BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Perkembangan
fisik
Kota
Yogyakarta
sangat
dinamis.
Kegiatan
pembangunan oleh masyarakat berjalan cepat dalam beberapa tahun terakhir. Hal tersebut ditandai dengan semakin banyaknya bangunan komersial yang dibangun di semua wilayah Kota Yogyakarta. Bangunan komersial mempunyai fungsi bangunan beragam mulai dari condotel, hotel, homestay, gerai laundry, restaurant, butik, dan masih banyak lagi. Bangunan komersial didirikan di tepi jalan besar (jalan kolektor), jalan lokal hingga dalam gang-gang. Sebagai contoh, banyak hotel, restaurant, café dan toko dibangun di kawasan Sagan yang awalnya merupakan kawasan permukiman. Contoh lain di kawasan Mangkuyudan, banyak hotel maupun homestay didirikan di jalan-jalan lokal perumahan. Pemerintah Kota Yogyakarta telah melakukan pengendalian pertumbuhan (growth management) kota dengan berbagai macam instrumen. Bentuk pengendalian yang dilakukan adalah dengan penerapan Peraturan Rencana Tata Ruang Wilayah, proses perizinan pembangunan, pembangunan infrastruktur. Tata ruang wilayah Kota Yogyakarta diatur dalam Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 10 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Yogyakarta Tahun 2010 – 2029.
1
2
Gambar 1.1. Zonasi dan Bangunan Komersial di Kawasan Sagan Sumber : Pengamatan Peneliti
Dalam rencana RTRW tersebut disebutkan bahwa tujuan penataan ruang Kota Yogyakarta adalah diantaranya : -
mewujudkan keterpaduan pengendalian pemanfaatan ruang dalam rangka memberikan perlindungan fungsi ruang dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan;
-
terciptanya ruang-ruang kota yang mendukung nilai-nilai budaya, sejarah dan tradisi kehidupan masyarakat Yogyakarta;
-
terwujudnya peluang-peluang berusaha bagi seluruh sektor ekonomi lemah, melalui penentuan dan pengarahan ruang-ruang kota untuk kegunaan
kegiatan
pengendaliannya.
usaha
dan
pelayanan
tertentu
beserta
3
Dari tujuan tersebut, nampak bahwa penataan ruang di Kota Yogyakarta bertujuan untuk memberikan peluang usaha dan peningkatan ekonomi, namun juga melindungi ruang wilayah kota dari dampak negatif perkembangan ekonomi kota. Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Yogyakarta telah dirinci dalam Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 25 Tahun 2013 tentang Penjabaran Rencana Pola Ruang dan Ketentuan Intensitas Pemanfaatan Ruang yang ditetapkan tanggal 19 Maret 2013. Pada hakikatnya peraturan tersebut mengatur zonasi ruang Kota Yogyakarta. Tujuan penjabaran rencana pola ruang dalam Peraturan Walikota Nomor 25 Tahun 2013 adalah untuk menciptakan sistem pembinaan, pengaturan, pengawasan dan penyelenggaraan tata ruang serta spesifikasi pengembangan kawasan sebagai pusat pertumbuhan dalam pelaksanaannya. Perwal penjabaran pola ruang berisi : a. Penetapan pemanfaatan ruang; b. Penetapan besaran GSB (Garis Sempadan Bangunan); c. Penetapan besaran TB (Tinggi Bangunan); d. Penetapan besaran KLB (Koefisien Luas Bangunan); e. Penetapan besaran KDB (Koefisien Dasar Bangunan); f. Penetapan ketentuan zonasi; dan g. Arahan atau pedoman membangun bangunan di beberapa blok kawasan. Dalam peraturan tersebut, pada tabel Ketentuan Zonasi dalam Kegiatan dan Pemanfaatan Ruang, terdapat keterangan beberapa zona yang diizinkan untuk pemanfaatan fungsi lain secara terbatas, pemanfaatan bersyarat dan pemanfaatan
4
terbatas dan bersyarat. Pemanfaatan ruang yang berbeda dari pemanfaatan zonasi utamanya merupakan variasi dalam zonasi. Sebagai contoh, dalam zona cagar budaya diizinkan secara terbatas untuk penggunaan rumah tunggal, toko makanan dan minuman, toko pakaian dan batik, usaha makanan dan minuman, koperasi, bimbingan belajar dan biro jasa pengurusan perizinan. Pemanfaatan secara bersyarat diizinkan untuk hotel berbintang, hotel melati, restoran, biro perjalanan. Pemanfaatan secara terbatas dan bersyarat diizinkan untuk rumah kopel, rumah deret, ruko, toko kelontong, toko serba ada, toko elektronik, toko olah raga, pasar tradisional, pasar lingkungan. Definisi pemanfaatan terbatas, pemanfaatan bersyarat dan pemanfaatan terbatas dan bersyarat, maupun batasan syarat yang ditentukan, tidak ada dalam Peraturan Walikota Nomor 25 Tahun 2013. Menurut Permen PU Nomor 20 Tahun 2011 tentang Pedoman Penyusuan Peraturan Zonasi, rincian ketentuan izin tersebut ada dalam zoning teks. Peraturan Walikota Nomor 25 Tahun 2013 tentang Penjabaran Rencana Pola Ruang dan Ketentuan Intensitas Pemanfaatan Ruang merupakan pedoman bagi Dinas Perizinan Kota Yogyakarta untuk memberikan keterangan rencana kota (advice planning) kepada pemohon izin mendirikan bangunan (IMB). Jika terdapat permohonan izin membangun yang tidak sesuai dengan ketentuan zonasi pada lokasi bangunan tersebut maka oleh Dinas Perizinan pemohon diminta untuk memohon rekomendasi kepada Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) yang ada di Bappeda. Hal ini karena Dinas Perizinan tidak memiliki pedoman yang pasti dalam memutuskan perizinan untuk izin pemanfaatan terbatas, pemanfaatan bersyarat dan pemanfaatan terbatas dan bersyarat.
5
Rekomendasi pemanfaatan terbatas, pemanfaatan bersyarat dan pemanfaatan terbatas dan bersyarat diputuskan oleh BKPRD. Pemanfaatan yang berbeda dari zonasi kawasan menjadi variasi zonasi pada kawasan tersebut. Permohonan dilakukan oleh pemohon izin pembangunan langsung kepada BPKRD Kota Yogyakarta yang diketuai oleh Sekretaris Daerah Kota Yogyakarta. Sejak berlakunya Peraturan Walikota Nomor 25 Tahun 2013 sampai dengan akhir tahun 2013 tercatat sudah 153 (seratus lima puluh tiga) surat rekomendasi zonasi. Permohonan yang diminta terdiri dari bermacam-macam kasus, antara lain perizinan pemanfaatan yang berbeda, permohonan perubahan intensitas bangunan dan lain-lain. Secara berkala BKPRD mengadakan rapat pembahasan permohonan rekomendasi Izin Mendirikan Bangunan (IMB). BKPRD akan mengundang anggotanya yang berasal dari berbagai instansi terkait, misalnya Dinas Perhubungan, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Badan Lingkungan Hidup, Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah. Keputusan BKPRD bersifat rekomendasi untuk ditindaklanjuti oleh Dinas Perizinan dengan dikeluarkannya IMB. Rekomendasi tersebut dapat berupa izin tanpa syarat, diberikan izin dengan syarat atau meminta pemohon untuk melengkapi permohonannya dengan kelengkapan tertentu, misalnya dokumen Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL), Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL). Dalam Peraturan Walikota Nomor 25 Tahun 2013 pasal 12 ayat (2) disebutkan bahwa semua kegiatan membangun atau membongkar bangunan cagar budaya, desain rencana harus dikonsultansikan dengan lembaga pelestarian
6
budaya. Pasal 14 ayat (4), pasal 16 ayat (6) dan pasal 17 ayat (4) menyebutkan bahwa semua kegiatan membangun bangunan di Blok Malioboro, Blok Kraton dan Blok Kotagede, rencana desainnya harus dikonsultansikan dengan lembaga pelestarian budaya. Kewajiban untuk berkonsultansi dengan lembaga pelestarian budaya ini sejalan dengan Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6 Tahun 2012 tentang Cagar Budaya, bahwa pengembangan cagar budaya dan atau kawasan cagar budaya harus mendapat rekomendasi dari Dewan Warisan Budaya. Dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa Dewan Warisan Budaya atau lengkapnya Dewan Pertimbangan Pelestarian Warisan Budaya adalah lembaga non struktural yang bertugas memberikan pertimbangan kepada pemerintah dalam hal kebijakan pelestarian warisan budaya dan cagar budaya. Di tingkat kota, dewan ini disebut Tim Pertimbangan Pelestarian Warisan Budaya atau TP2WB yang ada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta. Dengan adanya ketentuan bahwa pembangunan bangunan cagar budaya dan bangunan di kawasan cagar budaya harus melalui rekomendasi Lembaga Pelestarian Budaya dan bangunan yang tidak sesuai zonasi harus melalui rekomendasi BKPRD, maka proses perizinan di Kota Yogyakarta mempunyai keragaman yang menarik untuk diteliti. Hasil akhir rekomendasi IMB merupakan variasi zonasi yang menjadi berkembang dengan banyak kemungkinan variasi.
1.2.Permasalahan Tidak ada batasan yang jelas tentang ketentuan izin pemanfaatan terbatas, pemanfaatan bersyarat dan pemanfaatan terbatas dan bersyarat pada Peraturan
7
Walikota Nomor 25 Tahun 2013 yang mengatur tentang kegiatan dan pemanfaatan ruang. Ketidakjelasan ini menyebabkan pemohon harus mengajukan permohonan rekomendasi pemanfaatan ruang ke BKPRD. Hal ini menimbulkan
kemungkinan
adanya
kebijakan
yang
berbeda
dalam
pengambilan keputusan pemantaan ruang yang berbeda, pada suatu zona yang sudah ditentukan pemanfaatan dan intensitasnya.
1.3.Pertanyaan Penelitian Dari uraian latar belakang pemanfaatan ruang di Kota Yogyakarta saat ini dan permasalahan adanya rekomendasi IMB, muncul pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimanakah
kebijakan
pengendalian
pertumbuhan
ruang
yang
dilakukan Pemerintah Kota Yogyakarta dan proses perizinan Izin Mendirikan
Bangunan
(IMB)
kaitannya
dengan
pengendalian
pertumbuhan ruang? 2. Seperti apakah tipologi keputusan BKPRD untuk pemanfaatan ruang yang tidak sesuai zonasi dan bagaimana proses pengambilan keputusan tersebut?
1.4.Tujuan Penelitian Sesuai dengan pertanyaan penelitian di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah :
8
1. Mengetahui kebijakan pengendalian pertumbuhan ruang dan proses perizinan IMB yang dilakukan Pemerintah Kota Yogyakarta. 2. Menyusun tipologi keputusan BKPRD untuk pengajuan rekomendasi pemanfaatan ruang yang tidak sesuai peraturan zonasi.
1.5.Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bermanfaat tidak hanya bagi ilmu pengetahuan secara umum, namun juga untuk Pemerintah Kota Yogyakarta. 1. Manfaat bagi Ilmu pengetahuan -
Memperluas wawasan bentuk-bentuk pengendalian pertumbuhan yang berlaku di lapangan, dalam hal ini di Kota Yogyakarta,
-
Menambah konsep teori tipologi keputusan pemanfaatan ruang.
2. Manfaat bagi Pemerintah Daerah -
Tipologi keputusan BKPRD yang disusun dapat menjadi acuan dalam pengambilan keputusan untuk permasalahan yang serupa.
-
Mengevaluasi proses pengambilan keputusan pemanfaatan ruang oleh BKPRD dalam rangka pengendalian pertumbuhan ruang kota dan untuk meningkatkan kualitas ruang.
1.6.Batasan Penelitian Lingkup penelitian perlu dibatasi agar lebih fokus dalam pembahasan. Penelitian ini dibatasi pada :
9
Bentuk-bentuk pengendalian pertumbuhan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta, proses perizinan IMB yang memerlukan rekomendasi BKPRD dan atau TP2WB, serta penyusunan tipologi keputusan BKPRD untuk pemanfaatan ruang yang tidak sesuai aturan zonasi. Penelitian dilakukan sebatas pencermatan pada dokumen (peraturan, permohonan, notulen, berita acara, rekomendasi, keputusan), wawancara pada pihak-pihak yang terlibat dan pengamatan secara umum proses perizinan IMB pada Dinas Perizinan. Penulis tidak mengikuti proses pembahasan keputusan BKPRD namun informasi terkait tetap diupayakan melalui hasil wawancara.
1.7. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian sejenis yang pernah dilakukan terkait pengendalian pertumbuhan ruang dan penyusunan tipologi yang penulis ketahui sebagai berikut: Tabel I.1. Penelitian Sejenis No 1
Nama Andrizar, A.
2
Yose, I Wayan Marie
3
Heriasman, H.
4
Murafer, Irman
Tahun Judul 2007 Efektifitas Pengendalian Tata Ruang, Kasus Pengendalian Pembangunan di Kota Singkawang 2005 Kajian Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Kawasan Bersejarah, Kasus Kota Baru Yogyakarta 2006 Evaluasi Implementasi Rencana Pengendalian TNBT, Kasus Rencana Zonasi Kawasan TNBT Kab. Indragiri Hulu Riau 2012 Efektifitas Implementasi IMB di Kota Manokwari
Tujuan Mengetahui efektifitas dan faktor-faktor yang mempengaruhi pengendalian Mengkaji upaya pengendalian pemanfaatan ruang yang dilakukan oleh Pemda Kota Yogyakarta Mengetahui efektifitas implementasi rencana zonasi TNBT dan faktorfaktor yang mempengaruhi. Mengetahui implementasi IMB dan faktor-
10
No
Nama
Tahun Judul
5
Agustina Nurul Hidayati
1997
Tipologi Kampung Kumuh di Kotamadya Malang
6
Mulyadi
2008
Tipologi Renstra-SKPD di Kabupaten Sintang
7
Indra Helmi
2001
Karakteristik dan Tipologi Perumahan Kumuh di Kota Batam
Tujuan faktor yang mempengaruhi efektifitas implementasi tersebut. Mengetahui apakah kemudahan pencapaian menuju lokasi tertentu dan ketersediaan fasilitas pelayanan mempengaruhi timbulnya kampung kumuh dan bagaimana tipologi kampung kumuh Memahami keanekaragaman isi dari dokumen Renstra-SKPD untuk menemukan tipologi Renstra-SKPD dalam menerjemahkan RPJMD Mengidentifikasi karakteristik perumahan kumuh, merumuskan tipologi perumahan kumuh dan mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi berkembangnya perumahan kumuh
Sumber: Analisa Penulis Penelitian mengenai pengendalian pertumbuhan dan pemanfaatan ruang di atas bertujuan mencari faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas pengendalian pemanfaatan ruang. Hal ini berbeda dengan tujuan penelitian ini yaitu untuk menjelaskan bentuk-bentuk pengendalian pertumbuhan ruang. Penelitian ini hampir sama tujuan dengan 3 (tiga) penelitian mengenai tipologi di atas, yaitu untuk mengidentifikasi karakteristik dan menyusun tipologi. Hal yang membedakan adalah obyek penyusunan tipologi. Obyek pada penelitian yang lalu adalah perkampungan kumuh dan RENSTRA, sedangkan pada penelitian ini keputusan pemanfaatan ruang oleh BKPRD.