BAB II STUDI LITERATUR
Bab ini akan memaparkan teori-teori ilmiah dan fakta-fakta yang berkaitan dengan subjek bahasan penelitian. Hasil-hasil studi yang terdahulu juga disajikan, sebagai informasi penunjang yang melengkapi wacana dalam studi literatur ini.
II.1. Kota Bandung Nama “Bandung”, menurut A. Sobana Hardjasaputra (2004) sebagaimana disebutkan dalam RPJPD Bandung 2005-2025, memiliki tiga arti, yaitu; pertama, indentik dengan kata “banding” yang berarti berdampingan; kedua, Bandung berarti besar dan luas yang berasal dari kata Bandeng, dari Bahasa Sunda “Ngabandeng” yaitu sebutan untuk genangan air yang luas dan tampak tenang namun berkesan menyeramkan; dan ketiga, berasal dari kata Bendung, yakni berkaitan dengan peristiwa terbendungnya aliran S. Citarum Purba di daerah Padalarang oleh lahar Gunung Tangkuban Perahu yang meletus pada masa Kolosen yang mengakibatkan terbentuknya Danau Bandung. Kota Bandung telah dikenal dengan berbagai julukan, dari Ibukota Priangan, Kota Kembang, hingga Parijs van Java. Istilah Priangan berasal dari bahasa Sunda yang berarti tempat kediaman para Hyang, atau dewa-dewi yang diyakini oleh masyarakat Tatar Sunda pada jaman dahulu. Kota ini juga disebut sebagai Kota
16
17 Kembang karena nuansa lingkungannya yang asri, kemudian pada masa penjajahan Belanda, Bandung dikenal sebagai „Parijs van Java‟ karena nuansa kolonialnya yang pekat (PemKot Bandung, dalam RPJPD 2005-2015). Pembahasan mengenai Kota Bandung yang disajikan pada sub bab ini difokuskan pada aspek-aspek yang berpengaruh terhadap kondisi identitas kota; ciri geografis dan adminstratif, latar belakang sejarah, kondisi sosial ekonomi, serta budaya dan pariwisata.
II.1.1. Ciri Geografis dan Administratif Secara geografis, Kota Bandung terletak pada koordinat 6o54‟ Lintang Selatan dan 107 o36‟ Bujur Timur, yaitu pada ketinggian 768 meter di atas permukaan laut (mdpl), dengan titik tertinggi 1.055 mdpl pada bagian utara kota, dan titik terendah 675 mdpl di bagian selatan kota. Bandung mengalami iklim tropis yang dipengaruhi iklim pegunungan yang sejuk dan lembab, dengan suhu udara rata-rata adalah 23,5o C dan kelembaban rata-rata 76%. Musim hujan umumnya berlangsung pada bulan Oktober hingga Maret, dan musim kemarau pada bulan April hingga September, dengan curah hujan rata-rata adalah 1.182,6 mm per tahun dengan hari hujan rata-rata 21,3 hari per bulan (Patria, 2014, p. 2). Letak geografis Bandung yang berada di dataran tinggi dan dikelilingi oleh pegunungan tersebut membuat kota ini memiliki pemandangan yang indah dan udara yang sejuk menyegarkan. Kondisi geografis tersebut membentuk ciri khas Kota Bandung yang dikenal dengan udaranya yang dingin.
18 Secara administratif Kota Bandung berperan sebagai ibu kota Provinsi Jawa Barat, dengan luas wilayah seluas 167,67 km² dan jumlah populasi melebihi 2,7 juta jiwa (BPS Jawa Barat, 2014). Dengan tingkat kepadatan rata-rata 164 jiwa/km², Bandung merupakan salah satu dari 10 kota terpadat di Indonesia, dan merupakan kota terbesar ketiga setelah Jakarta dan Surabaya. Saat ini pemerintahan kota dipimpin oleh Ridwan Kamil selaku Walikota Bandung periode 2013-2018. Kepemimpinan beliau telah membawa banyak perubahan terhadap budaya organisasi dan kondisi kota secara keseluruhan. Hadirnya tokoh yang membawa membaharuan ini disambut hangat oleh warga. Hal ini dapat dilihat dari tingginya antusiasme masyarakat dalam mendukung dan terlibat dalam program-program pemerintah kota.
Tabel 2. Data Sensus Penduduk Kota Bandung 2010-2015
Tahun
Jumlah Penduduk (Jiwa)
Jumlah Pria (Jiwa)
Jumlah Wanita (Jiwa)
Pertumbuhan Penduduk (%)
2010
2.394. 873
1.249.333
1.212.598
1
2011
2.437.874
1.237.170
1.200.704
2
2012
2.461.931
1.215.348
1.179.525
-1
2013
2.458.503
1.230.574
1.184.130
1
2014
2.748.733
1.404.918
1.343.815
3
Sumber: Badan Pusat Statistik Jawa Barat (2014)
19
II.1.2. Latar Belakang Sejarah Dibangun dari wilayah hutan lebat yang merupakan tempat buangan orangorang terhukum, Bandung memiliki latar belakang sejarah yang cukup menarik. Wilayah yang awalnya tidak pernah dilirik oleh Pemerintah Kolonial tersebut, pada tahun 1641 dirubah menjadi kota peristirahatan kaum elit Belanda. Oleh karena itu, Bandung dikembangkan dengan konsep tata kota dan bangunan Eropa. Latar belakang sejarah ini turut membentuk identitas kota Bandung, dengan wajah kotanya yang kental dengan bangunan-bangunan kolonial. Berikut adalah kejadian-kejadian penting dalam perjalanan sejarah Bandung:
1488 – Bandung didirikan sebagai bagian dari Kerajaan Padjajaran.
1799 – VOC mengalami kebangkrutan sehingga wilayah kekuasaannya di Nusantara diambilalih oleh Pemerintah Belanda. Saat itu Bandung dipimpin oleh Bupati R. A. Wiranatakusumah II.
1808 – Belanda mengangkat Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jenderal di Nusantara setelah ditinggalkan VOC.
1809 – Bupati memerintahkan pemindahan ibu kota dari Karapyak ke daerah pinggiran Sungai Cikapundung (alun-alun sekarang) yang waktu itu masih hutan tapi sudah ada permukiman di sebelah utara.
1810 – Daendels menancapkan tongkat di pinggir sungai Cikapundung yang berseberangan dengan alun-alun sekarang. “Zorg, dat als ik terug kom hier een stad is gebouwd!” (“Usahakan, bila aku datang kembali ke sini, sebuah
20 kota telah dibangun!”). Sekarang tempat itu menjadi titik pusat atau KM 0 kota Bandung.
25 Mei 1810 – Daendels meminta bupati Bandung dan Parakanmuncang memindahkan ibukota ke wilayah tersebut.
25 September 1810 – Daendels mengeluarkan surat keputusan pindahnya ibukota Bandung dan sekaligus pengangkatan Raden Suria sebagai Patih Parakanmuncang. Sejak peristiwa tersebut 25 September dijadikan sebagai hari jadi kota Bandung dan R.A. Wiranatakusumah sebagai the founding father. Sekarang nama tersebut diabadikan menggantikan jalan Cipaganti, di mana wilayah ini menjadi rumah tinggal bupati sewaktu ibukota berpindah ke alun-alun sekarang.
24 Maret 1946 – Pembumi hangusan Bandung oleh para pejuang kemerdekaan yang dikenal dengan sebutan „Bandung Lautan Api„ dan diabadikan dalam lagu “Halo-Halo Bandung“.
1955 – Konferensi Asia-Afrika diadakan di sini.
2005 – KTT Asia-Afrika 2005
II.1.3. Kondisi Sosial Ekonomi Dalam 15 tahun terakhir, Bandung telah berkembang menjadi sebuah kota metropolitan yang telah banyak mencapai kemajuan, walaupun demikian Bandung tetap harus menghadapi berbagai tantangan akibat pertumbuhannya, sebagaimana kota-kota besar lain di dunia. Pada awalnya, Bandung dan sekitarnya merupakan
21 kawasan pertanian, hingga terjadinya lonjakan arus urbanisasi antara tahun 1961 sampai 1970-an. Hal ini kemudian memicu perkembangan ekonomi yang mendorong terjadinya transformasi kota secara keseluruhan. Di akhir dekade 1970, usaha-usaha kecil berbasis rumah tangga banyak bermunculan, disertai dengan dukungan berbagai prasarana dan sarana penunjang pertumbuhan ekonomi tersebut, Bandung kemudian tumbuh sebagai salah satu tujuan urbanisasi utama di Indonesia (Patria, 2014).
Tabel 3. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kumulatif Bandung 2009-2013 Pertumbuhan Ekonomi 2009 8,34% 2010 8,45% 2011 8,73% 2012 8,98% 2013 8,87% Sumber: BAPPEDA Bandung (2013) Tahun
Pemberitaan-pemberitaan di media (Republika Online, 2015; RMOL Jabar, 2015; Inspirasi Bangsa, 2015) menyatakan Bandung sebagai kota dengan kinerja pertumbuhan ekonomi terbaik di Indonesia dengan rata-rata tingkat pertumbuhan mencapai 8,5% per tahun. Laporan Kinerja Perbankan Kota Bandung yang diterbitkan oleh Bank Indonesia (2015) mencantumkan peningkatan jumlah Dana Pihak Ketiga (DPK) yang meningkat sebesar 13,10% dibanding triwulan sebelumnya. Tingkat realisasi Penanaman Modal Asing dan Dalam Negeri (PMA&PMDN) juga mencapai angka yang menggembirakan, yaitu 10,8% (Bank Indonesia, 2015). Fakta-
22 fakta tersebut menggambarkan indikasi positif perkembangan ekonomi Kota Bandung pada 2015 dan lima tahun yang akan datang. Selain sektor usaha, Bandung juga menarik para pendatang dengan berbagai institusi pendidikan tinggi yang dimilikinya. Disinilah berdirinya perguruan tinggi teknik pertama di Indonesia (Technische Hoogeschool de Bandoeng), yang sekarang dikenal sebagai Institut Teknologi Bandung (ITB). Pada tahun 1957, Bandung juga telah memiliki perguruan tinggi negeri sendiri, yaitu Universitas Padjadjaran. Oleh karena itu, di akhir abad ke-19, Bandung telah memiliki reputasi sebagai pusat pendidikan dan Kota Pelajar tempat menimba ilmu bagi para pendatang dari kotakota lain (Patria, 2014). Maraknya usaha produksi tekstil dan pakaian jadi yang mendominasi perekonomian Bandung, menjadikannya sebagai kiblat mode nasional. Tekstil dan produk-produknya memberikan nilai ekspor terbesar yang mendominasi 31,03% dari total nilai ekspor Kota Bandung (BPS Kota Bandung, 2015). Ditambah dengan menjamurnya Factory Outlet yang dipicu oleh dampak krisis finansial Asia Tenggara pada tahun 1997 (Patria, 2014), membuat Bandung dikenal sebagai destinasi berbelanja yang populer di kalangan wisatawan domestik dan mancanegara. Seiring perkembangan jaman, sejumlah keunggulan, seperti fashion dan kuliner yang menjadi daya tarik utama Bandung telah mulai diadopsi oleh kota-kota lain. Dalam mengantisipasi melemahnya daya saing tersebut, Pemerintah Kota Bandung telah bekerja sama dengan Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Bandung, untuk menjalankan program pengembangan sentra UKM baru yang menerapkan pendekatan one village one product (OVOP), atau satu wilayah satu produk.
23 Pendekatan OVOP tersebut dirancang untuk mensiasati kondisi Kota Bandung yang minim sumber daya alam, namun kaya akan sumber daya manusia dengan potensi kreativitasnya. Potensi itulah yang menjadi fokus pengembangan program ini. Berdasarkan proses pemetaan dan verifikasi sentra ekonomi yang dilakukan pada setiap kelurahan, tercatat dari 151 kelurahan, hanya 12 yang dinilai siap untuk dikembangkan sebagai Sentra Perdagangan Baru (KADIN, 2013). Pembangunan sarana prasarana perhubungan, dan penunjang transportasi juga turut pemicu pertumbuhan ekonomi Kota Bandung. Dibukanya akses Jalan Tol Cipularang yang menghubungkan Bandung Jakarta telah membawa dampak signifikan bagi Bandung. Keberadaan akses yang nyaman dan jarak tempuh yang relatif singkat membuat Bandung semakin atraktif bagi para wisatawan, investor, dan para pelaku bisnis (Koran Jakarta, 2014). Selain itu, Bandung juga menjanjikan prospek pertumbuhan juga gemilang di tahun-tahun yang akan datang, dengan disahkannya kerjasama Pemerintah Indonesia dengan Investor Asing dari China dalam mewujudkan pembangunan High Speed Railway rute Jakarta Bandung yang dijadwalkan akan beroperasi pada tahun 2019 (Kompas, 2015). Keberadaan kereta ekspress tersebut tentunya akan memicu lonjakan pertumbuhan ekonomi yang signifikan di masa yang akan datang.
II.1.4. Budaya dan Pariwisata Masyarakat Suku Sunda adalah penduduk asli yang merupakan kelompok etnis mayoritas Bandung. Budaya Sunda merupakan kebudayaan terbesar ke-2 di
24 Indonesia, yang telah terbentuk sejak berdirinya kerajaan tertua di Indonesia, yaitu Kerajaan Salakanagara dan Tarumanegara (Putra & Drajat, 2015). Seiring perkembangan jaman dan kencangnya arus modernisasi, kelestarian budaya Sunda dikhawatirkan akan makin terdesak, bahkan terancam hilang akibat kurangnya upaya pelestarian, serta pengaruh masuknya budaya-budaya lain (Putra & Drajat, 2015). Banyaknya pengelompokan kebudayaan; suku bangsa, daerah asal, dan agama, yang ada di Bandung masih kurang disertai oleh hubungan kerjasama yang berkelanjutan antara satu sama lain. Hingga saat ini, belum ada identitas bersama yang dapat memintas keragaman warga kota (RPJPD 2005-2015). Dalam menjaga kelestarian budaya Sunda di masyarakat, Walikota Bandung menjalankan program “Rebo Sunda” yang diharapkan dapat melestarikan budaya tersebut di kalangan pelajar dan pegawai pemerintahan. Sebagai kota metropolitan yang bertetangga dengan DKI Jakarta yang megalopolis, wajah Kota Bandung justru semakin didominasi perlambangan ekonomi modern yang lebih eksploitatif bahkan destruktif, dan tidak akomodatif terhadap kebudayaan lokal. Peninggalan sejarah kota kerap dikalahkan demi kepentingan komersil. Identitas Bandung sebagai kota eksperimen arsitektur tetap ada, namun ironisnya eksperimentasi di masa sekarang ini dengan cepat mengubah wajah kota mengikuti selera-selera baru yang ditentukan oleh tuntutan pasar. Kebijakan floating zone untuk kawasan Jalan Cihampelas, Dago, dan Riau, misalnya, justru memudahkan pengubahan identitas Jalan Dago sebagai kawasan perumahan mewah yang berarsitektur elegan, menjadi kawasan pertokoan aneka rupa sekaligus generik, yang tidak jauh berbeda dari komplek pertokoan di kota-kota besar lainnya di Jawa.
25 Diperlukan kebijakan pemerintah yang cukup fleksibel yang dapat mengakomodir aspirasi-aspirasi baru, namun juga tegas untuk melindungi peninggalan-peninggalan sejarah yang dimiliki Bandung. Perlambangan kota yang menggambarkan kekayaan khazanah budaya warganya, masih sangat terbatas. Padahal di Bandung banyak seniman perupa dengan berbagai aliran. Prasarana dan sarana pengembangan kebudayaan daerah juga kurang berperan; khususnya mengingat kedudukan Kota Bandung sebagai ibukota provinsi Jawa Barat. Demikian pula prasarana dan sarana pengembangan kreativitas generasi muda, baik untuk ilmu pengetahuan, seni budaya, dan olahraga, hingga saat ini juga masih belum mencukupi (RPJPD 2005-2015). Sektor parwisata merupakan salah satu sektor membawa dampak positif terhadap kondisi sebuah kota, secara ekonomi maupun sosial budaya (Yananda & Salamah, 2014). Terkait hal ini, Kota Bandung memiliki banyak potensi wisata, dari objek wisata alam, budaya, historikal, hingga hiburan modern (Tabel 4). Bandung merupakan destinasi wisata yang cukup populer di tingkat regional. Kota Bandung didudukkan pada peringkat 9 di jajaran Top 10 World Cities of Art Deco oleh Globetrotter Magazine (2001), sebagai salah satu kota yang paling banyak memiliki koleksi peninggalan gedung bergaya Art Deco. Beberapa gedung Art Deco tersebut adalah Hotel Preanger, Hotel Savoy Homann, Bank Jabar, Jaarbeurs, Gedung Merdeka, serta beberapa pertokoan lama di sepanjang Jalan Braga. Bandung merupakan satu-satunya kota di Asia yang termasuk dalam jajaran tersebut, dimana masyarakat masih dapat menikmati koleksi peninggalan Art Deco terbesar yang tersisa di dunia (The Jakarta Globe, 2014).
26 Tabel 4. Objek-objek Daya Tarik Wisata Kota Bandung No
Jenis Wisata
Tempat dan Nama Lokasi Wisata
Padepokan seni Bandung, saung angklung Udjo, Taman Budaya, Rumenteng Siang, dan lain sebagainya. Museum (Barli, Geologi, Konferensi Asia Afrika, Museum/ Sribaduga, Pos, Mandala Wangsit Siliwangi), Gedung 2 sejarah/ (Sate dan Tiga Warna), Jalan Braga, Mesjid Raya arsitektur Bandung, dan lain sebagainya. Kampung boneka kain Sukajadi, sentra jeans Cihampelas, sentra kain Cigondewah, sentra kerajinan 3 Kawasan industri keramik Kiaracondong, sentra kaos Suci, sentra rajutan Binong Jati, sentra sepatu Cibaduyut, sentra tahu Cibuntu. Taman lalulintas, taman tematik, kebun binatang Bandung, bioskop (blitzmegaplex, braga 21, ciwalk 4 Hiburan & Taman XXI, dan lainnya), gelanggang renang karang setra, dan lain sebagainya. Bandung Indah Plaza, Pasar Baru Trade Center, Braga city walk, Cihampelas walk, Istana Plaza, Paris Van 5 Sarana Belanja Java, Bandung Electronic Center, festival citylink, ITC Kebon Kelapa, Factory Outlet, Distro dan lainnya. Batagor Riri, Amanda Brownis, Kartika Sari, sorabi 6 Kuliner enhai, dan lainnya. Gunung Tangkuban Perahu, Ciwidei Kawah Putih, 7 Wisata Alam Gua Pawon, Bosscha, Cekungan Bandung, dll. Sumber: Dinas Kebudayaan & Pariwisata Kota Bandung (dalam Rachmawati, 2015). 1
Budaya
Sejak tahun 2012, tren jumlah wisatawan yang berkunjung ke Bandung senantiasa mengalami peningkatan. Data Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung mencatat peningkatan sebesar 10,92% dari tahun 2012 ke 2013 (Tabel 9), disusul oleh lonjakan signifikan sebesar 49,01% dimana tercatat 5.627.421 wisatawan berkunjung ke Bandung pada tahun berikutnya (BPS Kota Bandung, 2014).
27 Tabel 5. Jumlah Kunjungan Wisatawan ke Kota Bandung 2010-2013 Wisatawan Wisatawan Domestik Mancanegara (jiwa) (jiwa) 3.024.666 180.603 2010 3.882.010 194.062 2011 3.354.857 158.848 2012 3.726.447 170.982 2013 Sumber: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung (2013) Tahun
Jumlah (jiwa) 3.205.269 4.076.072 3.513.705 3.897.429
Berdasarkan data Pemerintah Kota Bandung (2015), nilai perputaran devisa sektor pariwisata mencapai 6 Triliun Rupiah setiap tahunnya. Sektor ini merupakan menyumbang pendapatan daerah terbesar, walaupun potensi wisata Bandung belum sepenuhnya dikembangkan. Untuk itu, pengembangan sektor pariwisata merupakan salah satu fokus tujuan yang ingin dicapai oleh Pemerintah Kota.
II.2. Konsep Brand Identity Brand atau Merek, menurut Duncan (2005) adalah a perception resulting from experiences with, and information about, a company or a line of products. Pengertian tersebut mengantarkan kita ke pemahaman bahwa sebuah brand merupakan suatu bentuk persepsi yang dihasilkan dari pengalaman dan informasi mengenai suatu perusahaan atau produk. Merek juga merupakan refleksi dari janjijanji yang produsen terhadap konsumen atas kualitas produk yang mereka hasilkan (Kotler, 2003). Menurut Aaker (1997), „merek‟ adalah nama dan atau simbol yang bersifat membedakan (seperti sebuah logo, cap atau kemasan) dengan maksud mengidentifikasi barang atau jasa dari seorang penjual atau sebuah kelompok penjual
28 tertentu. Sedangkan Alifahmi (2012) menerangkan, sebuah merek (brand) merupakan persepsi yang berasal dari pengalaman atau informasi suatu produk. Oleh karena itu, mereklah yang membedakan satu produk dengan produk lainnya. Berikut adalah konsep-konsep kunci terkait brand yang dirangkum dalam tabel di bawah ini (Tabel 6)
Tabel 6. Konsep-konsep Penting dalam Branding Konsep
Definisi
Brand Awareness
Kekuatan dari kehadiran brand dalam benak pelanggan atau pengguna.
Brand Association
Assosiasi yang terbentuk dalam benak pelanggan mengenai suatu brand baik berupa atribut, endorser, ataupun simbol tertentu.
Brand Identity
Seperangkat asosiasi unik yang dimiliki oleh brand yang harus dibentuk dan dipelihara. Asosiasi ini merepresentasikan apa yang diwakili oleh brand dan mengimplikasikan janji sebuah organisasi kepada pelanggannya.
Brand Image
Bagaimana sebuah brand di persepsikan dalam benak konsumen.
Brand Personality
Seperangkat karakteristik manusia yang diasosiasikan dengan sebuah brand.
Brand Equity
Seperangkat aset (dan liabilitas) yang terkait dengan nama dan simbol brand yang menambah (atau menggurangi) nilai yang dimiliki oleh sebuah produk dan jasa dari suatu perusahaan dan/atau pelanggan dari perusahaan tersebut.
Sumber: Aaker, Kotler & Keller, dalam Yananda & Salamah (2014)
29 Terkait dengan pokok bahasan utama dalam penelitan ini, Brand Identity merupakan salah satu aspek utama dalam branding, yaitu seperangkat asosiasi unik sebuah brand yang menggambarkan hal-hal yang diwakili oleh brand tersebut dan mengimplikasikan janji suatu organisasi kepada pelanggannya (Aaker, 2003). Aplikasi konsep identitas tersebut merupakan bentuk ekspresi dari keragaman dan originalitas. Keberadaan identitas suatu brand dinilai tidak ada, ketika brand tersebut sama dan tidak memiliki perbedaan dengan yang lainnya (Beyhan & Gürkan, 2015). Gündüz (2005) sebagaimana dikutip dalam Beykan & Gürkan (2015) menyebutkan bahwa identitas merupakan hasil penjumlahan seluruh karakteristik yang digunakan untuk menggambarkan dan membedakan sesuatu dengan menggunakan aspek-aspek natural dan kultural. Identitas merupakan suatu konsep yang dinamis yang dapat mengalami perubahan secara alami, ataupun diubah dengan sengaja. Dua model brand identity yang paling dikenal adalah Brand Identity Model oleh Aaker & Hochimsthaler (2003) dan Brand Identity Prism oleh Kapferer (2007) yang keduanya merupakan kerangka strategik bagi pengembangan identitas. Menurut Aaker & Hochimsthaler (2000), pengembangan sebuah brand dimulai dengan pembentukan identitas, yaitu merupakan serangkaian asosiasi brand yang unik dan mencerminkan nilai yang ditawarkan kepada konsumernya. Brand Identity tersebut mencakup core dan extended identity, dimana core identity merupakan esensi dari brand yang bersifat kekal dan konstan, sedangkan extended identity merupakan aspek-aspek yang dirangkai di sekelilingnya.
30
Gambar 4. Aaker‟s Brand Identity Model (Aaker & Hochimsthaler, 2000)
Kerangka Aaker menjelaskan bahwa brand identity terdiri dari 8 sampai 12 elemen yang terbagi ke dalam empat golongan persepsi (Gambar 4), yaitu:
Brand as Product – terdiri dari cakupan produk, atribut produk, nilai dan kualitas produk, kegunaan, pengguna dan negara asal.
Brand as Organization – terdiri dari atribut-atribut organisasi.
Brand as Person – terdiri dari brand personality dan hubungan dengan konsumen.
Brand as Symbol – terdiri dari gambaran audio visual, simbol, dan tradisi. Untuk dapat efektif, setiap identity harus dapat dimaknai oleh konsumer, serta
menunjukkan
perbedaan
brand
tersebut
dari
para
kompetitornya,
dan
31 merepresentasikan hal-hal yang akan dan bisa dilakukan oleh organisasi tersebut di masa yang akan datang. Setiap perusahaan harus dapat mengembangkan brand identity yang jelas dan konsisten, yaitu dengan cara menghubungkan atribut-atribut brand tersebut dengan cara mereka mengkomunikasikannya sehingga dapat didengar dan dimengerti dengan mudah oleh konsumer yang dituju (Aaker & Jochimsthaler, 2000). Konsep Brand Identity lainnya adalah Brand Identity Prism yang dikembangkan oleh Kapferer (2004). Kerangka ilmiah ini mengidentifikasi enam aspek identitas; (1) physique, (2) personality, (3) culture, (4) relationship, (5) reflection, dan (6) self-image. Keenam aspek tersebut dibagi kedalam dua dimensi berikut:
The Constructed Source vs. The Constructed Receiver Sebuah brand yang direpresentasikan dengan baik harus dapat dilihat sebagai seorang individu (sumber yang dibentuk: physique & personality), dan mencerminkan tipe penggunanya (penerimaan yang dibentuk: reflection & self-image).
Externalisation vs. Internalisation Sebuah brand
memiliki aspek-aspek sosial yang mendefinisikan ekpresi
eksternalnya (ekternalisasi: physique, relationship, & reflection), serta aspekaspek yang dimasukkan ke dalam brand itu sendiri (internalisasi: personality, culture, & self-image)
32 Kapferer (2004) juga menyatakan bahwa aspek-aspek tersebut hanya dapat terealisasi melalui komunikasi dengan consumer. Berikut adalah penjelasan mengenai keenam aspek brand identity Kapferer tersebut:
Physique – aspek ini merupakan landasan keberadaan identitas yang mencakup rangkaian ciri fisik yang tertanam di benak konsumer tentang sebuah brand.
Personality – merupakan karakter sebuah brand. Komunikasi dengan konsumer yang dilakukan secara spesifik dan konsisten akan memberikan kesan bahwa mereka berinteraksi dengan seseorang yang memiliki karakter khas yang mencerminkan brand tersebut.
Culture – sebuah sistem yang terdiri dari nilai-nilai dan filosofi dasar yang menentukan perilaku sebuah brand.
Relationship – brand dapat menjadi simbol dari suatu hubungan antar individu.
Reflection (of the consumer) – aspek ini berisi berbagai referensi dari tipe-tipe pengguna, juga sumber identifikasi dari sebuah brand.
Self-image – suatu cerminan yang dimiliki kelompok target atas dirinya sendiri.
33
Gambar 5. Model Brand Identity Prism (Kapferer, 2004)
II.3. Konsep Place Identity atau Identitas Tempat Istilah Place Identity atau Identitas Tempat telah mulai dibahas oleh Proshansky (1978) pada akhir 1970an, yang mendefinisikannya sebagai gabungan dari berbagai memori, konsepsi, pemahaman, ide-ide, dan perasaan-perasaan yang terkait dengan kondisi fisik suatu tempat. Elemen-elemen identitas tempat dapat dibagi menjadi dua tipe; salah satu terdiri dari memori, nilai-nilai, pemikiran, ide, dan situasi, sedangkan tipe lainnya berisi hubungan dengan situasi yang berbeda-beda; rumah, lingkungan dan sekolah
(Qazimi, 2014). Sedangkan menurut Noordman
(2004), dalam Govers & Go (2009) identitas kota tersusun atas elemen-elemen berikut (Tabel 2).
34 Tabel 7. Berbagai Elemen Penyusun Identitas Kota Structural
Semi-static
Changing Signifiers
Coloring Elements
Location
Size
Great events/ heroes
Past Symbolism
History
Physical Appearance
Food/ Architecture/ Arts/ Literature/ Popular culture
Past Behavior
Inner Mentality
Language/ Tradition/ Rituals/ Folk
Communication
Sumber: Govers, R. & Go, F.M. (2009)
Morgan & Pritchard (1998) dalam Govers & Go (2009) menjelaskan bahwa identitas tempat terbentuk dari interaksi-interaksi sejarah, politik, agama dan budaya; melalui pengetahuan lokal, dan perebutan kekuasaan. Aset-aset nasional, kultural, natural, sosial, dan agama, menjadi penanda identitas yang utama. Identitas suatu kota disusun oleh seluruh nilai dan karakteristik dari kota tersebut. Konsep identitas dalam konteks ini merupakan serangkaian ciri-ciri sosioekonomi dan komponen kultural, yang membuat kota tersebut berbeda dari yang lain dalam tataran ruang. Identitas kota tersebut bersifat dinamis, dan tidak hanya terdiri dari bangunan-bangunan, akses jalanan dan taman, tapi juga mencakup pola interaksi dan partisipasi seluruh individu yang bersentuhan dengannya (Beyhan & Gürkan, 2015). Membahas dari segi aspek penyusunnya, Govers & Go (2009) menyatakan tentang adanya kontradiksi antara identitas kultural dan kepentingan komersil, yaitu adanya suatu keinginan dari komunitas kultural dan sektor pemerintah untuk menjaga identitas asli dari kota tersebut, sedangkan aktor-aktor komersil lebih menginginkan
35 untuk menciptakan identitas-identitas baru yang dapat merepresentasikan aktifitasaktifitas, atau komoditi-komoditi yang sesuai dengan tuntutan pasar. Dikenal lima fungsi utama dari identitas tempat; pengenalan, memberi makna, syarat untuk mengekspresikan diri, menfasilitasi perubahan, mengaktifkan fungsi kecemasan dan pertahanan. Identitas tempat menjadi database kognitif terhadap setiap situasi fisik yang dialami (Proshansky dalam Qazimi, 2014). Kondisi geografis, arsitektur, tradisi lokal, dan gaya hidup adalah komponenkomponen yang menyusun identitas sebuah kota. Adapun beberapa komponen yang dapat muncul sewaktu-waktu dan mengubah bentuk identitas kota adalah:
Faktor-faktor identitas yang berasal dari alam (topografi, iklim, dan vegetasi)
Faktor-faktor identitas yang muncul dari masyarakat (berbagai karakter sosioekonomi dan sosio-kultural)
Faktor-faktor identitas yang berasal dari lingkungan buatan (jalanan, taman, monumen) (Beyhan & Ünügür, 2015) Identitas
suatu
tempat
dipersepsikan
oleh
aspek-aspek
fisik
yang
mendefinisikan tempat tersebut. Oleh karena itu tatanan fisik memiliki peran penting dalam menunjukkan identitasnya. „Placelessness‟, adalah istilah bagi suatu keadaan dimana tempat itu tidak memiliki identitas. Hal ini terjadi jika suatu tempat dilucuti dari atribut-atribut uniknya, sehingga identitasnya menjadi hilang (Ghodeswar, 2015). Beberapa hal berikut merupakan hal-hal yang penting untuk dapat mengembangkan identitas kota dan arsitektur yang kuat:
36
Definisi identitas dan arsitektur kota yang komprehensif dan dapat mencakup teori identitas kepada masyarakat modern.
Menerapkan faktor-faktor identitas dan pengenalannya.
Faktor
kreatif
yang
dapat
mencerminkan
identitas
urban
dan
mengesampingkan elemen-elemen yang tidak relevan.
Mengurangi ketidakstabilan pada fitur-fitur kota dan menjaga ruang-ruang yang serupa.
Menjadi bagian dari hubungan antar masyarakat dan penduduk kota melalui kontak secara langsung dan rutin.
Merancang berbagai komponen, elemen simbolik, dan karya arsitektur yang unik ke dalam ruang-ruang buatan (Tavakoli, 2015). Identitas tempat juga dihubungkan dengan suatu tempat atau ruang yang
digunakan dan dibentuk oleh orang-orang yang berasal dari latar belakang yang berbeda-beda. Seringkali, tempat-tempat umum yang sibuk dan modern seperti ini dapat menjadi mendorong berkembangnya kreatifitas. Ketika memahami tentang „true identity of place‟ atau „identitas kota yang sebenarnya‟, istilah tersebut diartikan sebagai suatu kelompok karakter unik, atau kelompok makna-makna yang ada pada suatu tempat dan budayanya dalam suatu periode waktu yang spesifik. Perlu diingat bahwa identitas tersebut dapat berubah dari masa ke masa, dan dapat memiliki banyak pecahan-pecahan identitas. Dalam hal ini, ekspektasi yang tepat
untuk sebuah kota adalah yang tercipta dalam benak
pengunjung potentialnya, dan untuk menghindari permasalah yang tidak diinginkan,
37 rangkaian identitas kota yang sebenarnya harus menjadi landasan dalam membuat brand proposition dari kota tersebut (Govers & Go, 2009). Massey (1995) dikutip dalam Ghodeswar (2015), mengatakan bahwa konsep tempat tidak bersifat statik, tidak memiliki batasan yang jelas, dan melekat pada identitas yang beragam. Kemudian Massey juga menambahkan bahwa sebuah tempat pada lingkungan modern seperti sekarang ini tidak lagi memiliki identitas tunggal, melainkan beberapa. Dalam konteks place identity, perlu diingat bahwa identitas suatu tempat tidak terpisahkan dari interaksinya dengan berbagai stakeholders kota yang beragam, dan membuat identitas kota bersifat dinamis dan multi dimensional. Timbulnya identitas yang multi dimensional tersebut adalah karena suatu tempat memiliki banyak pemangku kepentingan yang sangat beragam. Oleh karena itu, stakeholders merupakan elemen yang tidak terpisahkan dari sebuah kota, terutama ketika kita berbicara mengenai konteks identitas dan citra kota. Secara garis besar, pemangku kepentingan tersebut dapat dibagi menjadi penduduk, investor, pengunjung dan pebisnis (Braun, 2008), atau cukup menjadi dua kelompok; warga dan bukan warga. Pada prakteknya tidak ada cara pengelompokkan yang baku. Setiap kota dapat membuat klasifikasi stakeholders sendiri berdasarkan strategi marketing yang akan dilaksanakannya. Salah satu kerangka pengelompokan yang paling dikenal dan banyak digunakan adalah oleh Zenker & Beckmann (2012), seperti yang disajikan pada bagan dibawah ini (Gambar 6).
38
Gambar 6. Pengelompokkan Stakeholders Kota (Zenker & Beckmann, 2012)
II.4. Penelitian-penelitian Terdahulu Terdapat beberapa penelitian terdahulu terkait pembahasan identitas Kota Bandung, namun tidak ditemukan yang secara spesifik membahas mengenai identitas kota secara menyeluruh. Seluruh penelitian tersebut mengambil fokus pada salah satu aspek fisik kota dalam kaitannya sebagai penyusun identitas tempat. Berikut adalah rangkuman dari penelitian-penelitian tersebut (Tabel 8). Penelitian berjudul “Citra Kota Bandung: Persepsi Mahasiswa Arsitektur Terhadap Elemen Kota” oleh Rachman, Madina, & Sudarman (2013) menemukan bahwa wajah kota merupakan pengejawantahan dari kebutuhan fisik spatial dan non fisik manusia yang hidup didalamnya. Oleh karena itu, para stakeholder yang memiliki peranan dalam membuat perencanaan kota seharusnya mengutamakan
39 penilaian manusia terhadap kebutuhannya akan elemen-elemen kota. Studi ini dilakukan secara kualitatif melalui survei lapangan, dimana informan diminta untuk berjalan kaki melalui rute yang telah ditentukan, dan kemudian diminta untuk menyebutkan tiga objek yang dianggap baik dan tiga objek lain yang dianggap buruk, disertai keterangan yang mendasari pilihan tersebut. Hasil penelitian ini mengungkap bahwa terdapat penilaian baik terhadap ruang terbuka dan tata hijau, dan sebaliknya penilaian buruk pada bentuk dan massa bangunan. Sedangkan pada dimensi persepsi nara sumber terhadap wajah kota diketahui bahwa keberadaan jalur hijau merupakan hal yang penting dan merupakan aspek yang banyak disebutkan oleh responden. Objek penelitian ini terbatas pada rute survei yang telah ditentukan dan informan yang hanya mencakup mahasiswa arsitektur saja, untuk itu hasil penelitian belum mencakup identitas kota secara luas.
Tabel 8. Daftar Penelitian Terdahulu Terkait Identitas Kota Bandung Hasil
Kekurangan
Citra Kota Bandung: Persepsi Mahasiswa Arsitektur Terhadap Elemen Kota The Change of Public Perception Towards AlunAlun Bandung as a City Center
Judul
Rachman, Madina, & Sudarman (2013)
Peneliti
Kualitatif melalui observasi langsung
Metode
Penilaian baik atas ruang terbuka & tata hijau. Penilaian buruk atas bentuk & massa bangunan.
Nara Sumber yang terbatas dari kalangan Mahasiswa Arsitektur ITB saja.
Widyaevan (2015)
Kualitatif melalui observasi langsung & studi literatur.
Pembahasan yang terbatas pada AlunAlun, yang hanya merupakan salah satu aspek kecil dari Kota.
Potret Kualitas Wajah Kota Bandung
Wulansari, Dharma dan Rahayu (2013)
Kualitatif melalui observasi langsung dan studi literatur
Alun-Alun Bandung telah kehilangan daya tariknya, adanya pembaharuan bergaya modern membuatnya gagal sebagai landmark yang menggambarkan latar historikal Bandung. Kekuatan Kota Bandung: keberadaan ruang-ruang publik. Pengolahan sampah yang buruk adalah faktor yang harus diperbaiki untuk mencapai kualitas kota yang baik.
Hanya mencakup pada persepsi baik-buruk masyarakat, dan tidak merangkum identitas Kota secara keseluruhan
40
Penelitian lainnya berjudul “The Change of Public Perception towards AlunAlun Bandung as a City Center” yang dilakukan oleh Widyaevan (2015) membahas mengenai Alun-Alun Bandung dalam perannya sebagai pusat kota mengemukakan bahwa tempat tersebut telah kehilangan daya tariknya, yang dengan adanya pembaharuan bergaya modern telah menjadikannya „aneh‟ di mata publik, sehingga tidak lagi dapat menjadi landmark yang menggambarkan latar belakang historikal Bandung. Studi ini berbentuk scientific review yang membahas secara mendalam mengenai Alun-Alun Bandung sebagai salah satu landmark yang merupakan bagian identitas Kota Bandung secara keseluruhan. Oleh karena pembahasannya terbatas pada satu objek tersebut, penelitian ini belum mempelajari tentang identitas Bandung secara keseluruhan. Selanjutnya, penelitian oleh Wulansari, Dharma dan Rahayu (2013) yang berjudul Potret Kualitas Wajah Kota Bandung, telah mengungkap bahwa faktor yang merupakan kekuatan Kota Bandung adalah keberadaan ruang-ruang publik yang dapat mewadahi ekspresi bebas masyarakat. Sementara itu, pengolahan sampah yang buruk menjadi faktor yang harus segera ditanggapi untuk dapat mencapai kualitas kota yang baik. Penelitian ini dilakukan secara kualitatif dengan data teks yang diperoleh melalui observasi langsung di lapangan. Walaupun terkait dengan wajah kota yang menjadi elemen penting dari identitas kota, penelitian ini hanya menitikberatkan pada persepsi baik-buruk masyarakat dan dan tidak menggambarkan identitas kota itu sendiri.
41
II.5. Kerangka AC2ID Test untuk Analisa Identitas Kota Balmer & Greyser (2003) memperkenalkan model ilmiah yang disebut AC2ID Test, yaitu sebuah metode kualitatif yang dirancang untuk menganalisa identitas multi-dimensi. Metode tersebut dibuat untuk mengidentifikasi identitas sebuah brand dan mengelompokkannya ke dalam lima dimensi yang dalam konteks penelitian ini adalah sebagai berikut:
Actual identity – serangkaian atribut kota, yang meliputi berbagai aspek fisik dan non-fisik kota yang telah dianggap sebagai identitas oleh para stakeholders internalnya.
Communicated identity – berbagai bentuk komunikasi yang dilakukan Pemerintah Kota, serta worth-of-mouth yang dalam konteks ini adalah pemberitaan mengenai Bandung.
Conceived identity – persepsi stakeholders eksternal terhadap identitas dan upaya komunikasi pemerintah tersebut.
Ideal identity – rangkaian identitas kota yang diharapkan oleh para stakeholders eksternal.
Desired identity – visi, misi dan perencanaan yang dilakukan Pemerintah Kota bagi kota tersebut.
Selain dari penggunaan lima tipe-tipe identitas tersebut, konsep AC2ID Test juga menambahkan variabel stakeholders yang terbagi internal dan eksternal sebagai aspek pembahasan dalam analisa identitas. Menurut Balmer & Greyser (2003), pengertian dari kedua kelompok stakeholders tersebut adalah sebagai berikut:
42
Stakeholder Internal : organisasi pemilik atau pengelola brand.
Stakeholder Eksternal : seluruh golongan diluar organisasi tersebut yang memiliki hubungan dengan brand. Dalam aplikasi metode ini, identifikasi dari setiap tipe identitas dilanjutkan
dengan analisa terhadap interaksi antara tipe-tipe identitas tersebut (Gambar 5a), dengan tujuan untuk melihat adanya gap yang merupakan indikator permasalahan yang sedang dihadapi oleh suatu brand. Analisa hubungan antar identitas tersebut akan membantu peneliti dalam mengidentifikasi berbagai permasalahan yang ada terkait dengan identas kota, serta melihat dimensi yang perlu disesuaikan untuk dapat memecahkan masalah-masalah yang menghadang.
Gambar 7. Hubungan Antar Tipe-tipe Identitas AC2ID Model (Balmer & Greyser, 2003)
43 Balmer & Greyser (2003) juga menerangkan bahwa dalam aplikasi model tersebut, karena Actual Identity merupakan titik awal potensi terjadinya ketidaksesuaian antar identitas, maka identitas tersebut digunakan sebagai titik acuan dalam analisa gap. Hasil pengamatan mereka juga menunjukkan bahwa ActualCommunicated merupakan bentuk interaksi yang paling sering menunjukkan gap. Hal ini disebabkan karena Communicated Identity adalah yang paling mudah untuk diubah, dibandingkan tipe identitas lainnya.