatan yang dituduhkan, belum dapat dianggap cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Hal yang seperti inilah yang diperingatkan oleh Pasal 185 ayat (4), yang menegaskan: - keterangan beberapa saksi berdiri sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah, dengan syarat, - apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu. Ketentuan Pasal 185 ayat (4) jelaslah bagi kita, keterangan beberapa orang saksi baru dapat dinilai sebagai alat bukti serta mempunyai kekuatan pembuktian, apabila keterangan para saksi tersebut mempunyai saling hubungan serta saling menguatkan tentang kebenaran suatu keadaan atau kejadian tertentu. Keterangan beberapa orang saksi yang berdiri sendiri-sendiri antara keterangan saksi yang satu dengan yang lain, tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti. Saksi yang jumlahnya banyak tapi berdiri sendiri-sendiri, masing-masing mereka akan dikategorikan saksi tunggal yang tidak memiliki nilai kekuatan pembuktian, karena keterangan saksi tunggal harus dinyatakan tidak cukup memadai untuk pembuktian kesalahan antara yang satu dengan yang lain, mengakibatkan keterangan yang saling bertentangan itu, harus disingkirkan sebagai alat bukti, sebab ditinjau dari segi hukum, keterangan semacam itu tidak mempunyai nilai pembiktian maupun kekuatan pembuktian. Menilai kebenaran beberapa keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah, harus
terdapat
saling
berhubungan
antara
keterangan-keterangan
tersebut,
Universitas Sumatera Utara
sehingga dapat membentuk keterangan yang membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu. Namun dalam menilai dan mengkonstrusi kebenaran keterangan para saksi, Pasal 185 ayat (6) menuntut kewaspadaan hakim, untuk sungguh-sungguh memperhatikan: 1. Persesuaian antara keterangan saksi, Persesuaian harus jelas tampak penjabarannya dalam pertimbangan hakim, sedemikian rupa jelasnya diuraikan secara terperinci dan sistematis. Tidak seperti yang sering terjadi penguraian analisis persesuaian itu hanya diuraikan secara mengambang dan diskriptif.
Sering terjadi analisis persesuaian itu hanya
tertuang dalam suatu ungkapan atau kesimpulan singkat yang berbunyi : keterangan para saksi telah memperlihatkan persesuaian, oleh karena itu kesalahan terdakwa telah terbukti. Jikalau dicari persesuaian, oleh karena itu kesalahan terdakwa telah terbukti dan kalau dicari persesuian itu dalam pertimbangan, tidak dijumpai.
2. Persesuaian keterangan saksi dengan alat bukti lain, Dalam hal ini, jika yang diajukan penuntut umum dalam persidangan pengadilan terdiri dari saksi dengan alat bukti lain, baik berupa ahli, surat atau petunjuk, hakum dalam sidang maupun dalam pertimbangannya, harus meneliti dengan sungguh-sungguh saling persesuaian maupun pertentangan antara keterangan saksi itu dengan alat bukti yang lain tersebut.
Universitas Sumatera Utara
3. Alasan saksi memberi keterangan tertentu, Hakim harus mencari alasan saksi , kenapa memberikan keterangan seperti itu. Jika tidak mengetahui alasan saksi yang pasti akan memberikan gambaran yang kabur bagi hakim tentang keadaan yang diterangkan saksi misalnya saksi menerangkan bahwa ia tidak begitu pasti apakah memang benar-benar terdakwa yang ia lihat pada saat peristiwa pidana terjadi. Namun jikalau diperhatikan, baik dari raut muka, tinggi badan serta rambutnya, sangat bersesuaian betul dengan terdakwa. Contoh disini, saksi memberikan keterangan dengan suatu pernyataan keadaan yang kurang pasti. Tentu ada sebab dan alasannya mngapa saksi memberikan keterangan tentang suatu keadaan diri terdakwa yang tidak pasti. Hakim berperan menggali alasan saksi. Mungkin alasan saksi benar-benar mempunyai dasar alasan yang dapat diterima akal. umpanya, sebabnya saksi tidak berani memastikan terdakwalah yang dilihatnya sebagai pelaku tindak pidana, karena kejadian itu terjadi pada waktu malam, sehingga yang dapat dilihatnya hanya ciri-ciri pelaku saja. Sering juga terjadi sudah lama penglihatan saksi agak kabur, yang menyebabkan dia tidak dapat mengenal dengan pasti pelaku tindak pidana (Putusan Mahkamah Agung tanggal 27 juni 1982 No. 185 K/Pid/1982) Menilai kekuatan pembuktian saksi ada baiknya kembali melihat masalah yang berhubungan dengan keterangan saksi ditinjau dari sah atau tidaknya keterangan saksi sebagai alat bukti. Ditinjau dari segi ini, keterangan saksi yang diberikan dalam sidang pengadilan, dapat dikelompokkan ada dua jenis:
Universitas Sumatera Utara
1. Keterangan yang diberikan tanpa sumpah Mengenai keterangan saksi yang tidak disumpah bisa terjadi : a. Karena saksi menolak bersumpah, Kemungkinan penolakan saksi bersumpah telah diatur dalam pasal 161 KUHAP. Meskipun penolakan itu tanpa alasan yang sah dan walaupun saksi telah disandera, namun saksi tetap menolak untuk mengucapkan sumpah atau janji. Keadaan seperti ini menurut pasal 161 Ayat (2) nilai keterangan saksi yang demikian dapat menguatkan keyakinan hakim. Keterangan yang diberikan tanpa disumpah karena saksi menolak untuk mengucapkan sumpah atau janji, bukan merupakan alat bukti namun pasal 161 Ayat (2) menilai kekuatan pembuktian keterangan tersebut dapat menguatkan keyakinan hakim. Apabila pembuktian yang telah ada telah memenuhi batas minimum pembuktian. b. Keterangan yang diberikan tanpa sumpah. Keterangan yang diberikan tanpa sumpah diatur dalam pasal 161 KUHAP, yakni saksi yang telah memberikan keterangan dalam pemeriksaan penyidikan dengan tidak disumpah ternyata tidak dapat dihadirkan dalam pemeriksaan disidang pengadilan. Keterangan saksi yang terdapat dalam berita acara penyidikan dibacakan di sidang pengadilan, dalam hal ini undang-undang tidak menyebut secara tegas nilai pembuktian yang dapat ditarik dari keterangan kesaksiaan yang dibacakan di siding pengadilan. Ketentuan pasal 161 ayat (2) KUHAP dihubungkan dengan pasal 185 ayat (7) KUHAP
Universitas Sumatera Utara
nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada keterangan saksi yang dibacakan di sidang pengadilan, sekurang-kurangnya dapat dengan keterangan
saksi
yang
diberikan
di
dipersamakan
persidangan
tanpa
sumpah. Jadi, sifatnya tetap tidak merupakan alat bukti, tetapi nilai kekuatan pembuktian yang melekat padanya: - dapat dipergunakan menguatkan keyakinan hakim. - atau dapat bernilai dan dipergunakan sebagai tambahan alat bukti yang sah lainnya sepanjang keterangan saksi yang dibacakan mempunyai saling persesuaian dengan alat bukti yang sah tersebut dan alat bukti yang telah ada memenuhi batas minimum pembuktian. Keterangan saksi yang dibacakan di sidang pengadilan perlu diingatkan mengenai keterangan saksi yang dibacakan disidang dipengadilan tetapi keterangan itu dulunya pada waktu pemeriksaan penyidikan diberikan saksi dengan mengucapkan sumpah. Terhadap keterangan seperti ini tetap di nilai sebagai alat bukti yang sah. c. Karena hubungan kekeluargaan. Seorang saksi yang mempunyai pertalian keluarga tertentu dengan terdakwa tidak
dapat
memberi
keterangan
dengan
sumpah
kecuali
mereka
menghendakinya, dan hendaknya itu disetujui secara tegas oleh penuntut umum dan terdakwa. Seandainya menyetujui
mereka
KUHAP memberi
sebagai
saksi
kemungkinan
penuntut umum atau terdakwa tidak dengan disumpah, pasal 169 ayat (2) bagi
mereka
untuk
diperbolehkan
Universitas Sumatera Utara
memberikan keterangan “tanpa sumpah”. Namun di sini pun undang-undang tidak menyebut secara tegas nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada keterangan seperti ini.
Barangkali,
untuk
mengetahui
nilai
keterangan
mereka yang tergolong pada Pasal 168, harus kembali menoleh pada Pasal 161 ayat (2) Pasal 185 ayat (7) KUHAP: - keterangan mereka tidak dapat dinilai sebagai alat bukti, - tetapi dapat dipergunakan menguatkan keyakinan hakim, - atau dapat bernilai dan dipergunakan sebagai tambahan menguatkan alat bukti yang sah lainnya sepanjang keterangan tersebut mempunyai persesuaian dengan alat bukti yang sah lainnya itu, dan alat bukti yang sah itu telah memenuhi batas minimum pembuktian.
d. Saksi termasuk golongan yang disebut Pasal 171 KUHAP. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum
pernah
kawin
atau orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang baik kembali, boleh
diperiksa memberi
keterangan tanpa sumpah, di
sidang
pengadilan. Nilai keterangan mereka dinilai bukan merupakan alat bukti yang sah. Sekalipun demikian keterangan itu tidak merupakan alat bukti yang sah, penjelasan Pasal 171 KUHAP telah menentukan nilai pembuktian
yang
melekat pada keterangan itu, dapat dipakai sebagai petunjuk. Melihat beberapa faktor penyebab seorang saksi memberi keterangan tanpa sumpah, kita coba menyimpulkan sifat dan nilai kekuatan bukti yang melekat pada keterangan
Universitas Sumatera Utara
tersebut.
Titik tolak untuk mengambil kesimpulan umum dalam hal
ialah Pasal diatur
185 ayat
dalam
(7)
tanpa
mengurangi ketentuan
pasal 161 ayat (2), maupun
lain
ini yang
pasal 169 ayat (2) dan
penjelasan pasal 171 KUHAP. Bertitik tolak dari ketentuan-ketentuan tersebut, secara umum dapat kita simpulkan: a. Semua keterangan saksi yang diberikan tanpa sumpah dinilai bukan merupakan alat bukti yang sah. Walaupun keterangan yang diberikan tanpa sumpah itu saling bersesuaian dengan yang lain, sifatnya tetap bukan merupakan alat bukti. b. Tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian, Setiap keterangan tanpa sumpah, pada umumnya tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian. Sifatnya saja pun bukan alat bukti yang sah, dengan sendirinya tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian. c. Namun dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti yang sah. Sekalipun keterangan tanpa sumpah bukan merupakan alat bukti yang sah, dan juga tidak memiliki
kekuatan
pembuktian,
pada
umumnya
keterangan
itu
dapat
dipergunakan sebagai tambahan menyempurnakan kekuatan pembuktian alat bukti yang sah: - dapat menguatkan keyakinan hakim seperti yang disebut pada pasal 16 ayat (2) KUHAP, - dapat dipakai sebagai petunjuk seperti yang disebut dalam penjelasan Pasal 171 KUHAP.
Universitas Sumatera Utara
Keterangan tanpa sumpah agar dipergunakan baik sebagai tambahan alat bukti yang sah maupun untuk menguatkan keyakinan hakim atau sebagai petunjuk, harus dibarengi dengan syarat: - Harus lebih dulu telah ada alat bukti yang sah, Syarat ini sifatnya kasuistis misalnya telah ada alat bukti keterangan saksi, alat bukti keterangan ahli, alat bukti surat atau keterangan terdakwa. - Alat bukti yang sah itu telah memenuhi batas minimum pembuktian yakni telah ada sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, - Kemudian antara keterangan tanpa sumpah itu dengan alat bukti yang sah terdapat saling persesuaian, Hakim tidak terikat untuk mempergunakan keterangan tanpa sumpah, tergantung kepada pendapat penilaian hakim, dalam arti: - Hakim bebas untuk mempergunakannya. Hakim dapat mempergunakannya tapi sebaliknya dapat menyampaikannya - Hakim tidak terikat untuk menilainnya. Ia dapat menilai dan dapat dipergunakan sebagai tambahan pembuktian atau menguatkan keyakinan maupun sebagai petunjuk atau dengan kata lain, tidak ada kewajiban mesti menilanya. 2. Nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi yang disumpah. Sebenarnya bukan hanya unsur sumpah yang harus melekat pada keterangan saksi agar keterangan itu bersifat alat bukti yang sah, tetapi harus dipenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan undang-undang yakni:
Universitas Sumatera Utara
- Saksi harus mengucapakan sumpah atau janji bahwa saksi akan menerangkan yang sebenarnya dan tiada lain daripada yang sebenarnya, - Keterangan yang diberikan harus mengenai peristiwa pidana yang saksi dengar sendiri, lihat sendiri atau alami sendiri dengan menyebut secara jelas sumber pengetahuannya. Testimonium de auditu atau keterangan saksi yang berupa ulang dari cerita orang lain, tidak mempunyai nilai keterangan sebagai alat bukti. Pendapat atau rekaan yang saksi peroleh dari hasil pemikiran tidak dapat dinilai sebagai keterangan yang bernilai sebagai alat bukti, - Keterangan saksi harus dinyatakan di sidang pengadilan. Pernyataan keterangan di luar sidang pengadilan tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti yang sah, - Keterangan seorang saksi saja bukan merupakan alat bukti yang sah, karena itu harus dipenuhi batas minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Dengan demikian dapat dilihat, bukan unsur pengucapan sumpah atau janji saja yang menentukan sah atau tidaknya keterangan saksi sebagai alat bukti. Beberapa syarat yang harus melekat pada keterangan itu supaya dapat mempunyai nilai sebagai alat bukti yang sah. Seandainya syarat-syarat itu telah dipenuhi, barulah keterangan itu mempunyai nilai kekuatan pembuktian. Mengenai sampai sejauh mana kekuatan pembuktian keterangan saksi dapat diikuti penjelasan berikut.: i. Mempunyai kekuatan pembuktian bebas, Alat bukti kesaksian “tidak melekat sifat pembuktian yang sempurna” (volledig bewijskracht), dan juga tidak melekat di dalamnya sifat kekuatan pembuktian
Universitas Sumatera Utara
yang mengikat dan menentukan (beslissende bewijskracht). Tegasnya, alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas. Alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah, tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan juga tidak memiliki kekuatan pembuktian yang menentukan. atau dengan singkat dapat dikatakan alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah adalah bersifat bebas dan tidak sempurna dan tidak mementukan atau tidak mengikat. ii. Nilai kekuatan pembuktianya tergantung pada penilaian hakim. Alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang bebas yang tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan tidak menentukan, sama sekali tidak mengikat hakim. Hakim bebas untuk menilai kesempurnaan dan kebenarannya. Tergantung pada penilaian hakim untuk menganggapnya sempurna atau tidak. Tidak ada keharusan bagi hakim untuk menerima kebenaran setiap keterangan saksi. Hakim bebas menilai kekuatan atau kebenaran yang melekat pada keterangan itu, dan dapat menerima atau menyingkirkannya. Berbeda halnya jika undang-undang sendiri telah menentukan bahwa alat bukti kesaksian mempunyai sifat kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan. Jika seandainya undang-undang menentukan demikian, hakim tidak boleh menilai kekuatan pembukiannya, hakim secara bulat harus terikat untuk mempergunakannya dalam putusan, tidak lagi berwenang untuk menilainya secara bebas. Patut diingat, hakim dalam mempergunakan kebebasan menilai kekuatan
Universitas Sumatera Utara
pembuktian kesaksian, harus benar-benar bertanggung jawab. Jangan sampai kebebasan penilaian itu menjurus kepada kesewenangan-wenangan tanpa moralitas dan kejujuran yang tinggi. Kebebasan penilaian itu tidak diawasi oleh rasa tanggung jawab, kebebasan itu akan berbalik menjadi ironi dan sekaligus akan bersifat tragis. Kebenaran penilaian tanpa diawasi rasa tanggung jawab yang tinggi, bisa berakibat orang yang jahat akan mengenyam keuntungan. Orang yang tak bersalah akan sengsara sebagai akibat kesewenangan dan kecongkakan dalam mempergunakan kebebasan tersebut. Jikalau dalam satu kasus telah benar-benar cukup bukti berdasar keterangan saksi, kebebasan hakim menilai kebenaran dan keterangan saksi-saksi, harus berpedoman pada tujuan mewujudkan kebenaran sejati. Perwujudan kebenaran sejati itulah tanggung jawab moral kebebasan penilaian diletakkan hakim. Peletakan tanggung jawab moral kebebasan penilaian hakim dititiksentralkan pada tujuan perwujudan kebenaran sejati, akan terhindar dari sifat kecongkakan dan kesewenangan. Kekuatan pembuktian keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah menurut KUHAP : 178 1. Tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat, hakim mempunyai kebebasan untuk menilainya, 2. Alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang bebas, dapat dilumpuhkan terdakwa dengan alat bukti yang lain berupa saksi adecharge maupun dengan keterangan ahli atau alibi. 178
Ibid, hal 274
Universitas Sumatera Utara
Pengungkap fakta (whistleblower) baik itu pelapor ataupun saksi sebagai orang yang melihat sendiri, mendengar sendiri atau mengalami sendiri berdasarkan dalam teknik beracara, dimungkinkan untuk hadir dan tidak hadir di depan persidangan. KUHAP, Undang-Undang RI No. 25 Tahun 2003 maupun UndangUndang RI No 13 Tahun 2006 dapat memungkinkan pelapor atau saksi untuk tidak hadir dipersidangan. Dalam hal tidak hadir di persidangan sebagai pengecualian pasal 185 ayat (1) KUHAP adalah dengan maksud untuk merahasiakan identitas si pelapor, dimana pelapor tersebut kemudian dibuatkan Berita Acara Pemeriksaan sebagai Saksi dengan terlebih dahulu disumpah (dibawah sumpah). Pengambilan Berita Acara Pemeriksaan pelapor tersebut sebagai saksi (saksi pelapor) dengan dibawah sumpah juga dapat dimaksudkan untuk merahasiakan identitas si pelapor yang menjadi saksi dengan tujuan menghindari ancaman, tekanan atau intimidasi sehingga mengurangi keleluasaan pelapor atau saksi tersebut dalam mengungkapkan fakta yang sebenarnya terjadi. Selanjutnya atas ijin majelis hakim penuntut umum dapat saja membacakan Berita Acara Pemeriksaan Saksi (pelapor) tersebut di depan persidangan yang nilai kekuatan pembuktiannya sama dengan keterangan saksi dibawah sumpah lainnya.
Universitas Sumatera Utara