BAB I PENGANTAR
1.1 Latar Belakang Masalah Pencarian spiritual sebagai suatu fenomena sosial di negara–negara maju sudah lama terasa, dibandingkan dengan di negara–negara berkembang. Di samping ditandai oleh derasnya arus informasi dan dahsyatnya perkembangan teknologi informasi, zaman sekarang ternyata juga diwarnai arus baru di tengah masyarakat dunia, yaitu kerinduan pada kesejukan batin dan kedamaian jiwa. Mencari inspirasi dan kebijakan dari filsafat Timur dan informasi tentang persoalan inner-self menjadi sesuatu yang trendi. Betapapun juga, semua itu bersumber pada gejala yang sama, yakni kecenderungan manusia untuk kembali pada spiritualisme. Di Amerika Serikat, terutama di daerah New England, misalnya, kebutuhan akan spiritualisme itu sudah kuat terasa sejak masa awal terbentuknya Negara Amerika Serikat. Berbicara mengenai pencarian spiritual di Amerika tidak dapat dilepaskan dari sejarah terbentuknya Negara Amerika Serikat. Seperti yang telah diketahui bersama bahwa bangsa Amerika adalah bangsa imigran. Penduduk awal dari daerah bagian pantai Timur Laut Amerika adalah bangsa Inggris, Belanda, dan Jerman. Spanyol, Portugis, dan Perancis datang dan menempati daerah bagian Tenggara dan Barat Daya membawa misi utama untuk mencari emas dengan mengatasnamakan penguasanya, Raja atau Ratu. Di antara rombongan mereka
1
2
terdapat pula tokoh-tokoh agama atau misionaris yang datang untuk menjadikan penduduk asli pengikut agama mereka yang kebanyakan adalah Katolik Roma. Para imigran yang datang ke daerah bagian Timur Laut agak berbeda dalam hal motivasinya pindah ke Dunia Baru (New World). Mereka tidak hanya ingin mendapatkan emas ataupun harta karun lainnya kemudian pulang lalu kembali lagi seperti yang dilakukan oleh orang-orang Spanyol, tetapi mereka yang datang ke pantai bagian timur pergi ke Dunia Baru untuk tinggal di sana secara permanen. Mereka berusaha untuk mencari tempat tinggal di mana mereka bisa dengan bebas memeluk agama apapun yang mereka inginkan dan memperbaiki hidup mereka. Kebanyakan dari mereka adalah Protestan yang dihukum di kampung halamannya karena agama baru mereka. Orang-orang yang menetap di New England adalah orang-orang Inggris Puritan. Mereka bermigrasi dan bersembunyi di Belanda sebelum mereka pergi ke Dunia Baru untuk menyelamatkan hidup mereka. Orang-orang Puritan adalah orang-orang yang memprotes dan ditolak oleh Gereja Inggris. Mereka sangat religius, mereka mempunyai doktrin mereka sendiri dan hidup dengan etika Puritan. Sementara itu, orang-orang dari Jerman dan Belanda menetap di New York dan Pennsylvania. Mereka juga orang-orang Protestan yang hidup sangat taat dan sederhana (Muhni, 2010: 55-56). Orang-orang Puritan di Amerika mengembangkan paham Puritanisme yang memiliki doktrin dan etika hidup tersendiri. Seiring dengan berjalannya waktu, Puritanisme di Amerika pun mengalami perkembangan sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi zaman. Pada perkembangannya, Puritanisme
3
Amerika mengalami perubahan dari semangat kebebasan menjalankan agama yang melatarbelakangi hijrahnya orang-orang Puritan ke Amerika. Orang-orang Puritan awal di Amerika berusaha menyeragamkan praktek keagamaan mereka dan tidak mentolerir perbedaan. Hal ini hampir sama dengan kondisi yang terjadi di Inggris sebelum mereka pergi ke Dunia Baru. Kondisi ini menyebabkan beberapa tokoh pemuka agama dan cendekiawan Puritan pergi dan mendirikan koloni-koloni baru yang di kemudian hari menjadi cikal bakal negara Amerika Serikat. Kurang lebih sejak tahun 1950-an di Amerika muncul paham baru sebagai reaksi terhadap modernisme yaitu posmodernisme. Posmodernisme di Amerika lahir sebagai bentuk kejenuhan masyarakat Amerika terhadap peradaban modern yang ditandai dengan industrialisasi dan kapitalisme. Posmodernisme berusaha mendobrak nilai-nilai kemapanan yang dijadikan standar kehidupan masyarakat modern Amerika. Kehidupan posmodern di Amerika ditandai dengan kebebasan dan penjungkirbalikan nilai-nilai modernitas. Kebebasan ini terjadi hampir di segala bidang, tidak hanya dalam bidang arsitektur sebagai awal mula tercetusnya posmodernisme, melainkan dalam bidang-bidang lain termasuk juga dalam bidang kehidupan spiritual. Budaya posmodern Amerika ditandai dengan politik konsumsi yang baru. Konsumsi menjadi penanda status dan identitas seseorang, baik itu konsumsi material maupun spiritual. Hal ini kemudian melahirkan produksi massal barangbarang konsumsi material maupun spiritual yang diiringi teknik pemasaran yang gencar. Menurut Thompson,
4
nothing is more heavily marketed than spiritual development: the ”new age” industry, the mass-marketed quasi-Eastern mysticism espoused by Deepak Chopra, and religious experience (marketing is not just for televangelism anymore) are just a few of the ”spiritual goods” available on the market. Indeed, postmodern consumer culture has been characterized as a post-materialist ”economy of signs,” in which selfenhancement and even spiritual epiphany are dominant consumer motivations. Of course, material goods still carry much symbolic currency, but consumption practices that enable individuals to create a ”mindful,” ”centered,” ”authentic” identity, immune to ”other-directed” pressures, are now important markers of social status (1999) [tidak ada yang lebih berat dipasarkan daripada pembangunan spiritual: industri “new age”, pemasaran massal mistisisme quasi-Timur yang didukung oleh Deepak Chopra, dan pengalaman religius (pemasaran tidak hanya untuk televangelisme saja) adalah hanya beberapa dari ”barang-barang rohani” yang tersedia di pasaran. Tentu saja, budaya konsumen postmodern telah ditandai sebagai ”ekonomi tanda-tanda” post-materialis, yang di dalamnya peningkatan diri dan bahkan epiphany spiritual adalah motivasi-motivasi konsumen yang dominan. Tentu, barang-barang material masih menjadi bagian besar dari simbol kekayaan, tapi praktek-praktek konsumsi yang memperbolehkan individu untuk menciptakan satu identitas yang ”sadar,” ”terpusat,” ”otentik”, kebal terhadap desakan-desakan “yang berorientasi lain”, kini adalah penanda penting dari status sosial]. Kebebasan spiritual Amerika di zaman posmodern ditandai dengan maraknya denominasi agama Kristen, praktek-praktek pemujaan bebas, dan kecenderungan untuk pencarian ke Timur. Dalam hal ini, kecenderungan masyarakat Amerika untuk mencari kepuasan spiritual tidak terbatas pada agama mainstream mereka, yaitu Kristen Protestan. Mereka juga mencari kepuasan spiritual dari ajaran-ajaran agama lain, terutama ajaran-ajaran dari agama Timur seperti Islam, Hindu dan Budha. Fenomena ini adalah salah satu bentuk dari kebebasan mereka dalam mengekspresikan kebebasan beragama yang menjadi salah satu alasan nenek moyang mereka untuk bermigrasi ke Amerika. Sekitar dua dekade kemudian, di Amerika mulai muncul paham lain sebagai reaksi terhadap budaya posmo yang dianggap sudah melewati batas. Paham ini disebut sebagai New Puritanism atau Neo Puritanism atau ada juga
5
yang menyebutnya sebagai Neo Calvinism atau New Conservatism. Paham ini lahir sebagai reaksi negatif terhadap budaya postmodern dalam berbagai bidang kehidupan, seperti misalnya konsumsi berlebihan baik dalam hal material maupun spiritual. Paham New Puritanism pada dasarnya hampir sama dengan paham Puritanisme yang berusaha mengembalikan norma-norma dasar kehidupan masyarakat Amerika kepada nilai-nilai Protestan. Hanya saja perbedaannya terletak pada situasi dan kondisi zaman yang melatarbelakangi kelahirannya sehingga fokus perhatiannya berbeda. Jika pada awal kemunculannya, Puritanisme lahir untuk memurnikan ajaran agama Kristen dari pengaruh Katolik Roma dan mendapatkan kebebasan menjalankan agama Protestan. New Puritanism bertujuan untuk mengembalikan kemurnian agama Kristen Protestan dari terlalu banyak keberagaman dan kebebasan yang ada di Amerika. Kemunculan paham New Puritanism di Amerika menunjukkan bahwa pada dasarnya paham Puritanisme di Amerika tidak pernah padam. Elemenelemen Puritanisme tidak dapat diabaikan dalam perkembangan kehidupan masyarakat Amerika. Hal ini sesuai dengan pendapat Elliot bahwa, Although the Puritan community as a recognizable social entity ceased to exist by the later part of the eighteenth century, many of the Puritans, the concepts, rhetorical strategies, desires, beliefs, cultural attitudes and imaginary projection upon the American landscape continued long after [Walaupun komunitas Puritan sebagai satu entitas sosial mulai pudar pada akhir abad kedelapanbelas, banyak dari konsep-konsep, strategi-strategi retoris, keinginan-keinginan, kepercayaan-kepercayaan, sikap-sikap budaya dan proyeksi imajiner Puritan terhadap tanah Amerika berlanjut lama setelahnya] (2002: 12). Salah
satu
bentuk
warisan
dari
Puritanisme
Amerika
adalah
kecenderungan masyarakat Amerika untuk melakukan pencarian spiritual. Fenomena pencarian spiritual ini disoroti oleh banyak penulis Amerika yang
6
menuangkannya dalam karya sastra mereka. Salah satu penulis yang karyanya baru-baru ini menarik perhatian banyak orang adalah Elizabeth Gilbert dengan buku autobiografinya yang berjudul Eat, Pray, Love (2006) yang diangkat ke dalam layar lebar pada tahun 2010. Dia menuturkan pengalamannya sendiri dalam proses pencarian spiritual setelah mengalami kegagalan dalam perkawinan. Untuk mengatasi depresinya, dia memutuskan untuk mencari ketenangan spiritual dengan meninggalkan kehidupannya yang lama, mantan suaminya, pacarnya, teman-temannya dan pekerjaannya sebagai penulis. Dia lalu mengelilingi dunia dengan mengunjungi tempat-tempat yang menurutnya mampu mengatasi depresinya. Mula-mula ia mengunjungi Italia untuk memuaskan nafsu makannya yang selama ini dikekang atas nama kesehatan dan penampilan yang menarik, juga untuk mempelajari bahasa Italia yang dianggapnya sebagai bahasa yang indah. Kemudian, dia pergi ke India untuk belajar yoga kepada seorang guru yoga yang dikenalnya melalui pacar yang ditinggalkannya. Terakhir, dia pergi ke Bali untuk menemui seorang pelukis yang juga seorang dukun adat. Di sanalah ia kemudian menemukan cinta sejatinya setelah ia mendapatkan ketenangan spiritual. Tema pencarian spiritual ini juga seringkali dimunculkan oleh salah seorang penulis Amerika yang mempunyai perhatian besar terhadap spiritualisme masyarakat Amerika yaitu John Updike. John Updike lahir di Reading, Pennsylvania, pada tahun 1932. Lulus dari Harvard pada tahun 1954, dia menghabiskan satu tahun di Inggris dengan Knox Fellowship, di Ruskin School of Drawing and Fine Art di Oxford. Dari tahun 1955 sampai 1957 dia menjadi salah
7
satu staf dari The New Yorker, sebagai kontributor cerpen, buku, dan ulasan buku. Karya fiksinya telah banyak mendapatkan penghargaan, di antaranya the Pulitzer Prize untuk Rabbit Is Rich dan Rabbit at Rest, the National Book Award dan the American Book Award untuk Rabbit Is Rich, dan the National Book Critics Circle Award. Sejak tahun 1957, dia bertempat tinggal di Beverly Farms, Massachussets. Sepanjang karirnya selama kurang lebih setengah abad, Updike telah menerbitkan lebih dari 50 buku, lebih dari 20 di antaranya adalah novel, cerpen-cerpen yang amat banyak, dan juga
kumpulan puisi. Beberapa tahun
belakangan, dia sangat dikenal dengan kritik-kritik dan esai-esai seninya (Updike, S., 1988: 280; Rourke, 2009: 1). Di dalam Garis Besar Kesusasteraan Amerika, John Updike diakui sebagai “penulis dengan tatakrama, dengan lokasi pinggiran kota, tema rumah tangga, cerminan kebosanan dan kesedihan, dan khususnya, tempat kejadian yang dikarangnya di daerah pantai bagian timur, di Massachussets dan Pennsylvania.” (Spanckeren, 2004: 103) Pendapat senada diutarakan Mary Rourke dalam artikel “John Updike dies at 76; Pulitzer-winning author” edisi 28 Januari 2009, bahwa, “Novel-novel dan cerpen-cerpen John Updike banyak mengangkat masalah ambivalensi dan kekecewaan dari masyarakat kelas menengah di kota kecil Amerika” (Rourke, 2009: 1.). Novel – novel dan cerpen – cerpen yang dibuat John Updike banyak yang bertema religius dan pencarian spiritual, seperti antara lain novel-novel serial Rabbit (Rabbit, Run; Rabbit Redux; Rabbit Is Rich; Rabbit At Rest; dan Rabbit Remembered) dan trilogi The Scarlet Letters. Trilogi ini terdiri dari novel pertama,
8
A Month of Sundays (1974), kemudian Roger's Version (1986) dan terakhir adalah S. (1988). Updike menamakan ketiga novel tersebut sebagai The Scarlet Letters Trilogy karena dia menulis ketiganya setelah terinspirasi oleh novel The Scarlet Letter karya Nathaniel Hawthorne. Trilogi tersebut memiliki kesamaan dengan novel The Scarlet Letter antara lain dalam hal menyoroti perzinahan yang dilakukan oleh pemuka agama atau pemimpin spiritual di dalam ceritanya. Selain itu, nama-nama tokoh di dalam novel-novel tersebut juga memiliki kemiripan dengan nama-nama tokoh di dalam novel The Scarlet Letter. Novel S., yang mengambil setting sekitar April sampai Desember 1986, bercerita tentang pencarian spiritual tokoh utamanya yang tertarik dengan ajaran Budha. Tokoh utama dalam novel S., Sarah Worth, melarikan diri dari kehidupannya yang lama, dari suami, anak perempuan, ibu, teman-teman, rumah bagus, dan kehidupan mewahnya, untuk mencari kebahagiaan sejatinya. Sarah Worth tertarik dengan ajaran Budha yang dikenalnya melalui sosok Arhat dalam kelas yoga yang diikutinya. Kharisma yang dipancarkan Arhat sanggup membuat Sarah memutuskan untuk meninggalkan kehidupannya sebagai istri seorang dokter ternama, Charles Worth, di kalangan elit sosialnya. Dia kemudian mengejar tokoh Arhat untuk bergabung dengan komunitasnya di Arizona yang bertujuan untuk mengumpulkan dana sebanyak mungkin untuk kesejahteraan umatnya. Pemilihan novel S. sebagai bagian dari trilogi The Scarlet Letter didasari pemikiran penulis untuk mengangkat fenomena New Puritanism dari masyarakat
9
Amerika yang dalam novel ini diwarnai pencarian spiritual Barat Ke Timur. Penulis hanya mengambil satu novel bagian terakhir dari trilogi ini, yaitu novel S., yang dianggap mewakili masalah dalam penelitian ini. Dalam penelitian yang menggunakan paradigma sosiologi sastra, seringkali yang ditelusuri adalah fenomena sosial yang terdapat di dalam karya sastra yang diteliti. Salah satu fenomena yang acapkali tercermin dalam karya sastra, terutama novel, adalah fenomena pencarian spiritual dari para tokoh di dalamnya. Fenomena ini dapat ditelusuri dari perspektif psikoanalisis yang menitikberatkan pada aspek psikologis dari tokoh-tokoh yang ada dalam karya sastra tersebut. Selain itu, dalam perspektif yang lebih luas, fenomena pencarian spiritual juga bisa dideskripsikan dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra yang melihatnya sebagai representasi dari situasi dan kondisi masyarakat di mana karya tersebut berasal. Berangkat dari perspektif di atas, pencarian spiritual tentunya dapat diasumsikan sebagai sebuah fenomena sosial. Dalam konteks ini, selain dapat mengungkap relevansi atau homologi struktur literer teks dengan struktur sosialnya, penelitian sosiologi sastra seharusnya juga dapat difokuskan pada fenomena pencarian spiritual yang terefleksikan dalam karya sastra sebagai bagian dari bangunan cerita secara keseluruhan. Dengan analisis yang mendalam dan penggunaan teori dan metode yang tepat diharapkan dapat diidentifikasi sebabsebab terjadinya fenomena pencarian spiritual dalam masyarakat Amerika. Dengan pemahaman tersebut akan dapat dihasilkan suatu cara pandang baru
10
dalam penelitian sastra yang dapat memberikan manfaat pragmatis pada para pembaca dan pemerhati karya sastra. Sehubungan dengan hal tersebut, akan tepat kiranya jika penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teori strukturalisme genetik. Strukturalisme genetik (genetic structuralism) dikembangkan oleh sosiolog Prancis Lucien Goldmann. Bagi Goldmann tidak ada pertentangan antara sosiologi sastra dan aliran strukturalis; bagi Goldmann pun studi karya sastra harus dimulai dengan analisis struktur; dan definisi struktur Goldmann mengemukakan bahwa setiap karya sastra yang penting mempunyai structure significative, yang menurut Goldmann bersifat otonom dan imanen, yang harus digali oleh peneliti berdasarkan analisis yang cermat. Menurut Goldmann struktur kemaknaan itu mewakili pandangan dunia (vision du monde) penulis, tidak sebagai individu, melainkan sebagai wakil golongan masyarakatnya. Kemudian atas dasar analisis vision du monde tersebut si peneliti dapat membandingkannya dengan data-data dan analisis keadaan sosial masyarakat yang bersangkutan. Dalam arti ini karya sastra dapat dipahami asalnya dan terjadinya (genetic) dari latar belakang struktur sosial tertentu. Dengan demikian varian strukturalis Goldmann disebut strukturalis genetik; yang menerangkan karya sastra dari homologi, persesuaiannya dengan struktur sosial. Tetapi dalam kegiatan peneliti analisis struktur karya secara imanen memenuhi peranan yang esensial (Teeuw, 2003: 126-127). Berdasarkan konsep homologi yang dicetuskan Goldmann, penulis tertarik untuk mencari kesejajaran antara struktur dari novel S. (1988) karya John Updike dengan struktur dalam masyarakat Amerika yang dimediasi oleh pandangan dunia
11
pengarang yang dianggap mewakili pandangan dunia masyarakat Amerika pada saat karya tersebut dibuat. Pandangan dunia yang diasumsikan penulis adalah pandangan dunia mengenai pencarian spiritual masyarakat Amerika, khususnya New Puritanism. Novel S. sudah diterbitkan berulang kali, baik dalam bentuk buku novel maupun dalam bentuk kaset audio. Karya John Updike ini cukup populer di Amerika, Kanada, maupun Inggris. Melihat kebesaran hasil karya John Updike ini, maka layak jika karya sastra ini dijadikan sebagai objek penelitian. Dalam hal ini, penulis tertarik untuk melihat sejauh mana pencarian spiritual Sarah Worth sebagai tokoh utama dari novel S karya John Updike mampu mewakili fenomena pencarian spiritual masyarakat Amerika Serikat yang terjadi pada masa tahun 1980-an. Lebih jauh lagi, penulis tertarik untuk melihat pandangan dunia dari John Updike. Untuk melakukan analisis tentang hal ini, penulis menggunakan pendekatan sosiologi sastra dengan memakai teori strukturalisme genetik dari Lucien Goldmann untuk mencari pandangan dunia pengarang dan homologi yang terdapat dalam novel S.. Pradopo mengatakan, “karya sastra (kesusastraan) merupakan refleksi masyarakat pada zaman karya sastra (kesusastraan) itu ditulis; yaitu masyarakat yang melingkungi penulis sebab sebagai anggotanya penulis tidak dapat lepas darinya” (Pradopo, 2002: 22). Sehubungan dengan hal itu, novel S. karya John Updike sebagai karya sastra dari masyarakat Amerika diasumsikan oleh penulis merefleksikan masyarakat Amerika pada zaman karya tersebut ditulis.
12
Novel S. diterbitkan pertama kali pada tahun 1980, kemudian dicetak ulang selama beberapa kali dalam berbagai edisi cetakan dan diedarkan di Amerika, Inggris, dan Kanada. Terakhir, novel ini juga pernah dibuat dalam bentuk rekaman kaset audio. Sementara novel yang diambil oleh peneliti adalah novel S. dalam bentuk hardcover cetakan tahun 1988. Novel ini memiliki tema masalah pencarian spiritual dari tokoh utamanya yang tertarik dengan kelas yoga dan meditasi yang berasal dari ajaran agama Budha. Fenomena ini diasumsikan sebagai bukti adanya suatu gejala ketidakpuasan masyarakat Amerika dengan kehidupan spiritual mereka sehingga mereka merasa perlu untuk mencari kepuasan spiritual di dalam ajaran agama lain, yang dalam hal ini adalah ajaran Budha. Gejala ketidakpuasan spiritual atau dengan kata lain pencarian spiritual ini disinyalir telah terjadi sejak era masyarakat Puritan di Amerika sampai masa kini. Bisa dikatakan bahwa hal ini telah menjadi suatu ciri kepribadian masyarakat Amerika yang selalu mencari sesuatu yang baru yang dapat memberikan kepuasan spiritual atau kebahagiaan bagi mereka.
1.2 Rumusan Masalah John Updike telah banyak memunculkan tema religius dan spiritual dari tokoh-tokoh dalam fiksinya. Dalam novel S. (1988), tokoh utamanya mengalami hal-hal di luar dugaan dalam proses pencarian spiritualnya. Gaya satir Updike ini memunculkan pertanyaan mengenai apakah maksud dari John Updike sebagai pengarang dengan mengemas proses pencarian spiritual tersebut dengan ending yang demikian? Apakah ini merupakan sindiran Updike terhadap fenomena
13
maraknya pencarian spiritual dari masyarakat Amerika? Mungkinkah Updike merindukan nilai-nilai tradisional masyarakat Puritan zaman dulu pada masa kini? Dari latar belakang di atas, peneliti melihat bahwa ada beberapa permasalahan yang muncul, antara lain adalah 1) Munculnya ketidakpuasan masyarakat Amerika terhadap kehidupan spiritual Kristen. 2) Kegelisahan tersebut mengakibatkan adanya sekelompok orang yang melakukan pencarian spiritual lain. 3) Spiritualisme Budha hadir menjadi alternatif bagi pencarian spiritual masyarakat Amerika. 4) Kerinduan pengarang pada nilai-nilai tradisional Puritan sebagai pandangan dunia dari pengarang. Dari permasalahan yang muncul di atas, maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut. 1. Bagaimanakah homologi yang terdapat dalam struktur novel S. karya John Updike dan struktur masyarakat Amerika? 2. Bagaimanakah ekspresi pandangan dunia dari John Updike di dalam novel S.?
1.3
Objek Penelitian Objek penelitian ini dapat dikelompokkan menjadi dua kategori.
1. Objek formal
: homologi yang terdapat dalam struktur novel S. dan
struktur masyarakat Amerika dan pandangan dunia yang terekspresi dalam novel S. (1988) karya John Updike. 2. Objek material
:
semua
kata,
frase,
kalimat,
dan
paragraf
yang
berhubungan dengan homologi yang terdapat dalam struktur novel S. dan struktur
14
masyarakat Amerika dan pandangan dunia yang terdapat di dalam novel S. (New York: Alfred A. Knopf, 1988) karya John Updike, sebanyak 279 halaman.
1.4
Tujuan Penelitian
1.4.1
Teoretis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah kepekaan literer (literary
awareness) pembaca tentang fenomena pencarian spiritual masyarakat Amerika dan pandangan dunia New Puritanism. Selain itu diharapkan juga agar bisa memberikan kontribusi terhadap sosiologi sastra, khususnya tentang kondisi sosial masyarakat Amerika Serikat yang tercermin dalam novel S. karya John Updike, terutama mengenai fenomena pencarian spiritual masyarakat Amerika yang telah dimulai sejak masa nenek moyang bangsa Amerika, kaum Puritan. Diharapkan hasil penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai penelitian awal untuk menelusuri aspek pencarian spiritual dan New Puritanism dalam karya-karya John Updike, khususnya, dan juga pengarang-pengarang Amerika yang lain. 1.4.2
Praktis Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan (input)
bagi para peneliti, dosen, mahasiswa maupun pemerhati sosiologi sastra, terutama bagi mereka yang mendalami sosiologi sastra Amerika. Penelitian ini bertujuan untuk menawarkan kepada pembaca cara memahami dan mengapresiasi sebuah novel. Dengan demikian, hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi referensi bagi masyarakat pembaca untuk dapat memaknai sebuah novel berdasarkan teori
15
strukturalisme genetik Lucien Goldmann sebagai sebuah alternatif penelitian ilmiah terhadap karya sastra.
1.5
Tinjauan Pustaka Dari penelusuran yang penulis lakukan terhadap berbagai skripsi, tesis dan
disertasi, sampai sejauh ini penulis tidak menemukan judul penelitian seperti yang dilakukan oleh penulis. Berbagai penelitian yang telah dilakukan belum ada yang menggunakan pendekatan sosiologi sastra, khususnya teori strukturalisme genetik untuk meneliti novel S. karya John Updike. Karena itu, penulis bisa memastikan penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian yang pernah dilakukan terhadap novel karya John Updike adalah penelitian oleh Harsiwi Fajar Sari Jurusan Sastra Inggris UGM dengan judul Alienation as Seen in Harry Rabbit Angstrom, the Main Character of John Updike’s Rabbit, Run pada tahun 2007. Penelitian ini menganalisis alienasi yang dialami tokoh utama dalam novel Rabbit, Run. Penelitian ini memberikan kontribusi terhadap penelitian yang akan dilakukan penulis, terutama dalam hal memahami karakteristik dan kecenderungan karya-karya John Updike. Kemudian, penelitian tentang gejala pencarian spiritual masyarakat Amerika pernah dilakukan antara lain sebagai berikut. 1)
Erlina Farida di FIB UGM pada jurusan Pengkajian Amerika dengan judul
Kapitalisme dan Kebangkitan Agama-Agama Baru di Amerika Serikat (Yogyakarta: 1999). Tesis ini menguraikan dampak perkembangan kapitalisme di Amerika yang mengakibatkan kondisi kekeringan jiwa masyarakat Amerika. Hal
16
ini tampaknya telah menggugah masyarakat Amerika untuk mencari visi spiritual baru yang lain daripada visi modern yang sudah ada. Sebagai akibatnya, muncullah agama-agama baru di Amerika Serikat. Hal yang menarik, masyarakat Amerika tertarik dengan agama-agama Timur seperti Hindu, Budha, Islam dan ajaran Timur lainnya atau bahkan gerakan-gerakan fundamentalisme agama. Hasil penelitian ini banyak memberikan kontribusi terhadap penulis terutama dalam memahami kecenderungan masyarakat Amerika untuk mencari agama atau minimal visi spiritual yang baru. 2)
Erna Cahyawati dengan judul Seeking for East in Post War Era: A Study
on Jack Kerouac’s The Dharma Bums (tesis American Studies Graduate School UGM, Yogyakarta: 2007). Studi ini ditujukan untuk menguak motivasi yang mendorong Kerouac melakukan pencarian spiritual ke Timur (Budha) seperti yang terlihat dalam novel The Dharma Bums. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa motif pencarian Kerouac ke Timur (Budha), dilakukan sebagai bentuk perlawanan pada tradisi dominan di Barat pada era paska perang. Sebagai bentuk perlawanan pada pandangan budaya dan agama Barat, serta kekecewaannya pada kerusakan alam yang terjadi, Kerouac menemukan bahwa ajaran Timur (Budha) tentang hidup sederhana dan harmoni dengan alam merupakan solusi yang bisa ditawarkan untuk Barat. Penelitian ini memberikan input bagi penulis dalam hal pendalaman fakta mengenai fenomena pencarian ke Timur. 3)
Husain
Hasyim
(Graduate
Program
GMU)
dengan
Secularization as Seen in the American Religious Life (1999).
judul
tesis
17
Penelitian sejenis yang menggunakan teori strukturalisme genetik antara lain berikut ini. 1)
Makna Totalitas Novel Para Priyayi Dan Novel Jalan Menikung Karya
Umar Kayam Pendekatan Strukturalisme Genetik Lucien Goldmann oleh Nugraheni Eko Wardani (UNS). Hasil penelitian ini menunjukkan makna totalitas dari novel Jalan Menikung karya Umar Kayam adalah kritik Umar Kayam sebagai priyayi cendekiawan terhadap budaya priyayi yang tidak sesuai dengan esensi makna priyayi yang luhur. Pandangan dunia Umar Kayam adalah humanisme sosial. 2)
“Analisis Strukturalisme Genetik Roman Namaku Teweraut Karya Ani
Sekarningsih” (teguh1wir, http://gemasastranusantara.wordpress.com/2009/07/17/ analisis-strukturalisme-genetik-roman-namaku-teweraut-karya-ani-sekarningsih/). 3)
Buku yang berjudul Hilangnya Pesona Dunia: Sitti Nurbaya, Budaya
Minang, Struktur Sosial Kolonial (1999) karya Faruk, yang semula adalah tesis dengan judul Sitti Nurbaya: Tinjauan Semiotik dan Strukturalisme-Genetik. 4)
Tesis yang berjudul Degradasi Moral Kepemimpinan dalam Novel Hubbu
karya Mashuri: Kajian Strukturalisme Genetik (2009) oleh Listya Sulastri Wulan Kurniati dari FIB UGM. 5)
Konflik Palestina-Israel Kajian Strukturalisme Genetik terhadap Novel
Altneuland dan Scar of David, Scar of Palestine (2010), tesis yang dibuat oleh I Made Partha Susrama (FIB UGM). 6)
Disertasi Faruk dari FIB UGM yang berjudul Novel-Novel Indonesia
Tradisi Balai Pustaka 1920-1942 (1994).
18
Dari berbagai penelitian di atas belum ada skripsi, tesis maupun disertasi yang secara khusus membahas mengenai novel S. karya John Updike dengan menggunakan pisau analisis teori strukturalisme genetik. Meskipun demikian, hasil dari penelitian-penelitian tersebut di atas banyak memberikan kontribusi kepada penulis dalam hal kerangka penulisan analisis dengan menggunakan pendekatan strukturalisme genetik. Penelitian mengenai Puritan juga pernah dilakukan antara lain berikut ini. 1)
Listyaning Sumardiyati (UGM) dengan tesis yang berjudul The Puritan
Colonial New England Women: A Study on Anne Brandstreet’s Poems (2000). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa para wanita New England pada masa kolonial hidup dalam masyarakat yang religius dengan peran produktif dan reproduktif mereka untuk membangun “city upon the hill” (kota di atas bukit) dalam masa frontier Puritan yang menantang di New World (Dunia Baru). 2)
Dahniar Th. Musa dengan judul tesis Intoleransi Kaum Puritan pada
Masa Kolonial di Amerika: Ditinjau dari Film The Scarlet Letter dan The Crucible (2003). Tesis ini meneliti tentang intoleransi kaum Puritan akibat ide untuk menegakkan pemikiran religius dalam dua buah film Amerika. 3)
Siti Masitoh dengan tesisnya yang berjudul The Development and The
Subsequent Decline of American Puritanism (2002). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Puritanisme di Amerika telah mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-17 atau pada tahun 1600-an, sedangkan kemerosotannya terjadi pada abad ke-19 karena pengaruh dari ”the great awakening” (kebangkitan besar) yang digembar-gemborkan di New England selama tahun 1680-an sampai 1720-an.
19
Beberapa faktor yang menyebabkan kemerosotan Puritanisme Amerika adalah perubahan kondisi ekonomi, keberadaan frontier, pertumbuhan rasionalitas, dan kosmopolitanisme dari para imigran. 4)
Tesis lain yang berjudul O’Neil’s Vision as Reflected in Morning Becomes
Electra (1996) oleh Endang Eko Djati Setiowati. Penemuan dari penelitian ini adalah bahwa etika Puritan yang tercermin dalam tradisi kesopanan telah ditinggalkan. Amerika telah berubah karena perkembangan ilmu pengetahuan yang menjadikan masyarakatnya materialistik dan kapitalistik. 5)
Tesis dari Tri Retno Pudyastuti yang berjudul Puritanism in America as
Reflected in Eugene O’Neil’s Desire Under The Elms (1993). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Ephraim, tokoh utama, gagal untuk membentuk sebuah keluarga yang bahagia berdasarkan agama, terutama upaya untuk memadukan ide tentang mempertahankan nilai-nilai agama, dalam hal ini Puritanisme, dengan kepribadian Ephraim yang sulit. 6)
Disertasi dari Mister Gideon Maru yang berjudul Puritanism in American
Presidents’ Mark of Power: A Study on The Inaugural Addresses from Reagan to Obama (2012). Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa pidato pelantikan presiden Amerika mencerminkan pengadopsian tradisi Jeremiad dari kaum Puritan yang ditandai dengan adanya elemen-elemen struktural seperti ratapan atas situasi masa kini, pengacuan pada masa lalu, dan panggilan untuk berubah demi masa depan yang lebih baik, dan juga mencerminkan ruang afirmasi dari implikasi konseptual dari kata-kata yang berakar pada kaum Puritan seperti panggilan, pilihan, tugas, misi, Dunia Baru, Tanah Baru, pernyataan introspektif
20
serta ide kota di atas bukit. Puritanisme dalam pidato pelantikan berfungsi bagi Presiden Amerika untuk membingkai signifikansi sosial, budaya, ekonomi dan politik. Puritanisme sebagai nilai yang dibawa oleh pemukim awal Amerika dapat juga menjadi modal bagi para pemimpin karena Puritanisme tersebut masih kuat untuk membingkai tanggapan terhadap situasi yang sedang terjadi, menginspirasi partisipasi publik dan menegaskan janji Amerika. Dari berbagai penelitian yang telah ditelusuri penulis, sampai sejauh ini belum pernah ada penelitian mengenai pandangan dunia New Puritanism maupun penelitian yang menggunakan judul yang sama dengan penelitian ini. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penelitian ini berbeda dengan penelitianpenelitian sejenis yang telah dilakukan sebelumnya.
1.6
Landasan Teori
1.6.1 Strukturalisme Genetik Lucien Goldmann Karya sastra sebagai representasi situasi dan kondisi masyarakat sesuai dengan pernyataan M.H. Abrams dalam The Mirror and The Lamp (1971: 31) yang mengatakan bahwa “art is like a mirror ... For facts are facta, things made as much as things found, and made in part by the analogies through which we look at the world as through the lens”. Unsur mimetik ini, yaitu keterkaitan antara kenyataan dan karya seni, biasanya menjadi penekanan dari sosiologi sastra. Hal ini senada dengan pendapat Teeuw bahwa, Dalam visi sosiologi sastra analisis struktural yang berpangkal pada otonomi karya sastra (dan fiksionalitas, yang seringkali terkandung dalam pendekatan otonomi) memungkiri hakikat sastra sebagai pembayangan atau pencerminan kenyataan, yang bagaimanapun harus kita baca dengan
21
latar belakang kenyataan. Namun penekanan aspek mimetik tidak berarti bahwa analisis karya tidak lagi dianggap penting atau layak. Analisis karya itu suatu prasarana untuk sosiologi sastra (2003: 125-126). Sesuai dengan pernyataan di atas, teori sosiologi sastra adalah alat yang tepat untuk mencari keterkaitan karya sastra dengan kenyataan. Namun untuk mencari aspek mimetik tidak berarti harus mengesampingkan aspek struktur karya sastra. Maka pendekatan yang memungkinkan untuk keduanya dilakukan salah satunya adalah teori strukturalisme genetik. Strukturalisme genetik dikembangkan oleh Lucien Goldmann, seorang filsuf dan sosiolog Rumania-Perancis. Teori ini dikemukakannya pada tahun 1956 dengan terbitnya buku The Hidden God: a Study of Tragic Vision in the Pensees of Pascal and the tragedies of Racine. Teori dan pendekatan yang dimunculkannya ini dikembangkan sebagai sintesis atas pemikiran Jean Piaget, George Lukacs, dan Karl Marx. Goldmann percaya bahwa karya sastra merupakan sebuah struktur. Akan tetapi, struktur itu bukanlah sesuatu yang statis, melainkan merupakan produk dari proses sejarah yang terus berlangsung, proses strukturasi dari destrukturisasi yang hidup dan dihayati oleh masyarakat asal karya yang bersangkutan (dalam Faruk, 1999: 12). Istilah genetik sendiri mengandung pengertian bahwa karya sastra itu mempunyai asal-usulnya (genetik) di dalam proses sejarah atau masyarakat. Menurut Faruk (2010: 64–65), Goldmann percaya pada adanya homologi1 antara struktur karya sastra dengan struktur masyarakat, sebab keduanya merupakan produk dari aktivitas strukturasi yang sama. Konsep homologi ini
1
kesejajaran struktural antara struktur karya sastra dengan struktur masyarakat itu sendiri (Faruk, 2010: 65)
22
berbeda dari konsep refleksi. Memahami karya sastra sebagai refleksi atau cerminan masyarakat berarti menganggap bahwa bangunan dunia imajiner yang tercitrakan dalam karya sastra identik dengan bangunan dunia yang terdapat di dalam kenyataan. Padahal, sebagaimana yang sudah terbukti di dalam sejarah sastra di seluruh dunia, sebagian besar karya sastra tidaklah realistik, melainkan justru imajinatif dan bahkan fantastik sehingga bangunan dunia yang terbayang di dalamnya tampak seperti tidak berhubungan sama sekali dengan tata kehidupan manusia atau masyarakat yang nyata. Hanya dengan konsep homologi hubungan antara dua bangunan dunia yang berbeda itu, bangunan dunia imajiner dalam karya sastra di satu pihak dan bangunan dunia nyata di lain pihak, dapat ditemukan dan dipahami. Karena, kesamaan antara bangunan dunia dalam karya sastra dengan yang ada dalam kehidupan nyata itu bukan kesamaan yang substansial, melainkan struktural. Artinya, meskipun isi karya sastra berbeda dengan kehidupan, tetapi strukturnya sama dengan struktur yang kemudian tersebut. Hubungan antara teks dan konteks sosial bersifat tidak langsung tetapi keduanya dimediasi oleh pandangan dunia (Faruk, 1999: 15-16). Pandangan dunia menurut Goldmann (1981: 111) adalah, “a coherent and unitary perspective concerning man’s relationships with his fellow men and with the universe” [sebuah perspektif yang koheren dan menyatu mengenai hubungan manusia dengan sesamanya dan alam semesta]. Lebih jauh Goldmann membangun seperangkat kategori yang saling bertalian satu sama lain untuk menopang teorinya tersebut sehingga membentuk
23
apa yang disebutnya strukturalisme genetik. Beberapa konsep dasar yang dikemukakan Goldmann yang berkaitan dengan membentuk strukturalisme genetik tersebut antara lain: fakta kemanusiaan, subjek kolektif / trans-individual, pandangan dunia, struktur karya sastra, dialektika pemahaman-penjelasan. (1) Fakta kemanusiaan adalah segala hasil aktivitas atau perilaku manusia baik yang verbal maupun yang fisik, yang berusaha dipahami oleh ilmu pengetahuan. Fakta itu dapat berwujud aktivitas sosial tertentu, aktivitas politik tertentu, maupun kreasi kultural seperti filsafat, seni rupa, seni musik, seni patung, dan seni sastra. Goldmann mengatakan bahwa, The first basic principle of genetic structuralism is that human facts must be related to the behavior of a subject in order to be understood. … Human facts are the result of human behavior and can be precisely defined. Man transforms the world around him in order to achieve a better balance between himself (as subject) and the world [hal yang paling mendasar dalam teori strukturalisme genetik adalah bahwa fakta kemanusiaan harus dihubungkan dengan perilaku subjek untuk dapat dipahami. Fakta kemanusiaan adalah hasil dari perilaku manusia dan dapat didefinisikan secara tepat. Manusia mengubah dunia atau lingkungan sekitarnya untuk mencapai keseimbangan antara dirinya sendiri sebagai subyek dengan dunia di sekitarnya] (1981: 40). (2) Subjek kolektif atau trans-individual merupakan konsep yang masih sangat kabur. Subjek kolektif itu dapat berupa kelompok kekerabatan, kelompok sekerja, kelompok teritorial, dan sebagainya. Subjek kolektif itulah yang merupakan subjek karya sastra yang besar (Goldmann, 1981: 41- 42). Menurut Goldmann, the subject of human behavior and the creator of structures could not be an individual. ... all historical actions ... can be studied scientifically, can only be understood and made rational when they are related to collective subjects ... Cultural works are great to the extent that they express a global image of man and the universe. In studying such important works, one should investigate privileged groups and the global structure of society. It is through such groups that we can comprehends the genesis of
24
a work [subjek dari perilaku manusia dan pencipta dari struktur tidak dapat seorang individual.... semua aksi historis... dapat dipelajari secara ilmiah, hanya dapat dipahami dan dibuat rasional ketika mereka dihubungkan dengan subjek-subjek kolektif... Karya-karya kebudayaan dianggap besar sepanjang mengekspresikan satu imej global mengenai manusia dan alam raya. Dalam mempelajari karya-karya yang demikian penting, seseorang harus menyelidiki kelompok-kelompok istimewa dan struktur global dari masyarakat. Melalui kelompok-kelompok demikianlah kita dapat memahami genesis dari sebuah karya] (Goldmann, 1981: 41). (3) Pandangan dunia. Yang dimaksud pandangan dunia adalah hubungan antara struktur karya sastra dan struktur masyarakat, yang merupakan hubungan yang dimediasi oleh ideologi masyarakat. Istilah pandangan dunia menurut Goldman (1981: 112) adalah, ”totalities of ways of thinking, feeling and acting which in given conditions are imposed on men finding themselves in a similar economic and social situation, that is, imposed on certain social groups” [totalitas dari cara berpikir, merasa, dan bertindak yang dalam kondisi tertentu menentukan bagi masyarakat yang berada dalam situasi ekonomi dan sosial yang sama, yaitu, dalam suatu kelompok sosial tertentu]. Dengan kata lain, pandangan dunia dikatakan Goldmann (1977: 17) sebagai, a convenient term for the whole complex of ideas, aspirations and feelings which links together the members of a social group (a group which, in most cases, assumes the existence of a social class) and which opposes them to members of other social groups [suatu istilah yang cocok bagi kompleks keseluruhan ide-ide, aspirasi-aspirasi, dan perasaan-perasaan yang menghubungkan bersama-sama anggota-anggota dari suatu kelompok sosial (suatu kelompok, yang dalam kebanyakan kasus, mengasumsikan keberadaan dari suatu kelas sosial) dan yang mempertentangkannya dengan anggota-anggota dari kelompok-kelompok sosial yang lain]. (4) Struktur karya sastra. Dalam konteks strukturalisme genetik, konsep struktur karya sastra berbeda dari konsep struktur yang umumnya dikenal. Konsep struktur dalam struktualisme lebih bersifat tematik. Yang menjadi pusat
25
perhatiannya adalah relasi antar tokoh dengan tokoh dan tokoh dengan objek yang ada di sekitarnya. Menurut Goldmann (1981: 41), ”Cultural works are great to the extent that they express a global image of a man and the universe” [Karya sastra dianggap besar sepanjang mampu mengekspresikan imej global dari manusia dan alam semesta]. Goldmann (1981: 11) mengatakan, ”The literary work, seen as a structure, must be related to historical subjects, not to some sphere outside history.” [Karya sastra, dilihat sebagai sebuah struktur, harus berkaitan dengan subjek-subjek historis, bukan dengan lingkungan di luar sejarah]. (5)
Dialektika
pemahaman-penjelasan.
Sudut
pandang
dialektik
mengukuhkan perihal tidak pernah adanya titik awal yang secara mutlak sahih. Oleh karena itu, dalam sudut pandang dialektik tersebut pikiran tidak pernah bergerak seperti garis lurus. Sehubungan dengan itu, metode dialektik mengembangkan dua konsep, yaitu keseluruhan-bagian dan pemahamanpenjelasan. Goldmann (1977: 5) menjelaskan, dialectical thought ... affirms that there are never any absolutely valid starting-points, no problems which are finally and definitely solved, and that consequently thought never moves forward in a straight line, since each individual fact or idea assumes its significance only when it takes up its place in the whole, in the same way as the whole can be understood only by our increased knowledge of the partial and incomplete facts which constitute it. The advance of knowledge is thus to be considered as a perpetual movement to and fro, from the whole to the parts back to the whole again, a movement in the course of which the whole and the parts throw light upon another” [pemikiran dialektis... menyatakan bahwa tidak pernah ada titik awal yang absolut, tidak ada masalah yang pada akhirnya pasti terpecahkan, dan alhasil pemikiran tidak pernah bergerak maju pada satu garis lurus, karena masing-masing fakta atau ide individu mendapatkan artinya hanya ketika ia mengambil tempatnya dalam keseluruhan, dengan cara yang sama seperti keseluruhan hanya dapat dipahami dengan pengetahuan kita yang bertambah mengenai fakta-fakta parsial dan tidak sempurna yang mendasarinya. Kemajuan pengetahuan dengan demikian dipertimbangkan sebagai satu gerakan maju dan mundur
26
terus menerus, dari keseluruhan ke bagian, kembali ke keseluruhan lagi, satu gerakan dalam rangkaian yang di dalamnya keseluruhan dan bagian saling menjelaskan]. Goldmann menjelaskan bahwa ada tiga jenis novel, yang telah diidentifikasikan oleh Lukács dan Girard, yaitu sebagai berikut. 1.
Novel idealisme abstrak: sang pahlawan mempunyai pandangan yang
terlalu sempit untuk memahami dunia kompleksnya. 2.
Novel psikologis: lebih memperhatikan kehidupan batin dari sang
pahlawan. Sang pahlawannya pasif dan kesadarannya terlalu jauh ke depan dari masanya untuk cocok ke dalam dunianya. 3.
Bildungsroman: biasanya berakhir dengan satu “pembatasan yang
menyiksa diri”; walaupun sang pahlawan menyerah dalam pencariannya yang problematik, ia tidak menerima konvensi atau nilai-nilai yang implisit dalam dunianya (Goldmann, 1978: 2-3). Jika dilihat dari jenisnya, novel S. adalah novel psikologis. Namun demikian, unsur psikologis tidak menjadi perhatian utama dari penelitian ini. Hal ini disebabkan ketertarikan peneliti lebih kepada unsur sosiologis yang terdapat di dalam novel ini. Alih-alih melihat isi suatu novel, ahli sosiologi perlu lebih melihat kepada bentuk novel dan hubungannya dengan struktur masyarakat modern yang bersifat individualistik. Goldmann, sejalan dengan ideologi novel-sebagai-cerminmasyarakat, mengatakan bahwa dia meragukan struktur dari novel (pencarian nilai sejati yang terdegradasi terekspresikan melalui mediatisasi) diciptakan secara individu. Lebih mungkin, ini adalah sebuah pencerminan dari kehidupan sosial suatu kelompok. Inilah di mana Goldmann memperkenalkan tesisnya:
27
The novel form seems to me, in effect, to be the transposition on the literary plane of everyday life in the individualistic society created by the market production. There is a rigorous homology between the literary form of the novel, … and the everyday relation between man and commodities in general, and by extension between men and other man, in a market society [Bentuk novel tampak bagi saya, pada hakekatnya, sebagai perubahan pada bidang kesusasteraan dari kehidupan sehari-hari dalam masyarakat individualistis yang diciptakan oleh produksi pasar. Terdapat sebuah homologi kaku di antara bentuk kesusasteraan novel... dan hubungan sehari-hari di antara orang dan komoditas-komoditas pada umumnya, dan secara lebih luas di antara orang-orang dan orang lain, dalam satu masyarakat pasar] (Goldmann, 1978: 7). Dengan kata lain, bentuk novel adalah perwakilan dari kehidupan seharihari, khususnya dari kehidupan dalam satu masyarakat individualistis yang dikemudikan pasar. Homologi diturunkan melalui organisme primitif yang sama dan disamakan dengan korespondensi, kualitas hubungan yang bersifat struktural. Homologi memiliki implikasi dengan hubungan bermakna antara struktur literer dengan struktur sosial. Nilai-nilai otentik yang terdapat pada strukturalisme genetik menganggap bahwa karya sastra sebagai homologi antara struktur karya sastra dengan struktur lain yang berkaitan dengan sikap suatu kelas tertentu atau struktur mental dan pandangan dunia yang dimiliki oleh pengarang dan penyesuaiannya dengan struktur sosialnya. Sifat tematik dari konsep struktur Goldmann itu terlihat pula pada konsepnya
mengenai
novel.
Berkaitan
dengan
pentingnya
pendekatan
strukturalisme genetik, Goldmann mengkaji dua hal yang dianggapnya saling bersangkutan, yakni cara meneliti novel (teks sastra) itu sendiri dan hubungannya dengan sosio-budaya.
28
Mengenai novel itu sendiri, Goldmann kemudian mendefinisikannya sebagai cerita tentang pencarian yang terdegradasi akan nilai-nilai otentik dalam dunia yang terdegradasi oleh seorang tokoh yang problematik. Yang dimaksud dengan nilai-nilai yang otentik adalah totalitas yang secara tersirat muncul dalam novel, nilai-nilai yang mengorganisasi sesuai dengan mode dunia sebagai totalitas. Yakni, nilai-nilai yang hanya ada dalam kesadaran pengarang dengan bentuk konseptual dan abstrak. Bagaimanapun, tidak semua masyarakat cocok dengan nilai pertukaran. Seperti halnya dalam dunia novel ketika seorang pahlawan memutuskan hubungan dengan masyarakat sebagai akibat dari mencari nilai-nilai sejati, begitu juga dalam dunia nyata, sebagian orang tetap berorientasi terhadap nilai guna. Orang-orang ini tidak cocok dengan masyarakat lainnya, dan dengan demikian mereka mengalami satu perpecahan, sangat mirip seperti pahlawan dalam novel. Goldmann menjelaskan bahwa individu-individu di dalam masyarakat sebenarnya bertujuan pada nilai guna secara sporadis, tapi mereka tidak berhasil. Mempertimbangkan struktur dari masyarakat yang disetir pasar dimana kita berfungsi, bentuk novel tidaklah mengejutkan (karena ia adalah wakil dari struktur sosial). Strukturalisme genetik memiliki implikasi yang lebih dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu-ilmu kemanusiaan pada umumnya. Sebuah struktur, bagi Goldmann, harus disempurnakan agar memiliki makna, di mana setiap gejala memiliki arti apabila dikaitkan dengan struktur yang lebih luas, demikian seterusnya hingga setiap unsur menopang totalitasnya.
29
Goldmann
menawarkan
metode
dialektik
yang
pada
prinsipnya
pengetahuan mengenai fakta-fakta kemanusiaan akan tetap abstrak apabila tidak mengintegrasikannya ke dalam keseluruhan. Karena itu metode dialektik mengembangkan dua pasangan konsep, yaitu, “keseluruhan-bagian” dan “pemahaman-penjelasan”. Metode dialektik sama dengan metode posivistik, keduanya sama-sama bermula dan berakhir pada karya sastra. Hanya saja pada metode positivistik tidak mempertimbangkan persoalan koherensi struktural, metode dialektika mempertimbangkannya. Goldman mengemukakan dua pendapat mengenai karya sastra pada umumnya, yang pertama bahwa karya sastra merupakan ekspresi pandangan dunia secara imajiner. Sedangkan yang kedua adalah bahwa dalam usahanya mengekspresikan pandangan dunia itu pengarang menciptakan semesta tokohtokoh, objek-objek, dan relasi-relasi secara imajiner. Dari dua pendapatnya itu, Goldmann mempunyai konsep struktur yang bersifat tematik, yang memusatkan perhatian pada relasi antara tokoh dengan tokoh dan tokoh dengan objek yang ada disekitarnya. Dengan demikian, Goldmann membedakan teks sastra dengan filsafat yang mengungkapkan pandangan dunia secara konseptual dan sosiologi yang mengekspresikan pandangan dunia secara empirisitas. Goldmann praktis identik dengan definisi Aristoteles: ciri khasnya: kesatuan, kekayaan, koherensi dan sifat non-konseptual (jadi, bertentangan dengan karya filsafat, karya sastra tidak secara eksplisit membicarakan ide-ide abstrak atau filsafat).
30
Goldmann (1981: 40) menganggap bahwa semua fakta kemanusiaan mempunyai struktur tertentu dan arti tertentu. Fakta-fakta kemanusiaan ini memiliki arti karena bersentuhan dengan subjek kolektif atau individual. Dengan kata lain, fakta-fakta kemanusiaan ini merupakan hasil usaha manusia untuk mencapai keseimbangan yang lebih baik dalam hubungannya dengan dunia sekitarnya. Dalam proses strukturasi dan akomodasi yang terus menerus suatu karya sastra sebagai fakta kemanusiaan, sebagai hasil aktivitas kultural manusia. Proses tersebut sekaligus merupakan genetik dari struktur karya sastra. Menurut Goldmann, human facts must be related to the behavior of a subject in order to be understood. ... human facts are the result of human behavior and can be very precisely defined. Man transforms the world around him in order to achieve a better balance between himself (as subject) and the world.... Now, all human behavior is meaningful and makes sense; whether the subject is within a situation or related to another subject, his action is functional.... Human behavior is made up of different elements that pass through one’s consciousness and, in relation to a social group, their function is to improve one’s relationship with the world (1981: 40) [fakta kemanusiaan harus dihubungkan dengan perilaku dari satu subyek agar dapat dimengerti.... fakta kemanusiaan adalah hasil dari perilaku manusia dan dapat didefinisikan dengan sangat tepat. Manusia mentransformasikan dunia di sekitarnya agar mencapai satu keseimbangan yang lebih baik di antara dirinya sendiri (sebagai subjek) dan dunia.... Sekarang, semua perilaku manusia penuh arti dan jadi masuk akal; apakah subyeknya di dalam satu keadaan atau terkait dengan subyek yang lain, aksinya fungsional.... Perilaku manusia tersusun dari unsur-unsur berbeda yang melampaui kesadarannya dan, dalam hubungan dengan satu kelompok sosial, fungsinya adalah untuk meningkatkan hubungannya dengan dunia]. Pandangan dunia memicu subjek untuk mengarang, dan dianggap sebagai salah satu ciri keberhasilan suatu karya. Dalam rangka strukturalisme genetik, pandangan dunia berfungsi untuk menunjukkan kecenderungan kolektivitas tertentu. Melalui kualitas pandangan dunia inilah karya sastra menunjukkan nilainilainya, sekaligus memperoleh artinya bagi masyarakat. Menurut Goldmann,
31
pandangan dunia merupakan kesadaran kolektif yang dapat digunakan sebagai hipotesis kerja yang konseptual, suatu model, bagi pemahaman mengenai koherensi struktur teks sastra. Goldmann (1977: 15) menjelaskan bahwa pandangan dunia, is not an immediate, empirical fact, but a conceptual working hypothesis indispensable to an understanding of the way in which individuals actually express their ideas. Even on an empirical plane, its importance and reality can be seen as soon as we go beyond the ideas of work of a single writer, and begin to study them as part of a whole [bukanlah satu fakta empiris langsung, melainkan satu hipotesis kerja konseptual yang sangat dibutuhkan bagi pemahaman akan suatu cara yang di dalamnya individuindividu benar-benar mengekspresikan ide-ide mereka. Bahkan pada tataran empiris, kepentingan dan realitasnya dapat terlihat segera setelah kita beranjak melampaui ide-ide mengenai hasil karya seorang penulis dan mulai mempelajarinya sebagai bagian dari keseluruhan]. Pandangan dunia ini berkembang sebagai hasil dari situasi sosial dan ekonomi tertentu yang dihadapi oleh subjek kolektif yang memilikinya. Pandangan dunia tidak lahir dengan tiba-tiba, transformasi mentalitas yang lama secara perlahan-lahan dan bertahap diperlukan demi terbangunnya mentalitas yang baru dan teratasinya mentalitas yang lama. Kelas-kelas sosial adalah kolektivitas yang menciptakan gaya hidup tertentu, dengan struktur yang ketat dan koheren. Kelas merupakan salah satu indikator untuk membatasi kenyataan sosial yang dimaksudkan oleh pengarang untuk mempengaruhi bentuk, fungsi, makna, dan gaya suatu karya seni. Dikaitkan dengan strukturalisme genetik kelas yang dimaksudkan adalah kelas sosial pengarang karena karya sastra sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan pengarang. Dalam hal ini Goldmann seorang Marxis yang tipikal; katanya, individu berbicara sebagai juru bicara kelasnya, ditentukan oleh situasi sosialnya sebagai manusia, dan situasi itu dalam karya pengarang yang besar secara
32
optimal dan jelas terbayang dalam karya seninya. Dalam hubungan inilah, sesuai dengan pandangan Marxis, karya disebut sebagai wakil kelas sebab karya sastra dimanfaatkan untuk menyampaikan aspirasi kelompoknya. Dikaitkan dengan pengarang, latar belakang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu latar belakang karena afiliasi dan karena kelahiran. Meskipun istilah transindividual diadopsi oleh Goldmann dari khazanah intelektual Marxis, khususnya Lukacs, Goldmann tidak menggunakan istilah kesadaran kolektif dengan pertimbangan istilah ini seolah-olah menonjolkan pikiran-pikiran
kelompok.
Sebaliknya,
konsep
transindividual
menurut
Goldmann, menampilkan pikiran-pikiran individu tetapi dengan struktur mental kelompok. Menurut Goldmann (1981: 98), ”For dialectical thought, ... behavior is made intelligible by relating it to a collective subject. ... some individuals find themselves in relations which are intrasubjective rather than intersubjective and, thus, constitute the subject of all thought and action which is social and cultural” [Untuk
pemikiran
dialektis,
...
perilaku
dapat
menghubungkannya dengan satu subyek kolektif . ...
dimengerti
dengan
beberapa individu
menemukan dirinya sendiri berhubungan secara intrasubjective daripada intersubjective dan dengan demikian, merupakan subjek dari semua pikiran dan tindakan yang bersifat sosial dan budaya].
Dengan demikian, subjek
transindividual adalah subjek yang mengatasi individu, yang di dalamnya individu hanya merupakan bagian. Subjek transindividual bukanlah kumpulan individuindividu yang berdiri sendiri, melainkan merupakan satu kesatuan, satu kolektivitas.
33
Meskipun demikian, subjek transindividual merupakan konsep yang masih kabur. Subjek transindividual itu dapat kelompok kekerabatan, kelompok sekerja, kelompok teritorial, dan sebagainya. Goldmann menspesifikasikannya sebagai kelas sosial dalam pengertian Marxis sebab baginya kelompok itulah yang terbukti dalam sejarah sebagai kelompok yang telah menciptakan suatu pandangan yang lengkap dan menyeluruh mengenai kehidupan dan yang telah mempengaruhi perkembangan sejarah umat manusia. Dalam strukturalisme genetik, subjek transindividual merupakan energi untuk membangun pandangan dunia. Sapardi Djoko Damono (2002: 37) memberikan ciri-ciri strukturalisme genetik sebagai suatu metode, yaitu sebagai berikut. 1. Perhatiannya terhadap keutuhan dan totalitas: kaum strukturalis percaya bahwa yang menjadi dasar telaah strukturalisme genetik bukanlah bagianbagian totalitas tetapi jaringan hubungan yang ada antara bagian-bagian itu, yang menyatukannya menjadi totalitas. 2. Strukturalisme genetik tidak menelaah struktur pada permukaannya, tetapi struktur yang ada di balik kenyataan. Kaum strukturalis berpandangan bahwa yang terlihat dan terdengar, misalnya, bukanlah struktur yang sebenarnya, tetapi hanya bukti adanya struktur. 3. Analisis yang dilakukan oleh kaum strukturalis menyangkut struktur yang sinkronis (bukan diakronis). Perhatian kaum strukturalis lebih difokuskan pada hubungan-hubungan yang ada pada suatu saat di suatu waktu, bukan dalam perjalanan waktu. Struktur sinkronis dibentuk oleh jaringan hubungan struktural yang ada. 4. Strukturalisme genetik adalah metode pendekatan yang antikausal. Kaum strukturalis dalam analisisnya sama sekali tidak menggunakan sebab-akibat; mereka menggunakan hukum perubahan bentuk. Berdasarkan uraian mengenai struktur genetik dan pandangan dunia, penelitian ini mengungkapkan aspek pandangan dunia dalam novel ’S.’ sehingga diperoleh pemaknaan yang utuh dan menyeluruh. Dengan berpedoman pada prinsip-prinsip strukturalisme genetik itulah muatan tentang pandangan dunia dalam teks novel ’S.’ dianalisis.
34
1.7
Metode Penelitian Metode penelitian dapat diartikan sebagai suatu cara kerja untuk
memahami objek yang menjadi sasaran penelitian. Karena karya sastra merupakan fakta estetik yang memiliki karakteristik tersendiri, maka metode yang digunakan untuk mendekatinya pun berbeda. Metode dalam studi sastra memiliki ukuran keilmiahan tersendiri yang ditentukan oleh karakteristiknya sebagai suatu sistem, yaitu sistem sastra (Chamamah dalam Jabrohim, 2001: 10). Sastra sebagai satu sistem mempunyai karakteristik yang memberikan ukuran keilmiahannya tersendiri. Dijelaskan oleh Chamamah (2011: 60-61) bahwa untuk memaknai konsep sastra harus dikenali sifat-sifat sastra sebagai satu sistem, yaitu sistem sastra. Dalam penelitian sastra, pemilihan metode berkaitan erat dengan karakteristik objek penelitian, masalah, dan tujuan penelitian (Chamamah dalam Jabrohim, 2001: 15). Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, sesuai dengan definisi penelitian kualitatif yang dikemukakan Bogdan dan Taylor bahwa metode kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Menurut mereka, pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh). Jadi, dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam variabel atau hipotesis,tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan (dalam Moleong, 1989: 3). Penelitian ini menggunakan metode dialektis yang dikembangkan oleh Lucien Goldmann. Metode dialektika adalah pemahaman akan keseluruhan-
35
bagian dan bagian-keseluruhan (Goldmann, 1977: 5). Bentuk operasional metode ini adalah secara bolak-balik antara teks dengan struktur sosial yang diteliti sebab sudut pandang dialektika, menurut Goldmann, tidak pernah ada titik awalnya karena proses pencarian ilmu pengetahuan adalah semacam gerakan melingkar terus-menerus tanpa diketahui pangkal atau ujungnya (1964: 5-8). Metode dialektis dari Lucien Goldmann digunakan karena tujuannya lebih menitikberatkan pada upaya untuk menelusuri kesejajaran struktur antara pencarian spiritual masyarakat Amerika Serikat dalam novel S. karya John Updike dengan struktur dalam masyarakat Amerika, serta untuk mencari pandangan dunia dari pengarang. Karakteristik dari metode dialektis penelitian ini adalah pada kompleksitasnya. Dengan menggunakan metode dialektis maka metode analisisnya akan bersifat bolak-balik. Hasil analisis mengenai aspek pencarian spiritual masyarakat Amerika yang ditemukan di dalam novel digunakan untuk menambah informasi mengenai pandangan dunia John Updike sebagai pengarang novel S. Demikian juga sebaliknya, hasil temuan mengenai pandangan dunia John Updike berguna untuk memahami aspek pencarian spiritual masyarakat Amerika di dalam novel S. dan pandangan dunia New Puritanism. Langkah-langkah penelitian dengan metode strukturalisme genetik yang ditawarkan oleh Laurenson dan Swingewood yang disetujui oleh Goldman adalah sebagai berikut. 1. Penelitian sastra itu dapat kita ikuti sendiri. Mula-mula sastra diteliti strukturnya untuk membuktikan jaringan bagian-bagiannya sehingga terjadi keseluruhan yang padu dan holistik. 2. Penghubungan dengan sosial budaya. Unsur-unsur kesatuan karya sastra dihubungkan dengan sosio budaya dan sejarahnya, kemudian dihubungkan
36
dengan struktur mental yang berhubungan dengan pandangan dunia pengarang. 3. Untuk mencapai solusi atau kesimpulan digunakan metode induktif, yaitu metode pencarian kesimpulan dengan jalan melihat premis-premis yang sifatnya spesifik untuk selanjutnya mencari premis general (Iswanto dalam Jabrohim, 2001: 64-65). Maka dari itu, peneliti merumuskan teknik pelaksanaan metode dialektik yang dilakukan adalah sebagai berikut. Pertama, membangun sebuah model. Dalam penelitian ini bangunan yang memiliki struktur yang padu dijadikan model bagi novel S.. Kepaduan struktur tersebut berarti bahwa ia memiliki system of relations dalam bangunan tesebut. Model tersebut dibangun berdasarkan relasi-relasi antara penokohan, latar dan peristiwa yang ada di dalam struktur teks dengan latar kultural dalam struktur sosial. Struktur tersebut muncul karena dimediasi oleh pandangan dunia pengarang yang ingin diekspresikan dalam karyanya. Sementara pandangan dunia pun akan terbangun dari proses strukturasi antar struktur di atas. Kedua,
melakukan
pengecekan
terhadap
model
di
atas
serta
membandingkannya secara menyeluruh. Pengecekan ini dilakukan secara berulang sehingga dapat ditemukan struktur konseptual pengarang berupa pandangan dunia. Ketiga, menghubungkan strukturasi tersebut dengan spiritualisme masyarakat Amerika, khususnya mengenai New Puritanism sehingga dapat diketahui posisi pengarang dan teks sastranya. Sementara itu, sumber data penelitian ini didapat dari beberapa data. A. Data Primer: setiap kata, frase, kalimat yang berhubungan dengan objek formal penelitian yaitu homologi yang terdapat dalam struktur novel S. dan
37
struktur masyarakat Amerika dan pandangan dunia yang diekspresikan dalam novel S. (1988) karya John Updike, 279 halaman, New York: Alfred A. Knopf, 1988. B. Data Sekunder: buku-buku teori sosiologi sastra, sosiologi agama masyarakat Amerika Serikat, sejarah sastra dan masyarakat Amerika Serikat serta artikelartikel dari koran, majalah, maupun internet yang berhubungan dengan masalah pencarian spiritual masyarakat Amerika Serikat dan juga New Puritanism di Amerika.
1.8
Sistematika Penulisan Sistematika penulisan tesis ini terdiri dari beberapa bab. Bab I adalah
Pengantar, yang antara lain membahas Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Objek Penelitian, Tujuan Penelitian, Tinjauan Pustaka, Landasan Teori yang memuat Strukturalisme Genetik Lucien Goldmann, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan. Analisis mengenai homologi antara struktur novel S. dengan struktur yang ada dalam masyarakat Amerika dibahas dalam dua bab, yaitu bab II dan bab III. Bab II merupakan pembahasan mengenai struktur novel S.. Pembahasannya terdiri dari relasi dan oposisi yang terdapat di dalam novel S.. Relasi pertama yang dibahas mencakup relasi antara tokoh hero dengan tokoh lain, dan relasi kedua antara tokoh hero dengan dunia (the world) atau objek-objek yang ada di sekitarnya. Objek-objek di sekitar tokoh hero ini dapat disebut dengan latar. Maka
38
pembahasannya mencakup relasi antara tokoh hero dengan ruang, waktu, serta situasi sosial dalam novel S.. Selanjutnya, mengenai genesis sosial novel S. dibahas pada bab III dalam analisis mengenai struktur masyarakat Amerika. Di sini dibahas mengenai latar belakang munculnya novel S. (kondisi kesusasteraan Amerika tahun 1980-an), latar sosial budaya masyarakat Puritan Amerika dan masyarakat Amerika tahun 1950-an sampai 1980-an, kondisi sosial budaya masyarakat Amerika yang menjadi latar kelahiran novel S., kondisi sosial budaya pengarang (latar sosial budaya John Updike), stratifikasi sosial masyarakat Amerika. Di dalam analisis mengenai stratifikasi sosial masyarakat Amerika, posisi pengarang dilihat sebagai salah satu bagian dari kelas sosial yang ada di Amerika. Bab IV adalah tentang pandangan dunia pengarang. Pada bab ini dijelaskan tentang fakta sejarah munculnya Puritanisme di Amerika pada zaman dulu dan munculnya New Puritanisme di Amerika. Kemudian dipaparkan mengenai latar belakang John Updike dan New Puritanisme. Lalu disusul pembahasan ekspresi New Puritanisme sebagai pandangan dunia di dalam novel S.. Analisis selanjutnya mengenai kritik Updike terhadap masyarakat Amerika tahun 1980-an dan kritik terhadap spiritualisme Amerika. Terakhir, simpulan dari hasil penelitian dijelaskan dalam bab V. Bab ini berisi temuan-temuan yang didapat dari hasil penelitian, antara lain tentang homologi antara struktur di dalam novel S. dengan struktur yang ada di dalam masyarakat Amerika. Selain itu, pada bab ini juga dibahas ekspresi pandangan dunia John Updike di dalam novel S..