BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Permasalahan
Mempunyai anak bagi sebagian besar orang tua adalah sebuah anugerah yang berharga, sebuah pemberian dari Tuhan yang dinanti-nantikan kehadirannya. Anak menjadi pelengkap kebahagiaan dan pengikat kasih sayang dalam sebuah keluarga1 yang tanpanya banyak keluarga seringkali mengalami krisis. Kehadiran anak merupakan kerinduan bagi banyak keluarga yang
W D
oleh karena berbagai hal seperti sakit penyakit, usia yang terlalu matang, kemandulan membuat banyak keluarga tidak dapat memiliki anak dari pernikahan mereka. Memiliki anak menjadi hal yang sangat penting karena dari berbagai budaya di Indonesia, seperti misalnya budaya Jawa, menganggap memiliki anak merupakan tujuan dari sebuah perkawinan sehingga sebuah keluarga
K U
belumlah lengkap tanpa kehadiran anak2. Begitu penting keberadaan anak bagi sebuah keluarga.
Namun ironisnya ada banyak kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi di Indonesia yang dari tahun ke tahun semakin meningkat. Kekerasan-kekerasan tersebut meliputi3:
1. Kekerasan fisik berupa penyiksaan, pemukulan, dan penganiayaan terhadap anak dengan
@
atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu, yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak. Bentuk luka dapat berupa lecet atau memar akibat persentuhan atau kekerasan benda tumpul, seperti bekas gigitan, cubitan, ikat pinggang atau rotan. Dapat pula berupa luka bakar akibat bensin panas atau berpola akibat sudutan rokok atau setrika. Lokasi luka biasanya ditemukan pada daerah paha, lengan, mulut, pipi, dada, perut, punggung atau daerah bokong. 2. Kekerasan secara psikis meliputi penghardikan, penyampaian kata-kata kasar dan kotor, memperlihatkan buku, gambar, atau film pornografi terhadap anak.
1
Lois Wladis Hoffman, Arland Thornton, and Jean Denby Manis, “The Value of Children to Parents in the United State”, Journal of Population, Michigan: University of Michigan, volume 1, 1978, h. 92. 2 R. M. Soedarsono, Nilai Anak dan Wanita dalam Masyarakat Jawa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara, Bagian Jawa, 1986, h. 45. 3 Edi Suharto, Pembangunan, Kebijakan Sosial, dan Pekerjaan Sosial, (Bandung: Lembaga Studi PembangunanSekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial, 1997) h. 365-366.
1
3. Kekerasan seksual dapat berupa perlakuan pra kontak seksual antara anak dengan orang yang lebih besar(melalui kata, sentuhan, gambar visual, exhibitionism), maupun perlakuan kontak seksual secara langsung antara anak dengan orang dewasa(incest, perkosaan, eksploitasi seksual). 4. Kekerasan secara sosial dapat mencakup penelantaran anak dan eksploitasi anak. Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orang tua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh kembang anak. Seperti dikucilkan, diasingkan atau tidak diberikan pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak. Sikap ini juga menunjuk pada diskriminasi atau perlakuan sewenang-wenang seperti memaksa anak untuk bekerja di tempat yang berbahaya dan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga
W D
yang melebihi batas kemampuannya.
Anak yang dimaksud disini adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan4. Pada usia ini anak masih hidup dan bergantung pada orang tua karena ketidakmatangan fisik, psikologi dan sosial anak yang perlu mendapat perhatian dan pemenuhan
K U
5
kebutuhan dari orang tuanya . Namun pada usia ini anak-anak rentan mengalami kekerasan seperti yang data terbaru Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak yang menyebutkan bahwa6:
1. Kasus kekerasan terhadap anak pada tahun 2012 meningkat dari tahun sebelumnya yang
@
berjumlah 2.509 menjadi 2.637. Sebanyak 1.075 anak diantaranya merupakan korban kekerasan seksual atau mencapai 40,77%. Korban kekerasan fisik mencapai 31,06% atau 819 anak, dan 743 anak menjadi korban kekerasan psikis atau sebanyak 28,1%. Dari jumlah 2.637 anak yang mengalami kekerasan itu, sebanyak 1.657 merupakan anak perempuan dan 980 merupakan anak laki-laki. 2. Dari 2.637 kasus kekerasan pada anak pada tahun tersebut, jumlah pelaku kekerasan tertinggi dilakukan oleh ayah tiri. Kekerasan fisik yang dilakukan ayah tiri sebanyak 91 kasus, kekerasan seksual 129 kasus dan kekerasan psikis 6 kasus. Sementara kekerasan fisik yang dilakukan ayah kandung 86 kasus, kekerasan seksual yang dilakukan ayah kandung atau incest sebanyak 17 kasus, dan kekerasan psikis yang dilakukan ayah
4
Undang-Undang 23 tahun 2003 pasal 1 Jane Brooks, The Process of Parenting, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011) h. 11. 6 http://sosbud.kompasiana.com/2013/03/14/miriskekerasan-terhadap-anak-di-keluarga--542752.html diakses pada Rabu, 1 Mei 2013, pk. 00.30. 5
2
kandung ada 20 kasus. Selain itu, jumlah kekerasan fisik yang dilakukan ibu kandung ada 32 kasus.
Data tersebut menunjukkan bahwa kekerasan terhadap anak tidak dalam jumlah yang kecil dan yang lebih memprihatinkan data tersebut menunjukkan bahwa kekerasan terjadi dalam keluarga. Kekerasan domestik yang dilakukan oleh orang tua. Bahkan data tersebut bukanlah data final yang dapat menunjukkan secara keseluruhan tindak kekerasan terhadap anak yang terjadi di Indonesia karena kasus kekerasan terhadap anak bukan hal yang mudah untuk diungkap ke ruang publik7.
W D
Kasus kekerasan terhadap anak terkhusus kekerasan dalam keluarga menggelisahkan penyusun terlebih kekerasan yang dilakukan oleh keluarga Kristen. Fakta kasus kekerasan terhadap anak oleh keluarga Kristen penyusun dapati dan alami di dalam kehidupan harian keluarga Kristen di lingkungan tempat asal penyusun yaitu di GKJW Jemaat Sitiarjo dengan mayoritas penduduknya beragama Kristen8. Kekerasan terhadap anak di lingkungan tersebut dianggap hal yang biasa
K U
oleh masyarakat sekitar namun jika kekerasan tersebut menghadirkan luka, dukacita, sakit bahkan kematian maka tindakan manusia tersebut telah merusak hubungan manusia dengan Allah dan menghancurkan ciptaan-Nya9. Secara teologis kekerasan terhadap anak yang menghadirkan luka (restricted definition)10, baik fisik maupun psikis telah menghancurkan anakanak sebagai ciptaan-Nya.
@
Tindak kekerasan terhadap anak merupakan hal yang mengerikan mengingat kemungkinankemungkinan akibat dari tindak kekerasan tersebut yaitu11: 1. Cacat tubuh permanen 2. Kegagalan belajar
3. Gangguan emosional bahkan dapat menjurus pada gangguan kepribadian 4. Konsep diri yang buruk dan ketidakmampuan untuk mempercayai atau mencintai orang lain. 7
Abu Huraerah, Kekerasan terhadap Anak, (Bandung: Nuansa, 2006) h. 50. Berdasarkan hasil wawancara dengan Pendeta GKJW Jemaat Sitiarjo pada Senin, 08 April 2013, pk. 10.30 dan pengamatan langsung di lingkungan tempat tinggal penyusun. 9 Lucien van Liere, Memutus Rantai Kekerasan: teologi dan etika Kristen di tengah tantangan glogalisasi dan terorisme, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010) h. 45. 10 Ibid, h. 46. 11 Abu Huraerah, Kekerasan terhadap Anak, h. 46-47. 8
3
5. Pasif dan menarik diri dari lingkungan, takut membina hubungan baru dengan orang lain 6. Agresif dan kadang-kadang melakukan kriminal 7. Menjadi penganiaya ketika dewasa 8. Menggunakan obat-obatan atau alkohol 9. Kematian
Fakta kekerasan terhadap anak secara nyata terjadi di Greja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Jemaat Sitiarjo. Yang secara teritorial berada di Desa Sitiarjo yaitu daerah selatan Kabupaten Malang yang berjarak sekitar 75km dari Kota Malang. GKJW Jemaat Sitiarjo merupakan gereja besar dengan jumlah 653 kepala keluarga yang terdiri dari 647 laki-laki, 780 perempuan, 174 anak
W D
laki-laki dan 212 anak perempuan dengan rata-rata jumlah anak dalam keluarga sebanyak dua orang anak. Bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan adalah pemukulan, kata-kata kasar (makian) dan pemberian hukuman yang berat serta penelantaran anak.
Merujuk pada kehidupan jemaat GKJW Sitiarjo dengan 50% keluarga berada dalam
K U
perekonomian tingkat bawah, ada banyak macam pekerjaan yang dikerjakan oleh jemaat sebagai sarana pemenuhan kebutuhan hidup. Sebagian besar bekerja sebagai petani, petani pemilik atau buruh tani, sebagian lagi sebagai peladang, sebagian lain bekerja sebagai pedagang, sebagian lagi bekerja di luar negeri dan sebagian lain sebagai buruh serabutan dengan kuota yang cukup besar. Ada golongan ekonomi menengah yang memiliki tanah dan sawah yang dapat memperkerjakan
@
orang, ada golongan ekonomi bawah yang bekerja menjadi buruh di tanah dan ladang orang dan pekerjaan serabutan lain untuk menyambung hidup.
Tingkat sosial dari jemaat GKJW Sitiarjo ditentukan oleh tingkat ekonominya dan jabatan gerejawi. Jemaat dengan tingkat ekonomi yang baik dan mampu memperkerjakan orang-orang akan memiliki tingkat sosial yang baik di tengah masyarakat. Selain daripada memiliki tingkat ekonomi yang baik, seseorang yang menduduki jabatan gerejawi maka akan lebih dipandang dan lebih dihormati dalam masyarakat terlebih seseorang yang memiliki tingkat ekonomi yang baik dan menduduki jabatan gerejawi. Tingkat sosial yang ditentukan oleh jabatan gerejawi ini tidak terlepas dari sistem feodal yang masih melekat di tengah pemahaman masyarakat. Bagi masyarakat Jawa, jabatan gerejawi dianggap sama perannya dengan tetua-tetua dalam pemahaman budaya Jawa dan orang-orang yang menduduki jabatan gerejawi seringkali adalah tetua-tetua masyarakat yang dianggap lebih mengerti dan bijaksana. Sebagai tetua yang 4
bijaksana, yang bisa berkhotbah dan memahami Alkitab dibandingkan dengan orang awam biasanya maka orang-orang yang menduduki jabatan gerejawi mendapat penghormatan dan status sosial yang lebih tinggi.
Seseorang maupun keluarga dengan status ekonomi dan sosial yang tinggi memungkinkan untuk memperoleh pendidikan yang tinggi dan sarana-prasarana informasi yang memadai. Di Desa Sitiarjo terdapat sarana-prasana pendidikan dari Taman Kanak-kanak sampai dengan Sekolah Menengah Umum, bahkan saat ini telah terdapat banyak prasekolah seperti sekolah Pendidikan Anak Usia Dini. Bagi masyarakat saat ini biaya pendidikan tentu bukan lagi menjadi masalah utama mengingat bahwa banyak bantuan yang bisa diperoleh anak dalam masing-masing jenjang
W D
pendidikannya di Sitiarjo. Ada PAUD yang tidak dipungut biaya, bagi jenjang Sekolah Dasar ada BOS, di tingkat SMP dan SMU, yayasan pendidikan Kristen di Sitiarjo sangat minim biaya bahkan ada bantuan bagi siswa yang tidak mampu. Sehingga dapat dipastikan bahwa tidak ada anak yang putus sekolah karena tidak ada biaya, kemungkinan yang terjadi adalah anak-anak yang tidak mau bersekolah dan orang tua-orang tua tidak memaksakan anak-anaknya untuk
K U
bersekolah.
Ijazah SMU merupakan barang wajib yang harus dimiliki oleh anak-anak dalam masyarakat Desa Sitiarjo saat ini. Pendidikan formal sampai tingkat SMU diharapkan dapat diraih oleh anak-
@
anak. Para orang tua ini berharap dengan ijazah SMU yang mereka punya anak-anak akan mendapat pekerjaan yang layak dengan gaji yang lumayan sehingga dapat mandiri dan membina rumah tangga yang baik ke depannya. Namun harapan tersebut bagi sebagian orang tua yang lain bukanlah hal wajib dan hak yang harus dimiliki oleh anak-anak mereka. Bagi orang tua-orang tua ini yang menjadi hal yang sangat penting adalah anak-anak segera mendapat pekerjaan dan mendapatkan uang secara mandiri sehingga tidak lagi menjadi beban tetapi segera menghasilkan uang bagi orang tua mereka.
“Lebih baik menjadi orang yang mengerti daripada menjadi orang yang pintar” adalah falsafah Jawa yang masih kental dihidupi oleh masyarakat Desa Sitiarjo dan GKJW Jemaat Sitiarjo sebagai bagiannya. Falsafah Jawa tersebut hendak mengatakan bahwa menjadi orang bijak lebih baik daripada hanya menjadi orang yang pandai. Menjadi orang yang mengerti atau bijak tidak dapat hanya ditemukan dalam pendidikan formal tetapi berasal dari perjalanan kehidupan yang dijalani. Falsafah tersebut kemudian mendiskreditkan nilai pendidikan formal bagi anak-anak 5
sehingga banyak anak-anak yang tidak mendapat mendidikan sampai dengan jenjang SMU. Bagi kebanyakan orang tua terlebih keluarga yang hidup dalam kemiskinan, anak-anak yang segera bekerja dan segera mandiri sehingga tidak lagi menjadi beban bagi mereka adalah hal yang harus dilakukan. Dan tidak dapat dipungkiri bahwa kebiasaan dan cara hidup yang demikian masih kental dalam masyarakat Desa Sitiarjo.
Berbicara tentang informasi maka kebutuhan informasi sangat diperlukan bagi manusia. Informasi diperlukan sebagai sarana pengetahuan manusia dalam upaya mengembangkan diri, disamping itu informasi juga memudahkan manusia dalam menjalani kehidupannya. Dalam hal sarana dan prasarana informasi dan komunikasi maka Desa Sitiarjo untuk saat ini dapat
W D
dikatakan telah berkembang meski tidak dapat dikatakan maju. Signal telekomunikasi selular sudah dapat dinikmati oleh masyarakat sejak delapan tahun yang lalu meski tidak semua signal seluler ada, tetapi hal tersebut cukup membuktikan bahwa informasi dapat segera diakses oleh masyarakat. Dalam tahun-tahun belakangan ini, pemakaian telepon selular telah berkembang begitu pesat bahkan menggantikan telepon rumah, dihampir setiap rumah dapat dipastikan
K U
memiliki minimal satu alat telekomunikasi berupa telepon selular. Media komunikasi dan informasi elektronik dapat dinikmati hampir di setiap rumah. Dipastikan bahwa setiap rumah memiliki televisi sebagai media komunikasi, informasi dan hiburan. Kenyataan tersebut menjadi timpang dengan realitas keterbatasan mereka secara ekonomi namun bergaya hidup sesuai dengan perkembangan jaman.
@
Mayoritas keluarga-keluarga dengan tingkat ekonomi bawah juga berasal dari keluarga-keluarga dengan tingkat ekonomi bawah dan yang sebagian besar tidak berpendidikan. Dalam menjalani kehidupannya setiap orang mempunyai pengalaman dan memori yang berasal dari keluarganya masing-masing. Pengalaman dan memori itulah yang sangat mempengaruhi bagaimana seseorang melanjutkan kehidupannya bersama dengan keluarga mandirinya. Dengan keadaan ekonomi yang memprihatinkan disertai dengan pendidikan yang tidak memadai maka akan lebih sulit keluarga-keluarga tersebut mencapai keluarga yang ideal. Terlebih jika pengalaman dan memori keluarga berisikan pengalaman kekerasan maka akan lebih beresiko melakukan hal yang sama di dalam keluarga selanjutnya.
Dengan kebutuhan yang semakin mendesak dan pendidikan yang tidak memadai faktanya kekerasan dalam keluarga terkhusus kepada anak tidak dapat dihindarkan. Dari 35% keluarga 6
yang melakukan kekerasan terhadap anak sebagian besar merupakan keluarga-keluarga dengan tingkat ekonomi bawah meskipun keluarga-keluarga dengan kondisi ekonomi yang lebih baik juga melakukannya. Kerentanan melanjutkan lingkaran setan kekerasan dalam keluarga sangat besar karena perjalanan kehidupan yang semakin berat dan tidak dapat semua orang memproses kehidupan yang dialami dengan baik. Selain tingkat ekonomi yang memprihatinkan dan pendidikan yang tidak memadai seringkali lingkaran setan kekerasan dalam keluarga terkhusus terhadap anak semakin diperkuat oleh adanya pemahaman yang keliru tentang doktrin dan ajaran-ajaran kekristenan juga terkait dengan tradisi-tradisi yang berlaku dalam masyarakat.
Fenomena kekerasan terhadap anak bukanlah hal yang baru, tindak kekerasan terhadap anak oleh
W D
orang tua merupakan pergumulan bersama yang harus segera disikapi. Dari data dan fakta yang terjadi di lapangan seharusnya menjadi realitas yang memprihatinkan kita semua. Berdasar fenomena dan realita tersebut penyusun memfokuskan diri pada teologi tentang anak yang dipegang oleh orang tua, terkhusus keluarga Kristen dalam memandang anak dalam kaitannya dengan tindak kekerasan yang dilakukan.
K U
1.2. Pokok Permasalahan
Fenomena kekerasan terhadap anak tentu bukan persoalan sepele sehingga dapat dengan mudah
@
diselesaikan terlebih dengan realitas minimnya kesadaran akan persoalan ini. Kekerasan terhadap anak merupakan persoalan pelik yang mengharapkan tindakan dari setiap pihak untuk mengatasi dan mencegah tindak kekerasan ini. Dalam realitanya tindak kekerasan banyak dilakukan oleh keluarga-keluarga Kristen. Hal ini menggelisahkan penyusun sebagai orang Kristen yang hidup di tengah-tengah keluarga dan lingkungan Kristen dengan ajaran Kekristenan untuk saling mengasihi, yang nir kekerasan namun justru melakukan kekerasan. Penyusun merasakan ada ketidakkonsistenan antara ajaran kekristenan dengan realita yang terjadi dalam kehidupan keluarga. Kristus dan kekristenan berbicara dan meneladankan kasih serta anugerah Allah dalam kehidupan manusia, namun realitanya terdapat banyak konflik dan kekerasan.
Dalam pemahaman iman Kristen dan keyakinan umum orang Kristen, Allah adalah kasih yang oleh karenanya kita harus saling mengasihi tanpa melakukan kekerasan. Namun bagaimana mungkin orang Kristen yang hidup berlandaskan kasih melakukan kekerasan dalam keluarga? 7
Anak adalah anugerah Allah yang diberikan kepada keluarga untuk dikasihi. Keyakinan tersebut banyak dihidupi oleh keluarga-keluarga Kristen namun mengapa kekerasan terhadap anak justru banyak terjadi? Apa yang menjadi pemahaman keluarga-keluarga ini terkhusus orang tua-orang tua Kristen ini dalam memandang anak mereka sehingga kekerasan justru yang terjadi? Hal inilah yang mendorong penyusun melakukan penelitian dalam konteks lingkungan asal penyusun untuk mencari jawab dan memikirkan apa yang dapat dilakukan oleh kita bersama dalam menyikapi persoalan kekerasan terhadap anak tersebut.
Dengan latar belakang permasalahan yang telah penyusun sampaikan pada bagian sebelumnya, penyusun memfokuskan diri pada keluarga-keluarga Kristen dalam memandang anak. Penyusun
W D
hendak menyoroti dan memeriksa pemahaman keluarga Kristen mengenai diri mereka sebagai orang tua, mengenai anak, dan mengenai relasi antara orang tua dan anak, di dalam penghayatan iman mereka. Ketiga hal tersebut dipakai untuk melihat secara keseluruhan apa yang dipahami oleh orang tua perihal tindak kekerasan terhadap anak. Dalam pembatasan masalah penyusun membatasi diri pada permasalahan kekerasan terhadap anak dalam bentuk fisik dan verbal
K U
mengingat bahwa bentuk kekerasan tersebut yang dapat diamati dan dapat diungkap dengan lebih ringan. Terkhusus pula konteks penelitian dilakukan di Greja Kristen Jawi Wetan (selanjutnya akan memakai kata GKJW) Jemaat Sitiarjo yang penyusun dapati terjadi banyak kasus kekerasan terhadap anak oleh keluarga Kristen.
@
Penyusun hendak mencari teologi tentang anak dalam diri keluarga-keluarga Kristen pelaku kekerasan terhadap anak untuk mencari dan memahami akar dari tindak kekerasan yang terjadi. Maksud dari teologi tentang anak dalam tulisan ini berangkat dari pemahaman Marcia J. Bunge yang menyebutkan bahwa teologi tentang anak (theologies of childhood) merupakan teologi yang bertujuan untuk menyediakan pemahaman teologi tentang anak-anak dan kewajiban kita terhadap anak-anak.12 Pemahaman tersebut kemudian penyusun daratkan dalam ketiga aspek dalam memahami anak-anak yang tidak dapat terlepas dari keluarga.
Yaitu mengenai
pemahaman-pemahaman yang dimiliki oleh keluarga-keluarga Kristen dalam memandang diri mereka sebagai keluarga –sebagai orang tua–, pemahaman mereka mengenai nilai anak dan relasi antara orang tua dengan anak secara teologis.
12
Marcia J. Bunge, “Biblical and Theological Perspectives on Children , Parents, and ‘Best Practises’ for Faith Formation : Resources for Child, Youth, and Family Ministry Today”, Dialog: A Journal of Theology, vol. 47, Number 4, 2008, h. 350.
8
Dengan mendasarkan diri pada teologi tentang anak tersebut di atas maka perumusan masalah akan berfokus pada: 1. Bagaimana teologi tentang anak dalam diri orang tua dalam konteks tindak kekerasan terhadap anak oleh keluarga Kristen? 2. Bagaimana korelasi antara pemahaman teologi tentang anak dengan fakta kekerasan terhadap anak dalam keluarga Kristen? 3. Bagaimana gereja menjawab realita konkret tersebut?
1.3. Judul Tulisan
W D
"Kekerasan Terhadap Anak dalam Keluarga Kristen: Sebuah Studi tentang Teologi Anak dalam Diri Orang Tua Kristen yang Melakukan Kekerasan Terhadap Anak di Jemaat Greja Kristen Jawi Wetan Sitiarjo"
K U
1.4. Tujuan dan Alasan
Penyusun menulis skripsi mengenai tindak kekerasan terhadap anak oleh keluarga Kristen pertama-tama hendak menjawab pertanyaan dalam diri penyusun mengenai nilai anak bagi
@
keluarga dengan pengalaman kekerasan yang penyusun alami di dalam keluarga. Terlebih penyusun mendapati pengalaman serupa banyak dan sering terjadi di lingkungan Kristen di jemaat GKJW Sitiarjo. Kekerasan yang dilakukan oleh keluarga-keluarga Kristen di GKJW Jemaat Sitiarjo menjadi hal yang biasa yang sangat memprihatinkan. Dengan memeriksa pemahaman-pemahaman keluarga-keluarga Kristen mengenai anak dengan menggunakan teori teologi tentang anak secara ideal diharapkan penyusun dapat memberi jawab dan berpartisipasi dalam persoalan bersama mengenai tindak kekerasan terhadap anak. Tulisan ini tidak dapat secara ajaib menyelesaikan semua persoalan tindak kekerasan terhadap anak dan menyembuhkan diri penyusun dengan mudah dan singkat. Membutuhkan waktu dan kemauan bersama untuk berpartisipasi dan memeriksa diri akan peliknya persoalan ini bagi semua pihak. Dengan tulisan ini penyusun berharap dapat membantu anak-anak dalam kehidupan mereka untuk mendapatkan hak-hak mereka sebagai anak-anak meski tulisan ini hanya sejumput kecil usaha dalam berpastisipasi dalam persoalan ini. Namun lebih dalam dari itu penyusun dengan hati lapang 9
ingin juga menolong orang tua-orang tua ini. Dengan penulisan skripsi ini penyusun berharap dapat menemukan dan mendapatkan pemahaman orang tua terhadap anak secara real di lapangan untuk selanjutnya dibahas secara teologis demi mengusahakan kehidupan keluarga yang lebih baik.
1.5. Metode Penelitian
Dalam ranah memeriksa teologi dengan konteks tertentu maka penyusun memakai metode penelitian empiris-kualitatif dalam bentuk wawancara dan studi literatur secara deskriptifanalitis. Metode penelitian empiris-kualitatif
dalam bentuk wawancara bertujuan untuk
W D
mendapatkan data praktik yang real di lapangan dengan diperhadapkan pada teori-teori ideal untuk memeriksa dan menganalisa. Berdasarkan permasalahan yang penyusun bahas maka penyusun melakukan wawancara dengan keluarga-keluarga pelaku kekerasan sebagai fokus utama. Yang menjadi konteks penelitian adalah GKJW Jemaat Sitiarjo. Dalam pencarian sample wawancara dengan mengikuti ketentuan 10% dari populasi keluarga pelaku kekerasan maka
K U
penyusun melakukan wawancara terhadap dua belas informan dari 120 keluarga pelaku kekerasan terhadap anak dengan mempertimbangkan status sosial, perekonomian dan usia perkawinan dari para informan. Pertimbangan-pertimbangan ini diharapkan dapat mencakup kompleksitas dari teologi tentang anak dalam keluarga pelaku kekerasan.
@
Dalam metode penelitian ini penyusun memakai prosedur lingkaran empiris Penelitian Jemaat yang terbagi dalam lima tahapan yaitu:
1. Melihat fenomena dan memperlihatkan permasalahan teologis (diuraikan dalam bab 1). 2. Induksi Teologis berisikan Kerangka Teoritis yang dipakai sebagai landasan dalam memeriksa realita lapangan (diuraikan dalam bab 2). 3. Deduksi Teologis berbicara mengenai variabel-variabel yang akan digunakan untuk meneliti. Variabel-variabel ini adalah penjabaran dari Kerangka Teoritis yang dipakai dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan penelitian (diuraikan dalam bab 2). 4. Analisis akan dilakukan setelah mendapatkan hasil dari penelitian empiris. Analisis akan menggunakan literatur-literatur yang komprehensif dan terutama menggunakan perspektif Alkitab-refleksi teologis untuk menentukan apakah realita yang terjadi di masyarakat benar atau salah (diuraikan dalam bab 3). 10
5. Kontribusi berbicara mengenai solusi apa yang ditawarkan setelah ditemukan hasil dari penelitian empiris sebagai sumbangsih yang sekiranya dapat membantu (diuraikan dalam bab 4).
1.6. Sistematika Tulisan
Bab I. Pendahuluan Berisi latar belakang dan konteks GKJW Jemaat Sitiarjo yang menggambarkan fenomena kekerasan terhadap anak oleh keluarga Kristen, rumusan permasalahan, judul tulisan, tujuan penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.
W D
Bab II. Teologi tentang Anak
Berisi pemaparan landasan teori Teologi tentang anak yang berangkat dari pemahaman orang tua mengenai dirinya, pemahaman orang tua mengenai anak dan mengenai relasi orang tua dengan
K U
anak, yang diuraikan secara teologis-biblis dengan memakai kacamata Efesus 6:4.
Bab III. Kekerasan terhadap Anak oleh Keluarga Kristen
Berisi pemaparan hasil penelitian dan analisis secara mendalam mengenai kekerasan terhadap
@
anak yang dilakukan oleh keluarga Kristen dalam integrasinya dengan teori Teologi tentang Anak.
Bab IV. Strategi Pembangunan Jemaat : Gereja sebagai Hamba Berisi rekomendasi yaitu strategi pembangunan jemaat oleh gereja berdasarkan hasil analisa deskriptif dalam rangka menolong para orang tua pelaku kekerasan terhadap anak dalam realita konteks hidup mereka. Strategi pembangunan jemaat yang terwujud dalam program-program gereja berorientasi pada gambar Gereja sebagai Hamba.
Bab V. Kesimpulan dan Saran Pada bagian akhir akan ditutup dengan kesimpulan dan saran dari keseluruhan bab yang telah diuraikan. 11