BAB I PENGANTAR. Sejarah telah mencatat bahwa pada sekitar tahun 1960-an dan 1970-an. kebijakan pemerintah yang dinilai cukup diskriminatif

1

BAB I PENGANTAR

1.1 Latar Belakang Sejarah telah mencatat bahwa pada sekitar tahun 1960-an dan 1970-an seluruh elemen masyarakat dan institusi pemerintah Amerika menghadapi masamasa yang sulit. Pada saat itu terjadi berbagai kekacauan dan pergolakan sosial hampir di seluruh wilayah di Amerika. Warga masyarakat yang tersisihkan dan bahkan termasuk dalam kategori sebagai kaum minoritas mulai bersikap lebih tegas dan kritis. Mereka melakukan aksi protes sebagai bentuk penolakan atas berbagai kebijakan pemerintah yang dinilai cukup diskriminatif. Aksi protes tersebut terutama dilakukan oleh kaum minoritas kulit hitam. Mereka menolak menjadi warga negara kelas dua. Bahkan mereka menolak sistem yang telah lama diberlakukan terhadap komunitas mereka yaitu : segregasi dan diskriminasi. Kondisi seperti ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Stack dalam bukunya “All Our Skin Strategies For Survival in Black Community” (1980 : 1-11). Stack mengemukakan bahwa pada tahun 1960-an penegakkan hak-hak sipil menjadi permasalahan penting bagi pemerintah Amerika. Oleh karena sejak berakhirnya Perang Saudara pelanggaran terhadap hak-hak sipil masyarakat masih terus terjadi dimana-mana. Salah satu contoh konkrit yaitu peristiwa yang terjadi di Alabama pada sekitar tahun 1955 (Blumenfeld & Raymond,1988 : 297). Salah seorang warga kulit hitam yang bernama Rosa Park diperlakukan secara diskriminatif oleh petugas saat

2

menjadi penumpang bus atau transportasi umum. Rosa dilarang oleh petugas duduk diurutan kursi bagian depan yang telah ditempatinya. Sebab kursi bagian depan khusus diperuntukan bagi warga masyarakat kulit putih. Secara spontan Rosa Park menolak pindah tempat duduk keurutan kursi bagian belakang. Akibatnya muncullah kegaduhan di dalam transportasi umum tersebut. Sebenarnya aturan seperti itu sudah lama diberlakukan oleh pemerintah Amerika terhadap kaum kulit hitam atau African American. Akan tetapi kaum kulit hitam mulai meresponse tindakan semena-mena petugas bus seperti itu dengan cara yang keras, dan bahkan seringkali berujung pada aksi protes. Sikap diskriminatif yang dialami oleh Rosa Park hanyalah sebagian kecil dari berbagai tindakan diskrimatif yang dialami oleh kaum kulit hitam. Akumulasi dari berbagai pengalaman yang dialami oleh kaum kulit hitam tersebut mengantarkan mereka untuk melakukan aksi protes secara besar-besaran. Pada tanggal 28 Agustus 1963 sekitar dua ratus lima puluh ribuan orang berkumpul di Lincoln Memorial, Washington DC. Sekumpulan massa tersebut melakukan aksi protes tanpa kekerasan, yang dikenal dengan sebutan “March in Washington” (Maas, dkk., 2005 : 308 - 310; Tutu, 2007 : 8; Shmuel Ross, 2007; dan http://www.infoplease. com/spot/marchonwashington.html). Para demonstran itu menyuarakan keinginan mereka yaitu kesetaraan yang sama bagi seluruh warga Amerika Serikat di dalam berbagai aspek kehidupan di masyarakat. Sebuah pernyataan all men are created equal yang tercantum di dalam The Declaration of Independence menjadi salah satu spirit bagi perjuangan mereka

3

untuk menuju pada kesetaraan, yaitu : kesetaraan dalam pekerjaan, pendidikan, pelayanan sosial, dan lain sebagainya. Tokoh pergerakkan hak sipil di Amerika yaitu Martin Luther King Jr. Ia memimpin demonstrasi tersebut dan berada diposisi barisan paling depan dalam aksi ini. Sedangkan massa yang ikut dalam pergerakkan hak-hak sipil tersebut, antara lain : kaum kulit hitam, kaum keturunan asli Amerika, kaum perempuan, dan kaum keturunan etnis kulit putih dari ‘imigrasi baru’, termasuk pula masyarakat Latin (Maas, dkk., 2005 : 308). Secara umum pergolakan sosial yang terjadi selama tahun 1960-an dan 1970-an tersebut dapat dibagi dalam tiga peristiwa penting. Pertama, yaitu munculnya gerakan massa, antara lain seperti : gerakan kaum kulit hitam, gerakan kaum perempuan, gerakan kaum pribumi Indian, gerakan kaum gay dan lesbian, gerakan New Left, gerakan kaum Hispanic, gerakan lingkungan, serta gerakan anti perang Vietnam. Kedua, muncul kelompok-kelompok aktivis, antara lain seperti : SNCC (Student Non-violent Coordinating Committee), SDS (Student for a Democratic Society), New Mobe (New Mobilization Committee to End the War in Vietnam), Women Strike for Peace, Weather Underground, Black Panther dan Radical Lesbian. Ketiga, yaitu terbunuhnya beberapa orang tokoh masyarakat yaitu : John F. Kennedy, Malcom X, Martin Luther King Jr., dan Robert Kennedy (Morgan, 1991 : 4). Seiring dengan kondisi sosial Amerika yang relatif kurang stabil, muncul masalah lain yaitu fenomena baby boom yang terjadi pasca Perang Dunia Ke-2. Pada tahun 1960-an para baby boomers tersebut telah berusia sekitar antara 18 - 25

4

tahun. Kondisi seperti ini berpengaruh terhadap komposisi masyarakat Amerika, yang mana mayoritas penduduk Amerika adalah para kawula muda. Sebagian besar dari para pemuda yang telah lulus sekolah menengah atas tersebut melanjutkan studi ke perguruan tinggi (Farber, 1994 : 57). Mereka tergolong sebagai kawula muda yang energik, berani, dan kritis dalam menanggapi masalah-masalah sosial yang berkembang di masyarakat. Bahkan mereka juga mulai meresponse nilai-nilai kemapanan dan perencanaan hidup yang berupaya ditentukan oleh orang tua mereka yaitu bekerja dan meraih kesuksesan. Sementara di sisi lainnya pergolakan sosial, demonstrasi massa, perang, dan lain-lain semakin menghilangkan nilai-nilai persamaan, keadilan, dan demokrasi. Tentunya kondisi seperti ini turut berpengaruh terhadap perkembangan tingkah laku dan pola pikir mereka. Selain itu pula besarnya populasi kawula muda dalam masyarakat Amerika turut berpengaruh terhadap perkembangan ekonomi. Sehingga para pedagang banyak memproduksi barang-barang yang diminati oleh para pemuda, antara lain seperti : pakaian dari bahan jeans, kaset, majalah, film, dan iklan yang temanya sesuai dengan keberadaan mereka saat itu. Selain itu mereka mulai berkomunikasi dengan gaya berbicara slang dan mengadopsi budaya kaum kulit hitam, antara lain seperti musik rock ‘n’ roll. Sikap para kaum muda seperti ini tentulah menimbulkan berbagai pertentangan dengan para orang tua mereka. Pertentangan demi pertentangan inilah yang menjadi inspirasi bagi para pemuda membentuk budayanya sendiri yaitu youth

5

culture atau budaya kaum muda. Pada proses perkembangannya budaya kaum muda tersebut menjadi counter culture atau budaya tanding. Budaya counter culture yaitu sebuah kebudayaan yang sangat terpisah dari asumsi umum masyarakat. Sehingga banyak yang memandang counter culture bukanlah merupakan kebudayaan, tetapi lebih pada sebuah gangguan yang harus diwaspadai (Roszak, 1969 : 42). Counter culture berkembang di kalangan kaum muda melalui sikap dan perilaku yang mentang nilai-nilai budaya masyarakat, seperti : materialisme, kompetisi, dan kemapanan. Selain itu pula Maas (2005 : 314-315) mengemukakan bahwa pada akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an counter culture menyebar luas di kalangan masyarakat Amerika. Kondisi seperti ini ditandai dengan terbentuknya aktivitasaktivitas politik yang beraliran radikal. Bahkan perilaku seksual pun muncul dengan bentuk atau model yang baru. Kondisi seperti ini juga diikuti oleh peningkatan jumlah orang, terutama dari kalangan pemuda yang gemar mengkonsumsi minuman beralkohol dan penggunaan obat-obatan terlarang atau sejenis narkotika. Akibatnya kondisi sosial, politik dan ekonomi di Amerika semakin lama semakin menjadi tidak kondusif. Aksi-aksi protes yang dilakukan oleh organisasi - organisasi gerakan sosial, dan organisasi-organisasi politik semakin berkembang dan menjadi komponen yang tidak terpisahkan dalam proses demokrasi di negara-negara Barat. Selain itu kekuatan yang mempengaruhi dunia politik di negara-negara tersebut tidak lagi didominasi oleh kekuatan konvensional, yakni partai politik dan serikat-serikat

6

pekerja. Pada saat itu gerakan sosial pun dinilai sebagai kekuatan yang cukup penting dan berpengaruh (Della Porta & Diani, 1999 : 1). Selain itu terjadi suatu peristiwa yang sangat mengejutkan bagi sebagian besar warga masyarakat Amerika, yaitu perang Vietnam. Peristiwa demi peristiwa terus berlangsung dan menyebar dengan sangat pesatnya. Bahkan menimbulkan berbagai reaksi yang cukup keras terutama dari kalangan pemuda. Para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Amerika turut memberikan respons yang cukup keras terkait dengan kondisi sosial dan politik yang sedang bergejolak saat itu. Pada situasi dan kondisi yang cukup memprihatinkan tersebut, muncul sebuah demonstrasi yang dilakukan oleh sekelompok kaum minoritas lainnya, yaitu : kaum homoseksual. Sebuah bar gay yang bernama Stonewall Inn, terletak diujung jalan Christopher, seberang Sheridan Square, Greenwhich Village - Manhattan, New York – Amerika Serikat berubah menjadi sebuah pusat kerusuhan atau arena perlawanan para kaum homoseksual : gay, lesbian, dan biseksual terhadap para petugas berwajib (Blumenfeld & Raymond, 1988 : 297). Aksi protes dengan menggunakan kekuatan fisik dan kekerasan tersebut merupakan wujud realitas perlawanan atas diskriminasi yang selama ini dilakukan oleh keluarga, masyarakat, institusi keagamaan, dan pemerintah terhadap para pelaku homoseks. Atau dengan kata lain dapat dikemukakan bahwa peristiwa “Stonewall Inn” tersebut muncul sebagai wujud aksi protes atas berbagai tindakan opresif pihak keluarga, masyarakat, institusi keagamaan, dan pemerintah terhadap keberadaan kaum homoseksual. Melalui suatu wadah Gay Liberation Information Service mereka mengemukakan bahwa “homosexuals, who have been oppressed by

7

physical violence and by ideological and psychological attacks at very level of social interaction, are at last becoming angry” (Carl Wittman, 1979 : 5 ). Selain itu pula Flora Davis dalam bukunya “Moving The Mountain” (1991 : 260) menjelaskan bahwa akar dari pada pergerakan kaum homoseksual, termasuk di dalamnya kaum gay yaitu pada tahun 1950-an senator McCarthy melakukan investigasi U. S. State Department, yang mengarah pada : (1) pemecatan terhadap ratusan laki-laki dan perempuan dengan alasan mereka adalah pelaku homoseks. Padahal alasan pemecatan tersebut hanya berdasarkan pada faktor kecurigaan saja. (2) Presiden Eisenhower memutuskan bahwa pemerintah federal tidak dapat merekrut para pelaku homoseks dan mereka pun dihilangkan dari militer. (3) Barbar tempat berkumpul komunitas pelaku homoskes sering dirazia oleh petugas berwajib dan surat kabar lokal terkadang menerbitkan nama-nama orang yang ditangkap dalam razia tersebut. Akibatnya nama-nama orang yang ditangkap dalam razia tersebut dipecat dari pekerjaannya. Selain itu mereka dipisahkan dengan anakanaknya, bahkan bisa kehilangan hak perlindungan terhadap anak-anaknya. Selain itu pula D’Emilio mengemukakan demikian. The movement was generated in part because a gay community already existed and as a response to the severe oppression and scapegoating of gays during the Cold War era of the 1950s and 1960s. Presiden Eisenhower imposed a total ban on employment of gay men and lesbians by the federal government. The FBI or Federal Bureau of Investigation instituted widespread surveillance of gay organizations. Purges of gays from the military had risen sharply (D’Emilio, 1993 dalam Weber, 2001).

(Gerakan tersebut muncul sebagai akibat adanya tekanan-tekanan hebat yang dilakukan terhadap mereka dan korban gay yang berjatuhan selama perang dingin pada tahun 1950-an dan 1960-an. Selain itu pula Presiden Amerika Serikat yang menjabat saat itu, Eisenhower menjatuhkan larangan kerja kepada kaum gay dan lesbian dalam pemerintahan federal. FBI atau Federal

8

Bureau of Investigation membentuk pengawasan atas organisasi-organisasi gay, bahkan pembersihan orang-orang gay dalam lingkungan militer).

Sekian lama kaum homoseksual melawan ketidakadilan dari masyarakat heteroseksual yang mendominasi keberadaan mereka, yang tergolong sebagai kaum minoritas tertindas. Kondisi seperti ini terjadi karena warga masyarakat menganggap keberadaan kaum gay sebagai kaum yang tidak sempurna atau pun abnormal. Mereka juga dianggap sebagai kaum yang menentang kodrat yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Warga masyarakat yang melakukan praktek homoseksual seperti ini di Amerika dikenal dengan kaum queer. Kaum queer merupakan salah satu kelompok masyarakat yang keberadaannya di dunia ini dinilai oleh sebagian warga masyarakat lainnya sebagai kaum yang tidak sempurna atau pun abnormal. Bahkan mereka dianggap sebagai kaum yang menentang kodrat yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Lynn Weber dalam bukunya Understanding Race, Class, Gender, and Sexuality : A Conceptual Framework (1962 : 313) mengemukakan bahwa beberapa kelompok keagamaan memandang homoseksualitas, baik yang dilakukan oleh kaum gay maupun lesbian merupakan perilaku yang salah secara moral (2001 : 85). Sementara itu Kenneth Walker dalam bukunya The Hand Book of Sex mengatakan bahwa semua tingkah laku seksual yang menyimpang, termasuk di dalamnya perilaku seksual kaum homoseks dianggap sebagai perbuatan dosa yang disengaja. Konsep pemikiran seperti ini muncul karena masyarakat menilai bahwa sikap dan tingkah laku mereka terutama dalam orientasi seksual ataupun preferensi seksual, menyimpang dari aturan-aturan atau pun norma-norma yang berlaku secara

9

umum di masyarakat. Pemikiran seperti ini begitu melekat di hati warga masyarakat yang mengakibatkan munculnya berbagai penafsiran yang negatif terhadap keberadaan mereka. Kaum queer lebih tertarik pada sesama jenis, laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan terutama dalam memilih pasangan hidup dan orientasi seksual. Kecenderungan mereka untuk tertarik pada sesama jenis inilah yang dianggap menyalahi fitrah manusia karena hubungan antara lawan jenis, lakilaki dengan perempuan atau sebaliknya perempuan dengan laki-laki adalah merupakan fitrah manusia yang sesungguhnya. Berdasarkan perbedaan preferensi seksual inilah, mereka dianggap berbeda, menyimpang, dan abnormal. Penolakan terhadap keberadaan kaum queer menimbulkan ketakutan bagi yang mempraktekkannya. Selain itu juga kesulitan untuk menyukai lawan jenis menimbulkan kekhawatiran bagi mereka menghadapi masa depannya, terutama yang berhubungan dengan masalah perkawinan. Oleh karena itu sebagian diantaranya menyembunyikan preferensi seksual mereka yang sesungguhnya, baik di lingkungan keluarga dan masyarakat. Sikap seperti ini dilakukan karena di satu pihak mereka merasa takut, tetapi di lain pihak mereka pun tidak dapat mencintai secara maksimal pasangan heteroseksual. Pilihan hidup seperti ini menimbulkan penderitaan, tekanan batin, dan beban moral yang cukup berat bagi pelaku homoseksual. Terlebih lagi apabila pelaku homoseksual tersebut hidup di suatu negara yang menganggap bahwa homoseksualitas sebagai suatu pelanggaran hukum. Kondisi seperti ini sebagaimana terjadi pada diri Oscar Wilde, seorang sastrawan Inggris yang sangat terkenal pada

10

zaman Victorian, yang hidup di kota London pada abad ke-19. Pada saat itu Oscar Wilde menjalin hubungan asmara dengan teman sesama jenis yang bernama Lord Alfred Douglas (http://www.cmgww.com/historic/wilde/bio.htm). Sebagian besar masyarakat Inggris, Amerika dan bahkan para sastrawan dan penulis-penulis lainnya memberikan respons yang negatif terhadap hubungan sesama jenis yang dilakukan oleh Oscar Wilde dengan pasangannya Lord Alfred Douglas. Meskipun sebenarnya saat itu Oscar Wilde telah menikah dan dikaruniai dua orang anak. Atas kasus tersebut Oscar Wilde ditangkap oleh pihak berwajib. Kemudian Oscar Wilde dijebloskan ke dalam penjara selama 2 (dua) tahun lamanya. Berbagai pengalaman pahit yang dirasakannya selama dalam masa tahanan tersebut, diimplementasikan melalui sebuah sajak “The Ballad of Reading Goal” dan dipublikasikan pada tahun 1898 (Abrams, 1986 : 1660; dan Blumenfeld & Raymond, 1989 : 286). Berbagai perlakuan yang tidak manusiawi diberikan oleh anggota keluarga ataupun masyarakat, institusi agama, dan pemerintah pada seseorang, bila diketahui sebagai seorang gay atau lesbian. Sikap dan perlakuan yang tidak manusiawi dari anggota keluarga tersebut, biasanya dalam bentuk pemaksaan untuk melakukan perkawinan heteroseksual, pengusiran dari rumah atau pengucilan dari keluarga inti, bahkan pemutusan hubungan antara orang tua dan anak. Sikap dan ketidakadilan atas keberadaan para queer dari warga masyarakat yang berada di sekitar tempat tinggal mereka, biasanya berupa ejekan atau penghinaan, senyum yang kurang bersahabat, disisihkan dari interaksi dengan masyarakat dan lain sebagainya (Onge, 1971 : 73; dan Peirce & Bienen, 1999).

11

Selain itu pula mereka sering dikucilkan dari masyarakat umum dan sulit untuk memperoleh pekerjaan, harta warisan, serta rumah untuk tempat tinggal mereka. Akibatnya para queer sering berpindah tempat dari daerah terpencil yang menolak keberadaan mereka dan pindah ke kota-kota besar atau pun pusat-pusat kota. Di tempat yang baru tersebut, mereka bergabung dengan para queer lainnya dan membentuk masyarakat yang mudah dikenal. San Francisco, New York, Chicago, Los Angeles, New Orleans, dan Washington DC adalah tempat yang banyak dihuni oleh kaum queer di Amerika Serikat. Di kota-kota besar tersebut kaum queer sering memilih tempat tinggal mereka, misalnya : daerah Castro di San Francisco, Greenwich Village dan Riverside Drive di New York City’s, Los Angeles Barat, New Town di Chicago, dan Lafayette Park di Washington DC (Blumenfeld & Raymond, 1989 : 289; dan 2001 : http://www. kunci.or.id/teks/05gay.htm). Meskipun keberadaan mereka dalam kehidupan bermasyarakat masih dianggap sebagai kaum minoritas atau marginal, kehidupan kaum queer adalah kehidupan yang penuh dengan dunia gemerlapan atau pun hura-hura. Cafe, pub, diskotek, sauna, salon kecantikan, kolam renang, dan restoran merupakan tempat-tempat yang biasanya digunakan untuk berkumpul atau pun saling berinteraksi di antara sesama komunitas mereka. Selain itu tempat-tempat seperti ini adalah tempat yang biasanya digunakan oleh mereka untuk menyalurkan ide, hobi dan keahlian masing-masing. Pada umumnya mereka berprofesi sebagai peneliti, budayawan, politikus, foto model, desainer, peragawan, tata rias, penyanyi, penari, dan lain sebagainya.

12

Di luar tempat-tempat “dugem” atau dunia gemerlapan, mereka menyalurkan aspirasinya dengan membentuk organisasi, yang anggotanya sebagian besar berasal dari kalangan mereka sendiri. Organisasi pertama kaum gay yang terkenal adalah “Mattachine Society”, yang didirikan oleh Henry Hay di Los Angeles, Amerika Serikat pada tahun 1951 (Marotta, 1981 : 8; dan Cruikshanks, 1992 : 67). Lima tahun setelah itu, organisasi kaum lesbian “Daughters of Bilities” didirikan pula di San Fransisco, Amerika Serikat (Katchadourian, 1989 : 609; Katz, 1992 : 336; Sapto dan Raharjo, 2004 : 4). Sementara organisasi-organisasi yang dibentuk pasca tragedi “Stonewall Inn” di New York City antara lain, yaitu : Gay Liberation Front; dan Gay Activists Alliance. Organisasi pergerakan kaum gay berkembang dengan pesat, bahkan terbentuk pula di beberapa negara lainnya, seperti Nebraska, Sydney Australia, London, Mexico, dan lain-lain. Pada akhir tahun 1970-an keberadaan kaum gay dan lesbian semakin hari semakin menjadi lebih eksklusif. Isu-isu kaum gay dan lesbian yang berkaitan dengan topik perjuangan persamaan hak, gay pride, dan same-sex marriage pun senantiasa mewarnai headline koran-koran dan acara berita di televisi. Selain itu pula komunikasi melalui internet pun mereka lakukan. Fasilitas seperti ini memberikan kemudahan bagi kaum gay dan lesbian untuk berkomunikasi dengan sesama komunitas mereka, serta pemerhati masalah ini. Melalui media internet mereka dapat berbagi pengalaman, saling memberikan motivasi dan solusi terhadap berbagai masalah yang dihadapinya. Berbagai strategi digunakan oleh organisasi pergerakan kaum queer untuk memperjuangkan hak-hak mereka dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Mereka

13

berpendapat bahwa ‘keberanian dan kejujuran’ untuk dapat mengungkap-kan identitas atau jati diri mereka sebagai seorang laki-laki gay dan seorang perempuan lesbian, keberadaan komunitasnya, serta aktivitas pergerakannya harus disosialisasikan kepada publik. Mereka tidak ingin hidup terlalu lama dalam dunia khayal yang penuh dengan kepura-puraan dan serba tidak menentu. Sejak peristiwa Stonewall Inn di kota New York, masalah seksualitas khususnya perilaku seksual kaum queer telah menjadi topik penting untuk didiskusikan dan diperdebatkan melalui forum-forum ilmiah. Permasalahannya tidak hanya berkaitan dengan dikotomi benar – salah, baik – buruk, menang – kalah, dan kekejaman – korban. Akan tetapi ruang lingkup permasalahan tentang eksistensi kaum queer di tengah-tengah masyarakat sangat luas atau kompleks. Oleh sebab itu kesadaran akan kompleksitas ini sangat penting guna untuk memahami permasalahan yang muncul terutama sebagai akibat dari perbedaan perilaku dan orientasi seksual seseorang, khususnya kaum gay dan lesbian. 1.2 Permasalahan Penelitian ini berupaya untuk memahami hakikat perjuangan hak-hak sosial kaum queer, khususnya gay dan lesbian melalui wadah organisasi, yaitu : Mattachine Society, Daughters of Bilities, Gay Liberation Front, dan Gay Activists Alliance. Secara lebih spesifik permasalahan dalam kajian ini dapat dirumuskan melalui pertanyaan-pertanyaan berikut ini. 1) Mengapa kaum queer, yaitu gay dan lesbian dalam perjuangan mereka tertarik untuk mendirikan organisasi yang berorientasi pada sosial politik;

14

2) Bagaimanakah strategi dan proses perjuangan kaum queer, yaitu gay dan lesbian melalui organisasi mereka; 3) Bagaimanakah makna perjuangan yang dihasilkan oleh kaum queer, yaitu gay dan lesbian melalui organisasi mereka. 1.3 Manfaat Penelitian Secara umum kajian ini diharapkan dapat memberikan deskripsi berupa gambaran tentang kehidupan kaum homoseksual di Amerika Serikat kepada masyarakat, para aktivis organisasi, dan kaum intelektual. Sehingga masyarakat, para aktivis organisasi, dan kaum intelektual dapat memahami latar belakang lahirnya organisasi pergerakan kaum homoseksual, khususnya gay dan lesbian. Bahkan masyarakat, para aktivis organisasi, dan kaum intelektual juga memperoleh pemahaman tentang eksistensi organisasi-organisasi kaum homoseksual, khususnya gay dan lesbian dalam memperjuangkan hak-hak sosial yang sama seperti kaum heteroseksual di Amerika Serikat. Secara praktis, kajian ini diharapkan dapat membantu dan mencari solusi yang terbaik pada berbagai pihak dalam meminimalisir masalah-masalah yang muncul sebagai akibat dari keberadaan sub-culture (sub-budaya) kaum homoseksual di masyarakat. Selain itu kiranya kajian ini dapat memberikan cakrawala berfikir baru bagi pemerhati masalah homoseksual, dalam menyikapi eksistensi organisasi kaum homoseksual, khususnya gay dan lesbian di Amerika Serikat serta pengaruhnya terhadap keberadaan organisasi-organisasi kaum homoseksual di Indonesia. Secara teoretis kajian tentang “Perjuangan Kaum Queer di Amerika Pada Tahun 1960-an dan 1970-an” : Kajian Sosial Politik Eksistensi Organisasi kaum

15

Queer dan Pemimpin Mereka, diharapkan dapat memberikan ide-ide dan paradigma baru dalam penelitian American Studies, khususnya yang berhubungan dengan masalah sub-budaya organisas-organisasi kaum homoseksual, baik gay maupun lesbian di Amerika Serikat. Selain itu pula diharapkan agar kajian yang terkait dengan perjuangan kaum homoseksual, yang dimanifestasikan melalui aktivitas organisasi sosial dapat memberikan informasi dan pemahaman yang lebih lengkap tentang sub-budaya kaum queer sebagai bagian dari budaya bangsa Amerika secara umum. Bahkan keberadaan subculture (sub-budaya) politik kaum homoseksual sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari budaya politik bangsa Amerika saat ini. 1.4 Tujuan Penelitian Penelitian tentang Perjuangan Kaum Queer di Amerika Serikat Pada Tahun 1960-an dan 1970-an : Kajian Sosial Politik Eksistensi Organisasi kaum Queer dan Pemimpin Mereka, dilakukan dengan tujuan untuk mengungkapkan dan menjelaskan latar belakang kaum homoseksual, khususnya gay dan lesbian dalam perjuangan mereka tertarik untuk mendirikan organisasi yang berorientasi pada aktivitas sosial politik. Atau dengan kata lain berbagai uraian yang dijelaskan pada bagian ini yaitu terkait dengan orientasi seksual, interaksi sosial, dan sub-culture kaum queer yaitu gay maupun lesbian di Amerika Serikat. Selanjutnya kajian ini dimaksudkan pula untuk mendeskripsikan strategi dan proses perjuangan kaum queer yaitu gay dan lesbian. Secara lebih detail yang dijelaskan pada bagian ini yaitu masalah-masalah yang terkait dengan ruang sosial, jaringan sosial, nilai-nilai, serta relasi-relasi sosial yang diciptakan oleh para

16

pemimpin kaum gay dan lesbian untuk menggerakkan aktivitas organisasi mereka. Sehingga para gay dan lesbian berhasil meminimalisir tindak kekerasan dan bahkan diskriminasi sosial dan politik yang dilakukan oleh masyarakat, institusi keagamaan, dan pemerintah terhadap komunitas mereka. 1.5 Tinjauan Pustaka Sejak terjadinya peristiwa “Stonewall Inn” di kota New York pada tahun 1969 berbagai artikel atau pun kajian ilmiah yang terkait dengan kehidupan kaum homoseksual mulai dipublikasikan secara bebas melalui media cetak maupun elektronik. Bahkan para ahli dengan latar belakang disiplin ilmu yang berbeda-beda mempublikasikan hasil karya atau konsep pemikiran mereka tentang kajian homoseksualitas dan seksualitas manusia dalam bentuk buku maupun jurnal. Beberapa tulisan ilmiah para ahli tersebut sangat bermanfaat untuk mempelajari dan memahami permasalah yang dikemukakan dalam kajian ini. Atau dengan kata lain tulisan-tulisan ilmiah tersebut dijadikan sebagai landasan berfikir untuk mengkaji atau pun menganalisis permasalahan dalam penelitian ini. Kajian ilmiah para ahli yang relevan dengan permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah hasil karya Anthony Giddens melalui sebuah buku ”The Transformation of Intimacy”. Giddens (1992 : vii) mengungkapkan bahwa seksualitas adalah sebuah persoalan yang selama ini dianggap sebagai penyimpangan publik, tetapi sekaligus sangat menarik perhatian dan sangat pribadi. Seksualitas juga dipandang sebagai faktor yang tidak berubah karena dianggap sebagai given secara biologis dan mutlak bagi kelangsungan hidup spesies.

17

Sementara istilah homoseksualitas dijelaskan secara rinci oleh Colin Spencer dalam buku “Sejarah Homoseksualitas : dari Zaman Kuno” hingga Sekarang, yang dipublikasikan

pada

tahun

2004.

Spencer

menjelaskan

bahwa

istilah

“homoseksualitas” untuk pertama kalinya ditemukan dalam bahasa Inggris pada tahun 1890 melalui hasil karya Charles Gilbert Chaddock. Di satu sisi Chaddock mengenal istilah “homoseksualitas” tersebut pada saat menerjemahkan sebuah buku yang berjudul “Psychopathia Sexualis” karya R. Von Krafft-Ebing. Lebih lanjut lagi Spencer mengemukakan bahwa istilah homoseksualitas ini ditemukan pula dalam bahasa Jerman pada tahun 1869 melalui naskah anonim. Sebab itu Spencer mengatakan bahwa meskipun istilah homoseksualitas ditafsirkan melalui beragam bahasa, akan tetapi pada dasarnya istilah homoseksualitas tersebut memberikan penjelasan tentang hubungan seksualitas antara dua orang yang berjenis kelamin sama. Danandjaja dalam Jurnal Media Perempuan Multikultural menulis “Heteroseksual dan Homoseksual”, mengungkapkan masalah yang berhubungan dengan kedua oreintasi seksual tersebut. Melalui hasil karyanya tersebut Danandjaja menjelaskan bahwa selain jenis kelamin laki-laki dan perempuan, Tuhan menciptakan pula jenis kelamin “antara”. Jenis kelamin antara dapat digolongkan lagi dari sudut pandang fisik dan psikis atau kejiwaan. Dari sudut pandang fisik yaitu anatomi khususnya alat kelamin dan buah dada. Sedangkan ditinjau dari sudut pandang psikis, kejiwaan ataupun orientasi seksual dapat digolongkan lagi kedalam gay dan lesbian.

18

Selain itu pula Danandjaja mengemukakan beberapa istilah tentang keanekaragaman

kaum

homoseksual

dibedakan

atas

banci

atau

wandu

(hermaprodite), transvetite, transexual, gay dan lesbian. Penjelasan lebih terinci tentang keanekaragaman kaum homoseksual tersebut adalah sebagai berikut : a) Hermaprodite adalah istilah bagi jenis ‘antara’ yang secara fisik memiliki dua macam ciri fisik. Konon yang “asli” adalah orang-orang yang tubuh-nya dapat dipisahkan menjadi dua jenis, seperti : tubuh bagian kanan mempunyai dada yang gepeng atau tanpa buah dada. Sementara dada sebelah kiri mempunyai buah dada. Begitu pula wajah atau muka sebelah kanan memiliki kumis dan jenggot, sedangkan wajah sebelah kiri tanpa kumis dan jenggot. Selain itu para banci atau hermaprodite memiliki alat kelamin yang tidak sempurna. Bagian bawah berupa vagina dan bagian atas atau klitorisnya besar serta panjang seperti penis. b) Transvetite adalah seorang homoseksual yang gemar memakai pakaian dan perhiasan tubuh perempuan serta berdandan seperti perempuan. Suara dan gerak-gerik mereka pun dibuat seperti seorang perempuan. Jenis ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : lelaki tulen yang dalam kehidupan sehari-hari bersikap seperti biasa saja dan dapat memberikan keturunan. Tetapi pada saat tertentu mereka berdandan dan bertingkah laku seperti seorang perempuan. Sementara jenis kedua adalah mereka yang setiap hari memakai pakaian wanita dan jiwanya betul-betul diidentifikasikan sebagai perempuan. c) Transexual adalah pelaku homoseks yang mengubah bentuk tubuhnya melalui operasi plastik atau menyuntik hormon-hormon seks dari lawan jenis

19

kelamin yang dimilikinya, agar bentuk tubuhnya dapat menjadi serupa dengan lawan jenis yang dimilkinya. Tetapi organ-organ yang telah dirubah tersebut tidak dapat berfungsi secara alami. Contoh : buah dada yang dirubah melalui bedah plastik tetapi tidak bisa berfungsi secara normal dalam menghasilkan air susu. d) Gay adalah pelaku homoseks laki-laki. Meskipun secara fisik penampilan mereka sama seperti laki-laki tulen, akan tetapi orientasi seksual kaum gay berbeda dengan orientasi seksual laki-laki tulen. Kaum gay lebih tertarik pada sesama jenis, meskipun mereka tetap dapat memberikan keturunan bila berhubungan dengan lawan jenisnya yaitu kaum perempuan. e) Lesbian adalah pelaku homoseks perempuan. Ditinjau dari aspek penampilan fisik kaum lesbian memiliki organ tubuh yang normal atau seperti seorang perempuan tulen. Tetapi ditinjau dari aspek kejiwaan kaum lesbian lebih tertarik kepada sesama jenis. Jika mereka dipaksa untuk melakukan pernikahan dengan lawan jenis (pernikahan heteroseksual), mereka tetap bisa memberikan keturunan. Selain itu di antara kedua jenis heteroseksual dan homoseksual ada lagi jenis lainnya yaitu biseksual. Orientasi seksual biseksual adalah kedua jenis kelamin laki-laki maupun perempuan (Danandjaja, 2003 : 50-56). Lebih lanjut lagi Tracy E. Ore melalui hasil karyanya “The Social Construction of Difference and Inequality” mengemukakan bahwa para lesbian mengalami ketertarikan pertama pada sesama jenis diusia sekitar 12 atau 13 tahun. Tetapi sampai pada usia 18 tahun mereka belum menyadari sepenuhnya bahwa

20

orientasi seksual mereka seperti itu berbeda dengan orientasi seksual perempuan pada umumnya. Setelah berusia sekitar 20 tahun, mereka benar-benar barulah menyadari bahwa orientasi seksual mereka berbeda dengan orientasi seksual perempuan pada umumnya, akan tetapi mereka tidak bisa menerima realitas kehidupan dan keberadaan mereka sebagai seorang perempuan lesbian. Kondisi seperti ini menjadikan kaum lesbian menutup diri terhadap orang-orang yang berada dilingkungan sekitarnya. Berbeda dengan laki-laki gay yang mengalami ketertarikan pertama pada sesama jenis di usia yang jauh lebih muda daripada perempuan lesbian. Perkembangan perilaku homoseks kaum gay pun lebih cepat bila dibandingkan dengan proses perkembangan kaum lesbian. Kondisi seperti inilah yang menggambarkan bahwa komunitas kaum gay lebih banyak jika dibandingkan dengan kaum lesbian. Selain itu komunitas laki-laki gay lebih banyak dikenal atau terekspose dilingkungan publik. Pajaczkowska dalam bukunya “Perversion”, yang dipublikasikan pada tahun 2002 mengkritisi kata perversion. Ia mengemukakan bahwa sesungguhnya kata ini mengandung muatan moral dan harus dianalisis dalam relevansinya dengan sejarah munculnya istilah tersebut. Jika tidak ditinjau dari aspek sejarah munculnya istilah tersebut, istilah ini dipergunakan secara ironis, yaitu sebagai tanda ketidaksetujuan sosial. Sebab itu dapatlah dikatakan bahwa istilah “menyim-pang” tidak lagi memiliki konotasi “cacat” atau “noda”, tetapi istilah ini menjadi tanda kebanggaan. Dengan demikian homoseksualitas merupakan salah satu varian dari

21

berbagai bentuk seksualitas yang berbeda dengan heteroseksualitas dalam hal pengakuan, definisi, dan persetujuan sosial (Pajaczkowska, 2002 : 8). Selain itu John H. Gagnon melakukan suatu kajian tentang “Gender Preference in Erotic Relations : The Kinsey Scale and Sexual Scripts. Kajian ilmiah ini dipublikasikan pada tahun 1990 dalam sebuah buku Homosexuality/ Heterosexuality : Concepts of Sexual Orientation. Melalui hasil karyanya Gagnon mengemukakan bahwa komunitas kaum gay di kota-kota besar di AS lebih banyak bila dibandingkan dengan kaum lesbian. Atau dengan kata lain kaum gay lebih mendominasi kehidupan sosial dan budaya kaum lesbian di Amerika Serikat. Kondisi seperti ini terjadi karena kaum lesbian lebih menutup diri atau tertutup dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Mereka pun takut pada pengejaran pihak yang berwajib, keluarga, teman kerjanya. Bahkan pada orang-orang yang mereka cintai dan pernah melakukan hubungan intim dengan mereka. Selain itu pemerasan dan kekerasan yang dilakukan terhadap mereka merupakan suatu masalah yang tidak bisa dilaporkan kepada pihak kepolisian. Oleh sebab itu sebagian kaum lesbian sangat tidak tergantung pada komunitas kaum gay dan mereka lebih terikat pada nilai-nilai gender atau tampil dan berperilaku sebagai seorang perempuan dengan gaya hidup yang tradisional. Meskipun kadang kala secara tidak sengaja mereka muncul di depan publik dengan pasangan-pasangannya yang terisolir. Lebih lanjut lagi Rhonda R. Rivera mengkaji tentang “Sexual Orintation and the Law”, yang dipublikasikan melalui sebuah buku “Homosexuality : Research Implications for Public Policy”. Melalui hasil karya ini, Rivera

22

mengungkapkan bahwa pada tahun 1944 militer Amerika Serikat melembagakan aturan-aturan formal yang melarang para gay dan lesbian bekerja di institusi negara. Beberapa personil militer dipindahkan atau pun dipecat tanpa hormat karena diduga sebagai gay atau lesbian. Personil militer yang telah mengidentifikasikan diri sebagai gay atau lesbian dipecat tanpa bukti apa pun. Akan tetapi pada tahun 1960an para gay dan lesbian mulai menentang hak pemerintah atas pemecatan yang semena-mena terhadap komunitas mereka. Selain itu pula Warren J. Blumenfeld & Diane Raymond dalam buku “Looking at Gay and Lesbian Life”, yang dipublikasikan pada tahun 1988 mengungkapkan bahwa pusat-pusat layanan bagi kaum gay dan lesbian mulai berkembang dengan pesatnya pada tahun 1970-an. Prinsip dasar didirikannya layanan bagi kaum gay dan lesbian tersebut karena kaum gay dan lesbian mempunyai kebutuhan unik serta spesial, yang sering tidak terpenuhi. Pusat-pusat layanan bagi kaum gay tersebut, diorganisasikan di tempat-tempat, seperti Los Angeles, San Franscisco, Orange County, Mineapolis, Chicago, New York City, Baltimore, Washington DC., Albany, Philadelphia, Louisville, dan Norfolk. Selain itu Flora Davis melalui hasil karyanya “Moving the Mountain” yang dipublikasikan pada tahun 1991 mengemukakan bahwa pada tahun 1969 terjadi perubahan yang begitu besar bagi kehidupan kaum gay dan lesbian di Amerika Serikat. Organisasi kaum gay dan lesbian banyak bermunculan di beberapa negara bagian di Amerika Serikat. Lebih lanjut lagi dijelaskan bahwa pada tahun 1960-an organisasi pergerakan kaum gay dan lesbian semakin berhati-hati dalam menanggapi berbagai isu politik yang sedang berkembang. Selain itu intensitas

23

kaum gay dan lesbian turun kejalan untuk melakukan aksi kolektid dan atau demonstrasi semakin meningkat. Pergerakan mereka pun terus berlanjut hingga tahun 1970-an dan 1980-an. Meskipun pergerakan mereka di tahun 1970-an dan 1980-an tidak bisa berkembang dengan baik, yang antara lain disebabkan oleh adanya kasus HIV/AIDS (Hekma, 2006). Hingga saat ini keberadaan kaum queer masih tetap mendapat perlawanan yang cukup keras dari para elite politik dan lain sebagainya. Gert Hekma dalam buku “Gay Life and culture : A World History”, yang dipublikasikan pada tahun 2006 menjelaskan bahwa eksistensi kaum gay pada tahun 1960-an dan 1970-an berubah menjadi lebih eksklusif. Selain itu pula keberadaan mereka di kota-kota besar di seluruh dunia memberikan ciri khas tertentu, sebagai suatu komunitas yang memiliki rasa identitas dan solidaritas yang cukup tinggi. Cafe, bar dan tempat-tempat bersejarah di era Stonewall Inn semakin ramai dikunjungi oleh komunitas dari kalangan mereka sendiri. Sementara kebiasaan mengkonsumsi minuman keras yang memabukkan masih tetap mewarnai kehidupan mereka. Sampai pada era tahun 1970-an dan 1980-an kebiasaan seperti itu berkembang lagi dengan penggunaan atau pemakaian obat-obatan terlarang atau narkotik. Sehingga pada awal tahun 1980-an wabah penyakit AIDS yang mematikan muncul kepermukaan. Penyebaran atau wabah terbesar penyakit ini terjadi di AS. Pemerintah pun memberikan response yang cepat terhadap masalah ini dengan cara menutup tempat berkumpulnya kaum gay. Triana Ahdiati mengkaji “Gerakan Kaum Lesbian : Studi Kasus Politik Amerika Pada Tahun 1990-an”, yang dipublikasikan pada tahun 2007 dalam bentuk

24

buku. Ahdiati mengemukakan bahwa kaum feminis lesbian di Amerika lahir pada tahun 1960-an merupakan bagian dari kaum feminis radikal, menjadi faksi yang radikal dan kritis dalam menyikapi perkembangan gerakan feminis. Selain itu secara umum kaum feminis lesbian mengkritisi dan menyikapi perkembangan demokrasi Amerika secara keseluruhan. Lebih lanjut lagi Ahdiati mengemukakan bahwa pada saat ini kaum feminis lesbian mengubah pergerakan mereka dari gerakan yang bersifat separatis menuju pada gerakan politis. Sebab itu kaum feminis lesbian dan simpatisan organisasi tersebut semakin menyadari bahwa mereka tidak mungkin hanya mengandalkan gerakan-gerakan yang sifatnya sporadis dalam memperoleh legitimasi. Akan tetapi mereka membutuhkan suatu gerakan yang berkesinam-bungan untuk diakui sebagai anggota masyarakat, baik secara sosial, politik maupun secara hukum. 1.6 Kerangka Teori Sejak pertama kali melakukan studi awal terhadap keberadaan atau kehidupan kaum queer di Amerika Serikat, baik melalui film, koran, majalah, jurnal, buku, dan bahkan mengunjungi pusat kerusuhan bar “Stonewall Inn”, Gay Liberation Monument atau Christopher Park di kota New York, maka penelitian ini difokuskan untuk mengkaji perjuangan kaum queer yaitu gay dan lesbian pada tahun 1960-an dan 1970an dalam konteks budaya masyarakat Amerika Serikat. Selanjutnya berbagai permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini dikaji melalui perspektif disiplin ilmu Pengkajian Amerika atau American Studies. Sebab itu kerangka teori yang digunakan sebagai acuan atau pun dasar berfikir untuk mempelajari, memahami dan mengungkapkan perjuangan kaum queer pada

25

1960an dan 1970-an di Amerika Serikat tersebut menggunakan pendekatan interdisipliner atau the interdisciplinary approach. 1.6.1 Pendekatan Interdisipliner dalam American Studies American Studies untuk pertama kali diperkenal oleh Vernon Louis Parrington melalui hasil karyanya Main Currents in American Thought, yang dipublikasikan pada tahun 1927 (Wise, 1975). Melalui tulisan akademik tersebut dijelaskannya bahwa pada saat itu disiplin ilmu sosial, seperti : sastra, ekonomi, sejarah, sosiologi, dan ilmu politik berdiri sendiri-sendiri. Sedangkan menurut hasil kajiannya, disiplin ilmu sosial tersebut saling terkait atau pun berhubungan antara satu dan yang lainnya. Oleh karena itu Parington berupaya mendobrak pengotak-ngotakan disiplin ilmu tersebut dengan mengembangkan American Studies menjadi disiplin ilmu yang memiliki ‘ciri khas’ yaitu menerapkan atau pun menggunakan pendekatan interdisipliner dalam berbagai kegiatan akademis. Secara lebih khusus disiplin ilmu ini memfokuskan berbagai kajian akademis terhadap budaya masyarakat Amerika. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Richard E. Sykes melalui hasil karyanya “American Studies and the Concept of Culture : A Theory and Method” bahwa American Studies adalah suatu studi tentang budaya Amerika. Pendapat Sykes tersebut dipertegas oleh ilmuan American Studies lainnya yaitu Bruce A. Lohof (1978 : 3-4) berikut ini. American Studies is holistic in its approach to the culture of the United States and its interdisciplinary approach to the culture of the United States. The Subject of American Studies is large, diverse, complicated, but finally comprehensive and unified.

26

(American Studies bersifat menyeluruh dalam hal pendekatannya terhadap budaya Amerika dan menggunakan pendekatan interdisipliner terhadap budaya di Amerika. Subjek American Studies sangat luas, variatif, rumit tetapi subjek itu pasti komprehensif dan menyatu).

Terkait dengan penjelasan tersebut di atas pendekatan interdisipliner dalam American studies yaitu suatu metode yang digunakan untuk mengkaji pengalaman Amerika ‘American Experience’ atau isu-isu tertentu yang berkembang dalam masyarakat Amerika melalui berbagai perspektif disiplin ilmu sosial, seperti : sastra, sejarah, sosiologi, antropologi, ekonomi, politik, dan lain sebagainya. Hal ini sesuai dengan penegasan Robert Meredith (1969 : 1) bahwa : “American studies is an interdisciplinary discipline with utilizes social science, literature, history, politics, and economic structure”. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Soedarsono (2001 : 16) bahwa penggunaan pendekatan interdisipliner bukan terbatas pada analisisnya saja. Akan tetapi pendekatan interdisipliner juga diterapkan pada proses pengumpulan data hingga analisis data. Penjelasan para ahli tersebut di atas menunjukkan bahwa pendekatan interdispliner yaitu suatu metode yang digunakan untuk mempelajari, memahami, dan mengungkapkan suatu fenomena sosial yang berkembang di masyarakat, menggunakan disiplin ilmu lain yang ada relavansinya dengan permasalahan yang dikaji. Sehingga proses kegiatan akademis yang dimulai dari pengumpulan data hingga analisis data menggunakan pendekatan interdisipliner. Konsep berfikir seperti inilah yang membedakan antara peneliti American Studies dengan para akademisi lainnya dalam melakukan berbagai kajian ilmiah.

27

Terkait dengan hal ini Bruce A. Lohof (1978 : 1-7) merangkum prinsip-prinsip kajian akademik dalam American Studies, berikut ini. 1) American Studies is holistic in its approach to the culture of the United States. Oleh sebab itu yang menjadi subject matter of American Studies adalah Amerika. Tremaine McDowell juga mengemukakan bahwa materi subjek American Studies yaitu berupa gambaran dan atau deskripsi yang kompleks tentang kehidupan Amerika. 2) American Studies is its interdisciplinary approach to the culture of the United States. 3) American Studies assumes an interesting and to me valid concept of time, a sense of time that strives to integrate the tenses past, present, and future. Pendapat yang sama juga dikemukan oleh Whitman dan Vonnegut bahwa ‘all moments, past, present, and future, always have existed, always will exist’. Berdasarkan penjelasan tersebut diatas, maka berbagai permasalahan dalam penelitian ini dikaji melalui perspektif disiplin ilmu sejarah, antropologi budaya, sosiologi, dan politik. Dengan demikian perjuangan kaum queer, yaitu gay dan lesbian pada tahun 1960-an dan 1970-an di Amerika Serikat dapat dipahami secara menyeluruh atau ‘holistic’.

28

1.6.1. 1 Pendekatan Ilmu Sejarah Pendekatan disiplin ilmu sejarah dalam penelitian ini sangat bermanfaat untuk menelusuri dan memahami latar belakang munculnya organisasi-organisasi kaum queer, yaitu gay dan lesbian di Amerika Serikat. Oleh karena munculnya organisasi-organisasi kaum queer, yaitu gay dan lesbian tidak terjadi secara tibatiba. Akan tetapi ada faktor-faktor tertentu yang mempengaruhi munculnya organisasi kaum gay dan lesbian. Atau dengan kata lain pendekatan melalui perspektif ilmu sejarah sangat bermanfaat untuk menjelaskan tentang kronologis awal perjuangan kaum queer, kondisi yang tercipta pada saat terjadi berbagai gejolak sosial di masyarakat, terutama saat terjadinya peristiwa kerusuhan Stonewall Inn, dan situasi serta kondisi yang terjadi pasca tragedi Stonewall Inn. Dengan demikian benang merah antara ketiga kurun waktu tersebut, dalam hubungannya dengan kajian tentang perjuangan kaum queer di Amerika dapat ditelusuri. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Jay Gurian (1969 : 78) bahwa American Studies concerned with itself about how the American past led to the American present. Terkait dengan hal ini konsep pemikiran lainnya yang menjadi acuan penelitian ini adalah teori yang dikemukakan oleh McDowell (1948 : 4). McDowell menegaskan bahwa kesatuan tiga dimensi waktu yaitu past, present, and future sangat penting untuk memahami dan menganalisis ‘American Experience’ sebagai satu kesatuan siklus kehidupan. Pernyataan McDowell tersebut juga sesuai dengan hasil pemikiran Sardjono Kartodirdjo (1993 : 41-42) bahwa pendekatan sejarah berfungsi untuk melihat peristiwa masa kini, yang tentunya tidak terlepas dari

29

peristiwa masa lampau. Sebaliknya gambaran tentang masa lampau ditentukan oleh pandangan atas peristiwa yang terjadi masa kini. Berdasarkan penjelasan tersebut diperoleh dua dimensi : (1) aspek masa kini; (2) aspek masa lampau. Ini berarti bahwa diperlukan kemampuan untuk membuat secara eksplisit hal-hal pada masa kini yang berasal dari masa lampau dan mengekstrapolasikan unsur-unsur dari masa kini yang menentukan masa depan. Dengan demikian kiranya akan diperoleh suatu hasil yang menyeluruh tentang gambaran atau pun dinamika kehidupan kaum queer di Amerika Serikat dalam kaitannya dengan perjuangan organisasi pergerakan mereka. 1.6.1. 2 Antropologi Budaya Pendekatan kedua yang digunakan dalam kajian ini adalah pendekatan melalui perspektif ilmu antropologi. Antropologi adalah paduan dari kata anthropos yang artinya manusia dan logos artinya ilmu. Jadi antropologi yaitu ilmu tentang manusia (Ihromi, 1999 : ix). Seorang antropolog William A. Haviland mengemukakan bahwa antorpologi adalah studi tentang keanekaragaman manusia dan perilakunya. Lebih lanjut lagi dikemukakan bahwa tujuan antropologi yaitu memberikan penjelasan-penjelasan tentang perilaku manusia yang didasarkan atas semua aspek biologis manusia dan perilakunya di masyarakat (Haviland, 1985 : 7-30 ). Antropologi dibedakan atas antropologi fisik dan antropologi budaya. Oleh sebab itu guna memperoleh pemahaman yang lebih kritis tentang perilaku dan pola kehidupan kaum queer di Amerika Serikat, maka pendekatan yang diterapkan dalam kajian ini difokuskan pada salah satu cabang ilmu antropologi yaitu antropologi budaya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh William Haviland (1985 : 12) bahwa

30

antropologi budaya yaitu suatu cabang ilmu antropologi yang khusus mempelajari pola-pola kehidupan yang berkembang di masyarakat. Lebih lanjut lagi dijelaskan bahwa ilmu antropologi budaya adalah suatu disiplin ilmu yang mempelajari manusia berdasarkan kebudayaannya. Khusus untuk budaya Amerika Cecil Tate (1973 dalam Lohof, 1978 : 3) mengemukakan bahwa budaya Amerika bukanlah hanya ditinjau dari aspek sekumpulan anggota dan atau individunya saja. Akan tetapi budaya Amerika haruslah dilihat sebagai satu kesatuan dan atau keutuhan yang menyeluruh. Kesatuan dan atau keutuhan tersebut juga mengasumsikan bahwa budaya adalah sebuah struktur independen yang berfungsi seperti sebuah organisme, memiliki banyak ciri khas kepribadian dan kehidupan manusia. Selain itu Haviland (1985 : 333) mengemukakan bahwa kebudayaan ada-lah seperangkat peraturan dan standar, yang apabila dipatuhi oleh warga masyara-kat, menghasilkan perilaku yang dianggap layak dan dapat diterima oleh seluruh warga masyarakat. Untuk itulah Haviland menegaskan bahwa pada dasarnya kebudayaan tidak dapat diamati secara langsung, melainkan perilaku yang nyata dari setiap individu sebagai anggota masyarakatlah yang dapat diamati. Jika penjelasan Haviland tersebut dikaitkan dengan perilaku seksual kaum queer, maka sangat jelas bahwa perilaku seksual kaum queer, baik gay dan lesbian tidak dapat diterima oleh seluruh warga masyarakat di Amerika Serikat. Oleh karena perilaku seksual mereka bertentangan dengan budaya konvensional yang berlaku di masyarakat. Kondisi seperti ini menyebabkan kaum queer, baik gay maupun lesbian harus berhadapan dengan warga masyarakat yang belum siap menerima keberadaan

31

mereka. Di sisi lain tidak tertutup kemungkinan, mereka dapat menjadi bagian dari keluarga atau masyarakat yang bisa memahami dan menerima keberadaan mereka yang berbeda dalam aspek perilaku dan orientasi seksual. Karena itu eksistensi dan perjalanan hidup kaum queer yaitu gay dan lesbian dalam kehidupan sosial kemasyarakatan senantiasa diwarnai oleh pandangan “pro” dan “kontra” dari berbagai kalangan di masyarakat. Kondisi seperti ini tentunya sangat bergantung kepada latar belakang budaya tiap-tiap negara dan tempat kaum homoseksual baik gay maupun lesbian tersebut tinggal serta hidup menetap. Perilaku seksual yang dilakukan oleh mereka sangat berhubungan erat dengan budaya sekitar tempat tinggal mereka. Singkatnya untuk menentukan perilaku seksual yang dianggap normal dan abnormal dalam setiap kebudayaan ditentukan oleh kebudayaan itu sendiri (Haviland, 1985 : 424). Sementara antropolog lainnya yaitu Danandjaja (1994 : 41) melihat perilaku seksual dari aspek kepribadian setiap indvidu di masyarakat. Perilaku seksual dianggap normal jika aktivitas seksualitasnya sesuai dengan kepribadian yang dominan. Sementara perilaku seksual dianggap tidak normal apabila aktivitas seksualitasnya tidak sesuai atau bertentangan dengan kepribadian yang dominan di masyarakat. Selanjutnya Hall (2001 : 238-239) mengatakan bahwa kedekatan atau keakraban, persahabatan, tali persaudaraan, dan hubungan interpersonal lainnya, dilakukan oleh pasangan yang tertarik dengan sesama jenis, sebaiknya dianalisis dengan memperhatikan sikap budaya masyarakat setempat. Sebab aturan sosial, sistem kepercayaan dan agama, kebiasaan, serta hukum pada setiap budaya yang satu dengan yang lain berbeda-beda.

32

Penjelasan para ahli tersebut sangat bermanfaat untuk diterapkan dalam kajian ini. Sebab kajian ini membahas, menjelaskan dan atau memberikan gambaran tentang perjuangan kaum queer di Amerika Serikat. Dengan demikian kajian terhadap eksistensi kaum queer, baik gay dan lesbian, khususnya yang terkait dengan perjuangan komunitas mereka ditinjau melalui tata cara, pola kehidupan masyarakat dan kebudayaan Amerika Serikat. Selain itu perjuangan kaum queer yaitu gay dan lesbian untuk mencapai harapan-harapan, cita-cita dan atau tujuan-tujuan yang ingin dicapai secara bersamasama tentunya tidak dapat dilakukan secara sendiri-sendiri atau perorangan. Mereka harus melakukan pergerakannya tersebut secara berkelompok dan bahkan diorganisir melalui suatu organisasi. Agar supaya harapan-harapan, cita-cita, dan tujuan umum dari perjuangan pergerakan mereka dapat terwujud. Pendekatan antropologi budaya, yang secara lebih khusus lagi yaitu budaya organisasi sangat dibutuhkan dalam kajian ini. Budaya organisasi tersebut digunakan untuk memahami dan sekaligus mengkaji eksistensi organisasi sosial kaum queer di Amerika. Sebab budaya organisasi sangat berpengaruh terhadap sikap dan perilaku setiap indvidu yang menjadi anggota suatu organisasi. Sumber daya umum suatu organisasi adalah manusia. Setiap individu yang menjadi anggota suatu organisasi, tentunya memiliki sifat-sifat dan atau perilaku yang berbeda-beda. Bahkan kepribadian setiap individu di dalam suatu organisasi tersebut sangat sulit untuk diubah. Misalnya : ada anggota yang memiliki kepribadian yang hangat, ramah, kreatif, pemalu, kaku, dan atau konservatif.

33

Mengadapi kondisi seperti ini kapasitas dan kapabilitas pemimpinpemimpin organisasi sebagai motivator dan atau agen perubahan sangat dibutuhkan, baik ke dalam maupun di luar organisasi. Sehingga pemimpin-pemimpin organisasi mampu untuk mengantisipasi dan sekaligus dapat mengatasi berbagai permasalahan yang ada, khususnya di internal organisasi. Dengan demikian pendekatan budaya merupakan salah satu media atau sarana yang digunakan oleh pemimpin organisasi guna memahami sikap dan perilaku setiap anggota dalam suatu organisasi. Gibson (Gibson, dkk., 1985 : 7) mengemukakan bahwa organisasi adalah kesatuan yang memungkinkan masyarakat mencapai suatu tujuan yang tidak dapat dicapai secara perorangan (Gibson, dkk., 1985 : 7-9). Sementara Robbins (Robbins, 1996 dalam Sobirin, 2007 : 5) mengemukakan bahwa organisasi adalah unit sosial yang sengaja didirikan untuk jangka waktu yang relatif lama, beranggotakan dua orang atau lebih yang saling berkerjasama dan terkoordinasi, mempunyai pola kerja tertentu yang terstruktur, serta didirikan untuk mencapai tujuan bersama. Sobirin (Sobirin, 2007 : 101) juga mengemukakan bahwa organisasi merupakan hasil kreasi manusia. Organisasi bukan sekedar memiliki budaya tetapi juga merupakan hasil kebudayaan. Dengan demikian pemahaman tentang organisasi sebagai hasil kebudayaan dan di saat yang sama organisasi dianggap memiliki budaya menyebabkan kajian terhadap organisasi tidak lagi bersifat linear. Artinya organisasi tidak serta merta bebas nilai dan semua orang yang terlibat di dalamnya bersifat rasional. Namun sebaliknya organisasi merupakan hasil kreasi manusia yang sarat dengan nilai. Sehingga hitam putihnya organisasi sangat bergantung pada

34

bagaimana orang-orang, individu-individu yang terlibat dalam organisasi menginterpretasikan dan memaknai organisasi tersebut. Atau dengan kata lain organisasi tidak lagi dilihat semata-mata sebagai alat bantu yang digunakan untuk membantu manusia mencapai tujuan-tujuannya. Akan tetapi organisasi diperlaku-kan sebagai realitas social yang bersifat interpretative. Selain itu pula Gibson (Gibson, dkk., 1985 : 10) mengemukakan bahwa hubungan antara individu dan kelompok dalam organisasi menciptakan harapanharapan bagi perilaku individu. Harapan-harapan tersebut menghasilkan perananperanan tertentu di dalam berorganisasi, seperti : ada yang berperan sebagai pemimpin dan yang lainnya berperan sebagai pengikut. Oleh karena itu organisasi mempunyai sistem wewenang, status, dan kekuasaan. Selain itu pula Robins (2002 : 283) juga mengemukakan beberapa fungsi budaya di dalam suatu organisasi, yaitu : 1) menciptakan perbedaan antara organisasi yang satu dan yang lainnya; 2) menyampaikan rasa identitas kepada anggota-anggota organisasi; 3) mempermudah penerusan komitmen hingga mencapai batasan yang lebih luas, melebihi batasan ketertarikan individu; 4) mendorong stabilitas sistem sosial; 5) merupakan suatu ikatan sosial yang membantu mengikat kebersamaan organisasi dengan menyediakan standar-standar yang sesuai mengenai apa yang harus dikatakan dan dilakukan oleh anggota; 6) bertugas sebagai pembentuk rasa dan mekanisme pengendalian yang memberikan panduan dan bentuk perilaku serta sikap bagi setiap anggota.

35

Selain itu Morgan (Morgan, 1977 dalam Sobirin, 2007 : 27-30) mengemukakan beberapa perumpamaan yang bisa digunakan untuk memahami sifat-sifat organisasi, berikut ini. 1) Organisasi dipandang sebagai mesin Artinya organisasi diumpamakan seperti sebuah alat dan atau mesin, yang sengaja diciptakan untuk menghasilkan cara kerja, seperti : a) kegiatannya bersifat mekanis dan atau teratur; b) masing-masing bagian bekerjasama secara terpisah dan hanya mengerjakan satu kegiatan tertentu secara terus-menerus; c) karena masingmasing bagian bekerja secara terpisah, maka untuk bisa menghasilkan hasil yang optimal diperlukan adanya koordinasi dan kerjasama antar bagian; d) kegiatannya bersifat hirarkis-berawal dari satu ujung dan berakhir pada ujung yang lainnya. Dengan demikian orang-orang yang terlibat di dalam suatu organisasi, baik pemimpin dan atau anggota-anggotanya mempunyai pola kerja, sifat, perilaku, tindakan, dan pola pikir yang sama seperti mesin. Sistem kerja seperti inilah yang disebut sebagai organisasi mesin. 2) Organisasi dipandang sebagai organisme hidup Artinya organisasi seolah-olah seperti makhluk hidup dan atau organisme, yang memiliki sifat-sifat sebagai berikut : a) mengalami daur hidup mulai dari lahir, tumbuh, dewasa, menjadi tua, dan akhirnya mati; b) agar bisa tumbuh dan terus berkembang maka organisasi harus memiliki sumber daya yang cukup; c) dan yang terakhir organisasi harus bisa beradaptasi dengan lingkungan. Dengan demikian keberlangsungan hidup suatu organisasi sangat bergantung pada kemampuan organisasi untuk memperoleh dan memperebutkan sumber daya yang tersedia diluar

36

organisasi yang jumlahnya sangat terbatas. Atau dengan kata lain suatu organisasi harus mampu me-manage, beradaptasi, dan mengatasi berbagai masalah yang ada 3) Organisasi sebagai pusat berfikir dan atau otak Cara pandang seperti ini menempatkan organisasi seperti otak manusia yang mampu mengolah informasi, melakukan proses pembelajaran, dan berani untuk membuat keputusan. Atau dengan kata lain suatu organisasi harus mampu mengakses, menggunakan, dan memproses informasi. Agar supaya organisasi tersebut mampu melakukan pembelajaran, memberi penilaian, dan mengambil keputusan. Oleh karena keberhasilan organisasi sangat bergantung pada kemampuan organisasi dalam meningkatkan atau meperbaiki proses dalam menjalankan aktivitas organisasi. Dengan demikian tuntutannya adalah bagaimana organisasi membuat struktur pengambilan keputusan yang tepat, memiliki alat pengumpul data yang cocok, memiliki alat analisis yng cocok, dan memiliki kemampuan kolektif dalam menterjemahkan informasi. 4) Organisasi dipandang sebagai sistem budaya Smircich dan Stubart (Smircich & Stubart, 1985 dalam Sobirin, 2007 : 29) mengemukakan bahwa organisasi adalah sekumpulan orang yang memiliki kesamaan keyakinan, tata nilai, dan asumsi dimana keyakinan, tata niali, dan asumsi tersebut akan menjadi landasan bagi semua orang yang terlibat di dalam suatu organisasi untuk menginterpretasikan setiap sikap dan perilaku baik yang mereka lakukan maupun tindakan yang dilakukan oleh orang lain. Berdasarkan definisi ini organisasi dipandang bukan sebagai struktur yang objektif yang di desain untuk mencapai tujuan yang terukur. Melainkan sebagai

37

sekumpulan orang yang meng-construct realitas dengan saling berbagi makna dan asumsi. Dengan cara pandang seperti ini sebelum anggota-anggota organisasi melakukan berbagai tindakan, mereka terlebih dahulu harus memiliki definisi atau konstruksi realitas yang jelas dan didsarkan pada keyakinan, tata nilai, dan asumsi bersama. Demikian juga agar organisasi bisa beroperasi dan berfungsi dengan baik, para anggotanya harus bisa menjabarkan dan atau mendefinisikan persoalan organisasi dengan jelas. Mereka juga harus sepakat dalam upayanya untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut. 5) Organisasi dipandang sebagai arena politik Lee & Lawrence (Lee & Lawrence, 1991 dalam Sobirin 2007 : 29) mengemukakan bahwa jika organisasi dipandang sebagai arena politik, maka kekuasaan “power” menjadi variabel penting di dalam organisasi. Oleh karena politik identik dengan kekuasaan. Artinya orang-orang yang terlibat di dalam suatu organisasi harus memahami sifat-sifat kekuasaan dan konsekuensi yang ditimbulkannya. Agar supaya mereka dapat mengatasi berbagai persoalan-persoalan yang ada di dalam organisasi. Misalnya : berkompetisi atau bekerjasama antar individu di dalam organisasi atau berkoalisi dengan berbagai pihak dalam memperebutkan sumber daya yang terbatas merupakan hal yang biasa saja. Konsekuensinya adalah kemungkinan timbulnya konflik yang disebabkan, antara lain : setiap kelompok memiliki tata nilai, kepentingan, dan skala prioritas yang berbeda-beda. 6) Organisasi dipandang sebagai alat pengendali psikis Artinya setiap orang yang terlibat di dalam suatu organisasi, kebebasannya dibatasi. Bukan hanya kebebasan secara fisik tetapi juga kebebasan dalam

38

mengemukakan pendapat dan bahkan kebebasan jiwa masing-masing. Dibatasinya kebebasan ini karena dlam melaksanakan tugas-tugas organisasi, baik yang menuntut kemampuan fisik maupun kemampuan emosi, seseorang dituntut untuk menyesuaikan diri dengan peraturan-peraturan dan cara-cara yang telah ditetapkan oleh organisasi. Akibatnya cara pandang seperti ini sering menghambat anggota organisasi untuk melakukan proses pembelajaran dan meningkatkan kinerjanya. Sebab para anggota organisasi cenderung berperilaku konfulsif dan menjaga disiplin dan atau loyalitas terhadap organisasi. 7) Organisasi dipandang sebagai alat transformasi Artinya organisasi secara terus-menerus akan selalu mengalami perubahan. Jaffee (Jaffee, 2001 dalam Sobirin, 2007 : 30) mengemukakan bahwa salah satu penyebab terjadinya perubahan organisasi karena di dalam organisasi terjadi kontradiksi atau tarik ulur di antara berbagai pihak. Selain itu pula perubahan itu terjadi karena adanya kondisi-kondisi yang serba paradoksal, antara lain seperti keharusan untuk berkonsentrasi pada diferensiasi organisasi atau integrasi organisasi. 8) Organisasi dipandang sebagai alat dominasi Cara pandang seperti ini merupakan kombinasi antara metafora organisasi sebagai mesin dan metafora organsasi sebagai arena politik. Dalam cara pandang seperti ini organisasi tidak berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan bersama tetapi hanya untuk kepentingan indvidu saja. Dengan demikian kepentingan bersama yang merupakan tujuan dari organisasi diabaikan. Atau dengan kata lain mereka yang bisa memiliki dan mengendalikan organisasi akan mampu

39

mendominasi dan menguasai orang lain. Sebab itulah sangat tidak mengherankan jika para buruh berupaya membentuk serikat pekerja sebagai upaya untuk menyeimbangkan kekuatan antara pihak perusahaan dengan mereka. Sehingga para buruh tidak terus-menerus menjadi pihak yang didominasi. Pengertian organisasi, fungsi dan peran budaya dalam organisasi yang dikemukakan oleh para ahli tersebut diatas dapat digunakan sebagai dasar pemikiran untuk memahami dan sekaligus mengkaji budaya organisasi-organisasi kaum queer di Amerika. Sebab budaya antara organisasi satu dan yang lainnya berbeda-beda. Artinya budaya organisasi merujuk pada suatu sistem dan atau pola kerja yang terstruktur dan sistematis yang diterapkan oleh pemimpin-pemimpin organisasi terhadap anggota-anggotanya dalam suatu organisasi “berbeda-beda”. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan oleh Schein (Schein, 1985 : 168 dalam Robbins, 2002 : 279) bahwa budaya organisasi merupakan suatu sistem pengertian bersama yang digunakan sebagai pedoman bagi setiap pemimpin-pemimpin organisasi dalam menggerakkan aktivitas organisasi. Suatu sistem yang dipedomani oleh pemimpin-pemimpin organisasi inilah yang membedakan antara budaya organisasi yang satu dan yang lainnya. Dengan demikian guna memperoleh hasil yang maksimal, maka kajian terhadap eksistensi organisasi sosial kaum queer di Amerika, seperti : Gay Liberation Front, Gay Activists Alliance, dan The national Gay and Lesbian Task Force dilakukan dengan menggunakan pendekatan budaya organisasi.

40

1.6.1. 3 Antropologi Sosiologis Pendekatan ketiga yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan melalui disiplin ilmu sosiologi. Dalam Dictionary of Sociology (1991 : 603) dijelaskan bahwa sociology is the study of society. Selain itu Soekanto (1983 : 412) mengemukakan bahwa sosiologi merupakan ilmu yang mempelajari struktur sosial, proses sosial termasuk perubahan-perubahan sosial dan masalah-masalah sosial. Olsen (1968 : 7-8) mengemukakan bahwa sociology is then described as the study of individual social behavior or of interpersonal interaction. Istilah sosiologi tersebut untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh seorang sosiolog berkebangsaan Perancis bernama Auguste Comte. Meskipun demikian Auguste Comte tidak memberikan penjelasan secara terperinci mengenai definisi ilmu

sosiologi.

Comte

mengemukakan

beberapa

aspek

penting

dalam

pengembangan teori sosiologi. Misalnya melalui perspektif ilmu sosiologi Comte mengemukakan bahwa unit analisis dasarnya yang tidak berpusat pada individu. Akan tetapi ia menaruh perhatian pada kesatuan yang lebih besar, misalnya keluarga. Ia pun mengemukakan bahwa struktur sosial dan perubahan sosial merupakan dua aspek yang sangat penting. Selain itu Comte memberikan perhatian khusus pada ciri sistematis masyarakat, terutama hubungan antara berbagai komponen di masyarakat (Ritzer & Goodman, 2003; Olsen, 1968). Pengaruh Comte sangat besar terhadap para sosiolog lainnya, salah satu di antaranya yaitu Emile Durkheim. Durkheim menaruh perhatian yang besar terhadap tugas seorang sosiolog yaitu mempelajari apa yang disebut Durkheim sebagai fakta – fakta sosial. Kemudian melalui buku The Rule of Sociological Method Durkheim

41

menjelaskan bahwa fakta sosial terdiri dari dua tipe yaitu fakta sosial material, seperti : birokrasi dan hukum serta fakta sosial non-material, misalnya : kebudayaan dan institusi sosial (Ritzer & Goodman, 2003). Sosiolog lainnya Horton & Hunt (1984 : 4) mengemukakan bahwa sosiologi mempelajari masyarakat dan perilaku sosial manusia. Selain itu pula dalam Occupational Outlook Handbook 1980-1981 dan U.S Department of Labor 1980 disebutkan bahwa sosiologi mempelajari masyarakat dan perilaku sosial manusia dengan meneliti kelompok yang dibangunnya. Kelompok tersebut mencakup keluarga, suku bangsa, komunitas dan pemerintahan, berbagai organisasi sosial, agama, politik, bisnis, serta organisasi lainnya. Tugas seorang sosiolog adalah mempelajari perilaku dan interaksi kelompok, menelusuri asal usul pertumbuhannya serta menganalisis pengaruh kegiatan kelompok terhadap para anggotanya (di dalam Horton & Hunt, 1984). Selain itu pula Berger mengemukakan bahwa bersosiologi itu harus mengikuti proses berfikir seperti yang dituntut oleh fenomenologi, yakni dimulai dari kenyataan kehidupan sehari-hari sebagai realitas utama gejala bermasyarakat (1990 : xiv). Perilaku sosial manusia sebagai anggota masyarakat tentunya memiliki aturan-aturan yang semuanya bersumber pada kebudayaan. Atau dengan kata lain kebudayaan menjadi tolok ukur bagi setiap manusia sebagai individu, dan warga masyarakat di dalam berinteraksi dengan sesama warga masyarakat lainnya. Seperti di kemukakan oleh Horton dan Hunt bahwa kebudayaan bersifat normatif yaitu kebudayaan menentukan standar perilaku. Contoh perilaku yang benar antara lain

42

yaitu : berjabat tangan dan atau bersalaman dengan menggunakan tangan kanan; dilarang berbicara pada saat makan, dll (Horton & Hunt, 1984 : 64). Lebih lanjut lagi Horton dan Hunt mengemukakan bahwa kebudayaan sebagai sistem norma, yang mana sistem norma memiliki dua arti yaitu norma kebudayaan dan norma statistis. Norma kebudayaan adalah seperangkat perilaku yang diharapkan, suatu citra kebudayaan tentang bagaimana seharusnya seseorang bersikap. Sementara norma statistis yaitu suatu ukuran dari perilaku yang sebenarnya disetujui atau tidak disetujui. Jika dikaitkan dengan penjelasan tersebut di atas, maka perilaku kaum queer termasuk dalam norma statistis. Sebab perilaku kaum queer yaitu gay dan lesbian tersebut benar-benar ada atau nyata dalam masyarakat Amerika Serikat. Akan tetapi sebagian masyarakat menyetujui dan yang lainnya tidak menyetujui. Mereka dibedakan dengan warga masyarakat lainnya hanya karena perilaku dan preferensi seksual mereka yang bertentangan dengan norma kebudayaan sebagai standar kebudayaan yang ideal dan berlaku secara konvensional di masyarakat. Norma-norma, aturan prosedural, dan aturan perilaku dalam kehidupan sosial pada hakikatnya adalah bersifat kemasyarakatan. Yang dimaksud “bersifat kemasyarakatan” tersebut adalah bukan hanya karena norma-norma tersebut berkaitan dengan kehidupan sosial, melainkan juga karena norma-norma tersebut pada dasarnya merupakan hasil dari kehidupan masyarakat. Singkatnya normanorma itu merupakan bagian dari masyarakat (Berry dalam Wirutomo, 2003 : 49). Lebih lanjut lagi Berry mengemukakan bahwa norma tumbuh dan berkembang dari proses kemasyarakatan. Norma menentukan batasan-batasan dari

43

perilaku dalam kehidupan bermasyarakat. Individu dilahirkan dalam suatu masyarakat dan disosialisasikan untuk menerima aturan-aturan yang telah ada dan berlaku di masyarakat. Individu menginter-nalisasikan aturan-aturan, menerima aturan-aturan itu sebagai standar tingkah laku yang benar dan yang salah (Berry dalam Wirutomo, 2003 : 49). Selain itu di dalam kehidupan bermasyarakat dikenal adanya lembaga sosial social institution yaitu sistem hubungan sosial yang terorganisasi yang mewujudkan nilai-nilai dan tata cara umum tertentu dan memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Suatu masyarakat yang kompleks memiliki lima lembaga dasar yaitu : (1) keluarga; (2) keagamaan; (3) pemerintah; (4) pendidikan; (5) dan perekonomi. Lembaga termasuk diantara norma-norma masyarakat yang paling resmi dan bersifat memaksa (Horton & Hunt, 1984 : 246). Selain itu pula di suatu wilayah dan atau daerah tertentu dengan penduduk yang heterogen, ditemukan adanya kelompok orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan lainnya. Seperti gay gettos yaitu suatu daerah di Amerika Serikat yang sebagian besar penduduknya adalah kaum queer, baik gay, lesbian, dan waria. Kaum queer yang berada wilayah tersebut mengaplikasikan budaya masyarakat setempat dalam kehidupan sehari-hari yang di padukan dengan sub budaya mereka. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Paul dan Hunt (1984 : 72) bahwa kebudayaan khusus mempunyai arti yang sangat penting, karena setiap masyarakat yang kompleks terdiri dari kebudayaan yang memiliki inti unsur dan kompleks yang umum di tambah beberapa kebudayaan khusus. Ihromi ( 1999 : 21)

44

mengemukakan bahwa kajian terhadap sub-culture inilah yang menjadi pusat perhatian ilmu sosiologi. Perjuangan kaum queer untuk memperoleh status sosial yang sama seperti kaum heteroseksual, membutuhkan pengorbanan fisik dan mental yang cukup berat. Berbagai cara yang dilakukan oleh kaum queer guna untuk meminimalisir persoalan yang ada. Sebaliknya berbagai macam tantangan yang harus dihadapi-nya. Kondisi seperti ini tidak mengurangi semangat dan motivasi mereka dalam berjuang demi untuk memperoleh legalitas atas keberadaan mereka di masyarakat. Perlawanan kaum queer terhadap berbagai bentuk ketidakadilan sosial tersebut dilakukan baik secara sendirian, berkelompok dan atau secara kolektif. Perlawanan yang merupakan manifestasi dari bentuk protes kaum queer tersebut ditujukan pada masyarakat, institusi keagamaan, para elit, dan pemerintah. Tujuan perlawanan kaum queer tersebut dari waktu ke waktu hampir tidak jauh berbeda, yaitu untuk memperoleh keadilan yang sama seperti kaum heteroseksual dalam berbagai aspek kehidupan. Memang tidak semua perlawanan mencapai tujuan yang diinginkan. Ada yang berhasil da nada juga yang mengalami kegagalan. Kajian yang berkaitan dengan perjuangan kaum queer di Amerika Serikat adalah bagian yang tak terelakkan dari arena perjuangan antara moral dan politis. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh David P. McWhirter, dkk. bahwa sexual studies are ineluctably part of a larger arena of moral and politics struggle… (1990 : 180). Pihak mayoritas dalam hal ini kaum heteroseksual secara tidak langsung turut mempengaruhi aturan sosial, termasuk di dalamnya

45

mempengaruhi sektor publik. Bahkan sampai pada sektor pribadi yaitu orientasi seksual indvidu di masyarakat. 1.6.2 Teori Gerakan Sosial Dekade tahun 1960-an gerakan sosial dan protes politik sebagai pusat dari studi ilmu sejarah modern, politik, dan sosiologi. Para ahli di bidang ilmu sejarah, politik, dan sosiologi telah mengembangkan teori dan riset empiris terhadap aksi kolektif dan atau gerakan sosial. Tarrow (1996 : 11) mengemukakan bahwa para ahli yang pertama kali mengkaji teori gerakan sosial adalah Marx dan Engels. Kedua ahli sosilog tersebut tidak memikirkan persoalan apa yang membuat para individu terlibat dalam aksi kolektif. Marx dan Engles lebih memfokuskan perhatiannya pada masalah yang berkaitan dengan perkembangan struktural masyarakat dan bukannya sebagai masalah yang berkaitan dengan preferensi individual. Meskipun kedua sosiolog tersebut tidak banyak memberikan perhatian terhadap hubungan antara struktur sosial dan para individu. Akan tetapi Marx dan Engels mengemukakan bahwa aksi kolektif sebagai masalah yang berakar pada struktur sosial. Sementara Lenin dan Gramsci mengemukakan bahwa peluang politik, organisasi, dan budaya sangat berperan dalam menghadirkan aksi kolektif. Gerakan sosial dapat dikonsepsikan sebagai suatu bentuk respons yang dapat bersifat positif ataupun negatif dari para aktivis, baik yang terhimpun dalam suatu wadah organisasi atau pun tidak terhimpun dalam suatu organisasi tertentu dalam menyikapi dan mengkritisi berbagai kebijakan dan atau perubahan sosial yang terjadi di dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.

46

Para aktivis gerakan sosial berasal dari latar belakang pendidikan, suku, agama, dan budaya yang berbeda-beda antara anggota yang satu dan yang lainnya. Mereka memiliki rasa kebersamaan, solidaritas, tujuan, dan kepentingan yang sama, bersatu guna merealisasikan cita-cita perjuangan mereka. Selain itu mereka memiliki tekad dan keyakinan yang sama yaitu harus berjuang demi untuk menciptakan kehidupan yang layak bagi komunitas mereka. Tarrow (1994) mengemukakan bahwa teori gerakan sosial mulai berkembang dan atau dihidupkan kembali, baik di Amerika dan Eropa pada dekade tahun 1960-an. Saat itu para ahli yang berkecimpung dalam bidang ini menempatkan bidang gerakan sosial dan protes politik sebagai pusat dari studi sejarah modern, ilmu politik, dan sosiologi. Klandermans mengemukakan bahwa orang-orang yang bergabung dalam gerakan sosial bersifat aktif, mempunyai pengetahuan yang cukup, bertekad untuk mencapai perubahan sosial, dan mempunyai komitmen terhadap tujuan kolektif pergerakan mereka (Klandermans, 2005 : xvii). Meskipun kriteria seperti ini belum tentu dimiliki oleh semua anggota gerakan sosial. Akan tetapi rasa solidaritas yang cukup tinggi dari masing-masing anggota yang terhimpun dalam gerakan sosial merupakan salah satu faktor yang sangat penting. Selain itu Piven dan Cloward mengemukakan bahwa gerakan sosial memainkan peranan yang sangat penting dalam mengkonstruksi dan merekonstruksi keyakinan-keyakinan kolektif, mentransformasikan ketidakpuasan kedalam aksi kolektif, dan mempertahankan komitmen terhadap pergerakan (Piven dan Cloward, Klandermans, 2005 : xxviii).

47

Begitu pula hal nya dengan gerakan sosial kaum gay, yang mana aktivitas pergerakan mereka mem-booming saat terjadi tragedi “Stonewall Inn” di New York, Amerika Serikat. Mereka bersatu dalam suatu wadah organisasi guna merespons berbagai kebijakan pemerintah yang menjadikan mereka tertindas baik secara fisik maupun moral. Melalui organisasi pergerakan ini mereka berupaya mempengaruhi para elit, institusi keagamaan, dan pemerintah untuk meninjau kembali dan atau melakukan perubahan-perubahan terhadap berbagai kebijakan yang terlalu ketat yang ditujukan terhadap komunitas mereka. 1.6.2.1 Pengertian Gerakan Sosial Para ahli dibidang gerakan sosial mengemukakan berbagai konsep pemikiran tentang gerakan sosial, yang ditinjau dari sudut pandang disiplin ilmu masingmasing. Giddens mengemukakan bahwa gerakan sosial merupakan suatu upaya kolektif untuk mengejar kepentingan bersama. Atau dengan kata lain gerakan sosial merupakan suatu gerakan untuk mencapai tujuan bersama melalui collective action di luar lingkup lembaga-lembaga yang mapan (Giddens, 1993 dalam Fadhilah Putra dkk., 2006 : 1). Sementara David A. Locher dalam bukunya Collective Behavior mengemukakan bahwa social movement merupakan upaya sekelompok orang yang terhimpun dalam wadah organisasi sosial, yang mempunyai tujuan untuk menerima atau menolak perubahan sosial yang ada di masyarakat (Locher, 2002 : 231). Konsep-konsep pemikiran tentang gerakan sosial tersebut, tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan oleh John D. McCharty. McCharty mengemukakan bahwa social movement dapat dikatakan sebagai suatu gerakan

48

sosial yang senantiasa berpikir dan atau bertindak atas nama kelompok dan selalu bekerjasama dalam menghadapi setiap perubahan sosial (McCarthy, 1997 : 250). Selain itu Sidney Tarrow mendefinisikan gerakan sosial sebagai politik perlawanan yang terjadi ketika rakyat biasa bergabung dengan kelompok masyarakat yang lebih berpengaruh, menggalang kekuatan untuk melawan para elit, pemegang otoritas, dan pihak-pihak lawan lainnya, (Tarrow, 1998 : 2-5). 1.6.2.2 Perbedaan Gerakan Sosial Dan Aksi Kolektif Robert Brym membuat perbedaan antara social movement dengan collective action. Brym mengemukakan bahwa collective action merupakan tindakan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang secara bersama-sama melakukan atau melawan perubahan sosial, politik, dan ekonomi. Sedangkan social movement merupakan usaha untuk mengubah atau menolak sebagian atau keseluruhan tatanan sosial yang dilakukan secara terus-menerus dan terorganisasikan secara birokratis. Dengan demikian perubahan yang diharapkan terjadi melalui gerakan sosial, merupakan perjuangan yang berkesinambungan atau terjadi secara terus menerus dan terorganisasikan (Brym & John Lie, 2003). Pendapat yang hampir tidak jauh berbeda dikemukakan oleh Timur Mahardika. Mahardika membedakan gerakan sosial berdasarkan sifat dan tujuan gerakan. Tipe pertama menyatakan bahwa collective action muncul sebagai suatu reaksi spontan, tanpa diketahui penyebabnya, tidak terorganisasikan dan bertujuan untuk mempertahankan atau memperbaiki keadaan. Tipe kedua menyatakan social movement sebagai langkah terorganisasikan dengan tujuan, strategi dan cara-cara yang dirumuskan secara jelas, sadar, dan

49

didasarkan suatu analisis yang kuat. Pemaparan tersebut menunjukkan bahwa untuk dapat mencapai tujuan dan hasil yang maksimal, diperlukan langkah-langkah tertentu yang telah ditetapkan secara bersama-sama. Sekedar bereaksi terhadap suatu isu saja tidak cukup menggerakkan masyarakat untuk mengubah sebagian atau seluruh tatanan sosial (Mahardika, 2000). David A. Locher dalam hasil karya Collective Behavior yang dipublikasikan pada tahun 2002, juga membedakan antara collective action dan social movement. Locher mengatakan bahwa keberadaan collective action tidak terrorganisasikan dengan baik, tidak mempunyai perencanaan atau strategi yang baik, dan tidak dapat bertahan lama. Pemimpinnya pun bersifat tidak tetap, dalam arti terkadang ada dan sebentar lagi hilang. Akan tetapi social movement terorganisasikan dengan baik dan dapat bertahan lama. Para pemimpinnya pun membuat struktur organisasi, menyusun strategi, dan rencana kerja, sehingga setiap anggota memiliki tugas dan tanggungjawab masing-masing (Locher, 2002 : 233). 1.6.2.3 Jenis-jenis Gerakan Sosial Tipe dan atau jenis-jenis gerakan sosial berbeda-beda. Perbedaan antara gerakan sosial yang satu dan yang lainnya di dasarkan pada tujuan yang ingin di capai. David Aberle (1966 dalam Locher, 2002 : 234-238) menjelaskan bahwa secara umum gerakan sosial termasuk dalam salah satu kategori, yaitu : (1) Alternative Social Movement; (2) Redemptive Social Movement; (3) Reformative Social Movement; (4) dan Reformative atau Revolusioner Social Movement .

50

a) Gerakan Sosial Alternatif Para aktivis dan atau anggota organisasi yang termasuk dalam kategori alternative social movement memiliki tujuan untuk kepentingan-kepentingan khusus yaitu mengubah sikap dan perilaku tertentu dari suatu masyarakat. Atau dengan kata lain para aktivis berkeinginan untuk menciptakan perubahan pola pikir dalam bidang tertentu. Seperti organisasi DARE (Drug Abuse Resistance Education) dan SADA (Student Against Drugs and Alcohol) memiliki tujuan untuk menjaga pemudapemuda Amerika dari keterlibatan penggunaan alkohol dan obat-obatan terlarang. Organisasi DARE dan SADA tidak bermaksud untuk mengubah keyakinan dan atau keimanan seseorang, kebiasaan makan, dan atau praktek perawatan gigi. b) Gerakan Sosial Redemtif Para aktivis dan organisasi-organisasi yang termasuk dalam kategori gerakan sosial redemtif ingin menciptakan perubahan yang lebih dramatis, tetapi hanya dalam beberapa aspek kehidupan individu. Tujuannya adalah transformasi orangorang tertentu secara menyeluruh, akan tetapi target audiensinya sempit dan spesifik. Misalnya gerakan-gerakan agama yang secara aktif mencari pengikut, seperti Jehovah’s Witnesses, Christian Fundamentalist, dan Baptist Congregations. Kelompok-kelompok tersebut berkeinginan untuk mentransfor-masi kehidupan individuyang mereka “selamatkan” secara total, akan tetapi satu-satunya acara untuk “menyelamatkan” adalah mengikuti gerakan tersebut.

51

c) Gerakan Sosial Reformatif Gerakan sosial reformatif berkeinginan untuk mengubah suatu komunitas dan atau masyarakat secara menyeluruh, akan tetapi dengan cara yang terbatas. Selain itu pula tujuan dari para aktivis dan organisasi yang termasuk dalam kategori reformatif yaitu ingin mengubah sikap masyarakat tentang topik atau isu-isu tertentu. Atau dengan kata lain para aktivis dan orgainisasi yang termasuk dalam kategori ini tidak ingin merusak sistem pemerintahan yang ada, akan tetapi yang diinginkan adalah pemerintah mengadakan perubahan dengan cara-cara yang spesifik. Gerakan sosial reformatif adalah jenis gerakan sosial yang paling umum dilakukan oleh masyarakat Amerika. Gerakan sosial reformatif dapat bersikap reaksioner dan atau progresif. Gerakan reaksioner yaitu suatu gerakan yang bersifat menetang kemajuan dan atau kebijakan pemerintah yang sah. Gerakan reaksioner sering juga disebut sebagai “contermovement” oleh karena para aktivis biasanya terbentuk setelah gerakan progresif berhasil menciptakan perubahan di masyarakat. Contoh gerakan sosial reformatif progresif antara lain yaitu Suffrage Movement, the Civil Rights Movement, dan Feminist Movement. Gerakan-gerakan ini berkeinginan untuk melakukan perubahan dalam suatu bidang yang relative spesifik, seperti women’s right to vote; racial discrimination and segregation; gender discrimination. Selanjutnya contoh gerakan sosial reformatif reaksioner yaitu : The White Supremacy/White Separatist Movement; Anti-Feminist Movement; dan Militant Right-wing movements. Gerakan sosial reformatif reaksioner ini dibentuk guna memerangi gerakan sosial reformatif progresif. Tujuannya adalah

52

untuk mengembalikan kehidupan masyarakat ke tradisi sebelum terjadi perubahan yang dilakukan oleh gerakan sosial reformatif progresif. d) Gerakan Sosial Revolusioner Para aktivis dan organisasi-organisasi yang termasuk dalam kategori gerakan sosial revolusiner memiliki tujuan yaitu ingin merusak aturan-aturan sosial yang lama dan mengganti dengan aturan-aturan yang baru. Atau dengan kata lain tujuan dari gerakan sosial reformatif yaitu transformasi total di masyarakat. Selain itu mereka ingin merusak pemimpin pemerintahan yang ada dan menggantinya dengan pimpinan-pimpinan yang baru. Contohnya adalah Fidel Castro’s Socialist Movement di Cuba; The French anti-Monarchist Movement pada abad ke-19 di Prancis; dan The Communist Revolutions di Cina. Para aktivis gerakan sosial tersebut berhasil merusak sistem pemerintahan yang ada dan menggantinya dengan aturan sosial yang baru. 1.6.2.4 Gerakan Sosial Sebagai Proses Politik Studi tentang gerakan sosial telah lama berkembang dan bahkan para ahli yang mendalami bidang ini telah tersebar di dalam minat dan perspektif ilmu yang berbeda-beda. Salah seorang yang mengembangkan teori gerakan sosial (social movement), tindakan kolektif (collective action), dan politik adalah Sidney Tarrow. Ia lebih banyak memfokuskan kajianya terhadap berbagai aktivitas gerakan sosial yang berlangsung di Eropa dan Amerika pada abad ke-18 dan ke-19. Selain itu Tarrow meneliti tentang gerakan sosial, yang berlangsung di Italia pada tahun 1960an dan awal tahun 1970-an (Tarrow, 1998 : xiii).

53

Melalui hasil karyanya tersebut Tarrow mengemukakan bagaimana para aktor gerakan atau pelaku perubahan memanfaatkan berbagai rangsangan yang diciptakan oleh berbagai kesempatan politik, membangun jaringan sosial dan kerangka kultural dalam mengatasi berbagai kendala bagi tindakan-tindakan kolektif serta mendukung berbagai interaksi mereka dengan dengan lawan-lawan politik dan negara. Selain itu Tarrow mengkaji masalah yang berkaitan dengan dinamika dan perkembangan gerakan sosial yang dilakukan oleh para aktor dan atau pelaku perubahan sosial (Tarrow, 1994 : 1). Penelitian Tarrow menghasilkan empat konsep dasar pemikiran yang dapat digunakan untuk mengkaji masalah yang berkaitan dengan gerakan sosial, yaitu : pertama, struktur kesempatan atau peluang politik; kedua, bertindak atas nama kolektif; ketiga, membangun tindakan kolektif; dan keempat, yaitu mobilisasi. a) Memanfaatkan Peluang Politik Mekanisme ini berupaya menjelaskan adanya perbedaan pendapat atau pertentangan politik yang memberikan peluang dan kesempatan bagi para pemimpin organisasi untuk melakukan suatu gerakan. Dengan kata lain mekanisme ini berupaya untuk menjelaskan penyebab munculnya gerakan sosial karena adanya perubahan dalam struktur politik, yang dilihat sebagai suatu kesempatan (Tarrow, 1998 : 71-90; & Situmorang, 2007 : 3). Mekanisme tersebut dijabarkan kembali secara lebih spesifik oleh kedua ahli di bidang teori gerakan sosial yakni Tarrow dan McAdam. Mereka mengembangkan dan mengindentifikasi variabel-variabel tentang bagaimana munculnya sebuah gerakan sosial. Hasil pemikiran kedua ahli tersebut tentang penyebab munculnya

54

gerakan sosial, yaitu ketika (1) tingkat akses terhadap lembaga-lembaga politik mengalami keterbukaan; (2) situasi politik dalam kondisi yang tidak stabil; (3) para elite politik sedang mengalami konflik dan kondisi ini dipergunakan oleh para pelaku perubahan sebagai suatu kesempatan; (4) para pelaku perubahan diajak untuk bekerja sama oleh para elite yang berada dalam sistem untuk melakukan perubahan (McAdam, 1982; Tarrow, 1989a dalam Situmorang, 2007 : 4). Sehubungan dengan mekanisme tersebut Tarrow menambahkan bahwa ketegangan dan suhu politik akan semakin meningkat, pada saat para aktor atau pelaku perubahan mendapat dukungan sumber daya eksternal untuk keluar dari masalah yang dihadapinya untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan. Selain itu para pelaku perubahan memanfaat-kan kesempatan dan atau sumber daya eksternal yang ada, melalui terbukanya akses pada lembaga politik dan perpecahan yang terjadi di antara para elite politik (Tarrow, 1998 : 71- 90). Sebab itu dengan mengkomunikasikan informasi tentang keberadaan organisasi pergerakan, kondisi, dan isu yang diperdebatkan, gerakan ini dapat menciptakan kesempatan baik untuk pendukungnya sendiri maupun untuk orang lain. Selain itu tidak tertutup kemungkinan dengan cara seperti ini, mereka dapat membangun koalisi, menciptakan ruang politik bagi pertautan atau hubungan antara movements dan counter movements, menciptakan berbagai rangsangan bagi para elite untuk menanggapi dan sekaligus dapat menjembatani tuntutan atau perjuangan mereka pada para penentu kebijakan. Dengan kata lain secara politis para elite diharapkan dapat menjadi mediator bagi para pelaku pergerakan dalam menyampaikan aspirasinya kepada para penentu kebijakan (Tarrow, 1998 : 71-90).

55

b) Menyebarkan Ideologi Tindakan ini dilakukan dengan cara menentang pihak lawan atau elit melalui tindak

kekerasan;

membuat

kerusuhan

yang

mengakibatkan

mun-culnya

ketidakpastian dalam berbagai aspek; dan mengadakan aksi protes yang dilakukan secara konvensional yaitu : pemogokan dan demonstrasi. Tindakan ini tentunya dapat memberikan motivasi atau meningkatkan rasa solidaritas di antara mereka dalam melakukan aksi kolektif (Favre dalam Sidney Tarrow, 1998 : 100). c) Merencanakan Tindakan Kolektif Proses framing sangat berpengaruh terhadap kegagalan dan keberhasilan suatu gerakan sosial. David Snow dan Robert Benford mengemukakan bahwa mekanisme ini merupakan upaya strategis yang dilakukan oleh para pelaku perubahan untuk secara bersama-sama memahami berbagai permasalahan yang ada, dimulai dari skala yang terkecil sampai skala yang terbesar. Selain itu proses framing diharapkan dapat memberikan motivasi kepada para aktivis yang ada dalam kelompok tersebut (McCarthy dalam Smith dkk., 1997 : 244-245). Lebih lanjut lagi mereka mengemukakan bahwa suksesnya gerakan sosial terletak pada sampai seberapa jauh para pelaku perubahan dapat mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang ada. Sebab itu para pelaku perubahan mempunyai kewajiban untuk membuat framing tentang berbagai masalah, keluhan, dan ketidakadilan yang mengakibatkan munculnya gerakan tersebut. Selain itu Snow dan Benford mengemukakan dua komponen yang sangat penting dalam memuat framing, yaitu : (1) mengidentifikasi masalah dan sumbersumber masalah; (2) memprediksi dan sekaligus membuat strategi yang tepat, guna

56

untuk memper-juangkan masalah-masalah yang ada (Snow & Benford dalam Klandermans, Kriesi, Tarrow, 1988). Lebih lanjut lagi dapat dikemukakan bahwa untuk mensosialisasikan aspirasi para pelaku perubahan agar bisa sampai kepada kelompok sasaran, dibutuhkan sarana yang dapat menunjang aktivitas tersebut yaitu media. Melalui media cetak dan elektronik, misalnya : TV, radio, buku, majalah, surat kabar, dan pamflet para pelaku perubahan dapat menyuarakan atau menyalurkan aspirasi dan atau isu tentang permasalah-nya (Zald dalam McAdam, McCarthy, dan Zald, 1996 : 270). Selain itu Gamson mengemukakan bahwa wacana media adalah sumber informasi penting yang dapat diambil orang ketika mereka mencoba mencari penjelasan atas isu-isu yang sedang hangat-hangatnya dibicarakan (Gamson dalam Klandermans, 2005 : 15). Tentunya aspirasi para pelaku perubahan yang dipublikasikan melalui media tersebut, dapat melahirkan interpretasi yang berbedabeda dari masyarakat, tokoh agama, elite, dan pemerintah. Selain media cetak dan elektronik para aktivis atau pelaku perubahan mempergunakan warung kopi, cafe, restoran, dan ruang-ruang pertemuan lainnya sebagai tempat untuk melakukan debat pendapat, diskusi, dan seminar. Tentunya media dan atau sarana ini, baik secara langsung atau pun tidak langsung bermanfaat untuk mensosialisasikan aspirasinya sehingga masyarakat menjadi simpatik dan berkeinginan untuk terlibat dalam gerakan sosial tersebut (Zald dalam McAdam, McCarthy, dan Zald, 1996 : 270). Lebih lanjut lagi Tarrow mengemukakan bahwa mekanisme seperti ini dilaksanakan dengan melakukan floating cultural “budaya tandingan” melalui

57

penciptaan simbol-simbol kultural, mobilisasi konsensus, penyusun-an alat dan strategi gerakan (Tarrow, 1998 : 106-122). Dengan kata lain penggunaan media dan atau simbol-simbol visual tersebut dapat membantu para aktivis menciptakan dan membangun semangat identitas kolektif, mempelajari atau menyusun strategi dan langkah-langkah baru dalam melakukan aksi protesnya. d) Mobilisasi Jaringan Struktur mobilisasi merupakan salah satu strategi yang bermanfaat untuk mengatur dan mengarahkan pola pikir para pelaku perubahan dalam menciptakan aksi gerakan secara kolektif; melibatkan diri atau bergabung dalam kelompokkelompok; dapat bersosialisasi dan bekerja sama dengan kelompok-kelompok lain yang mempunyai tujuan yang sama serta memiliki rasa solidaritas yang cukup tinggi (McCarthy dalam Smith, Chatfield, dan Pagnucco, 1997 : 249). Selain itu para ahli lainnya, misalnya McAdam, McCarthy, dan Zald mendefinisikan struktur mobilisasi sebagai sarana kolektif baik formal maupun informal. Melalui sarana ini masyarakat memobilisasi dan berbaur dalam aksi bersama (McAdam, McCarthy, dan Zald, 1996 : 3). Selain itu ketiga pakar dalam teori gerakan sosial tersebut mengemukakan bahwa mekanisme ini mempunyai tujuan untuk mencari tempat-tempat yang strategis di dalam masyarakat untuk dapat dimobilisasi. Selain itu unit-unit keluarga, jaringan pertemanan, asosiasi tenaga sukarela, unit-unit tempat tempat kerja, dan elemen-elemen negara menjadi lokasi sosial bagi struktur mobilisasi mikro, (McCarthy dalam McAdam, McCarthy, dan Zald, 1996 : 141).

58

Lebih lanjut McAdam menambahkan bahwa melalui mobilisasi mikro hubungan formal dan informal yang terjalin di antara masyarakat dapat menjadi sumber solidaritas dan memfasilitasi struktur komunikasi pada saat para pelaku perubahan memilih dan mengidentifikasi kebijakan pemerintah secara bersamasama, (McAdam, McCarthy, dan Zald, 1996). Selain itu Tarrow menegaskan bahwa mobilisasi struktur antara lain dapat dilakukan dengan cara menciptakan organisasi yang fleksibel, me-lakukan berbagai kampanye dan koalisi, menciptakan dasar gerakan yang baru, dan menghubungkan rasa solidaritas pemimpin “tingkat tertinggi” dan pengikut “tingkat paling bawah”. Cara seperti ini tentunya dapat memberikan motivasi yang besar bagi para aktivis dalam merencanakan strategi dan sekaligus melancarkan tindakan kolektifnya, (Tarrow, 1998 : 123-128). Konsep berpikir Tarrow tersebut (1994) dapat digunakan untuk mengkaji dan atau menjelaskan berbagai strategi gerakan sosial kaum gay dan lesbian di Amerika Serikat. Penjelasan tentang strategi gerakan tersebut dapat disederhana-kan melalui table berikut ini.

59

Tabel 1.1 Karakteristik Strategi Politik Kaum Queer dalam Menggerakkan Kekuatan dan Gerakan Sosial Merujuk Pada Teori Sidney Tarrow tentang Kekuatan dari Gerakan. Karakteristik Kekuatan Gerakan

Variasi A

B

C

D

1. Memanfaatkan Peluang a) Membuat/memanfaatkan jaringan sosial --------b) Membangun Koalisi --------c) Menciptakan ruang politik bagi pertautan --------antar gerakan dan gerakan tandingan d) Menciptakan ransangan terhadap elit --------2. Bertindak Atas Nama Kolektif a) Menantang lawan/ Elit --------b) Penciptaan ketidakpastian --------c) Penciptaan solidaritas --------3. Merancang Tindakan Kolektif a) Menciptakan simbol kultural sebagai --------budaya tandingan b) Memobilisasi konsensus dan tindakan --------c) Perancangan media/opini --------d) Perancangan strategi gerakan --------4. Memobilisasi Struktur a) Menciptakan organisasi fleksibel --------b) Melakukan berbagai kampanye & koalisi --------c) Penciptaan berbagai dasar baru gerakan --------d) Menghubungkan tingkat tertinggi (elit) & --------paling bawah (masa) Sumber : Power in Movement : Social Movements, Collective Action, and Politics, Cambridge University Press, (Sidney Tarrow, 1994) Keterangan : Variasi A : Mattachine Society (MS) Variasi B : Daughter Of Bilities (DOB) Variasi C : Gay Liberation Front (GLF) Variasi D : Gay Activists Alliance (GAA)

60

1.6.2.5 Keberhasilan Gerakan Sosial Selanjutnya keberhasilan gerakan sosial dapat diamati melalui pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditetapkan secara bersama oleh para aktivis melalui organisasi pergerakan. Terkait dengan hal ini oleh Locher (2002 : 270) mengemukakan bahwa keberhasilan gerakan dapat diukur dengan makna perubahan yang terjadi. Misalnya : perubahan kebijakan, sikap-sikap dimodifikasi, dan bahkan undang-undang ditinjau kembali. Lebih lanjut Locher (2002 : 271-272) mengemukakan ciri-ciri gerakan sosial yang berhasil, seperti berikut ini. a) Kepemimpinan Efektif Salah satu faktor penentu keberhasilan organisasi adalah kepemimpinan yang efektif. Hal ini ditandai dengan kemampuan pemimpin organisasi memahami sistem politik dan hukum; memiliki kemampuan berbicara yang baik; fokus dengan tugas-tugas yang diembannya untuk mencapai tujuan kelompok; dan memiliki kemampuan sebagai motivator serta inspirator, khususnya terhadap para anggotanya. Agar supaya aktivitas atau pun program kerja organisasi dapat berjalan secara optimal. b) Citra Citra publik adalah masalah yang penting dalam gerakan sosial. Sebab itu penerimaan dan penghargaan dari para anggota serta kalangan masyarakat menunjukkan bahwa gerakan sosial tersebut memiliki citra positif. Cara untuk meraih penghargaan tersebut, antara lain yaitu melakukan manajemen organisasi yang baik. Agar supaya kalangan masyarakat, para politisi, dan para penentu

61

kebijakan percaya bahwa para aktivis gerakan itu adalah orang-orang yang dapat dipercaya. Atau dengan kata lain citra umum kelompok dan pemimpin mereka harus baik agar memperoleh simpati dari masyarakat. c) Taktik Gerakan sosial yang berhasil harus menggunakan taktik-taktik yang diterima oleh masyarakat agar dapat mempertahankan citra positifnya untuk mencapai tujuan kolektif. Selain itu pula taktik yang digunakan benar-benar harus dipertimbangkan dengan baik. Sehingga citra dan kehormatan publik terhadap gerakan sosial tersebut dapat dipertahankan dengan baik. d) Tujuan Gerakan sosial yang berhasil mampu meyakinkan kalangan masyarakat bahwa tujuan pergerakan mereka masuk akal, menyesuaikan dengan kepercayaan dan nilai-nilai Amerika serta tidak menimbulkan dampak buruk bagi yang lain. Selain itu pula gerakan sosial yang berhasil mempunyai tujuan jangka panjang dan jangka pendek. Tujuan-tujuan tersebut disesuaikan dengan ideologi sosial yang mereka perjuangkan. e) Dukungan politik dan Finansial. Keberhasilan gerakan sosial juga ditentukan oleh dukungan politik dan finansial dari kelompok, organisasi, dan lembaga-lembaga lainnya. Atau dengan kata lain jika gerakan sosial mempunyai citra publik yang positif dan pemimpin yang efektif, dukung dari berbagai pihak relatif dengan mudah dapat diraih. Selain itu pula keberhasilan gerakan sosial ditentukan oleh profesionalitas pengurus inti organisasi dalam mengelola keuangan dan administrasi keuangan.

62

1.7 Metode Penelitian Penelitian ini mengkaji tentang latar belakang, strategi, proses, dan makna yang terdapat dibalik perjuangan kaum queer, yaitu gay dan lesbian di Amerika Serikat. Aspek utama yang dikaji dalam penelitian ini yaitu tentang dinamika kehidupan kaum queer, yaitu gay dan lesbian serta eksistensi organisasi mereka. Dengan demikian obyek material penelitian ini adalah organisasi-organisasi kaum gay dan lesbian yaitu Mattachine Society, Daughters of Bilitis, Gay Liberation Front, dan Gay Activists Alliance di Amerika Serikat. Organisasi-organisasi tersebut berfungsi sebagai sarana bagi para kaum queer untuk melakukan berbagai aktivitas dibidang sosial politik. Aspek penting lainnya yang dikaji dalam penelitian ini yaitu bagaimana keberadaan anggota dan pemimpin, ideologi, strategi menebarkan ideologi dari masing-masing organisasi mereka yaitu Mattachine Society, Daughters of Bilitis, Gay Liberation Front, serta Gay Activists Alliance. Teori dan konsep-konsep yang digunakan untuk menganalis masalah ini disusun berdasarkan perspektif American Studies sebagai obyek formal dalam penelitian ini. Aspek-aspek ini dipelajari dan dipahami secara menyeluruh untuk menemukan persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan yang terdapat pada masing-masing organisasi kaum gay dan lesbian di Amerika Serikat. Kemudian dilakukan analisis dan interpretasi terhadap penyebab terjadinya persamaanpersamaan dan perbedaan-perbedaan di antara organisasi-organisasi kaum gay dan lesbian tersebut. Bahkan makna yang diraih oleh masing-masing organisasi kaum

63

gay dan lesbian melalui aktivitas mereka dibidang sosial politik juga dapat ditelusuri dan diungkapkan secara optimal. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Oleh karena data-data yang disajikan pada penelitian ini diuraikan dalam bentuk teks dan disertai foto, serta gambar yang ada relevansinya dengan topik permasalahan yang dikaji. Penggunaan metode kualitatif pada kajian ini merujuk pada definisi yang dikemukakan oleh Creswell (2009 : 258) bahwa metode kualitatif mengandalkan data berupa teks dan gambar. Pertimbangan lainnya merujuk pada pendapat yang dikemukakan oleh Bogdan dan Tylor (1975 : 5) bahwa jenis penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati secara holistik atau utuh serta menyeluruh. Prosedur penelitian seperti ini dijelaskan pula oleh Soedarsono dalam buku “Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa”. Menurut Soedarsono sebuah data yang digunakan dalam penelitian kualitatif dianggap sebagai sebuah totalitas (1999 : 34). Dengan demikian kajian ini termasuk dalam jenis penelitian kualitatif. Oleh karena hasil penelitian ini berbentuk deskripsi-deskripsi yang berdasarkan pada analisis dan interpretasi dari data-data dalam bentuk teks dan gambar yang terkait dengan perjuangan sosial politik kaum gay dan lesbian di Amerika Serikat. Selain itu karakteristik data-data yang disajikan pada penelitian ini juga dilakukan yaitu : (1) pada kondisi yang alamiah (natural setting, langsung ke sumber data dan peneliti berfungsi sebagai instrumen kunci; (2) bersifat deskriptif dan data yang diperoleh

64

berbentuk kata-kata atau pun gambar; (3) menekankan pada proses daripada hasil; (4) melakukan analisis data secara induktif; (5) menekankan makna yang diamati melalui data-data yang diperoleh (Bogdan dan Biklen, 1983 : 27-30; Lincoln dan Guba, 1985 : 39-44; Maleong, 2004: 4; Sugiyono 2005: 9; Hendarso, 2005 : 166; dan Creswell, 2009 : 258-263). Penelitian

ini

menggunakan

pendekatan

fenomenologis.

Penerapan

pendekatan fenomenologi pada kajian ini didasarkan pada fokus utama yang dikaji yaitu tentang fenomena kehidupan kaum qeer yaitu gay dan lesbian di Amerika Serikat. Atau dengan kata lain kajian ini berupaya memahami dan bahkan mengidentifikasi hakikat daripada kehidupan kaum queer yaitu gay dan lesbian dalam masyarakat dan budaya di Amerika Serikat. Selain itu posisi dan peran seorang peneliti dalam strategi penelitian ini sangat penting. Sebab peneliti harus bersikap objektif dalam memahami objek yang diteliti. Pertimbangan penerapan strategi penelitian ini merujuk pada definisi yang dikemukakan oleh Creswell (2013 : 20-21) bahwa fenomenologi merupakan strategi penelitian dimana di dalamnya peneliti mengidentifikasi hakikat pengalaman manusia tentang suatu fenomena tertentu. Memahami pengalaman-pengalaman hidup manusia menjadikan filsafat fenomologi sebagai suatu metode penelitian yang prosedur-prosedurnya mengharuskan peneliti untuk mengkaji sejumlah subjek dengant erlibat langsung dan relatif lama di dalamnya untuk mengembangkan polapola dan relasi makna. Selain itu Nieswiadomy (1993 dalam Creswell 2013 : 21) mengatakan bahwa pada proses ini peneliti mengesampingkan terlebih dahulu

65

pengalaman-pengalaman

pribadi.

Agar

supaya

peneliti

dapat

memahami

pengalaman-pengalaman pribadi partisipan yang diteliti secara objektif. 1.7.1 Metode Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data teks berupa dokumen-dokumen sejarah munculnya organisasi kaum queer dan biografi para aktivis organisasi kaum queer. Data-data tersebut dikategorikan sebagai data primer, yang mana diperoleh dari buku Gay Life and Culture : A World History yang disusun oleh Robert Aldrich; We Are Everywhere : A Historical Sourcebook of Gay and Lesbian Politic yang disusun oleh Mark Blasius & Shane Phelan; Gay American History : Lesbians And Gay Man In The U.S.A yang disusun oleh Jonathan Ned. Katz; The Gay and Lesbian Liberation Movement yang disusun oleh Margaret Cruikshank; The Politics of Homosexuality yang disusun oleh Toby Marotta; Looking at Gay and Lesbian Life yang disusun oleh Warren J. Blumenfeld & Diane Raymond; A History of The Daughters of Bilitis And The Rise of The Lesbian Rights Movemen yang disusun oleh Marcia M. Gallo; dan Gay and Lesbian Rights : Contemporary World Issues yang disusun oleh David E. Newton. Data-data teks lainnya diperoleh melalui buku, jurnal, koran, majalah, dan film yang ada kaitannya dengan topik permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini. Misalnya : Jurnal Srinthil Media Perempuan Multikultural ; Jurnal Studi Gender dan Islam; Majalah Tempo; film dokumenter “The Question of Equality”; film Wilde; Boys Don’t Cry; film Philadelphia. Sementara data visual berupa foto-foto dan gambar yang ada kaitannya dengan aspek-aspek yang dikaji dalam penelitian ini diperoleh melalui internet, dokumen pribadi, dan buku-buku yaitu The Question of

66

Equality : Lesbian & Gay Politics in America Since Stonewall yang disusun oleh David Deitcher; Gay Pride : Photographs From Stonewall To Today yang disusun oleh Fred W. McDarrah & Timothy S. McDarrah. Prosedur pengumpulan data teks dan foto yang disajikan dalam penelitian ini menggunakan strategi-strategi yang diperkenalkan oleh Creswell (2013 : 266-267), yaitu pertama disebut observasi kualitatif. Pada tahap ini peneliti melakukan observasi dan verifikasi data yang terkait dengan kehidupan sosial budaya kaum gay dan lesbian. Observasi dan verfikasi data-data tersebut dilakukan secara langsung di lapangan. Terkait dengan hal ini peneliti mengunjungi beberapa tempat yang menjadi pusat berkembangnya subkultur kaum gay dan lesbian. , yaitu bar dan toko buku yang berada di Braun Court, Ann Arbor - MI 48104 (USA). Selain itu peneliti juga melakukan pengamatan ke Wilde Bookstore dan bar Stonewall Inn yang berada di Greenwhich Village New York – Amerika Serikat. Bahkan peneliti mengikuti salah satu perkuliahan (sit in class) yang materi kuliahnya terkait dengan Lesbian, Gay, Bisexual and Transgender atau disingkat LGBT di University of Michigan – Amerika Serikat pada awal tahun 2009. Pengamatan langsung ke tempat-tempat berkembangnya subkultur kaum gay dan lesbian tersebut membantu peneliti memahami dan mempelajari kehidup-an kaum gay dan lesbian dalam masyarakat dan budaya di Amerika Serikat. Kedua disebut wawancara kualitatif. Pada saat melakukan observasi langsung dilapangan peneliti melakukan wawancara dengan pengunjung, pemilik dan pelayan toko buku. Wawancara ini dilakukan secara informal dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sederhana, umum dan tidak terstruktur.

67

Tujuannya adalah untuk memper-oleh informasi tentang pandangan mereka atas keberadaan kaum gay dan lesbian serta sub-kultur yang berkembang di sekitar Ann Arbor, Michigan – Amerika Serikat. Ketiga disebut dokumentasi kualitatif. Pada tahap ini peneliti melakukan pengumpulan data-data melalui perpustakaan. Pengumpulan data seperti ini dikenal dengan studi kepustakaan. Data-data yang diperlukan tersebut diperoleh melalui buku-buku dan dokumen publik, antara lain seperti artikel-artikel yang dipublikasikan melalui jurnal, koran, dan majalah ilmiah. Sebagian besar data-data yang berupa dokumen-dokumen sejarah organisasi kaum queer tersebut diperoleh dari Labadie Collection – University of Michigan -Amerika Serikat. Sedangkan data-data lainnya diperoleh melalui perpustakaan yang berada di lingkungan Universitas Gadjah Mada – Yogyakarta; Studi Pengkajian Amerika Universitas Indonesia - Jakarta, perpustakaan American Corner Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Keempat adalah penelusuran data visual. Data-data visual berupa foto dan gambar yang ada kaitannya dengan topik yang dikaji diperoleh melalui buku-buku dan majalah. Selain itu peneliti melakukan observasi langsung ke tempat-tempat yang menjadi pusat berkembangnya subkultur kaum gay dan lesbian, antara lain yaitu bar Stonewall Inn dan Christopher Park di Greenwhich Village – New York, Amerika Serikat. Pada tahap ini peneliti ikut berbaur dengan mereka sambil melakukan pengamatan terhadap berbagai aktivitas sosial yang terjadi di antara sesama mereka saat itu. Tujuannya adalah untuk melakukan verifikasi data yang diperoleh melalui buku, majalah, dan film.

68

Secara keseluruhan dapat dikemukakan bahwa data-data yang diperoleh melalui buku, artikel-artikel yang diterbitkan melalui jurnal, majalah dan koran, seperti biografi para tokoh organisasi pergerakan kaum gay dan lesbian dapat dikategorikan sebagai data yang tertulis. Sedangkan film, foto-foto, dan gambargambar yang ada kaitannya dengan topik permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini dikategorikan sebagai data yang tidak tertulis. Pilihan penggunaan film dalam penelitian ini adalah sebagai mental evidence untuk menjelaskan fenomena kehidupan sosial budaya kaum gay dan lesbian di Amerika Serikat. Selain itu pula film merupakan sebuah kebudayaan populer, yang dapat digunakan untuk melihat gambaran mengenai nilai-nilai kehidupan sosial budaya suatu masyarakat tertentu. Film-film yang merefleksikan dinamika kehidupan kaum gay dan lesbian dalam masyarakat dan budaya di Amerika Serikat, tentunya sangat dibutuhkan guna untuk memahami dan mengungkapkan permasalahan yang ada dalam penelitian ini. Penggunaan foto-foto dan atau gambar-gambar yang ada kaitannya dengan topik permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini, bermanfaat untuk menelaah segi-segi subyektif dan hasilnya akan dianalisis secara induktif. Dengan demikian data yang dilengkapi atau didukung oleh foto-foto dan gambar-gambar dapat memberikan penjelasan yang lebih terinci serta akurat. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Soedarsono (1999 : 154) bahwa melalui foto, rekaman suara, film atau pun video, peneliti akan mendapatkan informasi-informasi dan datadata yang sangat berharga”.

69

1.7.2 Metode Analisis Data Menurut Patton (1980 : 268) analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar. Patton membedakannya dengan penafsiran, yaitu memberikan arti yang signifikan terhadap analisis, menjelaskan pola uraian, dan mencari hubungan di antara dimensi-dimensi uraian. Pernyataan tersebut di atas sesuai dengan konsep pemikiran Bogdan dan Taylor (1975 : 79) bahwa analisis data adalah suatu proses yang merinci usaha secara formal untuk menemukan tema dan merumuskan hipotesisi atau ide seperti yang disarankan oleh data serta sebagai usaha untuk memberikan bantuan pada tema serta hipotesis itu. Sehingga pendapat para ahli ini memberikan pemahaman bahwa analisis

data

merupakan

suatu

proses

penyusunan,

pengorganisasi

dan

pengelompokan data-data secara sistematis untuk menemukan ide-ide yang disesuaikan dengan data-data yang ada. selain itu pula Creswell (2013 : 274) mengemukakan bahwa secara keseluruhan proses analisis data adalah usaha memaknai data, baik berupa teks atau pun gambar. Data-data tersebut pada dasarnya bisa dianalisis dengan cara yang berbeda-beda, memperdalam pemahaman akan data tersebut, menyajikan data, dan membuat interpretasi makna yang lebih luas akan data tersebut. Analisis data kualitatif bisa dilakukan secara serentak dan bersama-sama pada saat dimulainya proses pengumpulan data, interpretasi, dan pelaporan hasil. Sebab itu khusus untuk kajian ini peneliti mengacu pada proses analisis data yang dikemukakan oleh Creswell, yang langkah-langkahnya yaitu : pertama,

70

mempersiapkan dan mengolah data teks untuk dianalisis; kedua, membaca keseluruhan data; ketiga, menganalisis lebih detail dengan meng-coding data; keempat, menerapkan proses coding untuk mendeskripsikan setting, orang-orang, kategori-kategori, dan tema-tema yang akan dianalisis; kelima, menentukan deskripsi dan tema yang akan disajikan dalam penelitian ini; dan keenam, melakukan interpretasi terhadap temuan-temuan dalam penelitian ini.