BAB I BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang sepertiga daerahnya merupakan daratan. Daratan tersebut terdiri atas hutan, tanah pertanian, dan masih berupa lahan kosong. Selain itu, banyak kekayaan alam yang terkandung di dalam daratan Indonesia, antara lain batubara, nikel, timah, tembaga, dan sebagainya. Kekayaan alam yang melimpah membuat daya tarik tersendiri untuk perusahaan tambang baik yang dikelola swasta lokal maupun luar negeri dan perusahaan pemerintah yang melakukan penambangan di Indonesia. Hampir sebagian besar wilayah Indonesia, yaitu Kalimantan, Sulawesi dan Sumatra dilakukan penambangan batubara dan nikel yang merupakan salah satu komoditi ekspor terbesar untuk Indonesia. Maka dari itu, banyak perusahaan tambang yang melakukan eksplorasi penambangan di Indonesia, baik perusahaan milik pemerintah ataupun perusahaan swasta. Sebagian besar perusahaan tambang di Indonesia melakukan eksplorasi penambangan tersebut pada daerah-daerah pedalaman dan area terbuka yang berupa hutan dan pegunungan. Sedangkan kegiatan pengangkutan dan pengiriman hasil tambang tersebut berada di tepi sungai ataupun di tepi pantai yang letaknya jauh dari kegiatan eksplorasi. Dari kasus tersebut, maka dibutuhkan suatu akses berupa jalan yang menghubungkan antara daerah eksplorasi dan daerah distribusi.Untuk pembuatan jalan tersebut, dibutuhkan beberapa tanah yang harus dibebaskan untuk kemudian dibangun suatu jalan sebagai akses penghubung. PT. Vale Indonesia tbk. merupakan perusahaan yang bergerak dibidang pertambangan nikel yang terletak di Sulawesi Tengah. Area eksplorasi PT. Vale Indonesia tbk.ini berada di Sorowako, Sulawesi Selatan dan akan melakukan aktivitas pertambangannya di daerah Bahodopi, Morowali, Sulawesi Tengah. Pada daerah tersebut akan dibangun pelabuhan untuk pengiriman hasil tambang nikel yang diambil dari area eksplorasi. Untuk menghubungkan kedua daerah tersebut,
1
2
dibutuhkan jalan sejauh 60 km. Pada tahap awal pekerjaan, jalan akan dibangun sejauh 6 km terlebih dahulu dengan membebaskan tanah sebanyak 11 bidang. Oleh karena itu, pada kegiatan aplikatif ini akan dibahas tentang proses pembebasan tanah yang akan dilakukan untuk pembangunan jalan penghubung antara area kerja PT. Vale Indonesia tbk. di Sorowako, Sulawesi Selatan dengan area kerja PT. Vale Indonesia tbk. di Morowali, Sulawesi Tengah guna mengetahui prosedur-prosedur yang baik dalam melakukan pembebasan tanah sehingga adanya sengketa tanah antar perusahaan ataupun perusahaan dengan warga masyarakat dapat terminimalisir. I.2. Lingkup Kegiatan 1. Kegiatan pembebasan tanah ini dilakukan di area lingkup kerja PT. Vale Indonesia TBK. wilayah Bahodopi, Morowali, Sulawesi Tengah pada tahun 2013 yang membebaskan 11 bidang tanah. 2. Aspek yuridis dan aspek teknik dari pelaksanaan pembebasan tanah. I.3. Tujuan Tujuan dari pelaksanaan kegiatan aplikatif ini adalah mempelajari kembali proses pelaksanaan pembebasan tanah yang dilakukan oleh PT. Vale Indonesia tbk. ditinjau dari aspek yuridis dan aspek teknis. I.4. Manfaat Adapun manfaat yang akan diperoleh dari hasil kegiatan aplikatif ini antara lain : 1. Mengetahui sistematika dan tata cara pelaksaaan pembebasan tanah yang dilakukan oleh pihak swasta dalam hal ini adalah PT. Vale Indonesia tbk. 2. Memberikan gambaran umum tentang apa yang akan terjadi dalam pelaksanaan pembebasan tanah untuk pembangunan oleh pihak swasta. 3. Memberikan alternatif penyelesaian pembebasan tanah apabila terjadi sengketa dan kecurangan.
3
I.5. Landasan Teori I.5.1. Pembebasan Tanah Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pembebasan tanah adalah onteigening yaitu pencabutan hak atas tanah dan benda yang ada di atasnya oleh pemerintah untuk dijadikan sarana kepentingan umum, pelaksanaan pencabutan hak tersebut disertai pemberian ganti rugi kepada orang atau pihak yang mempunyai hak atas tanah dan benda tersebut sebelumnya, dengan cara yang diatur berdasarkan undang-undang. Pembebasan/pelepasan hak atas adalah pelepasan hubungan hukum antara seseorang dengan tanah yang dimilikinya dengan cara pemberian ganti rugi yang besarnya didasarkan pada musyawarah antara kedua pihak sedangkan pencabutan hak atas tanah adalah pengambilan tanah secara paksa oleh negara atas tanah milik seseorang yang mengakibatkan hak atas tanah itu menjadi hapus, tanpa yang bersangkutan melakukan pelanggaran atau kelalaian dalam memenuhi kewajiban hukumnya. Dalam Permendagri Nomor 15 Tahun 1975, pembebasan tanah dibagi menjadi 2 bagian, yaitu : 1. Pembebasan tanah untuk kepentingan Pemerintah 2. Pembebasan tanah untuk kepentingan Swasta Dalam suatu pembebasan lahan untuk kepentingan Pemerintah, perlu disusun suatu panitia pembebasan tanah yang bertugas melakukan pemeriksaan/penelitian dan penetapan ganti rugi dalam rangka pembebasan suatu hak atas tanah dengan atau tanpa bangunan/tanaman tumbuh di atasnya, yang pembentukannya ditetapkan oleh Gubernur Kepala Daerah untuk masing-masing Kabupaten/Kotamadya dalam suatu wilayah Provinsi yang bersangkutan. Adapun susunan dari keanggotaan Panitia Pembebasan Tanah terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut : a. Kepala Sub Direktorat Agraria Kabupaten/Kotamadya sebagai Ketua merangkap anggota
4
b. Seorang pejabat dari Kantor Pemerintah Daerah Tingkat 11 yang ditunjuk olehBupati/Walikotamadya Kepala Daerah yang bersangkutan sebagai anggota c. Kepala Kantor IPEDA/IREDA atau pejabat yang ditunjuk sebagai anggota d. Seorang pejabat yang ditunjuk oleh instansi yang memerlukan tanah tersebut sebagai anggota e. Kepala Dinas Pekerjaan Umum Daerah Tingkat II atau pejabat yang ditunjuknyaapabila mengenai tanah bangunan dan/atau Kepala Dinas Pertanian Daerah Tingkat II atau pejabat yang ditunjuknya jika mengenai tanah pertanian sebagai anggota f. Kepala Kecamatan yang bersangkutan sebagai anggota g. Kepala Desa atau yang dipersamakan dengan itu sebagai anggota h. Seorang pejabat dari Kantor Sub Direktorat Agraria Kabupaten/Kotamadya yangditunjuk oleh Kepala Sub Direktorat Agraria Kabupaten/Kotamadya yang bersangkutansebagai Sekretaris bukan anggota. Tugas dari Panitia Pelaksana Pembebasan Tanah tersebut adalah : a. Mengadakan inventarisasi serta penelitian setempat terhadap keadaan tanahnya, tanam tumbuh dan bangunan-bangunan b. Mengadakan perundingan dengan para pemegang hak atas tanah dan bangunan/tanaman c. Menaksir besarnya ganti rugi yang akan dibayarkan kepada yang berhak d. Membuat berita acara pembebasan tanah disertai fatwa/pertimbangannya e. Menyaksikan pelaksanaan pembayaran ganti rugi kepada yang berhak atas tanah Panitia pembebasan Tanah setelah menerima dan mempertimbangkan alasan penolakantersebut, dapat mengambil sikap sebagai berikut: a. Tetap kepada putusan semula b. Meneruskan
surat
penolakan
dimaksud
dengan
disertai
pertimbanganpertimbangannya kepada Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan untuk diputuskan.
5
Pasal 9 Permendagri Nomor 15 Tahun 1975 menyebutkan bahwa bilamana telah tercapai kata sepakat mengenai besar/bentuknya ganti rugi seperti dimaksud dalam pasal 6 ayat (5), maka dilakukan pembayaran ganti rugi sejumlah yang telah disetujui bersama. Bersama dengan pembayaran ganti rugi itu dilakukan pula penyerahan/pelepasan hak atas tanahnya dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 4 (empat) orang anggota Panitia Pembebasan Tanah, di antaranya Kepala Kecamatan dan Kepala Desa yang bersangkutan. Apabila pembebasan tanah beserta pemberian ganti rugi telah selesai dilaksanakan, maka instansi yang memerlukan tanah tersebut diharuskan mengajukan permohonan sesuatu hak atas tanah kepada Pejabat yang berwenang seperti dimaksud dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 tahun 1972. Pengadaan tanah untung kepentingan swasta, berbeda dengan pengadaan tanah untuk kepentingan umum, baik secara peruntukan dan kemanfaatan maupun tata cara perolehan tanahnya. Hal ini dikarenakan pihak yang membutuhkan tanah bukan subyek yang berhak untuk memiliki tanah dengan status yang sama dengan tanah yang dibutuhkan untuk pembangunan tersebut dan bertujuan untuk memperoleh keuntungan semata. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan pengadaan tanah untuk kepentingan swasta adalah kepentingan yang diperuntukan memperoleh keuntungan semata sehingga peruntukan dan kemanfaatannya hanya dinikmati oleh pihak-pihak tertentu bukan masyarakat luas. Jadi tidak semuaa orang bias memperoleh manfaat dari pembangunan tersebut, melainkan orang-orang yang berkepentingan saja. Dalam Permendagri Nomor 15 Tahun 1975 Pasal 11 disebutkan Pemerintah Daerah setempat berkewajiban untuk mengawasi pelaksanaan pembebasan tanah dan pemberian ganti rugi. Pembebasan tanah untuk keperluan swasta pada azasnya harus dilakukan secara langsung antara pihak-pihak yang berkepentingan dengan pemberian ganti rugi dengan berpedoman kepada azas musyawarah. Apabila pembebasan tanah oleh yang berkepentingan meliputi areal yang luas, dalam mana pelaksanaan pembebasan tanah tersebut mengakibatkan pemindahan pemukiman penduduk, maka pemberian izin pembebasan tanah disertai pula kewajiban bagi pihak yang memerlukan tanah untuk menyediakan tempat penampungan pemukiman baru. Bagi mereka yang terkena ketentuan dan
6
mempunyai minat untuk dipindahkan ke pemukiman baru harus diberi biaya-biaya yang
diperlukan
untuk
itu,
diatur
dan
tetapkan
lebih
lanjut
oleh
Bupati/Walikotamadya kepala daerah yang bersangkutan. Pembebasan tanah oleh pihak swasta harus memiliki izin dari Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan yang dimohonkan oleh pihak swasta yang berkepentingan, dengan memperhatikan manfaat dan kegunaan proyek bagi kepentingan umum/rakyat banyak sesuai dengan rencana proyek yang mereka ajukan.Atas permohonan tersebut Gubernur kepala Daerah Tingkat I wajib menyampaikan laporan kepada Menteri Dalam Negeri. Selain itu, dalam Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 2 Tahun 1993 tentang Tata Cara Memperoleh Izin Lokasi dan Hak Atas Tanah bagi Perusahaan dalam rangka Penanaman Modal disebutkan bahwa suatu perusahaan harus mempunyai izin lokasi terlebih dahulu agar dapat melakukan suatu kegiatan disuatu wilayah yang masih menjadi hak pemerintah ataupun hak masyarakat umum. Setelah izin lokasi diterbitkan, dilaksanakan kegiatan perolehan tanah. Dalam kegiatan perolehan tanah, ada 2 tahap yang harus dilakukan, yaitu pemindahan hak atas tanah dan pemberian hak atas tanah. Pada pelaksanaan pemindahan hak atas tanah, tanah yang diperoleh dari hak milik yang sudah bersertipikat, harus dilakukan permohonan pemegang hak milik terlebih dahulu ke Kepala Kantor Pertanahan setempat untuk dilakukan penerbitan sertipikat hak guna bangunan. Sertipikat hak guna bangunan tersebut dipakai untuk pembuatan akta pemindahan di hadapan PPAT yang kemudian diajukan pendaftaran peralihan haknya pada Kantor Pertanahan setempat. Setelah kegiatan pemindahan hak atas tanah selesai dilaksanakan, perusahaan wajib mengajukan permohonan untuk mendapatkan hak atas tanah. Untuk hak guna bangunan permohonan diajukan melalui Kepala Kantor Pertanahan setempat, sedangkan untuk hak guna usaha permohonan diajukan kepada Kepala Kantor Wilayah setempat dengan dilampiri : a. Izin lokasi b. Bukti-bukti perolehan tanah c. Jati diri pemohon/akta pendirian perusahaan yang telah memperoleh pengesahan sebagai badan hukum
7
d. Keputusan pelepasan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan dalam hal tanahnya diperoleh dari hutan konservasi e. Gambar situasi hasil pengukuran kadastral oleh Kantor Pertanahan Pada
pelaksanaan
ganti
rugi,
panitia
bertugas
untuk
mengadakan
penaksiran/penetapan besarnya ganti rugi atas tanah, dan bangunan-bangunan serta tanaman-tanaman yang ada di atasnya dengan cara mengusahakan persetujuan antara kedua belah pihak berdasarkan musyawarah dan mempergunakan harga umum setempat. Selain itu, panita harus berpedoman kepada ketentuan-ketentuan oleh Dinas Pekerjaan Umum dan Dinas Pertanian setempat. Apabila telah tercapai kata sepakat tentang besarnya ganti rugi harus dilakukan secara langsung antara instansi yang memerlukan tanah kepada yang berhak dan bersamaan dengan itu dilakukan pula penyerahan/pelepasan hak atas tanah secara tertulis di hadapan sekurangkurangnya empat rang anggota Panitia Pembebasan Tanah di antaranya Kepala Kecamatan dan Kepala Desa yang bersangkutan. Apabila dalam pelaksanaan ganti rugi tidak terdapat kata sepakat antara pihakpihak maka Panitia Pembebasan Tanah dapat bersikap, tetap pada keputusan semula atau meneruskannya kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan untuk diputuskan lebih lanjut disertai dengan alasan-alasannya. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan dapat mengambil keputusan yang mengukuhkan keputusan Panitia Pembebasan Tanah atau menentukan lain yang wujudnya mencari jalan tengah yang dapat diterima oleh para pihak. I.5.2. Pengadaan Tanah Sebagian besar kehidupan manusia tergantung kepada tanah. Luas tanah di bumi ini keadaannya relatif tetap,tidak bertambah, tidak berkurang. Dalam kegiatan pembangunan yang berkaitan dengan kebutuhan tanah tersebut, muncul berbagai kepentingan yang kadang-kadang bias saling bertentangan satu sama lain. Dalam Negara yang berdasar atas hukum, penggunaan atau pengambilan tanahdari pemegang haknya, tidak boleh bertentangan dengan hukum Pengertian pengadaan tanah menurut Undang-Undang No.2 Tahun 2012 Pasal 1 angka 3 adalah
8
“Kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak.” Dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 Pasal 3 disebutkan bahwa “Pengadaan tanah untuk Kepentingan Umum bertujuan menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum Pihak yang Berhak.” Asas dan tujuan dari pengadaan tanah sebagaimana di cantumkan dalam Undang-undang No. 2 Tahun 2012 Pasal 2 menyebutkan bahwa “Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dilaksanakan berdasarkan asas: a. Kemanusiaan; b. Keadilan; c. Kemanfaatan; d. Kepastian; e. Keterbukaan; f. Kesepakatan; g. Keikutsertaan; h. Kesejahteraan; i. Keberlanjutan; dan j. Keselarasan. Menurut Soedikno Mertokusumo (1988), pengadaan tanah penduduk untuk pembangunan atau penyelenggaraan kepentingan umum dapat ditempuh melalui dua cara, yaitu: 1. Pembebasan tanah 2. Pencabutan hak atas tanah ISetiap pelaksanaan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum memerlukan proses pembebasan tanah, yaitu kegiatan melepasakan hubungan hukum antara pemegang ha katas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah. Tata cara pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum melalui pelepasan hakatas tanah sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri
9
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1994 tentang Ketentuan Pelaksanaan Keppres RI Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Dasar hukum dari pelaksanaan pencabutan hak atas tanah yaitu: 1. Pasal 18 UUPA Tahun 1960 menyatakan bahwa : “Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang.” 2. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada di Atasnya. UU ini menyebutkan bahwa pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya dapat dilakukan terkait dengan kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan
Negara,
kepentingan
bersama
dari
rakyat,
serta
kepentingan
pembangunan. Ada beberapa komponen penting yang harus diperhatikan di dalam setiap transaksi jual beli tanah, sebelum memutuskan untuk melaksanakan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan infrastruktur (dalam hal ini termasuk pula jual beli pada umumnya).Yang paling penting di ketahui adalah: 1. Tujuan penggunaan tanah tersebut, termasuk seberapa luas nantinya tanah yang akan dibeli. Sebab hal ini akan berakibat kepada permohonan perijinan untuk penggunaan tanah dimaksud.Jika memang peruntukannya untuk pabrik misalnya, dengan luas tanah lebih dari 5.000-m2 sebaiknya memang atas nama perusahaan. Karena nantinya akan diwajibkan untuk mengurus berbagai perijinan yang terkait dengan usaha perusahaan tersebut, seperti: Ijin lokasi yang harus dilengkapi pula dengan UKL, UPL, Amdal, dan lain sebagainya, dan juga harus mengajukan permohonan rekomendasi dari pemerintah yang terkait (bupati atau gubernur tergantung dari luas tanah yang diajukan). Namun, dalam praktik memang terkadang pengadaan tanah yang tidak terlalu luas memang menggunakan nama-nama perorangan dari pemegang saham
10
atau nama dari salah seorang Direksi Perseroan. Untuk keadaan demikian, yang harus dicermati dan dipertimbangkan oleh perusahaan adalah: a) Resiko pembukuan dan perpajakan. Dalam pembukuan, tanah tersebut tidak dapat dicatatkan sebagai asset Perseroan, melainkan asset perorangan; dan hal tersebut juga akan membebani pajak dari pemegang saham atau Direksi yang namanya digunakan (“dipinjam”) sebagai pemilik tanah tersebut. b) Resiko pemegang saham yang namanya dipakai oleh Perseroan meninggal dunia. Apabila hal tersebut terjadi, Dalam hal ini adanya kemungkinan apabila pemegang saham tersebut meninggal dunia, maka tanah tersebut masuk dalam boedel waris dari pemegang saham yang bersangkutan. Dalam praktik memang akan di back up dengan berbagai surat, tapi biasanya tetap akan merepotkan bagi perusahaan di kemudian hari. c) Resiko perselisihan di antara para pemegang saham, yang mengakibatkan keluarnya pemegang saham yang namanya dipinjam (dalam bahasa awamnya “pecah kongsi”). Hal ini akan beresiko jika yang bersangkutan tidak memiliki itikad baik terhadap penguasaan tanah tersebut.Serta berbagai resiko lain yang mungkin saja terjadi. Oleh karena itu, berbagai resiko tersebut juga harus dipertimbangkan masak-masak oleh Perseroan yang akan melakukan pengadaan tanah sebelum memutuskan untuk meminjam nama. 2. Status tanah hak yang akan dibeli. Karena peralihan hak atas tanah secara teori hanya dapat dilakukan dengan akta van transport (akta peralihan: jual beli, hibah, dll) yang dibuat di hadapan pejabat yang berwenang. Dalam hal ini, bentuk akta apa yang digunakan untuk melakukan peralihan haknya, tergantung pada: a) Status tanah dimaksud dikaitkan dengan status pembeli (apakah nama perorangan ataukah nama PT). b) Dalam hal status tanahnya adalah Hak Guna Bangunan (HGB) atau Hak Guna Usaha (HGU) atau Hak Pakai (HP), maka harus diketahui apakah jangka waktu haknya masih ada ataukah sudah berakhir
11
Dari pernyataan diatas, dapat timbul berbagai variasi kemungkinan: a) Jika status tanahnya adalah Hak Milik, sedangkan pembelinya: i.
Peorangan
(dalam
hal
ini
salah
satu
pemegang
saham
sebagaimana diuraikan di atas), maka peralihannya cukup dilakukan dengan cara jual beli biasa di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang berwenang. ii.
Perseroan, maka pembeliannya dapat dilakukan dengan cara: a) Penurunan hak menjadi HGB/HGU/HP, yang dilanjutkan dengan jual beli (setelah menjadi HGB/HGU/HP) b) Pelepasan hak ke Negara dengan menggunakan akta pelepasan hak secara notariil, yang dilanjutkan dengan permohonan hak oleh badan hukum yang bersangkutan. Pelepasan ke Negara tersebut juga dapat dilakukan jika tanah tersebut belum bersertifikat.
b) Jika status tanahnya adalah HGB/HGU/HP i.
Jangka waktunya masih berlaku: pembelinya baik perorangan maupun Perseroan (badan hukum) bisa langsung melakukan akta jual beli biasa.
ii.
Jangka waktunya sudah berakhir: mengajukan permohonan hak kembali atas nama pembeli, setelah haknya timbul, baru dilakukan jual beli biasa. Selain itu dibuatkan akta jual beli bangunan dan pengoperan hak secara notariil, baru diajukan hak baru oleh pembeli
I.5.3. Jalan Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 11 Tahun 2010 Pasal 1, dijelaskan bahwa “Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk angunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukan agi lalu-lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di awah pemukaan tanah, dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel. Jalan umum adalah jalan yang diperuntukan bagi lalu-lintas umum. “
12
Berdasarkan Undang-undang No. 38 Tahun 2004 Pasal 30 tentang Jalan, dijelaskan bahwa (1) “ Pembangunan jalan secara umum adalah: a) Pengoperasian jalan umum dilakukan setelah dinyatakan memenuhi persyaratan Laik Fungsi Jalan secara teknis dan administratif; b) Penyelenggara jalan wajib memprioritaskan pemeliharaan, perawatan dan pemeriksaan jalan secara berkala untuk mempertahankan tingkat pelayanan jalan sesuai dengan Standar Pelayanan Mininal yang ditetapkan;” Peraturan Presiden No. 34 Tahun 2006 menyebutkan bahwa Jalan umum dioperasikan setelah ditetapkan memenuhi persyaratan Laik Fungsi Jalan secara teknis dan administratif sesuai pedoman yg ditetapkan oleh Menteri dan Menteri terkait. Laik fungsi jalan itu sendiri adalah kondisi suatu ruas jalan yang memenuhi persyaratan teknis kelaikan untuk memberikan keselamatan bagi pengguna jalan dan persyaratan administrasi yang memberikan kepastian hukum bagi penyelenggara jalan dan pengguna jalan sehingga jalan dapat dioperasikan untuk umum. Persyaratan Laik Fungsi Jalan berdasarkan Peraturan Presiden No. 34 Tahun 2006 Pasaal 102 ayat 4 dan 5 adalah : a) Syarat Teknis: 1) Pemanfaatan bagian-bagian jalan 2) Geometrik 3) Manajemen dan rekayasa lalulintas 4) Perlengkapan jalan 5) Struktur perkerasan 6) Struktur bangkapja b) Syarat Administrasi: 1) Status jalan 2) Kelas jalan 3) Perintah dan larangan dalam pengaturan lalulintas bagi semua perlengkapan jalan
13
4) Kepemilikan tanah Rumija 5) LEGER jalan, dan 6) AMDAL/Dok.Lingkungan Dalam Undang-undang No. 22 Tahun 2009 Pasal 22 tentang LLAJ disebutkan bahwa : 1) Jalan yang dioperasikan harus memenuhi persyaratan Laik Fungsi Jalansecara teknis dan Administrasi. 2) Penyelenggara jalanwajib melaksanakan uji Laik Fungsi Jalan: 1) sebelum pengoperasian Jalan. 2) pada jalan yang sudah beroperasi, secara berkala dalam jangka waktu paling lama 10 tahun dan/atau sesuai kebutuhan. 3) Uji Laik Fungsi Jalan dilakukan oleh tim uji Laik Fungsi Jalan yg dibentuk oleh penyelenggara jalan. 4) Tim uji Laik Fungsi Jalan terdiri atas unsur: 1) penyelenggara jalan, 2) instansi yang bertanggung jawab di bidang Sarana dan Prasarana LLAJ, serta 3) Kepolisian Negara Republik Indonesia. 5) Hasil uji Laik Fungsi Jalanwajib dipublikasikan dan ditindaklanjuti oleh: 1) penyelenggara Jalan, 2) instansi yang bertanggung jawab di bidang Sarana dan Prasarana LLAJ, dan/atau 3) Kepolisian Negara Republik Indonesia. 6) Uji Laik Fungsi Jalandilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perUU. Sesuai dengan Pasal 1 ayat 6 UU 38/2004 sehubungan dengan Pasal 121 PP 34/2006 , jalan khusus ( KHUSUS jalan ) adalah “Jalan yang dibangun oleh instansi , badan usaha , perorangan , atau masyarakat untuk melayani kepentingan mereka sendiri.”
14
Berdasarkan Pasal 4 ayat ( 1 ) dari RMPW 11/2011 , jalan khusus ( jalan KHUSUS ) dikategorikan menjadi 3 jenis sebagai berikut : 1) Jalan khusus yang digunakan untuk tujuan sendiri dengan berbagai jenis , ukuran dan sumbu beban terberat ( muatan Sumbu terberat Kendaraan ) dengan kendaraan umum digunakan . 2) Jalan khusus yang digunakan untuk tujuan sendiri dengan tipe yang sama , ukuran dan sumbu beban terberat ( muatan Sumbu terberat Kendaraan ) dengan kendaraan umum digunakan . 3) Jalan khusus yang digunakan untuk tujuan sendiri dan diizinkan untuk kepentingan umum . Penjelasan Pasal 86 ayat ( 4 ) huruf ( c ) PP 34 Tahun 2006 mendefinisikan “Sumbu beban terberat ( muatan Sumbu terberat ) sebagai maksimum yang diijinkan beban gandar ( Sumbu Beban ). Berdasarkan Pasal 5 ayat ( 1 ) dari RMPW 11/2011 jalan khusus disebutkan seperti di atas akan memiliki lebar jalan tubuh setidaknya 3,5 meter .” Pasal 122 Peraturan PresidenNo.34 Tahun 2006 menetapkan bahwa “Jika jalan khusus ( jalan KHUSUS ) digunakan untuk lalu lintas umum asalkan tidak merugikan kepentingan penyelenggara jalan maka jalan khusus harus dibangun sesuai dengan persyaratan jalan umum . “ Selanjutnya , Pasal 13 ayat ( 2 ) dari RMPW 11/2011 menetapkan bahwa “Perencanaan jalan khusus ( KHUSUS jalan ) yang dapat digunakan untuk umum dilakukan oleh penyelenggara jalan khusus ( KHUSUS jalan ) dan dengan mengacu pada persyaratan teknis dan bimbingan teknis dari jalan umum.” Berdasarkan Pasal 6 ayat ( 1 ) dari RMPW 11 Tahun 2011 , “Penyelenggara jalan wajib menyampaikan peta jaringan jalan khusus.” Berdasarkan Pasal 11 ayat ( 1 ) dari RMPW 11/2011 , “Penyelenggara jalan yang memungkinkan pemanfaatan jalan khusus ( KHUSUS jalan ) bagi masyarakat dapat meminta bimbingan teknis dari kantor pemerintah yang memiliki tanggung jawab atas jalan .”
15
Pasal 11 ayat ( 1 ) dari RMPW 11/2011 menetapkan bahwa “Bimbingan teknis terdiri dari penjelasan mengenai hal-hal berikut : 1.
Persyaratan teknis untuk jalan ;
2.
Bimbingan teknis untuk pembangunan jalan khusus ( jalan KHUSUS ) yang terdiri dari geometri teknis jalan , trotoar teknis jalan , persyaratan teknis bangunan pelengkap jalan dan peralatan teknis jalan
Menurut Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia, suatu rencana usaha atau kegiatan wajib memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, yang selanjutnya disebut Amdal, adalah tinjauan mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha atau kegiatan. Dalam suatu penyelenggaraan usaha atau kegiatan pasti akan menimbulkan perubahan terhadap rona lingkungan hidup serta menyebabkan dampak terhadap lingkungan hidup. Maka dibutuhkan suatu upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut UKL-UPL. UKLUPL adalah pengelolaan dan pemantauan terhadap usaha atau kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha atau kegiatan. Dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Tentang Jenis Rencana Usaha Dan/Atau Kegiatan Yang Wajib Memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Pasal 2, menyebutkan bahwa : “(1)Setiap Usaha dan/atau Kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki Amdal. (2) Jenis rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib memiliki Amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (3) Untuk menentukan rencana Usaha dan/atau Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemrakarsa melakukan penapisan sesuai dengan tata cara penapisan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
16
(4) Terhadap hasil penapisan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), instansi lingkungan hidup Pusat, provinsi, atau kabupaten/kota menelaah dan menentukan wajib tidaknya rencana Usaha dan/atau Kegiatan memiliki Amdal.” Dalam dunia pertambangan, Setiap operasi penambangan memerlukan jalan tambang sebagai sarana infrastruktur yang vital di dalam lokasi penambangan dan sekitar-nya. Jalan tambang berfungsi sebagai penghubung lokasi-lokasi penting, antara lain lokasi tambang dengan area crushing plant, pengolahan bahan galian, perkantoran, perumahan karyawan dan tempat-tempat lain di wilayah penambangan. Konstruksi jalan tambang secara garis besar sama dengan jalan angkut di kota. Perbedaan yang khas terletak pada permukaan jalannya (road surface) yang jarang sekali dilapisi oleh aspal atau beton seperti pada jalan angkut di kota, karena jalan tambang sering dilalui oleh peralatan mekanis yang memakai crawler track, misalnya bulldozer, excavator, crawler rock drill (CRD), track loader dan sebagainya. Untuk membuat jalan angkut tambang diperlukan bermacam-macam alat mekanis, antara lain: a) Bulldozer yang berfungsi antara lain untuk pembersihan lahan dan pembabatan, perintisan badan jalan, potong-timbun, perataan dll; b) Alat garu (roater atau ripper) untuk membantu pembabatan dan meng-atasi batuan yang agak keras; c) Alat muat untuk memuat hasil galian yang volumenya besar; d) Alat angkut untuk mengangkut hasil galian tanah yang tidak diperlukan dan membuangnya di lokasi penimbunan; e) Motor grader untuk meratakan dan merawat jalan angkut; f) Alat gilas untuk memadatkan dan mempertinggi daya dukung jalan; Seperti halnya jalan angkut di kota, jalan angkut di tambang pun harus dilengkapi penyaliran (drainage) yang ukurannya memadai. Sistem penyaliran harus mampu menampung air hujan pada kondisi curah hujan yang tinggi dan harus mampu pula mengatasi luncuran partikel-partikel kerikil atau tanah pelapis permukaan jalan yang terseret arus air hujan menuju penyaliran.
17
Apabila jalan tambang melalui sungai atau parit, maka harus dibuat jembatan yang konstruksinya mengikuti persyaratan yang biasa diterapkan pada konstruksi jembatan umum di jalan kota. Parit yang dilalui jalan tambang mungkin dapat diatasi dengan pemasangan gorong-gorong (culvert), kemudian dilapisi oleh campuran tanah dan batu sampai pada ketinggian jalan yang dikehendaki. Fungsi utama jalan angkut secara umum adalah untuk menunjang kelancaran operasi penambangan terutama dalam kegiatan pengangkutan. Medan berat yang mungkin terdapat disepanjang rute jalan tambang harus diatasi dengan mengubah rancangan jalan untuk meningkatkan aspek manfaat dan keselamatan kerja. Apabila perlu dibuat terowongan (tunnel) atau jembatan, maka cara pembuatan dan konstruksinya harus mengikuti aturan-aturan teknik sipil yang berlaku. Lajur jalan di dalam terowongan atau jembatan umumnya cukup satu dan alat angkut atau kendaraan yang akan melewatinya masuk secara bergantian. Pada kedua pintu terowongan ditugaskan penjaga yang mengatur kendaraan masuk secara bergiliran, terutama bila terowongan cukup panjang. Geometri jalan angkut yang harus diperhatikan sama seperti jalan raya pada umumnya, yaitu: 1. Lebar jalan angkut, 2. Jari-jari tikungan dan super-elevasi, 3. Kemiringan jalan, dan 4. Cross slope. Selain itu, setiap aspek yang menyangkut desain jalan termasuk gradient (kelandaian), tikungan, drainase dan lain sebagainya harus memperhitungkan masalah keamanan, kenyamanan, biaya pembuatan, metode pengangkutan material yang secara tidak langsung akan mempengaruhi biaya penambangan serta meningkatkan keuntungan secara keseluruhan. Alat angkut atau truk-truk tambang umumnya berdimensi lebih lebar, panjang dan lebih berat dibanding kendaraan angkut yang bergerak di jalan raya. Oleh sebab itu, geometri jalan harus sesuai dengan dimensi alat angkut yang digunakan agar alat angkut tersebut dapat bergerak leluasa pada kecepatan normal dan aman.
18
Dalam pembuatan jalan tambang, hal-hal yang harus diperhatikan adalah lebar jalan tambang, jari-jari tikungan dan superelevasi, kemiringan jalan tambang, drainase, dan sistem perkerasan jalan. Selain itu, Aspek-aspek teknis yang telah diuraikan sebelumnya, di samping diarahkan untuk meraih umur layanan jalan sesuai yang direncanakan, juga harus memenuhi persyaratan keselamatan, keamanan dan kenyamanan pengemudi. Beberapa aspek keselamatan sepanjang jalan angkut yang akan diuraikan meliputi : 1. Jarak pandang yang aman, 2. Rambu-rambu pada jalan angkut, 3. Lampu penerangan, dan 4. Jalur pengelak untuk menghindari kecelakaan. Jalan tambang dibagi menjai atas 2 macam, yaitu jalan dengan perkerasan (pavement) dan jalan tanpa perkerasan. Jalan dengan perkerasan yaitu permukaan jalan diberi lapisan batu pecah sehingga jalan dapat dilewati saat hujan. Jalan tipe ini umumnya mahal karena memerlukan batuan dengan gradasi tertentu dan memerlukan Crusher. Untuk jalan tipe ini biasanya berada di dalam area tambang yang biasa dilewati oleh alat-alat transportasi dalam tambang seperti High Dump Truck, Exavator, dan lain sebagainya. Untuk jalan tanpa perkerasan adalah jalan yang dibuat dari tanah asli yang dipadatkan tanpa ada lapisan dipermukaan jalan. Umumnya operasi harus berhenti saat hujan dan ada waktu hilang karena slippery sesudah hujan. Selain itu ada juga jalan yang merupakan jalan penghubung antara lokasi penyimpanan sementara hasil tambang atau Stockpile dengan daerah pengiriman hasil penambangan. Biasanya jalan tersebut merupakan perpaduan dari jalan perkerasan dan tanpa perkerasan yang kemudian dilapisi aslpal pada lapisan paling atas. Jalan ini biasanya dilalui oleh Truck Trailer sebagai alat angkut hasil tambang tersebut dan beberapa mobil perusahaan yang berukuran seperti mobil-mobil biasa yang ada di pasaran.
19
I.5.4. Peta Master Plan Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, masterplan adalah rencana induk. Peta Master Plan adalah suatu peta yang berisi tentang perencanaan menyeluruh (komprehensif) dan terpadu
(integratif).
Beberapa
yang
perusahaan
mengistilahkan Peta Master Plan sebagai Comprehensive Map Plan. Sebuah rencana yang menyangkut rancanagan pemanfaatan sebuah lahan yang cukup luas. Bisa dalam hitungan ribuan meter persegi, hingga puluhan dan ratusan hektar. Dalam konteks tertentu, Peta Master Plan dapat berisi informasi tentang rencana pembangunan atau pengembangan sebuah wilayah tempat tinggal kombisnis dan perekonomian, kelistrikan, instalasi air ataupun gas, ruang terbuka hijau serta berbagai fasilitas umum maupun fasilitas sosial. Baik kota maupun pedesaan dengan segala aspeknya. Seperti rencana pemukiman, jalan raya, jaringan rel kereta api, sarana pendidikan, hiburan dan rekreasi.