1
BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang Masalah. Mural telah menjadi elemen visual kota Yogyakarta yang sangat populer. Di dinding-dinding jalanan kota dan lorong-lorong kampung terpampang beragam mural berhimpitan dengan graffiti, tagging,1 street logos, gambar stensil, serta coretan dinding lainnya.
Terlepas dari penilaian baik atau buruk dari kualitas
teknis, penilaian positif atau negatif dari manfaat yang diperoleh oleh semua pihak, mural hadir menambah ciri khas kota Yogyakarta, mendampingi kekhasan lain yang lebih dahulu disandang. Mural hadir melengkapi panorama kota, walaupun keberadaan mural hanya bersifat sementara (temporal), sebatas umur dari kualitas cat yang dipakai. Mural dalam pengertian terbatas, diartikan sebagai lukisan yang ditorehkan di dinding, langit-langit atau suatu bahan lain yang
melekat
dengan
dinding.2
Keberadaan
mural
sangat
berkaitan dengan ruang dalam pemahaman interior. Pembaruan
Tagging dari kata tag atau label adalah istilah yang digunakan oleh para pembuat graffiti untuk menyebut label nama kelompok atau genk yang dituliskan pada dinding atau tembok di jalanan. 2 Eva Cockroft, John Pitman Weber, dan James Cockroft, Towards People Arts: The Contemporary Mural Movement (New Mexico: University of New Mexico Press, 1998), hal. 8. 1
2
mural berarti pembaruan citra ruang secara periodik pula. Dinamika perubahan suasana dan perbedaan tema-tema yang dimunculkan
dapat
dirasakan
sebagai
penyegaran
kualitas
ruangnya. Mural di kota Yogyakarta menjadi sangat menarik, karena mural tidak hadir sebagai elemen interior, tetapi menjadi elemen visual ruang publik kota, seperti di tiang penyangga jembatan layang, dinding kolong jembatan, dinding kosong di tepi jalan raya, lorong jalan besar, di rolling door toko, di dinding bangunan yang kosong, di lorong jalan kampung, di gardu ronda, di plesteran selokan dan di pagar sekolah. Ruang-ruang yang sebelumnya jarang dijamah oleh pandangan mata apresiatif, seolah disulap menjadi galeri seni serta sebagai ruang apresiasi. Semarak mural di ruang publik kota Yogyakarta mulai terasa sejak tahun 1997, ketika gerakan mahasiswa di Yogyakarta menemukan
momentum
perubahan
dan
mengendus
celah
kebebasan menjelang reformasi. Para mahasiswa, khususnya mahasiswa seni rupa ISI Yogyakarta, mulai memanfaatkan ruang publik
kota
sebagai
kanvas
bagi
karya-karya
mereka
dan
menyelipkan pesan-pesan perubahan. Salah satu kelompok perupa mural yang populer adalah Apotik Komik. Apotik Komik menjadi penular “virus” mural di
3
Yogyakarta.3 Setelah tahun 1997 mengerjakan proyek “Melayang” dan “Sakit Berlanjut”. Tahun 2002, Apotik Komik kembali mengerjakan
proyek
mural
dengan
judul
“Sama-Sama”
di
Jembatan Layang Lempuyangan. Bersamaan dengan momentum tersebut, secara sporadis muncul mural di berbagai dinding kota serta graffiti yang dilakukan para ’Bomber’.4 Mural di kota Yogyakarta tidak hanya lahir dari imajinasi dan tangan-tangan trampil pelukis produk pendidikan seni atau para pelukis profesional saja, tetapi mural-mural itu juga lahir dari para perupa tradisi,5 seperti dalam proyek mural ”Tanda Mata dari Jogja” tahun 2007 di Jembatan Layang Lempuyangan (mengganti mural lama). Mural di kota Yogyakarta juga hadir dari aktivitas
kolektif
warga
kampung
sebagai
pemilik
ruang
perkampungan, seperti dalam proyek mural ”Kampung Sebelah Art Project” serta ”Kode Pos Art Project” pada tahun 2008 yang dimotori Jogja Mural Forum (JMF). Mereka mengekspresikan apa saja yang menjadi keseharian mereka, angan-angan mereka,
Idha Saraswati, “Menggerakkan Kota dengan Seni”, Harian Kompas, Jum’at, 25 Juni 2010, hal. 16. 4 Bomber adalah sebutan para pembuat graffiti dengan mendatangi suatu tempat atau dinding kosong pada malam hari untuk diberi graffiti. 5 Proyek mural di Jembatan Lempuyangan tahun 2007 melibatkan Sulasno (pelukis kaca), Tjipto Wibagso (pelukis tonil dan tata panggung wayang orang), Ki Ledjar Subroto (pembuat wayang kancil sekaligus dalang), Subandi (seniman gambar pitutur), Tjipto Setiyono (pelukis becak). 3
4
kekhasan kampung mereka dan pengalaman mereka sebagai masyarakat yang memegang nilai-nilai tradisi. Mural di kota Yogyakarta memiliki corak yang berbeda bila dibandingkan dengan mural-mural di kota lainnya. Ekspresi yang lahir dari perpaduan budaya tradisi dan kontemporer menyajikan cita-rasa estetis yang khas. Mural di lingkungan kampungkampung di kota Yogyakarta menjadi fenomena tersendiri. Mural di kampung lahir dari proses kerja kolektif warga kampung yang bersinergi dengan komponen sosial lainnya, yaitu pemerintah kota, kelompok perupa mural, serta elemen masyarakat lain yang peduli terhadap estetika kota Yogyakarta. Komponen sosial di luar warga
kampung
menempatkan
diri
sebagai
motivator
dan
fasilitator dalam proyek mural tersebut. Di luar itu, para perupa dan individu kreatif yang peduli terhadap lingkungan kota melakukan aktivitas sendiri “mempercantik” kota dengan mural. Tempat di mana mural-mural dikerjakan, menjadi ruang publik
baru,
ruang
di
mana
mereka
saling
bertemu,
bercengkrama, gotong-royong, sebagaimana kerja bakti yang rutin dilakukan
di
desa
atau
kampung-kampung.
Warga
yang
mempunyai ketrampilan menggambar, mempunyai porsi yang lebih besar dalam menentukan ragam dan rancangan gagasan visual. Warga lain akan memposisikan diri dalam alur kerja yang saling melengkapi. Menurut Samuel Indratma (tokoh Jogja Mural
5
Forum/JMF), dalam proyek mural, kolektivitas masyarakat secara sosial
terbangun,
masing
masing
mengambil
peran
sesuai
porsinya, sehingga mural sebagai salah satu ciri khas kota, terbangun dari kumpulan ekspresi masyarakat kota dan peran seluruh komponen masyarakat.6 Mural yang hadir di ruang publik merupakan ekspresi estetis dan merepresentasikan warga kota, baik sebagai perupa maupun masyarakat biasa. Ekspresi dalam wujud mural di ruang publik tersebut dapat bermakna sangat pribadi, dapat pula merupakan ekspresi kolektif yang sarat dengan pesan dan makna yang dapat dipahami secara kolektif pula.
Pemahaman secara
komprehensif terhadap mural publik sebagai karya seni visual perlu didukung pemahaman kultural dan sosial, sehingga apa yang menjadi pesan di balik representasi visual akan dapat ditangkap maknanya oleh publik dengan baik. Apa yang terepresentasikan dalam mural publik melalui aspek visual dan makna yang terbaca oleh publik menjadi pertanyaan penting dalam penelitian ini, sebab kompleksitas visual pada mural dengan tema dan pesan yang disampaikan oleh pemural akan menjadi teks-teks yang dapat memberi gambaran
Samuel Indratma, ”Kampung sebagai Galeri Hidup” dalam Kampung Sebelah Art Project (Yogyakarta: Jogja Mural Forum, 2008), hal. 2. 6
6
dinamika kultural, sosial dan politik yang terjadi di masyarakat dari waktu ke waktu. Hadirnya mural di ruang publik sebagai seni rupa publik tidak dapat dilepaskan dari perubahan paradigmatik dalam dunia seni
rupa.
Kecenderungan
dalam
perkembangan
seni
rupa
kontemporer, terkait dengan pluralitas kultural dan kehidupan sehari-hari. Penyajian karya seni rupa kontemporer berupaya mendekatkan diri dengan publik, bahkan melibatkan partisipasi publik. Ruang-ruang pamer atau museum konvensional yang formal dan terkesan elitis, sering kali dihindari oleh perupa dalam mempresentasikan karya mereka kepada publik. Para perupa kontemporer lebih tertarik mempresentasikan karya mereka di ruang-ruang alternatif, di antaranya; rumah seni, galeri privat, galeri kafe, rumah perupa, taman, mall, jalanan dan ruang terbuka. Ruang publik yang berada di luar ruang seperti tembok gedung, pagar, pedestrian, trotoar dan dinding penyangga jalan layang, saat ini menjadi pilihan yang menarik, terutama bagi para perupa yang mengkhususkan diri pada gambar, stensil, graffiti, tagging, street logos, mural, dan patung publik. Sejak
tahun
1990-an
banyak
perupa
kontemporer
Yogyakarta yang mengekspresikan karyanya dengan melibatkan publik sebagai bagian dari karya mereka, serta mengusung karya keluar dari galeri dengan memanfaatkan ruang-ruang publik yang
7
mudah diakses oleh publik. Para perupa kontemporer memberi peluang kepada publik sebagai audiens untuk terlibat dalam karya seni rupa. Hal ini tidak lepas dari pergeseran paradigmatik kiblat kesenian modern menuju kontemporer yang juga terjadi dalam medan seni rupa Yogyakarta. Pergeseran paradigmatik tersebut dapat dicermati dari berubahnya pola produksi "makna" dalam penciptaan dan penikmatan karya seni. Titik pusat pemaknaan tidak lagi pada sang seniman melainkan pada sosok karya itu sendiri dan pada para penikmatnya. Transformasi mural menjadi seni rupa publik di Yogyakarta berkait erat dengan perkembangan seni rupa kontemporer. Ruang ekspresi
seni
rupa
kontemporer
Yogyakarta
yang
dinamis
melahirkan banyak perupa muda berkarya secara tidak biasa. Mereka berkarya di luar mainstream dan bereksperimentasi dengan berbagai media serta mencari alternatif ruang apresiasi bagi khalayak yang lebih luas. Kota Yogyakarta, menjadi salah satu barometer dalam perkembangan seni rupa kontemporer dan seni rupa publik di Indonesia. Pemerintah Kota Yogyakarta memberi ruang ekspresi yang longgar bagi para perupa untuk memanfaatkan ruang publik kota sebagai media berkarya mural, meskipun posisi mural dalam seni rupa kontemporer bisa jadi hanya ditempatkan dalam wilayah pinggiran.
8
Gerakan mural publik menjadi penyeimbang dari seni-seni yang
telah
terhegemoni
individualistik,
oleh
sebagaimana
kepentingan seni
kapitalistik
rupa
modern
dan pada
perkembangan terakhir. Mural menjadi media seni rupa yang mencoba
lebih
dekat
dengan
penikmatnya.
Mural
menjadi
paradoks dari seni rupa atas yang semakin sulit dijamah karena terkonsentrasi di galeri-galeri dan ruang pamer representatif. Masyarakat biasa tidak dapat menikmati dengan bersahaja. Mural hadir sebagai seni rupa publik yang dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat dan berinteraksi dengan masyarakat. Mural publik mengambil posisi yang berbeda dengan seni yang bersifat elitis dan menjadi subkultur dari seni rupa kontemporer. Subkultur sering mendefinisikan dirinya sebagai perlawanan terhadap nilai-nilai budaya dominan, biarpun definisi ini tidak sepenuhnya diterima oleh para teorisi. Menurut Dick Hebdige
dalam
Rusbiantoro,
anggota
subkultur
sering
menunjukkan keanggotaannya melalui penggunaan gaya yang berbeda dan simbolik. Hal ini merupakan satu bentuk deviasi, sebagai tindakan penyimpangan perilaku yang bertentangan dengan masyarakat dan digunakan sebagai perjuangan melawan budaya dominan atau kelompok dominan.7
Dadang Rusbiantoro, Generasi MTV (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), hal. 107. 7
9
Transformasi
mural
menjadi
seni
rupa
publik
dalam
perkembangan seni rupa di Yogyakarta menjadi pertanyaan penting dalam penelitian ini, karena kehadirannya menyeruak mencuri perhatian dalam hiruk-pikuk perbincangan tentang seni rupa kontemporer, khususnya seni rupa publik Yogyakarta sejak 1997. Seni rupa publik pada dasarnya adalah seni yang diproduksi oleh seniman bersama komunitas pendukungnya, untuk dan dimiliki oleh suatu komunitas atau masyarakat. Sering kali karya seni rupa publik merepresentasikan ”kepentingan” (kegelisahan, pikiran-pikiran, impian dan harapan) publik pendukungnya. Menurut Malcoln Miles, selain sebagai elemen estetis kota, kehadiran karya seni publik dipenuhi muatan makna yang menggambarkan spirit dan karakter dari sebuah kota serta menjadi bagian yang tak terpisahkan dari ruang publik kota.8 Eko Prawoto, seorang pemerhati tata ruang kota menyatakan bahwa, ‘ruang terus berubah dan hidup’. Sifat terus berubah dan hidup mengikuti dinamika yang sedang tumbuh sesuai dengan jiwa zaman.9
8 Malcolm Miles. Art, Space and The City: Public Art and Urban Futures. (London: Routledge, 1997), hal. 1. 9 Eko Prawoto, “Mural Kampung sebagai Upaya Menghidupkan Ruang Kehidupan” dalam Kampung Sebelah Art Project (Yogyakarta: Jogja Mural Forum, 2008), hal. 7.
10
Di berbagai kota di dunia, karya mural menjadi salah satu media pilihan perupa dalam menghadirkan seni rupa publik. Karya
mural
menjadi
bagian
yang
tidak
terpisahkan
dari
kehidupan kota, khususnya di dinding-dinding bangunan di jalanan kota. Ruang publik kota sering kali digunakan para seniman untuk mempresentasikan karya-karya mereka. Kehadiran karya-karya seni rupa di ruang publik sering kali juga memancing beragam respons publik, baik dari masyarakat luas, pemerintah kota maupun pengguna ruang-ruang publik kota. Berbagai
proyek
mural
yang
oleh
penggagasnya,
dimaksudkan sebagai upaya ”estetisasi”10 ruang publik kota Yogyakarta, sebagai respon terhadap maraknya graffiti, tagging, street logos, stensil art dan coretan liar di ruang publik kota tersebut, tidak lepas dari tanggapan pro dan kontra dari masyarakat.
Sebagian
Yogyakarta
menyambut
pengamat
memandang
masyarakat positif
dan
gagasan
kehadiran
pemerintah
ini,
mural
kota
tetapi
sebagian
justru
semakin
menambah kesemrawutan ruang publik kota dan meningkatkan tensi ketegangan memperebutkan ruang publik. Tanggapan masyarakat kota Yogyakarta terhadap kehadiran mural publik di ruang publik kota secara intensif menjadi ulasan “Estetisasi” ruang publik merupakan istilah yang digunakan oleh perupa mural dan tulisan di media massa (Koran) untuk maksud membuat ruang publik menjadi terlihat lebih estetis. 10
11
media massa dan media online. Mereka mengkritisi citra ruang publik kota Yogyakarta dengan hadirnya mural publik tersebut. Kehadiran mural publik di ruang publik kota ini menarik untuk dikaji dari aspek citra ruang arsitektural, ruang sosial dan destinasi wisata kota. Penelitian untuk disertasi dengan topik “Mural Publik: Represestasi,
Transformasi,
dan
Citra
Ruang
Publik
Kota
Yogyakarta”, menetapkan rentang waktu tahun 1997-2012 dengan pertimbangan bahwa, tahun 1997 merupakan momentum penting ketika mural secara terencana dimaksudkan untuk mengisi dinding-dinding kota Yogyakarta.
Tahun 2012 merupakan fase
ketika para perupa mural dan masyarakat kota melihat kehadiran mural sebagai karya seni rupa publik mulai kehilangan daya tarik di masyarakat dan menjadi karya yang biasa saja. Dalam beberapa proyek mural, baik yang dimotori oleh Apotik Komik, Jogja Mural Forum (JMF) dan komunitas lainnya, fokus permasalahan dikaji dari aspek estetika, semiotika, historis, dan citra ruang publik. Kajian ini diharapkan dapat memberikan gambaran secara komprehensif tentang makna dan fungsi mural sebagai representasi masayarakat secara visual di ruang publik, fase-fase transformasi mural menjadi seni rupa publik dan penerimaan masyarakat Yogyakarta terhadap mural, serta citra
12
ruang publik kota dengan mencermati proses kultural dan sosial yang mengiringi.
B. Rumusan Masalah. Perspektif yang digunakan dalam penelitian ini melihat karya seni tidak semata-mata bertalian dengan pemenuhan keindahan saja, melainkan terkait juga secara menyeluruh dengan pemenuhan kebutuhan manusia dan lingkungannya. Dengan kata lain, mural di kota Yogyakarta dipandang sebagai salah satu cara pemenuhan
kebutuhan
keindahan
yang
keberadaannya
ditentukan secara terpadu dengan aspek-aspek kebudayaan lainnya,
terutama
dengan
masyarakatnya.
Dengan
berbagai
permasalahan yang tersebut dalam latar belakang masalah, maka disampaikan sejumlah rumusan masalah sebagai berikut : 1. Apa yang terepresentasikan dalam mural publik di kota Yogyakarta ? 2. Mengapa di Yogyakarta, mural bertransformasi menjadi seni rupa publik ? 3. Bagaimana citra ruang publik kota Yogyakarta dengan hadirnya mural publik ?
Serangkaian melalui
pertanyaan
penggunaan
kerangka
tersebut
dijawab
pendekatan
dan
yang
dicapai
mencakup
13
kerangka berpikir dan metodologi penelitian. Kerangka berpikir digunakan
sebagai
pedoman
bagi
seluruh
langkah
kajian,
sedangkan kerangka metodologi penelitian digunakan sebagai strategi operasional untuk memperoleh informasi di lapangan yang digunakan sebagai fakta yang layak untuk dijadikan bukti dalam penarikan kesimpulan.11
C. Tujuan Penelitian. Mural
yang
mengisi
dinding-dinding
kota
Yogyakarta
menjadi catatan visual yang penting untuk melihat dinamika masyarakat kota yang heterogen. Masyarakat yang tumbuh dalam aura tradisi dan modernisasi tetapi sangat terbuka terhadap kehadiran beragam ekspansi budaya global. Mural juga menjadi indikator budaya untuk melihat bagaimana seni rupa kontemporer dan seni rupa publik yang dibawa oleh perupa-perupa akademis, berbaur
dengan
idiom-idiom
tradisi
serta
muncul
menjadi
khasanah visual baru dalam memberi wajah kota Yogyakarta. Mural Yogyakarta
juga yang
menunjukkan dilingkupi
aura
bagaimana tradisi
masyarakat
menerima
budaya
kontemporer menjadi bagian dari keseharian mereka di ruang publik. Gambaran latar belakang masalah yang terangkum dalam Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman, terjemahan Tjetjep Rohendi Rohidi, Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber tentang Metodametoda Baru (Jakarta: UI Press 1992), hal. 5. 11
14
permasalahan pokok, yang dikaji dalam penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut, 1. Mengkaji karakteristik visual, tematik, dan makna yang terepresentasikan dalam mural publik di kota Yogyakarta dari kesatuan bentuk dan isi karya, serta dalam konteks ruang
dan
waktu,
dengan
mempertimbangkan
latar
belakang sosio-kultural yang melingkupi. 2. Mengkaji latar belakang transformasi mural di Yogyakarta menjadi karya seni rupa publik serta sebagai subkultur dalam seni rupa kontemporer Yogyakarta. 3. Mengkaji citra ruang publik kota Yogyakarta sehubungan dengan hadirnya mural sebagai karya seni publik di ruang publik kota.
D. Manfaat Penelitian. Hasil penelitian dalam disertasi ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi : 1. Pengkajian terhadap proses kultural, sosial serta historis yang terjadi dalam masyarakat berkaitan dengan hadirnya karya seni rupa kontemporer dan seni publik khususnya mural. 2. Studi budaya rupa dan estetika melalui idiom-idiom seni rupa, baik tradisi maupun kontemporer serta melihat respon
15
masyarakat kota dalam menyikapi perubahan kultural dan sosial. 3. Perbendaharaan informasi khasanah seni rupa sebagai media
ekspresi
individual
dan
kolektif
serta
media
komunikasi visual yang secara terus menerus mengikuti perkembangan kultural dan sosial masyarakat sekaligus menjadi jejak sejarah. 4. Bahan pertimbangan dalam pemilihan media visual dan karya seni visual yang tepat dan khas sehingga memberi kontribusi positif bagi kota serta dapat mewujudkan ruang publik yang interaktif bagi kota.
16
E. Tinjauan Pustaka Permasalahan yang diajukan dalam disertasi ini merupakan pemikiran yang muncul dari gagasan atau pemikiran peneliti. Berdasarkan penelusuran yang dilakukan oleh peneliti, kajian atau hasil penelitian tentang mural secara mendalam belum banyak
dilakukan,
khususnya
yang
berkaitan
dengan
perkembangan seni rupa kontemporer dan seni rupa publik serta citra ruang publik kota. Objek pengamatan dalam disertasi ini adalah karya-karya mural di kota Yogyakarta yang dikerjakan dalam rentang tahun 1997 hingga tahun 2012, baik yang dimotori oleh Apotik Komik, Jogja Mural Forum (JMF), atau elemen masyarakat kota Yogyakarta lainnya. Penelitian tentang mural di Yogyakarta pernah dilakukan oleh Bambang Witjaksono pada tahun 2005 dalam bentuk tesis S.2 dengan judul “ Fenomena Mural di Yogyakarta Tahun 2002 2003.12 Kajian dalam tesis ini mengambil contoh kasus maraknya mural di Yogyakarta pada tahun 2002-2003 yang dimotori oleh Apotik Komik, sebuah kelompok perupa Yogyakarta yang memiliki perhatian pada ruang publik kota dalam proyek mural dengan judul “Sama-Sama”.
Bambang Witjaksono, ”Fenomena Mural di Yogyakarta Tahun 2002-2003” (Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari ITB, Program Magister Seni Rupa dan Desain, FSRD ITB, Bandung, 2005). 12
17
Dalam tesis ini, fokus permasalahan yang dikaji pada proyek mural “Sama-sama” adalah, ide dasar munculnya mural di Yogyakarta sebagai gejala baru dalam perkembangan seni rupa di Yogyakarta, mengetahui struktur perupaan mural yang dibuat di Yogyakarta, serta untuk mengetahui efek atau akibat dari fenomena mural tersebut. Objek kajian yang hanya terbatas pada rentang waktu tahun 2002-2003 dan satu proyek mural “SamaSama” belum dapat merepresentasikan secara komprehenseif perkembangan mural di Yogyakarta, sehingga perluasan wilayah, dan waktu kajian perlu dilakukan untuk memperoleh gambaran yang lebih komprehensif. Penelitian lain yang dilakukan oleh Bambang Witjaksono tentang ”Hubungan Seni (Rupa) dan Kekuasaan” dilakukan pada tahun 2006 yang selanjutnya dipublikasikan dalam Jurnal Seni Rupa dan Desain ’ARS’, Nomor: 03 – November 2006 dengan judul “Jogja Kota Mural”,13 mengambil setting waktu tahun 2002 – 2005 dengan mencermati perkembangan mural di kota Yogyakarta yang dikerjakan pada kurun waktu tersebut. Dalam penelitian ini dapat dicatat beberapa hal penting tentang: (1) peran pemerintah kota Yogyakarta dalam proses muralisasi kota Yogyakarta untuk tujuan pariwisata,
(2)
respons
masyarakat
kota
Yogyakarta
dalam
Bambang Witjaksono, ”Jogja Kota Mural”, dalam Jurnal Seni Rupa dan Desain ISI Yogyakarta ”ARS” Nomor: 03 – Nopember 2006, hal. 1-12. 13
18
program muralisasi kota Yogyakarta, (3) posisi Apotik Komik sebagai motivator dan fasilitator muralisasi kota Yogyakarta. Dari hasil penelitian ini peneliti berkesimpulan bahwa penetapan ”Yogyakarta sebagai kota mural” memiliki alasan yang signifikan dengan mempertimbangkan mural di kota Yogyakarta paling banyak se-Indonesia serta melihat dukungan pemerintah kota dan warga kota Yogyakarta terhadap muralisasi kota Yogyakarta. Kesimpulan dalam penelitian Bambang Witjaksono tentang Yogyakarta sebagai kota mural
dan mural sebagai
identitas kota Yogyakarta dari sudut pandang jumlah karya dan dukungan pemerintah kota serta partisipasi warga melalui suatu event, perlu dikaji lebih lanjut. Tesis serta hasil penelitian Bambang Witjaksono tersebut di atas dapat menjadi data penting dalam disertasi ini. Penelitian lain yang bersinggungan dengan penggunaan ruang publik alternatif pernah dilakukan oleh Bramantijo
pada
tahun 1999 dalam bentuk tesis S.2 dengan judul ”Galeri dalam Medan Seni Lukis Modern Yogyakarta”14, yang meneliti galeri komersial dan galeri alternatif, termasuk di dalamnya penggunaan ruang publik oleh Galeri Cemeti, Taring Padi, dan Apotik Komik pada periode 1990-an yang menjadi cikal bakal tumbuhnya ruang Bramantijo, “Galeri dalam Medan Seni Lukis Modern Yogyakarta” (Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari ITB, Program Magister Seni Rupa dan Desain, FSRD ITB, Bandung, 1999). 14
19
publik alternatif bagi seni rupa di Yogyakarta. Tesis ini dapat menjadi data penting dalam penelitian disertasi ini. Penelitian dalam bentuk tesis S.2 yang berhubungan dengan penggunaan ruang publik kota juga dilakukan oleh Setyawan pada tahun 2009 dengan judul “ Graffiti: Representasi, Visual, dan Identitas Bomber Kota Solo”.15
Penelitian ini mengkaji graffiti
(ekspresi visual berwujud teks atau typeface pada dinding) yang dilakukan para Bomber (untuk menyebut pelaku graffiti) dari konteks sosial, politik, dan budayanya. Dalam penelitian ini juga dikaji makna kode kultural dan kaitannya dengan pembentukan identitas
diri
pelaku.
Meskipun
penelitian
ini
mengkaji
penggunaan ruang publik tetapi objek kajian berbeda dengan yang diteliti untuk disertasi yaitu mural dengan setting wilayah yang berbeda. Beberapa buku yang mengulas tentang mural dan graffiti, di antaranya: Syamsul Barry dalam buku Jalanan Seni Jalanan Yogyakarta.16 Dalam buku ini Barry mengulas tentang gerak seni jalanan di Yogyakarta, mulai dari kemunculannya, perkembangan, ideologi, persaingan, hingga intrik. Ritual-ritual komunitas yang menyebabkan eksklusivitas suatu kelompok seni jalanan hingga Setyawan, ”Graffiti: Representasi, Visual, dan Identitas Bomber Kota Solo” (Tesis untuk memenuhi sebagai persyaratan mencapai Derajat Sarjana S.2. Program Pascasarjana, FIB UGM Yogyakarta, Yogyakarta, 2009). 16Syamsul Barry, Jalanan Seni Jalanan Yogyakarta (Yogyakarta: Studium, 2008). 15
20
usaha-usaha
pemerintah
membangun
rumah
seni
guna
sebagai
dasar
menjinakkan ganasnya seni jalanan. Syamsul
Barry
melakukan
observasi
penulisan. Barry memilih kehidupan masyarakat dan kondisi kota sebagai objeknya. Berdasarkan hasil observasi penulis, seni jalanan mencakup apapun yang terpampang di jalanan, graffiti, coretan-coretan atau semprotan pada dinding, rolling door dan papan-papan penutup toko, bengkel dan bangunan. Karya seni jalanan dibaca dengan cara tertentu. Karya seni ini dinyatakan sebagai ungkapan rasa perlawanan anak muda terhadap wacanawacana dan realitas perkembangan budaya kota yang mengekang dan mengancam. Karya seniman street art merepresentasikan eksistensi mereka di era global. Ideologi dan identitas dikreasikan dalam bentuk visual di berbagai macam tempat. Street art mewakili pemikiran pelakunya tentang jiwa zaman yang ditandai dengan temuan-temuan dan produk-produk canggih teknologi.
Produk-produk
yang
awalnya
diciptakan
memecahkan
persoalan-persoalan
tertentu,
ironisnya
mempertinggi
ketidakmakmuran
masyarakat
untuk
guna mallah hidup
bersama. Buku dengan judul Jalanan Seni Jalanan Yogyakarta juga menyajikan gambar sebagai ilustrasi dan pelengkapnya. Meskipun ditulis berdasarkan hasil observasi dan interpretasi khususnya terhadap graffiti, paparan dalam buku ini dapat
21
menjadi dokumentasi penting dalam penyusunan disertasi tentang mural dan hubungannya dengan aspek sosio-kultural masyarakat Yogyakarta. Faruk H.T. dan Irwan Abdullah dalam buku berjudul Aspekaspek Seni Visual Indonesia: Identitas dan Budaya Massa, yang diterbitkan tahun 2002,17 berusaha membedah proses identifikasi kultural seni rupa Indonesia. Identitas dan Budaya Massa membicarakan beberapa hal seperti reimajinasi identitas yang menangkap berbagai fenomena yang muncul dalam seni rupa Indonesia serta proses saling tawar antara lokalitas, nasionalitas dan internasionalitas. Buku ini juga mengulas perihal budaya populer dan estetika yang melingkupinya, termasuk yang berhubungan dengan seni rupa, mengidentifikasi fakta-fakta budaya konsumsi, hubungan citra dengan realitas, pengaruh televisi dalam kesadaran serta hubungan antara budaya tipografis dan visual. Tak kalah penting perihal
perubahan
makna
yang
sakral
dan
profan
dalam
masyarakat konsumtif, yakni hubungan wacana visual dengan perubahan sikap terhadap spiritualitas, seni rupa dan mentalitas dalam
masyarakat.
Kajian
dalam
buku
ini
memberi
arah
HT. Faruk dan Irwan Abdullah, Aspek-aspek Seni Visual Indonesial: Identitas dan Budaya Massa (Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti, 2002). 17
22
bagaimana
mural sebagai karya kolektif masyarakat dapat
menjadi identitas lingkungan yang bersifat komunal. Eko
Prawoto,
merekam
salah
satu
proyek
mural
di
Yogyakarta yang disusun dalam buku Kampung Sebelah Art Project,18
dan
diterbitkan
secara
terbatas
tahun
2008,
mengilustrasikan bahwa proyek mural mampu menghadirkan perubahan pada kampung-kampung di Yogyakarta. Dari kampung yang polos menjadi semarak penuh warna dan gambar. Ruang publik kampung berubah menjadi sebuah “galeri hidup”. Ada sekitar lima kampung yang bergeliat menyambut proyek mural di buku ini, yaitu: kampung Kumendaman, Jetisharjo, Mranggen Tegal, Pakel Mulyo dan Balapan. Buku ini mendokumentasikan foto-foto proyek mural dari kampung ke kampung. Buku Kampung Sebelah Art Project, di dalamnya menyajikan foto tentang obyek yang digambarkan di tembok-tembok di seputar gang-gang kampung atau di ruang publik lain. Tak sekedar mural tanpa
makna,
ada
pula
pesan-pesan
sosial
yang
ingin
disampaikan seperti, “Tanamanku Dimakan Konblog” di kampung Kumendaman, atau pesan “Podho Ěling Lan Waspodo” di kampung Mranggen
Tegal.
Buku
ini
menjadi
data
penting
dalam
Eko Prawoto, Kampung Sebelah Art Project (Yogyakarta: Jogja Mural Forum, 2008). 18
23
penyusunan disertasi tentang mural di Yogyakarta dari sudut pandang estetika dan sosial. Bambang Sugiharto,
pada tahun 2008 menerbitkan buku
Mural Rasa Jogja,19 yang merupakan dokumentasi sebuah kerja mural yang menjadikan Jembatan Layang Lempuyangan dipenuhi mural dan sekaligus mempublikasikan proyek mural bertajuk “Tanda Mata dari Jogja” tahun 2007. Fokus mural di kawasan ini bertema kesenian tradisional dan wayang. Buku ini merekam bagaimana seniman dalam proyek mural Jembatan Layang Lempuyangan berbicara lugas soal tradisi. Dalam proyek ini juga mengikutsertakan seniman tua yang telah menggeluti seni tradisi selama puluhan tahun. Ada mural karya Sulasno pelukis kaca, Tjipto Wibagso pelukis tonil dan tata panggung wayang orang, Ki Lenjar Subroto pembuat wayang kancil sekaligus dalang, Subandi seniman gambar pitutur dan Cipto Setiyono pelukis becak. Buku ini merekam jejak para pelaku seni tradisi, tak sekedar dalam teks tapi juga dalam foto saat mengerjakan mural di
Jembatan
Layang
Lempuyangan.
Para
seniman
sepuh
menghadirkan kembali dunia kesenian tradisional dan wayang, meskipun tak sesuai pakem, seperti mural legenda Jaka Tarub, epik Ramayana hingga adegan Punakawan dan wayang Brayut di
Bambang Sugiharto, Mural Rasa Jogja (Yogyakarta: Jogja Mural Forum, 2008). 19
24
sekujur tubuh Jembatan Layang Lempuyangan. Buku ini menjadi data penting dalam penyusunan disertasi tentang mural di Yogyakarta dari sudut estetika dan sosial.
F. Landasan Teori 1. Teori Estetika. Ekspresi mural di ruang publik merupakan ekspresi estetis, berupa narasi visual yang terdiri dari kumpulan teks visual (gambar dan tulisan). Untuk membedah permasalahan tentang ekspresi mural di kota Yogyakarta sebagai narasi visual, maka aspek karakteristik visual, tematik dan makna di dalam mural dianalisis
menggunakan
pemikiran-pemikiran
estetika
dalam
pandangan kontemporer. Pemikiran estetika kontemporer memiliki perbedaan sisi pandang dengan estetika modern. Wacana estetika yang hadir sejak
era
estetika
klasik
Kant
yang
menekankan
pada
eksklusivitas seni sebagai salah satu tonggak penentu era modern, dengan
menekankan
pada
pengalaman
estetik,20
berikutnya
Benedetto Croce, Aesthetic: As Science of Expression and General Linguistic dialih bahasakan dari bahasa Italia oleh Douglas Ainslie (USA: Noonday Press, 1965), hal. 278-280. Lihat juga W.E. Kennick, Art and Philosophy: Reading in Aesthetics, (second Edition), (New York: St. Martin’s Press, 1979), hal. 501-502. 20 G.W.F. Hegel, Aesthetics : Lectures on Fine Arts, dialih bahasakan oleh T.M.Knox (Oxford:Oxford University Press, 1975). 20
25
estetika Hegel yang menekankan pada aspek rasionalitas,21 hingga pemikiran-pemikiran seperti
John
baru
Dewey,
ke
arah
Heidegger,
perubahan
Gadamer,
paradigmatik
Scharfstein
dan
Berleant, melihat keterkaitan erat antara seni dan pengalaman sehari-hari. Di penghujung abad 20, melalui para tokoh seperti Adorno, Danto,
Burgin,
‘berakhirnya
seni’
Kosuth (The
dan End
Foster, of
Art)
dimunculkan sebagai
upaya
istilah untuk
melepaskan diri dari keterbatasan material dan keterikatannya pada medan bentuk. Hal ini dimaksudkan untuk menemukan dimensi-dimensi batin paling tersembunyi dalam penciptaan karya seni, akibatnya seni menjadi eksperimentasi ‘perusakan’ bentuk secara terus menerus, dari Impressionisme hingga Surrealisme, sampai akhirnya Duchamp meledakkannya dalam parodi ‘benda pakai’ dan mempertanyakan kembali “Apa itu seni ?”.22 Pertanyaan mendasar Duchamp ini di kemudian hari diradikalkan oleh Andy Warhol yang hasilnya adalah kontradiksi. Di satu pihak seni menjadi apa pun juga tanpa pretensi filosofis sama sekali, di pihak lain seni menerobos segala konfigurasi bentuknya dan justru menjadi sangat filosofis. Sejak itu semangat
Victor Burgin, The End of Art Theory : Criticism and Postmodernity (Atlantic Highlands, NJ : Humanities Press international, 1986). Lihat pula Arthur Danto, After the End of Art ( Princeton : Princeton University Press, 1997). 22
26
dan
tendensi
avantgardism
yang
telah
terbangun
dalam
modernism, yang melahirkan kerangkeng-kerangkeng kategorial (aliran
atau
isme)
dilanggar
dan
diacuhkan
untuk
meraih
pembebasan. Seni rupa modern terus berubah, dari keterikatannya pada medium (medium-specific) menuju keterikatan pada situs tertentu (site-specific),
berubah
lagi
menjadi
tergantung
pada
pewacanaannya (discourse-specific), selanjutnya sangat ditentukan oleh konteks persoalan sosio-kultural konkrit (context-specific). Fokus nilainya juga berubah, dari soal keindahan ke soal teknis, lantas menjadi perkara makna, berubah lagi ke efek sensasi, pada akhirnya ke proses-proses signifikansi bersama antara seniman, karya dan apresiatornya.23 Lokus seni-rupa pada akhirnya ikut bergeser: dari galeri pribadi ke museum, selanjutnya ke medan-medan institusi, masuk ke jaringan wacana media, dan akhirnya kini melebur ke wilayah sosio-kultural sehari-hari. Objek garapannya berubah pula: dari ‘olah-rupa’ pada seni dua-dimensi, ke ‘olah-bentuk’ pada seniinstalasi, ‘olah-media’ pada seni multi-media, ‘olah-peristiwa’ pada
23
Bambang Sugiharto, Meninjau Ulang Seni dan Estetika Barat, online, http://bambarto.blogspot.com/2008/06/meninjau-ulang-senidan-estetika.html, diunduh tanggal, 22 Maret 2012.
27
happening, ‘olah-tubuh’ pada performance-art, dan ‘olah-konsep’ pada program-program sosio-kultural.24 Semua pergeseran itu menunjukkan bahwa pretensi seni sebagai fine-arts sebagai wilayah eksplorasi pribadi, akhirnya diwarnai kecenderungan ‘pembatalan-diri’ secara terus-menerus (self-canceling process). Aliran demi aliran muncul dan ‘dibatalkan’ oleh aliran berikutnya. Menurut J. Maquet kecenderungan seni yang bertujuan pada dirinya sendiri disebut sebagai art by destination yang mengutamakan aspek estetika, sedangkan seni rupa yang sudah berubah untuk kepentingan komersial disebut sebagai art by metamorphosis yaitu dengan merubah standar dan preferensinya didasarkan pada konsumen.25 Pemikiran J. Maquet oleh R.M. Soedarsono ditegaskan bahwa selera estetis pada art by destination terletak pada penciptanya, sedangkan selera estetis dari art by metamorphosis terletak pada penikmatnya atau konsumennya.26 Dalam perkembangannya, pada era kontemporer ‘seni’ dikembalikan lagi pada konteks hidup sehari-hari, menjadi fenomena biasa saja. Pemilahan awal antara ‘seni tinggi’ dan ‘seni
Bambang Sugiharto, 2008. Jaques Maquet, dalam Nelson H.H. Graburn, ed, Ethnic and Tourist Arts: Cultural Expression from the Fourth World (Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press, 1976), hal. 3. 26 R.M. Soedarsono. Metode Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa (Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 2001), hal. 56-57. 24 25
28
pop’ tak lagi dianggap berarti. Semua ini adalah rangkaian perubahan dari dalam dunia seni sendiri. Kecenderungan kritis di dalam dunia seni itu diperparah pula oleh dinamika sosial-budaya di luarnya, yang pada akhirnya menggugat konsep eksklusivitas ‘fine arts’ ala Barat itu.27 Dari berbagai perkembangan kritis internal dunia seni Barat maupun tendensi kritis dari pemahaman atas keragaman budaya dalam interaksi global saat ini, makin berkembanglah kesadaran bahwa, sesungguhnya pengalaman yang biasa disebut ‘estetik’ (pencerapan lewat kepekaan inderawi) itu sangatlah luas. Pada saat yang sama disadari pula bahwa, kriteria dan konotasi tentang apa yang disebut ‘seni’ pun demikian beragam. Realitas tentang keterkaitan erat antara gejala ‘seni’ dengan ritual keagamaan, dengan
kekriyaan,
dekorasi,
hiburan,
penataan
lingkungan,
fungsi-fungsi sosial serta aspek kehidupan keseharian, bagaimana pun jauh lebih lazim dan umum daripada anggapan bahwa seni adalah wilayah khusus yang bersifat elitis dan esoteris. Dari paparan di atas jelas bahwa, gejala yang disebut ‘seni’ dan ‘estetika’ umumnya merupakan bagian tak terpisahkan dari aktivitas sehari-hari kehidupan masyarakat. Kenyataan bahwa eksklusivitas fine arts pun akhirnya terdobrak oleh dinamika dalamnya 27
sendiri,
maupun
dari
Bambang Sugiharto, 2008.
interaksi
luarnya.
Hal
ini
29
menunjukkan
bahwa
pengisolasian
eksklusif
fine
arts
itu
sebenarnya artifisial. Beberapa
pandangan
teoretik
yang
menjadi
landasan
estetika kontemporer, seperti yang dikemukakan oleh Hans Georg Gadamer.
Gadamer
‘permainan’.
melihat
Permainan
yang
karya
seni
menampilkan
dalam
kerangka
kebenaran.
Seni
adalah pengalaman menyatu secara intens antara subjek dengan dunia di luarnya. Pengalaman semacam itu sebenarnya terjadi dalam hidup sehari-hari. Hanya saja dalam penikmatan karya seni, pengalaman itu menemukan intensitas menyatu yang padat.28 Selaras dengan Gadamer, Ben-Ami Scharfstein melihat seni dari sisi fungsional, yaitu bahwa seni memungkinkan manusia menyatu (fusion) dengan realitas lebih besar di luar dirinya: menyatu
dengan
lingkungan,
dengan
manusia
lain
dan
masyarakatnya, yang akhirnya dengan realitas transendental. Dengan demikian seni bersifat partisipatoris, menyatu dengan pengalaman sehari-hari yang bersifat kontekstual-kultural.29
28 Hans Georg Gadamer, Truth and Method (New York: The Seabury Press,1975), hal.118. Lihat pula Hans Georg Gadamer, Kebenaran dan Metode, dialihbahasakan oleh Ahmad Sahidah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal. 180; lihat pula Janet Wolff, Aesthetics And The Sociology Of Art (London: George Allen & Unwin, 1983), hal.69. 29 Ben-Ami Scharfstein, Of Birds, Beasts, and Other Artists (New York : New York University press, 1988);lihat pula Ben-Ami Scharfstein, Of Birds, Beasts and Other Artists; An essay on the universality of art,
30
Perubahan
paradigmatik
dalam
dunia
seni
rupa
kontemporer yang memiliki keterkaitan dengan pluralitas kultur dan
kehidupan
sehari-hari
ini
pada
akhirnya
melahirkan
ketidaktentuan. Hasilnya, seni bentuknya plural, praktiknya pragmatik, dan medan-seninya multikultural, serta nyaris tak ada ukuran untuk menilai bobotnya secara universal dan seragam. Dalam
catatan
sejarah,
perkembangan
seni
rupa
di
Indonesia juga mengalami pergeseran pandangan estetis, kendati denyutnya tak sehingar-bingar di Barat sebagai kiblatnya. Seni Rupa (khususnya seni lukis) "modern" yang diwakili tokoh-tokoh penting sejak Raden Saleh, Basoeki Abdullah, Soedjojono, Affandi, Hendra Goenawan, hingga generasi A.D. Pirous, Sadali, Widayat, Aming dan tokoh lainnya, sangat disiplin pada kategori gaya atau aliran dan menjadi patron. Mereka memperoleh reaksi yang keras dari Gerakan Seni Rupa Baru tahun 1975 dan Pameran "Seni Rupa
Kepribadian
kecenderungan
Apa"
jauh
tahun
lebih
1977,
bebas
dengan
dalam
menampilkan
pola-pola
ungkap
keseniannya, serta memperkarakan kiblat dan konsep dasar kesenian di Indonesia umumnya.30
Reviewed by Arnold Berleant Jurnal Philosophy in Review Vol. 10, No.1 Tahun 1990, hal. 37-39. 30 Caroline Turner. Art and Social Change: Contemporary Art in Asia and pasific (Canbera: Pandanus Books, 2005), hal. 196-217.
31
Sejak itu para seniman generasi berikut hingga kini praktis berkiblat
dan
berkiprah
sesuai
dengan
kecenderungan
kontemporer seperti di dunia Barat, di antaranya Heri Dono, Krisna
Murti,
Agus
Suwage,
Dadang
Kristanto.
Dalam
perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia, terjadi upaya menggali inspirasi-inspirasi dasar dari khasanah tradisi yang telah tumbuh sejak seni rupa modern dan terus menjadi spirit yang tak ada habisnya, namun tidak lagi terbelenggu dalam karakteristik yang beku sebagaimana dalam seni modern. Demikian halnya dengan karya-karya mural sebagai seni rupa publik. Perubahan paradigmatik mural sebagai elemen interior menjadi ekspresi seni rupa publik berkait erat dengan wacana estetika kontemporer. Mural telah menjelma menjadi media ekspresi yang sarat dengan pesan sosial dan mengisi ruangruang publik kota. Mural sebagai seni rupa publik di kota Yogyakarta juga dipenuhi gagasan yang sarat dengan pengalaman keseharian seperti yang dikemukakan Gadamer dan fungsional sebagaimana gagasan Scharfstein yang menyatu (fusion) dengan lingkungan, dengan manusia lain dan masyarakatnya. Mural pada akhirnya
menjadi
karya
seni
yang
bersifat
partisipatoris-
kontekstual-kultural. Pemikiran Gadamer dan Scharfstein yang telah memberi pengaruh kuat terhadap perkembangan seni rupa kontemporer
32
tersebut dalam penelitian ini digunakan untuk
mengkaji secara
estetis mural sebagai seni rupa publik di Yogyakarta yang kehadirannya bersinggungan dengan hingar-bingar pewacanaan seni
rupa
kontemporer
Yogyakarta.
Kerangka
teoretik
ini
diperlukan untuk membatasi luasnya diskursus dalam aspek estetika di Yogyakarta yang masih dilingkupi pemahaman seni rupa modern.
2. Teori Semiotika Kajian semiotika dalam penelitian ini merupakan alat bantu untuk memahami paradigma estetis yang ada pada mural di ruang publik, namun tidak dimaksudkan untuk membaca semua mural yang ada di kota Yogyakarta secara rinci, bagian demi bagian, tetapi digunakan untuk membaca tanda yang disampaikan oleh pemural
kepada
masyarakat
secara
umum
serta
melihat
kebermaknaannya. Menurut Saussure dalam Hoed, semiotik adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia, artinya semua yang hadir dalam kehidupan kita dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus kita beri makna.31 Winfred Nöth menjelaskan, konsep tentang tanda umumnya digunakan dalam pengertian yang luas
Benny H. Hoed, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya (Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI, 2008), hal. 3. 31
33
pada entitas semiotik konvensional atau alami yang terdiri atas tanda (sign vehicle) yang dikaitkan dengan makna (meaning).32 Definisi yang lebih sempit untuk istilah tanda telah banyak diberikan selama sejarah semiotik oleh tokoh-tokoh semiotika, seperti Charles Sanders Peirce, Ferdinand de Saussure, Charles Morris dan Louis Hjelmslev. Definisi tentang tanda dimulai dengan mempersoalkan terminologi dan pertanyaan ontologis mengenai hakikat tanda dan penandanya, namun demikian terdapat banyak kekaburan terminologis dalam upaya membedakan antara tanda, penanda, dan unsur-unsur minimallnya. Dalam penelitian ini, yang digunakan sebagai pisau analisis semiotika, adalah teori semiotika Roland Barthes, khususnya konsep denotasi, konotasi dan mitos. Teori semiotika Barthes secara harfiah dapat ditelusuri dari teori bahasa Ferdinand de Saussure. Saussure melihat tanda sebagai pertemuan antara bentuk (yang tercitra dalam kognisi seseorang) dan makna (atau isi, yakni yang dipahami oleh manusia pemakai tanda). Saussure menggunakan istilah penanda (signifier = Ing) untuk segi bentuk suatu tanda dan petanda (signified = Ing) untuk segi makna. Dengan demikian tanda dilihat sebagai sesuatu yang menstruktur (proses pemaknaan berupa kaitan antara penanda
Winfred Nöth, Semiotik (Surabaya: Airlangga University Press, 2006), hal. 79. 32
34
dan petanda) dan terstruktur (hasil proses tersebut) dalam kognisi manusia.33 Tanda selalu mempunyai tiga wajah: tanda itu sendiri (sign), aspek material (dapat berupa suara, huruf, bentuk, gambar, gerak)
dari
tanda
yang
berfungsi
menandakan
atau
yang
dihasilkan oleh aspek material (signifier) dan aspek mental atau konseptual yang ditunjukkan oleh aspek material (signified) (ketiga wajah ini sering juga diformulasikan sebagai berikut: sign, signvehicle, meaning).34 Pembedaan ini membuat tanda seolah lebih aktif. Dalam melakukan analisis tentang tanda, pembaca tanda harus tahu benar mana aspek material dan mana aspek mental. Aspek ini merupakan aspek-aspek konstitutif suatu tanda. Tanpa salah satu unsur, tidak ada tanda dan tidak bisa membicarakannya, bahkan tidak bisa membayangkannya. Konsep ini mudah diingat tapi tidak mudah dipahami, karena tidak pernah dapat dibuktikan secara empiris.
Pembuktian
lebih
didasarkan
pada
perspektif
kita
sendiri.35 Dalam
analisis
semiotik
dikenal
istilah
signification,
merupakan hubungan antara signifier dan signified, sedangkan
33
Roland Barthes, Elements of Semiologi (New York: Hill and Wang,
2000). 34 ST. Sunardi, Semiotika Negativa (Yogyakarta: Kanal, 2002), hal. 47-48. Juga pada Winfred Nöth, 2006: 60. Istilah signifier (penanda) sejajar dengan expression dan signified (petanda) sejajar dengan content (istilah yang digunakan dalam teori Hjelmslev). 35 ST. Sunardi, 2002: 49.
35
sign merupakan kesatuan antara signifier dan signified. Dalam analisis
semiotik
kita
mencari
berbagai
hubungan
yang
menyatukan antara signifieds (jamak) dan signifiers dari berbagai unsur objek tersebut.36 Menurut Barthes, analisis semiotik lebih memusatkan perhatian pada suatu objek sebagai the significant (dipenuhi dengan hal-hal yang bermakna) dari pada sebagai the technical atau the functional (kebutuhan dasar akan nilai fungsi yang dipenuhi dengan hal-hal teknis).37 Jadi untuk melihat gejala budaya dalam masyarakat, the significant dari objek fungsional menjadi lebih penting dari pada fungsi atau the technical. Sebagaimana Saussure, Barthes melihat semua komponen yang terekspresikan dalam karya seni sebagai tanda, karena masing-masing sudah mendapat dan menentukan ‘makna’-nya sendiri dalam suatu jaringan relasi pembedaan yang terbentuk dalam
ingatan
(baca:
kognisi)
anggota
masyarakat
yang
bersangkutan. Tanda-tanda itu (baca: komponen) tersusun dalam susunan tertentu sesuai dengan ‘makna’-nya masing-masing. Barthes mengembangkan model dikotomis penanda-petanda menjadi lebih dinamis. Barthes mengemukakan bahwa dalam kehidupan sosial budaya, penanda adalah “ekspresi” (E) tanda, sedangkan petanda adalah “isi” (C=conten). Tanda adalah “relasi”
36 37
ST. Sunardi, 2002: 49. ST. Sunardi, 2002: 51.
36
(R) antara E dan C, yang disebut dengan model E-R-C. Relasi ditetapkan oleh pemakai tanda.38 Menurut Barthes, E dapat berkembang dan membentuk tanda baru, sehingga ada lebih dari satu penanda dengan C yang sama. Pengembangan ini disebut sebagai gejala metabahasa (kesinoniman). Setiap tanda selalu memperoleh pemaknaan awal yang dikenal secara umum (biasa disebut denotasi) dan oleh Barthes disebut “sistem primer”, sedangkan pengembangannya disebut “sistem sekunder”. Sistem sekunder yang ke arah C disebut konotasi, yaitu pengembangan isi (C) sebuah ekspresi (E). Konotasi merupakan makna baru yang diberikan oleh pemakai tanda sesuai dengan keinginan, latar belakang pengetahuannya, atau konvensi baru yang ada dalam masyarakatnya.39 Konsep konotasi ini didasari tidak hanya paham kognisi, tetapi juga oleh paham pragmatik (yakni pemakai tanda dan situasi pemahamannya). Dalam kaitan dengan pemakaian tanda, perasaan (aspek emotif) juga dapat dimasukkan sebagai faktor yang membentuk konotasi. Konotasi dimiliki oleh masyarakat budaya tertentu (bukan individu), dan sesuatu yang dianggap wajar dalam suatu kebudayaan merupakan hasil dari proses konotasi. Pemaknaan dalam konotasi bersifat arbiter, sehingga terbuka untuk berbagai Benny H. Hoed, 2008: 12. Lihat pula Roland Barthes, Elemenelemen Semiologi dialih bahasakan oleh Kahfie Nazaruddin (Yogyakarta: Jalasutra, 2012), hal. 91-92. 39 Benny H. Hoed, 2008: 41. 38
37
kemungkinan. Bila konotasi menjadi tetap, maka ia akan menjadi mitos, sedangkan kalau mitos menjadi mantap, maka menjadi ideologi. Tekanan teori tanda Barthes adalah pada konotasi dan mitos. Barthes juga menggambarkan penanda dalam mitos sebagai bentuk, dan petanda sebagai konsep. Kombinasi dari kedua istilah tersebut merupakan penandaan. Keseluruhan tanda dalam sistem denotatif berfungsi sebagai penanda dalam sistem konotatif atau sistem mitos.40 Karya-karya seni rupa dipenuhi dengan tanda-tanda visual. Menurut Winfried Nöth pendekatan semiotika terhadap estetika memandang karya-karya seni rupa sebagai tanda dan teks, yang proses produksi dan representasinya adalah suatu proses semiosis yang
spesifik.41
Pendekatan
semiotika
terhadap
estetika
menghadapi pertanyaan ketika benda-benda dalam kehidupan sehari-hari menjadi tanda-tanda estetika. Transformasi
semiotika
dari
artefak-artefak
dalam
kehidupan sehari-hari ke dalam karya seni rupa, secara radikal didemonstrasikan oleh objek-objek temuan Marcel Duchamp dan Brilo Box-nya Andy Warhol, telah membawa pada pertimbangan
40
Roland Barthes, Mythologies (New York: Hill and Wang, 1972),
hal. 114. Winfried Nöth, Handbook of Semiotiks (Bloomington dan Indianaolis: Indiana University Press, 1990), hal. 421. 41
38
kembali dari kondisi fundamental semiosis estetika.42 Semiotika objek menjadi penting dalam proses interpretasi terhadap objekobjek temuan yang sudah bertransformasi menjadi tanda-tanda seni dalam seni rupa kontemporer. Pierre Guiraud dalam Berger membagi tiga jenis kode yang penting, yaitu kode sosial, kode estetik dan kode logis.43 Kode sosial mencakup wilayah identitas, tingkatan dan aturan yang berhubungan dengan hubungan sosial. Kode estetik berkaitan dengan seni dan membicarakan bagaimana menginterpretasikan dan mengevaluasi seni. Proses interpretasi dilakukan dengan memeriksa tanda-tanda dalam karya dan mencari kode-kode yang “tersembunyi” di baliknya tetapi yang memberi kekuatan dan arti. Menurut Guiraud, semakin elit suatu seni, maka semakin sedikit memiliki tanda-tanda konvensional yang membuat orang sulit mengerti dan menginterpretasikan karya itu. Sebaliknya, karya seni populer dengan tanda-tanda yang sangat konvensional akan lebih mudah untuk dimengerti, tetapi bisa jadi tidak menarik.44 Kode logis berkaitan dengan tanda-tanda non verbal yang banyak digunakan dalam bahasa ilmiah. Kode-kode tersebut
Winfried Nöth, 1990: 421. Artur Asa Berger, Pengantar Semiotika: Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer, dialih bahasakan oleh M Dwi Marianto (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2010), hal. 208-209. 44 Artur Asa Berger, 2010: 209. 42 43
39
sangat dipengaruhi kultur. Perubahan kultur akan mempengaruhi kode-kode dan pengenalan terhadap tanda-tanda.45 Suatu simbol adalah sesuatu yang memiliki signifikasi dan resonansi kebudayaan. Simbol tersebut memiliki kemampuan untuk
mempengaruhi
dan
memiliki
makna
mendalam.
Pemahaman kita tentang simbol (dan jenis-jenis tanda lainnya) sering tergantung pada apa yang kita terapkan pada simbol-simbol yang menjadi budaya kita.46 Mural di ruang publik merupakan hasil ekspresi yang penuh dengan tanda-tanda visual yang bermuatan pesan dan bermakna untuk dikomunikasikan. Tanda-tanda visual dan verbal yang disampaikan perupa mural kepada masyarakat, bila meminjam istilah semiotika Saussure, dapat bersifat sinkronik (berdasar pada satu titik waktu) dan diakronik (berdasar pada perubahan makna tanda karena pergeseran waktu),47 sehingga signifikansi mural dengan realitas waktu saat mural dibuat dan rentang waktu berikutnya menjadi penting dalam melihat kebermaknaan mural terhadap
lingkungan
(ruang
publik
kota)
dan
masyarakat
penikmatnya.
Artur Asa Berger, 2010: 209. Artur Asa Berger, 2010: 28-29. 47 Marcel Denesi, Pesan,Tanda, dan Makna, dialih bahasakan oleh Evi Setyarini dan Lusi Lian Piantari (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), hal. 13-14. 45
46
40
3. Teori Sejarah. Penelitian
ini
secara
substansial
bukan
merupakan
penelitian sejarah, tetapi tidak bisa meninggalkan faktor sejarah. Teori sejarah dalam penelitian ini digunakan untuk mengkaji latar belakang transformasi mural menjadi seni rupa publik di kota Yogyakarta. Istilah transformasi digunakan dalam judul penelitian ini sebagai padanan dari kata perubahan. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, transformasi diartikan sebagai perubahan (bentuk,
sifat,
fungsi,
dan
sebagainya).48
Perubahan
rupa dalam
kehidupan sosial sulit dibedakan dengan perubahan kultural. Menurut Selo Sumardjan, perbedaan antara perubahan sosial dan perubahan kultural hanya mungkin dalam tingkat analisis, namun dalam praktiknya, sangat sulit untuk membedakan yang satu dengan lainnya.49 Konsep perubahan sosial menurut Soemardjan, mencakup bermacam-macam
perubahan
di
dalam
lembaga-lembaga
masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilainilai, sikap dan pola tingkah laku antarkelompok di dalam masyarakat.50 Lebih lanjut Selo Sumardjan memberikan ilustrasi 48http://kamusbahasaindonesia.org/transformasiKamusBahasaIn donesia.org diunduh 25 Oktober 2014 49 Selo Sumardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta (Yogyakarta: Komunitas Bambu, 2009), hal. xxv. 50 Selo Sumardjan, 2009; xxiv.
41
bahwa
terjadinya
perubahan-perubahan
kecil
dalam
kultur,
seperti kesenian tidak selalu menyebabkan terjadinya perubahan sosial, seperti berubahnya gaya pakaian penari dalam seni klasik ke seni modern.51 Bertolak dari konsep sejarah yang memandang dinamika masyarakat
sebagai
diskontinuitas,52
sebuah
maka
proses
dalam
jalinan
meneliti
kontinuitas
tentang
mural
dan di
Yogyakarta sebagai karya seni rupa publik, dikaji pula faktorfaktor yang mendukung kontinuitas dan perubahannya. Teori sejarah yang juga digunakan dalam penelitian ini adalah kategori ”sejarah pemikiran” (history of thought/ history of ideas/intellectual history). Menurut Stomberg, sejarah pemikiran bermakna sebagai “the study of the role of ideas in historical events and process”53 (Pengkajian dari peran ide-ide dalam kejadian dan proses bersejarah). Menurut Kuntowijoyo, dalam praksisnya teori sejarah pemikiran ini perlu memperhatikan kajian teks yang dikaitkan dengan konteks historisnya.54 Kehadiran mural di ruang publik kota Yogyakarta sebagai seni rupa publik, merupakan peristiwa seni yang lahir dari
Selo Sumardjan, 2009; xxiv-xxv. Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia, Suatu Alternatif (Jakarta: PT Gramedia, 1982), hal. 31. 53 Roland N. Stomberg, “European Intellectual History Since 1789” dalam Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya bekerjasama dengan Jurusan Sejarah FIB UGM, 2003), hal. 189. 54 Kuntowijoyo, 2003: 191. 51
52
42
gagasan para perupa muda Yogyakarta khususnya kelompok Apotik Komik. Gagasan atau ide para perupa serta peristiwa mural di ruang publik ini merujuk pemikiran Roland N. Stomberg, dapat dikategorikan sebagai sejarah pemikiran. Mural yang terpapar di ruang publik dapat dibaca sebagai teks visual yang bertaut dengan konteks ruang dan waktu. Pandangan penganut strukturalis menegaskan bahwa gejala sejarah terjadi dari tindakan-tindakan para pelaku sejarah yang dilatarbelakangi oleh struktur-struktur sebagai bingkainya. Lebih lanjut Kuntowijoyo menjelaskan bahwa, struktur bisa dibaratkan sebagai panggung teater dan pementasan. Di atas panggung tersebut adalah gejala sejarah yang melibatkan para pelakunya. Dengan kata lain, tradisi strukturalis berusaha menghubungkan kejadian di dunia nyata dengan struktur yang bersifat abstrak (pemikiran/mentalis).55 Sebuah proses kejadian di masa lalu (gejala sejarah), dapat dimengerti apabila dikaitkan dengan aspek strukturalnya. Menurut Kartodirjo, pengamatan rangkaian peristiwa dalam sistem sosial-kultural yang menghasilkan artefak budaya, ketika peristiwa yang satu mengakibatkan peristiwa yang lain, dapat
Kuntowijoyo, Penjelasan Sejarah (Yogyakarta: Taira Wacana, 2008), hal. 59. 55
43
menggunakan pendekatan sinkronis dan diakronis.56 Kuntowijoyo menjelaskan bahwa secara sinkronis maka kejadian sejarah akan diungkapkan pada suatu titik waktu tertentu (saat ini) dengan mengabaikan jalur yang telah dilalui, sedangkan secara diakronis maka kejadian sejarah akan diungkapkan dengan mengikuti maju mundurnya arus waktu.57 Lebih lanjut dijelaskan oleh Kuntowijoyo, sinkronis adalah kejadian masyarakat digambarkan sebagai sebuah sistem yang terdiri dari struktur dan bagiannya. Pendekatan struktural dan fungsional melihat potret masyarakat dalam keadaan statis, dalam keadaan waktu nol. Secara diakronis adalah memanjangkan gambaran peristiwa (kejadian) yang berdimensi waktu dengan sedikkit luasan ruang.58 Pengamatan artefak dengan pendekatan analisis sinkronis, dilihat sebagai sistem yang terstruktur, terdiri dari unsur-unsur seni rupa serta dibatasi oleh fungsi-fungsi nyata, misalnya fungsi, bentuk dan makna. Pendekatan diakronis digunakan untuk merekonstruksi secara eksplanatonis latar belakang tampilnya artefak. Eksplanasi dititik beratkan pada kekuatan-kekuatan eksternal atau yang berpusat pada diri manusia, terutama terletak pada pemikiran ilmiah. 56 57 58
Sartono Kartodirjo, 1982: 129-130. Kuntowijoyo, 2003: 23. Kuntowijoyo, 2003: 43.
44
Menurut Holt, perkembangan mural sebagai media ekspresi dan media komunikasi visual (media propaganda) di Yogyakarta dapat
dilacak
sejak
masa
perjuangan
mempertahankan
kemerdekaan melalui propaganda politik,59 dan berlanjut melalui transfer keilmuan pada pendidikan tinggi seni rupa di Yogyakarta. Dari tahun 1980-an sampai sekarang dapat dilihat pula bahwa seni rupa Indonesia perlahan-lahan mengalami perubahan dalam
paradigma
estetisnya.
Seni
rupa
dengan
semangat
modernisme yang elitis dan esoteris dengan prinsip-prinsip harmoni yang kompleks maupun esensialis, bergeser ke semangat kontemporer yang berisi dunia banal keseharian dan prinsipprinsip harmoni yang disharmoni (paradoxical juxtaposition). Menurut M. Agus Burhan, seni kontemporer tidak hanya suntuk dengan olah konsep dan makna, tetapi juga olah sensasi, ironi, dan parody. Dalam paradigma itu seni instalasi, happening art, performance art, atau segala bentuk new media art dapat berkembang.60 Dengan demikian secara sinkronis, dinamika seni kontemporer Yogyakarta diasumsikan memberi warna yang kuat terhadap ekspresi mural sebagai seni rupa publik di Yogyakarta.
Claire Holt, Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia, dialih bahasakan oleh R.M. Soedarsono (Bandung: MSPI, 2000), hal. 330. 60 M. Agus Burhan, ”Cemeti sebagai Tanda Perubahan Zaman” dalam 15 Years Cemeti Art Hause Exploring Vacuum (Yogyakarta: Cemeti Art House, 2003), hal. 35. 59
45
Penetrasi mural di ruang publik tersebut dapat pula dipandang sebagai caunter culture terhadap dominasi karya seni rupa yang sudah mulai terkooptasi kepentingan kapitalistik dan komersial serta menjauh menjadi elitis serta individualistik. Oleh sebab itu perkembangan keduanya secara historis (kronologi waktu dan momentum serta konsep pemikiran yang melingkupi) dikaji dengan melihat keterhubungannya melalui teori pemikiran Roland N. Stomberg.
4. Teori Ruang Publik. Ruang merupakan alih kata space untuk bahasa Indonesia. Dalam Oxford English Dictionary disebutkan, space berasal dari bahasa Latin spatium yang berarti terbuka luas, memungkinkan orang berkegiatan dan bergerak leluasa di dalamnya dan dapat berkembang tak terhingga.61 Secara filosofis oleh Munitz, ruang diberi pengertian sebagai tempat acuan untuk menunjukkan posisi perletakan sebuah objek dan menjadi suatu medium yang memungkinkan suatu objek bergerak.62 Menurut pandangan Hutama, dalam arsitektur, ruang merujuk pada dua sifat: matematis dan psikologis. Arsitektur
61
http://public.oed.com/about/free-oed/diunduh 12 Nopember
2011 Milton Karl Munitz. Space, Time, and Creation: Philosophical Aspects of Scientific Cosmology (Dover Publications, 1981). 62
46
memahami ruang secara matematis sebagai sebuah entitas dan objek yang dibatasi oleh tiga sumbu: x, y, dan z. Secara psikologis, arsitektur
memahami
ruang
sebagai
locus
terjadinya
percampuran, pertemuan atau bahkan pertempuran beragam kepentingan
(needs)
Pemahaman
matematis
dan
keinginan
bersifat
(wants)
objektif
dan
manusia.63 kuantitatif,
sedangkan pemahaman psikologis bersifat subjektif dan kualitatif. Kedua pemahaman sifat ini tidak berdiri sendiri, tetapi saling melengkapi. Tanpa adanya integrasi dan harmonisasi antara keduanya tidak akan lahir sebuah ruang arsitektur. Lebih lanjut Hutama menyatakan, “publik” dan “privat” dalam ranah arsitektur sebenarnya tidak merujuk pada aktivitas tertentu, namun lebih kepada rasa, suasana dan pencerapan indera yang mempengaruhi kesan kepemilikan terhadap sebuah locus.64 Semakin eksklusif kesan kepemilikan yang terjadi pada sebuah locus maka semakin privat locus tersebut, begitu pula sebaliknya.
Jadi
ruang
publik
dalam
arsitektur
lebih
menggambarkan batas ruang yang nyata di mana ruang tersebut mampu membangun suasana kepemilikan publik.
David Hutama, ”Ruang Publik dalam Arsitektur” dalam F. Budi Hardiman, Ruang Publik: Melacak”Partisipasi Demokratis” dari Polis sampai Cyberspace (Yogyakarta: Kanisius, 2010), hal. 318-319. 64 David Hutama, 2010: 323. 63
47
Kriteria dari ruang perkotaan (urban space), menurut Rob Krier adalah karakteristik geometrik dan estetikanya. Artinya, secara fisik ruang perkotaan merupakan suatu ruang luar yang dibatasi oleh berbagai macam bentuk facade dan ketinggian massa (elevation) serta mempunyai nilai estetis yang dapat membuatnya diterima sebagai ruang kota (urban space).65 Namun demikian dalam perkembangan berikutnya sifat dan karakteristik ruang kota tidak hanya sebatas karakter fisik semata. Roger Trancik membagi dua tipe ruang kota (urban space) berdasarkan sifatnya, yaitu ruang dengan batas yang nampak (hard space) dan ruang dengan batas yang tidak nampak (soft space). Komponen ruang dengan batas yang nampak (hard space) pada sebuah ruang kota adalah plasa (square), jalan, sifat ruang (terbuka atau tertutup), artikulasi permukaan ruang, skala ruang (monumental
atau
intim),
serta
fungsi
komunikatif
ruang.
Komponen ruang dengan batas yang tidak nampak (soft space) merupakan komponen-komponen non-arsitektural atau alamiah, antara lain ruang hidup sosial manusia (human space) dan ruang alamiah seperti daerah pinggiran, bukit (rural space), dan tamantaman (parklike space).66
65
Rob Krier, Urban Space (London: Academy Editions, 1979), hal.
15-22. Roger Trancik, Finding Lost Space (New York: Van Nostrand Reinhold Company, 1986), hal. 60-96. 66
48
Ada fenomen menarik ketika suatu kawasan publik menjadi kota: fasilitas komersial tumpah ke ruang publik, khususnya jalanan. Tepi-tepi jalanan sebagai ruang linear kota, mendadak jadi ajang perebutan dan menjadi kawasan komersial. Tepian jalan adalah kawasan tegangan yang kadang setipis garis pagar, kadang selebar
trotoar.
Herman
Hertzberger
menamakan
kawasan
pembatas antara privat dan zona publik itu sebagai ruang ketiga (the third space), ruang antara (in between space).67 Suatu ranah yang mewarnai wajah kota. Di ranah itulah orang menempatkan tanda-tanda kehadirannya. Ketika jaringan jalan di kota-kota lambat laun bertambah panjang, maka di ranah tepi-tepinya terjadi pemadatan intensitas. Menempatkan tanda-tanda di sana menjadi semacam pertarungan kepentingan. Semua tanda untuk menuntun orang menyibak keruwetan kota itu berada di tepi jalan, berada di tepi ruang publik dan sekaligus juga berada di tepi ruang privat. Tanda-tanda itu bisa berupa warung kaki lima, tempat tambal ban dan bermacam usaha lainnya. Dalam konteks seni rupa, tanda-tanda itu bisa berupa patung publik, grafiti, mural, bahkan berupa seni (rupa) pertunjukan (performance art), seni peristiwa (happening art), seni lingkungan (environment art), dan
Herman Hertzberger, Space and the Architect: Lessons in Architecture 2 (Netherlands: 010 Publishers, 2000). 67
49
seni instalasi. Semuanya tanda-tanda ini berada di ruang perbatasan
yang
menyimpan
potensi
sebagai
kawasan
bertegangan tinggi. Kawasan bertegangan tinggi ini berlapis-lapis membentuk kontinum dari privat ke publik dan sebaliknya. Masyarakat menamakan kawasan tegangan tinggi itu sebagai lokasi “sektor informal”. Penamaan itu menandakan bahwa kawasan itu tidak terjangkau
oleh
peraturan
pemerintah
daerah
dan
pihak
pembentuk kawasan itu menginginkan menghindari peraturan. Kawasan ini sering dianggap sebagai kawasan tak bertuan. Menurut Lawson, ruang publik dari waktu ke waktu terus mengalami pergeseran dalam pemaknaan, ruang publik sebagai tempat pertemuan, pemaknaannya dapat berubah secara temporer sesuai dengan aktivitas yang terjadi pada suatu waktu tertentu.68 Tempat-tempat seperti ini banyak tersedia di kota-kota yang terus berkembang. Aktivitas temporer publik menjadi bagian penting dalam menafsirkan ulang lokasi sehingga makna lokasi menjadi lebih kaya dan tergantung waktu. Pengayaan pemaknaan ini hanya terjadi di titik-titik tertentu, tidak di sembarang lokasi, tidak di sembarang titik.
Bryan Lawson, The Language of Space (Oxford: Architectural Press, 2001), hal. 11. 68
50
Nama suatu tempat atau ruang publik bisa dirujuk dari pengisi-pengisinya, bukan dari struktur fisik tempat itu. Oleh sebab itu penandaan pada suatu ruang publik tidak diberikan pada suatu lokasi secara spesifik, tapi menunjuk pada titik waktu. Titik waktu itu yang menentukan kapan saat menjadi ruang privat dan kapan menjadi ruang publik. Pemaknaan ruang menjadi berlapis-lapis. Hal ini dapat dilihat pada fenomena trotoar jalan dan tepian jalan raya serta dinding di sepanjang jalan kota yang multifungsi. Lokasi-lokasi itu tidak dinamai atas nama path atau node sebagaimana terminologi Kevin Lynch69, struktur yang disediakan oleh kota dapat diperkaya oleh pemaknaan di lapis berikut. Dalam pemahaman sosiologis, menurut Jurgen Habermas dan Hannah Arendt, konsep ruang publik merupakan sebuah ide yang berada pada ranah abstrak. Habermas memandang bahwa semua ruang kehidupan sosial memungkinkan membentuk ruang publik dan menjadi ruang mediasi bagi “negara” (state) dan “masyarakat” (society). Negara adalah pihak yang diberi mandat untuk menata masyarakat, yang mengatur ruang publik.70 Namun demikian
pada
kenyataannnya,
negara
tidak
hanya
69 Kevin Lynch, The Image of the City (Cambridge Massachussettes: MIT Press, 1960). 70 Idi Subandy Ibrahim, Dari Nalar Keterasingan Menuju Nalar Pencerahan: Ruang Publik dan Komunikasi dalam Pandangan Soedjatmoko (Yogyakarta: Jalasutra, 2004), hal. 3.
51
berkepentingan untuk menjaga aturan main dalam ruang publik kenegaraan, tetapi negara juga sudah ikut melakukan intervensi dalam hampir setiap sektor kehidupan. Dalam situasi demikian komunikasi dalam ruang publik tidak lagi sepenuhnya bebas, karena sudah mengandung distorsi dan manipulasi. Habermas juga berpandangan bahwa ruang publik menjadi bagian penting dari ruang hidup, yang sesungguhnya bisa ikut memberikan isi bagi kebudayaan, namun kuatnya hegemoni negara menyebabkan ruang publik dan ruang budaya dirembesi kepentingan
tertentu,
terutama
kepentingan
ekonomi
dan
kekuasaan. Manusia senantiasa hidup dalam sebuah “ruang hidup” yang di dalamnya mereka bisa berinteraksi atau berkomunikasi dengan sesama dalam sebuah “ruang publik” (public sphere). Di dalam ruang publik, manusia tidak hidup dalam kekosongan eksistensial, tetapi mereka terus bergulat dengan kenyataan zamannya.
Dalam
pergulatan
sebagai
manusia,
mereka
membentuk “wilayah sosial” (social sphere). Wilayah yang oleh Jurgen Habermas dalam karyanya The Structural Transformation of the Public Sphere (1989), disebut sebagai “dunia publik” atau “ruang publik” (public sphere).71
71
Idi Subandy Ibrahim, 2004:1.
52
Kehadiran
mural
sebagai
seni
rupa
publik
di
kota
Yogyakarta sangat menarik dikaji dalam konteks konsepsi ruang publik dalam wilayah sosial (social sphere). Sebagai karya seni publik, mural menempati ruang publik dan masyarakat merasa ikut memiliki ruang publik tersebut, sehingga kehadiran mural akan memberi pengaruh terhadap masyarakat sebagai pengguna ruang publik. Tanggapan masyarakat yang terliput di media massa khususnya koran dan media online berkaitan dengan kehadiran mural di ruang publik kota menjadi bukti bahwa mural telah memasuki ranah public sphere. Kehadiran mural juga menegaskan kepemilikan suatu ruang melalui tanda-tanda visualnya. Visualitas tanda-tanda tersebut berperan sebagai pembentuk karakter dan peta mental (mental map). Bila mengikuti pemikiran Kevin Lynch, maka bentuk, ukuran,
letak,
membangun berperan
warna,
citra
dalam
corak
estetis
dan
dari
tanda-tanda
itu
dapat
berikutnya
secara
signifikan
identitas
suatu
tempat.72
menghadirkan
Kehadiran mural melalui tanda-tanda visualnya melalui bentuk, ukuran, warna, corak dan letaknya dapat berperan dalam membangun citra estetis dan menjadi identitas kota.
72Kevin
Lynch, What Time Massachussettes: MIT Press, 1972).
is
this
Place?
(Cambridge
53
Sebagai pembangun citra estetis dan identitas kota, maka kehadiran mural di ruang publik harus mempertimbangkan tempat dan posisi penempatannya secara spesifik serta terencana. Menurut Kevin Lynch dalam membangun citra kota harus diperhatikan komponen fisik pembentuk citra kota yang terdiri dari jalur (path), simpul (node), pembatas (edge), blok lingkungan (district) dan tetenger (landmark).73 Bagi sebuah kota, tempat yang berupa ruang publik dapat menjadi daya tarik suatu kota serta memiliki potensi komersial sebagai destinasi wisata. Dalam memasarkan tempat sebagai objek komersial, menurut pandangan Philip Kotler, Donald H. Haider dan Irving Rein, dalam membangun citra suatu tempat dapat menggunakan tiga elemen secara efektif, yaitu (1) slogans, themes, and positions; (2) visual symbols; dan (3) events and deeds.74 Slogan, tema dan posisi yang digunakan dalam membangun citra suatu tempat biasanya dilakukan melalui suatu program kampanye berkelanjutan selama bertahun-tahun. Beberapa kota di dunia menciptakan slogan untuk membangun citra kota tersebut, di antaranya Pennsylvania dengan slogan “America Starts Here”, Detroit, Michigan dengan slogan “The Renaissance
73Kevin
Lynch, 1960. Philip Kotler, Donald H. Haider and Irving Rein, Marketing Places (New York: A Division of Macmillan, Inc., 1993), hal. 151. 74
54
City” Boston, Massachusetts dengan slogan “The Bicentennial City.75 Simbol-simbol visual yang terdapat pada suatu tempat harus konsisten memperkuat slogan, tema, dan posisi yang telah dipilih
suatu
tempat.
Ketidakkonsistenan
akan
merusak
kredibilitas citra suatu tempat.76 Terdapat empat strategi yang umum digunakan untuk membangun citra visual suatu tempat: (1) The diverse visual, keberagaman citra visual yang dibangun melalui media seperti fotografi, lukisan, landmark; (2) The humorous
visual,
menyajikan
citra
visual
yang
lucu,
menyenangkan dan menghibur; (3) The denying visual, menyajikan citra visual yang bertujuan menyangkal citra negatif suatu tempat; (4) The consistent visual, menggunakan citra visual yang konsisten untuk membangun citra positif suatu tempat secara kuat.77 Kehadiran mural sebagai seni rupa publik di ruang publik kota di latarbelakangi oleh spirit menghadirkan ruang publik kota yang estetis melalui elemen-elemen visual berupa mural, bahkan beberapa di antaranya digagas melalui event mural kota yang melibatkan berbagai pihak. Namun demikian apakah mural di Yogyakarta yang berada di ruang publik ikut berperan dalam memberikan makna terhadap ruang publik dan memberi citra Philip Kotler, Donald H. Haider and Irving Rein, 1993: 151-152. Philip Kotler, Donald H. Haider and Irving Rein, 1993:153-154. 77 Philip Kotler, Donald H. Haider and Irving Rein, 1993: 154-155. 75 76
55
estetis serta membangun identitas ruang. Permasalahan ini akan dikaji dengan merujuk pada pandangan Kevin Lynch serta Philip Kotler, Donald H. Haider dan Irving Rein, dalam membangun citra dan identitas ruang publik.
5. Teori Seni Publik Ensiklopedia
Britanica
mendefinisikan
mural
sebagai
lukisan atau karya lainnya yang digunakan pada permukaan tembok dan dibuat menyatu dengan tembok. Istilah mural berasal dari bahasa Latin “murus” yang berarti dinding, yaitu lukisan yang ditorehkan di dinding, langit-langit atau kanvas panel yang melekat dengan dinding.78 Dalam konteks arsitektural, mural didefinisikan sebagai lukisan besar yang dibuat untuk mendukung ruang arsitektur.79 Definisi tersebut bila diterjemahkan lebih lanjut, bahwa mural sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari bangunan, dalam hal ini dinding. Dinding dipandang tidak hanya sebagai pembatas ruang maupun sekedar unsur yang harus ada dalam bangunan, namun dinding juga dipandang sebagai medium untuk memperindah ruangan.
Britannica Encyclopedia and Merriam-Webster’s Collegiate Dictionary (Britanica Encyclopedia, Inc., 1996). 79 Gary Lord & David Schimdt, Marvelous Murals You Can Paint (Cincinnati, Ohio: North Light Books, 2001), hal 8. 78
56
Mural juga berarti lukisan yang dibuat langsung maupun tidak langsung pada permukaan dinding suatu bangunan, yang tidak langsung memiliki kesamaan dengan lukisan. Perbedaannya terletak pada persyaratan khusus yang harus dipenuhi oleh lukisan dinding, yaitu keterkaitannya dengan arsitektur atau bangunan, baik dari segi desain (memenuhi unsur estetika), maupun usia serta perawatan dan juga dari segi kenyamanan pengamatannya.80 Mural yang secara teknis dibuat di dinding dapat dibagi menjadi dua, yaitu mural dalam ruangan dan mural di luar ruangan. Dalam penelitian ini yang dikaji adalah mural di luar ruangan. Dalam perkembangan seni rupa kontemporer mural di luar ruangan banyak digunakan para seniman sebagai media ekspresi seni publik. Sejarah perkembangan mural di abad ke-20 tidak bisa dipisahkan dari sosok seniman Meksiko, Diego Rivera (lahir 1886, meninggal 1957). Diego Rivera-lah yang mengusung mural ke ruang-ruang publik serta menjadikan mural sebagai medium untuk menyampaikan idiom-idiom perjuangan, nasionalisme, dan permasalahan sosial politik. Mural dijadikan medium yang efektif
80
Gary Lord & David Schimdt, 2001: 9.
57
dan radikal untuk menyampaikan pesan-pesan sosial-politik di Meksiko dan Amerika Serikat.81 Karya-karya mural Rivera melahirkan kontroversi namun sekaligus
mengispirasi
bagi
seniman
lainnya,
seperti
Jose
Clemente Orozco, dan David Alfaro Siquerios. Para seniman ini memperkenalkan identitas nasional baru yang berpusat pada petani, suku Indian dan kelas pekerja dalam sebuah program mural.
Berpuluh-puluh
mural
menghiasi
sudut-sudut
kota.
Peristiwa ini menjadi moment penting dan dianggap sebagai tonggak penting bagi wacana seni publik.82 Pengkajian terhadap karya mural sebagai karya seni publik di ruang publik kota khususnya di kota Yogyakarta sangat penting dilakukan, karena sampai saat ini pengkajian secara teoretis terhadap seni publik sangat jarang dilakukan. Kegelisahan ini juga diungkapkan Miles, “Praktek seni publik saat ini memiliki keanekaragaman namun berjarak dengan seni yang konvensional, dari pameran patung di luar ruang, mural, seni di jalanan dan trotoar,
dan
beberapa
lainnya
tumbuh
bersamaan
dengan
perkembangan kota, namun sebagian besar tidak dibarengi dengan perspektif teoretis seperti pada disiplin ilmu lain. Sebagai
Sheila Wood Foard, Diego Rivera: The Great Hispanic Heritage (Chelsea House Publishers, a subsidiary of Haights Cross Communications, 2003), hal. 10. 82 Sheila Wood Foard, 2003: 14. 81
58
hasilnya miskin dengan penulisan kritis. Seni publik, juga merupakan area yang dimarginalkan dalam praktik seni”.83 Seni publik adalah seni yang dipamerkan di tempat publik di luar institusi seni yang ditentukan secara resmi seperti galeri seni atau museum, dengan demikian sepenuhnya bisa dimasuki oleh publik dan secara teori menjadi milik publik.84 Seni publik ditengarai telah tumbuh sejalan dengan perkembangan peradaban manusia dalam membangun komunitas. Seni publik menjadi bagian integral dari ruang publik, ruang yang terus tumbuh seiring dengan pertumbuhan masyarakatnya. Menurut Miles, kebijakan
dalam
penggunaan
ruang
publik
harus
mempertimbangkan kepublikan, yang salah satu instrumennya adalah
keterlibatan
peran
masyarakat
dalam
menentukan
keputusan yang menyangkut masyarakat itu sendiri.85 Geliat mural di ruang publik mulai terasa kembali di Amerika Serikat pada tahun 1970 melalui aksi-aksi jalanan seniman Amerika berdarah Haiti, Gerard Basquiat bersama temannya yang berdarah Puerto Rico, Matilde. Secara diam-diam mereka membuat graffiti dengan cat semprot di sudut-sudut kota, Malcolm Miles, 1997:64. Nicola Kearton (ed), Art and Design Magazine : Public Art, No. 46, 1996, hal 29. 83 84
Malcolm Miles. ‘Visions of Utopia’, Public Art Journal, vol. 1, 2, 1999, hal. 50-51 85
59
di stasiun dan gerbong kereta dengan tulisan “SAMO” (same old shit) yang pada saat berikutnya mengispirasi banyak seniman berkarya di ruang publik. Ekspresi yang liar dan primitif menjadi andalan Basquiat melalui karya visual di ruang publik yang disebutnya sebagai public poetry, di antaranya karya: Riding With Death 1988, Riddle Me This Batman dan Big Sun.86 Pada era 1980-an perkembangan seni mural mencatat nama Keith Haring sebagai seniman mural abad ke-20 yang paling berpengaruh. Ketertarikan Haring pada seni mural dipicu oleh karya-karya graffiti Basquiat di jalanan dan stasiun kota New York, Amerika Serikat. Pada periode ini mural semakin menyebar ke seluruh penjuru dunia sebagai seni publik yang dinilai cukup efektif digunakan untuk memperjuangkan berbagai kepentingan, dari sosial, politik, hingga murni kepentingan estetik. Di negaranegara konflik, mural sangat mudah ditemui di ruang publik kota. Propaganda politik menjadi tema sentral dalam mural tersebut. Ruang publik yang menjadi sasaran tidak hanya dinding-dinding di jalanan, tetapi terus meluas merambah vasilitas umum seperti alat transportasi umum, box telepon umum dan tiang listrik. Berkembanganya budaya urban memperkuat perkembangan mural dan seni publik lainnya di berbagai belahan dunia. Pergeseran pandangan estetika tentang pemaknaan karya seni 86
Sheila Wood Foard, 2003: 78.
60
menjadi ruh karya-karya di ruang publik ini. Berubahnya pola produksi makna yang memandang penciptaan "adikarya" tidak lagi dianggap satu-satunya fokus dengan format lukisan yang akrab dengan dinding museum berubah ke arah format instalasi, multimedia dan kecenderungan interdisipliner, sehingga aspek dialogis atau komunikatif jadi lebih menonjol. Karya seni rupa hadir tidak hanya untuk "ditonton", melainkan untuk didialogkan dan lebih lagi: dialami. Dalam seni kontemporer, penikmat karya seni dapat sekaligus menjadi bagian dari karya seni. Dalam seni kontemporer "karya" lebih merupakan "peristiwa". Dalam kerangka dialogis itu otomatis sang seniman lebih berfungsi sebagai semacam "fasilitator" yang memberi umpan atau perangsang bagi penciptaan makna bersama pemirsanya. Dengan begitu seniman itu sendiri posisinya bukan lagi pusat. Pusatnya adalah "makna" yang terbentuk dari interaksi dialogis antara seniman, karyanya dan persepsi penonton.
G. Metode Penelitian Selaras
dengan
karakteristik
topik
penelitian,
jenis
penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Salah satu substansi
penelitaian
kualitatif
adalah
berparadigmakan
naturalistik, yang orientasinya diarahkan untuk kepentingan penggalian data yang sifatnya alamiah, sistemik dan holistik
61
kontekstual.87 Dikatakan sistemik-holistik karena permasalahan yang dikaji dipandang sebagai satuan sistem yang unsurunsurnya saling mengait secara keseluruhan. Penetapan paradigma penelitian kualitatif pada disertasi ini didasarkan pada kesesuaian ciri-cirinya yang: 1) menggunakan rancangan penelitian yang luwes, dalam arti memungkinkan penyempurnaan
selama
proses
penelitian;
2)
meneliti
latar
belakang objek sesuai dengan kondisi yang wajar atau alamiah (natural setting); 3) menyesuaikan diri dengan kenyataan ganda yang dijumpai dalam proses penelitian; 4) prosesnya berbentuk siklus dengan mengandalkan peneliti sebagai instrument utama. 1. Sumber Data a. Karya mural sebagai artefak Artefak berupa karya mural di luar ruangan menjadi sumber data utama penelitian, yaitu mural-mural yang bertebaran
di
dinding jalanan, dinding tiang jembatan layang, lorong-lorong perkampungan, dan tempat-tempat lain yang masih dalam wilayah kota Yogyakarta dan sekitarnya, yang masih dalam kondisi baik serta mural lama yang terdokumentasikan dari tahun 1997 sampai tahun 2012 akan diobservasi dan dianalisis sesuai dengan tujuan penelitian. Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), 3. Lihat pula Tjejep Rohendi Rohidi, Metode Penelitian Seni (Semarang: Cipta Prima Nusantara, 2011), hal. 47. 87
62
b. Informan Sumber data yang lain adalah informasi narasumber pelaku dan pengamat mural yang dipandang relevan dengan pemecahan masalah. Para pelaku mural ini di antaranya para perupa yang tergabung dalam ”Apotik Komik”, ”Taring Padi”, ”Jogja Mural Forum” dan partisipan mural lainnya yang terlibat proyek mural yang digagas oleh kelompok perupa tersebut di atas maupun komponen masyarakat lainnya. Informan lainnya adalah pengamat seni, pamong praja yang bersentuhan dengan kebijakan kota serta pihak lain yang dipandang memiliki pengetahuan atau wawasan yang memadai terhadap informasi yang diperlukan. Mengingat
dalam
kelompok-kelompok
budaya
(cultural
scenes) yang diketahui oleh beberapa orang tertentu tetapi belum diketahui orang-orang lainnya, maka narasumber harus dipilih berdasarkan kriteria tertentu, sebagai berikut : 1) yang memahami dengan baik pemikiran-pemikiran si pencipta atau kebudayaan subyek, 2) yang terlibat dengan kebudayaan yang diteliti, 3) menguasai suasana budaya yang belum dikenal peneliti, 4) yang memiliki cukup waktu, dan 5) yang mampu memberikan informasi non-analitis.88
James P. Spredley, Metode Etnografi (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997), hal. 29, dan 61-65. 88
63
c. Dokumen dan catatan Dokumen dan catatan atau arsip merupakan sumber informasi non-manusiawi yang sangat penting dalam penelitian ini. Mengacu pada Bogdan dan Biklen, jenis dokumen dan catatan yang menjadi sumber informasi penelitian ini meliputi dokumen resmi berupa surat kabar, katalog, bundle yang berisi foto-foto mural dari perpustakaan IVAA (Indonesian Visual Art Archive), dan perpustakaan lain yang menyimpan dokumen tentang mural di Yogyakarta, dokumen yang dimiliki kelompok perupa Apotik Komik, Taring Padi, Jogja Mural Forum, dokumen pribadi perupa mural dan peneliti mural lainnya, serta catatan-catatan penting para pengamat seni dan dokumen lain yang sesuai dengan tujuan penelitian.
2. Teknik Pengumpulan Data Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini, cara yang dilakukan adalah: a. Pengamatan Pengamatan (observasi) dilakukan dengan cara mengamati langsung karya mural di kota Yogyakarta, yaitu mural-mural yang bertebaran
di dinding jalanan, dinding tiang jembatan layang,
64
lorong-lorong perkampungan dan tempat-tempat lain yang masih dalam wilayah kota Yogyakarta. Mural yang juga diobservasi adalah mural yang terdokumentasikan di IVAA dari tahun 1997. Pengamatan difokuskan terutama yang berkait dengan objek visual, ekspresi yang terlihat dari penggambaran gesture, teks dan pesan, gaya atau genre yang mempengaruhi dan aspek visual lainnya.
Pengamatan
dilakukan
sebagai
langkah
penginventarisasian dan pengidentifikasian karakteristik objek dalam kaitannya dengan pokok masalah yang dikaji.
b. Dokumentasi Cara
ini
dilakukan
dengan
memanfaatkan
dokumen-
dokumen penting, baik resmi (milik perpustakaan) maupun tidak resmi (milik pribadi), yang terkait dengan informasi perihal mural di
Yogyakarta,
serta
keterkaitannya
dengan
latar
belakang
peristiwa. Untuk kepentingan tersebut dilakukan pencatatan dan pemotretan sesuai permasalahan dan keperluan analisis. Untuk menjamin atau meningkatkan validitas data dalam peneltiian ini diupayakan dengan cara yang disebut triangulasi, sebagai cara yang paling umum digunakan dalam penelitian kualitatif. Triangulasi yang digunakan adalah triangulasi sumber dan triangulasi metode. Triangulasi sumber dilakukan dengan mengumpulkan
data
sejenis
dengan
menggunakan
beragam
65
sumber data yang tersedia dalam kerangka memperoleh data yang benar. Triangulasi metode dilakukan dengan menggali data yang sama melalui penerapan metode pengumpulan data yang berbeda.
c. Wawancara Wawancara dilakukan tidak sekedar untuk melengkapi data penting yang tidak terjaring melalui cara pengumpulan data lain, misalnya pengamatan dan dokumentasi, tetapi juga berperan sebagai cara utama dalam pengumpulan informasi. Wawancara menjadi sangat penting dalam pengumpulan data yang terkait dengan informasi mengenai latar peristiwa dan kaitannya dengan karakteristik pengungkapan, pesan yang ingin disampaikan serta simbol dan makna dari masing-masing penggambaran karakter dan pesan dalam mural. Wawancara dilakukan secara mendalam (in depht interview) dan tidak berstruktur. Wawancara jenis ini bersifat lentur dan terbuka, tidak berstruktur ketat, tidak dilakukan dalam suasana formal dan dapat dilakukan berulang-ulang pada narasumber yang sama. Pertanyaan yang diajukan dapat semakin difokuskan sehingga informasi yang diperoleh semakin terinci dan mendalam. Penentuan narasumber yang diwawancarai dilakukan secara purposive sampling (sampel terpilih) melalui teknik snowball sampling dengan menitikberatkan pada konsep teoretis, tujuan
66
peneliti dan karakter asli objek. Untuk memahami makna informasi, peneliti melakukan tafsir dialogis berdasarkan jenis informasi yang dikuasai narasumber. Tafsir makna dialogis ini didasarkan pada penangkapan makna objektif dan subjektif narasumber.
67
Teknik
pengumpulan
data
pada
penelitian
ini
dapat
dibagankan sebagai berikut:
Pengamatan Objek Visual dan Studi Lapangan
Untuk menemukan data faktual tentang mural publik di Yogyakarta dari tahun 1997 sampai dengan 2012
Dokumentasi Literer dan Visual
Untuk melacak perkembangan mural publik di Yogyakarta dari waktu ke waktu (aspek histories) serta melihat keterkaitannya dengan perkembangan seni rupa kontemporer dan seni rupa publik di Yogyakarta dan situasi sosial, politik, serta budaya yang melatar belakangi.
Wawancara dengan informan
Untuk memperoleh data yang secara kontekstual mendukung analisis tentang aspek estetik, semiotik, historis dan sosial
Bagan 1. Teknik Pengumpulan Data (Bagan 1. dibuat oleh Bramantijo)
68
3. Analisis Data a. Hasil observasi terhadap karya mural dari tahun 1997 – 2012,
baik
yang
masih
ada
maupun
yang
sudah
tergantikan oleh mural yang baru, namun terdokumentasi dalam dokumen di perpustakaan maupun dokumen pribadi perupa serta informasi berupa pendapat atau pandangan para
narasumber,
dokumentasi
berupa
artikel,
hasil
penelitian, dipilah-pilah berdasarkan kesesuaian dengan tujuan penelitian. b. Data yang telah direduksi berikutnya dianalisis berdasarkan masalah yang dikaji, misalnya: data berupa artefak mural dikelompokkan berdasarkan setting waktu (tahun), pilihan tempat, tematik, karakteristik visualisasi, pesan dan makna, untuk berikutnya digali lebih dalam kesesuaiannya dengan informasi narasumber tentang latar belakang peristiwa mural, tujuan pembuatan mural, citra ruang publik kota yang diharapkan, serta reaksi masyarakat kota terhadap mural, baik yang diprediksi maupun yang tidak diprediksi. Data yang telah tersaji tersebut diverifkasi dan dianalisis berdasarkan
teori
yang
dipilih
untuk
mendapatkan
kesimpulan sementara. c. Analisis
estetika
dan
semiotika
dipergunakan
untuk
membedah permasalahan visual dari aspek karakteristik
69
visual
dan
verbal,
tematik
dan
pemaknaannya.
Teori
semiotika sekaligus juga digunakan sebagai pisau bantu untuk mengungkap sesuatu yang tersembunyi, di balik idiom visual dan verbal yaitu makna denotatif dan konotatif serta mitos-mitos yang mengiringi pemaknaan sebagaimana dalam teori semiotika Roland Barthes. Analisis ini dapat digunakan
untuk
menjawab
berbagai
hal
yang
terepresentasikan dalam mural publik di kota Yogyakarta sebagai narasi visual dalam konteks ruang dan waktu. d. Analisis sejarah dipergunakan untuk mengkaji informasi yang berkaitan dengan gagasan lahirnya peristiwa mural, keterkaitan dengan perkembangan seni rupa konteporer dan seni rupa publik di Yogyakarta, dukungan infrastruktur sosial dan kultural, pilihan waktu dan ruang publik, dukungan
masyarakat,
difokuskan
untuk
menjawab
permasalahan mengapa mural bertransformasi menjadi media
seni
rupa
publik
serta
kaitannya
dengan
perkembangan seni rupa kontemporer di Yogyakarta dari tahun
1997-2012.
T.
Ibrahim
Alfian
mengungkapkan
pemikiran Gilbert J Garraghan mengenai metode sejarah bahwa, azaz dan kaidah-kaidah yang sistematis dapat membantu secara efektif dalam mengumpulkan sumbersumber sejarah, menilai secara kritis dan menyajikannya
70
dalam suatu sintesis.89
Garraghan mensyaratkan beberapa
langkah untuk penelitian-penelitian sejarah, di antaranya adalah (1) heuristic, (2) critics, (3) aufasung. Langkah pertama, adalah bagaimana seorang peneliti menghimpun data-data sebagai bukti sejarah; langkah kedua adalah mengkritisi dan mengkaji bukti-bukti sejarah; dan langkah ketiga adalah memahami secara mendalam terhadap buktibukti
sejarah
tersebut.90
Bukti-bukti
sejarah
berupa
pemikiran para seniman yang terpublikasikan melalui media koran dan online, dokumentasi video dan artefak mural menjadi bahan analisis sesuai dengan pandangan Stomberg tentang sejarah pemikiran yang bersumber dari ide-ide dalam kejadian dan proses bersejarah, serta menurut Kuntowijoyo
perlu
memperhatikan
kajian
teks
yang
dikaitkan dengan konteks historisnya. e. Analisis
terhadap
ruang
publik
sebagai
tempat
menghadirkan mural difokuskan pada citra visual yang ditimbulkan dengan hadirnya mural dari aspek ruang arsitektural maupun fungsinya sebagai destinasi wisata.
Gilbert J. Garraghan, S.J., A Guide to Historical Methods (Cambridge: Fordham University Press, 1957), seperti dikutip oleh T Ibrahim Alfian “Tentang Metode Sejarah”, dalam T. Ibrahim Alfian, et al., ed., Dari Babad dan Hikayat Sampai Sejarah Kritis (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992), hal. 411. 90 J.G. Garraghan, A Guide to Historical Method (New York: Fordham University Press, 1957), hal. 34. 89
71
Pemikiran Kevin Lynch tentang citra yang ditimbulkan oleh ruang publik serta pemikiran Philip Kotler, Donald H. Haider dan Irving Rein, tentang aspek-aspek penting yang perlu diperhatikan dalam membangun citra ruang publik dari sudut pandang teori pemasaran tempat atau ruang, menjadi acuan dalam proses analisis. Hal ini tentu berkaitan dengan posisi kota Yogyakarta sebagai salah satu destinasi wisata yang populer di Indonesia. Sedangkan pemikiran Habermas tentang public sphere tidak menjadi focus penelitian ini, hanya
menjadi
bahasan
pelengkap
dalam
terciptanya ruang sosial di media koran dan online .
melihat
72
Model analisis tersebut di atas merupakan model yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman yang dapat digambarkan sebagai berikut:
Pengumpulan Data
Reduksi Data
Penyajian Data
Penarikan Kesimpilan (Verifikasi)
Bagan 2. Model Analisis Data Interaktif berdasarkan Miles dan Huberman.91 (Bagan 2. dibuat oleh Bramantijo)
91 Metthew B. Miles dan Michael Huberman, terjemahan Tjetjep Rohendi Rohidi, Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber tentang Metodametoda Baru (Jakarta: UI Press. 1992), hal. 20. Lihat pula Tjetjep Rohendi Rohidi, Metode Penelitian Seni (Semarang:Cipta Prima Nusantara, 2011), hal. 240.
73
H. Sistematika Penulisan Hasil penelitian dengan topik ”Mural Publik: Representasi, Transformasi, dan Citra Ruang Publik Kota Yogyakarta” disusun dalam bentuk disertasi yang formatnya mengikuti aturan yang berlaku di Program Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa pada Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian, disertasi ini dibagi menjadi lima bab, yang garis besarnya sebagai berikut:
BAB I PENGANTAR Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori yang terdiri dari teori estetika, semiotika, sejarah, ruang publik, dan seni publik. Pada bagian metode penelitian terdiri dari sumber data, teknik pengumpulan data, analisis data.
BAB II TANDA DAN MAKNA DALAM MURAL PUBLIK DI KOTA YOGYAKARTA Pada bab ini memaparkan tentang mural sebagai karya seni publik yang terdiri dari elemen visual dan teks yang akan dianalisis secara semiotik. Sub bab
mural sebagai tanda visual
memaparkan tentang elemen tanda pada mural di kota Yogyakarta yang akan dibaca melalui aspek karakteristik visual, tematik dan
74
maknanya. Sub bab karakteristik visual, tema dan makna mural memaparkan gaya pengungkapan yang umumnya digunakan oleh perupa maupun masyarakat dalam membuat mural, tema-tema yang digunakan pada mural di kota Yogyakarta, serta pesan dan makna yang tersampaikan melalui proyek mural “Sama-Sama” Tahun 2002, “Sama-sama/You’re Welcome” tahun 2003, “Tanda Mata dari Jogja” tahun 2007, mural di jembatan, mural di kampung-kampung dan mural jalanan. Sub bab memaknai peristiwa dan penempatan mural memaparkan tentang penjaga tradisi membuat mural publik, mural publik sebagai tanda bermakna, memaknai mural publik di jembatan, mural publik sebagai ikon kota Yogyakarta.
BAB III TRANSFORMASI MURAL MENJADI SENI RUPA PUBLIK Bab ini memaparkan tentang perkembangan seni rupa kontemporer dan seni rupa publik serta latar belakang hadirnya mural sebagai seni rupa publik. Sub bab wacana seni rupa kontemporer memaparkan tentang perubahan paradigma estetis dari
seni
rupa
modern
ke
seni
rupa
kontemporer
dan
perkembangan yang terjadi pada seni rupa kontemporer Indonesia dan Yogyakarta. Sub bab perkembangan seni rupa publik memaparkan tentang fungsi seni rupa publik sebagai landmark kota dan media propaganda. Sub bab mural sebagai siasat meraih
75
posisi penting dalam peta seni rupa kontemporer Yogyakarta memaparkan tentang latar belakang transformasi mural menjadi media seni rupa publik di Yogyakarta. Sub bab mural publik dan perebutan ruang publik memaparkan tentang wacana politik ruang dan ideologis dari para pemural dan seniman street art terhadap ruang publik kota yang diharapkan.
BAB IV MURAL PUBLIK DAN CITRA RUANG PUBLIK KOTA YOGYAKARTA Pada bab ini memaparkan tentang citra ruang publik kota dengan hadirnya mural publik secara arsitektural dan destinasi wisata, terdiri dari sub bab spirit penataan ruang publik kota, kebijakan pemerintah terhadap seni rupa publik, citra ruang publik sebagai ruang ekspresi, citra ruang publik sebagai ruang sosial dan demokratis, mural publik dan citra arsitektural ruang publik kota serta prospek mural publik memperkuat citra ruang publik kota.
BAB V KESIMPULAN Bagian ini merangkum dan menyimpulkan hasil analisis dari bab I sampai bab IV serta temuan penelitian.
76
KEPUSTAKAAN GLOSARIUM LAMPIRAN