BAB I PENGANTAR
1. 1 Latar belakang Ali Akbar Navis (A.A. Navis) merupakan salah seorang pengarang Indonesia yang karyanya diapresiasi secara luas, serta dalam rentang waktu yang cukup panjang. Apresiasi terhadap karya A.A. Navis ditunjukkan oleh penghargaan dan hadiah yang diberikan oleh berbagai lembaga, penerbitan ulang sebagian besar karyanya, serta penerjemahan beberapa cerita pendeknya ke dalam bahasa asing. Karya Navis mencakup cerita pendek, novel, dan puisi. Karyanya dalam bentuk cerita pendek dikumpulkan dalam 5 antologi, karya berupa novel yang telah dibukukan ada 3 buah, sedangkan karya puisinya dikumpulkan dalam sebuah antologi. Pada tahun 2005, Ismet Fanany menghimpun dan mempublikasikan seluruh cerita pendek yang ditulis Navis dalam sebuah antologi lengkap. Karya itu merupakan buku pertama dalam khasanah sastra Indonesia yang menghimpun secara lengkap seluruh cerita pendek dari seorang pengarang (Adilla, 2005). Selain menulis karya sastra, A.A. Navis menulis dan menjadi editor sejumlah buku dalam bidang kebudayaan, agama, sosial, pendidikan, dan ekonomi. Pengarang ini juga menggagas dan aktif dalam berbagai seminar tentang kesusasteraan, kebudayaan, dan pendidikan di berbagai tempat. Kompetensi
1
pengetahuan yang dimilikinya tentang masyarakat Minangkabau menjadikan ia dipandang sebagai representasi dari suku bangsa itu. Ia sering diundang berbicara di berbagai forum untuk menyampaikan problem yang dialami masyarakat tersebut. Berdasarkan catatan di bagian belakang otobiografinya hingga tahun 1994, A.A. Navis telah mengikuti 106 kali kegiatan akademik berupa seminar, diskusi, ceramah, dan penelitian di berbagai kota di Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Brunei, Belanda, Jepang, dan Amerika Serikat. Ia menulis puluhan makalah dan artikel dalam bidang sastra, agama, ekonomi, pendidikan, politik, dan budaya. Sebagian dari makalah dan artikel itu kemudian diterbitkan dalam sebuah antologi karangan pilihan. A.A. Navis lahir dan menjalani sebagian besar hidupnya dalam masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat. Perjalanan hidupnya beriringan dengan pertumbuhan Indonesia sebagai sebuah negara dan bangsa yang baru meraih kemerdekaan. Ia mengalami dan terlibat dalam berbagai peristiwa sosial politik yang terjadi di wilayah tempat tinggalnya. Navis dilahirkan dan menjalani masa kanakkanak hingga remaja pada masa penjajahan Belanda dan Jepang. Ketika tumbuh dewasa, ia ikut berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Ia mengalami masa pemerintahan Orde Lama, menyaksikan peristiwa PRRI, dan aktif dalam bidang poltik di awal Orde Baru. Navis meninggal dunia beberapa tahun bermulanya Era Reformasi. Kekalahan PRRI dalam perang saudara di awal 60-an memberikan dampak luas terhadap masyarakat Minangkabau. Sebagaimana dicatat Naim (1984: 64), terjadi gelombang eksodus orang Minang menuju perantauan. A.A. Navis adalah
2
sedikit dari orang Minangkabau yang memilih tinggal, berkarya, dan melibatkan diri dalam aneka persoalan dalam masyarakat Minangkabau yang kehilangan harga diri karena kalah perang. Ia kemudian terlibat dalam beberapa kegiatan sosial. Selain kegiatan dalam bidang sastra, seni, dan budaya, A.A. Navis juga aktif melakukan kegiatan dalam bidang pendidikan, ekonomi, dan politik. Di bidang pendidikan, A.A. Navis memelopori pembangunan kembali lembaga pendidikan RP. INS Kayutanam, ikut serta merancang dan mendirikan Akedemi Seni Karawitan Indonesia (ASKI), dan Fakultas Sastra Universitas Andalas. Dalam bidang ekonomi, ia mendirikan sebuah koperasi di nagari Maninjau, serta mengagas dan menjadi pengurus Gerakan Seribu Minang (Gebu Minang). Di bidang politik, A.A. Navis menjadi anggota DPRD Sumatera Barat selama dua periode mewakili Golongan Karya. Berbagai kegiatan itu menunjukkan luasnya perhatian, keterlibatan, dan aktivitas sosial yang dilakukan A.A. Navis. Abdullah (1994:xx) dalam pengantar otobiografi A.A.Navis menyebut tokoh ini sebagai seorang “universalis” karena luasnya perhatian, karya, dan aktivitasnya. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Saafroedin Bahar dan Chairul Harun ketika menuliskan kesan tentang tokoh ini. Bahar (1994:347-358) menyebut A.A. Navis sebagai ‘cadiak pandai Minangkabau Par Excellent’ disebabkan kepedulian dan sumbangan pemikirannya dalam pengembangan daerah. Melalui karya-karya yang ditulisnya, Navis mencatat, mengemukakan pandangannya, dan menawarkan solusi tentang berbagai persoalan yang terjadi di lingkungan sosialnya. Hal itu menjadikan karyakaryanya berfungsi layaknya dokumen sosial tentang masyarakat Minangkabau.
3
Paragraf di atas tidak saja memperlihatkan banyaknya peristiwa sosial politik yang dilalui Navis, tetapi juga beragamnya arena kegiatan yang dijalaninya. Semua itu berkait dan mempengaruhi kreativitas, produktivitas dan posisi Navis di arena kesusasteraan Indonesia. Penelitian ini diharapkan menghasilkan sebuah kajian yang komprehensif tentang A.A. Navis sebagai sastrawan Indonesia melalui pengamatan terhadap aspek sosial, budaya, dan politik dalam kaitan dengan karya sastra yang dihasilkannya.
1.2 Masalah Penelitian ini membahas keberadaan A.A.Navis di arena satra Indonesia. Masalah yang diteliti mencakup; (1) apa saja habitus yang mempengaruhi pandangan dunia Navis dan bagaimana Navis menghimpun modal selama berada di habitus tersebut; (2) apa saja faktor sosial, budaya dan politik yang mempengaruhi posisi, kreativitas, dan produktivitas Navis sebagai agen di arena sastra Indonesia; (3) apa saja strategi yang dilakukan Navis untuk berjuang di arena sastra Indonesia dan bagaimana ia menjalankan strategi tersebut melalui teks sastra yang dihasilkan dan kegiatan yang dijalankan di ruang sosial; (4) apa saja keuntungan yang berhasil diperoleh Navis dalam usahanya berjuang di arena sastra Indonesia, serta bagaimana keuntungan itu dikelola dan dimanfaatkan untuk berjuang di arena lain; dan (5) bagaimana pemikiran Navis tentang kesusasteraan, kebudayaan, pendidikan dan politik di Indonesia.
4
1.3 Tujuan Dengan latar belakang dan masalah seperti diungkapkan sebelumnya, penelitian ini ditujukan untuk mendapatkan hal-hal berikut; 1. Deskripsi tentang habitus yang mempengaruhi pandangan dunia Navis, interaksi dan kegiatan yang dilakukan di habitus tersebut untuk mendapatkan modal yang kemudian digunakan untuk berjuang di arena kesusastraan Indonesia. 2. Deskripsi tentang strategi yang dilakukan Navis untuk berjuang di arena kesusastraan Indonesia dan langkah yang dilakukan untuk menjalankan strategi tersebut melalui sarana tekstual dan kegiatan yang dijalankan di ruang sosial. 3. Deskripsi tentang faktor sosial, budaya, dan politik yang mempengaruhi posisi, kreativitas, dan produktivitas Navis sebagai agen di arena kesusastraan Indonesia. 4. Deskripsi tentang keuntungan yang berhasil diperoleh Navis selama berjuang melakukan aktivitas di arena kesusastraan Indonesia maupun arena kegiatan lainnya. 5. Deskripsi tentang pemikiran Navis tentang masalah-masalah yang terkait dengan arena kesusastraan, kebudayaan, pendidikan dan politik di Indonesia.
5
1.4 Tinjauan Pustaka Sejauh ini, belum ada tulisan yang secara komprehensif membahas baik karya sastra maupun non-sastra yang ditulis A.A. Navis. Begitu pun, belum terdapat pembahasan mengenai pandangan dunia pengarang ini. Pembahasan halhal tentang karya A.A. Navis sejauh ini terbatas pada karya tertentu saja, dan umumnya berupa artikel populer atau resensi buku. Lainnya adalah sebuah tesis yang membahas secara khusus cerita pendek “Robohnya Surau Kami”. Pembahasan yang cukup mendalam tentang karya A.A. Navis ditulis oleh Junus (1972), Mangunwijaya (1982), serta Sulastri (1997). Junus membahas perbedaan pandangan A.A. Navis sebagai pengarang terhadap aspek kemanusiaan dan keagamaan yang terdapat dalam cerpen ”Robohnya Surau Kami”, “Datangnya dan Perginya”, serta novel Kemarau. Fokus perhatian Junus adalah perbedaan pandangan A.A. Navis mengenai dilema antara agama dan kemanusiaan yang terdapat dalam ketiga karya itu. Junus menunjukkan adanya perubahan dan perkembangan sikap A.A. Navis terhadap masalah yang sama
sebagaimana
terlihat dari karyanya. Junus hanya membatasi pada ketiga karya di atas. Mangunwijaya (1982:13) membandingkan sikap A.A. Navis dalam “Datangnya dan Perginya” dengan novel Kemarau. Menurutnya, kedua karya itu menggambarkan masalah “formalisme hukum agama dan religiositas yang otentik”. Mangunwijaya mendukung sikap A.A. Navis dalam “Datangnya dan Perginya”, serta menyayangkan sikapnya dalam Kemarau. Mangunwijaya membahas dua karya A.A. Navis itu dalam konteks religiusitas dalam karya sastra
6
sehingga fokus perhatiannya adalah aspek religiusitas dalam karya. Penulis tersebut berasumsi bahwa perbedaan pandangan A.A. Navis itu merupakan ekspresi dari pandangan masyarakat yang berbeda tentang masalah yang sama. Mangunwijaya tidak mengungkapkan bagaimana sikap keagamaan yang dimunculkan A.A. Navis itu bertumbuh dalam diri penulis atau lingkungan sosialnya. Masalah keagamaan merupakan salah satu aspek penting dalam karya A.A. Navis sehingga diskusi yang diajukan Junus dan Mangunwijaya menjadi sumbangan berharga untuk penelitian ini. Kedua penulis itu membatasi diri pada masalah keagamaan tanpa menelusuri bagaimana genetis dari pandangan keagamaan itu. Sulastri (1997) meneliti aspek reseptif dari antologi Robohnya Surau Kami (RSK). Ia mencoba menemukan jawaban mengapa antologi tersebut menarik dan terkenal sehingga diresepsi pembaca dalam rentang waktu yang cukup panjang. Untuk hal itu, Sulastri meneliti persoalan yang dikemukakan pengarang dalam Robohnya Surau Kami, latar belakang penciptaan teks yang dilanjutkan dengan bentuk perkembangan dan bentuk variasi teks. Dari penelitiannya, Sulastri menyimpulkan hal berikut; (1) RSK merefleksikan nilai-nilai budaya yang pernah dan masih berlaku dalam masyarakat Minangkabau; (2) RSK merupakan kumpulan cerita yang diangkat pengarang dengan mengetengahkan konflik-konflik manusia, yang sebagian besar tertuang dalam dialog; (3) pola konflik terus berulang terutama menyangkut kebenaran serta dunia nyata-dunia angan; (4) sumber yang berperan dalam proses kreatif A.A. Navis; lingkungan dan tempat tinggal; pendidikan; sikap hidup dan 7
pandangannya. Selanjutnya, Sulastri juga mencantumkan kesimpulan berkait dengan aspek kebahasaan dari karya A.A. Navis. Menurutnya, bahasa A.A. Navis menyajikan pilihan kata yang puitis dan mengarah ke bentuk kaba, yakni menggunakan metode bercerita sebagai orang ketiga. Cerita disampaikan dengan kalimat naratif yang mempunyai gejala bahasa dengan menggunakan irama pantun yang menghasilkan rima. Kesimpulan yang diajukan Sulastri di atas menunjukkan bahwa ia tidak membatasi perhatian pada aspek reseptif sebagaimana direncanakan sejak awal. Akibatnya perhatian penulis itu menjadi terpecah dan kesimpulan yang diajukannya menjadi bias. Kesimpulan mengenai kemiripan gaya bahasa A.A. Navis dengan gaya bahasa kaba perlu disangsikan karena struktur bahasa yang digunakan pada kedua karya itu jauh berbeda. Sebagai sastra lisan, bahasa kaba merupakan bahasa berirama karena berkait dengan musik pengiring, sementara bahasa dalam karya Navis merupakan bahasa tulis. Pandangan A.A. Navis mengenai masalah keagamaan menarik perhatian beberapa pengamat. Jasssin (195: 127-132) mengatakan bahwa cerita pendekcerita pendek A.A. Navis memberi udara baru bagi kesusasteraan Indonesia karena ia telah mengemukakan suatu gagasan dalam cerita tentang hidup beragama. Hidup beragama bukanlah sekadar mengerjakan suruhan tanpa berpikir. Karya A.A. Navis merupakan inovasi terhadap karya yang bercerita tentang praktik keagamaan, yang belum ditemukanpada pengarang sebelumnya. Rosidi (1973:126-129) menulis kesannya tentang antologi Robohnya Surau Kami dan novel Kemarau. Penulis ini menempatkan A.A. Navis sebagai pengarang muslim 8
yang ingin memperbaharui mentalitas umat Islam dan telah mempermasalahkan persoalan-persoalan yang dihadapi umat Islam Indonesia kini dalam bentuk karya sastra. Sebagai artikel popular, tulisan pengamat di atas memiliki keterbatasan. Pandangan dan argumentasi yang diajukan dalam tulisan merupakan pendapat berharga untuk merumuskan pandangan dunia pengarang dalam penelitian ini. Tentang posisi A.A. Navis dalam sastra Indonesia, beberapa pengamat memberikan pandangannya. Teeuw (1989:23-24) menempatkan A.A. Navis sebagai pengarang yang mewakili “kelompok sesudah perang dengan akar dan penonjolan pada situasi daerah”. Menurut Teeuw, kisah dalam antologi Robohnya Surau Kami, “…kadang-kadang terasa agak sentimental, dengan kritik halus terhadap kekasaran dan kekejaman manusia…” (Teeuw, 1989:24). Selanjutnya, Teeuw mencatat bahwa cerpen “Robohnya Surau Kami” merupakan yang paling menarik dari antologi ini. Tentang antologi Hudjan Panas, ia menilai buku ini bernada ironis. Selanjutnya, Teeuw memberikan kesannya tentang novel yang ditulis A.A. Navis. Menurutnya, “…kelemahan A.A. Navis muncul apabila ia berusaha menuliskan cerita yang lebih panjang, yang lebih memerlukan kecakapan
teknik”.
Novel
Kemarau
lemah
karena
kurang
kompak,
kertidakmungkinan isi dan karakterisasi yang tak masuk akal. Kesimpulan Teeuw tentang A.A. Navis, “Dalam ukuran apa pun, A.A. Navis barangkali bukanlah seorang penulis besar, tetapi ia mewakili suatu gaya yang agak khas tradisi penuturan cerita yang sederhana di dalam sastra Indonesia modern” (Teeuw, 1989:24).
9
Sebuah artikel pendek ditulis Wahid (1994) tentang A.A. Navis. Penulis ini menyatakan bahwa kekuatan karya A.A. Navis adalah pada setting sosialnya, “... yang memberikan warna aktualitas yang hidup kepada karya-karya A.A. Navis” (Wahid,1994:259). Dialog sosial dan gugatan yang diajukan “…membuat karya-karya fiksi A.A. Navis menjadi bahan ‘dokumentasi sosial’ yang sangat berharga dalam perkembangan sastra kita…”. Sebuah buku yang agak komprehensif, tetapi kurang mendalam ditulis Adilla (2003). Buku yang ditujukan untuk siswa sekolah menegah ini dimaksudkan sebagai jendela untuk memahami karya A.A. Navis. Buku ini menyajikan secara singkat riwayat hidup pengarang, ringkasan cerita, serta pembahasan singkat seluruh karya A.A. Navis. Di dalamnya, juga dicantumkan beberapa peristiwa berdasarkan informasi dari buku lain maupun dari wawancara dengan pengarangnya, yang menjadi latar belakang karya A.A. Navis. Eksplorasi terhadap aspek sastra dan sikap A.A. Navis tidak dilakukan secara memadai. Begitu pun, tidak dijelaskan kerangka teoritis yang digunakan untuk membahas karya. Tentang karya non-sastra yang ditulis A.A.,Navis tidak banyak pendapat yang berhasil dilacak. Buku Alam Terkembang Jadi Guru yang menjelaskan aneka aspek kebudayaan dan masyarakat Minangkabau, dipuji beberapa penulis lain. Tulisan Naim (1984), Ereste, (1985) dan Junus (1986) memuji ketelitian A.A. Navis mencatat informasi tentang kebudayaan Minangkabau yang cukup lengkap, serta sikap kritisnya yang tergambar melalui catatan kaki. Sebagaimana halnya tulisan berupa resensi buku yang mengedepankan aspek informatif, para
10
penulis di atas tak memiliki kesempatan untuk mengungkapkan alasan dan penilaian lebih lengkap tentang karya A.A. Navis ini. Bagaimana pun, pandangan itu menunjukkan bahwa karya A.A. Navis diterima dan diakui di dunia akademik. Dari pembahasan di atas, terlihat bahwa pembahasan tentang karya A.A. Navis baru dilakukan secara parsial. Belum ada pembahasan tentang aspek genetis, lingkungan sosio-budaya, serta pandangan dunia A.A. Navis. Penelitian ini diharapkan dapat mengisi kekosongan itu.
I.5 Landasan Teori Untuk membahas masalah yang diungkapkan di atas, dan mencapai tujuan yang direncanakan, penelitian ini memanfaatkan teori strukturalisme genetik yang dikembangkan oleh Pierre Bourdieu. Teori srukturalisme genetik yang dikembangkan Bourdieu merupakan usaha yang dilakukannya untuk menjelaskan hubungan antara karya kultural, termasuk sastra, dengan masyarakat tempat ia dilahirkan dan diapresiasi. Bourdieu, menurut Jhonson (2010: xiv), “…mengombinasikan analisis tentang struktur-struktur sosial yang objektif dengan analisis tentang asal-usul struktursturuktur mental yang terbentuk secara sosial dan mengkristal dalam diri individuindividu tertentu yang melahirkan praktik-praktik”. Agar mampu memahami hubungan dua aspek tersebut, selanjutnya Bourdieu mengembangkan konsep habitus, arena, agen, strategi, dan lintasan.
11
Habitus merupakan serangkaian cara pandang, sikap, gaya atau disposisidisposisi yang telah dimiliki seseorang dari masa lalunya, yang digunakan untuk menyiasati kehidupan saat ini dan mengatur strategi di masa depan. Habitus berasal dari bahasa Latin yang mengacu pada keadaan, penampakan atau situasi tertentu atau habitual, khususnya pada tubuh (Jenkins, 1992: 107-108). Menurut Bourdieu (2011:18), konsep ini telah dipakai sebelumnya oleh Hegel, Husserl, Weber, Durkheim hingga Mauss. Habitus merupakan sesuatu yang terbentuk dalam jangka waktu lama karena ia “…merupakan hasil dari proses panjang pencekokan individu (process of inculcation), dimulai sejak masa kanak-kanak, yang kemudian menjadi semacam ‘pengindraan kedua’ (second sense)
atau hakikat alamiah kedua
(second nature)”. (Johnson, 1993: xvi), serta “… dibentuk oleh pengalaman dan oleh pengajaran secara eksplisit” (Jenkins, 1992:109). Menurut Johnson, (1993: xvi), Bourdieu kadangkala menggambarkan habitus sebagai ‘logika permainan’, “… seperangkat disposisi yang melahirkan praktik dan persepsi”. Dalam bahasa berbeda,
Jenkins, (1992:112-113) mengatakan, “…habitus membimbing aktor
untuk melakukan suatu hal, dia menyediakan suatu basis bagi pembentukan praksis“. Pengaruh habitus pada individu muncul dalam bentuk disposisi-disposisi yang bersifat tahan lama, dapat ditransformasikan dalam arena yang berbeda, dan merupakan struktur yang distrukturkan karena mengikutsertakan kondisi sosial objektif dalam pembentukannya (Johnson, 1993: xvi dan Jenkins, 1992:12). Arena adalah wilayah sosial tempat seseorang menjalankan profesinya. Jika habitus berkait dengan pengalaman dari masa lalu, maka arena adalah realitas 12
sosial saat ini. Sebagaimana tergambar dari istilah yang digunakan, arena merupakan wilayah pertarungan dan pertaruhan bagi seseorang untuk merebut kemenangan, keuntungan, dan akses yang terbatas (Jenkins, 1992:124). Di dalam arena, setiap individu yang terlibat melakukan berbagai usaha dan manuver untuk memperoleh keuntungan, baik yang bersifat material maupun bukan. Keuntungan non-matereial itu bisa berbentuk penghormatan, peneguhan, atau posisi individu dalam arena tersebut. Arena merupakan suatu sistem sosial yang terorganisir secara hirarkis. Sebagai ruang sosial, arena memiliki struktur , aturan, dan relasi kekuasaan yang otonom. Struktur arena amat dipengaruhi oleh
posisi yang
ditempati agen-agen di arena tersebut. Oleh sebab itu, arena bersifat dinamis karena agen-agen yang bergerak ke berbagai posisi. Salah satu hal penting untuk memenangkan pertarungan dalam arena adalah pemilikan atas modal. Modal itu bisa berbentuk material, tetapi dapat juga yang non-material. Berkait dengan arena kultural, ada dua modal penting yang dibutuhkan. Pertama adalah modal simbolis, yang mengacu pada prestise, keterkenalan atau kehormatan;
kedua modal kultural, mencakup kompetensi
kultural, pengetahuan, rasa empati, dan apresiasi terhadap artefak kultural (Johnson, 1993: xix). Deskripsi, tentang arena di atas, sekaligus menunjukkan konsep penting lain dari Bourdieu, yaitu agen, strategi, dan lintasan. Agen adalah individu pemilik modal yang melakukan kegiatan dan bertarung dalam arena. Tindakan agen dalam sebuah arena berkait erat dengan habitusnya. Sebagaimana dikatakan Bourdieu (2011:14), “ Tindakan agen-agen bukanlah pelaksanaan sebuah aturan atau 13
ketaatan pada suatu aturan saja…mematuhi hukum-hukum mekanis yang tidak dia mengerti”. Ketika berada dalam arena, agen justru menerapkan prinsip-prinsip yang mereka serap dari habitus, dan sudah menyatu dalam diri mereka. Untuk meraih keberhasilan di arena, agen menjalankan strategi tertentu. Strategi ini bukanlah serangkaian rencana terstruktur yang disadari. Sebaliknya, strategi merupakan produk dari habitus dan merupakan disposisi tidak sadar terhadap praktik ( Johnson, 1993: xxxvii). Berkait dengan arena kultural, di antara strategi yang lazim dijalankan agen adalah melahirkan karya-karya kultural, seperti seni rupa, sastra atau teks intelektual lainnya. Kehadiran serta apresiasi terhadap karya-karya tersebut akan menentukan posisi agen di dalam arena. Apresiasi yang baik tentu saja akan memberikan posisi yang baik bagi agen. Begitu pun sebaliknya. Dengan demikian, posisi agen tidak statis, tapi dinamis sejalan dengan usaha dan tanggapan yang diperolehnya. Posisi agen yang dinamis ini sekaligus menjadi penggerak dinamika sebuah arena. Perubahan posisi agen dalam arena itulah yang disebut sebagai lintasan. Oleh sebab itu, deskripsi lintasan yang dijalani seorang agen hanya mungkin dilakukan dalam kaitannya dengan arena tempat ia berada. “Lintasan adalah cara di mana hubungan antara agen dan arena diobjektivikasikan (Johnson, 1993: xxxviii). Sebagai ahli yang memulai karirnya di bidang antropologi, kemudian sosiologi, linguistik, dan akhirnya kritik seni, tidaklah mengherankan jika Bourdieu memiliki minat yang luas dan bidang pengetahuan yang bervariasi. Bourdieu tidak mengkhususkan perhatian pada salah satu cabang seni belaka, 14
tetapi mencakup berbagai bidang seni sejak dari sastra, seni rupa, fotografi, hingga mode. Melalui konsepsi pemikiran dalam teori strukturalisme genetik yang dikembangkannya, Boudieu berusaha menjembatani hubungan antara karya dengan realitas sosial. Penelitian ini berusaha mengungkapkan konteks sosiologis yang memungkinkan aktivitas produksi dan apresiasi terhadap karya sastra melalui perjuangan yang dilakukan Navis sebagai agen di arena kesusasteraan Indonesia.
1.6 Metode Penelitian 1.6.1Objek Penelitian Sejalan dengan masalah, tujuan dan teori yang digunakan, objek formal penelitian ini mencakup teks sastra, lingkungan dan peristiwa sosial, serta pemikiran Navis tentang arena yang digelutinya. Objek formal di atas diperoleh melalui obyek material berupa karya sastra, buku, dan artikel yang ditulis Navis dalam bidang sastra, kebudayaan, politik, dan pendidikan. Deskripsi tentang lingkungan dan peristiwa sosial mempengaruhi proses produksi dan kreatif Navis dalam arena sastra diperoleh melalui teks berupa buku dan hasil penelitian tentang sejarah, kebudayaan dan kehidupan sosial masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat. Untuk memperoleh gambaran tentang posisi dan peran Navis di tingkat nasional, maka penelitian tentang Dewan Kesenian Jakarta dibutuhkan karena Navis mengikuti banyak kegiatan di lembaga kesenian tersebut.
15
Karya sastra Navis yang menjadi obyek penelitian ini mencakup cerita pendek dan novel. Cerpen yang diteliti terkumpul dalam 5 antologi, yaitu Robohnya Surau Kami, Hujan Panas dan Kabut Musim, Jodoh, Kabut Negeri si Dali, dan Bertanya Kerbau pada Pedati. Novel yang dibahas adalah Kemarau, Saraswati, Gadis dalam Sunyi, Gerhana, dan “Di Lintasan Mendung”. Pemikiran Navis dalam bidang sastra, kebudayaan, politik, dan pendidikan terdapat pada antologi Yang Berjalan Sepanjang Jalan. Selain itu juga terdapat beberapa buku dan atikel yang diterbitkan di surat kabar. Buku dalam bidang sosial dan kebudayaan adalah Alam Terkembang Jadi Guru, Dialektika Minangkabau dalam Kemelut Sosial dan Politik (editor); dalam bidang pendidikan adalah Filsafat dan Strategi Pendidikan M. Sjafei. Sebuah buku otobiografi yang disusun Abrar Yusra berjudul A.A. Navis, Satiris dan Suara Kritis dari Daerah menjadi sumber data berikutnya. Seluruh karya Navis itu merupakan sumber data primer bagi penelitian ini. Obyek material yang merupakan sumber data sekunder adalah teks yang menjelaskan peristiwa sosial politik yang berkait dengan Navis. Teks dalam kategori ini mencakup buku, artikel dan hasil penelitian tentang Pergolakan PRRI, dan situasi sosial Sumatera Barat di awal Orde Baru. Data sekunder berikutnya adalah penelitian dan artikel tentang lembaga kesenian seperti Dewan Kesenian Jakarta dan komunitas sastra di Sumatera Barat, serta kesan, komentar, dan obituari yang ditulis sahabat dan orang yang pernah mengenal Navis. Data itu pada beberapa surat kabar dalam bentuk artikel dan wawancara, sebagian lainnya disertakan dalam bagian kedua otobiografi Navis.
16
1.6.2 Teknik Pengambilan Data Data penelitian ini berupa kalimat-kalimat dalam karya-karya A.A. Navis, yang mengandung informasi berkait dengan masalah penelitian. Data tersebut di klasifikasikan berdasarkan fungsi dan keterkaitannya untuk menjelaskan sosok Navis sebagai agen dalam arena sastra Indonesia menyangkut habitus, modal, strategi, dan keuntungan yang diperolehnya. Data tentang karya sastra Navis diklasifikasi berdasarkan proses dan masa produksinya, dan kecenderungan umum penggunaan unsur yang membangun karya tersebut. Hal utama yang menjadi perhatian adalah arena sosial dan kesusasteraan pada masa tertentu yang mempengaruhi aktivitas dan produktivitas Navis dalam bidang sastra. Pemikiran Navis dikelompokkan berdasarkan bidang yang dibahas, yaitu sastra, kebudayaan, pendidikan, dan politik. Selanjutnya, diamati perspektif dan gagasan utama pada setiap karya dalam masing-masing bidang pengetahuan. Data-data
itu
kemudian
dibandingkan,
dievaluasi
dan
dilihat
keterkaitannya antara satu dengan yang lainnya. Dari proses itulah kemudian ditentukan fungsi data untuk menjelaskan sosok Navis sebagai agen dalam arena kesusastraan Indonesia. Juga hubungan karya-karya yang dihasilkannya dengan kondisi, masalah, serta peristiwa yang terjadi di lingkungan sosial tempat karya itu lahir dan diapresiasi.
17
1.7. Sistematika Penyajian Hasil akhir penelitian ini adalah berupa disertasi yang akan disajikan dalam sistematika berikut. Bab I
Pengantar; menjelaskan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan kepustakaan, teori penelitian, dan metode penelitian.
Bab II
Padangpanjang dan R.P.INS Kayutanam, Dua Habitus Navis; mendeskripsikan lingkungan keluarga, lingkungan sosial dan lembaga pendidikan yang menjadi habitus dan berperan membentuk pandangan dunia A.A. Navis.
Bab III
Dari Bukittinggi Menuju Arena Kesusasteraan Indonesia; mendeskripsikan masa awal karir Navis yang dimulai dari Bukittinggi, sebuah kota yang memiliki fasilitas lengkap untuk aktivitas kesenian dan penerbitan. Melalui bab ini digambarkan bagaimana arena sosial mempengaruhi pertumbuhan Navis di arena kesusasteraan Indonesia.
Bab IV
Berkarya dalam Pengungsian; mendeskripsikan aktivitas Navis selama masa Pergolakan PRRI di Maninjau, posisi yang dipilihnya dalam perang saudara itu serta karya-karya yang ditulis dan dipersiapkan selama masa pengungsian itu.
18
Bab V
Meraih
Tuah
Melalui
Lomba
dan
Forum
Ilmiah;
mendeskripsikan posisi Navis dalam arena kesusasteraan Indonesia di awalo Orde Baru. Ini adalah masa perluasan kegiatan Navis ke arena politik dan kebudayaan. Navis memperrtahakan posisinya di arena kesusateraan melalui lomba penulisan dan peran sebagai pengamat. Bab VI
Kembali
ke
Arena
Kesusasteraan
dan
Pendidikan;
mendeskripsikan aktivitas Navis selepas menjadi anggota legislatif daerah. Periode ini juga mencakup tahun 1990-an, masa produktif kedua Navis dalam bidang cerita pendek. Bab VII
Strategi Tekstual Navis; mendeskripsikan strategi yang dilakukan Navis dalam memproduksi teks-teks sastra. Deskripsi men-cakup proses penciptaan, pemanfaatan unsur sastra, hingga publikasi karya sastra.
Bab VIII
Pemikiran dalam Bidang Kesusasteraan, Kebudayaan, Poli-tik, dan Pendidikan; mendeskripsikan pemikiran Navis dalam bidang tersebut yang juga menjadi arena kegiatannya.
Bab IX
Keuntungan
yang
Diraih;
mendeskripsikan
jenis-jenis
keuntungan yang diharapkan dan berhasil diraih Navis selama melakukan aktivitas di arena kesusasteraan, kebudayaan, politik dan pendidikan.
19
Bab X
Kesimpulan; mengungkapkan kesimpulan dari hasil penelitian ini.
20