BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG Talempong Goyang merupakan salah satu bentuk ensambel musik tradisional populer di Minangkabau yang menggabungkan antara instrumen talempong dengan band.1 Nada talempong yang biasanya pentatonic dan hanya menggunakan lima buah instrumen talempong, dalam ensambel musik ini nada talempong disesuaikan dalam skala diatonic scale dan menggunakan lebih dari 5 buah instrumen talempong yang disesuaikan dengan skala nada diatonic tersebut. Ensambel talempong goyang biasa dipergelarkan pada acara-acara seperti upacara pernikahan, khitanan, halal bihalal, dan kegiatan-kegiatan
yang
bersifat
seremonial
lainnya.
Fenomena
kontekstual ini dapat diartikan, bahwa penikmat talempong goyang secara performativitas pergelaran, tidak memiliki dikotomi hirarki kelas sosial dalam menikmati pergelaran talempong goyang. Talempong goyang dalam perspektif kesenian populer bernuansa tradisional,
merupakan
model
inovatif
dari
ekspresi
seniman
mengadaptasi tradisi talempong (berdasarkan tema musikal dan instrumentasi) sebagai pemenuhan ruang kreatifitas elaboratif yang Wawancara dengan Asril Muchtar pada tanggal 16 Februari 2013, di Yogyakarta. 1
1
2
disinergikan pada konteks „kekinian‟ dan sebagai respons atas dinamika zeitgeist yang terus berubah dan aktual. Hal ini dimengerti, bahwa kondisi sosio-kultural yang terus berubah disetiap zamannya, dan secara empiris, fase yang juga teralami oleh para pelaku seni, memberikan peluang interpretasi terhadap proses daya kreatifitas. Dan selanjutnya, sebagai habitus responsif atas kondisi sosial yang berubah-ubah dalam spirit dan image komodifikasi kultural, yang mendorong pelaku seni untuk berspekulasi aktif dalam tindakan kreatif sesuai dengan kondisi sinkroniknya. Akumulasi tindakan kreatif yang dilakukan seniman dalam mengeksplorasi
material
talempong
menjadi
bentuk
inovatif
talempong goyang, adalah upaya dialektis antara proses transmisi modal kultural pada sisi strategi preservasi tradisi Minangkabau dalam menghadapi tantangan global, yang diprediksi akan mengikis elemen-elemen tradisional, dengan profesionalitas dalam memenuhi kebutuhan ekonomi. Skema ini jelas menimbulkan paradoks pada tatanan etika tradisional Minangkabau dan tuntutan „jiwa zaman‟ yang interkultural. Seperti yang diungkapkan Dieter Mack, ketidaksesuaian persepsi tradisional dengan realitas kekinian. …maka tidak mengherankan seniman-seniman yang ingin mengembangkan suatu jenis musik tradisi, sering dituduh „merusak nilai-nilai tradisional‟. Padahal,
3
mereka tidak ingin menghapus yang ada, tetapi hanya ingin menambahkan atau memperkaya sesuatu.2 Talempong goyang sebagai realitas media seni yang berada pada posisi ambivalensi, antara tuntutan etika konservatif dan kebebasan berekspresi (komodifikasi professional), juga pada sisi lain mengalami tekanan estetik dalam ranah karya seni massif yang berada di bawah payung
koorporasi
industrialisasi
(art
management).
Hal
ini
memungkinkan para pelaku seni talempong goyang melakukan tindakan tradisional
spekulatif,
yaitu:
dengan
modern
mempersiapkan
diri
dengan (hybrid)
menghadapi
mengkombinasikan sebagai
„pertarungan‟
unsur
tantangan dalam
dan
wilayah
ideologi etnisitas yang mempertahankan nilai-nilai kultural dengan ideologi profesionalitas sebagai seniman yang aktif berkolaborasi dalam kerja-kerja seni. Artinya, asumsi positif dengan negatif harus diterima sebagai konsekuensi logis. Hasil proses inovatif seniman yang diwujudkan dalam talempong goyang, dengan mengadaptasi genre populer sebagai dasar wilayah produksi,
mewujudkan
karakteristik
bentuk
ensambel
musik
translokal atau hibriditas musikal yang menggabungkan beragam unsur musikal dan instrumen tradisional Minangkabau, di luar
Dieter Mack, Musik Kontemporer dan Persoalan Interkultural (Bandung: ARTI, 2004), 34. 2
4
budaya Minangkabau, serta dipadu ke dalam unsur-unsur musik Barat dengan formulasi bentuk band. Formulasi „campuran‟ ini dapat dianalogikan sebagai respons kreatif atas kondisi sosial yang multietnis, dan merupakan strategi lintasan pelaku talempong goyang untuk masuk dan bertarung di dalam ranah musik global populer (genre world music) dengan mengusung tema etnisitas Minangkabau. Senada dengan Umar Kayam bahwa, “seni pertunjukan akan dapat bertahan apabila mampu mencari peluang yang belum diisi oleh seni modern”.3 Kontestasi unsur tradisional dan modern yang ditawarkan dalam talempong
goyang
merupakan
bentuk
korelasi
antara
model
tradisional yang diadaptasi berdasarkan ciri-ciri ‟semangat‟ etnisitas (bahasa, melodi lagu, instrumen) dengan selera akan hiburan yang bersifat populer berdasarkan rasa estetis yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat „saat ini‟ atau sebagai produk musik tradisional berkarakter populer dengan kecendrungan model musikal „yang mudah dicerap‟ atau sederhana. Harus
diakui,
sebagian
besar
kritikus
musik
akademik
menganggap, bahwa musik populer yang cenderung „gampang dan
Umar Kayam, dalam Heddy Sri Ahimsa Putra, ed., Ketika Orang Jawa Nyeni (Yogyakarta: Galang Press, 2000), 36. 3
5
sederhana‟ sering dikaitkan dengan persepsi seni yang murahan atau kitsch. Asumsi ini dapat diterima, jika perspektifnya dikaitkan hanya kepada bentuk dan kepuasan indra. Pengamat budaya populer, Strinati mengungkapkan sebagai berikut. Konsumsi budaya populer di kalangan masyarakat awam selalu menjadi masalah bagi „orang lain‟, entah kaum intelektual, pemimpin politik, atau pembaharu moral dan sosial. „Orang lain‟ ini sering beranggapan bahwa masyarakat awam harusnya berurusan dengan sesuatu yang lebih mencerahkan atau berfaedah ketimbang budaya populer.4 Perihal tersebut terkesan, penilaian terhadap konsumsi budaya populer
seolah-olah
tidak
memberikan
sesuatu
yang
„berarti‟.
Padahal, dari sisi lain, intensitas mengkonsumsi budaya populer jauh lebih
massif
dan
kontinu
dibanding
dengan
intensifitas
mengkonsumsi „sesuatu yang lebih tinggi‟ atau „adiluhung‟. Artinya, intensifitas dalam menggunakan budaya populer justru berpeluang besar membentuk ruang sosial bagi pertemuan antar beberapa klasifikasi klas untuk saling berinteraksi dan mewujudkan integrasi. Hal ini, dikotomi budaya „rendah‟ dan budaya „tinggi‟ atau kelas
Dominic Strinati, dalam Ariel Heryanto, ed., Budaya Populer di Indonesia (Yogyakarta: Jalasutra, 2012), 6. 4
6
borjuis
dan
ploretar
dipersepsi
dapat
menyatu
dalam
skema
intergitas, yaitu populer. Mengikuti pandangan Richter dalam skema musik populer, sebagai berikut. Pelbagai wajah musik populer memberikan pemahaman bagaimana musik dapat membantu menegosiasikan relasi sosial yang damai dalam ketegangan atau konflik. Selain itu dapat merayakan penyatuan kaum muda dengan generasi muda.5 Asumsi tersebut, jika dikaitkan berdasarkan fenomena aktivitas talempong goyang yang intens dan massif dipergelarkan dibanyak event seremoni dan berbagai kalangan dalam klasifikasi klas berbeda di masyarakat Minangkabau, merujuk pada persepsi signifikan, bahwa talempong goyang sebagai stigma produk populer dan „kitsch’, secara ideologis, dapatkah dijadikan media dalam pembentukan modal sosial baru? Mampukah talempong goyang menjadi mediasi stimulan dari pembentukan „semangat baru‟ dalam konteks integrasi sosial masyarakat Minangkabau saat ini? Proses kreatif para pelaku talempong goyang untuk berasimilasi dalam wilayah industri kreatif saat ini perlu diapresiasi. Sebab, selain praktik profesionalitas, juga merupakan wujud aktivitas transmisi produk indigenous yang dipropagandakan sesuai dengan konteks dan Max M. Richter, “Dunia lain di Yogyakarta: Dari Jatilan Hingga Musik Eletronik”, dalam Ariel Heryanto, ed., 2012, 247. 5
7
semangat zamannya. Namun, disisi lain timbul pertanyaan, dapatkah karya, pergelaran, dan intensifitas tersebut memainkan suatu peran yang relevan di dalam kehidupan sosio-kultural? Mungkinkah perbedaan-perbedaan
substansial
antara
muatan
artistik
dan
kebudayaan serta estetika dan selera, bersinergi dalam lajur yang positif? Selain itu, perlu dipertanyakan lagi „modal‟ dan „strategi‟ seperti apa yang harus dimiliki oleh para pelaku talempong goyang dalam kontinuitas kreatifnya? Sehingga, musik tradisional populer dapat membentuk karakter positif menjadi media sosial di dalam ruang sosial yang integratif, dan kemudian mampu menempatkan „dirinya‟ sesuai dengan situasi sinkroniknya. Berdasarkan problematika yang diutarakan ini, diperlukan proses analisis lebih lanjut dengan merumuskan beberapa pertanyaan penelitian.
B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang tersebut, maka fenomena yang terjadi pada
Talempong
Goyang
dalam
masyarakat
Minangkabau
di
Sumatera Barat perlu untuk diteliti dengan merumuskan dua pertanyaan sebagai berikut.
8
1. Mengapa Talempong Goyang sebagai musik populer bernuansa tradisional
menjadi
pilihan
masyarakat
Minangkabau
di
Sumatera Barat dalam situasi seremonial? 2. Bagaimana relasi struktur musikal Talempong Goyang dengan kondisi sosio–kultural masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat?
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN Berdasarkan pertanyaan–pertanyaan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini, maka tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui alasan dipilihnya ensambel musik tradisi talempong goyang oleh masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat dalam arena pergelaran seni tradisi sekaligus menganalisis korelasi atas konstruksi yang membangun ensambel tersebut dengan kondisi sosio–kultural masyarakatnya. Tujuan lainnya yaitu sebagai catatan– catatan
ilmiah
tentang
perkembangan
seni
musik
tradisi
Minangkabau di Sumatera Barat secara menyeluruh yang kemudian mampu
memberikan
kontribusi
bagi
alur
perkembangan
dan
perjalanan musik tradisi khususnya musik tradisi talempong goyang, sehingga dapat digunakan sebagai pijakan bagi penelurusan lebih
9
lanjut mengenai alur perkembangan musik tradisional populer di Sumatera Barat yang lebih komprehensif.
D. TINJAUAN PUSTAKA Untuk memposisikan penelitian ini dengan penelitian lain yang mungkin memiliki relevansi dalam kategori objek material dan objek formal, dibutuhkan sebuah tinjauan pustaka agar dapat saling melengkapi hasil–hasil dari penelitian sebelumnya sekaligus untuk menghindari pengulangan pembahasan permasalahan topik. Penelitian yang telah membahas seputar talempong logam, diantaranya adalah, Mahdi Bahar melalui disertasinya yang berjudul “Perkembangan Budaya Musik Perunggu Minangkabau di Sumatera Barat” di Jurusan Ilmu-Ilmu Humaniora, Universitas Gadjah Mada pada tahun 2003, yang kemudian dibukukan dengan judul Musik Perunggu Nusantara, Perkembangan Budayanya di Minangkabau (Bandung: Sunan Ambu STSI Press, 2009), membahas mengenai sejarah keberadaan musik perunggu di Minangkabau yang disebut talempong, sekaligus mencermati hubungannya dengan gamelan di Jawa dan Bali. Secara detail, tulisan tersebut mencermati asal mula keberadaan talempong
sebagai instrumen musik yang bersangkut
paut dengan jenis instrumen Gong yang terdapat di seluruh wilayah
10
Asia-Tenggara.
Selain
itu
juga
mencermati
fungsinya
dalam
kehidupan masyarakat. Mahdi Bahar dalam tulisannya terpengaruh oleh tulisan Mantle Hood yang berjudul The Evolution of Javanese Gamelan yang melacak sejarah Gamelan dari Gamelan Munggang di keraton Yogyakarta. Disini ada komparasi yang signifikan atas penggunaan teori, bahwa Mantle Hood menggunakan teori evolusi, Mahdi Bahar menggunakan teori perubahan. Asumsi dari disertasi Mahdi bahar tersebut bahwa musik perunggu yang bernama talempong merupakan saudara dari musik Gamelan Mogang yang berada di Yogyakarta dan Gamelan Balenganjur yang berada di Bali. Nursyirwan dalam disertasinya yang berjudul “Varian Teknik Penalaan Talempong Logam di Minangkabau” di prodi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada pada tahun 2011, meneliti teknik yang digunakan untuk proses penalaan musik talempong logam yang dilakukan oleh pelaku seni musik tradisi sekaligus modern yang kemudian akan dijadikan sebagai patron penalaan talempong logam seterusnya. Beberapa
teori
didekatkan
untuk
mengupas
persoalan
yang
diungkapkan oleh Nursyirwan. Untuk melakukan penalaan pada talempong Nursyirwan mendekatkannya dengan teori dari J. F. Scouten mengenai teori periodisitas nada. Aspek tekstual musik
11
dikupas
dengan
teori
musik,
mengenai
interval–scale.
Teori
perubahan sosial oleh Alvin Boskoff diadaptasi oleh Nursyirwan untuk melihat gejala perubahan eksternal dan internal yang ada di Minangkabau. Disertasi yang ditulis oleh Nursyirwan menyimpulkan bahwa
secara
keseluruhan
grup
tradisi
talempong
logam
di
Minangkabau masih mempertahankan teknik penalaan dengan memakai cara penalaan tradisi atau non diatonis, dengan dua teknik dasar yaitu, variant five-tone scales, identik dengan tradisi musikal Minangkabau yaitu bunyi limo salabuan. Dan variant six-tone scales, identik dengan tradisi musikal Minangkabau yaitu bunyi onam salabuan. Yasril Adha dengan tesisnya yang berjudul “Pengaruh Sistem Diatonis Terhadap Perkembangan Talempong di Minangkabau” di jurusan ilmu-ilmu Humaniora, Universitas Gadjah Mada, pada tahun 2005, meneliti berdasarkan perspektif sejarah dengan mengadaptasi teori akulturasi budaya dan menyimpulkan bahwa pengaruh sistem diatonis pada instrumen talempong sangat erat kaitannya dengan perubahan sosial yang dialami masyarakat Minangkabau sekaligus sebagai akibat terjadinya kontak budaya dengan bangsa lain sejak zaman dahulu sampai sekarang melalui aktivitas ekonomi, budaya, politik dan sistem pendidikan.
12
Syailendra dalam tesisnya yang berjudul “Musik Talempong: Fungsinya pada Industri Pariwisata di Kotamadya Padang Sumatera Barat” di jurusan ilmu-ilmu Humaniora, Universitas Gadjah Mada, pada tahun 1997,
membahas mengenai fungsi musik talempong
dalam ranah industri Pariwisata di Kotamadya Padang Sumatera Barat yang ditelaah berdasarkan perspektif etnomusikologi dan mendeskripsikan fungsi–fungsi talempong pada ranah pariwisata tersebut dengan merujuk kepada klasifikasi fungsi seni dalam pariwisata oleh R.M Soedarsono. Admawati dengan tesisnya yang berjudul “Alfalah dan Talempong Goyang” pada Program Studi Pengkajian Minat Musik Nusantara, Institut Seni Indonesia Surakarta, ditulis pada tahun 2010, dalam tulisannya menggunakan perspektif sejarah untuk mengungkapkan kronologi keberadaan ensambel musik tradisi talempong goyang yang kemudian diadaptasi oleh banyak pelaku seni tradisi Minangkabau di Sumatera Barat. Admawati lebih terfokus kepada satu kelompok musik tradisi talempong goyang yang dipimpin oleh Alfalah, karena asumsinya mengatakan bahwa kelompok musik tersebut berada pada posisi dominan diantara kelompok musik tradisi lain yang juga membawakan style talempong goyang.
13
Jennifer Anne Fraser dengan disertasinya yang diberi judul “Packaging Ethnicity: State Institutions, Cultural Enterpreneurs, and the Professionalization of Minangkabau Music in Indonesia” yang tulis untuk mencapai gelar doktor filosofi pada jurusan musikologi, Universitas Illinois, di Urbana-Champaign pada tahun 2008, dalam penelitiannya
menelusuri
kondisi
politik
dan
ekonomi
yang
berdampak terhadap profesionalisme dan komersialisme seni tradisi Indonesia khususnya di Sumatera Barat. Dalam pembahasannya ia mengungkapkan bagaimana komersialisasi seni telah mendorong munculnya minat pengusaha budaya dalam mengemas dan menjual pertunjukan
tradisi
kepada
masyarakat
penikmatnya.
Hasil
analisisnya mengungkapkan bahwa estetika dan etika Minangkabau telah berubah secara radikal apabila dirujuk dari keterlibatan kelembagaan dan kewirausahaan. Salah satu objek pembahasaannya yaitu talempong kreasi. Asril Muchtar dengan artikelnya yang berjudul “Mensiasati Sebuah Perubahan Budaya: Kasus Talempong Goyang, Kemasan Musik Tradisi bernuansa „Pop‟”. Artikel ini diterbitkan pada Jurnal Tabuik Pengkajian dan Penciptaan Seni, Vol. 1, No 1, di Jurusan Karawitan STSI Padangpanjang pada bulan Juli 2005, menuliskan talempong goyang sebagai objek material yang mampu dijadikan
14
sebagai alternatif hiburan masa depan dalam kategori musik tradisi populer Minangkabau, karena para pelaku talempong goyang selalu melakukan eksplorasi pada garapan musikalnya sesuai dengan kondisi singkroniknya. Alfalah dengan artikelnya yang berjudul “Talempong Goyang: Musik Alternatif Pengaruh Budaya Populer”. Artikel ini diterbitkan pada Jurnal Ekspresi Seni: Ilmu Pengetahuan dan Karya Seni, Vol. 9, No. 1, di STSI Padangpanjang pada bulan Mei 2007. Uraiannya pemaparan efek dari desakan musik Barat terhadap musik tradisi di Minangkabau yang kemudian ditanggapi dengan proses kreativitas yang kemudian mengadaptasikan unsur–unsur musik Barat ke dalam bentuk ensambel musik tradisi talempong goyang, sekaligus deskripsi
repertoar–repertoar
yang
dimainkan
dalam
ensambel
tersebut. Artikel lain berjudul “Perkembangan Talempong tradisi Minangkabau ke Talempong Goyang di Sumatera Barat” yang juga ditulis oleh Alfalah pada Jurnal Ekspresi Seni: Ilmu Pengetahuan dan Karya Seni, Vol. 15, No. 1 pada bulan Juni 2013. Pada artikel ini Alfalah memakai perspektif sejarah untuk membahas bagaimana kronologi talempong tradisi yang kemudian dimodifikasi oleh pelaku musik tradisi. Dalam konteks ini, Alfalah juga memposisikan diri sebagai pelaku musik tradisi, dan kemudian membuat format
15
ensambel musik tradisi talempong goyang yang bersifat fleksibel. Dalam tulisannya, talempong goyang merupakan jenis ensambel musik tradisi yang dapat digabungkan dengan banyak instrumen musik lainnya, dan juga dapat memainkan berbagai genre musik. Berdasarkan hasil penelitian yang telah ditulis dalam bentuk jurnal, tesis,dan disertasi tersebut, selanjutnya dikomparasikan berdasarkan
kedekatan
penggunaan
objek
material,
sekaligus
sebagai rujukan alur histori keberadaan instrumen talempong hingga perkembangannya
saat
ini.
Talempong
goyang
telah
dibahas
berdasarkan aspek-aspek histori dan analisis satu ensambel musik tradisi talempong goyang yang dikatakan dapat mempertahankan eksistensinya diantara kelompok-kelompok lain. Akan tetapi, semua tulisan tersebut belum membahas mengenai mengapa talempong goyang dijadikan pilihan musik tradisional populer Minangkabau di Sumatera Barat secara keseluruhan.
E. LANDASAN TEORI Penelitian ini berupaya untuk mengungkapkan permasalahan penelitian
yang telah dirumuskan
mengenai alasan dipilihnya
ensambel talempong goyang sebagai alternatif musik tradisional populer dalam acara-acara seremonial serta menelisik hubungan
16
antara struktur produk karya seni tersebut dengan kondisi sosio– kultural masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat. Berdasarkan problematika tersebut kemudian dirumuskan paradigma analisis penelitian ini dengan mengadopsi konsep pemikiran Pierre Bourdieu, yang diarahkan pada pendekatan sosiologi seni sebagai „arena kultural‟.6 Prinsip utamanya meliputi analisis kondisi-kondisi sosial produksi, sirkulasi, legitimasi, dan konsumsi produk-produk simbolis dalam arena kultural. Arena karya seni dalam kerangka pemikiran Bourdieu secara spesifik, untuk memahami aspek konseptual, dan material dari produksi produk simbolis, serta mengungkap mediator-mediator (agen, institusi, lembaga) yang terlibat didalam konstruksi produk simbolis menjadi produk karya seni. Paradigma analisis arena karya seni dalam buku The Field of Cultural Production dimulai dari apa yang disebut Bourdieu sebagai 6 Pierre Bourdieu, The Field of Cultural Production, Randal Johnson, ed., (New York: Columbia University Press, 1993), 113. Seperti yang disarankan oleh Bourdieu, agar terpantau lebih jelas, kata sifat „kultural‟ dalam „arena kultural‟ yang ia ajukan, dapat disesuaikan dengan situasi dan material objek pengamatan. Dari sini, kata sifat „kultural‟ dalam „arena kultural‟ untuk selanjutnya akan diganti dengan kata sifat „karya seni‟ menjadi „arena karya seni‟. (Dalam catatan kaki). Pierre Bourdieu, In Other Words: Essay Toward a Reflexive Sociologi (California: Standford University Press, 1990), 140. Didalam bukunya yang lain, “Arena cultural diklasifikasi untuk membedakan diri dari cara-cara persepsi dunia sosial yang luas. Arena kultural dapat disetarakan dengan arena sastra, arena seni, arena intelektual dan sebagainya”.
17
„pembacaan arena‟. Metode untuk mengetahui persepsi struktur, fungsi, dan nilai estetis karya seni di dalam arena karya seni dengan menolak persepsi dikotomis analisis yang cendrung bersifat reduktif dan spekulatif. „Pembacaan arena‟ adalah upaya antisipasi dari „efek hubungan pendek‟ tersebut,7
suatu model analisis yang selalu
mengaitkan secara langsung bahwa nilai estetis suatu karya seni dapat
ditemukan
dalam
karya
seni
itu
sendiri
(analisis
strukturalisme), atau mengaitkan karya seni langsung kepada struktur-struktur sosial determinan (analisis sosiologis). Bourdieu beranggapan, bahwa esensi karya seni terbentuk justru berkelindan di dalam refleksi sejarah dan struktur-struktur arena. Teoritisasi Bourdieu terhadap „pembacaan arena‟ adalah sebagai berikut. Teori arena8 mengarah pada penolakan terhadap kaitan langsung biografi individual dengan karya atau yang berkaitan dengan „kelas sosial‟ yang menjadi asal usul suatu karya, juga pada penolakan terhadap analisis internal karya individual bahkan analisis intertekstualnya. Karena yang mestinya dilakukan, adalah melakukan keduanya secara bersamaan.9 Pierre Bourdieu, The Field of Cultural Production..., 1993, 181. Pierre Bourdieu, The Field of Cultural Production..., 1993, 162. Arena yang Bourdieu maksudkan adalah sebuah semesta sosial terpisah yang memiliki hukum-hukum keberfungsiannya sendiri yang tidak terikat dengan hukum-hukum keberfungsian politik dan ekonomi (a separate social universe having its own laws of functioning independent of those of politics and the economy). 9 Pierre Bourdieu, In Other Words: Essay Toward a Reflexive Sociologi..., 1990, 147. The theory of the field does lead both to a rejection of the direct relating of individual biography to the work of literature or the relating of the 'social class’ of origin to the work, and also to a rejection of the internal analysis of an individual 7 8
18
Telaah Bourdieu terhadap „pembacaan arena‟ dengan tegas menolak model klasifikasi terpisah akan analisis internal dan eksternal
yang
berakibat
pada
munculnya
spekulasi
terhadap penilaian suatu karya seni. Nilai karya
persepsi
seni
dalam
pandangan Bourdieu, berada dalam kompleksitas struktur arena itu sendiri, di mana karya seni itu eksis secara fungsinya. Lebih lanjut mengenai analisis arena, Bourdieu menegaskan sebagai berikut. Arena ini bukan latar belakang sosial yang samarsamar, bukan pula milieu artistique seperti dunia relasi personal antara seniman dan penulis, atau antar perspektif yang diadopsi oleh mereka yang mempelajari „pengaruh-pengaruh‟. Arena adalah sebuah semesta sosial sesungguhnya, tempat terjadinya –sesuai hukum-hukum tertentu- akumulasi bentuk-bentuk modal tertentu, sekaligus tempat relasi-relasi kekuasaan berlangsung. Semesta ini adalah tempat bagi pergulatan yang sepenuhnya spesifik, khususnya terkait dengan pertanyaan siapa yang menjadi bagian dari semesta, siapa seniman sesungguhnya, dan siapa yang tidak. Untuk menafsir karya-karya, fakta terpentingnya adalah bahwa semesta sosial yang otonom ini berfungsi layaknya sebuah prisma yang membiaskan setiap determinasi eksternal: peristiwa-peristiwa demografis, ekonomis, dan politis selalu diterjemahkan ulang menurut logika spesifik arena, dan melalui perantaraan peristiwa-peristiwa itu bertindak menurut logika perkembangan karya.10 work or even of intertextual analysis. This is because what we have to do is all these things at the same time. 10 Pierre Bourdieu, The Field of Cultural Production…, 1993, 163-164. This field is neither a vague social background nor even a milieu artistique like a universe of personal relations between artists and writers (perspectives adopted by those who study 'influence’). It is a veritable social universe where, in accordance with its particular laws, there accumulates a particular form of capital and where relation of force of a particular type are exerted. This universe is the place of entirely specific
19
Kesimpulan sementara dari analisis „pembacaan arena‟ Bourdieu adalah menetralisir gaya pembacaan strukturalisme dan sosiologis dalam memahami karya seni dengan memadukan keduanya secara dialektis dalam menganalisis karya seni. Perspektif „pembacaan arena‟ terhadap karya seni diklasifikasi menjadi dua model, 1) „arena karya seni‟, dan 2) „arena produksi karya seni‟. „Arena karya seni‟ merupakan tempat di mana karya seni tersebut berada dan eksis sebagai karya seni, atau suatu arena yang banyak memiliki potensi „modal-modal simbolis‟ tetapi berada dalam posisi subordinat atau terdominasi dalam arena kekuasaan, dengan prinsip legitimasinya didasarkan atas kepemilikan modal ekonomi dan politik, namun disisi lain, memiliki otonomi yang kuat dalam legitimasi produksi karya seni.11 Analisis Bourdieu terhadap arena karya seni adalah sebagai berikut. Arena karya seni adalah sebuah semesta sosial independen yang punya hukum-hukumnya sendiri terkait dengan keberfungsian anggota-anggotanya, hubunganhubungan kekuasaan yang spesifik, yang mendominasi dan yang didominasi. Dengan kata lain, membahas „arena struggles, notably concerning the question of knowing, who is part of the universe, who is a real writer and who is not. The important fact, for the interpretation of works, is that this autonomous social universe functions somewhat like a prism which refracts every external determination: demographic, economic or political events are always retranslated according to the specific logic of the field, and it is by this intermediary that they act on the logic of the development of work. 11 Pierre Bourdieu, The Field of Cultural Production..., 1993, 38-39.
20
karya seni‟ berarti mengamati karya yang diproduksi oleh suatu semesta sosial tertentu, yang memiliki institusiinstitusi tertentu, dan yang mematuhi hukum-hukum tertentu pula.12 Karya seni baru bisa eksis sebagai objek simbolis jika diakui dan dikenali, artinya jika dilembagakan secara sosial sebagai karya seni dan diterima oleh para penikmat yang sanggup mengenali dan mau mengakuinya sebagai karya seni. 13 Ini berarti, nilai estetis karya seni disandarkan pada kondisi ruang tempat karya seni itu berada, sebagai hubungan relasional karya seni dengan elemen-elemen relasionalnya. Karya seni yang berada di dalam sirkulasi „arena karya seni‟ dihasilkan dari ruang yang lebih spesifik yaitu „arena produksi karya seni‟, suatu ruang dimana keinginan untuk memproduksi produk simbolis, pada prinsipnya merupakan pertarungan untuk mencapai konsekrasi dan legitimasi posisi-posisi objektif pelaku, mediator, dan produknya didalam wilayah yang lebih luas (arena karya seni). 12 Pierre Bourdieu, The Field of Cultural Production…, 1993, 163-164. The cultural field is an independent social universe with its own laws of functioning, its specific relations of force, its dominants and its dominated, and so forth. Put another way, to speak of 'artistic field' is to recall that literary works are produced in a particular social universe endowed with particular institutions and obeying specific laws. And yet this observation runs counter to both the tradition of internal reading, which considers works in themselves independently from the historical conditions in which they were produced, and the tradition of external explication, which one normally associates with sociology and which relates the works directly to the economic and social conditions of the moment. 13 Pierre Bourdieu, The Field of Cultural Production…, 1993, 37.
21
Bourdieu mengatakan: Arena produksi karya seni adalah tempat bagi pergulatan-pergulatan mempertaruhkan kekuasaan untuk mengimposisi defenisi dominan „pengkarya‟, dan sekaligus kekuasaan untuk membatasi populasi (siapa) yang berhak ambil bagian didalam pergulatan mendefenisikan „pengkarya.14 Lebih lanjut lagi, Bourdieu menyatakan sebagai berikut. Taruhan utama dalam pergulatan karya seni adalah legitimasi karya seni, yaitu, diantaranya, monopoli kekuasaan untuk mengatakan berdasarkan otoritas siapa yang berhak menyebut dirinya sebagai „pengkarya‟; atau dengan kata lain, persoalan monopoli atas semua kekuasaan untuk mengonsekrasi produsen atau 15 produknya. Selanjutnya, Bourdieu menjelaskan berikut ini. Arena produksi karya seni adalah wilayah par excellence antara fraksi dominan kelas dominan, yang kadang kala saling bertengkar secara pribadi namun lebih sering antara para produsen yang hendak mempertahankan „ide-ide‟ mereka dan memuaskan selera mereka, dengan fraksi-fraksi terdominasi yang terlibat total didalam pergulatan tersebut. Konflik ini mengintegrasikan kedalam sebuah arena berbagai subarena yang terspesialisasi secara sosial, pasar yang terpisah dari ruang sosial bahkan geografis, dimana
14 Pierre Bourdieu, The Field of Cultural Production..., 1993, 42. The field of cultural production is the site of struggles in which what is at stake is the power to impose the dominant definition of the writer and therefore to delimit the population of those entitled to take part in the struggle to define the writer. 15 Pierre Bourdieu, The Field of Cultural Production…, 1993, 43. The fundamental stake in literary struggles is the monopoly of literary legitimacy, i.e., illter alia, the monopoly of the power to say with authority who are authorized to call themselves, writers; or, to put it another way, it is the monopoly of the power to consecrate producers or products.
22
bermacam-macam fraksi kelas bisa menemukan produkproduk yang disesuaikan selera mereka. 16 Persepsi atas arena produksi karya seni pada akhirnya melihat bagaimana proses karya seni terbentuk, dan sirkulasi agen-agen yang terlibat dalam „pertarungan‟ untuk mencapai posisi-posisi dominan atau ruang pengambilan posisi17 sebagai upaya melegitimasi dan mengkonsekrasi kedudukan agen dan karyanya dalam merebut simpati di skala ruang yang lebih luas yaitu „arena karya seni‟. Disini terlihat klasifikasi dialektis dan saling menegaskan antara persepsi „arena
produksi
karya
seni‟
yang
terkonsentrasi
pada
ruang
pengambilan posisi dan pembentuk karya seni, dengan „arena karya seni‟ sebagai ruang produksi nilai dan fungsionalnya. Strategi „pembacaan arena‟ Bourdieu pada akhirnya memberikan gambaran bagaimana hubungan representasi ensambel talempong goyang pada latarbelakang historis, dan menelusuri para produsen karya berdasarkan strategi dan lintasan, Habitus individu dan kelompok, serta posisi objektifnya di dalam arena. Selain itu, Pierre Bourdieu, The Field of Cultural Production…, 1993, 102. The field of cultural production is the area par excellence of clashes between the dominant fractions of the dominant class, who fight there sometimes in person but more often through producers oriented towards defending their 'ideas' and satisfying their 'tastes', and the dominated fractions who are totally involved in this struggle. This conflict brings about the integration in a single field of the various socially specialized sub-fields, particular markets which are completely separate in social and even geographical space, in which the different fractions of the dominant class can find products adjusted to their tastes. 17 Pierre Bourdieu, The Field of Cultural Production…, 1993, 30. 16
23
digunakan untuk menganalisis struktur arena itu sendiri, yaitu posisi-posisi yang ditempati para pelaku (seniman), konsekrasi, dan legitimasi yang membuat produk kultural sebagai produk kultural (publik,
kritikus,
lembaga,
institusi,
dan
sebagainya),
serta
menganalisis posisi arena dalam arena kekuasaan yang lebih luas. F. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Prinsip analisisnya didasarkan pada penafsiran terhadap kualitas 18 dan totalitas data,19 sebab, data yang dikumpulkan dari lapangan relatif banyak dan tidak terstruktur, sehingga sangat dimungkinkan untuk ditata dan dikritisi kembali.20 Upaya analisis kualitatif dalam penelitian ini digunakan untuk merumuskan sebuah mekanisme logis
tentang
praktik
sosial
sebagai
penggambaran
terhadap
kehidupan sosial secara indegenous. Hal tersebut dimungkinkan untuk menggali ciri khas dan keunikan suatu masyarakat, mulai dari karakteristik subjek dari individu hingga karakteristik dari struktur objektifnya,
sehingga
deskripsi
analisis
dapat
mengungkapkan
Jane Stokes, How To Do Media and Cultural Studies, Terj. Santi Indra Astuti (Yogyakarta: Bentang, 2006), 15. 19 R.M Soedarsono, Metode Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa. (Bandung: MSPI, 1999), 34. 20 Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2003), 15. 18
24
dinamika hubungan antara agen dan struktur yang tidak linear dan khas untuk setiap masyarakat. 21 Secara keseluruhan, data-data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari empat sumber data, yaitu: sumber data dari dokumen tertulis atau dari kepustakaan yang ada; sumber dari data observasi; sumber data dari wawancara; dan sumber data audio-visual digital. Masing-masing
sumber
data
tersebut
memiliki
relevansi
dan
argumentasi tersendiri, yang terkait erat dengan upaya pengumpulan data
yang
dilakukan
pengumpulan
data
dalam
sesuai
penelitian
relevansi
ini.
dan
Berikut
argumentasi
diuraikan masing-
masingnya sebagai sumber yang dijadikan data dalam penelitian ini. Pertama, studi kepustakaan atas sumber-sumber data dari dokumen tertulis dan audio-visual. Sumber data dari dokumen atau penelitian pustaka (library research), merupakan informasi yang dihasilkan dari pengumpulan catatan-catatan tertulis atau karya tulis tentang talempong yang pernah ada sebelumnya, baik berupa catatan-catatan
pribadi
maupun
berbagai
tulisan
yang
telah
dipublikasikan. Pada studi kepustakaan ini terdapat 3 disertasi, 3 tesis dan 2 artikel pada jurnal yang berikutnya dijadikan sebagai Bagus Takwin, “Proyek Intelektual Pierre Bourdieu”, dalam pengantar buku Richard Harker, dkk, eds., (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik, Terj. Pipit Maizier (Yogyakarta: Jalasutra, 2009), xxiii-xxiv. 21
25
landasan posisioning dan capaian penelitian ini, sebagaimana yang telah disampaikan dalam tinjauan pustaka sebelumnya. Beberapa tulisan lainnya mengenai talempong juga menjadi sumber data tertulis, seperti bagian dalam beberapa buku yang membahas tentang
masyarakat
Minangkabau
secara
umum,
khususnya
pembahasan mengenai musik tradisi Minangkabau. Selanjutnya adalah pengumpulan dokumen-dokumen
audio-
visual yang mewakili bentuk pertunjukan talempong goyang secara umum, baik sebagai kelompok talempong goyang yang hidup di dalam dan di luar wilayah Sumatera Barat. Kedua, dengan cara studi lapangan/observasi. Studi lapangan dibatasi tiga sanggar yang memiliki ensambel musik tradisional populer dengan format ensambel talempong goyang yang ada di Sumatera Barat yaitu, pertama, sanggar Singgalang sebagai cikal bakal
dari
tradisi
talempong
goyang
di
daerah
Koto
kociak,
kenagarian Limbanang, Kabupaten Lima Puluh Kota; kedua, sanggar Al-Falah di Daerah Padangpanjang, Kampung Jambak; ketiga, sanggar Sofyani di Padang. Pemilihan terhadap sanggar–sanggar tersebut diperkirakan dapat mewakili bentuk tradisi talempong goyang yang ada di Sumatera Barat.
26
Proses ketiga, yaitu dengan cara studi media rekam. Teknik analisis data ini adalah dengan mengumpulkan hasil rekaman wawancara yang berupa data audio, rekaman pertunjukan musik tradisi talempong goyang berupa data audio dan visual, dan datadata berupa foto. Setelah seluruh proses pengumpulan data selesai, selanjutnya semua data dianalisis berdasarkan pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan dengan menggunakan sistematika konstruksi teori yang telah
diuraikan
dalam
kerangka
teoritik.
Untuk
menjawab
pertanyaan pertama, dilakukan penelusuran studi pustaka untuk menelisik pemetaan posisi talempong goyang sekaligus kondisi sosio– kultural Sumatera Barat dalam arena kultural secara internal maupun
eksternal.
Selanjutnya,
merelasikan
dengan
proses
konstruksi disposisi posisi ensambel talempong goyang dengan pengambilan posisi oleh senimannya di dalam arena seni di Sumatera Barat, sehingga mampu membuat ensambel talempong goyang menjadi modal sosial masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat secara khusus. Untuk menjawab pertanyaan kedua, data audio visual berupa struktur
musikal
pertunjukan
ensambel
talempong
goyang
di
Minangkabau Sumatera Barat, kemudian ditranskripsi dalam model
27
notasi musik konvensional Barat, lalu diurai berdasarkan klasifikasi instrumentasi dan struktur musik. Talempong goyang sebagai struktur musikal, dianalogikan sebagai suatu „arena‟ yang berada dalam wilayah kuasa dominan (kuasa seniman), oleh karenanya, analisis struktur musik talempong goyang kemudian di–ekuivalen dengan analisis „arena‟ Bourdieu, namun disesuaikan dengan logika musikologi dalam menggunakan „peristilahan‟ musik konvensional Barat. G. SISTEMATIKA PENULISAN Seluruh
hasil
penelitian
tentang
talempong
goyang
dalam
masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat nantinya dijabarkan melalui pembahasan yang ditandai dalam beberapa bab dengan sistematika sebagai berikut. Bab pertama belakang
berisi
masalah,
pengantar, menguraikan
rumusan
masalah,
tujuan
tentang latar dan
manfaat
penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab kedua berisi tinjauan sosiologis atas ensambel talempong goyang yang terdiri dari beberapa sub-sub judul diantaranya, posisi talempong goyang, talempong goyang sebagai hiburan alternatif,
28
kontestasi talempong goyang, homogenisasi talempong goyang dalam arena karya seni populer. Bab ketiga berisi tentang analisis sosiologi musik Bourdieuxian, yang terbagi atas tiga sub judul diantaranya, habitus musikal talempong
goyang,
perkembangan
model
talempong
goyang,
talempong goyang dalam relasi sosio-kultural. Bab keempat berisi kesimpulan dari keseluruhan bab dalam tulisan ini.