BAB I PENGANTAR
1.1
Latar Belakang
Model ekonomi keseimbangan umum digunakan untuk menganalisis secara bersamaan perubahan-perubahan makroekonomi maupun perekonomian secara sektoral dan regional, serta dapat melihat keterkaitan antara pelaku ekonomi. Wajar apabila model ini banyak digunakan dalam perencanaan pembangunan ekonomi. Salah satu alat analisis yang dapat digunakan adalah Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) atau Social Accounting Matrix (SAM) (Nazara, 1997: 3). Model ini lebih dapat menggambarkan seluruh transaksi makro ekonomi, sektoral dan institusi secara utuh dalam sebuah neraca, serta mampu menggambarkan arus distribusi pendapatan dalam perekonomian. Penggunaan SAM dalam perencanaan pembangunan dan menganalisis dampak dari sebuah kebijakan sudah banyak dilakukan di dunia. Wodon dan Parra (2008) menggunakannya untuk membandingkan dampak gejolak harga pangan dan energi terhadap konsumen di Ghana. Fofana, dkk. (2009) menganalisis ekspor dan pendapatan tenaga kerja berdasarkan gender di Senegal. Agaje (2008) menganalisis hubungan pertumbuhan dan efek kebijakan ekonomi pedesaan di Ethiopia. Hare dan Naumov (2008) menggunakan SAM Kazakhstan untuk meneliti perubahan distribusi pendapatan. Nganou, Parra, dan Wodon (2009) menganalisis hubungan guncangan harga minyak terhadap kemiskinan dan gender di Kenya. Widarta (2008) melakukan penelitian di sektor transportasi, yaitu
1
2
menganalisis pengaruh investasi di sektor transportasi dan penurunan subsidi BBM dalam perekonomian Indonesia. Layli (2012) lebih spesifik lagi menganalisis dampak kebijakan pembatasan konsumsi BBM premium di sektor angkutan darat terhadap perekonomian Indonesia. Model SAM juga dapat digunakan dalam melihat efek subsidi pada suatu sektor, penelitian Chaeriyah (2011) menyimpulkan kenaikan subsidi sektor pertanian akan meningkatkan output, GDP, dan pendapatan masyarakat. Widodo, dkk. (2012) melakukan simulasi SAM Indonesia tahun 2008. Hasilnya menunjukkan bahwa penghapusan subsidi BBM akan mempengaruhi variabel ekonomi seperti output, GDP, pendapatan faktor-faktor produksi, distribusi pendapatan rumah tangga, perusahaan, dan pemerintah. Perencanaan pembangunan suatu kota tidak hanya terbatas pada bagaimana mencapai laju pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita yang tinggi, tetapi ada aspek yang tidak kalah penting yaitu layak huni (livable) bagi penduduknya. Indikator sebuah kota atau wilayah layak huni diantaranya adalah tersedianya kebutuhan (necessity) seperti listrik, gas, dan air bersih, fasilitas umum seperti transportasi publik yang nyaman dan aman, drainase yang baik, pedestrian, jalur bagi sepeda, serta tersedianya taman atau ruang-ruang publik lainnya. Berbeda dengan sektor-sektor ekonomi lainnya yang tumbuh sejalan dengan perkembangan ekonomi, transportasi justru akan semakin memburuk (Penalosa, 2008). Semakin banyaknya kendaraan pribadi yang dimiliki, pertambahan jalan yang sangat kecil, dan buruknya sistem transportasi publik menjadi penyebabnya. Hal serupa terjadi pada sektor utilities (listrik, gas, dan air), apabila
3
pengelolaannya tidak tepat, ketersediaan dan pendistribusian terhadap masyarakat akan terganggu. Jika warga merasakan kekurangan sarana transportasi, listrik, air, dan gas atau layanan publik lainnya, mereka akan kecewa. Sebaliknya, jika mereka merasa tercukupi kebutuhannya maka akan merasa puas atas pelayanan yang diberikan pemerintah (Panalosa, 2008). Sektor utilities (listrik, gas, dan air) dan transportasi selain merupakan kebutuhan pokok sehari-hari bagi rumah tangga, juga sebagai pendukung dalam aktivitas produksi dan distribusi dalam perekonomian. Sebagai barang kebutuhan pokok keduanya memiliki nilai elastisitas permintaan yang inelastic (Nicholson, 1999: 117-118), adanya kenaikan harga tidak membuat penurunan konsumsi yang terlalu besar. Transportasi dan utilities (listrik, gas, dan air) bukan barang publik murni namun dalam proses penyediaannya masih membutuhkan peran pemerintah. Termasuk dalam penentuan tarifnya yang masih diregulasi, sehingga yang diberlakukan belum sepenuhnya sesuai dengan nilai ekonominya. Perbedaan barang publik dan barang swasta terletak pada penyediaannya. Apabila pasar tidak mampu menyediakan, maka pemerintah mengambil peran dengan ikut campur terhadap penyediaan barang tersebut. Selain barang publik dan swasta murni, ada juga barang yang bersifat campuran. Barang campuran tetap memerlukan peran pemerintah apabila menyangkut kepentingan hajat hidup masyarakat. Aktualisasi peran pemerintah dalam sektor utilities adalah memberikan hak monopoli pada Perusahaan Listri Negara (PLN), penyediaan gas oleh Perusahaan
4
Gas Negara (PGN), dan penyaluran air minum oleh Perusahaan Air Minum (PAM). Pemerintah juga ikut berperan dalam penetapan tarif listrik, gas, dan air minum.
Contoh
monopoli
pada
transportasi
publik,
adalah
operator
perkeretaapian oleh PT. Kereta Api Indonesia. Tidak hanya melalui pemberian hak monopoli dan penetapan kebijakan tarif, cara pemerintah dalam mengatasi penyediaan sektor yang menyangkut kepentingan hajat hidup orang banyak adalah dengan memberikan subsidi. Subsidi tersebut juga salahsatu upaya kompensasi kerugian perusahaan karena tidak memberlakukan tarif sesuai nilai keekonomiannya. Subsidi masuk dalam pengeluaran pemerintah yang merupakan salah satu elemen dari Gross Domestic Product (GDP) dari sisi pengeluaran. Subsidi merupakan salah satu bentuk pengeluaran pemerintah yang menambah pendapatan penerimanya. Berikut adalah realisasi subsidi di Indonesia tahun 2005 sampai dengan 2012. Tabel 1.1 Realisasi Subsidi, 2005-2012 (triliun) 2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Subsidi Energi
104,5
94,6
116,9
223,0
94,6
140
255,7
306,4
BBM, LPG, BBN
95,6
64,2
83,8
139,1
45,0
82,4
165,2
211,8
8,9
30,4
33,1
83,9
49,5
57,6
90,5
94,6
16,3
12,8
33,3
52,3
43,5
52,7
39,7
40
120,8
107,4
150,2
275,3
138,1
192,7
295,4
346,4
Listrik Subsidi Non Energi Total
Sumber: Kemenkeu 2006, 2008, 2010, dan 2012
Kota Bogor berada di tengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor serta lokasinya yang dekat dengan Ibu Kota Negara, merupakan potensi yang strategis untuk perkembangan dan pertumbuhan ekonomi. Penduduk Kota Bogor pada
5
tahun 2012 adalah 1.004.831 orang, dibandingkan dengan tahun 2011 jumlah penduduk Kota Bogor pada tahun 2012 bertambah sebanyak 37.433 orang atau meningkat 3,87 persen. Luas wilayah Kota 118.50 km2, kepadatan penduduk pada tahun 2012 mencapai 8.480 orang per km2 (BPS, 2013). Padatnya Kota Bogor karena diminati sebagai hunian alternatif dengan semakin padatnya Jakarta dan harga property di sana yang tinggi. Letaknya yang strategis, udara yang masih baik, fasilitas umum yang tersedia, juga menjadi daya tarik Kota Bogor. Pertambahan jumlah penduduk yang tinggi menuntut pemerintah semakin memperhatikan kebutuhan dan fasilitas umum yang diperlukan masyarakat. Penyediaan dan pendistribusian listrik, gas, dan air bukan hanya sebatas pada terpenuhi, tetapi berkesinambungan dan dengan kualitas pelayanan yang baik. Permasalahan lain yang muncul pada kota yang padat penduduknya adalah transportasi. Jumlah angkutan penumpang pribadi lebih dominan dibandingkan dengan jumlah angkutan umum. Sekitar 75 persen dari jumlah penduduk di kota bogor masih menggunakan angkutan pribadi yang terdiri dari mobil pribadi dan motor (Bappeda, 2012). Selain itu, belum tersedianya prasarana pendukung transportasi seperti area parkir, jalur sepeda yang menyatu dengan kendaraan lainnya di jalan raya, serta fasilitas pedestrian yang masih sedikit. Campur tangan pemerintah terhadap peningkatan pelayanan umum bagi penduduk kota sangat diperlukan. Subsidi dapat menjadi pilihan sebagai salah satu upaya peningkatan pelayanan umum tersebut. Subsidi bagi sektor utilities (listrik, gas, dan air) dan sektor transportasi terutama transportasi publik merupakan sebuah keseriusan pemerintah dalam menciptakan kota yang layak
6
huni. Pemberian subsidi terhadap kedua sektor tersebut tentu tidak hanya memberi efek pada kedua sektor yang bersangkutan, kenyamanan masyarakat, tetapi pada keseluruhan perekonomian Kota Bogor. Tabel 1.2 Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000, 2005-2012 Lapangan Usaha
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Pertanian 0,35 Pertambangan dan 0,00 Penggalian Industri Pengolahan 28,10 Listrik, Gas dan Air 3,15 Bersih Bangunan 7,46 Perdagangan, Hotel dan 30,03 Restoran Pengangkutan dan 9,66 Komunikasi Keuangan, Persewaan, 13,72 dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa 7,52 Sumber: BPS, 2005, 2007, 2013
0,33
0,32
0,31
0,30
0,29
0,28
0,27
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
28,01
28,07
28,16
28,25
28,32
28,32
28,32
3,17
3,19
3,22
3,24
3,27
3,29
3,32
7,32
7,18
7,05
6,92
6,79
6,66
6,53
30,15
30,03
29,80
29,54
29,22
28,97
28,74
9,74
9,83
9,94
10,06
10,18
10,28
10,36
13,83
13,97
14,17
14,39
14,69
15,00
15,33
7,46
7,40
7,35
7,30
7,24
7,19
7,13
Bagaimana
dampak
diberlakukannya
kebijakan-kebijakan
yang
berhubungan dengan sektor utilities (listrik, gas, dan air) dan transportasi salahsatunya adalah tergantung struktur perekonomian di daerah tersebut. Struktur perekonomian Kota Bogor dari tahun 2005 sampai pada tahun 2012, didominasi oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor industri pengolahan dan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Sektor transportasi dan utilities (listrik, gas, dan air) termasuk dalam sektor yang memiliki laju pertumbuhan tinggi. Tahun 2012 kedua sektor tersebut masuk dalam tiga sektor lapangan usaha yang mengalami laju pertumbuhan tertinggi, yaitu sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan (8,49 persen), sektor
7
pengangkutan dan komunikasi (7,03 persen) dan sektor listrik, gas dan air bersih (7,02 persen). Laju pertumbuhan ekonomi Kota Bogor tahun 2012 adalah 6,15 persen, sedikit lebih rendah dari laju tahun 2011 yaitu 6,19 persen (BPS, 2013). Hampir seluruh (99,86 persen) rumah di Kota Bogor sudah teraliri listrik. Sampai dengan tahun 2011 terdapat 201.850 pelanggan, dan daya tersambung sebesar 385.170.581 watt. Sampai dengan tahun 2012 ada 16.826 pelanggan gas, mayoritas pelanggan adalah rumah tangga (97 persen), sisanya kalangan industri dan komersil. Kebutuhan air bersih Kota Bogor disediakan oleh PDAM Tirta Pakuan. Sampai dengan tahun 2012 terdapat 109.846 pelanggan. Rata-rata Tirta Pakuan menyalurkan air kurang lebih 2.671.567 m3 setiap bulannya (BPS, 2013). Bertambahnya pemukiman dan perniagaan akan terus meningkatkan permintaan di sektor utilities. Di Kota Bogor terdapat lima jenis angkutan umum perkotaan, yaitu angkutan kota, angkutan kota dalam provinsi (AKDP), Trans Pakuan, bus kota, dan kereta api. Jumlah armada angkutan umum sebanyak 10.221 kendaraan. Armada angkutan kota terdapat 3.412 unit, 4.426 unit AKDP, dan 30 unit Trans Pakuan. Jumlah kendaraan bermotor di Kota Bogor adalah 301.086 unit. Lima tahun terakhir pertumbuhan kendaraan bermotor meningkat rata-rata sebesar 14,47 persen (Bappeda, 2012). 1.1.1 Perumusan masalah Pengaruh kebijakan subsidi tidak hanya terbatas sektoral, namun pada perekonomian secara umum dan distribusi pendapatan rumah tangga di Kota Bogor. Terlebih jika subsidi diberikan pada sektor yang merupakan kebutuhan
8
utama masyarakat dan pendukung dalam perekonomian seperti sektor utilities (listrik, gas, dan air) dan transportasi. Permasalahan tersebut yang akan dianalisis pada penelitian ini. Berdasarkan permasalahan di atas, maka dapat dirumuskan pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaruh dan keterkaitan sektor utilities dan sektor transportasi terhadap perekonomian Kota Bogor? 2. Bagaimana dampak kebijakan subsidi di sektor utilities dan sektor transportasi terhadap pendapatan rumah tangga di Kota Bogor? 3. Bagaimana mekanisme transmisi kebijakan sektor utilities dan sektor transportasi terhadap pendapatan rumah tangga di Kota Bogor?
1.2
Keaslian Penelitian
Penelitian-penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya, sebagai berikut. 1. Sahara (2003) menggunakan CGE meneliti dampak kenaikan harga BBM, TDL, tarif telepon dan penyaluran dana kompensasi terhadap ekonomi makro dan sektoral di Indonesia. Hasil simulasi baik jangka pendek maupun jangka panjang berdampak negatif terhadap kinerja ekonomi makro dan sektoral di Indonesia. Dampak negatif tersebut lebih dirasakan dalam jangka panjang. Dana kompensasi yang disalurkan pemerintah sebagai upaya antisipasi dampak negatif dari kenaikan harga BBM, TDL dan tarif telepon tidak terlalu berpengaruh positif terhadap kinerja ekonomi makro dan sektoral. 2. Widarta (2008) menganalisis pengaruh investasi di sektor transportasi dan penurunan subsidi BBM dalam perekonomian Indonesia menggunakan pendekatan Sistem Neraca Sosial Ekonomi 2005. Hasil penelitian
9
menunjukkan investasi menyebabkan peningkatan output sektor transportasi, sektor-sektor ekonomi lainnya, dan meningkatkan penerimaan institusi (rumah tangga dan perusahaan), terutama rumah tangga bukan pertanian golongan bawah dan atas di kota. Kebijakan penurunan subsidi riil BBM lebih berdampak pada rumah tangga bukan pertanian di kota baik golongan bawah maupun golongan atas, serta rumah tangga golongan bawah di desa. 3. Wodon dan Parra (2008) membandingkan dampak gejolak harga pangan dan energi terhadap konsumen menggunakan analisis SAM Ghana. Kenaikan tingkat harga pangan menimbulkan dampak negatif yang lebih besar pada biaya hidup rumah tangga, dan dampak kenaikan harga minyak lebih besar dibandingkan akibat kenaikan harga pangan. 4. Akemik (2010) menganalisis dampak kenaikan harga listrik setelah reformasi sektor kelistrikan di Turki dengan menggunakan analisis Social Accounting Matrix Price Modeling Turki. Hasilnya harga-harga konsumen lebih sedikit terpengaruh dibandingkan harga produsen. 5. Damanik (2011) meneliti dampak permintaan BBM terhadap distribusi pendapatan rumah tangga Indonesia menggunakan pendekatan SAM 2008. Hasil penelitian, efek multiplier dengan simulasi kenaikan sebesar satu milyar pada permintaan BBM terhadap distribusi rumah tangga memiliki nilai angka pengganda yang tertinggi pada rumah tangga bukan pertanian di perkotaan. 6. Isdinarmiati (2011) menggunakan Computable General Equilibrium (CGE) menganalisis kenaikan tarif dasar listrik dan respon kebijakan untuk meminimisasi dampak negatif terhadap perekonomian Indonesia. Hasil
10
penelitian sektor listrik sebaiknya meningkatkan efisiensi sebesar 10 persen, karena mampu menurunkan harga listrik hingga 24,97 persen, sehingga tidak perlu lagi diberlakukan kenaikan tarif oleh pemerintah. 7. Layli (2012) menganalisis dampak kebijakan pembatasan konsumsi BBM premium di sektor angkutan darat terhadap perekonomian Indonesia menggunakan Social Accounting Matrix (SAM). Hasilnya menunjukkan ada penurunan peningkatan output, penurunan peningkatan pendapatan sektor produksi, penurunan peningkatan pendapatan faktor produksi, penurunan peningkatan
pendapatan
institusi
rumah
tangga,
serta
membaiknya
ketimpangan distribusi pendapatan. 8. Widodo, dkk. (2012) melalui simulasi SAM Indonesia tahun 2008 menunjukkan bahwa penghapusan subsidi BBM akan mempengaruhi variabel ekonomi seperti output, PDB, pendapatan faktor-faktor produksi, distribusi pendapatan rumah tangga, perusahaan, dan pemerintah. Apabila dilakukan realokasi subsidi BBM pada empat sektor yaitu pertanian, perdagangan, industri makanan, minuman, dan tembakau, serta pendidikan dan kesehatan menunjukkan bahwa perekonomian akan terpengaruh secara positif. Namun, dampak dari realokasi akan relatif lebih kecil dibandingkan dengan penghapusan subsidi BBM.
1.3
Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan penelitian Penelitian ini bertujuan menganalisis dampak kebijakan subsidi pada sektor utilities (listrik, gas, dan air) dan sektor transportasi terhadap perekonomian Kota
11
Bogor, terutama terhadap institusi rumah tangga. Lebih detailnya, tujuan penelitian ini adalah: 1. menganalisis pengaruh dan keterkaitan sektor utilities dan sektor transportasi terhadap pendapatan sektor produksi, faktor produksi dan institusi; 2. menganalisis dampak kebijakan subsidi di sektor utilities dan sektor transportasi terhadap pendapatan rumah tangga di Kota Bogor; 3. menganalisis mekanisme transmisi kebijakan subsidi pada sektor utilities dan sektor transportasi terhadap pendapatan rumah tangga. 1.3.2 Manfaat penelitian Penelitian ini dapat digunakan dalam menyusun perencanaan pembangunan Kota Bogor, khususnya perencanaan yang terkait penerapan kebijakan subsidi pada sektor utilities (listrik, gas, dan air) dan sektor transportasi. Perubahan tersebut berdampak pada sektor-sektor produksi lain, maupun pendapatan rumah tangga. Penelitian ini juga berguna sebagai literatur khususnya mengenai analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) atau Social Accounting Matrix (SAM).
1.4
Sistematika Penulisan
Tesis ini terdiri dari empat bab. Bab pertama adalah pengantar, berisi latar belakang, perumusan masalah, keaslian penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan. Bab dua mengenai tinjauan pustaka, landasan teori dan alat analisis. Bab tiga memaparkan cara penelitian serta hasil dan pembahasan. Bab empat berisi kesimpulan dari hasil penelitian dan saran.