BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang “Transportasi dan guna tanah adalah ibarat „dua sisi mata uang‟, karena tempat masuk dan keluarnya transportasi diperlukan agar sebidang tanah memiliki fungsi produktif.”1 (Melville C. Branch).
Ketika perkotaan
trem
menjadi
di masa kolonial
salah untuk
satu
bagian
kota-kota
transportasi besar
seperti
Surabaya dan Batavia (Jakarta), Medan yang merupakan kota besar di luar Pulau Jawa belum memilikinya hingga kekuasaan kolonial Belanda berakhir. Dalam catatan historis Medan adalah ibukota Sumatera Timur, wilayah perkebunan di luar Pulau Jawa yang
paling
banyak
menyumbang
secara
ekonomis
bagi
pemerintah kolonial. Perkembangan perkebunan yang menjadi andalan perekonomian tersebut telah menarik sejumlah besar orang seperti dari Tiongkok, India, Jawa, atau tempat-tempat lainnya.
Pesatnya
pendatang
yang
disertai
tingginya
angka
pertumbuhan penduduk rupa-rupanya belum memunculkan trem dalam rancangan transportasi perkotaan di Medan. Sejak Medan ditetapkan menjadi gemeente (kotapraja) pada 1909, transportasi yang mengandalkan jalan raya meningkat dalam angka yang mengagumkan. Sebagai catatan, pada 1909
Melville C. Branch, Perencanaan Kota Komperhensif; Pengantar & Penjelasan, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995), hlm. 58. 1
1
jumlah kendaraan bermotor terdapat 80 buah.2 Namun, pada 1929 sudah mencapai hampir 7000 kendaraan.3 Ini belum ditambahkan dari jenis non-bermotor (tanpa mesin yang menjadi tenaga penggerak seperti sepeda, sado, dan lain sebagainya). Jumlah sepeda yang tercatat di Medan pada 1922 telah mencapai 7649 kendaraan, dan di tahun berikutnya tak lagi tercatat. Begitu juga dengan kendaraan non-bermotor lainnya. Dari perkiraan jumlah
kendaraan
yang
terus
meningkat
tersebut,
artinya
pertumbuhan penduduk juga meningkat seiring perkembangan perkotaan, dan meningkatkan mobilitas masyarakat perkotaan. Di paruh pertama abad ke-20, Medan adalah kota yang dianggap paling modern di luar Pulau Jawa. Perkembangan industri perkebunan meningkat secara mengagumkan. Selain itu, posisinya
yang
mendukung
dekat
semua
di
jalur
itu.
perdagangan
Salah
pertumbuhan
penduduk
yang
infrastruktur
perkotaan,
terutama
satu
Selat
Malaka
dampaknya
adalah
mempengaruhi yang
perkembangan
berkaitan
dengan
mobilitas masyarakat. Dalam
kajian
Jan
Breman
(1997),
pembangunan
infrastruktur jalan—termasuk infrastruktur lainnya, sebagian besar dibuat oleh pengusaha atau perusahaan perkebunan. Hal Mededeelingen Deli Auto Mobiel Club, Januari 1934 No. VIII, hlm. 51. 2
3
Bijl. IX.
Verslag betreffende de gemeente Medanover het jaar 1929,
2
tersebut membuat Medan tak hanya berkembang menjadi sekadar kota pemerintahan, melainkan menjelma sebagai kota perusahaan (maatschappij).4 Lokasinya memungkinkan karena Medan terletak di jantung tanah perkebunan. Gedung-gedung administrasi seperti Kantor Pos, Gedung Kotapraja dan Javasche Bank, Hotel de Boer dan Hotel Medan, dengan kantor perusahaan seperti Harrison and Crossfield,
Deli
Matschapij,
Deli-Proefstation,
Deli-Spoorweg
Matschapij, Firma Van Nie en Co berdiri berdampingan dengan kesemuanya
dibiayai
oleh
perusahaan
perkebunan.5
Perkembangan pusat kota mewujud seolah demi kepentingan perusahaan. Namun, di saat yang sama Medan adalah kota administrasi pemerintah kolonial di Sumatera Timur. Segala bentuk kegiatan berpusat di kota tersebut. Termasuk kaum pendatang yang mencoba peruntungannya di kota itu.
Disebut sebagai kota perusahaan sebab jaringan infrastruktur lainnya seperti jalan kereta api, hubungan telepon dan telegraf, pasokan air, rumah sakit lebih banyak diusahakan oleh pihak swasta daripada pemerintah. Lihat Jan Breman, Menjinakkan Sang Kuli: Politik Kolonial pada Awal Abad Ke-20, (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti. 1997), hlm. 198. Berbeda dengan Amerika yang pemerintah pusatnya mengadakan perjanjian mengenai sistem pembangunan jalan raya di Kotamadya dan menjamin kelanjutan pembangunan tersebut dalam perencanaannya. Contohnya, di tahun 1916 kongres menyediakan dana hingga $75 juta selama 5 tahun. Lihat, Catherine L. Ross, ―Perencanaan Transportasi‖ dalam Anthony J. Catanase & James C. Snyder (ed.), Perencanaan Kota, (Jakarta: Penerbit Erlangga. 1996), hlm. 368. 4
5
Jan Breman, op.cit., hlm. 199. 3
Medan menjadi pusat berbagai kegiatan dan kepentingan. Semuanya
mewarnai
mobilitas
perkotaan.
Pemukiman
mengelompok ke dalam bagian-bagian suku hingga sub-suku; juga pemukiman yang didasarkan ekonomi. Kesemuanya memiliki keterhubungan
yang
dibentuk
oleh
jaringan
transportasi
perkotaan. Namun, mobilitas itu tetap belum didukung oleh salah satu jenis transportasi masal, yakni trem. Padahal trem adalah transportasi yang cukup menjawab persoalan atas kepadatan penduduk yang terjadi di kota-kota besar di Pulau Jawa, seperti Batavia dan Surabaya. Pada umumnya transportasi perkotaan di Medan bukanlah jenis angkutan masal. Angkutan publik yang hadir di perkotaan adalah jenis transportasi yang berkapasitas tak lebih dari dua orang atau dua penumpang. Sado, hongkong (angkong) hingga kendaraan bermotor seperti mobil dan sepeda motor adalah kendaraan minim penumpang. Bahkan terkadang lebih kelihatan sebagai angkutan pribadi. Karenanya transportasi perkotaan di Medan terkesan aneh; di saat penduduk beserta mobilitasnya terus meningkat, angkutan publik yang sifatnya masal tidak ada sama sekali. Namun begitu, pertumbuhan penduduk perkotaan di Medan tak serta merta membuat jaringan transportasi menjadi padat. Meskipun penjualan mobil meningkat pesat sejak 1910 di Hindia-
4
Belanda,6
dan
meskipun
pertumbuhan
ekonomi
terasa
spektakuler, keadaan lalu-lintas banyak yang lengang. Tak terjadi penumpukan lalu-lintas, yang meskipun jumlah penduduk terus meningkat membuat mobilitas masyarakat juga meningkat. Pada perkembangannya Medan yang mengikuti gaya kotakota Eropa memiliki julukan sebagai Parijs van Sumatera. Pembangunan serta pertumbuhan Kota Medan memang potensial mengikuti gaya Eropa. Selain kondisi fisik dan geografis Medan yang lebih mendukung daripada Labuhan Deli (pusat administrasi sebelumnya) dan lokasinya yang dekat perkebunan, penduduk awalnya belum memiliki struktur yang kuat.7 Pembangunan infrastruktur baru tidak perlu menghadapi kondisi fisik, ekonomi, sosial, dan politik yang membudaya sejak lama.8 Hal ini berbeda misalnya dengan kota-kota besar di Pulau Jawa yang cenderung telah ada di masa lalu. Sementara Medan diawali dengan
James Luhulima, Sejarah Mobil & Kisah Kehadiran Mobil di Negeri ini, (Jakarta: Kompas Gramedia, 2012). 6
Sejak kedatangan orang Eropa pertama tahun 1823 sampai pembukaan perkebunan tembakau dan pemindahan kantor Deli Matschappij 1869 ke Kampung Medan, penduduk Kampung Medan menurut Jhon Anderson sekitar 200 jiwa. Dominasi pemerintahan pribumi tak begitu kental. Tengku Luckman Sinar, Sejarah Medan Tempo Doeloe, (Medan: Sinar Budaya Group, 2011), hlm. 52. 7
Dalam perencanaan kota, kondisi fisik, ekonomi, dan sistem sosial adalah perbenturan yang sulit dihindari antara kebudayaan yang lama dengan perangkat perencanaan kota. Lihat, Catherine L. Ross, op.cit., hlm. 197. 8
5
kesederhanaan wilayah yang memungkinkan pembangunan pusat administrasi seperti kantor pos, kantor perkebunan, hotel, dan sebagainya
mengikuti
pola
pemukiman
gaya
Eropa
tanpa
hambatan berarti. Termasuk transportasi yang menjadi urat nadi kehidupan wilayah yang akan berkembang menjadi perkotaan. Hal ini menjadi menarik, karena pada perkembangan selanjutnya Medan tumbuh menjadi masyarakat majemuk. Medan juga termasuk kota yang pada paruh pertama abad ke-20 memiliki tingkat kepadatan yang cukup tinggi.9 Menurut Catherine L. Ross, pola pemukiman, kegiatan sehari-hari, pengaruh sosial, keadaan geografi, ekonomi, dan konsumsi dalam perkembangan kota dibentuk
oleh
transportasi.10
Jika
kedua
asumsi
tersebut
digabung, maka pertumbuhan penduduk serta perkembangan masyarakat Medan sulit dipisahkan dari transportasinya. Melihat pentingnya transportasi
dalam mobilitas masyarakat, kajian
transportasi perkotaan di Medan perlu untuk diketahui seberapa jauh transportasi membentuk dinamika perkotaannya.
Jumlah penduduk Kota Medan yang dicatat Daniel Perret pada 1823 sekitar 200 jiwa. Pada 1900 sudah mencapai 12.724 jiwa. Dan pada 1942 penduduk Kota Medan telah mencapai 85.000 jiwa. Daniel Perret, Kolonialisme dan Etnisitas; Batak dan Melayu di Sumatera Timur Laut, (Jakarta: KPG, 2010), hlm. 282. 9
10
Chaterine L. Ross, op.cit., hlm. 368. 6
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Inti permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah perkembangan teknologi transportasi perkotaan tanpa sistem yang kompleks di tengah-tengah perkembangan sosial dan ekonomi
Kota
Medan
pada
paruh
pertama
abad
ke-20.
Permasalahan tersebut berkaitan dengan perkembangan ekonomi dan pertumbuhan penduduk Medan yang melejit secara cepat sejak
perkebunan
tembakau
dibuka
perkembangan teknologi transportasi
di
tanah
Deli.
Ketika
telah mengubah
moda
perjalanan perkotaan di berbagai kota besar di Pulau Jawa sejak awal
abad
ke-20,
kenapa
kompleksitas
sistem
transportasi
perkotaan yang sama tidak terjadi di Medan? Untuk menjawab pertanyaan ini, beberapa pertanyaan perlu dirumuskan. Pertama,
Medan
yang
pada
awalnya
adalah
wilayah
perkebunan menjadi wilayah administratif dan pusat kegiatan di Sumatera Timur. Sejak kepindahan kantor Deli Maatschappij ke Medan, beberapa perusahaan perkebunan lain hingga kantor pemerintahan kolonial dan pusat pemerintahan Kesultanan Deli yang sebelumnya berada di Labuhan Deli berangsur-angsur pindah ke sana. Sejak itu Medan tak lagi dikenal sebagai wilayah perkebunan,
melainkan
sebuah
wilayah
administratif
yang
menjadi pusat kegiatan untuk Sumatera Timur. Berdasarkan hal tersebut, maka pertanyaannya adalah kenapa Medan dipilih menjadi
daerah
administratif
baru
sehingga
meninggalkan
7
Labuhan Deli? Dalam hal apa keruangan Kota Medan berpengaruh dalam
perpindahan
selanjutnya
dalam
ini?
Seperti
apa
hal
infrastruktur
perkembangan perkotaan
Medan
memenuhi
kebutuhan mobilitas masyarakatnya? Kedua,
pilihan
masyarakat
untuk
urusan
mobilitas
perkotaan di Medan pada paruh pertama abad ke-20. Temuan bahwa
bensin
dapat
bereaksi
sempurna
pada
pembakaran
internal11 mesin di akhir abad ke-19 telah merevolusi penggunaan transportasi. Mulai abad ke-20 transportasi bermotor hadir secara kesinambungan dan mulai mendesak transportasi non-bermotor untuk jalan-jalan perkotaan di dunia. Berdasarkan hal ini, seperti apa dinamika perkembangan transportasi perkotaan di Medan? Jenis apa yang berkembang dan paling diminati, dan kenapa? Apa dampaknya terhadap ruang perkotaan? Ketiga, kebijakan yang timbul dalam tingkat pelayanan moda transportasi perkotaan. Sebagai gemeente, Medan diperintah secara otonomi. Pemerintah, dalam hal ini kolonial, menentukan kebijakan perkotaan yang berada di luar wewenang pemerintah pusat yang ada di Batavia. Maka pertanyaannya adalah, sejauh
Ahli-ahli kimia abad ke-19 menemukan fraksi sulingan yang ada di tengahnya yang mudah terbakar (bensin) sebagai zat yang tak berguna sampai kemudian ternyata bensin itu sangat ideal untuk mesin pembakaran internal. Teknologi ini banyak digunakan dalam mesin-mesin kendaraan bermotor. Lihat Jared Diamond, Guns, Germs, & Steel (Bedil, Kuman, & Baja), Rangkuman Riwayat Masyarakat Manusia. (Jakarta: KPG, 2013), hlm. 306. 11
8
mana keterlibatan pemerintah
gemeente
dalam menentukan
kebijakan transportasi kota? Seperti apa keterlibatan mereka dalam
menentukan
sebuah
kebijakan?
Siapa
yang
paling
berperan? Apa dampaknya ke masyarakat perkotaan? Secara umum cakupan waktu yang dikaji dalam penelitian ini dibatasi sejak Medan menjadi gemeente pada 1909 hingga periode akhir kolonial pada 1942. Periode paruh pertama abad ke20 dipilih karena pesona teknologi transportasi bermotor tumbuh menakjubkan, yang menjadi tolak ukur revolusi transportasi dunia. Penggunaan mobil contohnya, mempengaruhi pola ruang wilayah sekaligus konsumsi minyak bumi yang signifikan. Hal tersebut nampak dari tata kota di Eropa yang pemukimannya mulai bergerak ke arah pinggiran dengan aktivitas di pusat kota. Sementara itu, ruang perkotaan di Medan pada paruh pertama abad ke-20 dibangun di atas beberapa bagian secara fisik maupun administratif. Secara fisik, wilayah Medan sejak menjadi gemeente berada di atas beberapa tanah onderneming, seperti: Onderneming Medan Estate, Onderneming Polonia, Onderneming Seikambing, Onderneming Helvetia, dan Onderneming Sampali.12 Begitu juga dalam peta administratif Medan sejak menjadi gemeente. Meskipun Medan diperintah oleh pemerintah kolonial, namun pemerintah pribumi—Kesultanan Deli—juga hadir. Pembagian ini dilihat berdasarkan peta Kota Medan pada 1920. Lihat lampiran I c. 12
9
C. Tujuan dan Manfaat Tujuan penting penelitian ini terdiri dari beberapa hal. Pertama, memaparkan sejarah kota di masa kolonial melalui sudut pandang transportasinya. Perkembangan masyarakat perkotaan tidak akan bisa lepas dari transportasi. Patut diingat bahwa transportasi
perkotaan
adalah
sarana
penting
dalam
keberlangsungan kota—terutama ibukota—yang menjadi pilar utama
peradaban
wilayah.
Mobilitas
masyarakat
perkotaan
ditentukan oleh transportasinya. Jika sarana ini rusak dan hancur, niscaya akan terjadi kemunduran yang dimulai dari pusat pemerintahan, seperti Angkor Wat di Kamboja pada masa silam.13 Kedua, berdampak
menjelaskan pada
perkembangan
pembentukan
maupun
transportasi
yang
perubahan
ruang
perkotaan di Medan. Ketiga, mengungkap sistem kebijakan transportasi
pada
masa
kolonial
karena
berkaitan
dengan
distribusi dan penjajahan,14 yang barangkali berkaitan pada situasi kekinian di perkotaan Medan.
Ricklefs, dkk., memberikan gambaran meyakinkan akan kehancuran Angkor Wat, di mana infrastruktur transportasi yang diabaikan adalah salah satu penyumbang besar kehancuran. M.C. Ricklefs, dkk., Sejarah Asia Tenggara: Dari Masa Prasejarah Sampai Kontemporer, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2013), hlm. 47. 13
Menurut Tatu Vanhanen, manakala sumber daya terdistribusi secara merata, maka tidak ada satu kelompok pun yang bisa mendominasi perpolitikan di negeri itu. Studi histroiskomparatif Vanhanen pada 172 negara. Lihat Purwo Santoso, op.cit., hlm. 21. 14
10
Sementara itu, manfaat penelitian ini untuk memperkaya literatur pada sejarah perkotaan yang akhir-akhir ini giat dikaji. Banyak sejarawan, setengah sejarawan, ataupun non-sejarawan yang mulai menjadikan kota sebagai tema penelitian sejarah—baik itu
peristiwa
di
kota
maupun
sejarah
kota—yang
belum
menyentuh aspek transportasi secara mendalam. Hal paling mendasar
adalah
memberikan
sumbangsih
terhadap
kajian
transportasi masa kini yang pastinya direpresentasikan oleh situasi masa lalu. Melihat perkembangan transportasi yang demikian hebat di saat ini, kajian ini semoga dapat memberikan manfaat perbandingan antara masa lalu dengan masa kini yang perlu diketahui dalam perencanaan kota. Terutama untuk Medan. D. Tinjauan Pustaka Kajian
sejarah
perkotaan
yang
pernah
disinggung
Kuntowijoyo dalam bukunya Metodologi Sejarah sebagai kajian yang masih minim15 mulai banyak digarap akhir-akhir ini dalam berbagai perspektif perkotaan seperti Abidin Kusno tentang memori di Jakarta,16 Dedi Irwanto tentang reproduksi simbolik Kota
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogyakarta, 2003), hlm. 59. 15
Abidin Kusno, Ruang Publik, Identitas dan Memori Kolektif: Jakarta Pasca-Suharto, (Yogyakarta: Ombak, 2008), & Penjaga Memori: Gardu di Perkotaan Jawa, (Yogyakarta: Ombak, 2006). 16
11
Palembang,17 Ilham Daeng Makkelo tentang dinamika keagamaan dalam ruang perkotaan Manado,18 Purnawan Basundoro tentang perebutan ruang publik di Surabaya,19 dan Ida Liana Tanjung tentang simbol-simbol modernitas pada Palembang dan Plaju.20 Selebihnya kebanyakan hanya kumpulan tulisan21 dalam seri sejarah kota yang sangat jarang memuat transportasi sebagai unsur pembentuk sejarah kota. Mungkin satu-satunya kajian perkotaan yang berangkat dari aspek transportasinya adalah tulisan Johny A. Khusyairi dan Dedi Irwanto, Venesia dari Timur: Memaknai Produksi dan Reproduksi Simbolik Kota Palembang dari Kolonial sampai Pasca Kolonial, (Yogyakarta: Ombak, 2011). 17
Ilham Daeng Makkelo, Kota Seribu Gereja: Dinamika Keagamaan dan Penggunaan Ruang di Kota Manado, (Yogyakarta: Ombak, 2010). 18
Purnawan Basundoro, Merebut Ruang Kota: Aksi Rakyat Miskin Kota Surabaya 1900-1960an, (Jakarta: Marjin Kiri, 2013), & Dua Kota Tiga Zaman: Sejak Kolonial sampai Kemerdekaan, (Yogyakarta: Ombak, 2009). 19
Ida Liana Tanjung, Palembang dan Plaju: Modernitas dan dekolonisasi perkotaan Sumatera Selatan abad ke-20, (Yogyakarta: Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya UGM, 2006). 20
Penulisan sejarah perkotaan juga banyak dibahas sebagai kumpulan tulisan yang berdiri sendiri, tetapi tetap dalam ruang lingkup perkotaan, seperti: Freek Colombijn, dkk. (ed.), Kota Lama Kota Baru: Sejarah Kota-kota di Indonesia, (Yogyakarta: Ombak, 2005), Sri Margana & M. Nursam (ed.), Kota-kota di Jawa: Identitas, Gaya Hidup dan Permasalahan Sosial, (Yogyakarta: Ombak, 2010), Peter J.M. Nas, dkk., Kota-kota di Indonesia, Bunga Rampai, (Yogayakarta: Gadjah University Press, 2007), & Freek Colombijn & Joost Coté (ed.), Cars, Conduits, and Kampongs; The Modernization of the Indonesian City, 1920 – 1960, (Boston: Brill, 2015). 21
12
Freek Colombijn dalam Moving at a Different Velocity: The Modernization of
Transportation and Social Differentiation in
Surabaya in the 1920s.22 Tulisan tersebut membahas tentang perkembangan transportasi di perkotaan Surabaya yang berkaitan dengan perbedaan sosial di dalamnya. Namun, fokus utamanya lebih ke arah sejarah sosial daripada sejarah kota. Sementara itu, beberapa kajian sejarah transportasi yang dilakukan pada tulisan Freek Colombijn yang lain,23 Rudolf Mrazek,24 Adhi Pandoyo,25 hingga Darmaningtyas26 lebih kepada ekonomi dan teknologi, serta ruang lingkup tulisan mereka bukan berada di perkotaan. Medan
adalah
kota
yang
berkembang
dari
dampak
perkebunan tembakau di Sumatera Timur. Morfologi perkotaannya Freek Colombijn & Joost Coté (ed.), loc.cit., (Boston: Brill, 2015), hlm. 251. 22
Freek Colombijn, ―Perkembangan Jaringan Transportasi di Sumatera Barat dari Masa Pra-Kolonial sampai Sekarang‖, dalam J. Thomas Lindbald (ed.), Fondasi Historis Ekonomi Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002). 23
Rudolf Mrazek, Engineers of Happy Land; Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006). 24
Adhi Pandoyo, ―Bahan Bakar Historis bagi Mesin Transportasi Kita‖, dalam Jurnal Mahasiswa UGM, Transportasi dalam Arus Industrialisasi: Narasi Atas Cacat Modernisasi, (Yogyakarta: BPPM Balairung UGM, edisi 49/TAHUN XXVIII/2013). 25
Darmaningtyas, ―Non-Motorized Transportation: Sejarah dan Fakta yang Terlupakan‖, dalam Jurnal Wacana, Menuju Transportasi Manusiawi, (Yogyakarta: Insist Press, edisi 22 TAHUN VI/2005). 26
13
punya kaitan erat dari faktor-faktor perkembangan perkebunan yang muncul, seperti: pertumbuhan penduduk dengan relasi sosialnya, atau ekonomi, pemerintahan, hingga infrastruktur. Faktor tersebut banyak sekali dibahas dalam karya-karya yang mengkaji perkebunan di Sumatera Timur. Kita bisa sebut Jan Breman dengan bukunya Menjinakkan Sang Kuli,27 Dirk A. Buiskool dalam artikel Medan: A Plantation City on The East of Sumatera 1870-1942,28 Tengku Luckman Sinar di buku Medan Tempo Doeloe,29 Ursel Wolfram-Seifer dalam artikel The Urban Area of Medan-Growt, Development and Planning Implications,30 Cor Paschier dalam artikelnya Medan: Urban Development by Planters
and
Enterpreneurs,
1870-1940,31
dan
tesis
Apriani
Harahap, Voor Indiers: Sejarah Kehidupan Sehari-hari Orang India
Jan Breman, Menjinakkan Sang Kuli: Politik Kolonial pada Awal Abad Ke-20, (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1997). 27
Dirk A. Buiskool, ―Medan: A Plantation City on The East Coast of Sumatra 1870-142‖ dalam Freek Colombijn, dkk (ed.), op.cit., hlm. 275. 28
Tengku Luckman Sinar, Sejarah Medan Tempoe Doeloe, (Medan: Sinar Budaya Group, 2011). 29
Ursel Wolfram-Seifert, ―The Urban Area of Medan—Growt, Development and Planning Implication‖ dalam Rainer Carle (ed.), Cultures and Societes of North Sumatra. (Hamburg: Universitat Hamburg, 1987). 30
Cor Paschier, ―Medan: Urban development by Planters and Enterpreneurs, 1870-1940‖ dalam Peter J. M. Nas (ed.), Issues in Urban Development: Case Studies From Indonesia, (Leiden,1995). 31
14
di Kota Medan Abad ke-20.32 Karya mereka adalah kajian sejarah sosial, ekonomi dan sejarah perkebunan di Sumatera Timur yang punya kaitan pada Kota Medan di periode kolonial. Beberapa kajian yang sama seperti dalam karangan Usman Pelly yang berjudul
Urbanisasi
dan
Adaptasi:
Peranan
Misi
Budaya
Minangkabau dan Mandailing33 dan Daniel Perret di buku Kolonialisme dan Etnisitas: Batak dan Melayu di Sumatera Timur Laut34 lebih ke arah kajian antropologis. Namun, dari sekian kajian sejarah yang punya kaitannya pada Medan, transportasi bukan fokus utamanya. Adapun perhatian terhadap transportasi sebagai kajian sejarah bisa dilihat dalam tulisan Edi Sumarno di Mundurnya Kota Pelabuhan Tradisional di Sumatera Timur pada Periode Kolonial.35 Tulisan tersebut berangkat dari transportasi sebagai obyek penelitiannya. Transportasi berpengaruh besar terhadap perkembangan ekonomi perkebunan dan secara signifikan
Apriani Harahap, Voor Indiers; Sejarah Kehidupan Seharihari Orang India di Kota Medan Abad ke-20, (Yogyakarta: Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya UGM, 2014). 32
Usman Pelly, Urbanisasi dan Adaptasi; Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing, (Jakarta: LP3ES, 1994). 33
Daniel Perret, Kolonialisme dan Etinisitas; Batak dan Melayu di Sumatera Timur Laut, (Jakarta: KPG, 2010). 34
Edi Sumarno, ―Mundurnya Kota Pelabuhan Tradisional di Sumatera Timur pada Periode Kolonial‖, dalam Buletin Historisisme, (Medan: Kampus USU, 2006). 35
15
mempengaruhi transportasi
wilayah-wilayah.
beserta
Akibat
kebijakannya,
beberapa
penggunaan wilayah
yang
dahulu eksis menjadi mundur, dan begitu juga sebaliknya. Tetapi, kajian sejarah transportasi tersebut bukan dilakukan dalam perkotaan di Medan. Selain itu, kajian tersebut memiliki substansi yang sama dengan tulisan Freek Colombijn 36. Dari sekian banyak tulisan tersebut, terutama yang berkaitan dengan Kota Medan di paruh pertama abad ke-20, belum menempatkan transportasi sebagai hal yang pokok sebagai
pembentuk
perkotaan.
Meskipun
kajian
Apriani
Harahap menempatkan transportasi dalam porsi yang signifikan atas sejarah sehari-hari orang India di Kota Medan, 37 namun belum bisa melihat sebagai sejarah perkotaan untuk Medan. Berdasarkan karya-karya di atas dapat diketahui bahwa kajian transportasi masih terbatas, terutama kajian transportasi dalam ruang lingkup perkotaan yang khususnya membahas sejarah Kota Medan. Oleh karena itu, tesis ini mencoba menghadirkan sejarah Kota Medan dilihat dari sudut pandang transportasinya yang berkembang pada paruh pertama abad ke-20.
36
Freek Colombijn, loc.cit.
Apriani Harahap, Voor Indiers; Sejarah Kehidupan Seharihari Orang India di Kota Medan Abad ke-20, (Yogyakarta: Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya UGM, 2014). 37
16
E. Kerangka Konseptual Gejala
transportasi
perkotaan
adalah
fenomena
paling
menarik sejak mesin uap ditemukan. Perpindahan barang yang semakin cepat memberikan tuntutan perubahan yang cepat pula bagi realitas kehidupan masyarakat kota. Pola pemukiman, kegiatan sehari-hari, pengaruh sosial, keadaan geografi, ekonomi, dan
konsumsi
perkotaan
dibentuk
oleh
transportasi. 38
Segala sesuatu memiliki nilai tinggi berupa nilai tempat (place utility) dan nilai waktu (time utility) yang diberikan transportasi. Oleh karena
itu,
merupakan
jalur-jalur bagian
transportasi
terpenting
dan
dalam
utilitas
kota
perencanaan
kota.
Transportasi dan ruang kota bagi para perencana kota diibaratkan ―dua
sisi
mata
uang‖,
karena
tempat
masuk
dan
keluar
transportasi berpengaruh pada fungsi produktif sebidang lahan sehingga jalur lalu lintas memiliki manfaat bila melayani kegiatan baru
ataupun
yang
telah
ada
pada
kedua
ujungnya.39
Chaterine L. Ross menyebut faktor utama dalam perencanaan transportasi selalu saling mempengaruhi antara moda perjalanan dan
perkembangan
kota.
Terutama
terhadap
pola
pikir
masyarakatnya. Sejak awal abad ke-20, transportasi telah berkembang menjadi sisi terpenting dalam membentuk realitas masyarakat 38
Catherine L. Ross, loc.cit.
39
Melville C. Branch, loc.cit. 17
perkotaan di Amerika maupun di Eropa. Dampaknya begitu besar menyentuh aspek kehidupan perkotaan. Pemakaian mobil misalnya, dapat dijumpai di berbagai tempat yang meliputi: pola dan
perancangan
detil
jalan,
penyediaan
tempat
parkir,
pengendalian lalu lintas, kemacetan lalu lintas, pencemaran udara, kecelakaan lalu lintas, mobilitas, biaya konstruksi, biaya transportasi, berkembang
citra pada
dan
gengsi,
mudah
dan
yang
berubahnya
akhir-akhir
harga
bahan
ini
bakar
minyak.40 Transportasi benar-benar menjadi gejala baru yang membentuk budaya baru dalam masyarakat. Di
Hindia-Belanda
pada
permulaan
abad
perkembangan teknologi transportasi menjadi
ke-20,
realitas
baru
sebagai gejala modernitas di kota-kota kolonial. Walaupun tidak
kelihatan
pertumbuhan
seperti
ekonominya,
perkembangan transportasi
ideologi
dirasakan
atau sebagai
tulang punggung untuk mengakomodasi semuanya itu. Rudolf Mrazek
(1998)
menyebutnya
bahasa
sebagai
aspal.
Dari
perubahan teknologi jalanan atas teknologi transportasi telah menjadi bahasa lisan yang menyuarakan modernisasi pada masyarakat-masyarakat pribumi. Terdapat perbedaan-perbedaan yang perlu diketahui masyarakat Hindia, antara orang-orang kampung
dan
orang-orang
kota
berikut
pola
pikir
yang
membedakan di antara keduanya. 40
Ibid, hlm. 59. 18
Sementara
itu,
teknologi
transportasi
telah
menjadi
realitas keseharian masyarakat kota kolonial yang cenderung menunjukkan perbedaan kelas. Bambang Purwanto menyatakan perubahan teknologi pada beberapa dekade terakhir abad ke-19 semakin memperkuat citra jalan sebagai tempat
mereproduksi
simbol-simbol perbedaan sosial dalam kehidupan sosial dalam kehidupan
sahari-hari.41
Keberadaan
sistem
transportasi
bermotor yang menggilas jalanan-jalanan di kota kolonial di awal abad ke-20 telah mempertajam status sosial yang sebelumnya juga terjadi pada transportasi non-bermotor pada jalanan-jalanan tradisional. Keberadaan mobil, sepeda motor, atau trem yang dianggap
sebagai
kebaruan
bagi
pribumi
sangat
mempengaruhi kehidupan sosial-psikologi masyarakat perkotaan. Realitas-realitas semacam ini adalah unsur penting masyarakat perkotaan kolonial pada umumnya. Konteks semacam ini di dalam perubahan masyarakat sosial
adalah
pendekatan
materialisme
historis
yang
didengungkan oleh Karl Marx. Perubahan-perubahan materi yang terjadi di sekitar masyarakat akan mempengaruhi tingkah laku maupun pola masyarakat menjadi sesuatu yang baru. Namun,
Bambang Purwanto, ―Menulis Kehidupan Sehari-hari Jakarta: Memikirkan Kembali Sejarah Sosial Indonesia‖, dalam Henk Schulte Nordolt, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari (ed.), Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), hlm. 251. 41
19
perkotaan
pada
dasarnya
terdiri
dari
elemen-elemen
yang
sifatnya fisik atau non-fisik yang punya saling keterkaitan di dalamnya. Suatu hal atau keadaan demikian merupakan produk dari saling kait-mengait antara pelbagai elemen itu dalam suatu sistem tertentu pada perkotaan dan segala isinya.42 Ini yang membuat dinamika ekonomi, sosial, politik, dan budaya menjadi sangat
menarik.
Pengaruhnya
ke
daerah-daerah
yang
memposisikan kota sebagai pusat ikut pada pola yang terjadi. Definisi sederhana daerah perkotaan adalah persekutuan atau penyatuan suku-suku yang bertetangga yang berkumpul ke suatu pusat yang digunakan sebagai tempat pertemuan bersama untuk maksud pemujaan, perlindungan, dan semacamnya; dan karenanya adalah lembaga politik atau kedaulatan yang dibentuk oleh masyarakat demikian.43 Uraian di atas menjelaskan bahwa kehidupan atau pertemuan yang ada tidak bisa mengabaikan sisi transportasi sebagai alat yang menghubungkan masyarakat kompleks dan rumit. Manusia tinggal, bekerja, dan menikmati hidup dalam hubungan-hubungan sosial dan budaya yang diberikan oleh kedekatan jarak atas transportasi yang membentuknya.
Drs. Raharjo, M.Sc, Perkembangan Kota dan Beberapa Permasalahannya. Sebuah bacaan pelengkap untuk Sosiologi Masyarakat Kota. (Yogyakarta Fakultas Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada, 1981), hlm. 20. 42
Arthur B. Gallion, FAIA & Simon Eisner, APA, AICP, Pengantar Perancangan Kota. Desain dan Perencanaan Kota. (Jakarta: Penerbit Airlangga, 1996), hlm. 17. 43
20
F. Metode dan Sumber Sumber-sumber
yang
digunakan
dalam
penulisan
ini
berasal dari berbagai tempat. Pertama-tama pencarian dilakukan di Yogyakarta. Perpustakaan FIB UGM, Hatta Corner, dan Pusat Kajian Transportasi UGM adalah tempat-tempat kunjungan awal. Dari ketiga tempat tersebut, tidak ada sumber yang berbicara khusus
tentang
transportasi
perkotaan
di
Medan.
Namun,
terdapat beberapa sumber yang menginformasikan banyak tentang budaya, politik, dan ekonomi untuk Sumatera Timur. Begitu juga dengan impor bahan bakar bensin serta masuk dan keluarnya perdagangan mobil di Sumatera Timur, yang bisa menjadi acuan. Meskipun begitu, sumber-sumber tersebut masih jauh dari cukup untuk membahas transportasi perkotaan di Medan. Sumber yang paling banyak membantu hampir keseluruhan dalam kajian ini didapat justru di Perpusnas (Perpustakaan Nasional) di Jakarta. Bukan di ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia). Perpusnas memiliki koleksi koran-koran yang pernah terbit pada masa kolonial di Medan. Koran-koran ini adalah Pewarta Deli, Pelita Andalas, Tjin Po, yang memuat banyak informasi transportasi perkotaan di Medan pada paruh pertama abad ke-20. Selain itu, temuan Verslag betreffende de gemeente Medanover dari tahun 1919-1929 dan beberapa majalah khusus tentang kendaraan bermotor yang pernah terbit (Medeedelingen
21
Deli Automobiel Club) sangat membantu sekali untuk mencari tahu jumlah kendaraan bermotor beserta fakta-fakta lainnya. Meskipun begitu, sumber-sumber yang ada masih dirasa kurang, terutama untuk gambar dan foto yang memuat jalur transportasi dan transportasi itu sendiri. Tidak mungkin tidak ada gambar peninggalan foto. Maka, penelusuran kembali dilakukan untuk melacak itu, yakni mengunjungi Medan itu sendiri. Ternyata yang didapat tak seperti dibayangkan. Perpustakaan Daerah Sumatera Utara serta Perpusatakaan Kota Medan sendiri cukup mengecewakan, karena nyaris tak memuat apa-apa untuk infromasi. Sebenarnya memang tidak ada sama sekali. Gambargambar transportasi dan gambar perubahan ekologi kota justru lebih banyak terdapat di internet. Bahkan sumber gambar yang banyak diambil dari website KITLV lebih dari cukup untuk disertakan dalam kajian ini. Melalui gambar yang didapat—jalan, peta,
pemukiman,
dan
transportasi—perkembangan
ataupun
perubahan ekologi kota dapat terjadi bila interaksi manusia dengan alam mengalami transformasi, antara satu dengan yang lain.44 Penelitian
ini
tidak
menggunakan
wawancara
karena
cakupan yang dibatasi hanya pada periode kolonial. Orang-orang yang pernah hidup di masa kolonial, dan yang masih ada di masa
44
Kuntowijoyo, op.cit., hlm. 64 – 65.
22
sekarang tidak ada sama sekali. Kemungkinan ada, tetapi jika pun ada, perkiraannya orang tersebut lahir pada tahun 30-an yang tak berarti dapat memaparkan situasi transportasi perkotaan pada masa itu. Gambar dan foto lebih banyak berbicara dari pada orang-orang yang kemungkinan masih hidup tersebut. Foto selalu menyimpan banyak cerita dibaliknya.
Foto
yang bisa diperoleh mampu menunjukkan perubahan Kota Medan terhadap transportasi perkotaan. Latar belakang foto, misalnya, jika foto dari sebuah jalan atau dari sudut rumah, akan menunjukkan Demikian
gaya
juga
hidup
dengan
keluarga data
lain
maupun tentang
perkotaan. kepemilikan
kendaraan, jenisnya dan pengendara yang menunjukkan simbol-simbol tertentu, akan terungkap lewat foto.45 Setelah sumber tertulis, kemudian
dilakukan
gambar atau foto diperoleh,
verifikasi
terhadap
sumber-sumber
tersebut. Verifikiasi sumber diperlukan untuk memperoleh kebenaran atas sumber tersebut. Bisa jadi sumber tulisan, gambar atau foto adalah manipulasi yang dilakukan. Setelah itu,
baru
menguraikan
fakta-fakta yang
terkandung dari
sumber tersebut, dan menyajikannya ke dalam sebuah tulisan. Pada akhirnya metode yang dilakukan dalam penelitian ini Kuntowijoyo menjelaskan bagaimana narasi foto bisa mengungkap kehidupan sehari-hari akan data lain tentang perabot rumah, pakaian, kendaraan, klangenan, yang mungkin terungkap lewat foto. Selengkapnya lihat Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta : Bentang, 2005), hlm. 97. 45
23
adalah metode sejarah, yang terdiri dari pencarian sumber, verifikasi
sumber,
perumusan
fakta
sampai
penyajian
pemikiran ke dalam tulisan.46 G. Sistematika Penulisan Tesis ini berisi permasalahan, pembahasan dan kesimpulan yang dirangkum ke dalam sistematika penulisan, yang terdiri dari beberapa bab. Pada bab pertama sekaligus sebagai pengantar penelitian ini berisi latar belakang, permasalahan & ruang lingkup,
tujuan
&
manfaat,
tinjauan
pustaka,
kerangka
konseptual & pendekatan, metode & sumber penelitian, dan sistematika penulisan. Dari pengantar ini didapat penjelasan pokok permasalahan yang mendasari pentingnya penelitian ini. Pembahasan awal dan menjadi bab dua mengkaji situasi perkotaan Medan yang berisi morfologi dan demografi perkotaan. Kedua hal tersebut memiliki arah dan dinamika yang berkaitan dengan perkembangan transportasi perkotaan. Pada akhirnya keadaan tersebut menjadi situasi yang saling terkait, saling mempengaruhi antara satu dengan yang lain. Masyarakat serta sarana dan prasarana transportasi memiliki keterkaitan dalam membentuk Medan sebagai kota yang berciri gemeente.
Mengenai metode penelitian sejarah, lihat Gilbert J. Garraghan, A. Guide to Historical Method, (New York: Fordham University Press, 1984). 46
24
Pada bab tiga penelitian ini membahas tawaran dan pilihan transportasi pada masyarakat perkotaan di Medan pada paruh pertama
abad
ke-20.
Tawaran
dan
pilihan
tersebut
telah
mengubah perlakuan masyarakat terhadap transportasi yang bisa melayani dari banyak segi. Kesempatan ekonomi, kebutuhan ekonomi, serta sebagai cap status sosial baru memiliki pergeseran secara signifikan sejak kendaraan bermotor menyaingi kendaraan non-bermotor. Namun, di saat yang sama kendaraan nonbermotor masih menjadi pilihan masyarakat kebanyakan. Pertumbuhan
kendaraan
bermotor
di
tengah-tengah
kendaraan non-bermotor yang telah ada sebelumnya membuat aktivitas perkotaan semakin kencang. Selain itu kerumitan dan kesibukan mobilitas juga mewarnainya. Hal tersebut memaksa dikeluarkannya
kebijakan-kebijakan
yang
berkaitan
dengan
transportasi perkotaan dalam pengelolaannya. Pembahasan ini juga
mengidentifikasi
aktor
penting
dalam
perkembangan
transportasi perkotaan di Medan pada paruh pertama abad ke-20, yang dikupas secara mendalam di bab empat. Terakhir adalah bab penutup dan menjadi bab lima dalam penelitian ini. Pada bab ini berisi temuan penting hasil penelitian yang tertuang pada kesimpulan; berisi jawaban atas pokok permasalahan,
pertanyaan,
dan
tujuan
penelitian
yang
sebelumnya telah dirumuskan pada bab awal (satu).
25