26
BAB II KETIDAKSEIMBANGAN ANTARA PENYEDIA BARANG DENGAN PEMERINTAH SEBAGAI PENGGUNA BARANG PENGADAAN KENDARAAN RODA EMPAT ANTARA PEJABAT PEMBUAT KOMITMEN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN DALAM NEGERI DENGAN PT. SUZUKI INDOMOBIL SALES A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian. 1.
Perjanjian menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Definisi perjanjian telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUH Perdata) Pasal 1313, yaitu bahwa perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Kata persetujuan tersebut merupakan terjemahan dari perkataan overeekomst dalam bahasa Belanda. Kata overeekomst tersebut lazim diterjemahkan juga dengan kata perjanjian. Jadi persetujuan dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut sama artinya dengan perjanjian. Adapula yang berpendapat bahwa perjanjian tidak sama dengan persetujuan.38 Perjanjian merupakan terjemahan dari oveereenkomst sedangkan persetujuan merupakan terjemahan dari toestemming yang ditafsirkan sebagai wilsovereenstemming (persesuaian kehendak/kata sepakat). Sudikno Mertokusumo memberikan pengertian bahwa perjanjian adalah sebagai suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.39 Wiryono Prodjodikoro memberi pendapat perjanjian sebagai suatu hubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, 38 39
Sudikno Mertokusumo,Hukum Acara Perdata Indonesia,Liberty, Yogyakarta, 1985,hlm 97. Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1988, hlm. 97.
26
27
dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.
40
Semua pengertian perjanjian yang diuraikan sarjana diatas
mengandung arti agar masing-masing pihak melaksanakan kewajibannya dan menerima haknya. Perbedaan pandangan dari para sarjana tersebut di atas, timbul karena adanya sudut pandang yang berbeda, yaitu pihak yang satu melihat objeknya dari perbuatan yang dilakukan subyek hukumnya. Sedangkan pihak yang lain meninjau dari sudut hubungan hukum. Hal itu menyebabkan banyak sarjana yang memberikan batasan sendiri mengenai istilah perjanjian tersebut. Menurut pendapat yang banyak dianut (communis opinion cloctortinz) perjanjian adalah perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum. Hal itu sependapat pula dengan Sudikno, "perjanjian merupakan hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasar kata sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum".41 Menurut Subekti, suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.42 R. Setiawan, menyebutkan bahwa perjanjian ialah suatu perbuatan hukum di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.43 Sri Soedewi Masjchoen
40
Wiryono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, PT. Bale Bandung, Bandung , 1989,
hlm. 11. 41
Ibid., hlm. 97-98. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 2001, hlm. 36. 43 R.Setiawan,Hukum Perikatan-Perikatan Pada Umumnya,Bina Cipta, Bandung, 1987,hlm. 49. 42
28
Sofwan, berpendapat bahwa perjanjian merupakan perbuatan hukum dimana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang lain atau lebih.44 Dari pendapat-pendapat di atas, maka pada dasarnya perjanjian adalah proses interaksi atau hubungan hukum dan dua perbuatan hukum yaitu penawaran oleh pihak yang satu dan penerimaan oleh pihak yang lainnya sehingga tercapai kesepakatan untuk menentukan isi perjanjian yang akan mengikat kedua belah pihak. Istilah kontrak berasal dari bahasa Latin "Contractus" yang berarti perjanjian. Sedangkan apabila dilihat dalam Buku III Bab 2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata istilah kontrak sama dengan Perjanjian Obligatoir, yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban-kewajiban bagi mereka yang membuatnya. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya, istilah kontrak telah diberi arti yang lebih khusus yaitu perjanjian tertulis, dengan demikian istilah kontrak selalu mengandung arti perjanjian dan tulisan.
45
Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih (Pasal 1313 KUHPerdata). Pengertian perjanjian ini mengandung unsur : a. Perbuatan Penggunaan kata "Perbuatan" pada perumusan tentang Perjanjian ini lebih tepat jika diganti dengan kata perbuatan hukum atau tindakan hukum, karena perbuatan tersebut membawa akibat hukum bagi para pihak yang memperjanjikan;
44
Sri Sofwan Masjchoen, Op. Cit., hlm. 1. Djoko Triyanto, Hubungan Kerja di Perusahaan Jasa Konstruks, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 2004, hlm. 42. 45
29
b. Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih, Untuk adanya suatu perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak yang saling berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan yang cocok/pas satu sama lain. Pihak tersebut adalah orang atau badan hukum. c. Mengikatkan dirinya, Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Dalam perjanjian ini orang terikat kepada akibat hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri. Sebelum suatu perjanjian disusun perlu diperhatikan identifikasi para pihak, penelitian awal tentang masing-masing pihak sampai dengan konsekuensi yuridis yang dapat terjadi pada saat perjanjian tersebut dibuat.46 Dan dasar-dasar suatu perjanjian harus diperhatikan agar masing-masing pihak dapat mengetahui hak dan kewajiban mereka. Dasar suatu perjanjian yang harus dimengerti sebagai berikut: 1.
Asas-Asas Perjanjian Asas hukum adalah pikiran dasar yang umum dan abstrak atau merupakan
latar belakang peraturan konkrit yang terdapat dalam setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan konkrit tersebut. Dengan demikian, asas hukum merupakan pikiran dasar yang bersifat umum
46
Salim H.S dkk, Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MoU), Sinar grafika, Jakarta, 2007, hlm. 124.
30
dan terdapat dalam hukum positif atau keseluruhan peraturan perundang-undangan atau putusan-putusan hakim yang merupakan ciri-ciri umum dari peraturan konkrit tersebut. Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, dinyatakan semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Jadi, dalam pasal ini terkandung 3 macam asas utama dalam perjanjian, yaitu: asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, dan asas pacta sunt-servanda. Di samping asas-asas itu, masih terdapat asas itikad baik dan asas kepribadian. a. Asas kebebasan berkontrak Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat penting dalam hukum kontrak. Kebebasan berkontrak ini oleh sebagian sarjana hukum biasanya didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Demikian pula ada yang mendasarkan pada Pasal 1320 KUH Perdata yang menerangkan tentang syarat-syarat sahnya perjanjian. Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian, sebagaimana yang dikemukakan Ahmadi Miru, di antaranya:47 (a) bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak;
47
Ahmad Miru, Hukum Kontrak Perencanaan Kontrak, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 4.
31
(b) bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian; (c) bebas menentukan isi atau klausul perjanjian; (d) bebas menentukan bentuk perjanjian; dan (e) kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu dasar yang menjamin kebebasan orang dalam melakukan kontrak. Hal ini tidak terlepas juga dari sifat Buku III KUHPerdata yang hanya merupakan hukum yang mengatur sehingga para pihak dapat menyimpanginya (mengesampingkannya), kecuali terhadap pasal-pasal tertentu yang sifatnya memaksa.48 b. Asas konsensualisme Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal 1320 KUH Perdata ditemukan dalam istilah "semua". Kata-kata semua menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya (will), yang dirasanya baik untuk menciptakan perjanjian. Asas ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian.49 Perjanjian yang telah terbentuk dengan tercapainya kata sepakat (consensus) di antara para pihak. Perjanjian ini tidak memerlukan formalitas lain lagi sehingga dikatakan juga perjanjian ini sebagai perjanjian bebas
48 49
Ibid., hlm. 4. Mariam Darus Badrulzaman, Perdata Buku III, Op. Cit., hlm. 113.
32
bentuk. Jika perjanjian ini dituangkan dalam bentuk tertulis, maka tulisan itu hanya merupakan alat bukti saja dan bukan syarat untuk terjadinya perjanjian. Perjanjian tersebut dinamakan perjanjian konsensuil. Ada kalanya menetapkan perjanjian itu harus diadakan secara tertulis atau dengan akta Notaris, akan tetapi hal ini ada pengecualiannya yaitu undangundang menetapkan formalitas-formalitas tertentu untuk beberapa macam perjanjian karena adanya ancaman batal apabila perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat-syarat yang dimaksud Pasal 1320 KUH Perdata, seperti perjanjian hibah harus dengan akta notaris, perjanjian perdamaian harus secara tertulis. Perjanjian yang ditetapkan dengan suatu formalitas tertentu tersebut dengan perjanjian formil. c. Asas Pacta Sunt Servanda Pacta sun servanda berasal dari bahasa latin yang berarti “janji harus ditepati. Pacta sunt servanda merupakan asas atau prinsip dasar dalam sistem hukum civil law, yang dalam perkembangannya diadopsi ke dalam hukum internasional. Pada dasarnya asas ini berkaitan dengan kontrak atau perjanjian yang dilakukan diantara individu, yang mengandung makna bahwa 50: 1) Perjanjian merupakan undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. 2) Mengisaratkan bahwa pengingkaran terhadap kewajiban yang ada pada perjanjian merupakan tindakan melanggar janji atau wanprestasi. Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian dan tersimpul dalam 50
Harry Purwanto, Keberadaan Asas Pacta Sunt Servanda Dalam Perjanjian Internasional, Jurnal berkala FH UGM, Volume 21, Nomor 1 Februari 2009, Hlm 162.
33
kalimat "berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya" pada akhir Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Jadi, perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak mengikat para pembuatanya sebagai undangundang. Dan kalimat ini pula tersimpul larangan bagi semua pihak termasuk di dalamnya "hakim" untuk mencampuri isi perjanjian yang telah dibuat secara sah oleh para pihak tersebut. Oleh karenanya asas ini disebut juga asas kepastian hukum. Asas ini dapat dipertahankan sepenuhnya dalam hal: 1) Kedudukan para pihak dalam perjanjian itu seimbang; 2) Para pihak cakap untuk melakukan perbuatan hukum. d. Asas itikad baik Asas itikad baik terkandung dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Asas ini berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian dan berlaku bagi debitur maupun bagi kreditur. Menurut Subekti, pengertian itikad baik dapat ditemui dalam hukum benda (pengertian subyektif) maupun dalam hukum perjanjian seperti yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) (pengertian obyektif).51 Dalam hukum benda, itikad baik, artinya kejujuran atau bersih. Seorang pembeli beritikad baik adalah orang jujur, orang bersih. Ia tidak mengetahui tentang adanya cacat-cacat yang melekat pada barang yang dibelinya, dalam arti cacat mengenai asal-usulnya. Sedangkan pengertian itikad baik dalam 51
Subekti, Hukurn Pembuktian, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2001, hlm. 42.
34
Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata adalah bahwa dalam pelaksanaan perjanjian harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata juga memberikan kekuasaan pada hakim untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian jangan sampai pelaksanaan itu melanggar kepatutan dan keadilan. e. Asas kepribadian Asas kepribadian ini sebenarnya menerangkan pihak-pihak mana yang terikat pada perjanjian. Asas ini terkandung pada Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata. Pada Pasal 1315 disebutkan bahwa pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada untuk dirinya. Selanjutnya Pasal 1340 menyatakan bahwa perjanjian-perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya, perjanjian itu tidak dapat membawa rugi atau manfaat kepada pihak ketiga, selain dalam hal yang diatur klaim Pasal 1317. Oleh karena perjanjian itu hanya mengikat para pihak yang membuatnya dan tidak dapat mengikat pihak lain. Maka asas ini dinamakan asas kepribadian. 2.
Syarat Sahnya Perjanjian. Menurut Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu perjanjian
itu sah harus terpenuhi 4 syarat, yaitu: a. Adanya kata sepakat; b. Kecakapan untuk membuat perjanjian;
35
c. Adanya suatu hal tertentu; d. Adanya causa yang halal. Syarat pertama dan kedua adalah syarat yang harus dipenuhi oleh subyek suatu perjanjian, oleh karena itu disebut sebagai syarat subyektif Syarat ketiga dan keempat adalah syarat yang harus dipenuhi oleh obyek perjanjian oleh karena itu disebut syarat obyektif. Adapun penjelasan dari masing-masing adalah sebagai berikut: a. Kata sepakat Kata sepakat berarti persesuaian kehendak, maksudnya memberikan persetujuan atau kesepakatan. Jadi sepakat merupakan pertemuan dua kehendak dimana kehendak pihak yang satu saling mengisi dengan apa yang dikehendaki pihak lain dan kehendak tersebut saling bertemu. Menurut Subekti, yang dimaksud dengan kata sepakat adalah persesuaian kehendak antara dua pihak yaitu apa yang dikehendaki oleh pihak ke satu juga dikehendaki oleh pihak lain dan kedua kehendak tersebut menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik. Dan dijelaskan lebih lanjut bahwa dengan hanya disebutkannya "sepakat" saja tanpa tuntutan sesuatu bentuk cara (formalitas) apapun sepertinya tulisan, pemberian tanda atau panjer dan lain sebagainya, dapat disimpulkan bahwa bilamana sudah tercapai sepakat itu, maka sahlah sudah perjanjian itu atau mengikatlah perjanjian itu atau berlakulah ia sebagai undang- undang bagi mereka yang membuatnya.52 J.Satrio, menyatakan, kata sepakat sebagai persesuaian kehendak antara 52
Subekti, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1992, hlm. 4.
36
dua orang di mana dua kehendak saling bertemu dan kehendak tersebut harus dinyatakan. Pernyataan kehendak harus merupakan pernyataan bahwa ia menghendaki timbulnya hubungan hukum. Dengan demikian adanya kehendak saja belum melahirkan suatu perjanjian karena kehendak tersebut harus diutarakan, harus nyata bagi yang lain dan harus dimengerti oleh pihak lain.53 Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak dijelaskan mengenai kata sepakat ini, tetapi di dalam Pasal 1321 ditentukan syarat bahwa tidak ada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya karena dengan paksaan atau penipuan. Dari pasal ini dapat disimpulkan bahwa terjadinya kata sepakat antara masing-masing pihak harus diberikan secara bebas atau tidak boleh ada paksaan, kekhilafan dan penipuan. Menurut Subekti,54 yang dimaksud paksaan adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa (psychis) jadi bukan paksaan badan (fisik). Selanjutnya kekhilafan terjadi apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal yang pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi objek perjanjian. Kekhilafan tersebut harus sedemikian rupa sehingga seandainya orang itu tidak khilaf mengenai hal-hal tersebut ia tidak akan memberikan persetujuan. Kemudian penipuan terjadi apabila satu pihak dengan sengaja memberikan
53 54
J.Satrio,Hukum Jaminan Hak-Hak Jaminan Kebendaan,PT.Citra Aditya Bakti,Bandung,,1993,hlm. 129. Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 1996, hlm. 23-24.
37
keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan tipu muslihat unuk membujuk pihak lawannya memberikan perizinannya. Dengan demikian suatu perjanjian yang kata sepakatnya didasarkan paksaan, kekhilafan, penipuan maka perjanjian itu di kemudian hari dapat dimintakan pembatalannya oleh salah satu pihak. b. Cakap untuk membuat perjanjian (bertindak) Dalam Pasal 1329 KUH Perdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat suatu perjanjian dengan ketentuan oleh undang-undang tidak ditentukan lain yaitu ditentukan sebagai orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian. Selanjutnya Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan bahwa orang yang tidak cakap membuat perjanjian: 1) Orang yang belum dewasa 2) Mereka yang berada di bawah pengampuan/perwalian dan 3) Orang perempuan/isteri dalam hal telah ditetapkan oleh Undang-undang dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Mengenai orang yang belum dewasa diatur dalam Pasal 1330 KUH Perdata, dinyatakan bahwa "belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan sebelumnya belum kawin". Apabila perkawinan itu dibubarkannya sebelum umur mereka genap 21 (dua puluh satu) tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan
38
belum dewasa.55 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Pasal 39 dan 40 dinyatakan untuk penghadap dan saksi paling sedikit berumur 18 tahun atau telah menikah. Dalam hal ini cakap bertindak untuk keperluan khusus. Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan cukup umur untuk kawin adalah 18 tahun. Sehingga apabila seseorang belum berusia genap 21 tahun tetapi telah kawin menimbulkan konsekuensi menjadi cakap bertindak. Dengan demikian dasar usia cakap untuk bertindak, jika tidak untuk keperluan khusus (telah diatur dalam undang-undang tertenu) maka usia yang dipakai adalah dua puluh satu tahun atau telah menikah mendasarkan Pasal 1330 KUH Perdata. Soebekti menjelaskan bahwa dari sudut keadilan, perlulah bahwa orang yang membuat suatu perjanjian dan nantinya akan terikat oleh perjanjian itu, mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyafi benar-benar akan tanggung jawab yang dipikulnya dengan perbuatannya itu. Sedangkan dari sudut ketertiban hukum, karena seorang yang membuat suatu perjanjian itu berarti mempertaruhkan kekayaannya, maka orang tersebut haruslah seorang yang sungguh-sungguh berhak bebas berbuat dengan harta kekayaannya. c. Adanya suatu hal tertentu Yang dimaksud dengan suat hal tertentu dalam suatu perjanjian ialah
55
Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 78.
39
objek perjanjian. Objek perjanjian adalah prestasi yang menjadi pokok perjanjian yang bersangkutan. Prestasi itu sendiri bisa berupa perbuatan untuk memberikan suatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1333 ayat (1) menyebutkan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai suatu hal tertentu sebagai pokok perjanjian yaitu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Mengenai jumlahnya tidak menjadi masalah asalkan di kemudian hari ditentukan (Pasal 1333 ayat 2). d. Adanya suatu sebab/kausa yang halal Yang dimaksud dengan sebab atau kausa di sini bukanlah sebab yang mendorong orang tersebut melakukan perjanjian. Sebab atau kausa suatu perjanjian adalah tujuan bersama yang hendak dicapai oleh para pihak,56 sedangkan sebagaimana yang telah dikemukakan Soebekti, adanya suatu sebab yang dimaksud tiada lain daripada isi perjanjian. Pada Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa suatu sebab atau kausa yang halal adalah apabila tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Perjanjian yang tidak mempunyai sebab yang tidak halal akan berakibat perjanjian itu batal demi hukum. Pembebanan mengenai syarat subyektif dan syarat obyektif itu penting
56
Sri Soedewi Masjchon, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta, 1980, hlm. 319.
40
artinya berkenaan dengan akibat yang terjadi apabila persyaratan itu tidak terpenuhi. Tidak terpenuhinya syarat subyektif mengakibatkan perjanjian tersebut merupakan perjanjian yang dapat dimintakan pembatalannya. Pihak di sini yang dimaksud adalah pihak yang tidak cakap menurut hukum dan pihak yang memberikan perizinannya atau menyetujui perjanjian itu secara tidak bebas. Misalkan orang yang belum dewasa yang memintakan pembatalan orang tua atau walinya ataupun ia sendiri apabila ia sudah menjadi cakap dan orang yang ditaruh di bawah pengampuan yang menurut hukum tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya diwakili oleh pengampu atau kuratornya. Dan apabila syarat obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum, artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal. Maka tiada dasar untuk saling menuntut di depan hakim. Perjanjian seperti itu disebut null and void. Sedangkan tidak terpenuhinya syarat obyektif mengakibatkan suatu perjanjian batal demi hukum. 3.
Jenis-jenis Perjanjian Mengenai perjanjian ini diatur dalam Buku III KUH Perdata, peraturan-
peraturan yang tercantum dalam KUH Perdata ini sering disebut juga dengan peraturan pelengkap, bukan peraturan memaksa, yang berarti bahwa para pihak dapat mengadakan perjanjian dengan menyampingkan peraturan-peraturan perjanjian yang ada. Oleh karena itu di sini dimungkinkan para pihak untuk mengadakan perjanjian-
41
perjanjian yang sama sekali tidak diatur dalam bentuk perjanjian itu: 1) Perjanjian bernama, yaitu merupakan perjanjian-perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata. Yang termasuk ke dalam perjanjian ini, misalnya: jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, dan lain-lain. 2) Perjanjian-perjanjian yang tidak teratur dalam KUH Perdata. Jadi dalam hal ini para pihak yang menentukan sendiri perjanjian itu. Dan ketentuanketentuan yang ditetapkan oleh para pihak, berlaku sebagai undang-undang bagi masing-masing pihak.57 3) Dalam KUH Perdata Pasal 1234, perikatan dapat dibagi 3 (tiga) macam, yaitu: a.
Perikatan untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu barang Ketentuan ini, diatur dalam KUH Perdata Pasal 1235 sampai dengan Pasal 1238. Sebagai contoh untuk perikatan ini, adalah jual beli, tukar menukar, penghibahan, sewa menyewa, pinjam meminjam, dan lain-lain.
b.
Perikatan untuk berbuat sesuatu Hal ini diatur dalam Pasal 1239 KUH Perdata yang menyatakan bahwa: tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, apa
si
berutang
tidak
memenuhi
kewajibannya,
mendapatkan
penyelesaiannya dalam kewajiban memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga". Sebagai contoh perjanjian ini adalah perjanjian hutang. c.
57
Perikatan untuk tidak berbuat sesuatu
R. M. Suryodiningrat, Perikatan-Perikatan Bersumber Perjanjian, Tarsito, Bandung, 1978, hlm. 10.
42
Hal ini diatur dalam Pasal 1240 KUH Perdata, sebagai contoh perjanjian ini adalah: perjanjian untuk tidak mendirikan rumah bertingkat, perjanjian untuk tidak mendirikan perusahaan sejenis, dan lain-lain. Setelah membagi bentuk perjanjian berdasarkan pengaturan dalam KUH Perdata atau diluar KUH Perdata dan macam Perjanjian dilihat dari lainnya, disini R. Subekti,58 membagi lagi macam-macam perjanjian yang dilihat dari bentuknya, yaitu: 1) Perikatan bersyarat, adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian di kemudian hari, yang masih belum tentu akan atau tidak terjadi. Pertama mungkin untuk memperjanjikan, bahwa perikatan itu barulah akan lahir, apabila kejadian yang belum tentu timbul. Suatu perjanjian yang demikian itu, mengandung adanya suatu perikatan pada suatu syarat yang menunda atau mempertanggung jawabkan (ospchoriende voorwade). Suatu contoh saya berjanji pada seseorang untuk membeli mobilnya kalau saya lulus dari ujian, di sini dapat dikatakan bahwa jual beli itu akan hanya terjadi kalau saya lulus dari ujian. 2) Perikatan yang digantungkan pada suatu ketepatan waktu (tijdshcpaling), perbedaan antara suatu syarat dengan suatu ketetapan waktu ialah yang pertama berupa suatu kejadian atau peristiwa yang belum tentu atau tidak akan terlaksana, sedangkan yang kedua adalah suatu hal yang pasti akan datang, meskipun mungkin belum dapat ditentukan kapan datangnya, misalnya meninggalnya seseorang. 3) Perikatan yang memperbolehkan memilih (alternatif) adalah suatu perikatan, dimana terdapat dua atau lebih macam, prestasi, sedangkan kepada si berhutang diserahkan yang mana ia akan lakukan. Misalnya ia boleh memilih apakah ia akan memberikan kuda atau mobilnya atau satu juta rupiah. 4) Perikatan tanggung menanggung (hooldelijk atau solidair) ini adalah suatu perikatan dimana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang berhutang berhadapan dengan satu orang yang menghutangkan, atau sebaliknya. Beberapa orang bersama-sama berhak menagih suatu piutang dari satu orang. Tetapi perikatan semacam belakangan ini, sedikit sekali terdapat dalam praktek. 5) Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi, apakah suatu 58
R. Subekti, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, 1982, hlm. 35.
43
perikatan dapat dibagi atau tidak tergantung pada kemungkinan tidaknya membagi prestasi. Pada hakekatnya tergantung pula dari kehendak atau maksud kedua belah pihak yang membuat suatu perjanjian. Persoalan tentang dapat atau tidaknya dibagi suatu perikatan, barulah tampil ke permukaan. Jika salah satu pihak dalam perjanjian telah digantikan oleh beberapa orang lain. Hal mana biasanya terjadi karena meninggalnya satu pihak yang menyebabkan ia digantikan dalam segala hak-haknya oleh sekalian ahli warisnya. 6) Perikatan dengan penetapan hukum (strafbeding), adalah untuk mencegah jangan sampai ia berhutang dengan mudah saja melalaikan kewajibannya, dalam praktek banyak hukuman, apabila ia tidak menepati kewajibannya. Hukuman ini, biasanya ditetapkan dalam suatu jumlah uang tertentu yang sebenarnya merupakan suatu pembayaran kerugian yang sejak semula sudah ditetapkan sendiri oleh para pihak yang membuat perjanjian itu. Hakim mempunyai kekuasaan untuk meringankan hukuman apabila perjanjian telah sebahagian dipenuhi. Menurut Mariam Darus Badrulzaman, perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara. Pembedaan tersebut adalah sebagai berikut:59 1. Perjanjian timbal balik. Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak. Misalnya perjanjian jual-beli. 2. Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban. Perjanjian dengan cuma-cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya: hibah. Perjanjian atas beban adalah perjanjian di mana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontrak prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum. 3. Perjanjian khusus (benoend) dan perjanjian umum (onbenoend). Perjanjian khusus adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri. Maksudnya ialah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian khusus terdapat dalam Bab V s/d XVIII KUH Perdata. Di luar perjanjian khusus tumbuh perjanjian umum yaitu perjanjian-perjanjian yang tdiak diatur di dalam KUH Perdata, tetapi terdapat di dalam masyarakat. Jumlah perjanjian ini tak terbatas. Lahirnya perjanjian ini di dalam praktek adalah berdasarkan asas kebebasan mengadakan perjanjian atau partij otonomi yang berlaku di dalam Hukum Perjanjian. Salah satu contoh dari perjanjian umum adalah perjanjian sewa beli. 59
Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit, hlm. 90-93.
44
4. Perjanjian kebendaan (zakelijk) dan perjanjian obligatoir. Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorang menyerahkan haknya atas sesuatu, kepada pihak lain. Sedangkan perjanjian obligatoir adalah perjanjian dimana pihak-pihak mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain (perjanjian yang menimbulkan perikatan) 5. Perjanjian konsensuil dan perjanjian riil Perjanjian konsensuil adalah perjanjian di mana di antara kedua: belah pihak telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan-perikatan. 6. Perjanjian-Perjanjian yang istimewa sifatnya. a. perjanjian liberatoir: yaitu perjanjian di mana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada, misalnya pembebasan hutang (kwijtschelding) pasal 1438 KUHPerdata; b. perjanjian pembuktian (bewijsovereenkomst); yaitu perjanjian dimana para pihak menentukan pembuktian apakah yang berlaku di antara mereka. c. perjanjian untung-untungan: misalnya prjanjian asuransi, pasal 1774 KUH Perdata. d. Perjanjian publik: yaitu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak bertindak sebagai penguasa (pemerintah), misalnya perjanjian ikatan dinas. Selanjutnya, berhubung dengan pembedaan perjanjian timbal balik dengan perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban, maka menurut Mariam Darus Badrulzaman, perlu dibicarakan perjanjian campuran. Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian, misalnya pemilik hotel yang menyewakan kamar (sewa-menyewa) tapi pula menyajikan makanan (jual beli) dan juga memberikan pelayanan. Terhadap perjanjian campuran itu ada berbagai faham, yaitu:60 a. Faham
pertama:
mengatakan
bahwa
ketentuan-ketentuan
mengenai
perjanjian khusus diterapkan secara analogis sehingga setiap unsur dari perjanjian khusus tetap ada (contractus sui generic). b. Faham kedua: mengatakan ketentuan-ketentuan yang dipakai adalah 60
Ibid., hlm. 90-91.
45
ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang paling menentukan (teori absorbsi). c. Faham ketiga: mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan undang-undang yang diterapkan terhadap perjanjian campuran itu adalah ketentuan undang-undang yang berlaku untuk itu (teori combinatie). 2.
Perjanjian Pengadaan Pemerintah.
Menurut
Peraturan
Pengadaan
Barang/Jasa
Keberhasilan pembangunan ditentukan oleh berhasil tidaknya proses pengadaan barang/jasa, karena pelaksanaan pembangunan di semua sektor pada umumnya dijalankan melalui tahapan pengadaan barang/jasa, sehingga tidaklah mengherankan jika alokasi anggaran bagi proyek pengadaan barang/jasa jumlahnya sangat besar, karena hampir semua penyediaan fasilitas umum bagi kepentingan masyarakat dilaksanakan melalui proses pengadaan barang/jasa, baik yang dilakukan secara langsung oleh pemerintah pusat melalui kementerian dan lembaga maupun yang dilimpahkan pelaksanaannya ke pemerintah daerah melalui dana perimbangan dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). 61 Perjanjian pengadaan barang dan jasa pada dasarnya melibatkan dua pihak yaitu pihak pengguna barang/jasa dan pihak penyedia barang/jasa, tentunya dengan keinginan atau kepentingan berbeda, bahkan dapat dikatakan bertentangan. Pihak pengguna barang/jasa menghendaki memperoleh barang dan jasa dengan harga semurah-murahnya, sedangkan pihak penyedia barang/jasa ingin mendapatkan keuntungan yang setinggi-tingginya. Dua kepentingan atau keinginan ini akan sulit dipertemukan kalau tidak ada saling pengertian dan kemauan untuk mencapai
61
Witanto, Dimensi Kerugian Negara Dalam Hubungan Kontraktual (Suatu Tinjauan Terhadap Risiko Kontrak Dalam Proyek Pengadaan Barang/Jasa Instansi Pemerintah, CV Mandar Maju, Bandung, 2012, hlm. 1.
46
kesepakatan. Untuk itu perlu adanya etika dan norma yang harus disepakati dan dipatuhi bersama. 62 1.
Norma Pengadaan Barang dan Jasa Norma atau kaidah (kaedah) merupakan pelembagaan nilai-nilai baik dan buruk dalam bentuk tata aturan yang berisi kebolehan, anjuran atau perintah.
63
Baik
anjuran maupun perintah dapat berisi kaidah yang bersifat positif dan negatif sehingga mencakup norma anjuran untuk tidak mengerjakan sesuatu, dan norma perintah untuk melakukan atau perintah untuk tidak melakukan sesuatu.64 Norma berasal dari kata nomos yang berarti nilai dan kemudian dipersempit maknanya menjadi norma hukum. Karya Plato yang berjudul nomoi bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan istilah The Law,
65
Sedangkan
kaidah dalam bahasa Arab qo'idah yang berarti ukuran atau nilai pengukur. Dari segi tujuannya, kaidah hukum atau norma hukum itu tertuju kepada cita kedamaian hidup antara pribadi (het recht wil de vrede), karena itu sering dikatakan bahwa penegak hukum itu bekerja (to preserve peace).
66
Agar tujuan pengadaan barang dan jasa dapat tercapai dengan baik, maka semua pihak yang terlibat dalam proses pengadaan harus mengikuti norma yang berlaku. Suatu norma baru ada apabila terdapat lebih dari satu orang, karena norma pada dasarnya mengatur tata cara bertingkah laku seseorang terhadap 62
Adrian Sutedi, Aspek Hukum Pengadaan Barang Dan Jasa Dan Berbagai Permasalahannya, sinar grafika, Jakarta, 2008, hlm. 9. 63 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hlm. 1. 64 Ibid., hlm 22. 65 Plato, The Laws, translated by: Trevor J Saunders, Penguin Books, New York 2005, hlm.12. 66 Garner Bryan A, Black Law Dictionary, Minn West Group, ST. Paul, 1968, hlm. 3.
47
orang lain atau terhadap lingkungannya.
67
Sebagaimana norma lain yang berlaku, norma pengadaan barang dan jasa terdiri dari norma tidak tertulis dan norma tertulis. Norma tidak tertulis pada umumnya adalah norma yang bersifat ideal, sedangkan norma tertulis pada umumnya adalah norma yang bersifat operasional. 2.
Prinsip Pengadaan Barang Dan Jasa Prinsip dalam pengadaan barang dan jasa yaitu: 68 a. Efisien Efisien berarti pengadaan barang/jasa harus diusahakan dengan menggunakan dana dan daya yang terbatas untuk mencapai sasaran yang ditetapkan dalam waktu sesingkat- singkatnya dan dapat dipertanggungjawabkan69. Tujuan dari prinsip efisien adalah untuk menghindari tindakan pemborosan yaitu dengan menekan biaya sekecil-kecilnya, namun tetap berorientasi untuk mencapai sasaran yang semaksimal mungkin berdasarkan perencanaan yang telah ditetapkan. Efisien juga berkaitan dengan penggunaan waktu yang seminal mungkin tanpa ada degradasi mutu dari barang/jasa yang dihasilkan. Prinsip efisien ini pada akhirnya akan dapat menghindarkan dari tindakan yang boros dan tanpa perhitungan, sehingga setiap penggunaan dan pengeluaran uang
67
Maria Farida Indarti, Ilmu Perundang-Undangan Dasar-Dasar dan Pembentukannya, Kanisius, Jakarta, 1998, hlm. 5. 68 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Pasal 5 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. 69 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Penjelasan Pasal 5 huruf (a), tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
48
negara bisa dilakukan dengan sehemat mungkin, namun tidak mengurangi kualitas dan manfaat dari barang/jasa yang didapatkan. Prinsip efisien tercermin dalam salah satu model penawaran yang digunakan, yaitu nilai penawaran yang terendah akan menjadi prioritas dalam menentukan pemenang lelang dengan catatan bahwa penawarannya masih dalam batas kewajaran sesuai nilai HPS yang ditentukan oleh PPK. b. Efektif Efektif berarti pengadaan barang/jasa harus sesuai dengan kebutuhan yang telah ditetapkan dan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya sesuai dengan sasaran yang ditetapkan70. Prinsip efektif menunjuk pada segi kemanfaatan, artinya proyek pengadaan yang telah dibiayai oleh uang negara tidak boleh menjadi sesuatu yang mubazir atau sia-sia. Efektif atau tidaknya suatu proses pengadaan ditentukan oleh proses perencanaan yang matang dan berorientasi pada kepentingan/ kebutuhan yang ada. Kegagalan dalam merencanakan kebutuhan akan berdampak pada rendahnya tingkat kemanfaatan yang dicapai dari proyek pengadaan tersebut, dan hal itu akan menimbulkan kerugian bagi negara, karena adanya pembiayaan terhadap hasil yang tidak sebanding dengan target dan kemanfaatannya. c. Transparan
70
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010. Penjelasan Pasal 5 huruf (b) Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
49
Transparan berarti semua ketentuan dan informasi mengenai pengadaan barang/jasa bersifat jelas dan dapat diketahui oleh penyedia barang/jasa yang berminat serta oleh masyarakat pada umumnya71. Proses yang transparan pada setiap tahapan pengadaan barang/jasa akan menciptakan sistem pengawasan publik yang efektif terhadap proses dan kinerja para pelaksana pengadaan sehingga dapat meminimalisir timbulnya kecurigaan- kecurigaan dari masyarakat bahwa proses pelaksanan pengadaan dilakukan secara manipulatif. Melalui prinsip pengadaan yang transparan diharapkan dapat mendorong persaingan yang sehat dan kompetitif di dalam proses pemilihan penyedia barang/jasa sehingga penyedia barang/jasa yang terpilih adalah yang paling memiliki kualitas untuk melaksanakan pekerjaan tersebut. d. Terbuka Terbuka berarti pengadaan barang/jasa dapat diikuti oleh semua penyedia barang/jasa yang memenuhi persyaratan/ kriteria tertentu berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas72. Prinsip keterbukaan dalam proses pengadaan barang/jasa dilakukan pada semua tahapan pemilihan penyedia barang/jasa khususnya pada metode pelelangan umum. Pelanggaran pada prinsip keterbukaan pada umumnya diakibatkan oleh adanya kolusi antara calon penyedia barang/jasa dengan Pejabat Pengadaan/ULP yang kemudian
71
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Penjelasan Pasal 5 huruf (c) tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. 72 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Penjelasan Pasal 5 huruf (d ) tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
50
menimbulkan kecendrungan terjadinya tindakan manipulatif dalam proses pelaksanaan pekerjaan selanjutnya. Proses pengadaan yang diawali dengan adanya kecurangan pada proses pemilihan penyedia barang/jasa, akan mempengaruhi proses pelaksanaan pekerjaan dikemudian hari karena pihak rekanan yang telah dibantu menjadi pemenang oleh Pejabat Pengadaan/ULP akan diberi imbalan jasa yang tentunya imbalan itu akan diperhitungkan dari nilai anggaran proyek, hal inilah yang kemudian menimbulkan kebocoran pada nilai pembiayaan proyek. e. Bersaing Bersaing artinya pengadaan barang/jasa harus dilakukan melalui persaingan yang sehat di antara sebanyak mungkin penyedia barang/jasa yang setara dan memenuhi persyaratan sehingga dapat diperoleh barang/jasa yang kompetitif dan tidak ada intervensi yang mengganggu terciptanya mekanisme pasar dalam pengadaan barang/jasa73. Persaingan yang sehat akan akan menghasilkan penyedia barang/jasa yang kredibel dan berkualitas karena sistem pemilihan pada prinsipnya dilakukan untuk mencari penyedia barang/jasa yang terbaik dari sekian banyak peserta pemilihan berdasarkan kriteria yang ditentukan, sedangkan persaingan yang tidak sehat akan membatasi dan menyingkirkan penyedia barang/jasa yang sebenarnya memiliki kompetensi untuk melakukan
73
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Penjelasan Pasal 5 huruf (e ) tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
51
pekerjaan tersebut, hal ini jelas akan sangat berpengaruh terhadap hasil pekerjaan yang dilakukan. f. Adil/ Tidak Diskriminatif Adil/ tidak diskriminatif adalah memberikan perlakuan yang sama bagi semua calon penyedia barang/jasa dan tidak mengarah untuk memberi keuntungan kepada pihak tertentu dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional74. g. Akuntabel Akuntabel berarti harus sesuai dengan aturan dan ketentuan yang terkait dengan pengadaan barang/ jasa sehingga dapat dipertanggung jawabkan75. Ketujuh prinsip itu sangat baik dijadikan pedoman oleh panitia pengadaan dan/atau pejabat yang berwenang karena akan dapat tercipta suasana yang kondusif bagi tercapainya efisiensi, partisipasi, dan persaingan sehat dan terbuka antara penyedia jasa yang setara dan memenuhi syarat, menjamin rasa keadilan dan kepastian hukum bagi semua pihak, sehingga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap proses pengadaan barang karena hasilnya dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat, baik dari segi fisik, keuangan, dan manfaatnya bagi kelancaran pelaksanaan tugas institusi pemerintah.
74
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Penjelasan Pasal 5 huruf (f ) tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. 75 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Penjelasan Pasal 5 huruf (g) tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
52
3.
Para Pihak Dalam Pengadaan Barang/Jasa a. Organisasi Pengadaan Dalam Perpres Nomor 70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah telah ditentukan pihak-pihak yang terkait dalam organisasi pengadaan barang/jasa untuk pengadaan melalui penyedia barang/jasa terdiri atas: 1) Pengguna Anggaran (PA)/Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) PA
adalah
pejabat
pemegang
kewenangan
pengguna
anggaran
Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah atau pejabat yang disamakan pada institusi dan pengguna APBN/APBD. KPA adalah pejabat yang ditetapkan oleh PA untuk menggunakan APBN atau yang ditetapkan oleh kepala daerah untuk menggunakan APBD. Tugas pokok dan kewenangan PA meliputi: a)
Menetapkan rencana umum pengadaan;
b) Mengumumkan secara luas rencana umum pengadaan paling kurang di website K/L/D/I; c)
Menetapkan PPK;
d) Menetapkan pejabat pengadaan; e)
Menetapkan panitia/pejabat penerima hasil pekerjaan;
f)
Menetapkan: (1) Pemenang pada pelelangan atau penyedia pada penunjukkan langsung
untuk
paket
pengadaan
barang/pekerjaan
53
konstruksi/jasa
lainnya
dengan
nilai
di
atas
Rp.
100.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah); (2) Pemenang pada seleksi atau penyedia pada penunjukkan langsung untuk paket pengadaan jasa konsultasi dengan nilai di atas Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah). g) Mengawasi pelaksanaan anggaran; h) Menyampaikan laporan keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; i)
Menyelesaikan perselisihan antara PPK dengan ULP/Pejabat pengadaan, dalam hal yang terjadi perbedaan pendapat;
j)
Mengawasi penyimpanan dan pemeliharaan seluruh dokumen pengadaan barang/jasa.
2) Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), adalah pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pengadaan barang/jasa. PPK memiliki tugas pokok dan kewenangan meliputi: a)
Menetapkan
rencana
pelaksanaan-pelaksanaan
barang/jasa yang meliputi: (1) Spesifikasi teknis barang/jasa; (2) Harga Perkiraan Sendiri (HPS); (3) Rancangan kontrak. b) Menerbitkan surat penunjukkan penyedia barang/jasa; c)
Menandatangani kontrak;
pengadaan
54
d) Melaksanakan kontrak dengan penyedia barang/jasa; e)
Mengendalikan pelaksanaan kontrak;
f)
Melaporkan pelaksanaan/penyelesaian pengadaan barang/jasa kepada PA/KPA dengan berita acara penyerahan;
g) Melaporkan kemajuan pekerjaan termasuk penyerapan anggaran dan hambatan pelaksanaan pekerjaan kepada PA/KPA setiap triwulan; h) Menyimpan dan menjaga keutuhan seluruh dokumen pelaksanaan pengadaan barang/jasa; 3) Unit Layanan Pengadaan (ULP)/Pejabat Pengadaan, adalah unit organisasi
pemerintah
yang
berfungsi
melaksanakan
pengadaan
barang/jasa di K/L/D/I yang bersifat permanen, dapat berdiri sendiri atau melekat pada unit yang sudah ada. Tugas pokok dan kewenangan ULP/Pejabat Pengadaan meliputi: a)
Menyusun rencana pemilihan penyedia barang/jasa;
b) Menetapkan dokumen pengadaan; c)
Menetapkan besaran nominal jaminan penawaran;
d) Mengumumkan pelaksanaan pengadaan barang/jasa di website K/L/D/I masing-masing dan papan pengumuman resmi untuk masyarakat serta menyampaikan LPSE untuk diumumkan dalam Portal Pengadaan Nasional; e)
Menilai kualifikasi penyedia barang/jasa melalui prakualifikasi atau pascakualifikasi;
55
f)
Melakukan evaluasi administrasi, teknis dan harga terhadap penawaran yang masuk;
g) Khusus untuk ULP; h) Menjawab sanggahan; i)
Menetapkan penyedia barang/jasa untuk: 1) Pelelangan atau penunjukkan langsung untuk paket pengadaan barang/jasa konstruksi/jasa lainnya yang bernilai paling tinggi Rp. 100.000.000.000,00 (seratus milyar rupiah); 2) Seleksi atau penunjukkan langsung untuk paket pengadaan jasa konsultasi yang bernilai paling tinggi Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah); 3) Menyerahkan salinan dokumen pemilihan penyedia barang/jasa kepada PPK; 4) Menyimpan dokumen asli pemilihan penyedia barang/jasa; 5) Khusus Pejabat Pengadaan menetapkan penyedia barang/jasa untuk: (a) Penunjukkan langsung atau pengadaan langsung untuk paket pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya yang bernilai paling tinggi Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
56
(b)
Penunjukkan langsung atau pengadaan langsung untuk paket pengadaan jasa konsultasi yang bernilai paling tinggi Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
j)
Membuat laporan mengenai proses dan hasil pengadaan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga/Kepala Daerah/Pimpinan Institusi;
k) Memberikan pertanggung jawaban atas pelaksanaan kegiatan pengadaan barang/jasa kepada PA/KPA. 4) Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan, adalah panitia/pejabat yang ditetapkan oleh PA/KPA yang bertugas memeriksa dan menerima hasil pekerjaan. Tugas pokok dan kewenangan Panitia/Pejabat penerima hasil pekerjaan meliputi: a)
Melakukan pemeriksaan hasil pekerjaan pengadaan barang/jasa sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam kontrak;
b) Menerima
hasil
pengadaan
barang/jasa
setelah
melalui
pemeriksaan/pengujian; c)
Membuat dan menandatangani berita acara serah terima hasil pekerjaan.
b. Penyedia Barang/Jasa Penyedia barang/jasa adalah badan usaha atau orang perseorangan yang menyediakan barang/pekerjaan konstruksi /jasa konsultasi/jasa lainnya.76
76
Pemerintah.
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Pasal 19 tentang Pengadaan Barang/Jasa
57
Pasal 19 Perpres No.54 Tahun 2010
mengatur persyaratan yang harus
dipenuhi oleh penyedia barang/jasa dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa adalah sebagai berikut: 77 1) Memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan untuk menjalankan kegiatan/usaha; 2) Memiliki keahlian, pengalaman, kemampuan teknis dan manajerial untuk menyediakan barang/jasa; 3) Memperoleh paling kurang 1 (satu) pekerjaan sebagai penyedia barang/jasa dalam kurun waktu 4 (empat) tahun terakhir baik di lingkungan
pemerintah
maupun
swasta,
termasuk
pengalaman
subkontrak; 4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf c, dikecualikan bagi penyedia barang/jasa yang baru berdiri kurang dari 3 (tiga) tahun; 5) Memiliki sumber daya manusia, modal, peralatan dan fasilitas lain yang diperlukan dalam pengadaan barang/jasa; 6) Dalam hal penyedia barang/jasa akan melakukan kemitraan, penyedia barang/jasa harus mempunyai perjanjian kerja sama operasi/ kemitraan yang memuat presentasi dan perusahaan yang mewakili kemitraan tersebut;
77
Ibid.,hlm. 10-17.
58
7) Memiliki kemampuan pada bidang pekerjaan yang sesuai untuk usaha mikro, usaha kecil dan koperasi kecil serta kemampuan pada sub-bidang pekerjaan yang sesuai untuk usaha non-kecil; 8) Memiliki kemampuan dasar (KD) untuk usaha non-kecil, kecuali untuk pengadaan barang dan jasa konsultasi; Metode Pemilihan Penyedia Barang dan Jasa. a) Dalam pemilihan penyedia barang/jasa pemborongan/jasa lainnya, pada prinsipnya dilakukan melalui metode pelelangan umum. b) Pelelangan umum adalah metode pemilihan penyedia barang/jasa yang dilakukan secara terbuka dengan pengumuman secara luas melalui media massa dan papan pengumuman resmi untuk penerangan umum sehingga masyarakat luas dunia usaha yang berminat memenuhi kualifikasi dapat mengikutinya. 78 c) Dalam hal jumlah penyedia barang/jasa yang mampu melaksanakan diyakini terbatas yaitu untuk pekerjaan yang kompleks, maka pemilihan penyedia barang/jasa dapat dilakukan dengan metode pelelangan terbatas dan diumumkan secara luas melalui media massa dan papan pengumuman resmi dengan mencantumkan penyedia barang/jasa yang telah diyakini mampu, guna memberi kesempatan kepada penyedia
78
Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 Pasal 1 ayat 23 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
59
barang/jasa lainnya yang memenuhi kualifikasi.79 d) Dalam hal metode pelelangan umum atau pelelangan terbatas dinilai tidak efisien dari segi biaya pelelangan, maka pemilihan penyedia barang/jasa dapat dilakukan dengan dua metode pemilihan langsung, yaitu pemilihan penyedia barang/jasa yang dilakukan dengan membandingkan sebanyakbanyaknya penawaran, sekurang-kurangnya 3 (tiga) penawaran dari penyedia barang/jasa yang telah lulus prakualifikasi serta dilakukan negoisasi baik teknis maupun biaya serta harus diumumkan minimal melalui papan pengumuman resmi untuk penerangan umum dan bila memungkinkan lewat media internet.80 e) Dalam keadaan tertentu dan keadaan khusus, pemilihan penyedia barang/jasa dapat dilakukan dengan penunjukan langsung terhadap 1 (satu) penyedia barang/jasa dengan cara melakukan negoisasi baik teknis maupun biaya sehingga diperoleh harga yang wajar dan secara teknis dapat dipertanggungjawabkan. 81 Pada Perpres Nomor 70 Tahun 2012 Pasal 35 menjelaskan metode pemilihan penyedia barang yaitu Pelelangan Umum, Pelelangan Terbatas, Pelelangan Sederhana, Penunjukan Langsung, Pengadaan Langsung, atau
79
Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 Pasal 1 ayat 24 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. 80 Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 Pasal 1 ayat 26 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. 81 Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 Pasal 1 ayat 31 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
60
Kontes. 82 Metode pemilihan yang dipakai dalam perjanjian antara Badan Penelitian Dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri dengan Penyedia barang PT.Suzuki Indomobil Sales adalah dengan penunjukan langsung. Penunjukan langsung adalah metode pemilihan penyedia barang/jasa dengan cara menunjuk langsung 1 (satu) penyedia barang/jasa. 83 Tujuan dari penunjukan langsung ini agar mempercepat proses pengadaan barang dan menghindar terjadinya suatu hal yang akan memperlama pelaksanaan pengadaan barang yang dikarenakan keadaann kahar. Hal ini dapat dilihat dari pengumuman Nomor 027/064A/UMUM/PPBJ/II/2012, di pengumuman ini menjelaskan bahwa akan dilakukan penunjukan langsung terhadap pelaksanaan Kendaraan Dinas operasional (roda empat). f) Jenis Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa. Dalam pengadaan barang/jasa terdapat beberapa jenis kontrak yaitu : (a) Kontrak pengadaan barang/jasa dibedakan atas : a.
Berdasarkan cara pembayaran : 84 1) Kontrak Lump sum; 2) Kontrak Harga Satuan; 3) Kontrak Gabungan Lump sum dan harga satuan;
82
Peraturan presiden nomor 70 tahun 2012 pasal 35 Tentang Pengadaan barang/jasa Pemerintah. 83 Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 Pasal 1 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. 84 Peraturan Presiden Nomor 70 tahun 2012 Pasal 50 ayat 3 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
61
4) Kontrak Terima jadi (turn key); 5) Kontrak Persentase. b.
Berdasarkan pembebanan Tahun anggaran : 85 1) Kontrak Tahun tunggal; 2) Kontrak Tahun jamak.
c.
Berdasarkan sumber pendanaan ; 86 1) Kontrak pengadaan tunggal; 2) Kontrak pengadaan bersama.
d.
Berdasarkan Jenis Pekerjaan : 87 1) Kontrak pengadaan pekerjaan tunggal ; dan 2) Kontrak pengadaan pekerjaan terintegrasi. 1.
Kontrak lump sum adalah kontrak pengadaan barang/jasa atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas waktu tertentu, dengan jumlah harga yang pasti dan tetap, dan semua
resiko
yang
mungkin
terjadi
dalam
proses
penyelesaian pekerjaan sepenuhnya ditanggung oleh penyedia barang/jasa. 2.
Kontrak harga satuan adalah kontrak pengadaan barang/jasa atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas waktu
85
Peraturan Presiden Nomor 70 tahun 2012 Pasal 50 ayat 4 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. 86 Peraturan Presiden Nomor 70 tahun 2012 Pasal 50 ayat 5 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. 87 Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 Pasal 50 ayat 6 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
62
tertentu, berdasarkan harga satuan yang pasti dan tetap untuk setiap satuan/unsur pekerjaan dengan spesifikasi teknis tertentu, yang volume pekerjaannya masih bersifat perkiraan sementara, sedangkan pembayarannya didasarkan pada hasil pengukuran bersama atas volume pekerjaan yang benar-benar telah dilaksanakan oleh penyedia barang/jasa. 3.
Kontrak gabungan lump sum dan harga satuan adalah kontrak yang merupakan gabungan lump sum dan harga satuan dalam satu pekerjaan yang diperjanjikan.
4.
Kontrak terima jadi adalah kontrak pengadaan barang/jasa pemborongan atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas waktu tertentu dengan jumlah harga pasti dan tetap sampai seluruh bangunan/konstruksi, peralatan dan jaringan utama maupun penunjangnya dapat berfungsi dengan baik sesuai dengan kriteria kinerja yang telah ditetapkan.
5.
Kontrak persentase adalah kontrak pelaksanaan jasa konsultansi
di
bidang
konstruksi
atau
pekerjaan
pemborongan tertentu, dimana konsultan yang bersangkutan menerima imbalan jasa berdasarkan persentase tertentu dari nilai pekerjaan fisik konstruksi/ pemborongan tersebut. 6.
Kontrak
tahun
tunggal
adalah
kontrak
pelaksanaan
pekerjaan yang mengikat dana anggaran untuk masa 1
63
(satu) tahun anggaran. 7.
Kontrak tahun jamak adalah kontrak pelaksanaan pekerjaan yang mengikat dana anggaran untuk masa lebih dari 1 (satu) tahun anggaran yang dilakukan atas persetujuan oleh Menteri Keuangan untuk pengadaan yang dibiayai APBN, Gubernur untuk pengadaan yang dibiayai APBD Propinsi, Bupati/Walikota untuk pengadaan yang dibiayai APBD Kabupaten/Kota.
8.
Kontrak pengadaan tunggal adalah kontrak antara satu unit kerja atau satu proyek dengan penyedia barang/jasa tertentu untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu dalam waktu tertentu.
9.
Kontrak pengadaan bersama adalah kontrak antara beberapa unit
kerja
atau
beberapa
proyek
dengan
penyedia
barang/jasa tertentu untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu dalam waktu tertentu sesuai dengan kegiatan bersama yang jelas dari masing-masing unit kerja dan pendanaan bersama yang dituangkan dalam kesepakatan bersama. Jenis Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa antara Badan Penelitian Dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri dengan Penyedia barang PT.Suzuki Indomobil Sales adalah Kontrak terima jadi. Karena penyelesaian pekerjaan diberikan batas waktu tertentu dengan jumlah harga pasti dan tetap.
64
a. Kontrak Perjanjian Pengadaan Barang/Jasa Kerangka Kontrak Perjanjian pengadaan barang/jasa yang digunakan oleh pemerintah terdiri dari : 88 1.
Pembukaan (komparisi) Pembukaan adalah bagian dari surat perjanjian yang meliputi: 1) Judul Kontrak (a) Menjelaskan
tentang
judul
dari
kontrak
yang
akan
ditandatangani; (b) Menjelaskan jenis pekerjaan (pekerjaan jasa pemborongan, pengadaan barang, jasa lainnya atau jasa konsultasi) 2) Nomor Kontrak (a) Menjelaskan nomor kontrak yang akan ditandatangani; (b) Bilamana kontrak berupa perubahan kontrak maka nomor kontrak harus berurutan sesuai dengan beberapa kali mengalami perubahan 3) Tanggal kontrak Menjelaskan hari, tanggal, bulan dan tahun kontrak ditandatangani oleh para pihak. 4) Kalimat pembuka. Merupakan kalimat pembuka dalam kontrak yang menjelaskan bahwa para pihak pada hari, tanggal, bulan dan tahun mereka 88
Herry Kamaroesid, Op.Cit,, hlm. 9.
65
membuat dan menandatangani kontrak. 5) Penandantanganan kontrak Kontrak ditandatangani setelah ada penunjukan penyedia barang/jasa. Oleh karena itu, tanggal penandantanganan kontrak tidak boleh mendahului tanggal surat penunjukkan penyediaan barang/jasa. 6) Para pihak dalam kontrak (a) Menjelaskan identitas dari para pihak yang menandatangani kontrak. Identitas para pihak meliputi: nama, jabatan dan alamat serta kedudukan para pihak dalam kontrak tersebut, apakah sebagai pihak pertama atau kedua. (b) Para pihak dalam kontrak terdiri dari dua pihak yaitu: (1) Pihak pertama adalah pihak pengguna barang/jasa. (2) Pihak kedua adalah pihak penyedia barang/jasa yang telah ditunjuk untuk melaksanakan pekerjaan; (3) Menjelaskan bahwa pihak-pihak tersebut bertindak untuk dan atas nama siapa dan dasar ia bertindak; (4) Penjelasan mengenai identitas para pihak harus jelas dan terinci dan menerangkan hal yang sebenarnya; (5) Apabila pihak kedua dalam kontrak merupakan suatu konsorisium, kerjasama, join venture dan bentuk kerjasama lainnya, maka harus dijelaskan nama bentuk kerjasamanya, siapa saja anggotanya dan siapa yang memimpin dan mewakili kerjasama tersebut.
66
2.
Isi 1) Pernyataan bahwa para pihak telah sepakat atau setuju untuk mengadakan kontrak mengenai objek yang dikontrakkan sesuai dengan jenis pekerjaannya; 2) Pernyataan bahwa para pihak telah menyetujui harga kontrak. Harga kontrak harus ditulis dengan angka dan huruf, serta rincian sumber pembiayaannya. 3) Pernyataan bahwa ungkapan-ungkapan dalam perjanjian harus mempunyai arti dan makna yang sama seperti yang tercantumkan dalam kontrak; 4) Pernyataan bahwa kontrak yang dibuat ini meliputi beberapa dokumen dan merupakan satu kesatuan yang disebut kontrak; 5) Pernyataan bahwa apabila terjadi pertentangan antara ketentuan yang ada dalam dokumen-dokumen perjanjian/kontrak maka yang dipakai adalah dokumen urutannya lebih dulu; 6) Pernyataan mengenai persetujuan para pihak untuk melaksanakan kewajiban masing-masing, yaitu pihak pertama membayar harga kontrak dan pihak kedua melaksanakan pekerjaan yang diperjanjikan dalam kontrak; 7) Pernyataan mengenai jangka waktu pelaksanaan pekerjaan, yaitu kapan dimulai dan diakhirinya pekerjaan tersebut;
67
8) Pernyataan mengenai kapan mulai efektif berlakunya kontrak. 3.
Penutup Penutup adalah bagian surat perjanjian yang memuat: 1.
Pernyataan bahwa para pihak dalam perjanjian ini telah menyetujui bahwa untuk melaksanakan perjanjian sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia pada hari dan tanggal penanda-tanganan perjanjian tersebut;
2.
Tanda tangan para pihak dalam surat perjanjian dengan dibubuhi materai.
c.
Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Pengadaan barang dan jasa pada hakikatnya merupakan upaya pihak pemerintah yang diwakili oleh PPK untuk mendapatkan barang yang diinginkannya dengan menggunakan metode dan proses tertentu agar dicapai kesepakatan mengenai harga, waktu dan kualitas barang dan jasa. Agar esensi pengadaan barang dan jasa tersebut dapat dilaksanakan sebaik-baiknya maka kedua belah pihak yaitu PPK dan penyedia barang dan jasa harus berpedoman pada aturan hukum pengadaan barang dan jasa. Mencermati tahap pengadaan barang dan jasa yang dipaparkan di atas, maka penulis mengklasifikasikan aspek hukum pengadaan barang dan jasa yaitu: 1.
Aspek Hukum Administrasi Negara
68
Untuk menemukan pengertian yang baik mengenai hukum administrasi negara, pertama-tama harus ditetapkan bahwa hukum administrasi negara merupakan bagian dari hukum publik, yakni hukum yang mengatur tindakan pemerintah dan mengatur hubungan antara pemerintah
dengan
warga
negara
atau
hubungan
antar
organ
pemerintahan. Hukum administrasi negara memuat keseluruhan peraturan yang berkenaan dengan cara bagaimana organ pemerintahan melaksanakan tugasnya. Jadi hukum administrasi negara berisi hal yang berkenaan dengan fungsi organ-organ pemerintahan. Secara garis besar hukum administrasi negara mencakup: 1) Perbuatan pemerintah (pusat dan daerah) dalam bidang publik; 2) Kewenangan pemerintahan (dalam melakukan perbuatan di bidang publik tersebut); 3) Akibat-akibat hukum yang lahir dari perbuatan atau penggunaan kewenangan pemerintahan; dan 4) Penegakan hukum dan penerapan sanksi-sanksi dalam bidang pemerintahan. Pengadaan barang/jasa dari tinjauan hukum administrasi negara mengatur hubungan hukum antara penyedia dan pengguna barang/jasa. Hubungan hukum adalah hubungan antara subjek hukum yang diatur oleh hukum. Isinya adalah hak dan kewajiban masing-masing pihak yang
69
diatur oleh hukum. Hubungan hukum yang merupakan hubungan hukum administrasi negara (HAN) adalah hubungan hukum antara pengguna dengan penyedia barang/jasa pada proses persiapan sampai proses penerbitan surat penetapan penyedia barang/jasa instansi pemerintah. Bertindak sebagai subjek hukum publik pada instansi adalah kepala kantor secara ex-officio menjadi Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran (PA/KPA). PA/KPA bertindak sebagai pejabat negara/daerah dan mewakili negara/daerah dalam melakukan tindakan/perbuatan hukum, bukan berkedudukan sebagai individu/pribadi. Hal ini dilakukan dengan kewenangan yang sah seperti atribusi, delegasi, dan mandat dari para pejabat yang terkait dengan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa. 2. Aspek Hukum Perdata. Hukum Perdata dapat didefinisikan sebagai hukum yang mengatur hubungan antara subjek hukum dengan subjek hukum lainnya di bidang keperdataan. Keperdataan dimaksudkan adalah lalu lintas hukum yang berhubungan antara individu dengan individu lain, seperti hubungan hukum dengan keluarga, perjanjian antara subjek hukum, termasuk hubungan hukum di bidang pewarisan. Terkait dengan pengadaan barang/jasa, hukum perdata mengatur hubungan hukum antara Pengguna dan Penyedia Barang/Jasa sejak penandatangan kontrak sampai berakhir/selesainya kontrak sesuai dengan isi kontrak. Hubungan hukum antara pengguna dan penyedia terjadi pada proses
70
penandatanganan kontrak pengadaan barang/jasa sampai proses selesainya kontrak
merupakan
hubungan
hukum
perdata
khususnya
hubungan
kontraktual/perjanjian. Dalam
proses
pengadaan
barang/jasa,
berdasarkan
pelimpahan
kewenangan diwakili oleh pejabat-pejabat pengadaan, yaitu: 1) PA/KPA, 2) Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), 3) Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan/Pejabat Pengadaan (PPK/PP), dan Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan (PPPHP). Sedangkan Penyedia Barang/Jasa bisa orang perorangan atau badan hukum (privat). Salah satu tugas PPK dalam Pasal 11 Perpres No 54 Tahun 2010 adalah membuat rancangan kontrak. Terkait dengan tugas ini, maka PPK dalam menyusun kontrak sekurang-kurangnya harus memuat ketentuan sebagai berikut: 89 a.
Para pihak yang menandatangani kontrak yang meliputi nama, jabatan dan alamat
b.
Pokok pekerjaan yang diperjanjikan dengan uraian yang jelas mengenai jenis dan jumlah barang/jasa yang diperjanjikan
c.
Hak dan kewajiban para pihak yang terikat di dalam perjanjian
d.
Nilai atau harga kontrak pekerjaan, serta syarat pembayaran
89
Pemerintah.
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Pasal 11 tentang Pengadaan Barang/Jasa
71
e.
Persyaratan dan spesifikasi teknis yang jelas dan terinci
f.
Tempat dan jangka waktu penyelesaian/penyerahan dengan disertai jadual waktu
penyelesaian/
penyerahan
yang
pasti
serta
syarat-syarat
penyerahannya g.
Jaminan teknis/ hasil pekerjaan yang dilaksanakan dan/atau ketentuan mengenai kelalaian
h.
Ketentuan mengenai cidera janji dan sanksi dalam hal para pihak tidak memenuhi kewajibannya
i.
Ketentuan mengenai pemutusan kontrak secara sepihak
j.
Ketentuan mengenai keadaan memaksa
k.
Ketentuan mengenai kewajiban para pihak dalam hal terjadi kegagalan dalam pelaksanaan pekerjaan
l.
Ketentuan mengenai perlindungan tenaga kerja
m. Ketentuan mengenai bentuk dan tanggung jawab gangguan lingkungan n.
Ketentuan mengenai penyelesaian perpisahan. Para Pejabat Pengadaan dalam melakukan hubungan hukum di bidang
perjanjian bertindak secara individual/ pribadi. Artinya, apabila terdapat kerugian negara maka mengganti kerugian negara tersebut secara pribadi, sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharan, Pasal 18 ayat 3 yang berbunyi:90
90
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Pasal 18 ayat 3 tentang Perbendaharan.
72
“Pejabat yang menandatangani dan/ atau mengesahkan dokumen yang berkaitan dengan surat bukti yang menjadi dasar pengeluaran atas beban APBN/APBD bertanggung jawab atas kebenaran material dan akibat yang timbul dari penggunaan surat bukti dimaksud”. Berdasarkan Perpres No. 70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Pasal 55 ayat 1, bahwa tanda bukti perjanjian terdiri atas:91 (a) Bukti pembelian, (b) Kwitansi, (c) Surat Perintah Kerja (SPK), dan (d) Surat perjanjian. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), buku III tentang Perikatan, disebutkan bahwa perikatan dapat lahir karena undangundang atau perjanjian. Perikatan yang lahir karena perjanjian Pasal 1338 KUH Perdata menyatakan bahwa:92 “Semua perjanjian yang dibuat harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang mempunyai kekuatan hukum sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Maksudnya, semua perjanjian mengikat mereka yang tersangkut bagi yang membuatnya, mempunyai hak yang oleh perjanjian itu diberikan kepadanya dan berkewajiban melakukan hal-hal yang ditentukan dalam perjanjian. Perjanjian pengadaan barang/jasa adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak lain dengan menerima suatu harga tertentu. Perjanjian merupakan dasar pelaksanaan kegiatan. Perjanjian menurut R. Subekti adalah “suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji 91
Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 Pasal 55 ayat 1 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. 92 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1338.
73
untuk melakukan sesuatu hal”. Setiap orang atau badan hukum dapat mengadakan perjanjian, asalkan memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam KUH Perdata. Syarat-syarat yang ditetapkan dalam KUH Perdata tercantum dalam Pasal 1320 sebagai berikut. 93 1) Kata sepakat antara mereka yang mengikatkan dirinya; 2) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian; 3) Suatu hal tertentu; dan 4) Suatu sebab yang halal. Jadi untuk sahnya suatu perjanjian haruslah memenuhi syarat-syarat seperti yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata dimaksud. Selanjutnya berdasarkan Pasal 1338 KUH Perdata, bahwa setiap orang bebas mengadakan perjanjian asal memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Oleh karena itu, perjanjian mempunyai “sistem terbuka”. Dengan demikian, perjanjian dapat dilakukan oleh setiap subjek hukum antara lain perjanjian jual beli, perjanjian sewa-menyewa,
pinjam-meminjam,
tukar
menukar,
perjanjian
kerja
pemborongan dan sebagainya. Berkaitan
dengan
pengadaan
barang/jasa
pemerintah,
bentuk
perjanjiannya berupa kontrak pengadaan barang/jasa yaitu dalam bentuk perjanjian tertulis antara PPK dengan Penyedia Barang/Jasa. Dalam hukum perjanjian hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian bersifat timbal balik, dimana hak pada satu pihak merupakan kewajiban pihak lain, begitu 93
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1320.
74
pula sebaliknya. Hak dan kewajiban para pihak merupakan hak-hak yang dimiliki serta kewajiban yang harus dilaksanakan baik oleh pengguna barang/jasa maupun penyedia barang/jasa dalam melaksanakan kontrak. B. Ketidakseimbangan Antara Penyedia Barang Dengan Pemerintah Sebagai Pengguna Barang Pengadaan Kendaraan Roda Empat Antara Pejabat Pembuat Komitmen Badan Penelitian Dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri Dengan PT. Suzuki Indomobil Sales. Dalam pelaksanaan kontrak perjanjian kerjasama NOMOR: 027/256/SES pekerjaan pengadaan kendaraan roda empat pemerintah antara Sekretaris Badan Penelitian Dan Pengembangan Selaku Pejabat Pembuat Komitmen dengan PT. Suzuki Indomobil Sales, terjadi permasalahan yang dikarenakan terlambat membayarnya dari pihak pengguna yaitu pemerintah. Pihak penyedia sudah menjalankan prestasi sesuai dengan yang diperjanjikan di dalam kontrak tetapi pihak pengguna belum menjalankan kewajibannya dalam pembayaran. Dan hal itu membuat kerugian bagi pihak penyedia barang karena membuat perusahaanya macet dalam menjalankan bisnisnya. Sedangan di dalam kontrak perjanjian tidak tertulis sanksi apabila pihak pengguna telat membayar melainkan di dalam perjanjian kontrak dijelaskan sanksi-sanksi untuk penyedia barang apabila tidak menjalankan prestasinya. Dan apabila penyedia barang merasa dirugikan, mereka tidak mempunyai kewenangan membatalkan perjanjian kontrak tersebut dan sangat berbeda dengan pihak pengguna yang mempunyai kewenangan untuk membatalkan perjanjian. Maka karena ketidakseimbangan di dalam perjanjian ini membuat pihak penyedia barang berada di posisi yang lemah dalam menjalankan perjanjian kontrak ini.
75
Bagian pasal kelima dengan Judul JAMINAN PELAKSANAAN Perjanjian Nomor : 027/256/SES disini menjelaskan, Jaminan pelaksanaan adalah 5% (lima persen) dari harga total dan diberikan pada waktu penandatanganan, Surat Perjanjian Kerjsama, akan dikembalikan setelah barang diserahkan kepada PIHAK PERTAMA dan dinyatakan dalam Berita Acara Pemeriksaan dan Serah Terima Barang oleh Panitia Pemeriksa dan Penerima Barang, Jaminan pelaksanaan menjadi milik Negara apabila penyedia barang tidak melaksanakan kewajibannya dan mengundurkan diri setelah menandatangani Surat Perjanjian Kerjasama. Dari penjelasan pasal ini maka pihak kedua mewajibkan membayarkan jaminan pelaksanaan 5% dari harga total barang yaitu Rp. 799.800.000, jadi yang harus dijaminkan adalah Rp.3.999.000. Hal ini salah satu yang membuat pihak penyedia diharuskan menjalani prestasi nya dengan baik sesuai yang diperjanjikan di dalam perjanjian kontrak kerjasama. Pada Perpres 70 tahun 2012 tentang pengadaaan barang/ jasa pemerintah Pasal 70 menjelaskan, hanya Penyedia Barang/Pekerjaan Konstruksi untuk Kontrak bernilai di atas Rp200.000.000,00 (dua ratus juta) yang dapat diminta jaminan pelaksanaannya dan Jaminan pelaksanaan adalah 5% (lima persen) dari harga total barang/jasa. Dalam pelaksanaan kontrak, penyedia barang dan jasa dilarang mengalihkan tanggung jawab seluruh atau sebagian pekerjaan utama dengan mensubkontrakkan kepada pihak lain dengan cara dan alasan apapun. Terhadap penyedia barang dan jasa yang melanggar larangan untuk mengalihkan tanggung jawab seluruh pekerjaan
76
utama kepada pihak lain dikenakan sanksi berupa denda yang bentuk dan besarnya sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam kontrak. Pada bagian pasal enam dengan judul CARA PEMBAYARAN, disini menjelaskan pihak pertama yaitu pengguna barang harus membayar seluruh biaya pengadaan kendaraan roda empat pemerintah sebesar Rp.799.800.000 kepada pihak kedua yaitu PT.Suzuki Indomobil Sales setelah menyerahkan seluruh pekerjaan di tempat penyerahan yang telah ditentukan. Di dalam pelaksanaan perjanjian kerjasama ini, pihak PT.Suzuki Indomobil Sales sudah menyerahkan seluruh pekerjaan sesuai yang di perjanjikan tetapi pihak pengguna barang telat membayar kewajibannya 8 (delapan) bulan setelah terjadi penyerahan barang kendaraan roda empat itu. Dan karena ketelatan pembayaran ini membuat pihak penyedia rugi dalam menjalankan bisnisnya. Kewajiban utama penyedia barang/jasa adalah menyerahkan barang/jasa dalam keadaan baik dan cukup sedangkan kewajiban utama PPK adalah melakukan pembayaran. Karena tata cara pembayaran dan pencairan anggaran belanja negara telah diatur dalam suatu sistem pengelolaan keuangan negara, sementara tata cara penyelesaian dan penyerahan hasil pekerjaan tidak diatur secara khusus, dalam kontrak pengadaan barang/jasa kesepakatan-kesepakatan antara PPK dan Penyedia barang/jasa pada umumnya lebih banyak berkaitan dengan kewajiban penyedia dalam
77
menyelesaikan pekerjaan. Sedangkan kesepakatan tentang tata cara pembayaran hanya disinggung sekedarnya saja.94 Pihak pengguna barang atau jasa dapat melakukan wanprestasi dalam hal pembayaran terhadap pihak penyedia barang dan jasa karena tidak tertulis dengan tegas aturan bagi pengguna barang di dalam perjanjian, hal ini menyebabkan ketidakseimbangan antara pengguna dan penyedia barang dan jasa dalam perjanjian. Pemutusan kontrak secara sepihak lebih sering dilakukan oleh PPK. Penyedia barang/jasa lebih sering dijadikan pihak yang dianggap bersalah dan akibat dari kesalahan itu PPK berhak untuk memutuskan kontrak secara sepihak. 95 Bagian pasal kedelapan dengan Judul PEMBATALAN/PEMUTUSAN PERJANJIAN disini menjelaskan sebab-sebab yang membuat kontrak menjadi batal. Penjelasannya sebagai berikut : 1. PIHAK PERTAMA mempunyai hak untuk membatalkan/memutuskan Surat Perjanjian Kerjasama ini apabila PIHAK KEDUA cidera janji dan/atau tidak memenuhi kewajiban dan tanggung jawabnya sebagaimana diatur dalam Surat Perjanjian Kerjasama ini. 2. PIHAK KEDUA telah menyerahkan atau melimpahkan seluruhnya tugas pekerjaan tersebut kepada PIHAK LAIN tanpa persetujuan PIHAK PERTAMA.
94
Hasil Wawancara dengan bapak Sorni Paskah Daeli M.Si., Sekretaris Pengadaan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri pada tanggal 30 Maret 2015. 95 Hasil Wawancara dengan bapak Sultan Taufiq selaku perwakilan dari PT. Suzuki Indomobil Sales, pada tanggal 6 April 2015.
78
3. Dengan membatalkan/memutuskan Surat Perjanjian ini, maka semua pekerjaan yang telah selesai yang berada di lokasi pekerjaan menjadi milik PIHAK PERTAMA. Pada pasal ini menjelaskan kewenangan pihak pengguna barang dalam melakukan pembatalan perjanjian apabila pihak penyedia tidak memenuhi kewajibannya, tetapi di dalam pasal ini tidak dijelaskan kewenangan penyedia dalam membatalkan perjanjian apabila pihak pengguna tidak menjalankan kewajibannya. Hal ini yang membuat pihak pengguna barang berada diposisi yang dominan di dalam perjanjian. Ketentuan tentang pemutusan kontrak dalam Pasal 93 Perpres Nomor 70 Tahun 2012 yang berbunyi: 96 1. PPK dapat memutuskan Kontrak secara sepihak, apabila: (1) Kebutuhan barang/jasa tidak dapat ditunda melebihi batas berakhirnya kontrak; a)
Berdasarkan penelitian PPK, Penyedia Barang/Jasa tidak akan mampu menyelesaikan keseluruhan pekerjaan walaupun diberikan kesempatan sampai dengan 50 (lima puluh) hari kalender sejak masa berakhirnya pelaksanaan pekerjaan untuk menyelesaikan pekerjaan;
b) Setelah diberikan kesempatan menyelesaikan pekerjaan sampai dengan 50 (lima puluh) hari kalender sejak masa berakhirnya
96
Pemerintah.
Peraturan presiden nomor 70 Tahun 2012 Pasal 93 tentang Pengadaan Barang/Jasa
79
pelaksanaan
pekerjaan,
Penyedia
Barang/Jasa
tidak
dapat
menyelesaikan pekerjaan; (2) Penyedia
Barang/Jasa
lalai/cidera
janji
dalam
melaksanakan
kewajibannya dan tidak memperbaiki kelalaiannya dalam jangka waktu yang telah ditetapkan; (3) Penyedia Barang/Jasa terbukti melakukan KKN, kecurangan dan/atau pemalsuan dalam proses Pengadaan yang diputuskan oleh instansi yang berwenang; dan/atau (4) Pengaduan tentang penyimpangan prosedur, dugaan KKN dan/atau pelanggararan
persaingan
sehat
dalam
pelaksanaan
Pengadaan
Barang/Jasa dinyatakan benar oleh instansi yang berwenang. 2. Dalam hal pemutusan Kontrak dilakukan karena kesalahan Penyedia barang/Jasa: a.
Jaminan Pelaksanaan dicairkan;
b.
Sisa Uang Muka harus dilunasi oleh Penyedia Barang/Jasa atau Jaminan Uang Muka dicairkan;
c.
Penyedia Barang/Jasa membayar denda keterlambatan; dan
d.
Penyedia Barang/Jasa dimasukkan dalam Daftar hitam.
Di dalam perjanjian antara Badan Penelitian Dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri dengan Penyedia barang PT.Suzuki Indomobil Sales, pada Pasal 9 dengan judul SANKSI DAN DENDA , disini dijelaskan apabila PIHAK KEDUA (PT. Suzuki Indomobil Sales) tidak menyelesaikan pekerjaan tersebut sesuai dengan
80
jangka waktu pelaksanaan pekerjaan yang telah ditetapkan, maka untuk setiap hari keterlambatan PIHAK KEDUA wajib membayar keterlambatan kepada PIHAK PERTAMA sebesar 1% (satu persen) dari sisa pekerjaan yang belum diselesaikan dan jumlah denda setinggi-tingginya 5% (lima persen) dari jumlah harga pekerjaan. Dengan adanya pasal ini, maka ada sanksi untuk PT. Suzuki Indomobil Sales apabila terjadi cidera janji, tetapi di pasal ini tidak tertulis sanksi dan denda apabila PIHAK PERTAMA (Badan Penelitian Dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri) terlambat dalam pembayaran (cidera janji). Dengan tidak tertuangnya kewajiban yang tegas kepada pihak pengguna maka didalam pasal sembilan ini sudah pasti tidak tertulis sanksi dan denda untuk pihak pengguna. Hal ini juga membuat ketidakseimbangan bagi penyedia barang di dalam perjanjian kerjasama. Maka dapat dikatakan di dalam kontrak perjanjian kerjasama NOMOR: 027/256/SES pekerjaan pengadaan kendaraan roda empat pemerintah antara Sekretaris Badan Penelitian Dan Pengembangan Selaku Pejabat Pembuat Komitmen dengan PT. Suzuki Indomobil Sales, hanya menjelaskan dengan tegas kewajibankewajiban bagi pihak pengguna barang tetapi tidak menjelaskan kewajiban bagi pihak pengguna. Apabila pihak penyedia melakukan wanprestasi maka akan ada tindakan yaitu sanksi/denda, jaminan pelaksanaan akan menjadi milik negara, dan pemutusan perjanjian yang dilakukan oleh pihak pengguna barang. Kewajiban pemerintah dalam melakukan pembayaran kepada pihak penyedia tidak tertuang secara jelas di dalam
81
perjanjian. Maka hal ini lah yang membuat ketidakseimbangan terlihat jelas dan akan membuat posisi penyedia barang menjadi lemah. Permasalahan ketidakseimbangan yang tercantum di dalam perjanjian pengadaaan barang dan jasa antara pejabat pembuat komitmen badan penelitian dan pengembangan kementerian dalam negeri dengan PT.Suzuki Indomobil Sales, tidak mencerminkan asas keadilan bagi para pihak dalam menjalankan pelaksanaan hak dan sekaligus mendistribusikan kewajibannya. Hal ini didasarkan pada teori perjanjian menjelaskan bahwa perjanjian harus adanya kesepakatan bersama atau penyesuaian kehendak para pihak, secara bebas, rasional, dan sederajat. 97 Dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dijelaskan syaratsyarat sah suatu perjanjian yaitu: a) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; b) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; c) Suatu hal tertentu; d) Suatu sebab yang halal. Hal ini lah yang harus menjadi dasar dari suatu perjanjian agar terjadi keabsahan dalam menjalani/melaksanakan perjanjian tersebut. Keseimbangan hak dan kewajiban para pihak harus tertuang di dalam perjanjian, apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi maka sanksi yang diberikan haruslah bersikap adil bagi pihak manapun yang melakukan ingkar janji di dalam perjanjian. Pengadaan barang dan jasa merupakan perjanjian kontraktual antara pihak pemerintah dengan pihak swasta 97
Agus Yudha Hernoko, Op.Cit, hlm. 40.
82
yang di dalamnya harus didasarkan kepada syarat-syarat sah perjanjian yang mengandung norma kesetaraan hak bagi semua pihak. Dalam hal ini sebaiknya perjanjian pengadaan barang dan jasa antara Pejabat Pembuat Komitmen Badan Penelitian Dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri dengan PT. Suzuki Indomobil Sales terkhususnya dalam pengaturan pembayaran dan sanksi di dalam Perjanjian Nomor: 027/256/SES, pihak penyedia maupun pengguna menuangkan isi perjanjian berdasarkan keseimbangan hak dan kewajiban. Pemberian sanksi merupakan asas-asas perjanjian yang menjadi dasar kontrak pengadaan yang para pihak sepakati. Asas Pacta sunt servanda menyatakan bahwa terhadap suatu kontrak yang dibuat secara sah dan sesuai hukum yang berlaku, serta sesuai pula dengan kebiasaan dan kelayakan, sehingga diasumsi sebagai kontrak yang dibuat dengan iktikad baik, maka klausula-klausula dalam kontrak seperti itu mengikat para pihak yang membuatnya, di mana kekuatan mengikatnya setara dengan kekuatan mengikatnya sebuah undang-undang, dan karenanya pula pelaksanaan kontrak seperti itu tidak boleh baik merugikan pihak lawan dalam kontrak maupun merugikan pihak ketiga di luar para pihak dalam kontrak tersebut.98 Dalam hal ini bahwa kontrak pengadaan yang telah disepakati akan menjadi undang-undang bagi kedua pihak yang isisnya tidak merugikan para pihak. Selain itu kontrak pengadaan juga harus dibuat dengan itikad baik. Kesepakatan dalam kontrak yang diwujudkan secara lisan maupun tertulis dengan penandatanganan kontrak oleh para pihak harus dilaksanakan dengan asas itikad baik. Dengan itikad baik maka apabila salah satu 98
Munir Fuady, Opcit, hlm. 211.
83
pihak melakukan perbuatan yang melanggar dari apa yang telah disepakati maka dengan itikad baiknya pihak tersebut harus bertanggung jawab dan menanggung segala konsekuensi sesuai dengan apa yang telah disepakati, seperti tentang ganti kerugian. Ganti kerugian merupakan salah satu asas yang dimuat dalam kontrak pengadaan, karena dalam kontrak yang telah disepakati tidak menutup kemungkinan untuk terjadi perbuatan wanpretasi. Ganti kerugian memberikan hak kepada setiap pihak yang dirugikan untuk menuntut ganti rugi atas tidak dipenuhinya atau dilanggarnya atau diabaikannya suatu ketentuan dalam kontrak oleh pihak lain. 99 Kewenangan pemerintah harus dilandasi oleh ketentuan hukum yang ada (konstitusi), sehingga kewenangan tersebut merupakan kewenangan yang sah. Dengan demikian, pejabat (organ) dalam mengeluarkan keputusan didukung oleh sumber kewenangan tersebut. Teori kewenangan ini harus menjadi landasan di dalam suatu perjanjian pengadaan barang/jasa pemerintah agar tidak ada penyalahgunaan wewenang atau kewenangan yang menyimpang demi suatu kepentingan tanpa ada memikirkan sebab akibat yang di dapat dari penyedia barang/jasa. Hukum merupakan suatu sistem yang penting dalam pelaksanaan kewenangan dan kekuasaan kelembagaan Negara dan Pemerintah. Hukum berperan dalam menciptakan suatu kondisi yang stabil dalam penyelanggaraan negara dan menjadi batasan bagi Pemerintah dalam bersikap tindak dalam melakukan suatu perbuatan hukum sehingga tetap taat asas-asas begitu juga dalam melakukan perjanjian pengadaan barang/jasa pemerintah.
99
Ibid, hlm. 106.