BAB I PENGANTAR
1.1
Latar Belakang Masalah Bermula dari hasil penelitian Ian Proudfoot dalam buku bibliografi Early
Malay Printed Books: a provisional account of materials published in the Singapore-Malaysia area up to 1920, noting holdings in major collection, terdapat informasi tentang keberadaan teks-teks cetak dunia Melayu masa penerbitan awal. Teks-teks dicetak sebelum 1920-an dan tercatat sebagai bagian dari sejarah percetakan awal Melayu di Malaysia dan Singapura. Teks-teks tersebut berupa cetak huruf (tipografi) maupun cap batu (litografi) yang tersimpan dalam koleksi beberapa perpustakaan di dunia (Proudfoot, 1993: 1—2). Dari hasil penelitian Proudfoot, peneliti mendapati teks-teks Hikayat Qamaruzzaman (selanjutnya disebut HQ). HQ sebelumnya ditemui peneliti sebagai manuskrip atau naskah tulisan tangan. Naskah HQ ini merupakan salah satu koleksi naskah tulisan tangan (manuskrip) Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia dengan kode MS 34. HQ beraksara Arab dan berbahasa Arab-Melayu, ditulis pada tahun 1227 H atau 1812 M, serta tidak diketahui nama penulisnya. Naskah HQ diketahui sebagai naskah tunggal (codex unicus) melalui inventarisasi naskah pada penelitian sebelumnya. Penelitian pada naskah tunggal dilakukan bilamana hanya ditemukan satu naskah pada tahap inventarisasi. Sebagai kelanjutan dari temuan Proudfoot, penulis melakukan penelusuran lanjutan.
1
2
Berdasarkan inventarisasi naskah, diketahui bahwa terdapat satu naskah tulisan tangan HQ, tiga teks cetak tentang Qamaruzzaman di Asia, sedangkan tiga naskah cetak lainnya tersimpan di Universitas Leiden, Belanda1. Informasi tentang keberadaan naskah ini, penulis dapati dari studi katalog cetak (terbitan) dan online di beberapa perpustakaan dunia.2 Di Indonesia, selama ini penelitian filologis dengan naskah tunggal yang telah banyak dilakukan hanya terbatas pada penyuntingan dengan edisi diplomatik maupun standar. Berbeda halnya dengan penelitian ini, naskah atau manuskrip HQ diketahui merupakan karya terjemahan setelah melalui pembacaan teks lain. Informasi tersebut didapati dari teks cetak yang hadir setelahnya3. Secara umum pada segi fisik, naskah HQ menunjukkan perbedaan apabila dibandingkan dengan teks cetak litografi Qamaruzzaman yang hadir setelahnya. Terang saja, halaman pada naskah HQ berjumlah 66 halaman, sedangkan teks cetak litografinya berjumlah 144 halaman. Keduanya menggunakan huruf Jawi (beraksara Arab dan berbahasa Melayu). Apabila dalam sebuah pembacaan karya, ditemukan sebuah karya yang hadir dalam bentuk tulisan tangan dan aksara yang sukar
dipahami
oleh
pembacanya,
kita
perlu
memahaminya
dengan
mentransliterasikannya terlebih dahulu supaya dapat terbaca di pembaca saat ini. Demikian pula karena suatu teks dalam masyarakat muncul baik dalam bentuk asalnya maupun dalam bentuk penerimanya dalam jumlah eksemplar dan variasi-
1 2 3
Daftar teks terdapat pada bab II Katalog terlampir dalam daftar pustaka Dari beberapa teks cetak dalam katalog terbitan, yang dapat dijangkau penulis adalah teks cetak litografi tahun [19?], merupakan terjemahan Haji Abdul Rahman bin Jabugis koleksi Sastri Sunarni Sweeney dan koleksi Universitas Leiden. Temuannya adalah teks tersebut sama, hanya saja terdapat beberapa keterangan lebih lengkap dari koleksi Leiden.
3
variasinya, dibutuhkan kemampuan untuk mengungkapkan edisi teks, dalam hal ini terhadap teks HQ. Persoalan demikian merupakan pendekatan filologis. Pada penelitian ini, rekonstruksi terhadap karya yang asli atau hampir asli justru dapat dilakukan dengan merunut teks masa kini sebagai teks saksi dengan metode kritik teks. Kritik teks menjadi salah satu aktivitas paling penting dalam sebuah penelitian filologi. Kritik teks pula yang membedakan penelitian filologi dengan pendekatan lainnya, dalam memperlakukan naskah. Dalam tradisi filologi klasik atau tradisional, kritik teks hampir selalu dipahami sebagai upaya mengembalikan teks sedekat mungkin dengan bentuk pertama yang dihasilkan oleh pengarang (autograph). Prinsip ini dilandasi oleh sebuah kenyataan bahwa naskah yang ditulis oleh pengarang ratusan tahun silam sangat jarang dijumpai sehingga pemahaman atas sebuah karya klasik hanya bisa mengandalkan pada sejumlah salinan naskah saksi (witnesses) yang tertinggal (Fathurahman, 2015: 66). Selain kedua teks Jawi di atas, peneliti menemukan dua teks lain yang berkaitan dengan Qamaruzzaman. Kedua teks ini merupakan teks cetakan print versi penerbit di Indonesia dengan bahasa Melayu Lama dan bahasa Indonesia. HQ versi manuskrip dan versi cetak litografi merupakan karya terjemahan dalam tradisi Melayu yang masih menggunakan aksara Jawi. Kontras dengan teks cetak print terjemahan versi bahasa Indonesia Seribu Satu Malam dengan ejaan Melayu Lama (Indonesia ejaan Soewandi) dan Kisah Petualangan Ali Baba dan Qamaruzzaman karya cetak terbitan 1998 digunakan sebagai bahan pembanding
4
transformasi.4 Hal ini dilakukan karena perbandingan dengan naskah induk maupun karya asli melampaui jangkauan peneliti pada penulisan tesis ini. Di satu sisi, penelitian tentang naskah tulis yang menggunakan pandangan filologi tradisional sebagai pengkajiannya akhirnya gugur karena kondisinya yang berada di antara kehadiran naskah-naskah cetak yang lain. Naskah cetak tidak memiliki peran penting dalam penelitian filologis tradisional. Akan tetapi, pada obyek penelitian ini, dengan perspektif filologi modern, filologi tetap dibutuhkan untuk melakukan penelusuran teks lain hingga memahami apa yang ingin disampaikan penulis maupun penyalin tentang teks kisah Qamaruzzaman yang disalinnya pada bentuk yang mendekati aslinya. Dalam perspektif filologi tradisional, upaya mengembalikan teks ke bentuk semula adalah hal yang penting harus dilakukan karena tradisi penyalinan teks melalui tulisan tangan sangat membuka kemungkinan munculnya variasi-variasi bacaan, baik yang diakibatkan ketidaksengajaan maupun kesengajaan penyalin. Akan tetapi, dalam perspektif filologi modern, variasi-variasi bacaan tersebut lebih sering dilihat sebagai sebuah ‘dinamika teks’, sehingga fokus kritik teksnya bukan bagaimana ‘memurnikan’ teks, melainkan bagaimana mengapresiasi dinamika teks tersebut (Fathurahman, 2015: 19). Penelitian ini pun lebih berpijak pada perspektif filologi modern. Sebagai alternatif, mazhab Neo-Lachmanian digunakan dengan mengesampingkan upaya penelusuran teks hingga bentuk
4
Uniknya, kisah Qamaruzzaman ini merupakan salah satu penggalan episode dari karya terjemahan karya sastra Arab Alfu Lailah Wa Lailah (ALWL). Hal ini diketahui dari pembacaan teks terjemahan versi Indonesia dan versi Eropa. ALWL merupakan sebuah karya yang telah disambut di berbagai tradisi masyarakat pembaca. Thousand and One Night, Arabian Night, 1001 Malam, dan beberapa karya terjemahan yang diuraikan pada bab-bab selanjutnya di penelitian ini.
5
mulanya. Metode ini mengapresiasi dan mencatat semua jenis variasi bacaan yang muncul dalam setiap salinan naskah, dengan tujuan agar pembaca, yang berkepentingan tentunya, mengerti dan memahami perbedaan serta kekhasan masing-masing teks. Dengan pendekatan ini, seorang penyunting boleh saja menampilkan sebuah edisi teks yang tidak dimaksudkan sebagai ‘teks asli’ tulisan pengarang, melainkan teks yang dianggap ‘paling pantas’ ditampilkan, paling mutakhir, paling lengkap, dan paling sesuai dengan tujuan penyuntingan (Fathurahman, 2015: 101). Berdasarkan pada pendekatan metode ini, maka penelitian difokuskan pada perteksan dan transmisi teks dari masa manuskrip Jawi, teks litografi Jawi, teks cetak versi Melayu-Indonesia, serta teks cetak versi Indonesia. Proses transmisi pun tentu mengalami peralihan, meliputi aspek bahasa, budaya, dan sastranya. Hal tersebut telah melahirkan perbedaan-perbedaan di antara keduanya yang disebabkan oleh latar belakang masing-masing pembaca. Latar belakang ini berkaitan dalam hal tradisi bahasa, budaya dan sastra yang berbeda. Di samping itu, jarak, waktu dan tempat di antara keduanya yang jauh tentu memberi peluang bagi terjadinya transformasi (perubahan) dalam teksnya. Hal ini ditempuh dengan tujuan memberikan gambaran terhadap salah satu wujud alternatif penyambutan masyarakat sastra Melayu yang tercermin dalam teks HQ terhadap teks 1001 malam (Alfu Lailah Wa Lailah / ALWL). Peneliti pun menyadari bahwa perunutan secara mendalam dari karya-karya yang merupakan satu dari sekian banyak versi dapat menjadi representasi kecilnya saja. Teks-teks yang dipilih bukan merupakan teks yang paling unggul untuk
6
dijadikan objek material maupun data pendukung, namun dalam mendekati kisah orisinal atau versi asli ALWL, perunutan teks cetak di masa sejarah penerbitan awal memiliki peran dalam penelitian transformasi teks versi manuskrip, litografi, dan cetak print.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah seperti yang telah
dikemukakan di atas, maka permasalahan penelitian yang muncul dalam penelitian ini adalah. (1)
Bagaimana pernaskahan dan perteksan teks HQ?
(2)
Bagaimana
kritik
teks
kajian
Neo-Lachmanian
terhadap
kisah
Qamaruzzaman dalam naskah HQ sebagai naskah tunggal (codex uniqus) di tengah peran kehadiran teks litografi Qamaruzzaman? (3)
Bagaimana transformasi Qamaruzzaman versi Melayu dari teks dalam manuskrip, litografi, dan cetak print?
1.3
Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengungkapkan problematika
penelitian filologi modern pada naskah tunggal dengan metode kritik teks kajian Neo-Lachmannian dari karya terjemahan yang hadir di pada masa sejarah percetakan awal Melayu. Selain itu, penelitian bertujuan menyediakan hasil penelusuran koleksi naskah dan teks tentang karya Hikayat Qamaruzzaman serta
7
mengungkapkan transformasi dari kisah Qamaruzzaman dalam 1001 Malam versi Melayu baik manuskrip, teks litografi, maupun cetak print.
1.4
Manfaat Penelitian Manfaat teoritis penelitian ini yaitu menyediakan transliterasi teks naskah
HQ untuk memperkaya khazanah penelitian dalam bidang filologi. Dengan pembacaan naskah HQ diharapkan dapat memaparkan kesusastraan Melayu baik versi tulis maupun cetak sebagai sumber referensi dari karya sastra Melayu Klasik yang berkaitan dengan karya terjemahan pengaruh karya asing. Penelitian ini pun diharapkan dapat menjadi kebaruan pada kajian filologi modern teks terjemahan, serta memaparkan tentang peran kehadiran teks litografi terhadap penelitian manuskrip di bidang filologi. Manfaat praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kemudahan dalam pembacaan naskah lama yang memiliki aksara yang sukar dipahami masyarakat saat ini. Dengan mengungkapkan transmisi teks dari masa manuskrip, litografi dan cetak print diharapkan dapat memberi informasi kepada pembaca tentang masa peralihan tradisi keberaksaraan tulis ke cetakan.
1.5
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini menggunakan dua karya sastra Melayu beraksara Jawi dan dua
karya terjemahan berbahasa Indonesia berhuruf Latin sebagai korpus penelitian yang berasal dari dua tradisi penulisan sastra yang berbeda. HQ sebagai bentuk karya berbahasa Melayu versi manuskrip, teks Qamaruzzaman berbahasa Melayu (Jawi) versi cetak litografi atau cap batu, dan teks penggalan episode
8
Qamaruzzaman pada Seribu Satu Malam berbahasa Melayu Lama (Indonesia ejaan Soewandi) versi cetak print, serta teks episode Qamaruzzaman pada terjemahan cetak print versi bahasa Indonesia. Pembatasan masalah dilakukan agar penelitian dapat terarah sesuai tujuan penelitian. Penelitian ini mencoba mengungkapkan kritik teks pada naskah tunggal HQ di tengah peran kehadiran teks cetak litografi dengan perspektif filologi modern. Keberadaan teks dari masa ke masa ini merupakan rentang transmisi yang dapat dikaji dengan memperhatikan aspek perteksannya. Perteksan dari masa manuskrip, litografi hingga cetak print dengan latar budaya Melayu di peralihan keberaksaraan tulis dan keberaksaraan cetak diungkapkan dengan analisis transformasi teks.
1.6
Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka mengenai penelitian yang terdahulu telah dilakukan
sebagai bahan pembanding. Di antara hasil tinjauan pustaka yang dilakukan peneliti yaitu sebagai berikut. Penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitian sebelumnya berjudul Hikayat Qamaruzzaman: Suntingan Teks dan Analisis Sastra Fantastik. Hasil temuan yaitu naskah HQ sebagai naskah tunggal. Penelitian ini menghadirkan suntingan teks dan analisis sastra fantastik menggunakan teori Tzvetan Todorov dalam pengkajian teksnya (Aulia, 2012). Penelitian ini dalam bidang filologis menyajikan suntingan teks dilakukan dengan metode naskah tunggal edisi standar, terbatas tanpa pelacakan atau inventarisasi naskah lebih lanjut. Metode ini
9
menyebabkan beberapa kritik teks hanya dilakukan peneliti berdasarkan subjektifitas peneliti, belum menghadirkan karya lain sezaman yang dapat menjadi bandingan. Mohd Idris melakukan transliterasi karya Haji Abdul Rahman bin Jabugis berupa penerjemahan dalam bahasa Melayu. Penelitian dilakukan tahun 1902. Buku yang berjudul Hikāyat Qamar al-Zamān, diterbitkan di Singapura terdiri atas 144 halaman dan tebal 20 cm. Buku ini disebutkan dalam katalog online ‘Hathi Trust Library’, serta dapat dilihat secara terbatas di University of Michigan,
namun
tidak
ada
pratinjau
yang
disediakan
dari
situs
www.catalog.hathitrust.org tersebut. Penelitian ini mencoba mengalihaksarakan teks saja, untuk dihadirkan kepada pembaca masa kini (Idris, 1902). Perbedaannya dengan penelitian yang saat ini peneliti lakukan terlihat pada kutipan naskah pada Hathi Trust Digital Library sebagai berikut. Inilah yang bernama Hīkāyat Qamar al-Zamān bin Malek Saharman yang amat indah ceritanya yang diterjemahkan akan dia daripada bahasa Arab kepada bahasa Melayu oleh hamba yang faqir lagi miskin kepada tuhan yang kaya nama Alhaj Abdul Rahman bin Jabugis diperanakkan di negeri Asahan. (www.catalog.hathitrust.org)
Ibn ‘Alawī ibn ‘Uthmān ibn Yahyā tersebut sebagai pengarang Ini Hikayat bernama Qamar al-zamān dalam katalog online ‘Hathi Trust Library’ pada tahun 1924. Diketahui bahwa karya ini berbentuk buku dan puisi terdiri atas 35 halaman, tebal 24 cm serta berbahasa Melayu. Buku ini dapat dilihat secara terbatas di University of Michigan, namun tidak ada pratinjau yang disediakan dari web www.catalog.hathitrust.org tersebut. Berdasarkan penelusuran lanjutan, karya ini merupakan teks cetak dan berbeda dengan Qamaruzzaman dalam
10
penelitian ini. Memang apabila dilihat dari segi judul karya ini memiliki kesamaan yaitu Ini Hikayat bernama Qamar al-zamān. Namun pada penelitian lain, menunjukkan bahwa karya ini berbeda dengan kisah Qamaruzzaman. Terdapat buku berjudul Islam, Colonialism and the Modern Age in the Netherlands East Indies: A Biography of Sayyid ‘Uthman (1822-1914) menjadikan salah satu fokus kajiannya pada teks puisi tersebut. Pada bab awal buku ini dinyatakan bahwa puisi ini merupakan teks berbahasa Melayu disebut syair ditulis oleh Syekh ibn ‘Alwi ‘ibn ‘Uthman ibn Yahya, cucu dari Sayyid ‘Uthman. Diselesaikan pada 19 November 1924, sekitar 10 tahun setelah wafatnya sang kakek. Karya ini berjudul Qamar al-Zaman menyatakan keadaannya almarhum al-Habib ‘Uthman dan ta’rikhnya. Ia melakukan transliterasi (pada lampiran) dan terjemahan dalam bahasa Inggris (Kaptein, 2014). Kajian pustaka ini pula menggugurkan satu teks cetak hasil inventarisasi sebagaimana dikemukakan di latar belakang masalah. Penelitian Qamaruzzaman pun terdapat pada berbagai penelitian sastra oleh peneliti dunia. Terdapat daftar pustaka yang mendata publikasi penelitian tentang Arabian Nights (Alf laila wa-laila, Les Mille et une Nuits, Tausendundeine Nacht dan lain-lain) yang diterbitkan dalam bahasa-bahasa Eropa, termasuk beberapa buku penting dan artikel diterbitkan dalam bahasa lain. Awalnya data didasarkan pada daftar pustaka di The Arabian Nights Encyclopedia (Marzolph dan Leeuwen, 2004: 811-852), daftar pustaka tercatat lebih dari 500 item. Hal ini dipahami sebagai sebuah proyek yang sedang berlangsung dan akan diperbarui secara berkala. Pantas saja jika penelitian ini banyak dilakukan dari segi kajian sastra karena karya sumber Qamaruzzaman yaitu ALWL pun melewati tradisi
11
penerjemahan di berbagai negara. Pada kajian pustaka di sini peneliti mengungkapkan sebagian kecil dari ribuan penelitian tentang ALWL atau The Arabian Nights atau One Thousands and One Night. Meski objek kajiannya bukan secara khusus tentang Qamaruzzaman, peneliti Barat justru membahas Arabian Night secara keseluruhan dengan perspektif kajian literatur yang sangat beragam. Tentu saja analisis isi Qamaruzzaman seperti halnya mengulang ulasan dalam beberapa bab penelitian tersebut. Akan tetapi, peneliti pun tidak dapat menafikan kehadiran penelitian tersebut dengan mengulas sebagian kecil dari ribuan penelitian tersebut. Terdapat beberapa jurnal dan buku penelitian yang di dalamnya terdapat ulasan tentang kajian Qamaruzzaman. Penelitian dengan pendekatan struktural juga dideteksi di antara beberapa kerja-kerja kritik sastra yang menganalisis The Arabian Nights seperti, Ferial Ghazoul dalam penelitiannya The Arabian Nights: A Structural Analysis, ia mencoba menganalisis Night melalui oposisi biner dan bricologe. Ada pula David Pinault dalam penelitiannya Story-Telling Techniques in the Arabian Night. Pinault memfokuskan pada kelisanan dan story telling, mencoba untuk mencari bagaimana cerita dikisahkan dan apa teknik narasi yang digunakan. Selain itu, terdapat Mia Gerhardt dalam penelitiannya The Art of Story-telling: A Literary Study of Thousand and One Nights. Gerhardt, di sisi lain, fokus pada klasifikasi genre dari cerita, struktur dan materinya (MametMichalkiewicz, 2011: 24). Selain pendekatan struktural, ada pula pendekatan psikologi serta feminisme. Pada dasarnya memang objek penelitian bukan secara langsung pada
12
Qamaruzzaman. Akan tetapi, tidak dapat dihindari hampir semua penelitian menggunakan Qamaruzzaman pada sub bagian bahasan mereka. Selain karena kisah Qamaruzzaman merupakan cerita kompleks tentang psikologi, feminis dan struktural. Sisi menarik Qamaruzzaman pun pada kenyataannya mampu menjadi daya tarik bagi penelitian dari segi pengisahan. Diakui pula bahwa hampir sebagian besar penelitian yang sejauh ini ditemui memberi ulasan khusus pada kisah Qamaruzzaman. Tentang Neo-Lachmannian, peneliti mendapati disertasi yang ditulis oleh Ben Salemans, berjudul Building Stemmas with the Computer in a Cladistic, NeoLachmannian, Way: The Case of Fourteen Text Versions of Lanseloet van Denemerken. Disertasi dari Katholieke Universiteit Nijmegen ini ditulis pada tahun 2000. Peneliti melakukan pembacaan pada karya Ben Salemans, karena penelitian mutakhir (hadir tahun 2000) tentang Neo-Lachmannian ditemui pada disertasinya. Salemans melakukan kritik teks dengan menyusun stema terkomputerisasi dari 14 teks yang dijadikan studi kasusnya. Bagi Salemans, penerapan metode Lachmann masih terdapat beberapa kendala serta kesalahan jika diterapkan pada beberapa tradisi teks. Hal ini dia rasakan saat melakukan perbandingan dengan sistem komputerisasi (Salemans, 2000: 8, 59-60). Berdasarkan kajian dari penelitian terdahulu di atas, dapat diketahui bahwa penelitian terhadap teks HQ banyak dilakukan oleh peneliti secara global. Obyek material penelitian sebelumnya menggunakan cerita-cerita dalam Arabian Nights atau Thousand and One Night atau Alf Lailah Wa Lailah, dan beberapa penggalan cerita lain. Karya masterpiece dari sastra Arab ini memang banyak dikenal dan
13
diteliti oleh berbagai kalangan. Akan tetapi, terdapat salah satu kutipan yang menarik yang menyatakan bahwa penelitian secara sosio-historis belum banyak dilakukan untuk menelusuri keberadaan teks ALWL maupun Arabian Night. There are not many writers who undertake a sociohistorical approach and whose studies are devoted to The Arabian Nights. However, there has been a few significant contributions, such as Robert Irwins The Arabian Nights: A Companion, Eva Salliss Scheherazade Through the Looking Glass: The Metamorphosis of The Thousand and One Nights, Rana Kabbani’s Europe’s Myths of Orient, Richard van Leeuwen’s The Thousand and One Nights: Space, Travel and Transformation, and Yuriko Yamanaka’s and Tetsuo Nishio’s The Arabian Nights and Orientalism: Perspectives from the East and West. These writers perceive the Nights as a complex cycle: emphasising intertextuality and the diversity of the tales, they do not focus on their textuality as much as on their cultural aspects. (Mamet-Michalkiewicz, 2011: 27)
Tidak banyak peneliti yang mau meneliti dengan perspektif sosial historis. Selain karena kompleksitas dan kerumitannya, kajian tentang berbagai hal yang melibatkan karya yang mendapat banyak sambutan dari berbagai negara dengan beragam bahasa, budaya dan sastra sangat luas untuk dikupas. Peneliti dapat dengan mudah terjebak pada referensi-referensi yang tentu sangat melimpah. Namun, dengan batasan masalah yang dilakukan dengan rumusan masalah dan pertanyaan penelitian yang hadir, peneliti pun menitikberatkan pada pengamatan teks HQ dengan metode kritik teks kajian Neo-Lachmannian. Penelitian ini memandang naskah HQ dan teks Qamaruzaman sebagai bagian dari perjalanan sejarah peralihan budaya tulis ke budaya cetak. Perubahanperubahan tersebut dipandang sebagai kreativitas dari masa ke masa dan dinamika yang positif. Tentu alasan-alasan perubahan tersebut dapat diamati untuk mengetahui gejala-gejala sosial budaya masyarakat karena tidak hanya melibatkan teknik dan cara penulisannya saja, namun pada aspek sosial historisnya berupa kritik teks dan transformasinya.
14
1.7
Landasan Teori
1.7.1 Teori Filologi Modern Perkembangan filologi berangkat dari sikap-sikap memandang positif terhadap gejala variasi dalam teks-teks yang tersimpan dalam naskah lama. Variasi yang merupakan dasar kerja filologi pada awal mulanya dipandang sebagai kesalahan, satu bentuk korup (rusak), keteledoran si penyalin sehingga tujuannya menemukan bentuknya yang masih orisinal. Dalam filologi modern, sikap terhadap variasi yang muncul dalam transmisinya, dalam perkembangannya, berubah. Variasi dipandang tidak hanya sebagai kesalahan yang dibuat oleh penyalin, tetapi juga kreasi penyalin, subyektivitasnya sebagai penyambut teks yang disalin dan sebagai penyalin yang menghendaki salinannya diterima oleh pembaca sezamannya. Situasi ini menjadi semakin jelas apabila diingat peran penyalin yang besar dalam transmisi teks lama (Chamamah-Soeratno, 2003: 9) Munculnya perkembangan sikap terhadap variasi dipengaruhi juga oleh perkembangan pemahaman orang terhadap sasaran dan objek kajian filologi yang tidak selalu identik dengan sasaran serta objek kajian yang melahirkan istilah filologi (di Alexandria) dan dengan sasaran serta objek kajian yang dihadapi oleh kajian filologi yang berkembang di Eropa (Abad Pertengahan). Filologi merupakan istilah yang muncul dari ilmuwan Alexandria (West via Chamamah-Soeratno, 2003: 7). Pada saat itu, mereka harus berhadapan dengan sejumlah peninggalan tulisan yang menyimpan
15
informasi masa lampau dengan bentuk yang bermacam-macam dan karena tuanya, bacaannya banyak yang korup atau rusak (West, 1978). Filologi diperlukan untuk menetapkan pilihan terhadap salah satu variasi dari teksnya sebagai yang asli yang orisinal. Gejala munculnya variasi tersebut adalah akibat penyalinan karena penyalinan senantiasa ‘menggerogoti’ teksnya sehingga melahirkan wujud teks yang bervariasi. Dapat dikatakan bahwa kerja filologi didasarkan pada prinsip bahwa teks berubah dalam menemukan bentuk mula teks atau yang paling dekat dengan bentuk mula teks, teks yang ‘asli’, yang masih orisinal (bdk. Reynold &Wilson, 1968; West, 1978, dan Robson, 1988). Dalam kurun waktu yang cukup lama, filologi tidak banyak dimanfaatkan. Baru kemudian filologi bangkit oleh Boekh yang melihatnya sebagai disiplin yang mempersatukan beberapa metode penelitian baru yang berkembang yang berkaitan dengan ilmu-ilmu alam. Dari pandangan inilah pengkajian terhadap teks-teks yang tersimpan dalam peninggalan tulisan masa lampau tersebut menjadi pintu gerbang untuk mengungkapkan khazanah masa lampau, menjadi etalage de savoir. Filologi yang kemudian dikenal juga dengan tekstologi, berkaitan pula dengan ilmu naskah yang disebut kodikologi dan ilmu kertas sebagai bahan pendukung utama naskah, yaitu papirologi (Chamamah-Soeratno, 2003: 8). Perkembangan memperlihatkan sikap pandang yang baru terhadap sasaran kerja filologi ialah variasi atau gejala ‘kesalahan’ yang dijumpai pada teks-teks salinannya. Apabila filologi yang berkembang selama itu
16
memandang variasi sebagai menyimpan kesalahan, kelengahan penyalin, dan konsekuensinya kesalahan harus dibuang, yang berarti menempatkan penyalin sebagai pembuat ‘kesalahan’, filologi yang baru (Filologi Modern) memandang variasi menyimpan wujud kreativitas penyalinnya. Maka lahirlah filologi yang justru memberi tempat yang positif kepada penyalin. Bagi filologi sebagai disiplin ilmu dalam pandangan yang baru, ‘kesalahan’ yang hakikatnya merupakan bentuk variasi, tidak diinterpretasi sebagai gejala ‘salah’ atau korup, tetapi dipandang sebagai bentuk positif, yakni kreativitas penyalin (Chamamah-Soeratno, 2003: 9).
1.7.2 Neo-Lachmannian: Perspektif Baru Memandang Kritik Teks Sesuai uraian sebelumnya penelitian ini menggunakan kajian NeoLachmannian dengan teori dari Dr. Martin L. West atau M.L. West memang tidak secara jelas menyebut dirinya sebagai pencetus Neo-Lachmannian, bahkan dalam bukunya pun tidak tertera istilah Neo-Lachmannian. Akan tetapi, pada pendahuluan bukunya (bibliographical note) Textual Criticsm and Editorial Technique—diterapkan pada teks Yunani dan Latin—ia menjelaskan bahwa bukunya ditulis atas permintaan penerbit yang menginginkan adanya penggantian ‘Textkritik’ Paul Mass (edisi ketiga tahun 1957), serta O. Stahlin Editionstechnik (edisi kedua, 1914). Kedua tokoh tersebut mengapresiasi kritik teks metode Lachmann (West, 1973: 5). Sebagai alternatif, muncullah apa yang disebut sebagai mazhab ‘neoLachmannian’ yang tetap berbasis pada gagasan Lachmann, tetapi tidak melakukan upaya penelusuran teks hingga bentuk mulanya. Neo-
17
Lachmannian justru mengapresiasi dan mencatat semua jenis variasi bacaan yang muncul dalam setiap salinan naskah, dengan tujuan agar pembaca, yang berkepentingan tentunya, mengerti dan memahami perbedaan serta kekhasan masing-masing teks (bdk. Fathurrahman, 2015: 101). Selain mendapat apresiasi, kritik teks mazhab Lachmann yang dielaborasi oleh Paul Mass ini juga tidak luput dari kritik sejumlah sarjana. Giorgio Pasquali adalah salah seorang di antara yang paling keras menyatakan ketidaksetujuannya. Menurutnya, kebanyakan tradisi teks tidak dapat ditelusuri dan direkonstruksi hingga sampai pada sebuah teks mula (archetype), sehingga metode ini lebih banyak tidak bergunanya. Begitu pula M.L.West yang merujuk pendapat Giorgio Pasquali. Teori West ini berfokus tentang transmisi teks pada penelitian ini digunakan sebagai representasi kritik teks dengan kacamata Neo-Lachmannian. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Buzzoni (2015), Neo-Lachmannian berkembang sebagai istilah dari Italia yang merujuk pada sikap interpretasi dari metode Lachmann. Metode Lachmann bagi para tokoh-tokoh Neo-Lachmannian ini memiliki kekurangan dalam hal ‘kesalahan bersama’ pada teks-teks untuk merunut pohon kekerabatan (stemma). Istilah ‘Neo-Lachmannian’ muncul dari peneliti Italia (lih. Salemans, 2000; Trovato, 2014). Secara pasti memang tidak ada pemaparan khusus yang menjelaskan secara gamblang tentang istilah ini. Istilah ‘NeoLachmannian’(Buzzoni, 2015) atau juga disebut ‘neo-lachmanni(ani)sm’, berasal dari bahasa Italia dari kata ‘neo-lachmanismo’. Istilah ini digunakan
18
untuk merujuk pada interpretasi metode Lachmann yang bekerja lebih pada ‘variasi’ daripada ‘kesalahan’ pada umumnya. Kajian ini merupakan metode yang mengusulkan untuk menggunakan semua varian untuk menemukan kekerabatan antara saksi. Tokoh-tokoh Neo-Lachmannian (dengan teknik komputerisasi) ini antara lain Henri Quentin, Anthonij Dees, Evert Wattel, Karl-Heinz Uthemann dan Ben Salemans. Metode ini terutama dimaksudkan untuk digunakan dalam teks-teks terkontaminasi dan terdapat banyak teks saksi (seperti Alkitab) dengan sistem perbandingan terkomputerisasi. Selain West, tesis ini merujuk pula pada uraian disertasi yang ditulis oleh Ben Salemans, berjudul Building Stemmas with the Computer in a Cladistic, Neo-Lachmannian, Way: The Case of Fourteen Text Versions of Lanseloet van Denemerken. Bagi Salemans, penerapan metode Lachmann masih terdapat beberapa kendala serta kesalahan jika diterapkan pada beberapa tradisi teks. Hal ini dia rasakan saat melakukan perbandingan dengan sistem komputerisasi (Salemans, 2000: 8, 59-60). Salemans
melakukan
inventarisasi
dari
teks
Lanseloet
van
Denemerken. Keempat belas teks ia deskripsikan berdasarkan kunjungan langsungnya pada tempat penyimpanan teks-teks tersebut. Ia tidak hanya menjalani penelitian dengan melihat katalog atau bibliography saja, namun melakukan pendigitalan teks. Dengan bantuan foto, ia dapat merunut segi historis teks lebih lanjut untuk mengungkapkan kritik teks dan upaya rekonstruksi dalam menghadirkan edisi teks. Baginya foto dua dimensi (2D)
19
kurang memadai dalam melakukan penelusuran seluk beluk teks, perlu adanya foto tiga dimensi (3D) untuk mengungkapkan hingga watermark (cap kertas) teks. Watermark digunakan dalam membantu menentukan tahun penulisan teks atau naskah. Kesalahan dalam upaya digitalisasi naskah— seperti melewatkan beberapa lembar halaman—yang
paling fatal
melewatkan yaitu bagian sampul (terkadang berisi banyak informasi tentang teks tersebut) (Salemans, 2000: 115-121). Kedua pandangan baik West dan Ben Salemans sebagai sebuah pendekatan, pada penelitian ini mendapat posisi dan porsinya masingmasing. West dengan teknik edisi teks berupa pengumpulan data, persiapan, hingga penyajian data dilakukan secara manual. Sedangkan Ben Salemans dengan studi kasus teks yang lebih dapat dipahami peneliti teknik komputerisasi menggunakan formula juga diadaptasi oleh peneliti. Peneliti menggunakan aplikasi komputer berbeda (Beyond Compare) hanya untuk memudahkan dalam perbandingan teks dalam memperoleh data kritik teks. Meski tidak secara keseluruhan, namun aplikasi ini membantu peneliti dan tetap dilakukan kerja perbandingan secara manual. Teks lama tidak lepas dari kesalahan penulisan, jika dipertahankan seperti bentuk aslinya, beberapa salinan banyak dihilangkan atau menyimpang dari aslinya. Praktek kritik teks adalah bermanfaat lebih dari pencegahan terhadap penipuan. Tujuannya yaitu memastikan setepat mungkin apa yang penulis tulis dan mendefinisikan area ketidakpastiannya pada proses transmisi. Pada beberapa kasus, terdapat satu teks dengan satu
20
naskah saja, namun terdapat pula satu teks dengan ratusan salinan. Masingmasing permasalahan dalam teks juga menghadirkan solusi yang berbeda pula, meskipun terdapat prinsip-prinsip umum yang digunakan dan tidak selalu jelas. Selain salinan langsung, terdapat pula kutipan, saduran, parafrase, terjemahan, seperti contoh kasus pada cerita Yunani ke bahasa Latin atau Arab (West, 1973: 7—8). West mengatakan bahwa hal-hal yang dapat memudahkan dalam proses penilaian terhadap naskah-naskah itu antara lain penyunting dapat mengajukan
pertanyaan-pertanyaan
yang
jawabannya
akan
sangat
membantu dalam penilaian itu. Misalnya, apakah ada penyimpangan dalam proses penyalinan semua naskah dan penyimpangan itu pada tempat yang sama, atau pada tempat-tempat yang berbeda? Apakah ada perbedaan antara bacaan, sehingga ada bacaan yang kurang memadai daripada yang lain? Bila ada kutipan-kutipan, apakah kutipan itu berasal dari pengetahuan langsung pengarang, atau tambahan dari penyalin? Apakah kutipan-kutipan itu disebut sumbernya? Apabila terdapat terjemahan teks, kapan dibuat dan bagaimana ketelitiannya, dan sejauh mana tingkat ketelitian penyalin? Dapatkan terjemahan itu menjadikan teks lebih menarik? Apakah penurunan teks (salinan teks) yang dianggap lebih rendah mutunya berarti diturunkan dari naskah lain yang belum diketahui? Dan sejauhmana keaslian teks yang diturunkan itu? Apakah dapat diketahui salinan-salinan yang berhubungan dengan kekerabatan (stema)? Dan bagaimana kebiasaan pengarang naskah secara individual? (West via Lubis, 1996: 29-31).
21
Dengan kata lain, proses
penelitian
yang diadakan
melalui
pengelompokan naskah sebagaimana yang diuraikan di atas dapat dikerjakan dengan mengadakan kritik teks, yaitu kritik dalam (internal) dan kritik luar (eksternal) atau yang biasanya disebut kritik. Kritik eksternal dapat membantu untuk mengetahui keabsahan naskah, jenis tulisan, kualitas kertas, latar belakang penulis, mengetahui waktu dan tempat penulisannya (zaman naskah). Adapun kritik internal menitikberatkan pembahasan pada isi naskah, tujuan penulis sebagaimana yang dipahami dari teks, dan informasi yang mendukung keabsahan teks (Lubis, 1996: 69-70). Untuk mengadakan pengelompokan naskah, proses awal yang harus dilakukan oleh seorang editor atau filolog ialah mengadakan penelitian yang cukup mendalam sehingga akhirnya diketahui hubungan antar varian, perbedaan, persamaan, dan hubungan kekerabatan antara berbagai naskah yang ada. Dalam hubungan inilah beberapa hal yang perlu diketahui oleh penyunting dalam rangka pengumpulan data yang akan membantunya dalam mengadakan pengelompokan. Setelah diadakan berbagai macam kritik internal dan eksternal, maka sekurang-kurangnya diperoleh gambaran tentang masing-masing naskah. Langkah
berikutnya
adalah
mengadakan
perbandingan
teks
untuk
mengetahui apakah ada perbedaan antara bacaan masing-masing naskah. Jika tidak ditemukan perbedaan bacaan di antara semua naskah, dan teks yang akan cukup terang maka pekerjaan editor tinggal memilih salah satu disajikan dari berbagai naskah yang tersedia. Akan tetapi kalau ada
22
perbedaan yang menyimpang maka timbul masalah. Bacaan mana yang harus diambil sebagai bacaan paling baik untuk disajikan dalam suatu edisi, dan yang dianggap mewakili harapan pengarangnya? (Lubis, 1996: 70)
LACHMANN Rekonstruksi
NEO-LACHMANNIAN TEORI
Rekonstruksi
Stemma
METODE
Kritik Teks
Mencari kesalahan bersama
TEKNIK
Kreativitas Penyalin
Otoritatif Teks
SASARAN
Orisinalitas Teks
Tabel 1 Perbandingan Kajian Lachmann dan Neo-Lachmannian
1.7.3 Transformasi Teks: Sebuah Kreativitas Penyalin Transformasi teks yang dilakukan seorang penyalin naskah seringkali tidak kebetulan atau karena keteledoran saja menyimpang dari teladannya. Penyimpangan itu berwujud resepsi selaku pembaca, yaitu penyalin memberikan tanggapan dalam salinannya, misalnya menyesuaikan teks asli dengan norma bahasa atau sastra, budaya dan seterusnya yang berlaku. Selain penerjemahan, kita mengenal juga istilah penyaduran. Penyaduran adalah sebuah teks yang digarap oleh penulis, kemudian menyelesaikannya dengan norma-norma baru, dengan perubahan
yang membuktikan
pergeseran horison harapan pembaca, dengan penyesuaian dengan jenis-
23
jenis sastra baru, dengan pencocokan dengan tahap bahasa yang baru. Penerjemahan karya sastra dalam bahasa lain dapat dipandang sebagai bentuk resepsi yang sekaligus diartikan sebagai kreasi dan inovasi (Teeuw, 1984: 217). Penelitian
dalam
studi
ini,
yang
berpusat
pada
teks
dan
transformasinya lewat tanggapan dan penciptaan dari pihak pembaca, berusaha menjembatani dua bidang ilmu, yakni filologi atau kritik teks dan ilmu sastra. Hal itu ditempuh untuk menghindari bahaya pemutlakan salah satu bidang ilmu saja—entah kritik teks, entah ilmu sastra—sehingga salah satunya disingkirkan dalam penelitian sastra. Kritik teks tak mungkin dilaksanakan tanpa analisis sastra dan penafsiran, sedangkan studi sastra tak mungkin dilaksanakan tanpa dengan kritis meninjau sumber-sumber teksnya (Teeuw, 1984: 19). Dalam kenyataan sejarah teks tampak bahwa teks mana pun juga cenderung berubah dan tidak stabil wujudnya sepanjang masa (Teeuw, 1984: 250). Penelitian ini memperhatikan teks dalam dinamikanya. Namun demikian, berkat sifat dan potensinya teks juga terbuka untuk perubahan berkat pembacaan dan penafsiran dari pihak pembaca. Dalam rangka sambutan pembaca perubahan teks itu dapat dilihat dalam berbagai bentuk, khususnya dalam penyalinan, penyaduran dan penerjemahan (Teeuw, 1984: 214). Varian-varian teks dihargai secara lebih positif dan ditimbang rangkaian sambutan sastra. Pada suatu tahap transmisi teks mungkin sekali suatu varian teks menjadi sumber kreasi, seperti pemberian komentar,
24
penerjemahan dan penyaduran. Dalam kasus ini, penyalin dipandang sebagai pembaca kreatif, yang berkat tanggapannya sekaligus menjadi pencipta teks. Di situ terjadilah transformasi teks. Suatu teks dibaca, dipahami, dan ditafsirkan. Hasil pembacaan, pemahaman, dan penafsiran itu diwujudkan menjadi teks baru, entah sama, entah berlainan bahasa, jenis dan fungsinya (bdk. Teeuw, 1984: 266-274, 322-323). Dalam transformasi teks itu dapat dikenali tanggapan penciptanya atas teks yang dibacanya terdahulu. Pembaca dalam penelitian ini merupakan pembaca di balik teks yang diciptakannya. Oleh karena itu, dalam penelitian ini tanggapan pembaca dimengerti dari sisi lain dari perubahan atau penciptaan teks. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam pengamatan itu terlibat peran peneliti sebagai pembaca dan penafsir teks. Pada penelitian resepsi sastra (menurut Jauus) peneliti merupakan mata terakhir dalam rantai sejarah, yang ikut dalam proses penilaian selaku pembaca (Teeuw, 1984: 200).
25
1.8 Hipotesis Berdasarkan rumusan masalah dan kerangka konseptual teori dalam melakukan analisis pada Hikayat Qamaruzzaman, maka dapat dirumuskan hipotesis yaitu: 1) Pernaskahan dan perteksan berdasarkan hasil inventarisasi, terdapat beberapa teks lain yang ditemukan untuk dideskripsikan dan dibandingkan. 2) Terdapat modifikasi naskah HQ berupa pengurangan cerita dari versi aslinya. Versi asli dapat dirunut dari penelusuran teks saksi salah satunya teks cetak litografi. Teks litografi dapat dijadikan teks landasan dikarenakan hanya ditemukan naskah tunggal dan teks cerita HQ merupakan penggalan cerita berbingkai 1001 Malam. 3) Kreativitas penyalin atau penulis dalam tahap transmisi teks terjadi pada suatu varian teks menjadi sumber kreasi, seperti pemberian komentar, penerjemahan dan penyaduran. Penyalin dipandang sebagai pembaca kreatif, yang berkat tanggapannya sekaligus menjadi pencipta teks, terjadilah transformasi teks. Hal ini membantu peneliti dalam menghadirkan edisi teks yang paling representatif tentang Hikayat Qamaruzzaman sebagai penggalan teks cerita berbingkai bersumber dari Kisah 1001 Malam.
1.9 Variabel Penelitian Dalam penelitian ini variabel yang ditemukan dalam teks HQ adalah kritik teks, transmisi, transformasi, edisi teks, codex-unicus, teks litografi, varian teks, versi teks, filologi dan neo-lachmannian. Penentuan variabel berdasarkan kerangka konseptual rumusan masalah dan hipotesis yang merujuk pada filologi
26
modern dan kritik teks kajian Neo-Lachmannian. Variabel tersebut merupakan indikasi dari pembuktian hipotesis yang akan dijelaskan dalam pembahasan.
1.10 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kritik teks kajian Neo-Lachmannian. Hal ini berkaitan dengan penilaian dan uji keabsahan teks yang dipakai dalam penelitian. Pada penelitian ini memang tidak menghadirkan suntingan dengan rekonstruksi pada teks asli sebagaimana penelitian filologi tradisional. Edisi teks digunakan untuk menampilkan teks yang dianggap ‘paling pantas’, ‘paling mutakhir’ dari beberapa teks saksi yang dapat dijangkau peneliti sebagai representasi dari teks Qamaruzzaman. Edisi teks digunakan metode landasan. Teks litografi dijadikan teks landasan sehingga dapat dinyatakan sebagai teks yang mengandung mayoritas bacaan yang baik, namun di beberapa bagian, manuskrip menjadi rujukan pemilihan acuan kata, kalimat, atau cerita. Ada beberapa masalah pokok dalam penelitian filologi, meskipun tidak merujuk pada manuskrip, penelitian ini menggunakan teks-teks cetak sebagai teks saksi sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian ini. Adapun metode penelitian yang berdasarkan langkah kerja filologis dan kritik teks neolachmannian adalah: a. Inventarisasi, yaitu pencatatan dan pengumpulan naskah (manuskrip) maupun teks-teks yang dapat menjadi wakil atau teks saksi. Inventarisasi dilakukan dengan studi katalog (cetak maupun online), serta studi lapangan. Pencatatan pada naskah atau teks dengan judul yang sama atau nukilan kisah yang sama di berbagai perpustakaan yang terjangkau peneliti.
27
b. Deskripsi naskah, yaitu memberi gambaran detail tentang kondisi fisik, sejarah maupun seluk beluk naskah atau teks yang dijadikan teks saksi. Singkatan teks diberikan untuk mempermudah peneliti dalam membandingkan teks. c. Perbandingan, teks-teks saksi yang diinventarisasi dilakukan perbandingan untuk menentukan teks-teks mana yang digunakan sebagai saksi untuk ditransliterasi dan dijadikan perbandingan dalam menyediakan edisi teks. d. Dasar-dasar penentuan teks yang akan ditransliterasi dapat merupakan teks dari segi keterbacaannya, keterjangkauannya, dan kekerabatannya. f
Transkripsi teks dilakukan dengan foto naskah (terdapat pada lampiran).
g. Transliterasi teks atau alih aksara. Hal ini dilakukan pada teks saksi yang beraksara selain huruf Latin. Pada penelitian ini, teks berupa Arab-Melayu (Jawi) ditransliterasikan dalam huruf Latin.
1.10.1 Metode Kritik Teks dalam Filologi Metode kritik teks paling terkenal dalam tradisi filologi klasik, yakni metode stema. Metode stema pertama kali diperkenalkan sebagai sebuah pendekatan sistematis dalam menyunting teks oleh Karl Lachmann, seorang sarjana Jerman. Akan tetapi, Lachmann sebetulnya bukan orang pertama yang memformulasikan pendekatan stema ini menjadi
sebuah
teori
dan
metode,
karena
awalnya
ia
hanya
memperkenalkan secara terpisah pendekatan tersebut dalam pengantar atas edisi teksnya serta dalam sejumlah artikel yang ia tulis. Lachmann meyakini bahwa pendekatan stematis perlu dilakukan sebelum seseorang
28
memanfaatkan sebuah teks untuk bahan kajiannya (Fathurahman, 2015: 98). Ialah Paul Mass yang mencoba memformulasikan dan menafsirkan gagasan-gagasan Lachman tersebut menjadi sebuah metode tersendiri. Melalui penafsiran Mass inilah metode stema dirumuskan sebagai cara untuk menelusuri, melacak, dan merekonstruksi asal mula teks dengan mendasarkan pada kesalahan bersama (errors) yang dijumpai dalam sejumlah teks salinan, baik kesalahan berupa penghilangan (omission) maupun penggantian (transposition) kata atau kalimat. Ini artinya, metode stema hanya dapat diterapkan pada teks yang salinan naskahnya dijumpai lebih dari satu, dan tidak mungkin diterapkan pada kajian naskah tunggal (codex unicus) (Fathurrahman, 2015: 98). Penerapan metode stema sendiri biasanya dimulai dari apa yang disebut sebagai recensio, yakni mencari bentuk mula teks berdasar pada salinan naskah yang dijumpai. Dalam tahap ini, selain merekonstruksi hubungan kekerabatan antarnaskah berdasarkan kesalahan bersama, juga dimungkinkan dilakukannya eliminasi terhadap satu atau lebih salinan naskah yang dapat dipastikan sebagai keturunan langsung dari sebuah naskah lainnya. Pada sumber referensi lain dinyatakan bahwa terdapat beberapa tahapan dalam kritik teks dalam penyusunan silsilah naskah yang memenuhi kriterium pelacakan naskah asli atau mendekati asli (bdk.
29
Heessakers via Sudibyo, 2015: 89). Tahapan tersebut yaitu 1) Heuristik, 2) Kolasi, 3) Resensi, 4) Eksaminasi, 5) Seleksi, dan 6) Emendasi. Tahap heuristik, meliputi kegiatan pelacakan baik segala eksemplar yang ada khususnya naskah tulisan tangan; teks-teks cetakan yang mewakili teks-teks yang hilang; fragmen-fragmen dan kutipan dalam karya yang lain; serta terjemahan yang penting bagi tradisi teks. Tahap selanjutnya yaitu kolasi, yaitu membandingkan eksemplar teks yang ada dan mencatat penyimpangan. Berdasarkan usia teks dan jenis tulisan dicari relasi antarteks, teks itu dapat disisihkan dalam rekonstruksi. Penyisihan itu disebut eliminatio codicum descriptorum. Tahap berikutnya yaitu resensi, yaitu pengumpulan saksi teks yang ada, inventarisasi, penilaian kritis serta perbandingan terhadap varian-varian yang ada dapat ditentukan relasi antarteks. Hasil inventarisasi tersebut selanjutnya di-eksaminasi yaitu penetapan bentuk mula teks yang menjadi dasar bagi bahan-bahan yang ditransmisikan secara beranekaragam. Tahap seleksi pun dilakukan terhadap varian-varian dengan kans paling mendekati teks asli dan menerka bacaan teks asli pada tahap emendasi. (Heessakers via Sudibyo, 2015: 89). Heuristik
Kolasi
Resensi
Eksaminasi
Seleksi
Emendasi
Gambar 1 Tahapan Kritik Teks
Metode Lachmann (stemma) ini hanya dapat diterapkan apabila teks disalin satu demi satu dari atas ke bawah, dari contoh ke salinan. Penurunan semacam ini berlangsung secara ‘vertikal’, artinya menurut
30
satu garis keturunan. Ada kalanya seorang penyalin menghadapi kesulitan dalam mengahadapi kesalahan-kesalahan yang terdapat dalam teks sehingga ia berusaha mendapatkan bacaan yang paling baik dengan memakai lebih dari satu naskah dalam salinannya. Dengan demikian terjadi penurunan secara ‘horisontal’ antara beberapa naskah atau terjadi perbauran antara beberapa tradisi naskah yang disebut ‘kontaminasi’. Hubungan antarnaskah bertambah rumit apabila si pengarang sendiri sudah membuat perubahan dalam teks setelah teks itu selesai disalin. Dengan demikian, terjadi percampuran yang mengakibatkan timbulnya versi baru. Penurunan naskah yang tidak terbatas pada satu garis keturunan saja disebut tradisi tertutup. Metode stema tidak bebas dari berbagai masalah dan keberatan. Sebagai contoh disebutkan beberapa di antaranya sebagai berikut (Baried, dkk., 1994: 70). 1)
Metode ini pada dasarnya berdasarkan pilihan antara bacaan yang benar dan salah. Dalam prakteknya, sulit menentukan pilihan itu.
2)
Pilihan antara dua hiparketip sering juga tidak mungkin karena keduanya dianggap baik.
3)
Dua anggota dari satu hiparketip mungkin mewakili dialek atau tahap bahasa yang berbeda sehingga penyunting menghadapi pilihan antara stema dan homogenitas dialek atau tahap bahasa.
4)
Masalah kontaminasi atau pembauran dua tradisi akibat tradisi terbuka.
31
5)
Teks ‘asli’ juga sering dipersoalkan; mungkin tidak pernah ada ‘satu’ versi asli karena dari permulaan sudah ada variasi teks.
6)
Hubungan antara tradisi lisan, dan tradisi naskah tulisan tangan di Indonesia, perlu diperhatikan, mana yang lebih asli dan otentik, karena ada interaksi yang kuat antara keduanya.
Sebagaimana diungkapkan di atas, kelemahan metode stema juga ditemui oleh peneliti pada tesis ini. Hampir sama dengan pernyataan di atas, hubungan antara tradisi naskah tulis tangan dan naskah cetak juga mempengaruhi peneliti dalam melakukan kritik teks terhadap kisah Qamaruzzaman. Kisah Qamaruzzaman pada penelitian ini dalam naskah HQ dan teks-teks litografi juga teks terjemahan, merupakan teks yang muncul dalam tiga tradisi penulisan yang berbeda yaitu tulisan tangan, cetak litografi, juga teks print terjemahan. Empat teks bukan hanya dari tradisi tulisan tangan atau manuskrip, namun dari tradisi teks litografi yang diasumsikan merupakan teks yang dijadikan landasan. Atas dasar itulah, peneliti
menggunakan metode kritik
teks kajian Neo-
Lachmannian dalam mengungkap permasalahan yang dihadapi pada penelitian ini.
1.10.2 Objek Formal dan Objek Material Secara umum, penelitian ini menggunakan objek formal teori filologi modern (kajian Neo-Lachmannian) yang mengacu pada metode textual criticism M.L.West untuk mengkaji seluk beluk serta kesejarahan naskah
32
dan teks cetak kisah Qamaruzzaman di dunia Melayu. Selain itu, penelitian juga mengungkapkan transformasi teks-teks tersebut. Objek material penelitian ini adalah kisah Qamaruzzaman yang terdapat pada empat teks yaitu, 1) naskah atau manuskrip Hikayat Qamaruzzaman, yang tersimpan di Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia MS 34, berjumlah 66 halaman, aksara Arab-Melayu, tahun 1227 H / 1819 M ; 2) teks cetak litografi berjudul Inilah hikayat Qamar al-Zaman: inilah yang bernama hikayat Qamar al-Zaman bin Malik Syahrman yang amat indah ceritanya terbitan Sulaiman Mari’e, tahun [19-?], koleksi Universitas Leiden, berjumlah 144 halaman, beraksara Arab-Melayu; 3) teks cetak print karya Abu Ridlwan berjudul Seribu Satu Malam terbitan Bandung Timur, berbahasa Melayu ejaan Soewandi, huruf Latin; tahun [1966]; serta 4) teks cetak
print
terjemahan
karya
Husain
Haddawy
berjudul
Kisah
Petualangan Ali Baba dan Qamaruzzaman terbitan Mizan, bahasa Indonesia, aksara Latin, tahun 1998.
1.10.3 Sampel dan Populasi Penelitian Naskah HQ dan teks Qamaruzzaman merupakan sampel penelitian dari naskah dan teks-teks cetak yang muncul pada masa peralihan tradisi keberaksaraan tulis ke masa keberaksaraan cetak di dunia Melayu. Populasi penelitian ini adalah naskah dan karya sastra teks-teks terjemahan yang muncul pada masa penerbitan awal di Melayu. Masa peralihan keberaksaraan tulis dan keberaksaraan cetak menghadirkan beberapa versi teks.
33
1.10.4 Metode Pengumpulan Data dan Analisis Data Metode pengumpulan data menggunakan metode pembacaan dan pencatatan. Karya HQ dilakukan pembacaan dan pencatatan dengan cermat atas inventarisasi teks dari studi katalog maupun lapangan. Data transformasi didapatkan dari analisis perbandingan dan dibuat inferensi berupa karakteristik teks, selanjutnya dilihat ada tidaknya unsur transformasi, jika terdapat, bagaimanakah transformasinya. Metode analisis data pada penelitian ini digunakan dua metode analisis deskriptif-komparatif dan historis-komparatif. Pertama, yaitu metode ini digunakan untuk menjawab rumusan masalah pertama tentang kritik teks dan juga rumusan masalah kedua tentang transformasi teks. Metode perbandingan pertama dilakukan pada naskah HQ dan teks cetak Qamaruzzaman. Perbandingan selanjutnya dilakukan pada naskah HQ, teks cetak litografi juga dua teks cetak versi Indonesia. Dari kedua perbandingan tersebut, metode analisis kedua yaitu menggunakan metode historis-komparatif. Data dari kedua perbandingan dalam penelitian ini digambarkan hubungan perbandingan beberapa kisah Qamaruzzaman dari beberapa tradisi penulisan yaitu manuskrip, litografi dan
print.
Analisis
historis
untuk
menggambarkan
kronologi
perkembangan teks dari masa ke masa sedangkan analisis komparatif diperlukan untuk menggambarkan nilai perbandingan tersebut.
34
1.10.5 Langkah dan Alur Penelitian Secara garis besar, alur penelitian ini berkaitan dengan langkah kerja filologis dalam penelitian ini. Obyek material ditentukan berupa kisah Qamaruzzaman dalam naskah HQ dan teks cetak litografi Qamaruzzzaman serta dua teks terjemahan Qamaruzzaman, dilakukan beberapa langkah penelitian yaitu (1) inventarisasi teks (pelacakan), (2) deskripsi naskah dan teks, serta (3) melakukan transliterasi. Teks yang berhasil diinvetarisasi terdapat HQ manuskrip Jawi, HQ litografi, dan dua teks lainnya dalam aksara Latin berbahasa Melayu dan Indonesia. Dari teks-teks yang berhasil diinventarisasi dilakukan pendekripsian pada teks-teks tersebut. Deskripsi kondisi fisik juga isi teks. Teks-teks tersebut masih dalam bentuk teks Arab Melayu, sehingga perlu dilakukan transliterasi atau alih aksara. Hasil langkah di atas merupakan data yang selanjutnya diklasifikasikan untuk mengetahui hubungan kekerabatannya. Untuk menjawab permasalahan pertama, yaitu kritik teks langkah penelitian selanjutnya setelah data dikelompokkan maka dilakukan kritik internal maupun kritik eksternal. Hal ini dilakukan untuk uji keabsahan teks, baik dari segi isi naskah (kritik internal), maupun jenis tulisan, kualitas teks, latar belakang penulis, waktu dan tempat penulisan (kritik eksternal). Informasi-informasi lain yang mendukung kritik ini dijadikan pula sebagai bahan referensi dari hasil inventarisasi maupun deskripsi naskah serta teks.
35
Kritik ini secara lebih detail diuraikan pada tabel perbandingan. Kedua teks dilakukan perbandingan pada (1) kata demi kata, (2) susunan kalimat atau gaya bahasa, dan (3) isi cerita (lengkap atau menyimpang, bagaimana hubungan kekerabatannya, sehingga dapat diketahui ini teks asli atau terdapat tambahan dari penyalin). Hasil kritik tersebut dijadikan acuan dalam melihat permasalahan kedua yaitu bagaimana transformasi teks Qamaruzzaman dalam berbagai versi yaitu manuskrip, litografi dan cetak. Hasil perbandingan awal dilakukan perbandingan kembali dengan dua teks cetakan print. Dua teks ini disejajarkan dan dibandingkan dengan teks saksi lain untuk dilihat kekhasan karakteristiknya. Perbandingan disusun dalam tabel kronologis sejarah teks sehingga dapat terbaca transformasi teks Qamaruzzaman dalam beberapa tradisi penulisan. Bagan alur penelitian seperti digambarkan berikut ini: TEORI
Filologi Modern (Kajian Neo-Lachmannian)
METODE
Textual Criticism (Kritik Teks)
ANALISIS
1. Deskriptif-Komparatif 2. Historis-Komparatif (Transformasinya)
KESIMPULAN
Gambar 2 Bagan Alur Penelitian
36
METODE PENELITIAN
Inventarisasi Menentukan Objek Material Penelitian
Hikayat Qamaruzzaman
Hikayat Qamaruzzaman (MS 34) Manuskrip Jawi
Seribu Satu Malam (Terjemahan) (Penerbit Bandung Timur)
HQ Sulaiman Mar’ie Litografi Jawi
Kisah Petualangan Ali Baba dan Qamaruzzaman (Penerbit Mizan) Terjemahan Husain Haddawy Edisi Bulaq
Deskripsi Transliterasi
Menentukan Isu dan Permasalahan
1.Kritik Teks NeoLachmannian
Kritik Internal Kritik Eksternal
Aparat Kritik
Analisis Data 2. Transformasi
Menentukan Objek Formal Penelitian
Filologi Modern (Kajian NeoLachmannian)
Bahasa
Sastra
Budaya Judul Episode Tokoh Alur
Gambar 3 Bagan Langkah Kerja Penelitian
Kesimpulan
37
1.11 Sistematika Penulisan Tesis ini akan disajikan dalam lima bab. Adapun pembagian masingmasing bab tersebut sebagai berikut. Bab I merupakan pengantar penelitian berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, hipotesis, variabel penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II membahas pernaskahan dan perteksan HQ berupa inventarisasi dan deskripsi. Bab III membahas kritik teks neo-Lachmannian pada HQ tentang perbandingan teks Jawi pada manuskrip dan teks cetak litografi. Bab IV membahas transformasi HQ dalam manuskrip, litografi dan cetak print, sedangkan Bab V adalah penutup berupa simpulan hasil penelitian.