BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang Pertunjukan wayang kulit hingga sekarang tetap populer serta sering dipergelarkan. Wayang kulit merupakan seni pertunjukan tertua di Jawa, yang sudah digelarkan selama lebih dari ribuan tahun. Selama masa tersebut, pertunjukan wayang berubah sesuai dengan zaman dan kebutuhan masyarakat serta sampai sekarang pertunjukan wayang masih mempunyai fungsi dalam masyarakat dan pendukungnya. Fungsi tertua yang paling mungkin adalah ritual, wayang dapat digelarkan untuk mengakhiri untuk upacara ritual seperti bersih desa, perkawinan bahkan bisa dipakai dalam ritual ruwatan sukerta. Di samping fungsi religi, pertunjukan wayang juga menjadi hiburan sosial; di tempat pertunjukan masyarakat bertemu, makan dan nonton bersama. Selain itu, wayang juga menjadi sarana pendidikan dan penerangan; seperti pembelajaran tentang moral dari kisah wayang, serta aspek estetis dan aspek ekonomi dalam pertunjukannya.1 Pertunjukan Wayang dilakukan oleh seorang dalang, yang menggerakkan boneka wayang didepan layar putih (kelir) yang diterangi oleh lampu minyak (blencong). Pertunjukan biasanya dimulai paling cepat dari pukul 8 malam dan berakhir kurang lebih pukul 4.30 pagi. Dalang akan bermain terus menerus,
1
Soetarno, Wayang Kulit: Perubahan Makna Ritual dan Hiburan (Surakarta: STSI Press, 2004), hal.155-166
1
berdialog
antar
karakter,
bernyanyi
di
beberapa
bagian
pertunjukan,
memindahkan boneka wayang dengan cepat ketika dalam adegan berperang dan diselipkan adegan humor diantara adegan serius. Selama proses ini dalang dibantu oleh sekelompok penyanyi perempuan (sindhen) dan gamelan. Asal-usul wayang terus menjadi topik perdebatan sampai sekarang. Pada dasarnya ada beberapa orang yang meyakini bahwa wayang berasal berasal dari India, seperti Brandes dan Holt, hal ini didasarkan pada repertoar dan penyebaran wayang di daerah yang berada di bawah pengaruh Hindu-Budha. Sudut pandang ini ditentang oleh orang-orang seperti Hazeu atau Brandon, yang
menganggap
wayang
menjadi
bagian
dari
budaya
Jawa
murni,
berdasarkan terminologi untuk peralatan dan teknik pertunjukan yang memiliki asal budaya Jawa.2 Saat ini ada beberapa jenis wayang; yang paling terkenal dan kemungkinan yang tertua adalah wayang kulit yang dimainkan pada layar dengan boneka yang terbuat dari kulit kerbau serta ditatah dan disungging, dan bayangan dari boneka wayang akan berpendar di kelir, akibat pencahayaan dari kelir. Istilah dalam wayang, pada masa sekarang, tidak hanya digunakan untuk wayang kulit, tapi digunakan untuk beberapa seni pertunjukan lain di Indonesia, di samping wayang kulit yang dimainkan dengan wayang kulit di depan layar putih, ada antara lain wayang golek yang dimainkan dengan boneka kayu terdiri dari kepala, badan, tangan dan tongkat, yang diberikan hiasan dan
2
James R. Brandon, On Thrones of Gold; Three Javanese shadow plays. (Cambridge: Harvard University Press, 1967), hal. 4
2
baju. 3 Ada wayang golek purwa, dan juga wayang golek menak, gedhog dan babad.4 Di samping wayang golek juga terdapat wayang topeng yang dimainkan oleh manusia memakai topeng. Selain ini juga ada wayang klitik, wayang dengan bentuk yang mirip wayang kulit, tetapi seluruh badannya (kecuali tangannya) dibuat dari kayu. Wayang ini dimainkan siang hari tanpa kelir, tetapi saat ini sudah jarang dimainkan. Selanjutnya juga ada wayang beber, yang berbentuk gulungan gambar yang digantung dan dalang akan membuka gulungan tersebut untuk memulai cerita. 5 Semua hal yang disebutkan di atas disebut wayang, namun wayang tidak mencakup semua seni pertunjukan Jawa; teater Jawa disebut
kethoprak
tidak
diklasifikasikan
dalam
wayang.
Walter
Angst
menjelaskan hal ini dengan wayang yang merupakan istilah untuk seni pertunjukan yang awalnya berkembang dari wayang kulit atau beber.6 Hal ini menjelaskan
penggunaan
media
yang
berbeda
untuk
wayang.Wayang
dimungkinkan dipengaruhi oleh repertoar India dan oleh India wayang kulit, namun itu sendiri adalah sebuah kesenian Jawa murni. Kata wayang berasal dari kata wewayangan, yang berarti bayangan dan mengacu pada bayangan boneka dilemparkan pada layar. Sumber pertama wayang, sebagai repertoar serta mediumnya itu sendiri, muncul pada sekitar abad ke-10 hingga abad ke-11. Pada masa tersebut,
Soetarno dan Sarwanto, Wayang Kulit dan perkembangannya. (Surakarta: ISI Press, 2010), hal. 132 4 Wayang menak merupakan cerita tentang paman Nabi Muhammad, wayang gedog merupakan cerita tentang Panji dan Damarwulan. Soetarno, 2010, hal. 131-146 5 Soetarno dan Sarwanto, 2010, hal. 155-188 6 Walter Angst, Wayang Indonesia: Die Phantastische Welt des Indonesischen Figurentheaters (Stadler, Konstanz, 2007), hal. 35 3
3
kerajaan utama pindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur dan dalam periode ini perkembangan baru dan gaya seni bermunculan. Beberapa kerajaan yang paling terkenal adalah kerajaan Kediri, Singasari dan Majapahit. Pada masa ini juga merupakan periode pergolakan peperangan antar kerajaan. Perkembangan ini juga memiliki konsekuensi bagi perkembangan wayang. Dalam periode literatur kebudayaan Jawa tua, kawi, mulai dibuat di istana (kraton) dan ditulis pada naskah daun palem. Pada literatur ini, kakawin, seharusnya memiliki pengaruh yang besar pada seni lain juga. Kedua terjemahan
tersebut
diterjemahkan
dalam
teks
Sansekerta,
seperti
Mahabharata dan Ramayana, serta sastra baru yang dibuat di istana (kraton). Prosa yang berasal dari Ramayana dan Mahabharata ditulis oleh penulis seperti Empu Tantular, Empu Panuluh, Empu Sendok, Empu Sedah dan Empu Kanwa. Di antara cerita-cerita ini adalah Arjunawiwaha, atau pernikahan Arjuna yang masih dimainkan sebagai wayang lakon hari ini.7 Di samping cerita-cerita ini berasal dari teks-teks Sansekerta, yang digunakan dalam wayang purwa, prosa juga diciptakan untuk menjadi bagian dari wayang madya (tengah), seperti siklus Pandji yang menceritakan tentang kisah-kisah tentang pangeran Panji yang legendaris. Naskah-naskah tertulis pertama kali pada medium wayang muncul pada abad ke-11 di kerajaan Jawa Timur. Dalam salah satu naskah adalah seni pertunjukan yang disebutkan dimana seorang pria menceritakan sebuah cerita
7
Soekarman, S.M., L'évolution du wayang Indonésien en temps que patrimoine culturel humaniste : l'Unesco, Paris, 19-30 Avril 2004, catalogue exposition de figurines wayang Indonesia.( Jakarta: Ministry of Culture and Tourism, 2004), hal. 5
4
sambil memanipulasi boneka sebelum ditampilkan di belakang layar panggung,8 yang bentuknya telah seperti wayang kulit. Asal-usul wayang beber juga diulas pada abad yang sama, yang terdiri dari gulungan kertas berisi gambar dicat cerita wayang. Dipercaya bahwa dalang akan tampil menggunakan gulungan ini sebagai ilustrasi ceritanya, 9 dan sesekali wayang beber juga diulas sebelum wayang kulit, tapi hal itu pastinya hanya memiliki popularitas tertentu di usia ini. Bentuk lain wayang yang menikmati popularitas di zaman tersebut adalah topeng wayang, sebanding dengan teater yang dilakukan oleh orang-orang menggunakan topeng. Meskipun sudah ada naskah pada pertunjukan wayang dari periode ini, tetapi tidak ada boneka asli dari periode ini diketahui tetap bertahan. Hal tersebut dimungkinkan oleh sifat alami yang mudah rusak dari medium boneka itu sendiri. Namun, ada beberapa teori tentang bentuk boneka wayang tampak mirip satu sama lain, dimana pendapat ini sebagian besar didasarkan pada relief candi-candi di Jawa Timur pada periode yang sama.10 Bosch, seorang peneliti yang membandingkan relief dengan teks, menyimpulkan bahwa kisah-kisah ini tidak mengikuti epos India atau Jawa tetapi episode dramatisasi dari cerita wayang itu sendiri. Kemudian di lain tempat pada relief di Jawa Tengah, angka-angka pada relief ini tampaknya lebih datar dan berartistik dan bentuknya mempunyai beberapa kesamaan gaya dengan wayang Bali. Bahkan relief pada dinding candi menggambarkan cerita kadang-kadang disebut sebagai wayang candi. Oleh karena itu pendapat umum
Brandon, 1967, hal. 4 Soekarman, 2004, hal. 6 10 Brandon, 1967, hal. 5 8 9
5
menyimpulkan bahwa wayang Jawa awal mirip dengan wayang Bali, namun wayang Jawa terus mengembangkan gaya sendiri bertentangan dengan wayang Bali yang bentuknya kurang lebih tetap sama. Sumber-sumber mengenai teater wayang dari abad ke-15 sampai akhir abad ke-18 sangat langka, hal ini dikarenakan terjadinya beberapa pergeseran kekuatan terjadi di Jawa. Meskipun demikian masih tampak jelas bahwa wayang ditampilkan pada periode ini karena terdapat beberapa referensi tentang dalang dalam teks-teks naskah. Pertunjukan wayang dilakukan baik di desadesa seperti juga digelar di istana (kraton). Di samping pergeseran kekuasaan politik, agama baru juga timbul dan menjadi terkenal saat itu. Meskipun pemakaman muslim sejak abad ke-11 telah ditemukan di Jawa, namun Islam sebagai agama baru pada abad ke-16 menyebar luas di masyarakat Jawa yang beragama Hindu-Buddha. Islam diyakini menyebabkan perubahan gaya wayang kulit. Mengacu pada banyak teks tentang wayang, perubahan spesifik dibuat dalam bentuk gaya dari wayang dan diprakarsai oleh penguasa muslim atau orang lain yang penting dalam Islam,
11
seperti perubahan bentuk yang
dikaitkan dengan Sunan Kalijaga. Dikatakan bahwa Sunan Kalijaga mengubah bentuk wayang karena praktek membuat sesuatu yang mirip dengan makhluk hidup seharusnya dilarang dalam Islam, Sunan Kalijaga dikatakan telah mendesain ulang wayang Jawa agar terlihat kurang realistis dan dengan
11
Jan Mrazek, Phenomenology of a Puppet Theatre: Contemplations on the Art of Javanese Wayang Kulit (Leiden: KITLV, 2005), hal. 32-33
6
demikian memperoleh bentuk tertentu seperti bentuk wayang yang dikenal pada masa sekarang. 12 Sampai sekarang belum terdapat bukti historis tentang hal tersebut, dan dari caranya terdistorsi tidak seperti bentuk distorsi seni Islam lainnya, tetapi alasan lebih logis adalah bahwa distorsi pada bentuk wayang mempunyai fungsi lain, seperti membuat bentuk wayang yang jika dilihat dari jauh masih jelas kelihatan dan ini perkembangan yang terjadi dalam waktu lebih panjang. Perkembangan lain dalam wayang juga telah dikaitkan dengan penguasa muslim saat itu, seperti menentukan urutan wayang diantara benda lainnya. Keakuratan informasi di dalam naskah tersebut bagaimanapun juga masih dipertanyakan. Hal ini juga mengejutkan bahwa dengan asumsi pengaruh dari para pemimpin Islam, serta meskipun wayang menak yang menceritakan kisah tentang pahlawan Islam Amir Hamzah diperkenalkan, namun tidak ada karakter Islam diperkenalkan dalam repertoar wayang yang sudah baku. Namun, beberapa bagian dari pemikiran Islam diadopsi dalam wayang, meskipun hal ini belum diteliti secara menyeluruh. Salah satu contoh dari abad ke-18 adalah membuat silsilah tokoh-tokoh wayang yang mengacu kepada nabi Adam, dan cerita yang diadaptasi beberapa pemikir Islam, atau memberi dewadewa India penutup kepala bergaya Persia. 13 Di samping itu, tidak ada diskontinuitas antara wayang dan profesi Islam dan beberapa ide Islam
12 13
Jan Mrazek, Phenomenology of a Puppet Theatre: Contemplations on the Art of Javanese Wayang Kulit (Leiden: KITLV, 2005), hal. 32-33 Laurie Jo Sears, Shadows of Empire: Colonial Discourse and Javanese Tales (London: Duke University Press, 1996), hal. 47-49
7
diterapkan dalam cerita. Namun, ketika Belanda pada abad kesembilan belas mulai meneliti wayang, fokus mereka merujuk kepada asal wayang dan karena pengaruh yang lebih Hindu-Jawa yang mendahului pengaruh Islam dalam pewayangan. Pada abad ke-17 pusat-pusat kekuasaan kembali pindah ke Jawa Tengah. Di daerah ini sebuah kerajaan baru menjadi terkenal, yaitu kerajaan Mataram yang berlangsung dari abad ke-17 sampai abad ke-18. Meskipun ada beberapa gaya wayang dari daerah yang berbeda juga, seperti Cirebon, Jawa Timur dan Madura, namun gaya paling populer dari wayang, yaitu dari Surakarta dan Yogyakarta, berasal dari daerah ini. Abad ke-17 menjadi saksi banyaknya turbulensi pada era Sultan Agung, yang memerintah dari 1613-1646, yang berjuang untuk menjaga Mataram sebagai kesatuan dengan melawan para pemimpin regional. Selain itu, Perusahaan India Timur Belanda, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), juga memperoleh kekuasaan selama abad ini yang membuat penerus Sultan Agung tidak berkutik, sehingga menjadi Susuhunan Pakubuwana II akhirnya menyerahkan seluruh kerajaan untuk VOC pada tahun 1749, yang kemudian dilanjutkan untuk mengangkat putra sultan terakhir sebagai sultan baru Mataram. Banyak informasi tentang wayang masih belum tersedia dari periode ini, tetapi dalam sumber yang ada telah bisa dilihat beberapa perkembangan dasar. Pada saat ini wayang beber serta wayang topeng menjadi kurang populer dan wayang kulit menjadi terkenal. 14 Pada masa pemerintahan Sultan Agung,
14
Brandon, 1967, hal. 5
8
terdapat dua dalang yang dikatakan sangat berpengaruh, yaitu; Kyai Panjang Mas dan Nyi Mas Panjang, yang menjadi dalang abdhi dalem di Kraton Mataram. Pembangunan formal lainnya juga diperkenalkan sekitar tahun 1630, ketika boneka wayang dikatakan mendapatkan lengan yang dapat digerakkan. Hal ini memberikan lebih banyak kesempatan untuk berekspresi dan adegan berkelahi. Pada abad ke-18 Kerajaan Mataram dibagi dalam dua kerajaan yang berbeda,
yang
berada
di
Surakarta
dan
dan
di
Yogyakarta,
dengan
ditandatanganinya perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755.15 Kedua kerajaan mengembangkan tradisi kerajaan mereka masing - masing, Kraton Surakarta
yang
didefinisikan
sebagai
lebih
halus,
sedangkan
keraton
Yogyakarta didefinisikan sebagai lebih sederhana dalam gaya. Setelah itu, kedua kerajaan terbagi lagi menjadi kerajaan yang lebih besar dan lebih kecil, yaitu Mangkunegaran pada tahun 1792 di Surakarta, dan Pakualaman pada tahun 1813 di Yogyakarta. Wayang menjadi seni kraton dan subjek patronase, sehingga keraton memainkan peran penting dalam pengembangan wayang, meskipun tradisi wayang di pedesaan juga masih ada. Dengan adanya pembagian kerajaan ini berarti terdapat dua gaya wayang yang berbeda dikembangkan. Meskipun tidak ada perkembangan baru yang spektakuler, seni wayang telah disempurnakan dan dipoles dalam periode tersebut. Beberapa perubahan yang terjadi dalam repertoar saat ini dan cerita cabang baru atau literatur muncul, antara lain Arjunawiwaha, Ramayana,
15
Anton Satyo-Hendriatmo, Giyanti 1755: Perang Perebutan Mahkota III dan Terpecahnya Kerajaan Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta (Jakarta: CS Book, 2006), hal. 6
9